7
BAB II KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Mengenai Perpajakan 1. Pengertian Pajak Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara dalam menjalankan pemerintahan dan untuk membiayai pembangunan nasional masa kini dan masa mendatang. Oleh karena itu, pajak memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional. Dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa : Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang – undang. Dengan tidak mendapat imbalan secara langsung, dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan pengertian pajak menurut Adriani yang dikutip oleh Waluyo (2011 : 2) menyatakan bahwa : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
7
8
Waluyo (2011 : 3) juga mengutip definisi tentang pajak menurut Rochmat Soemitro, yaitu : Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari beberapa definisi mengenai pajak tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang unsur – unsur yang terdapat pada pengertian pajak, yaitu : a. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara dan iuran tersebut berupa uang (bukan barang). b. Berdasarkan dengan ketentuan undang – undang serta peraturan pelaksanaannya. c. Sifatnya dapat dipaksakan. d. Pembayaran pajak tidak memperoleh kontraprestasi individual, sehingga masyarakat yang membayar pajak tidak ada hubungan secara langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontraprestasi individual. e. Pajak digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yaitu pengeluaran – pengeluaran pemerintah untuk kemakmuran rakyat. 2. Fungsi Pajak Pajak memiliki peranan penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran
9
pembangunan. Terdapat dua fungsi pajak menurut Waluyo (2011 : 6), yaitu : a. Fungsi Penerimaan ( Budgeter ) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran – pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh : dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. b. Fungsi Mengatur ( Reguler ) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
dibidang
sosial
dan
ekonomi.
Sebagai
contoh
:
dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. Kedua fungsi tersebut merupakan peran penting pajak. Dalam perkembangannya, peran tersebut menjadi lebih luas dengan adanya fungsi redistribusi dan demokrasi. Fungsi redistribusi adalah fungsi yang lebih menekankan unsur pemerataan dan keadilan masyarakat. Fungsi ini terlibat dengan adanya lapisan tarif dalam pengenaan pajak, yaitu tarif pajak yang lebih besar untuk tingkat atau lapisan penghasilan yang lebih tinggi. Fungsi demokratis merupakan salah satu wujud gotong royong kegiatan pemerintah dan pembangunan. Fungsi ini sekarang sering dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat khususnya pembayaran pajak. Apabila pajak telah dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik.
10
Jadi kesimpulannya adalah pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah yang diperoleh dari rakyat yang berfungsi untuk membiayai pengeluarannya
baik
pengeluaran
rutin
maupun
pengeluaran
pembangunan dan mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pajak untuk mencapai tujuan pemerintah. 3. Pengelompokan Pajak Pajak dibagi menjadi tiga kelompok (Mardiasmo, 2011 : 5), yaitu : a. Menurut golongannya 1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak penghasilan 2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak pertambahan nilai b. Menurut sifatnya 1) Pajak subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak penghasilan 2) Pajak obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak pertambahan nilai dan Pajak penjualan atas barang mewah
11
c. Menurut lembaga pemungutnya 1) Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak penghasilan dan Bea Materai 2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak
provinsi
(pajak
kendaraan
bermotor)
dan
Pajak
kabupaten/kota (pajak hotel dan pajak restaurant) 4. Sistem Pemungutan Pajak Pada dasarnya terdapat tiga sistem pemungutan pajak yang berlaku (Suandy, 2011 : 128),yaitu : a. Official Assesment System Official Assesment System adalah sistem pemungutan pajak dimana jumlah pajak yang harus dilunasi atau terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh fiskus atau aparat pajak. Jadi, dalam sistem ini wajib pajak bersifat pasif sedangkan fiskus bersifat aktif. Ciri – cirinya adalah : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2) Wajib pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
12
b. Self Assesment System Self Assesment System adalah sistem pemungutan pajak, dimana wajib pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Untuk mensukseskan Self Assesment System ini, dibutuhkan beberapa prasyarat dari wajib pajak, antara lain kesadaran wajib pajak, kejujuran wajib pajak, kemauan membayar pajak dari wajib pajak, dan kedisiplinan wajib pajak. Ciri – cirinya adalah : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri. 2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System With Holding System adalah sistem pemungutan pajak dimana besarnya pajak terutang dihitung dan dipotong oleh pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud antara lain pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah. Ciri – cirinya adalah : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
13
5. Asas Pemungutan Pajak Dalam Waluyo (2011 : 13) terdapat empat asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith, yaitu : Equality, Certainty, Convenience, dan Economy. a. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. b. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang – wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus bayar, serta batas waktu pembayaran. c. Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat – saat yang tidak menyulitkan wajib pajak. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn.
