BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka UPT T&R merupakan bagian Badan Narkotika Nasional. Sebagai suatu organisasi yang menangani permasalahan narkoba mempunyai tanggungjawab dibidang pelayanan Terapi dan Rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba. BNN
dalam
visinya
mewujudkan
masyarakat
Indonesia
bebas
dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada tahun 2015. Salah satu keberhasilan UPT T&R BNN sebagai suatu organisasi antara lain adalah sebuah program rehabilitasi. Dalam arti luas keberhasilan sebagai organisasi tidak hanya diukur dari kemampuan merehabilitasi tubuh dan mental pecandu, tetapi juga dari keberhasilan mengintegrasi mereka kembali ke masyarakat. Jika ukuran itu yang dipergunakan, tidak banyak lembaga rehabilitasi yang berani mengklaim program mereka efektif. Pada kenyataannya banyak pecandu sering menemui jalan buntu, ketika mereka pulih dan siap terjun kedalam masyarakat, penolakan di masyarakat terhadap mereka jauh lebih berat sehingga menimbulkan bentuk frustasi seperti itu dapat mengakibatkan terjadinya relapse ( kembali menjadi pecandu ). Menurut John Wilson, prinsip dasar dari Rehabilitasi adalah pembinaan. Pembinaan tidak hanya menjadi tanggung jawab dari petugas tetapi yang terpenting merupakan juga tanggung jawab dari residen itu sendiri. Artinya, bahwa si pecandu bertanggung jawab terhadap perilakunya selama di Rehabilitasi. Pendekatan dalam program Rehabilitasi menempatkan pecandu tidak saja menjadi objek dari pembinaan melainkan juga sebagai subjek dari pembinaan. Pendekatan ini menempatkan pecandu sebagai mitra bagi petugas1. Pembinaan sendiri didefinisikan menurut Paulus (2005) ….mengubah manusia yang bermasalah menjadi manusia yang tidak bermasalah. Penyebab kesulitan utama adalah terletak pada keunikan manusia itu sendiri. Manusia sangat berbeda dengan benda alam lainnya seperti kayu, batu yang dapat dirubah semau orang yang mengerjakannya. Manusia adalah mahluk yang memiliki kemauan, perasaan, selera dan kemampuan berfikir, sehingga sulit bahkan tidak mungkin untuk dirubah oleh orang lain, kecuali oleh dirinya sendiri. Berdasarkan 1
Direktorat Jenderal Pelayanan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI 2005, “Metode Therapeutic
17 Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
18
pertimbangan pribadi dengan menggunakan berbagai potensi khusus yang dimilikinya, berdasarkan kenyataan itu maka upaya mengubah manusia membutuhkan pegetahuan yang memadai tentang manusia dan segala keunikannya. Pengetahuan itu bukan hanya dibutuhkan untuk memahami orang yang akan diubah tapi untuk memahami diri pengubah itu sendiri (dalam hal ini Pembina). Hanya orang yang mengenal dirinya yang dapat menjadi seorang Pembina, karena pada dasarnya instrument utama seorang Pembina adalah dirinya sendiri,khususnya sikap dan emosionalnya. Dengan uraian ini dapat ditegaskan bahwa pembinaan harus dipraktekkan secara profesional. 2.2. Terapi dan Rehabilitasi di Indonesia Program Rehabilitasi dimaksud merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu atas upaya medik, mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vocasional untuk meningkatkan kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki,baik fisik,mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. BNN sebagai Badan Nasional yang menangani Treatment dan Rehabilitasi dan UPT Lido sebagai pusat rujukan korban penyalahgunaan narkoba tingkat nasional sudah seharusnya melaksanakan program ini secara maksimal. Ada 3 pengertian dalam program yaitu2 : 1. Realisasi atau implementasi suatu kebijakan 2. Terjadi dalam waktu relatif lama – bukan kegiatan tunggal tetapi jamak dan berkesinambungan. 3. Terjadi dalam organisasi yang melibatkan sekelompok orang
2.3. Teori Organisasi Istilah organisasi berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani organon, yang berarti alat3. Dalam perkembangannya, banyak ahli mengemukakan definisi yang berbeda-beda mengenai organisasi, meskipun pada dasarnya definisi-definisi tersebut tidak mengandung perbedaan yang prinsip.
2
Modul Evaluasi Pembangunan, Program Magister Konsentrasi Pembangunan Sosial PPS – FISIP UI, Depok,2004 3 Yayat Hayati Djatmiko. Perilaku Organisasi. Bandung:CV Alfabeta. 2004, h. 1.
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
19
Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan4. Menurut Chester I. Barnard, organisasi adalah suatu sistem kegiatan dari yang dikoordinasikan secara sadar oleh dua orang atau lebih. Definisi ini mengandung elemen-elemen atau persyaratan organisasi sebagai berikut: 1.
