BAB II KERANGKA TEORI
A. Kerangka Teori ‘Teori’ berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti ‘perenungan’, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti ‘cara atau hasil pandang.’ Oleh karenanya, teori umumnya dimaknai sebagai suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam pengalaman hidupnya. Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang inderawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya.1 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika yang terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusunsecara sistematis. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butirpendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. Setiap penelitian tidak akan pernah meninggalkan teoriteori yang mendukung atau relevan dengan topik tulisan yang bersangkutan. Teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap topik yang sedang dikaji. Disamping itu teori dapat memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis dalam tulisannya.2
1
Jujun Surjasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 14. Mukti Fajar ND., Yulianto Achmad., Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2010, hlm. 144. 2
13
Di dalam penulisan ini, Penulis menggunakan beberapa teori3 untuk menganalisa permasalahan, antara lain sebagai berikut: 1. Teori Kebijakan Publik Definisi tentang kebijakan (policy) tidak ada pendapat yang tunggal, tetapi konsep demokrasi modern kebijakan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan dalam kebijakan negara, misalnya kebijakan negara menaruh harapan banya agar para pegawai pemerintah dapat memberikan pelayanan yang sebaik baiknya, dari sisi lain lain sebagai abdi masyarakat haruslah memperhatikan kepentingan publik4. Istilah Kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy. Hal tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam bahasa Indonesia. Kebijakan dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata bijak yang berarti menggunakan akal budinya, pandai, mahir, pandai bercakap, petak lidah.5 Sedangkan kebijakan dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan.
3
Otje Salman dan Anton F.Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 21. Teori berasal dari kata dalam bahasa latin “ theoria”, yang artinya perenungan, dari kata “thea” (bahasa Yunani) yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adytia Bakti, Bandung, 2000, hlm. 253. Teori memberikan penjelasan melalui cara mengornasasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum ; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM – HUMA, Jakarta, 2002, hlm. 184, teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman Sehingga berbicara tentang teori seseorang akan dihadapkan kepada dua macam realitas, yaitu realitas in abstracto dialam idea imajinatif, dan realitas in concreto dalam pengalaman indrawi. J.J.H Bruggink, 1996, Refleksi Tentang Hukum, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, PT Citra Adytia Bakti, Bandung, hal. 159-160 (dalam Otje Salman dan Anton F.Susanto, Ibid, 2004, hlm. 60.) menjelaskan teori hukum adalah “seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan“. 4 Irfan M. Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hlm.10. 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 42.
14
Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak6. Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan perhatian kita untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policymaking process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Thomas R. Dye7 mendefinisikan kebijakan publik sebagai "is whatever government choose to do is on not to do". Secara sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut8 : a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?); b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?); c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat (What defference it makes?). Menurut Richard Rose (dikutip dari Dunn) mendefinisikan kebijakan publik (public policies) sebagai rangkaian pilihan yang kurang lebih satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan-badan pejabat pemerintah yang diformulasikan ke dalam isu-isu publik dari masalah pertahanan, energi, kesehatan sampai kepada permasalahan pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan. Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subyektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan sekaligus realitas obyektif yang diwujudkan dalam tindakantindakan yang dapat diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya, setidaktidaknya menyangkut 3 (tiga) unsur penting dalam menyusun agenda kebijakan9 yaitu : (1) Membangun persepsi di kalangan stackholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, 6
Ibid, hlm. 115. Thomas R. Dye dalam Esmi Warasih, 2001, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, hal.8. 8 Thomas R. Dye dalam Esmi Warasih, Ibid, 2001, hal.8. 9 A.G. Sunbarsono, 2005, hal. 11. 7
15
tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah; (2) Membuat batasan masalah; (3) Mobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Ketertiban antara hukum dan kebijakan publik akan semakin relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda di tiap tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian pula keterlibatan lembaga didalam proses implementasi selalu akan bekerja didalam konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal balik yang dapat saling mempengaruhi. Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang/tingkat, baik propinsi maupun tingkat kabupaten. Setiap jenjang pelaksanaannya pun masih membutuhkan pembentukan kebijaksanaan lebih lanjut dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut. Apabila sarana yang dipilih adalah hukum sebagai suatu proses pembentukan kebijaksanaan publik, maka faktor-faktor non hukum akan selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi hal ini diperlukan langkah-langkah kebijakan meliputi : (1) menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan tujuan, standar pelaksana, biaya dan waktu yang jelas; (2) pelaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staf, biaya, resources, prosedur, dan metode, dan; (3) membuat jadwal pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai rencana. Sehingga dengan demikian, jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan program tersebut akan segera diambilkan tindakan yang sesuai. Secara singkat, pelaksanaan suatu program melibatkan unsur penetapan waktu, perencanaan dan monitoring. Menurut Hoogerwef pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah semacam
jawaban
terhadap
masalah,
merupakan
upaya
untuk
memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu,
16
yaitu tindakan yang terarah. Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang kebijakan mencakup pertanyaan : what, whay, who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut isi, cara prosedur yang ditentukan, stretegi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan10. Harold D Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai nilai dan praktek-praktek yang terarah11. Sedangkan Carl J. Friedich mendefinisikan kebijakan sebagai rangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan- hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka tujuan tertentu12. Secara lebih rinci James E. Anderson, memberi pengertian kebijakan negara sebagai kebijakan oleh Badan Badan pejabat pejabat pemerintah yang memiliki implikasi sebagai berikut ini13 : 1) Kebijakan negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi kepada tujuan. 2) Kebijakan yang berisi tindakan tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah. 3) Kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan suatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu. 4) Kebijakan negara itu bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai masalah tertentu, atau bisa bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk melakukan sesuatu.
10
Syahrir, Mencari bentuk otonomi Daerah : Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hlm. 66. 11 Subardono, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 3. 12 Setiono, Kuliah Matrikulasi Hukum dan Kebijakan Publik, PPS Prodi Ilmu Hukum UNS, Surakarta, 2010, hlm. 1. 13 Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Medio Presindo, Jakarta, 2007, hlm. 19.
17
Setelah memahami dengan seksama pengertian dari kebijakan sebagaimana diuraikan di atas adalah penting sekali bagi kita untuk menguraikan makna kebijakan publik, karena pada dasarnya kebijakan publik nyata-nyata berbeda dengan kebijakan privat/swasta. Banyak sekali pengertian yang telah diungkapkan oleh pakar tentang kebijakan publik, namun demikian banyak ilmuan yang merasakan kesulitan untuk mendapatkan pengertian kebijakan yang benar-benar memuaskan. Hal tersebut dikarenakan sifat dari kebijakan publik yang terlalu luas dan tidak spesifik dan operasional. Di samping kesimpulan tentang pengertian kebijakan dimaksud, pada dewasa ini istilah kebijakan sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan tindakan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya. Luasnya makna publik sebagaimana disampaikan oleh Charles O. Jones di dalam mendefinisikan kebijakan publik sebagai antar hubungan di antara unit pemerintah tertentu di lingkungannya. Agaknya definisi ini sangat luas sekali nuansa pengetiannya, bahkan terdapat satu kesan sulit menemukan hakekat daripada kebijakan publik itu sendiri14. Penyusunan rancangan peraturan daerah sebagaimana diuraikan di muka, tidak terlepas dari kebijakan bidang tersebut yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan.15 Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh pemerintah menghadapi masalah publik. Sedangkan Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan publik hendaknya dipahami sebagai rangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensikonsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri16. Wiliam N. Dunn mendefinisikan kebijakan publik 14
Ibid, hlm. 30. Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 1. 16 Budi Winarno, Op Cit, hlm. 17. 15
18
dikaitkan dengan otonomi daerah adalah pelaksanaan kegiatan yang diproyeksikan lewat uraian tentang kecenderungan masa lalu, masa kini dan masa depan, dimana peramalan merupakan prosedur untuk membuat informasi yang faktual, tentang situasi sosial masa depan atas dasar informasi yang tidak ada tentang masalah kebijakan17. Kebijakan publik sendiri didefinisikan dalam dua kategori oleh Leslie A. Pal.18 Pertama, definisi lebih menekankan pada maksud dan tujuan utama sebagai kunci kriteria kebijakan.Kedua, pengertian kebijakan pada kategori yang lebihmenekankan pada dampak. Di pihak lain, Edward C. George menyatakan bahwa tidak ada definisi tunggal dari kebijakan publik sebagaimana dimaksudkan adalah “what government say and do, or not to do“19. Bahkan David Easton mengemukakan bahwa “Policy is the authoritative allocation of value for the whole society” (pengalokasian nilai-nilai secara paksa dan atau sah pada seluruh anggota masyarakat), dimana melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang acapkali masih kabur dan abstrak sebagaimana tampak dalam nilai nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor politik ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit20. Sementara Van De Gevel mengartikan kebijakan publik sebagai beleid besstaat in essential uit een samenstel van gozaken doelen, middelen en tidstippen.21 Dari beberapa pandangan tentang kebijakan publik negara tersebut, dengan mengikuti paham bahwa kebijakan negara itu adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah yang mempunyai tujuan
atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
17
Andrik Purwasito, Perspektif Kebijakan Publik dalam Otonomi Daerah, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2001, hlm. 12. 18 Leslie A. Pal. dalam Arif Alfan Haji, Evaluasi Kebijakan Perpolisian Masyarakat (POLMAS) (Studi Deskriptif: Diseminasi Kebijakan Polmas terhadap Petugas Pelaksana Polmas di Kepolisian Sektor Jajaran Kepolisian Resort Kota Besar Surabaya), Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik, Volume 1, Nomor 1, Januari 2013. ISSN2303-341X. 19 Edward C George dalam Bidi Winarno, Op Cit, hlm. 38. 20 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 39. 21 Esmi Warassih, Op Cit, hlm. 131.