14
d. Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak. 6. Hambatan Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2011 : 8), hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi : a. Perlawanan Pasif Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, dapat disebabkan antara lain : 1) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. 2) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat. 3) Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. b. Perlawanan Negatif Perlawanan ini meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditunjukkan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain : 1) Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang – undang. 2) Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang – undang (penggelapan pajak).
15
B. Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan 1. Definisi Wajib Pajak Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan (Suandy, 2011 : 107). 2. Kewajiban dan Hak Wajib Pajak Kewajiban wajib pajak (Mardiasmo, 2011 : 56) antara lain sebagai berikut : a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. b. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. c. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar. d. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri) dan memasukkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam batas waktu yang telah ditentukan. e. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. f. Jika diperiksa wajib : 1) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak atau obyek yang terutang pajak.
16
2) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan. g. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh pemerintah untuk keperluan pemeriksaan. Hak wajib pajak (Mardiasmo, 2011 : 56) antara lain sebagai berikut : a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding. b. Menerima tanda bukti pemasukan SPT. c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan. d. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT. e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak. f. Mengajukan permohonan penghitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak. g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak. h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan surat ketetapan pajak yang salah. i.
Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
j.
Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak.
17
k. Mengajukan keberatan dan banding. 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) a. Definisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Dalam KUP Pasal 2, menjelaskan pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. b. Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Menurut Mardiasmo (2011 : 26) NPWP memiliki dua fungsi sebagai berikut : 1) Sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. 2) Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. c. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila (Mardiasmo, 2011 : 28) : 1) Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh wajib pajak dan/atau ahli warisnya apabila wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. 2) Wajib
pajak
badan
penggabungan usaha.
dilikuidasi
karena
penghentian
atau
18
3) Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dalam hal suami dari wanita tersebut telah terdaftar sebagai wajib pajak. 4) Wajib pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia. 5) Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. 4. Surat Pemberitahuan (SPT) a. Definisi Surat Pemberitahuan (SPT) Perhitungan pajak dilaporkan oleh wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan. Definisi Surat Pemberitahuan (SPT) menurut Undang – Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, obyek pajak dan/atau bukan obyek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. b. Jenis – jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut Suandy (2011 : 155) jenis Surat Pemberitahuan dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) Surat Pemberitahuan (SPT) Masa adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan
untuk
melaporkan
perhitungan
dan/atau
19
pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat. 2) Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan adalah surat yang oleh wajib pajak
dipergunakan
untuk
melaporkan
perhitungan
dan
pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 bulan kalender atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 bulan kalender. Sedangkan tahun pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. c. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut (Suandy, 2011 : 154) SPT bagi wajib pajak adalah berfungsi
sebagai
sarana
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : 1) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak. 2) Penghasilan yang merupakan obyek dan/atau bukan obyek pajak. 3) Harta dan kewajiban.
20
4) Pembayaran dari pemotong atau badan lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan peraturan perundang – undangan yang berlaku. d. Batas Waktu Penyampaian SPT Batas waktu penyampaian SPT adalah (Mardiasmo, 2011 : 35) : 1) Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak. Khusus untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir
bulan
berikutnya setelah berakhir masa pajak. 2) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak. 3) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak badan, paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak. e. Sanksi Terlambat atau Tidak Menyampaikan SPT Apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar (Mardiasmo, 2011 : 36) : 1) Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. 2) Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya.
21
3) Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. 4) Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
C. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Simon James dkk yang dikutip oleh Gunadi (2005) yang dimaksud dengan kepatuhan pajak (tax compliance) adalah sebagai berikut: Kesediaan dari wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa perlu dilakukan pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi hukum ataupun administrasi. Kepatuhan wajib pajak adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan
melaksanakan
hak
perpajakannya. Kewajiban pajak tersebut berupa tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dalam dua tahun terakhir, tidak mempunyai tunggakan untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda, dan membayar pajak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 2. Jenis - Jenis Kepatuhan Ada dua jenis kepatuhan menurut Devano dan Rahayu (2006 : 110) yang dikutip Falah (2012), yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material.