Kegiatan
dilaksanakan
dalam
bentuk
koordinasi
yang
disadari,
dipertimbangkan, dan bertujuan. 2.
Organisasi menuntut komunikasi dan itikad baik para anggota dalam mencapai tujuan bersama.
3.
Peranan individu-individu sangat penting sehingga perlu dipelihara pengembangan motivasi dan penyertaannya dalam pembuatan keputusan. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Hari Lubis menyebutkan bahwa
organisasi adalah kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang
saling
berinteraksi menurut pola tertentu, sehingga setiap anggotanya memiliki fungsi dan tugas masing-masing, yang sebagai satu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan batas-batas yang jelas, sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya5. Sementara itu, Hadari Nawawi mengemukakan bahwa meskipun banyak definisi yang berbeda-beda menyangkut organisasi, namun pada dasarnya organisasi memiliki unsur-unsur yang sama dan tidak berubah,yaitu6: 1.
Sejumlah manusia (dua orang atau lebih) Manusia adalah unsur utama yang membentuk dan menggerakkan organisasi. Di antara anggota organisasi terdapat pembagian peran, yaitu peran utama adalah pemimpin organisasi sebagai pengendali, sedang yang kedua adalah anggota organisasi sebagai pihak yang dikendalikan.
2.
Nilai / norma falsafah organisasi
4
Stephen P. Robbins. Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi (Alih bahasa: Jusuf Udaya).Jakarta: Arcan. 1994, h. 4. 5 Hadari Nawawi. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress. 2003, h. 9 6
Ibid, h. 9-11
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
20
Anggota organisasi memiliki dan mengembangkan nilai bersama yang dihormati, dihargai, dijalankan, dan dijadikan bersama dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. Nilai itu tidak hanya memberikan warna pada kehidupan organisasi, tetapi membudaya, diterima dan berperan sebagai budaya organisasi serta dijadikan pedoman bagi semua anggota organisasi dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. 3.
Tujuan bersama Setiap anggota organisasi memiliki kepentingan masing-masing,namun hanya kepentingan bersama yang dapat mempersatukannya. Kepentingan yang sama tersebut menjadi tujuan organisasi. Tujuan organisasi yang ideal adalah untuk mewujudkan, mempertahankan, dan mengembangkan eksistensi organisasinya, agar mampu memenuhi kepentingan bersama.
4.
Proses kerjasama Organisasi menghimpun sejumlah manusia sebagai anggotanya akan lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan, apabila anggotanya bekerjasama atau saling mendukung. Kerjasama itu harus dilakukan secara terus
menerus
sesuai
dengan
wewenang
dan
tanggung
jawab
masingmasing. Kerjasama dapat dilakukan secara formal dengan mengikuti prosedur dan dapat pula dilakukan secara informal berupa interaksi antar individu sebagai anggota organisasi secara pribadi. Fayol mengusulkan empat belas prinsip organisasi yang dapat digunakan secara universal, yaitu7: 1.
Pembagian kerja. Untuk melaksanakan pekerjaan perlu adanya pembagian tugas dan tanggung jawab terhadap masing-masing orang dan unit kerja.
2.
Wewenang. Wewenang merupakan hak seorang anggota organisasi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tanggung jawab pekerjaannya. Agar efektif, wewenang seseorang harus sama dengan tanggung jawabnya.
7
Stephen P. Robbins. Op. Cit, h. 39-40.
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
21
3.
Disiplin. Para pegawai harus taat dan menghormati peraturan yang mengatur organisasi. Disiplin yang baik merupakan hasil dari kepemimpinan yang efektif, suatu saling pengertian yang jelas antara manajemen dan pekerja tentang peraturan organisasi serta penerapan hukuman yang adil bagi yang menyimpang dari peraturan tersebut.
4.
Kesatuan komando. Setiap pegawai seharusnya menerima perintah hanya dari seorang atasan.
5.
Kesatuan arah. Setiap kelompok aktivitas organisasi mempunyai tujuan sama haruslah dipimpin oleh seorang atasan dengan menggunakan sebuah rencana.
6.
Mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan individu.
7.
Remunerasi. Para pegawai harus digaji sesuai dengan jasa yang diberikannya.
8.
Sentralisasi. Sentralisasi merujuk pada sejauhmana para bawahan terlibat dalam pengambilan keputusan.
9.
Rantai skalar. Garis wewenang dari manajemen puncak sampai ketingkat yang paling rendah merupakan rantai skalar. Komunikasi dalam organisasi harus mengikuti rantai skalar ini. Akan tetapi, jika dengan mengikuti rantai tersebut justru tercipta kelambatan, komunikasi silang dapat dilakukan jika disetujui oleh semua pihak.
10.