19
kepentingan seluruh rakyat, maka Irfan M. Islamy menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik, yaitu sebagai berikut : 1) Bahwa kebijakan publik itu dalam peraturannya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah. 2) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata. 3) Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu. 4) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat. 5) Kebijakan publik pada akhirnya harus dapat memenuhi kebutuhan dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Penilaian akhir dari sebuah kebijakan publik adalah masyarakat22. Pandangan dari Fadhilah putra, proses reformasi dalam keseluruhan sistem sosio politik yang terjadi di Indonesia, sampai saat ini memang masih belum dapat segera dikatakan sudah atau hampir tuntas23. Secara umum kebijakan (policy) adalah dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) strata, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif maupun negatif meliputi keseluruhan wilayah atau instansi. Untuk wilayah negara, kebijakan umum mengambil bentuk Undang-Undang atau Keputusan Presiden dan sebagainya. Sementara untuk wilayah propinsi, selain dari peraturan dan kebijakan yang diambil pada tingkat pusat juga ada Keputusan Gubernur dan Peraturan Daerah yang diputuskan DPRD. Suatu kebijakan umum dapat dijadikan pedoman bagi tingkatan kebijakan di bawahnya minimal 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi : a. Mempunyai cakupan kebijakan dengan meliputi keseluruhan wawasannya. Artinya, kebijakan tidak hanya meliputi dan ditunjukkan pada aspek tertentu dan sektor tertentu. b. Memiliki jangka waktu yang panjang. Artinya masa berlaku atau masa tujuan yang ingin dicapai dengan kebijakan tersebut berada dalam jangka waktu yang pendek, sehingga tidak mempunyai batas waktu tertentu. Karena itu, tujuan yang digambarkan sebagai istilah sasaran strategi kebijakan seringkali dianggap tidak jelas. Dengan kata lain 22 23
Irfan M, Islamy, Op Cit, hlm, 20. Fadhilah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Malang, 2005, hlm. 23.
20
dalam suatu kebijakan umum tidak tepat untuk menetapkan sasarannya secara sangat jelas dan rumusannya secara teknis. c. Rumusan yang demikian akan menghadapi kekuatan atau fleksibel dalam perubahan jangka waktu panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan di wilayah-wilayah kecil yang berbeda. d. Secara kebijakan umum tidak bersifat operasional. e. Sebagaimana pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga bersifat relative. Sesuatu yang dianggap umum untuk tingkat Kabupaten mungkin dianggap teknis atau operasional di tingkat bawahnya. Namun, suatu Kebijakan yang bersifat umum tidak berarti kebijakan tersebut sederhana. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang atau keputusan menteri yang menjabarkan pelaksanaan
Keputusan
Presiden
adalah
contoh
dari
kebijakan
pelaksanaan. Untuk tingkat propinsi, keputusan walikota/Bupati atau keputusan seorang Kepala Dinas yang menjabarkan Keputusan Gubernur atau peraturan Daerah bisa jadi suatu kebijakan pelaksanaan. Kebijakan Teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan. Secara umum, kebijakan umum adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan tingkat kedua dan kebijakan teknis adalah tingkat ketiga atau yang terbawah. Setiap kebijakan di atas memiliki bobot yang berbeda. Misalnya kebijakan umum memiliki bobot yang berdampak luas dan sangat strategis sehingga dalam merumuskan memerlukan kecermatan dan keterlibatan beberapa pihak, khususnya para pakar ilmu pengetahuan dan praktisi karena di dalamnya juga berisiko yang berdampak luas. Di samping itu, dalam kebijakan umum walaupun unsur teknis memiliki bobot yang rendah
tetapi
dalam
merumuskan
kebijakan
umum
harus
mempertimbangkan unsur teknis, apakah kebijakan itu nantinya dilaksanakan dibawahnya. Terkadang sebuah proses kebijakan publik yang ada telah mencapai hasil (output) yang ditetapkan dengan baik, namun tidak memperoleh respon atau dampak (outcome) yang baik dari masyarakat atau kelompok sesamanya atau sebaliknya sebuah proses
21
kebijakan publik tidak maksimal dalam mencapai hasil yang telah ditetapkan
namun
ternyata
dampaknya
cukup
memuaskan
bagi
masyarakat umum. Secara jujur kita dapat mengatakan bahwa kebijakanNegara apapun, sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hogwood dan Guna24 telah membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) ini dalam
2
(dua)
kategori
yaitu
non
implementation
(tidak
terimplementasikan) dan unsucsesfull implantation (implementasi yang tidak berhasil), Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama atau telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kekuasaannya sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi akibatnya, implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi. Dengan demikian suatu kebijaksanaan boleh jadi tidak dapat diimplentasikan secara efektif, sehingga dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek atau baik pembuat kebijakan maupun mereka yang ditugasi untuk melaksanakannya sama-sarna sepakat bahwa kondisi eksternal benar-benar tidak menguntungkan bagi efektifitas implementasi, sehingga tidak seorang pun aerlu dipersalahkan. Dengan kata lain,kebijaksanaan itu telah gagal kerena nasibnya memang jelek. Ada faktor penyebab lainnya, misalnya kerap kali para pembuat kebijakan tidak mengungkapkan secara terbuka kepada masyarakat, bahwa gagalnya sebuah kebijaksanaan karena bahwa sebenarnya sejak awal kebijaksanaan tadi memang jelek dalam artian bahwa ia tela,h dirumuskan secara sembrono, tidak didukung oleh informasi yang memadai atau asumsiasumsi clan harapan-harapan yang tidak realitas25. 24
Hogwood dalam Solichin Abdul Wahab, Ibid, 2004, hlm. 62. Solichin Abdul Wahab, Ibid, 2004, hlm. 62.