22
a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan undang – undang perpajakan. b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi undang – undang perpajakan. 3. Kriteria Wajib Pajak Patuh Sesuai
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, wajib pajak dapat dikatakan patuh apabila memenuhi syarat sebagai berikut : a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir. b. Dalam 2 (dua) tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut – turut. c. SPT Masa yang terlambat itu tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pajak berikutnya. d. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak. e. Tidak pernah dijatuhi hukuman dalam melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir. Proses penetapan wajib pajak patuh dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak setelah menerima daftar normative wajib
23
pajak patuh dari Kantor Pelayanan Pajak paling lambat akhir bulan Januari. 4. Kriteria Wajib Pajak Tidak Patuh Surat penetapan wajib pajak patuh dicabut oleh Kepala Kantor Wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dalam hal memenuhi kriteria pembatalan, yaitu : a. Terhadap wajib pajak tersebut dilakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan. b. Wajib pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk semua jenis pajak. c. Dalam hal wajib pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak, terdapat penyampaian SPT Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pajak berikutnya. d. Wajib pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) masa pajak berturut – turut atau lebih untuk semua jenis pajak. e. Dalam suatu masa pajak ternyata tidak memenuhi kriteria atau tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sejak masa pajak yang bersangkutan.
24
D. Kerangka Pemikiran Teori yang mendasari wajib pajak patuh dalam penelitian ini adalah Teori Motivasi. Adapun beberapa teori motivasi yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut : Teori Pengharapan (Victor Vroom, 1964) Teori pengharapan mengatakan bahwa tingkat usaha yang tinggi mengarah pada performa tinggi dan performa tinggi mengarah pada pencapaian hasil yang diinginkan. Teori pengharapan adalah salah satu teori tentang motivasi kerja yang paling populer karena memusatkan perhatian pada ketiga bagian persamaan motivasi (input, performa dan pendapatan). Victor Vroom juga memiliki pendapat sebagai berikut, bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah. Teori Goal Setting (Edwin A. Locke) A.Locke menyatakan bahwa perilaku seseorang sangat ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki dan keinginan – keinginan. Pemahaman seseorang terhadap tujuan yang di kehendaki sangat penting pada Goal Setting Theory. Adapun tujuan yang dikehendaki disimbolkan dalam beberapa atribut antara lain adalah goal specificty yaitu ukuran kuantitatif. Sedangkan goal difficulty adalah tingkat kesulitan pencapaian tujuan. Dan goal intensity
25
adalah proses penetapan tujuan. Akan tetapi pada prinsipnya tujuan daripada setiap manusia berbeda, karena manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda – beda pula dan pada saat – saat tertentu menuntut suatu kepuasan. Dimana hal – hal yang dapat memberikan kepuasan pada suatu kebutuhan adalah menjadi tujuan dari kebutuhan tersebut. Dan prinsip umum yang berlaku bagi kebutuhan manusia adalah setelah kebutuhan satu terpenuhi atau terpuaskan, maka setelah beberapa waktu kemudian akan muncul kembali dan menuntut kepuasan yang lain lagi, begitu seterusnya. 1. Pengaruh Tingkat Kesadaran Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Irianto (2005) dalam Widayati (2010) menguraikan beberapa bentuk kesadaran membayar pajak yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak. Terdapat tiga bentuk kesadaran utama terkait pembayaran pajak. Pertama, kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Dengan menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan. Pajak disadari digunakan untuk pembangunan negara guna meningkatkan kesejahteraan warga negara. Kedua, kesadaran bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara. Ketiga, kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan.