Tata tertib. Tata tertib merupakan aturan yang harus diikuti oleh semua anggota dalam organisasi.
11.
Keadilan. Para pimpinan harus selalu baik dan berlaku jujur terhadap para bawahan.
12
Stabilitas masa kerja para pegawai.
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
22
Manajemen
harus
menyediakan
perencanaan
personalia
atau
kepegawaian yang teratur dan memastikan bahwa untuk mengisi kekosongan harus selalu ada pengganti. 13
Inisiatif. Para pegawai harus mampu melakukan pekerjaan dan menciptakan pekerjaan sesuai dengan porsinya.
14.
Esprit de corps. Mendorong atau memberikan semangat setiap pegawai akan membangun keselarasan dan persatuan di dalam organisasi. Salah satu rekomendasi Drug Free ASEAN 2015 adalah penurunan angka
relapse 10% per tahun. Dimulai dengan tahun 2009. Relapse adalah suatu proses yang terjadi karena beberapa faktor pemicu dimana
seseorang
telah
dinyatakan
abstinence
(sembuh)
dan
kembali
menggunakannya. Relapse dimulai dengan suatu perubahan pada pikiran, perasaan, atau perilaku, atau dengan kata lain suatu kerinduan ( sugesti ) pada sesuatu, baik disadari atau tak disadari sehingga menggunakannya. 2.4. Pemahaman tentang ‘kekambuhan’ ( relapse ) Kekambuhan adalah hal yang umum terjadi pada proses pemulihan8. Beberapa penelitian sebagaimana yang dikutip oleh Doweiko ( 1999) melaporkan bahwa 90 hari pertama setelah lepas
masa perawatan detoksifikasi, adalah
periode paling rawan bagi penderita untuk kembali kambuh. Penyebab dari kekambuhan diantaranya disebabkan karena lima faktor9, yaitu; 1. Kepribadian yang adiktif ( addictive personality ) misalnya manipulatif, malas, bohong, detensif, implusif, kompulsif, dan lain – lain. 2. Sistem kepercayaan yang salah ( faulty belive system ) seperti : rasionalisasi terhadap zat adiktif, mengganti zat adiktif yang biasa dipakai dengan yang lain ( dari heroin berganti ke ganja, misalnya), dan lain – lain. 8 9
Dr.dr. Adnil Edwin Nurdin,SpKJ. Madat Dr.dr. Adnil Edwin Nurdin,SpKJ. Madat
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
23
3. Rujukan lama ( old reference ) adalah apabila penderita kembali pada pola perilaku lamanya, seperti misalnya: a. Kembali ke tempat di mana ia biasa mendapatkan zat adiktif b. Bersentuhan kembali pada barang – barang yang berhubungan dengan zat adiktif ( misalnya : air aqua gelas yang biasa digunakan untuk mencuci jarum, kartu telepon yang biasa digunakan untuk membagi serbuk heroin ), jarum suntik dan lain – lain. c. Bergaul kembali dengan orang – orang yang juga menyalagunakan zat. 4. Kemampuan bertahan yang tidak terpenuhi ( inadequate coping skills), yiatu kurangnya kemampuan untuk mengatasi masalah dan tekanan. 5. Kebutuhan spiritual dan emosional yang tidak terpenuhi. Misalnya, terlalu sensitif, hilang kepercayaan terhadap Tuhan, dan lain – lain. 2.5. Penyebab Relapse Sisi Internal dan Eksternal Dalam terapi dan rehabilitasi dengan memakai model 12 langkah, pemulihan adiksi mempunyai dua sisi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah proses didalam diri yang harus dilalui oleh seorang recovering addict untuk mencapai tujuan program pemulihan yaitu: ¾ Bebas obat, ¾ Bebas kriminal, ¾ Produktifitas dan ¾ Kehidupan yang sehat. Faktor eksternal dalam pemulihan adalah semua faktor luar yang mendukung kearah pencapaian empat tujuan tersebut. Faktor – faktor eksternal tersebut antara lain: ketrampilan manajerial baik dalam bidang operasional dan organisasi. Terapi Vokasional, Support – group, After Care, dukungan keluarga, masyarakat, dan instansi terkait dan semua pihak yang secara tidak langsung
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
24
membantu terapi dan rehabilitasi. Tanpa keseimbangan kedua faktor tersebut, pemulihan akan menjadi timpang. Prinsip – prinsip Terapi dan Rehabilitasi ¾ Tetap tinggal dalam lingkungan Terapi dan Rehabilitasi dalam jangka waktu yang relatif panjang merupakan pendukung efektifitas pemulihan. ¾ Kemungkinan kambuh dimasa perawatan memerlukan pemantauan yang berkesinambungan. Adiksi adalah luka batin dan narkoba terutama berasal dari keluarga yang disfungsional10. Kebanyakan keluarga asal pasien adalah keluarga disfungsional. Disfungsionalitas terjadi ketika fungsi utama setiap anggota keluarga tidak dapat dijalankan dengan sempurna. Penyebab disfungsionalitas antara lain kurangnya komunikasi dalam keluarga, kurang kasih sayang / perhatian, masalah sosial ekonomi, kesehatan, perbedaan