25
22
Adapun evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak
suatu
aktivitas
program,
atau
proyek
dengan
cara
membandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan, dan bagaimana cara pencapaiannya. Evaluasi kebijakan adalah suatu pengkajian secara sistematik dan empiris terhadap akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah dan kesesuaiannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut . Evaluasi kebijakan selalu melibatkan para birokrat, politisi, dan juga seringkali melibatkan pihak-pihak diluar pemerintah . Evaluasi kebijakan merupakan aktivitas ilmiah yang perlu dilakukan oleh para pembuat kebijakan di dalam tubuh birokrasi pemerintah. Dalam pelaksanaannya maka evaluasi kebijakan publik dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu : (1) Evaluasi Administratif, adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan dalam lingkup pemerintah atau instansiinstansi yang dilakukan oleh badan-badan ; (2) Evaluasi Yudisial, adalah evaluasi terhadap kebijakan publik yang berkaitan dengan obyek-obyek hukum : apa ada pelanggaran hukum atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Yang melakukan evaluasi yudisial adalah lembagalembaga hukum seperti pengacara, pengadilan kejaksaan dan sebagainya ; (3) Evaluasi Politik, pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik parlemen maupun partai politik. Namun sesungguhnya evaluasi politik bisa dilakukan oleh masyarakat secara umum. Dari pembahasan tersebut maka hubungan antara hukum dan kebijakan publik didasarkan pada 2 (dua) konteks persoalan, yakni : Konteks tentang keadilan, ini menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil ditengah sekian banyak dinamika dan konflik ditengah masyarakat dan Konteks tentang aspek legalitas, ini menyangkut dengan apa yang dimaksud dengan hukum positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum. Dua konteks tersebut diatas sering kali terjadi perbenturan, terkadang hukum positif ternyata tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan, dan sebaliknya rasa
23
keadilan sering kali tidak memiliki kepastian hukum. Di tengah itu maka komprominya adalah bagaimana agar semua hukum positif yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan itu sendiri. Bertitik tolak dari kesadaran tersebutlah maka, selanjutnya hukum pada dasarnya akan lebih banyak berbicara pada sekian banyak rentetan aturan-aturan yang sah dan legal. Masyarakat akan lebih banyak dikendalikan dinamika sosialnya oleh aturan-aturan ini. Dan pada sisi ini kemudian masyarakat moderen memunculkan gagasan tentang kebijakan publik sebagai sebuah instrumen dalam mengendalikan masyarakat. Gagasan tentang kebijakan publik ini bertemu dengan teori-teori moderen negara seperti good governance dan reinventing government. Maka implikasinya masyarakat yang semakin cepat itu harus segera diikuti oleh responsifitas negara yang cepat pula. Hukum dengan segala aspek formal dan legalnya itu terkadang di rasakan membelenggu percepatan yang di maksud. Untuk itu diperlukan Evaluasi untuk mengetahui keberhasilan kegiatan atau kegagalan dan mengetahui penyebabnya, dimungkinkan penyempurnaan kinerja program di masa mendatang dan menghindari kesalahan yang telah dibuat pada masa lalu. Di sisi lain Evaluasi dapat berfungsi sebagai kemudi dan manajemen. Yaitu sebagai umpan balik dan kendali pencapaian tujuan program. Serta membuat penyesuaian mengenai cara bagaimana sebaiknya program dilaksanakan. Evaluasi mengemban fungsi kontrol dan inspeksi. Artinya dapat digunakan sebagai informasi kepada pimpinan puncak atau pihak donor apakah kegiatan program telah dilaksanakan dengan benar dan membawa hasil yang sesuai yang diharapkan. Evaluasi dapat mengemban fungsi akuntabilitas, karena ia memberikan informasi tentang penggunaan anggaran/dana dan Evaluasi dapat berfungsi kepenasihatan. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk mendapatkan dana yang lebih banyak guna mendanai program sejenis di masa yang akan datang.
24
2. Teori Implementasi Dalam membahas mengenai teori implementasi, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian dan implementasi. Dalam kamus Webster, pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, di mana “to implementasi“ (mengimplementasi), “to provide means for carryng out; to give practical effect to“ (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak berakibat sesuatu)26. Daniel A. Masmanian dan Paul A. Sabatier27, menjelaskan bahwa makna implementasi adalah : " Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatankegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian". Lebih lanjut disampaikan juga oleh Mazmanian dan Sebatier sebagaimana yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab28, bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaannya keputusan oleh badan atau instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata baik yang 26
Solichin Abdul Wahab, Public Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisis Kebijaksanaan Pemerintah, Airlangga University Press, Surabaya, 1997, hlm. 64. 27 Daniel A. Masmanian dan Paul A. Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab, Ibid, 2004, hlm. 65. 28 Riant Nugroho, Kebijakan Publik Untuk Negara Negara Berkembang, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008, hlm. 65.
25
dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting atau upaya untuk melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan. Memperhatikan pendapat tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang melibatkan sejumiah sumber-sumber yang di dalamnya termasuk manusia dana, kemampuan swasta baik individu atau kelompok untuk mencapai, tujuan yang teiah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan. Jadi agar implementasi kebijakan, dapat tercapai tujuannya serta dapat diwujudkan, harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, sebaliknya bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan kebjakan, apabila tidak dapat diwujudkan, sehingga apabila menghendaki suatu kebijakan dapat diimplentasikan dengan baik, maka harus dipersiapkan dan.direncanakan dengan baik sejak perumusan kebijakan publik, sampai kepada antisipasi terhadap kebijakan tersebut diimplementasikan. Proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badanbadan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program, dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, rnelainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (spilloverlnegative effects). Dalam studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan keputusan politik ke dalam prosedur prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan
26
bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan. Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O Jones29, dimana implementasi diartikan sebagai “getting the job done” dan “doing if“. Tetapi dibalik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun pelaksanaannya, menuntut adanya syarat yang antara lain adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources. Lebih lanjut
Jones
merumuskan
batasan
implementasi
sebagai
proses
penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut30 : “Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (and groups) that are directed at the achievement op goals and obyectives set forth in prior policy decicions”. Menurut Grendle31 menyatakan bahwa : “Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat. saluran-saluran birokrasi. Lebih dari itu suatu masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan."
29
Riant Nugroho, Kebijakan Publik Untuk Negara Negara Berkembang, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008, hlm. 47. 30 AG Subarsono, Op Cit, hlm. 78. 31 Grendle dalam Solichin Abdul Wahab, 2004, hlm. 59. "The execution of appolicies is as important if not more important than policy making. Policies wilt rernaind dreams or, blue prints file jackets unless they are implented ". Maksudnya bahwa pelaksanaan kebljakan adalah sesuatu yang pentlng, bahkan Jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakankebijakan akan sekedar berupa lmpian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.
27
Definisi tersebut memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Tindakan-tindakan ini, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusan keputusan menjadi pola-pola operasional, serta melanjutkan usaha-usaha tersebut mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil, yang diamanatkan oleh keputusan kebijakan. Mengacu pada pendapat tersebut, dapat diambil pengertian bahwa sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan, di dalamnya mencakup manusia, dana, dan kemampuan organisasi, yang dilakukan baik pemerintah maupun swasta. Selanjutnya oleh Mazmanian dan Sabatier32, menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagaimana berikut “ memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program yang dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian kejadian atau kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya
maupun
untuk
menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”. Berdasarkan pada pendapat tersebut diatas, nampak bahwa implementasi kebijakan tidak terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun lebih dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Banyak model dalam implementasi kebijakan yang dapat digunakan. Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn, mengajukan model mengenai proses Joko Widodo, “Good Governance” : Telaah dari dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birikrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya : Insan Cendikia, 2001, hlm. 82. 32
28
implementasi kebijakan (a model of the policy implementation process).33 Dalam model implementasi kebijakan terdapat 6 (enam) variabel yang membentuk hubungan antara kebijakan dengan pelaksanaan. Dalam teori ini beranjak dari argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba
untuk
menghubungkan
antara
isu
kebijakan
dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan dengan prestasi
kerja (performance).
Kedua ahli
ini
menegaskan
pula
pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur implementasi. Atas dasar pandangan seperti itu, Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn34, kemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan menurut : a. Jumlah masing masing perubahan yang akan dihasilkan ; b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Hal ini dikemukakan berdasarkan pada kenyataan bahwa proses implementasi ini akan dipengaruhi oleh dimensi dimensi kebijakan semacam itu. Dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan, relatif tinggi. Standard dan tujuan kebijakan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap pelaksanaan atau penyelenggaraan kebijakan. Di samping itu standard dan tujuan kebijakan juga berpengaruh tidak langsung terhadap disposisi para pelaksana melalui altivitas komunikasi antar organisasi. Jelasnya respon para pelaksana terhadap suatu kebijakan didasarkan pada persepsi dan interpretasi mereka terhadap tujuan kebijakan tersebut. Walaupun demikian, hal ini bukan berarti bahwa komunikasi yang baik akan menyeimbangkan disposisi yang baik 33 34
AG Subarsono, Op Cit, hlm. 4. Ibid, hlm, 14.
29
atau positif diantara pelaksana. Standard dan tujuan juga mempunyai dampak yang tidak langsung terhadap disposisi para pelaksana malalui aktivitas penguatan dan pengasahan. Dalam hal ini para atasan dapat meneruskan hubungan para pelaksana dengan organisasi lain. Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap tahap implementasi kebijakan. Irfan M. Islamy membagi tahap implementasi dalam dua bentuk35, yaitu sebagai berikut : a. Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut kan terimplementasi dengansendirinya, maisalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain ; b. Bersifat non self-executing, yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai. Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn mengemukakan beberapa tahap implementasi sebagai berikut36 : Tahap
pertama
:
terdiri
atas
kegiatan
kegiatan
:
(a) Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan yang jelas. (b) Menentukan standar pelaksanaan. (c) Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan. Tahap
kedua,
merupakan
pelaksanaan
program
dengan
mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta mode Tahap ke tiga, merupakan kegiatan kegiatan : (a) Menentukan jadwal. (b) Melakukan pemantauan. (c) Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program. Dengan demikian jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai, dengan segera. Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan rencana penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurur Mazmanian dan Sabatier mempelajari masalah implementasi kebijakan berusaha untuk 35 36
Irfan M, Islamy, Op Cit, hlm. 102. Solichin Abdul Wahab, Op Cit, hlm. 102.