prinsip, ketegangan orang tua, pertentangan
dalam keluarga, dll. Masa aman seorang recovering addict menurut Earnie Larson, seorang pakar kambuh dari AS adalah 3 tahun sejak masa bersih. Setelah melewati 2 bulan pertama sejak masa bersih obat, maka selama 16 bulan berikutnya adalah masa mengembalikan kehidupan emosional yang tertunda akibat luka batin dan narkoba. Masa rawan After Care dalam hubungannya dengan kambuh hanya dapat dilewati jika faktor internal dan eksternal program 12 langkah dilakukan dengan konsisten dan jujur. Faktor eksternal utama dalam terapi dan rehabilitasi model 12 langkah adalah pertemuan para recorvering addicts yang merupakan support group dalam bentuk Narkotika Anonimus (NA) dan Alanon. NA diperuntukkan untuk para 10
Pecandu dan Integrasi Sosial, Media Indonesia, 2/2/2008/ Veronica Colondam
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
25
recorvering narkotika sedangkan Alanon adalah pertemuan untuk keluarga dari para anggota NA. NA dan Alanon mengambil bentuk pertemuan anonimus dimana keanggota berdasarkan keinginan untuk tidak memakai narkoba, untuk hari ini. Tanpa struktur organisasi, pertemuan NA bisa berlangsung dimana saja dimana dua atau tiga orang berkumpul untuk berbagi pengalaman, harapan dan kekuatan dalam masa recovery mereka. Setiap langkah harus dilakukan tanpa keterikatan akan waktu. Bersih dan Waras dalam waktu yang panjang merupakan tolak ukur keberhasilan para anggota. Setelah selesai program terapi dilembaga tertentu, maka support group dalam bentuk NA dan Alanon akan membantu proses pemulihan. Program ini dapat dipakai sebagai model Program
After Care dan pendampingan disaat
kambuh terjadi11.
2.6. Perubahan Yang Terjadi saat Relapse Memotivasi individu yang mengalami ketergantungan pada zat adiktif untuk mau menghentikan pola penggunaan zatnya bukanlah hal yang mudah. Prochaska & DiClemente ( dalam
Bennet,1989) mengatakan bahwa ada tahap – tahap
perubahan yang dialami oleh seseorang pecandu yang mempengaruhi proses pemulihannya.
11
Pecandu dan Integrasi Sosial, Media Indonesia, 2/2/2008/ Veronica Colondam
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
26
Tahap – tahap perubahan tersebut tergambar pada skema berikut ini12 : Maintenance merupakan tahap pecandu mempertahankan perubahan dan komitmen untuk pulih. Di tahap ini, partisipasi lingkungan positif dalam negosiasi integrasi sosial pecandu dalam masyarakat sangat kritikal.
Sementara itu, relaps terjadi di saat pecandu gagal mempertahankan perubahan di fase maintenance dan terpaksa masuk kembali ke tahap Precontemplation. Maka proses perubahanpun akan mulai dari nol kembali
Permanent
Maintenance Action adalahtahap ketika pecando mulai mengambil keputusan untuk mencari pertolongan dan berusaha untuk keluar dari masalah atau kecanduannya.
Action
Keputusan dan Relaps adalah dua tahap transisional – tahap kritis yang menentukan nasib akhir pecandu
Relapse
Precontemplation
Tahap Precontemplation adalah tahap dimana pecandu belum sadar akan masalah yang menghadang, karena itu mereka belum memikirkan tentang perubahan
Enter Here
Decision Contemplation
Temporary Keputusan untuk berubah terjadi di antara tahap contemplation dan action. Ditahap ini pecandu dapat keluar sementara jika masih ragu untuk pulih.
Tahap Contemplation adalah tahap dimana pecandu telah menyadari adanya kebutuhan untuk berubah. Mulai menimang – nimang pro dan kontra, untung rugi kondisi kecanduannya. Memberi pandangan dan motivasi kepada pecandu pada tahap ini dapat menstimulir pecandu untuk mengambil keputusan yang tepat
Model Procanska & DiClementi : Cycle of Change
12
Pecandu dan Integrasi Sosial, Media Indonesia 2 / 2 / 2008 oleh Veronica Colondam
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
27
Penjelasan tahap perubahan tersebut sebagai berikut : •
Precontemplation adalah tahap dimana pecandu umumnya belum mau mengakui bahwa perilaku penggunaan zatnya merugikan diri sendiri, keluarga dan lingkungannya. Pada tahap ini seorang pecandu akan menampilkan mekanisme pertahanan diri agar mereka dapat tetap mempertahankan pola ketergantungan zatnya. Jenis mekanisme pertahanan diri paling sering muncul adalah penyangkalan (denial) dimana pecandu selalu ‘mengelak’ atas kenyataan – kenyataan negatif yang di timbulkan akibat penggunaan zatnya. Jenis mekanisme pertahanan diri lain adalah mencari pembenaran (rasionalisme), dimana pecandu akan selalu berdalih untuk melindungi perilaku ketergantungannya.
•
Contemplation adalah tahap dimana pecandu mulai menyadari bahwa perilaku penggunaan zatnya merugikan diri sendiri, keluarga dan lingkungannya, tetapi sering merasa ragu – ragu ( ambivalen ) untuk menjalani proses pemulihan. Proses wawancara motivasional sangat menentukan apakah pecandu kembali pada tahap precontemplation diatas atau justru semakin termotivasi untuk pulih.
•
Preparation
adalah tahap dimana individu mempersiapkan diri untuk
berhenti dari pola penggunaan
zatnya. Umumnya yang bersangkutan
mulai mengubah pola pikirnya yang dianggap dapat membantu usahanya untuk dapat bebas dari zat •
Action adalah tahap dimana seorang pecandu dengan kesadaran sendiri mencari pertolongan untuk membantu pemulihannya.
•
Maintenance adalah tahap dimana seorang pecandu berusaha untuk mempertahankan keadaan bebas zatnya (abstinensia).
•
Relapse adalah tahap dimana seorang pecandu kembali pada pola perilaku penggunaan zatnya yang lama sesudah ia mengalami keadaan bebas zat.
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
28
Tabel.2 : Model Perubahan Tipe Model
Mengapa orang kembali menggunakan narkoba?
Dimana letak tanggung jawab ini?
Model Moral atau model puriten (Jonathan Edwards, 1754)
Degradasi standar moral dan kejatuhan manusia dalam dosa sebagian menganggap godaan iblis – sementara kritik mengatakan kekuatan kehendak manusia tetap berada diatas pengaruh iblis
Individu bertanggung jawab langsung atas perbuatannya baik di dunia ( kehancuran hidup) atau diakhirat ( masuk neraka) jika tidak bertobat.
Model Biologis
Kecenderungan genetik yang terdapat dalam DNA seseorang yang ’klop’ ketika mencoba dan menemukan rasa high tertentu yang ditimbulkan narkoba Toleransi akan timbul ketika seseorang mencoba narkoba dalam kadar tertentu (akan menjadi pecandu)
Individu ’menyerah’ kepada kecendrungan badani Eksperimental sama dengan membuka kesempatan diri untuk kecanduan Adiksi adalah proses PROGRESIF sampai pecandu kehilangan kendali diri.
Model Psikologis: Model Terkendali
Perilaku candu dapat ”dipelajari” secara tidak sadar (learned unconsciously) sebagai ”maladapted habit”
Individu sendirilah yang dapat merubah nasib. Memiliki motivasi kuat dan tujuan jelas sangatlah menolong
Model Sosiologis
Kecanduan adalah fungsi utama dari kondisi sosial dimana ia berada ( contoh ; ketersediaan dan lingkungan buruk )
Individu tidak bertanggungjawab atas kecanduannya Social rewards yang “mengkondisikan ” individu menjadi pecandu.
Bagaimana dan mengapa perubahan terjadi? Individu menyadari kesalahan, bertobat dan menyerahkan diri kepada Yang Maha Kuasa untuk berintervensi dalam hidupnya Perubahan terjadi karena ”anugerah ” Tuhan yang disertai kehendak kuat dalam berjuang untuk sembuh Adiksi adalah proses yang progresif hingga mencapai kondisi”rock bottom” yang memaksa pecandu berubah perubahan terjadi saat pecandu mengakui ia tidak berdaya terhadap adiksinya. Dan mereka memerlukan kuasa lebih tinggi (yakni TUHAN) untuk mengembalikan kewarasan mereka. Individu mengalami sebuah self realization yang membangun self awareness tentang betapa pentingnya untuk mengendalikan adiksi mereka Individu hanya dapat mulai merasa bertanggungjawab dan perlu untuk berubah jika berada di dalam lingkungan yang baik yang secara positif mendukung proses perubahannya.