30
memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yaitu peristiwa peristiwa dan kegiatan kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat37. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran, tetapi juga memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial, yang berpengaruh pada implementasi kebijakan negara. Sebagai pangkal tolak berpikir kita, hendak selalu diingat bahwa implementasi sebagian besar program pemerintah pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan, yang berusaha keras untuk mempengaruhi perilaku birokrat-birokrat atau pejabat-pejabat lapangan (street level bureacracts) dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa tertentu kepada masyarakat atau mengatur perilaku dari satu atau lebih kelompok sasaran. Dengan kata lain, dalam implementasi program khususnya yang melibatkan banyak organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang, yakni: 1) pemrakarsa kebijakan atau pembuat kebijakan; 2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan; 3) aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapapun program yang ditujukan, yakni kelompok sasaran atau target group38. Dilihat
dari
sudut
pandang
pusat,
maka
fokus
analisis
implementasi kebijakan itu akan mencakup usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atasan atau lembaga-lembaga di tingkat pusat untuk mendapatkan kepatuhan dari lembaga-lembaga atau pejabat-pejabat di tingkat yang lebih rendah atau daerah dalam upaya mereka untuk memberikan pelayanan atau untuk mengubah perilaku masyarakat atau kelompok sasaran dari program yang bersangkutan.
37
Joko Widodo, Log Cit, hlm.198 Solichin Abdul Wahab, Ibid, 2004, hal. 63.
38
31
Menurut Edward C George dalam Implementing Public Policy39, mengutarakan ada 4 (empat) faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan , antara lain sebagai berikut : a. Faktor Sumber Daya (Resources). Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuanketentuan atau aturan aturan suatu kebijakan kurang mempunyai sumber sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak efektif. Sumber sumber penting dalam implementasi kebijakan yang dimaksud antara lain mencakup staf yang harus mempunyai keahlian dan kemampuan untuk bisa melaksanakan tugas; perintah; dan anjuran atasan/pimpinan. Disamping itu, harus ada ketetapan atau kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang harus dimiliki dengan tugas yang akan dikerjakan. Dana untuk membiayai operasionalisasi implementasi kebijakan tersebut, informasi yang relevan dan yang mencukupi tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan, dan kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar para implementator tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam bagaimana caranya dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Informasi yang demikian ini juga penting untuk meyadarkan orang orang yang terlibat dalam implementasi, agar diantara mereka mau melaksanakan dan mematuhi apa yang menjadi tugas dan kewajibannya. Kewenangan untuk menjamin atau meyakinkan bahwa kebijakan yang diimplementasikan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki, dan fasilitas/sarana yang digunakan untuk mengoperasionalkan implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, sarana dan prasarana yang kesemuanya akan memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Kurang cukupnya sumber-sumber ini berarti ketentuan ketentuan atau aturan aturan tidak akan menjadi kuat, pelayanan tidak akan diberikan dan pengaturan rasional tidak akan dikembangkan. b. Struktur Birokrasi. Walaupun sumber sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah mencukupi dan para implementator mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implemtasi bisa jadi masih belum efektif, karena ketidak efisien struktur birokrasi yang ada. 39
Budi Winarno, Op Cit, hlm. 111.
32
c. Faktor Komunikasi. Komunikasi adalah suatu kegiatan menusia untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan tau pengalamannya kepada orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai sebagai faktor yang penting, karena dalam setiap proses kegiatan yang melibatkan unsur manusia dan sumber daya akan selalu berurusan dengan permasalahan bagaimana hubungan dilakukan. d. Faktor Sikap (Disposisi). Disposisi ini diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk mengimplementasikan kebijakan, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementator tidak hanya mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk implementasi kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Seperti yang dikemukakan Saiful Bahri, bahwa hubungan antara hukum dan kebijakan publik merupakan hubungan simbiosa mutualistik yang dapat dilihat dalam 3 (tiga) kajian yang terformulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan hukum40. Proses pembentukan kebijakan publik berangkat dari realitas yang ada
dalam
masyarakat.
Realitas
tersebut
berupa
aspirasi
yang
berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan perubahan perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya adalah mencoba untuk mencari jalan keluar yang terbaik yang akan dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan yang sekarang. Dalam melakukan penerapan hukum membutuhkan kebijakan publik
sebagai
sarana
yang
mampu
mengaktualisasikan
dan
mengkontektualisasikan hukum tersebut dengan kebutuhan dan kondisi riil yang ada di masyarakat, sebab apabila responsifitas aturan masyarakat hanya sepenuhnya diserahkan kepada hukum semata, maka bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi pemaksaan-pemaksaan yang tidak sejalan dengan cita-cita hukum itu sendiri yang ingin mensejahterakan masyarakat.
40
Saiful Bahri, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik, Yogyakarta, 2004, hlm. 24.
33
Hubungan antar sumber daya (resources) dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam batas wilayah organisasi tertentu dapat dikemukakan
bahwa
tersedianya
dana
dan
sumber
lain
dapat
menimbulkan tuntutan dari warga masyarakat swasta, kelompok kepentingan yang terorganisir untuk ikut berperan dalam melaksanakan dan mensukseskan suatu kebijakan. Jelasnya prospek keuntungan pada suatu program kebijakan dapat menyebabkan kelompok lain untuk ikut berperan secara maksimal dalam melaksanakan dan mensukseskan suatu program kebijakan. Bagaimanapun juga terbatasnya sumber daya yang tersedia, masyarakat suatu negara secara individual
dan kelompok
kepentingan yang terorganisir akan memilih untuk menolak suatu kebijakan karena keuntungan yang diperolehnya lebih kecil bila dibandingkan dengan biaya operasional. Demikian juga dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam batas wilayah tertentu, mempengaruhi karakter karakter agen agen pihak pelaksana, disposisi para pelaksana dan penyelenggaraan atau pelaksanaan kebijakan itu sendiri.
3. Sistem Hukum Beberapa pemikir yang mencoba membedah hukum selalu berupaya mencantumkan kata “teori“ untuk memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa apa yang dijelaskan adalah ilmiah, atau paling tidak memberikan gambaran apa yang dijelaskan itu memenuhi standar teoritis41. Terkait dengan hal tersebut, maka ada 2 (dua) pandangan besar dalam teori hukum. Pertama, hukum disebut sebuah sistem42, yang 41
Otje Salman dan Anthon F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Bandung, Rafika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 45. 42 Lawrence M. Friedmann The Legal System. A Social Science Perspective, dalam Pent. M. Khozim, 2011, Nusamedia Bandung: Nusamedia, 2011, hlm. 18. bahwa suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks dimana struktur (structure), substansi (substance), dan kultur (culture) berinteraksi. Dimana untuk menjelaskan latar belakang dan efek darisetiap bagiannya diperlukan peranan dari banyak elemen sistem tersebut.42 Dengan kata lain, suatu sistem hukum diandaikan untuk menjamin distribusi tujuan dari hukum secara benar dan tepat di antara orang-orang dan kelompok.Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm. 115. menjelaskan bahwa hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang
34
menjelaskan hukum harus selalu bersifat sistematis dan teratur. Kedua, hukum sama sekali tidak berada pada jalur sistem, yang memiliki pandangan menolak bahwa tidak selalu bersifat sistematis dan teratur, tetapi teori hukum juga bisa muncul karena situasi yang chaos atau dalam situasi yang tidak teratur (tidak sistematis). Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dalam penelitian sebagaimana dirumuskan diatas, maka teori yang digunakan merupakan teori hukum yang relevan. Hukum tidak hanya menjamin tetapi mengimbangi kepentingan umum dengan kepentingan individual, yang mencakup perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena pada hakikatnya hukum menghendaki penataan hubungan hubungan antar manusia, sehingga kepentingan masing-masing dapat terjamin dan tidak ada yang melanggar kepentingan pihak yang lain. Adapun unsur utama hukum dibutuhkan oleh manusia antara lain : (1) Ketertiban (law and order), dimana untuk mewujudkan ketertiban itu manusia memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah ; (2) Keadilan43, yang mengandung makna bahwa keadilan adalah kehendak yang bersifat tetap dan yang tidak ada akhirnya untuk memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya. Di sini peran hukum untuk menciptakan keadilan yang didambakan setiap orang dan yang menjadi takaran keadilan adalah hukum (justice according to the law)44; (3) Kepastian (legal certainty).
terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling terkait erat satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut 43 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Sinar Baru, Bandung, 1991. Keadilan distributiva mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi-bagi sumber daya itu kepada orangorang. Keadilan vindicativa , keadilan yang menuntut adanya keseimbangan antara prestasi dan kontra prestasi . Keadilan creativa , keadilan yang memberikan kepada masintg-masing bagian daya kreativitasnya dalam bidang kebudayaan masyarakat, dan Keadilan legalis , keadilan yang menutut ketaatan undang-undang. 44 Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysic of Moral (1785, halaman 421 ,sebagaimana dikutip dari HB Acton, Kant’s Moral Philosophy, Macmillan and Co Ltd, 1970, edisi Indonesia : Dasar-dasar Filasaf Moral : Elaborasi Terhadap Pemikiran Etika Immmanuel Kant, diterjemahkan oleh Muhammad Hardani, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hlm. 62.
35
Adapun dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan atau sasaran yang hendak dicapai, hal ini dapat dilihat dari beberapa teori antara lain : (1) Teori etis45, tujuan hukum itu semata mata adalah keadilan. Isi hukum semata-mata ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan yang tidak adil. Menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan yang tidak adil, sehingga kurang memperhatikan keadaan yang sebenarnya. Padahal hukum itu menetapkan peraturan umum sebagai petunjuk orang dalam pergaulan hidup, apabila hukum semata-mata mempunyai tujuan memberi setiap orang yang patut menerimanya, maka hukum dapat membentuk peraturan umum yang justru merupakan syarat agar dapat berfungsi sebagai petunjuk orang dalam pergaulan hidup ; (2) Teori utilistis, tujuan hukum semata-mata mewujudkan hal yang bermanfaat. Pada hakikatnya, tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kebahagiaan yang terbesar bagi orang dalam jumlah sebanyak-banyaknya.46 (3) Teori campuran47, isi
45
Van Apeldoom, Pengantar Ilmu hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hlm. 24-25, teori ini dianggap berat sebelah, karena melebih-lebihkan kadar keadilan hukum dan kurang memperhatikan keadaan yang senyatanya, dimana hukum harus membuat peraturan umum yang berarti adanya penyamarataan, sedangkan keadilan menuntut agar setiap perkara harus ditimbang tersendiri (suum cuiqie tribuere), yang berarti melarang penyamarataan karena harus dilihat secara kasusistis. Demikian juga teori utilitis, karena hanya memperhatikan hal yang bermanfaat , sehingga dengan meniadakan keadilan dari hukum berarti menyamaratakan hukum dengan kekuasaan. 46 Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum, Penerbit UNSRI, Palembang, 2007, hlm. 42. Utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dengan prinsip the principle of utility yang berbunyi the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi ataupun kebijakan pemerintah melalui pembentukan hukum. Dengan demikian, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Karena itu tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Sumaryono, Etika Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 160. Apabila dikaitkan dengan prinsip kegunaan / manfaat untuk kepentingan umum maka dapat dibenarkan tindakan negara dalam pengaturan pengembalian asset negara. Bahwa dasar pemikirannya terkait apa yang menurut Aquinas sebagai keadilan umum (justitiageneralis). Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaiikan demi kepentingan umum. 47 Van kant (dalam Utrecht, Pengantar Dalam ilmu Hukum, Ichtiar, Jakarta, 1966, hlm. 28.), tugas utama hukum adalah menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia, selain itu hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi eigenreichting (tiap perkara harus diselesaikan berdasarkan hukum)
36
hukum harus ditentukan menurut dua azas yaitu keadilan dan kemanfatan, hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap orang agar kepentingan itu tidak
diganggu.
Hukum
mengandung
pertimbangan
menentukan
kepentingan yang lebih besar daripada yang lain. Tugas utama hukum adalah menjamin adanya kepastian hukum (rechtzekerheid) dalam pergaulan manusia, sehingga tugas hukum harus menjamin keadilan dan kemanfaatan. Akan tetapi terkadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang bermanfaat, sehingga tugas hukum yang lainnya adalah menjaga agar
di
dalam
masyarakat
tidak
terjadi
main
hakim
sendiri
(eigenrichhting), dimana tiap perkara harus diselesaikan berdasarkan hukum. Oleh karena itu tugas hukum adalah membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum, disamping itu hukum tidak hanya menjamin tetapi mengimbangi kepentingan umum dengan kepentingan individual. Dalam tradisi yang demikian maka fungsi hukum adalah menjaga hak-hak manusia, melindungi hak-hak pribadi manusia, sehingga hukum berperan menciptakan aturan masyarakat yang baik sehingga hak-hak manusia terjamin.48 Oleh karena itu keberadaan hukum di berbagai bidang dalam masyarakat diharapkan akan mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana kontrol sosial, sarana legitimasi, sarana engineering dan sarana pendistibusian keadilan. Menurut pendapat Hoebel49, menyebutkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu : a. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang.
48
Hart dalam Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 178, hak baru timbul sesudah diakuinya kebebasan dan otonomi setiap manusia, dengan demikian keinsafan manusia akan martabatnya sebagai mahluk yang bebas dan otonom merupakan syarat mutlak yang memungkinkan hak itu diakui. 49 Hoebel dalam Esmi Warassih, Op Cit, 2005, hlm. 26.
37
b. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif. c. Menyelesaikan sengketa. d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat. Di samping itu, hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial. Demikian pula interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata hampir di seluruh sektor kehidupan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan oleh Parson sebagaimana dikutip oleh Esmi Warassih50, bahwa : “fungsi utama suatu sistem hukum bersifat integratif, artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat, dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial”. Apapun namanya maupun fungsi apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai suatu sistem, yaitu sebagai sistem norma. Pemahaman yang demikian itu menjadi penting, karena dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar, yaitu masyarakat atau lingkungannya. Pengertian sistem sebagaimana didefinisikan oleh beberapa ahli, antara lain Bertalanffy dan Kennecth Building51, ternyata mengandung implikasi yang sangat berarti terhadap hukum, terutama berkaitan dengan aspek : 1) keintegrasian, 2) keteraturan, 3) keutuhan, 4) keterorganisasian, 5) keterhubungan komponen satu sama lain, dan 6) ketergantungan komponen satu sama lain. Selanjutnya Shorde dan Voich menambahkan
50
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 27. 51 Bertalanffy dan Kennecth Building dalam Esmi Warassih, Ibid, 2005, hlm. 29.
38
pula bahwa selain syarat sebagaimana tersebut, sistem itu juga harus berorientasi kepada tujuan52. Berbagai pengertian hukum sebagai sistem hukum, dikemukakan antara lain oleh Lawrence Friedman53, bahwa hukum itu merupakan gabungan komponen struktur, substansi dan kultur : a. Komponen struktur, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. b. Komponen substantif, yaitu sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. c. Komponen kultur, yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum ini hendaknya dibedakan antara internallegal culture yaitu kultur hukum para lawyers and judges, dan external legal culture yaitu kultur hukum masyarakat luas. Selain itu menurut pendapat Leon L. Fuller54 dikatakan bahwa untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem maka harus dicermati apakah sudah memenuhi 8 (delapan) asas atau principles of legality berikut ini : 1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7) Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah. 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
52
Esmi Warassih, Ibid, 2005, hlm. 30. Lawrence Friedman dalam Esmi Warassih, Ibid, 2005, hlm. 30. 54 Leon L. Fuller dalam Esmi Warassih, Ibid, 2005, hlm. 31. 53
39
Bertolak dari rangkaian pembahasan tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam perumusannya sebagai hukum positif harus dipahami suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya kontradiksi atau pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman ini semakin penting artinya, apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan (eksistensi) hukum sebagai suatu sistem norma mempunyai daya guna dalam menjalankan tugasnya di masyarakat. Dalam setiap usaha untuk merealisasikan tujuan pembangunan, maka sistem hukum itu dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasikannya tujuan yang ingin dicapai. Sistem hukum dapat dikatakan efektif bila perilaku-perilaku manusia di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturanaturan hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan efektivitas hukum ini, persyaratan yang diajukan oleh Fuller di dalam penjelasan hukum sebagai suatu sistem norma kiranya perlu diperhatikan. Untuk mengukur berlakunya sistem hukum maka terdapat asas yang dinamakan Principles of Legality sebagai berikut : a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peratura. Yang dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc; b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan; c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu ditolak, maka peraturan itu tidak bias dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang; d. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bias dimengerti; e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain; f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; 40
g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehngga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientas; h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari55.