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
29
Bukan saja kemampuan otak, daya ingat, fungsi luhur dan logika pecandu yang menurun, melainkan efek psikologis kronis penyalahgunaan narkoba sungguh terlihat. Pengaruh psikologis pecandu lebih dari sekadar kecenderungan atas sugesti yang membawa mereka ke kondisi relaps. American Journal of Psychology mencatat setidaknya delapan efek psikologis kronis akibat kecanduan: depresi dan perubahan mood yang tidak terkendali, terganggunya persepsi, logika dan kemampuan mengambil keputusan terganggu, insomnia, hiperaktif, sering panik dan khawatir berlebih – lebihan yang mengarah kepada kondisi psikosis. Kerusakan pada kecanduan jauh lebih luas, rumit, dan menetap. Kerumitan ini disebabkan interaksi berbagai faktor seperti stres lingkungan, motivasi awal penyalahgunaan, konteks sosial serta faktor genetik dan neurobiologik dari sindroma defisiensi reward yang menyebabkan kepekaan terhadap cue lingkungan. Individu ini mengalami craving bila berhadapan dengan cue lingkungan yang menyebabkan relaps13. Penyalahgunaan zat psikoaktif adalah masalah lama kemanusian yang bersifat universal. Alkohol sebagai universal vice adalah zat psikoaktif yang pertama digunakan didunia lama untuk tujuan rekreasi14. Tetapi bila zat yang digunakan bersifat adiktif, penghentian penggunaan zat itu menimbulkan gejala putus zat. Penggunaan di repetisi untuk mengatasi gejala aversive itu. Efek zat mengatasi gejala aversive itu juga berperan sebagai reward, sehingga terjadi reinforcing negatif yang menimbulkan ketergantungan (dependece). Kedu reinforcement pada satu pola perilaku mengakibatkan penguatan repetisi pola perilaku itu sehingga terjadi kecanduan (addiction)15. Rabinowitz pada tahun 1998 menyatakan bahwa pada kecanduan opioid, meskipun telah didetoksifikasikan dengan metode UROD ( Ultra Rapid Opioid Detoxification), kemungkinan relaps masih 43 %. Formulasi psikodinamika baru mempostulasikan
adanya
defek
kepribadian,
bermanifestasi
sebagai
ketidakmampuan pecandu untuk mengendalikan efek yang menyakitkan seperti kebosanan, rasa bersalah, marah, dan anxietas16.
Melatarbelakangi motivasi
13
Dr. dr. Adnil Edwin Nurdin, SpKJ, Madat Sejarah Dampak Klinis dan Penanggulangannya. hal2 Dr. dr. Adnil Edwin Nurdin, SpKJ, Madat Sejarah Dampak Klinis dan Penanggulangannya. hal4 15 Dr. dr. Adnil Edwin Nurdin, SpKJ, Madat Sejarah Dampak Klinis dan Penanggulangannya.hal 53 16 Dr. dr. Adnil Edwin Nurdin, SpKJ, Madat Sejarah Dampak Klinis dan 14
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
30
penyalahgunaan zat, ketergantungan, dan relaps pada bekas pecandu, merupakan daya emosional kepribadian. 2.7. Prosedure penanganan relapse Relapse dapat terjadi dalam proses pelayanan ataupun setelah melalui tahapan pelayanan ( dinyatakan absitence), terhadap hal inti ditempuh dua prosedur sebagai berikut : a.
Relapse yang terjadi dalam proses pelayanan Apabila relapse terjadi dalam proses pelayanan misalnya pada saat residen
melaksanakan home leave, business pass dan lain – lain, maka prosedur penanganan relapse dilakukan sebagai berikut : 1)
Staf / pekerja sosial merasa mempunyai kecurigaan, oleh karena itu diadakan tes urine yang diambil langsung oleh staf / pekerja sosial.
2)
Apabila hasil tes tersebut positif, diinstruksikan kepada residen untuk duduk dan merenung di depan kursi khusus (the chair) dengan membawa kertas merah untuk menulis kejadian / perbuatan yang telah dilakukan dengan tujuan untuk merenung kembali.
3)
Setelah residen mengakui kemudian dihadapkan dengan satu tim yang terdiri seorang moderator, dan dua penulis yang akan mengorek apabila terjadi kebohongan ( guilt confrontation ).
4)
Jika tim merasa bahwa residen masih bohong, maka tim menginstruksikan residen kembali duduk.