4. Teori Bekerjanya Hukum Sebagaimana diketahui defenisi hukum yang baku masih dicaricari dan belum didapatkan, oleh karena hukum mencakup aneka macam segi dan aspek, dan juga karena luasnya ruang lingkup hukum. Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase. Kompleksitas hukum menyebabkan hukum itu dipelajari dari berbagai sudut pandang, yang melahirkan berbagai disiplin hukum disamping filsafat hukum (philosophy of law) dan ilmu hukum (science of law), seperti teori hukum (theory of law), sejarah hukum (history of law),
sosiologi
hukum
(sociology
of
law),
antropologi
hukum
(anthropology of law), perbandingan hukum (comparative of law) logika hukum (logic of law), psikologi hukum (psychology of law) maupun politik hukum (politic of law)56. Achmad Ali dalam Imam Syaukani menyebutkan bahwa ada lebih dari lima puluh definisi dan pengertian tentang hukum. Perbedaan tersebut terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang
dan memahami apa yang disebut dengan hukum
itu.57 Oleh karena itu Sri Soemantri M., mengungkapkan bahwa hukum adalah seperangkat aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat 58.
55
Fuller dalam Esmi Warassih, Ibid, 2005, hlm. 24. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar Dasar Politik Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.1-2 57 Ibid, hlm. 20. 58 Ibid, hlm. 21. 56
41
Purnadi Purbacaraka sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto menyebutkan
terdapat ada 9 (sembilan) pengertian yang
diberikan oleh masyarakat mengenai arti hukum yaitu59 : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Hukum sebagai ilmu pengetahuan. Hukum sebagai disiplin. Hukum sebagai kaedah. Hukum sebagai tata hukum. Hukum sebagai petugas (hukum). Hukum sebagai keputusan penguasa. Hukum sebagai proses pemerintahan. Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai. Dalam pandangan lain hukum merupakan salah satu proses
(produksi) manusia (sebagai aktor) dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan ditelaah melalui interaksi yang berlangsung di masyarakat.
Fenomena
ini
mampu
menampilkan
hukum
lebih
mengedepankan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum.60 Mengenai efektifitas pelaksanaan hukum berkaitan erat dengan berfungsinya hukum dalam masyarakat. Apabila seseorang membicarakan berfungsinya hukum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Kelihatannya sangat sederhana, padahal dibalik kesederhanaannya tersebut ada hal hal yang sangat rumit. Selain itu,
Paul dan Dias61 mengajukan 5 (lima) syarat yang
harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu : 1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami; 2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan; 59
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 4. 60 Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol Dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 36. 61 Paul dan Dias dalam Esmi Warassih, Op Cit, 2005, hlm. 105-106.
42
3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum; 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa; 5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. Tentang berlakunya hukum dibedakan atas tiga hal, yaitu berlakunya secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Bagi studi hukum dalam masyarakat maka yang penting adalah hal berlakunya hukum secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas hukum. Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan antara realistas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action) dengan hukum dalam teori (law in theory), atau dengan perkataan lain, kegiatan ini akan memperlihatkan kaitan antara law ini book dan law in action62. Realitas hukum menyangkut perilaku dan apabila hukum itu dinyatakan berlaku, berarti menemukan perilaku hukum yaitu perilaku yang sesuai dengan ideal hukum. Dengan demikian apabila diketemukan perilaku yang tidak sesuai dengan (ideal) hukum, yaitu tidak sesuai dengan rumusan yang ada pada undang-undang atau keputusan hakim (case law), dapat berarti bahwa diketemukan keadaan dimana ideal hukum tidak berlaku. Hal tersebut juga mengingat bahwa perilaku hukum itu terbentuk karena faktor motif dan gagasan, maka tentu saja bila ditemukan perilaku yang tidak sesuai dengan hukum berarti ada faktor penghalang atau ada kendala bagi terwujudnya perilaku sesuai dengan hukum. Masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama 62
Satjipto Rahardjo, Op Cit, 2002, hlm. 19.
43
seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya
dalam
menciptakan
ketertiban
itu.
Kehidupan
dalam
masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib63. Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari suatu kompleks tatanan, yaitu terdiri dari sub-sub tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan, dengan demikian ketertiban yang terdapat dalam masyarakat itu senantiasa terdiri dari ketiga tatanan tersebut. Keadaan yang demikian ini memberikan pengaruhnya tersendiri terhadap masalah efektivitas tatanan dalam masyarakat. Efektivitas ini bisa dilihat dari segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang didasarkan pada hukum atau tatanan hukum. Dalam pada itu I. S. Susanto mengungkapkan bahwa untuk memahami makna hukum akan sangat ditentukan oleh persepsi orang mengenai apa yang disebut hukum64. Di sisi lain Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk memahami apa yang merupakan hukum perlu dipahami adanya relasi hukum, sains, fiksi dan mistisme. Adanya pergeseran dari logika analitis menjadi logika sintesis, dengan tawaran keilmuan bagi hukum yang asalnya berada pada domain terkotak menuju wilayah yang hukum terintegrasi dan rumit
65
.Sementara van
Hoecke atau Meuwissen menyebutkan beberapa ciri objektif dari hukum adalah sebagai berikut66 : 1) Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang. 2) Hukum memiliki satu sifat lugas dan objektif. 63
Satjipto Rahardjo, Op Cit, 2002, hlm. 13. Anthon F. Susanto, Hukum Dari Concilience Menuju Paradiga Hukum KonstruktifTransgresif, PT. Refina Aditama, Bandung, 2007, hlm. 23. 65 Ibid, hlm. 28. 66 Meuwissen. Terjemahan B. Arief Sidharta, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 35-37. 64
44
3) Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan perilaku manusia yang dapat diamati. 4) Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang dinamakan keberlakuan (berlaku, gelding) yaitu aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis . 5) Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal. 6) Hukum itu menyangkut objek dan isi dari hukum. Berbicara masalah hukum pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami terlebih dulu bidang pekerjaan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut Robert B. Seidman dalam Esmi Warassih mengatakan bahwa setiap Undang-undang, sekali dikeluarkan akan berubah, baik melalui perubahan normal, maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.67 Adapun pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dalam bekerjanya hukum ini, secara jelas dapat dilihat dari diagram WJ.Chambliss dan RB. Seidman sebagai berikut ini :
67
Esmi Warassih, Op Cit, 2005, hlm. 4.
45
BIDANG BEKERJANYA KEKUATAN PERSONAL SOSIAL
PEMBUAT UNDANG-UNDANG
NO
RM A
LIK UMP AN B A
PENEGAK HUKUM
AKTIVITAS PENERAPAN SANKSI
IK BAL AN UMP
AU AT M KU AIN G HU N L YAN N A RA T A A N TU NYA PER AN K I RA PE PER ENA RAP NG DIHA ME
BIROKRASI
PEMEGANG PERAN
UMPAN BALIK BIDANG BEKERJANYA KEKUATAN PERSONAL SOSIAL
BIDANG BEKERJANYA KEKUATAN PERSONAL SOSIAL
Gambar 1 Teori Bekerjanya Hukum (menurut WJ.Chambliss dan RB Seidman dalam Esmi Warassih) Dari gambar tersebut, tampak peranan dari kekuatan sosial yang tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Ke dalam “kekuatan sosial” ini termasuk kompleks tatanan lain yang telah dibicarakan. Dari arah panah-panah tersebut, dapat diketahui bahwa hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Kita lihat bahwa tingkah laku rakyat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial lainnya, yang tidak lain berarti kedua tatanan yang lain. Melihat permasalahan dalam gambaran yang diberikan oleh Chambliss dan Seidman tersebut, memberi
46
perspektif yang lebih baik dalam memahami bekerjanya hukum dalam masyarakat.68 Dari gambar sebagaimana tersaji di atas, maka dapat dikatakan bahwa69 : 1) Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. 2) Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya aktivitasaktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lainnya mengenai dirinya. 3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksi, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan. 4) Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku, sanksi-sanksi, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan umpan balik yang datang dari para pemegang peranan serta birokrasi. Teori yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman menggaris bawahi bahwa “hukum kurang konsisten dengan aturan sosial yang ada yaitu tidak perlu tergantung kepada ancaman sanksi hukum untuk mengatur (to induce) perilaku”70. Namun, tidak semua hukum konsisten dengan aturan sosial yang ada, dan salah satu keuntungan hukum, sebagai agen perubahan sosial adalah, bahwa pelanggaran hukum potensial seringkali dicegah oleh resiko yang aktual ataupun yang dibayangkan dan oleh kekerasan sanksi sanksi yang diterapkan kepada si pelanggar aturan (non compliance). Bahkan ancaman sanksi dapat mencegah orang dari ketidakpatuhan. Barangkali sanksi sanksi sebagian juga bertindak dengan mengharuskan sikap moralistik menuju kepatuhan.
68
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 21. Didik Setyo Handono, Implementasi Sanksi Pidana Pasal 78 ayat (7) dan ayat (8) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Di Kabupaten Ngawi, Tesis PPS UNS, Surakarta, 2007, hlm. 20-21. 70 Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1980, hlm. 100. 69
47
Penerapan hukum bila dikaitkan dengan badan penegak hukum, dipengaruhi
banyak
faktor
antara
lain
undang-undang
yang
mengaturnya/harus dirancang dengan baik, pelaksana hukum harus memusatkan tugasnya dengan baik. Dengan demikian hukum ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di masyarakat secara teratur. Pada saat tersebut diperlukan tindakan agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan. Untuk itu dibutuhkan mekanisme yang mampu untuk mengintegrasikan kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. Pada saat itu hukum mulai bekerja sebagai mekanisme pengintegrasi dengan melibatkan proses-proses fungsional lainnya, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan dan mempertahankan pola.71 Sehubungan dengan bekerjanya hukum di dalam masyarakat, maka faktor-faktor yang memberikan pengaruhnya adalah sebagai berikut : a. Pembuatan Hukum Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda, jika masalah pembuatan hukum itu hendak dilihat dalam hubungan dengan bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial, maka pembuatan hukum itu dilihat sebagai fungsi masyarakat. Di dalam hubungan
dengan
masyarakat,
pembuatan
hukum
merupakan
pencerminan dari model masyarakat. Menurut Chamblis dan Seidman, terdapat dua model masyarakat72, yaitu : 1) Model masyarakat yang didasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value consensus). Masyarakat yang demikian itu akan sedikit sekali mengenal adanya konflik-konflik atau ketegangan di dalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupannya, dengan demikian masalah yang dihadapi oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku di dalam masyarakat itu. 71 72
Ibid, hlm. 31. Ibid, hlm. 49.
48
2) Masyarakat dengan model konflik. Dalam hal ini masyarakat dilihat sebagai suatu perhubungan yang sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh sementara warga lainnya. Perubahan dan konflik-konflik merupakan kejadian yang umum. Nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat berada dalam situasi konflik satu sama lain, sehingga hal ini juga akan tercermin dalam pembuatan hukumnya. b. Bekerjanya Hukum di Bidang Pengadilan Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan dengan proses peradilan secara konvensional melibatkan pembicaraan tentang kekuasaan kehakiman, prosedur berperkara dan sebagainya. Masalahnya adalah bagaimana mengatur penyelesaian sengketa secara tertib berdasarkan prosedur-prosedur formal yang telah ditentukan. Keadaannya menjadi agak lain, apabila penyelesaian sengketa itu dilihat sebagai fungsi kehidupan sosial. Dalam hal ini yang menjadi masalah adalah bagaimana bekerjanya Pengadilan sebagai suatu pranata yang melayani kehidupan sosial. Di dalam kerangka penglihatan ini maka Lembaga Pengadilan tidak dilihat sebagai suatu badan yang merupakan bagian-bagian dari keseluruhan nilai-nilai dan proses-proses yang bekerja di dalam masyarakat tersebut73.
c. Pelaksanaan Hukum (Hukum sebagai Suatu Proses) Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri, melainkan hukum hanya akan dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga pelaksanaan hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula. Oleh karena itu masih diperlukan langkah yang memungkinkan ketentuan hukum dapat dijalankan. Pertama, harus ada pengangkatan pejabat sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum. Kedua, harus ada orang-orang yang melakukan perbuatan hukum. Ketiga, orang-orang tersebut 73
Ibid, hlm. 53.
49
menghadapi pegawai yang telah ditentukan untuk mencatatkan peristiwa hukum tersebut74.
d. Hukum dan Nilai-nilai di dalam Masyarakat Hukum menetapkan pola hubungan antar manusia dan merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat norma-norma yang disebut sebagai norma yang tertinggi atau norma dasar. Norma tersebut merupakan norma yang paling menonjol, yang paling kuat bekerjanya atas diri anggota-anggota masyarakat. Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu merujuk pada sesuatu hal yang sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Norma itu mewakili sesuatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual75. Adapun faktor-faktor yang juga mempengaruhi bekerjanya hukum, di samping faktor substansi, struktur dan kultur yang dikemukakan oleh Lawrence Friedman, maka faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum di masyarakat
menurut
Soerjono Soekanto76 antara lain :
(1) faktor hukumnya sendiri, (2) faktor penegak hukum, (3) faktor sarana dan fasilitas, (4) faktor masyarakat dan (5) faktor kebudayaan.
74
Ibid, 1983, hlm. 71. Ibid, hlm. 78. Menurut Radbruch nilai-nilai dasar dari hukum meliputi keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit) dan kepastian hukum. Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun diantara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis, yaitu sesuatu dapat dimengerti, karena ketiga-tiganya berisi tuntunan yang berlain-lainan dan yang satu dengan yang lain mengandung potensi untuk bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi kegunaannya bagi masyarakat. 76 Soejono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm. 8, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 75
50
Dalam sistem hukum yang tidak lain merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan sendiri-sendiri sesuai kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum, pada dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Karena kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi ke persoalan politik yang sarat diskriminasi. Pelaksanaan kefektifan hukum (pelaksanaan suatu kebijaksanaan atau suatu komitmen), bersangkutan dengan 5 (lima) faktor pokok, yaitu sebagai berikut77 : 1) 2) 3) 4) 5)
Faktor hukum itu sendiri; Faktor penegak hukum; Faktor sarana yang mendukung penegakan hukum; Faktor masyarakat (adresat); Faktor budaya. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur dari efektifitas penegakan hukum yang dapat djabarkan sebagai berikut : a. Faktor Hukum (Undang-Undang) Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain78 : 1) 2) 3) 4)
Undang-undang tidak berlaku surut. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. 5) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undangundang yan berlaku terdahulu. 77
Soerjono Soekanto, Ibid, hlm. 5. http://umum.kompasiana.com/2009/07/13/faktor-faktor-yang-mempengaruhipenegakan-hukum-di-indonesia 78
51
6) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. 7) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).
b. Faktor Penegak Hukum Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, di samping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah : 1) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi. 2) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi. 3) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi. 4) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material. 5) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum.
52
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
d. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.
e. Faktor Kebudayaan Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilainilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut : (1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman. (2) Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan dan (3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
5. Tinjauan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa Pembangunan
desa
bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan
melalui
penyediaan
pemenuhan
kebutuhan
dasar,
pembangunan sarana dan pasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
53
Konsekuensinya dari adanya tujuan tersebut maka Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikut sertakan masyarakat desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa untuk menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh APBDesa, swadaya masyarakat desa, dan/atau APBD Kabupaten/Kota. Dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa maka harus memperhatikan asas-asas yang mengatur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 antara lain sebagai berikut : (1) rekognisi yaitu pengakuan terhadap hak asal usul ; (2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa ; (3) keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ; (4) kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerjasama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa ; (5) kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong menolong untuk membangun desa ; (6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa ; (7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan ; (8) demokrasi yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata dan dijamin. Asas rekognisi dan subsidaritas yang melandasi pengembangan substansi UU desa ini merupakan kunci penting yang mengandung konsekuensi diberikannya kewenangan yang lebih luas dan alikasi anggaran lebih besar kepada desa guna mendukung kemandirian desa.
54
Adapun pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur antara lain :
Kedudukan, Wewenang, Kewajiban dan Hak
Kepala Desa dan Perangkat Desa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan bahwa yang dimaksud deengan Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas tersebut, dalam Pasal 26 ayat (2) Kepala Desa mempunyai wewenang antara lain sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g. h.
memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa ; mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa ; memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan aset Desa; menetapkan Peraturan Desa ; menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ; membina kehidupan masyarakat Desa ; membina ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa ; membina dan meningkatkan perokonomian Desa serta mengintegrasikan agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran desa ; i. mengembangkan sumber pendapatan Desa ; j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa ; k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakar Desa ; l. memanfaatkan teknologi tepat guna ; m. mengkoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif ; n. mewakili Desa di dalam dan di luar Pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peratran perundang-undangan dan ; o. melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut , Kepala Desa mempunyai hak sebagai berikut : (Pasal 26 ayat (3)) a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa ; b. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa ; c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan ; 55
d. mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan ; dan e. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat desa. Pada ketentuan huruf c dapat dilihat bahwa Kepala Desa berhak menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah dan jaminan kesehatan. Dalam pelaksanan hak-hak Kepala Desa tersebut diatur lebih lanjut melalui ketentuan Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai berikut : Penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa dianggarkan dalam APBDesa yang bersumber dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan besarnya penghasilan tetap, dan tunjangan yang bersumber dari
ADD
atau
peraturan
perundang-undangan
ditetapkan
oleh
Bupati/Walikota dengan Peraturan Bupati/Walikota. Sedangkan dasar penetapan Bupati/Walikota tersebut didasarkan dengan menggunakan penghitungan besaran Alokasi Dana Desa (ADD) yang diterima Kabupaten/Kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketentuan Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 mengandung arti bahwa untuk pembayaran penghasilan dan tunjangan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa diambilkan/bersumber dari dana Alokasi Dana Desa. Namun ketentuan Pasal 81 ini bertentangan/tidak sinkron apabila dilihat dari ketentuan Pasal 100 huruf
b Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa penghasilan tetap, dan tunjangan Kepala desa dibayarkan/diambilkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa). Padahal dana yang diperoleh dalam APBDes berasal dari sumber-sumber yang telah disebutkan pada ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menyebutkan antara lain :
ayat (1) Pendapatan Desa bersumber dari
(a) Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa ; (b) alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ; (c) bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota ; (d) alokasi dana desa yang
56
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota ; (e) bantuan keuangan dari anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota ; (f) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga ; dan (g) lain-lain pendapatan Desa yang sah. Lebih lanjut dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa diatur pula mengenai keuangan dan aset desa sebagaimana dalam ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 antara lain disebutkan : (1) Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. (2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan keuangan desa. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan bahwa keuangan dan aset desa adalah semua yang berhubungan dengan hak dan kewajiban dalam menyelenggarakan pemerintahan Desa dilaksanakan oleh Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) antara lain sebagai berikut : Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Adapun hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan Desa, belanja, pembiayaan dan pengelolaan keuangan desa. Mengenai pendapatan Desa diatur dalam Pasal 72 yang menyebutkan sebagai berikut : (1) Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari : a. pendapatan asli Desa terdiri dari atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa. b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ; c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota. d. alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota. 57
e.