5)
Apabila
tim
merasa
residen
telah
mengakui
semua
perbuatannya langkah berikutnya dilaksanakan general meeting. 6)
General meeting yaitu forum yang membahas apabila salah satu residen melakukan pelanggaran terhadap salah satu atau lebih dari “tiga larangan” (sex, drugs, violence), kejadian ini akan
Penanggulangannya. hal 71
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
31
sangat mempengaruhi stabilitas komunitas, sehingga staf / pekerja sosial harus mampu meredam keadaan tersebut. General meeting diikuti oleh semua komunitas dimana mereka semua mengajukan pertanyaan terhadap apa yang terjadi dengan nada pelan atau keras untuk menyatakan kekecewaannya atau perilaku residen tersebut. 7)
Forum ini akan memberikan sanksi yang paling berat (extracurricular/ limbo) ditentukan oleh semua komunitas, dan apabila penilaian semua komunitas menyatakan bahwa residen tersebut tidak bisa berubah lagi maka komunitas berhak untuk mengeluarkan residen dari panti (terminasi)
8)
Sanksi extracurricular/limbo diberikan selama 2 sampai dengan 3
minggu
tergantung
perilaku
yang
ditunjukkan
saat
menjalankan sanksi tersebut. b. Relapse yang terjadi pada eks–residen (residen telah selesai mengikuti program) Apabila relapse terjadi pada eks – residen maka terhadapnya diharuskan menjalani proses penerimaan awal kembali untuk menentukan program yang harus dijalankan atau disebut sebagai proses clean – up. Proses pecandu untuk sembuh merupakan perjuangan berat, namun bukan akhir dari sebuah perjalanan panjang yang masih harus ia tempuh. Ini justru sebuah awal dari hidup baru yang harus diperjuangkan : bagaimana mendapat pekerjaan yang layak, memulai karier
atau membina keluarga. Pada
kenyataannya banyak pecandu justru sering menemui jalan buntu. Ketika mereka pulih dan siap terjun ke dalam masyarakat, terjadilah penolakan terhadap mereka. Bentuk frustasi seperti itu dapat mengakibatkan terjadinya relapse ( kembali menjadi pecandu ).17 Banyak teori dipaparkan para ahli dalam menganalisis proses perubahan pecandu. Ahli sosiologi menyatakan pengaruh lingkungan dan faktor eksternal lainnya seperti the distribution of power in a relationship, faktor kultural ( tidak enak hati dan ketersediaan narkoba), ahli psikologi mengatakan faktor diri sendiri 17
Pecandu dan Integrasi Sosial, Media Indonesi 02 Februari 2008, Veronica Colondam
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
32
sebagai pencetus perubahan. Dalam sebuah perubahan proses internalisasi memegang peranan penting. Aliran psikologi kognitif yang dimotori Orford juga berpendapat bahwa orang yang meningkat kesadarannya untuk berubah ketika kebutuhannya muncul saat ia mulai membandingkan dan menimbang unsur pro & kontra, untung & rugi akan kondisi kecanduannya. Motivasi pecandu untuk berubah total dapat terjadi melalui peristiwa penting dalam hidupnya, seperti menikah, punya anak, mengalami pengalaman spiritual atau hal lain. Model Orford itu kelihatannya memiliki keampuhan menjelaskan proses perubahan. Intinya, semua faktor ( baik internal maupun ekternal ) harus ’bermain cantik’ dalam proses internalisasi pecandu untuk berubah dan didukung oleh lingkungan yang kondusif. Kekuatan motivasi untuk berhenti merupakan sikap yang ditetapkan sebagai faktor pemicu perubahan. Beberapa ahli sosiologi dengan perspektif interactionist juga menyebutkan motivasi sebagai modal sentral perubahan. Setidaknya, kali ini para ahli psikologi dan sosiologi menemukan satu benang merah, yakni motivasi. Motivasi penting hadir dalam awal sebuah proses perubahan. Mengapa dan bagaimana seseorang menemukan motivasi tersebut, semua tergantung pada setiap individu serta situasi dan kondisi yang menyertainya
2.8. Penanggulangan Relapse Tabel 3 : Faktor Protektif (NIDA Notes, 2005) Keluarga
Supervisi orang tua Keterikatan orang tua – anak timbal balik. Keterikatan antara kedua orang tua. Acara rutin libur bersama keluarga. Orang tua menentukan kegiatan anak.
Mengutamakan
Sebagian besar waktu senggang untuk aktifitas intelektual.
fungsi
Berfikir secara matematik dan konsepsional.
intelektual
Menganggap sekolah faktor terpenting. Hubungan baik dengan guru. Anak ingin menjadi orang besar dibidang intelektual dalam masyarakat.
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
33
Anak memastikan harus masuk perguruan tinggi. Orang tua ingin anak masuk perguruan tinggi. Orang tua menganggap pendidikan tinggi sangat penting. Peer group
Peer group memiliki nilai kehidupan konvensional. Orang tua menilai positif peer group anak.
Lain – lain
Harga diri anak ( self esteem) Anak ikut dalam ritual religi Anak ikut dalam aktifitas sosial. Anak dekat dengan orang dewasa di luar keluarga.
2.9. Peran Lingkungan Sosial Peran
lingkungan
sosial
dapat
untuk
menimbulkan
perilaku
penyalahgunaan zat. Seorang anak yang mempunyai cita – cita, penuh harapan dan percaya diri, meskipun memiliki profil genetik yang sama dengan penyalahgunaan zat, ternyata tidak akan menyalahgunakan zat meskipun berada di lingkungan yang penuh dengan substance availability. Semua orang yang normal ingin mengaktualisasikan dirinya. Bagaimana caranya ia berprestasi sangat ditentukan pola asuh keluarga dan kapasitas fungsi luhurnya yang diturunkan secara genetik.
2.10. Kerentanan untuk Relaps Dalam penelitian ditemukan bahwa 4 % penderita ketergantungan heroin yang rentan mengalami relaps menjadi pecandu ( hard core addict ). Gambaran ini diperjelas oleh penelitian Dadang Hawari yang menemukan bahwa dari satu kasus kecanduan heroin yang terdeteksi
terdapat 9 – 10 kasus yang tidak
terdeteksi18. Prinsip utama keberhasilan pendidikan mulai dari rumah sampai masyarakat adalah model peran ( role model ). Hasil survey yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional dalam penelitiannya tahun 200719 menunjukkan: 18
Dr. dr. Adnil Edwin Nurdin, SpKJ, Madat Sejarah Dampak Klinis dan Penanggulangannya. hal 225. 19 Majalah Sadar No 19/II/2008
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
34
1. Keteladanan Orang tua
59,15%
2. Disiplin dalam keluarga
32,44%
3. Pendidikan agama dalam keluarga 47,33% 4. Hubungan baik dalam keluarga
28,32%
Objektif Program Kepulihan Keluarga Dibuat Untuk Membantu Anggota Keluarga Mantan Pecandu Sebagai Berikut • Membimbing anggota keluarga menjadi “Recovery Partner” kepada Recovering Addict-Child • Mengaktifkan
anggota
keluarga
mantan
pecandu
mengusahakan
pengembangan & perbaikan diri
2.11. Keterlibatan FSG Faktor keluarga memegang peranan penting sebagai potensi untuk mendukung atau mengancam pemulihan. Codependency dikenal sebagai penyakit keluarga dan untuk itu mereka juga memerlukan pertolongan. Untuk memenuhi keperluan ini, diadakan Family Week
dimana anggota keluarga diminta
berpartisipasi untuk menjalani program selama beberapa hari, agar mendapatkan bantuan dalam menghadapi kondisi mereka. Para anggota keluarga akan tinggal didalam satu fasiliti khusus, oleh konselor keluarga dalam menjalani berbagai sesi dan seminar20. Keterlibatan keluarga dalam treatment dan rehabilitasi ketergantungan narkoba merupakan suatu keharusan. Pendekatan keluarga adalah sebuah terapi. Pada praktek terapi keluarga, fokus terapi adalah keluarga sedangkan pada terapi dan rehabilitasi ketergantungan narkoba fokus terapi adalah pecandu. Keterlibatan keluarga untuk tahapan pemulihan dan faktor – faktor yang menunjang. Baik klien maupun keluarga, keduanya melalui proses perubahan. Adapun tahapan dari pemulihan keluarga (gabung terapi keluarga ´ Bepko dan Krestan (1985) dan tahap terapi keluarga bagi penyalahguna narkoba menurut Heath and Stanton (1998) adalah :
20
Buku Psikososial, BNN 2008
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008
35
1. Mencapai abstinen / keadaan bebas narkoba – Sistem dalam keluarga tidak dalam keseimbangan namun masih memungkinkan ada perubahan yang positif. 2. Penyesuaian dengan pencapaian abstinen / keadaan bebas narkoba – Keluarga berfungsi dengan mengembangkan dan stabilisasi dari sistem yang baru terbentuk. 3. Pemeliharaan abstinen / keadaan bebas narkoba jangka panjang – Keluarga harus seimbang dan stabil dengan gaya hidup yang baru dan lebih sehat.
Pada saat perubahan mulai terjadi, proses pemulihan klien dan keluarga berjalan searah satu dengan yang lain, pada saat klien dan keluarga berubah, keduanya harus menyesuaikan
gaya hidup yang mendukung kesadaran atau
abstinensia dan sistem keluarga yang stabil. Pecandu narkoba nantinya akan kembali ke keluarga, maka budaya di dalam keluarga harus dapat menjamin klien mempertahankan pemulihannya. Agar dapat tercapai, maka anggota keluarga pun harus berubah. Terlepas dari pulih atau tidak seorang klien, melalui terapi keluarga, sistem keluarga yang tidak efektif dapat dirubah. Dengan berubahnya sistem dalam keluarga maka diharapkan lingkungan keluarga berubah menjadi sebuah lingkungan yang sehat bagi semuanya khususnya bagi klien dalam proses pemulihan dari penyalahgunaan narkoba menunjang keberhasilan ( Liddle 1999).
Universitas Indonesia Faktor-Faktor..., Margaretha Retno Daru Dewi, Program Pascasarjana, 2008