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
bantuan keuangan dari Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan g. lain-lain pendapatan Desa yang sah. Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10 % (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah. Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10 % (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk. Bagi Kabupaten /Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Menurut ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf a tersebut antara lain
meliputi pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa, sehingga yang dimaksud dengan hasil usaha termasuk juga hasil dari Badan Usaha Milik Desa (BUMD) dan tanah bengkok. Sedangkan yang dimaksud Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan (Pasal 72 ayat (1) huruf b). Pendapatan Desa yang sah (huruf g) dimaksudkan antara lain pendapatan sebagai hasil kerjasama dengan pihak ketiga dan bantuan perusahaan yang berlokasi di desa.
58
Ketentuan Pasal 72 ayat (2) dimaksudkan bahwa besarnya alokasi anggaran yang peruntukkannya langsung ke Desa ditentukan 10 % (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap. Anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa. Demikian juga mengenai kekayaan desa yang berasal dari Aset Desa diatur dalam ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menyebutkan sebagai berikut : (1) Aset Desa dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil ertanian, hutan milik desa, mata air miliki desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa. (2) Aset lainnya milik desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain : a. kekayaan desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. b. kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis. c. kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. d. hasil kerjasama desa. e. kekayaan desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. (3) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal desa yang ada di desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada desa (4) Kekayaan milik desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa. (5) Kekayaan milik desa yang telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan kepada desa, kecuali yangsudah digunakan untuk fasilitas umum. (6) Bangunan milik desa harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan danditatausahakan secara tertib. Adapun pengelolaan kekayaan milik desa dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa dan meningkatkan pendapatan desa. Seluruh hasil pendapatan desa ditetapkan
59
penggunaannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja dan pembiayaan desa (Pasal 73 ayat (1)), dimana belanja desa diprioritaskan untuk memenhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah. Kebutuhan pembangunan tersebut meliputi tetapi tidak terbatas (kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang dibutuhkan masyarakat desa) pada kebutuhan primer (kebutuhan sandang, papan dan pangan), pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar), lingkungan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa, antara lain dapat dialokasikan imsentif kepada RT dan RW dengan pertimbangan bahwa RT dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban dan pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini adalah penataan Desa, Kewenangan Desa, Pemerintahan Desa, tata cara penyusunan
peraturan
di
desa,
keuangan
dan
kekayaan
Desa,
pembangunan Desa dan pembangunan kawasan pedesaan, badan usaha milik desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa serta pembinaan dan pengawasan Desa oleh Camat. Khusus mengenai pelaksanaan dana yang diterima oleh Desa (Dana Desa) diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Belanja Pendapatan Negara (APBN). Alokasi anggaran untuk Dana Desa ditetapkan sebesar 10 % dari total Dana Transfer ke Daerah dan akan dipenuhi secara bertahap sesuai dengan kemampuan APBN. Dalam masa transisi sebelum Dana Desa mencapai 10 %, anggaran Dana Desa
60
dipenuhi melalui realokasi dari Belanja Pusat dari program yang berbasis desa. Kementerian/lembaga mengajukan anggaran untuk program yang berbasis desa kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai Sumber Dana Desa. Besaran Dana Desa yang telah ditetapkan dalam APBN dialokasikan ke Desa dalam 2 (dua) tahap, pada tahap pertama, Menteri mengalokasikan Dana Desa kepada Kabupaten/Kota sesuai dengan jumlah desa berdasarkan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan selanjutnya dikalikan dengan indeks kemahalan konstruksi sebagai indikator yang mencerminkan tingkat kesulitan geografis. Pada tahap kedua, berdasarkan besaran Dana Desa setiap kabupaten/kota, maka Bupati/Walikota mengalokasikan Dana Desa kepada setiap desa. Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk menentukan bobot variabel tingkat kesulitan geografis Desa sebagai salah satu variabel perhitungan sesuai dengan karakteristik daerahnya. Adapun tingkat kesulitan geografis antara lain ditunjukkan oleh faktor ketersediaan pelayanan dasar serta kondisi infrastruktur dan transportasi. Mengenai penggunaan Dana Desa diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 yang menyebutkan sebagai berikut : (1) Dana Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, perberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. (2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Lebih lanjut penggunan Dana Desa mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa (Pasal 20). Prioritas penggunaan Dana Desa ditetapkan oleh Menteri (Pasal 21) yang menyebutkan sebagai berikut : (1) Menteri yang menangani Desa menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lambat 2 (dua) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran. (2) Penetapan prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan
61
pembangunan nasional, Menteri, dan Menteri lembaga pemerintah non kementrian.
teknis/pimpinan
Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Dana Desa diatur dengan Peraturan Menteri (Pasal 23). Ketentuan dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Peraturan Pemerintah ini mengandung dan menimbulkan persepsi yang berbeda karena dalam Pasal 20 disebutkan bahwa penggunaan dana desa mengacu pada Rencana Pembangunan Jangkah Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPD), sedangka di Pasal 21 dijelaskan bahwa prioritas penggunaan dana desa mengacu dan ditetapkan oleh ketetapan menteri.
B. Penelitian Yang Relevan Dalam mencari bahan-bahan hukum sekunder, Penulis sampai saat ini belum menemukan penelitian yang sejenis dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini mungkin mengingat bahwa ketentuan dan peraturan pelaksana mengenai Desa ini masih tergolong baru sehingga belum ada yang meneliti mengenai pelaksanaan ketentuan perundangan-undangan ini.
C. Kerangka Berpikir Bertitik tolak pada konstruksi hukum terhadap struktur pemerintahan Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa maka ada dua konsep tentang Desa yaitu Pemerintahan Desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan desa dan kepentingan masyarakat setempat. Hal ini tercermin dari ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat (yang disebut selanjutnya Desa), adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
62
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Adapun tugas dan tanggungjawab dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Desa adalah merupakan kewajiban Kepala Desa dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa yang didalam melaksanakan
tugas
dan
kewajibannya
tersebut
mendapatkan
hak
sebagaimana diatur menurut ketentuan Pasal 26 ayat (3) huruf c yaitu menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah serta mendapat jaminan kesehatan. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 66 antara lain disebutkan adanya penghasilan tetap yang bersumber dari dana perimbangan APBN yang diterima oleh Kabupaten/Kota dalam APBD , menerima tunjangan yang bersumber dari APBDesa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Namun dalam pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, khususnya mengenai hak atas penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Ngawi tidak dapat dilaksanakan dengan baik sesuai amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Oleh karena itu untuk menggambarkan permasalahan yang akan dikaji digambarkan dalam bagan berikut ini :
63
Latar Belakang Masalah
Permasalahan : 1. Penghasilan Tetap Kepala Desa & Perangkat Desa 2. Langkah yg harus ditempuh
Landasan Teoritik
Teori : Kesejahteraan Implementasi Sistem Hukum Bekerjanya Hukum
Metode Penelitian
Peraturan PerUUan : UU No.6 Tahun 2014 PP Nomor 43 Tahun 2014 PP Nomor 60 Tahun 2014
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Aspek Struktur Kelembagaan
Substansi Perundang-Undangan
Kultur / Budaya Aparatur / Masyarakat
Langkah-Langkah Yang Harus Dilakukan Gambar 2 Kerangka Berpikir
64