26
Wajib pajak akan membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa wajib pajak yang memiliki kesadaran terhadap perpajakan akan rela untuk memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi pajak dengan cara mau membayar kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, diharapkan kesadaran wajib pajak untuk membayar kewajiban perpajakannya akan meningkat. Kesadaran wajib pajak atas perpajakan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, semakin tinggi tingkat kesadaran seseorang untuk berkeinginan membayar pajak maka semakin tinggi pula tingkat kepatuhan wajib pajaknya. Oleh sebab itu, tingkat kesadaran diduga berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak, sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Ha1 : Tingkat kesadaran berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak 2. Pengaruh Pengetahuan dan Pemahaman Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pengetahuan pajak adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah wajib pajak dari tidak tahu menjadi tahu tentang perpajakan, baik terhadap unsur pajak, fungsi pajak, peran pajak, dan sistem yang berlaku, sehingga menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara
27
terutama mengenai unsur pajak yang bersifat memaksa dan kontraprestasi (Falah, 2012). Wajib pajak yang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai perpajakan akan sadar untuk patuh dan memenuhi semua kewajiban perpajakannya. Dengan demikian, wajib pajak yang memiliki pengetahuan luas mengenai perpajakan maka akan semakin terdorong kemauannya untuk membayar pajak. Kemauan
membayar
pajak
secara
tidak
langsung
akan
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian oleh Widayati (2010)
dalam
penelitiannya
mengenai
Faktor
–
Faktor
yang
Mempengaruhi Kemauan Untuk Membayar Pajak, memberikan hasil faktor pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan pajak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemauan membayar pajak dengan nilai signifikasi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000. Oleh sebab itu, tingkat pengetahuan wajib pajak diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Ha2 : Pengetahuan dan pemahaman berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak
28
3. Pengaruh Kualitas Pelayanan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam kaitannya dengan instansi pemerintah yang memiliki kegiatan public service atau yang berhubungan dengan kepentingan umum, Ditjen Pajak harus mampu memberikan pelayanan pajak yang optimal kepada wajib pajak sehingga wajib pajak merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Beberapa permasalahan yang masih terlihat dalam kegiatan public service harus segera ditangani agar tercapainya pelayanan yang optimal. Permasalahan tersebut menurut Marsono (2009) dalam Falah (2012) adalah berkenaan dengan prosedur yang tidak jelas, berbelit – belit, waktu penyelesaian tidak pasti, dan tata cara yang kurang tepat, hingga sikap dan perilaku petugas pelayanan yang tidak mengindahkan etika sebagai “pelayan masyarakat” dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Parasuraman dkk. (1994) yang dikutip oleh Falah (2012) terdapat lima indikator yang digunakan dalam menilai suatu kualitas pelayanan, yaitu : a. Kehandalan (Reliability) Kehandalan merupakan kemampuan untuk memberikan jasa seperti yang dijanjikan dengan akurat dan terpecaya sesuai yang diharapkan pelanggan tercermin dari ketepatan waktu dan layanan yang sama untuk semua orang dan tanpa kesalahan.
29
b. Ketanggapan (Responsiveness) Instansi berupaya untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat. Jika mengalami kegagalan, dengan cepat menangani kegagalan tersebut secara profesional (responsive). c. Jaminan (Assurance) Yaitu pengetahuan, keramahan, dan kemampuan para karyawan dalam melaksanakan tugas secara spontan yang menjamin kinerja baik sehingga menimbulkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat. d. Empati (Emphaty) Berusaha memahami keinginan pelanggan dengan memberikan perhatian atau sentuhan secara ikhlas kepada setiap pelanggan. e. Wujud Fisik (Tangibility) Berusaha memberikan bukti awal kualitas pelayanan yang tercermin dari penampilan fasilitas fisik yang dapat diandalkan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ade (2012) mengenai Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Sikap Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi menunjukkan bahwa variabel kualitas pelayanan memiliki nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel yaitu 6,723 > 1,985. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel kepatuhan pelaporan wajib pajak orang pribadi. Artinya, apabila kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas sangat baik maka kepatuhan wajib pajak juga akan meningkat. Dengan meningkatnya kualitas pelayanan
30
pajak diharapkan dapat meningkatkan pula kepatuhan wajib pajak. Oleh sebab itu, kualitas pelayanan pajak diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Ha3 : Kualitas pelayanan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak 4. Pengaruh Pemeriksaan Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dalam sistem self assessment, pemeriksaan pajak merupakan salah satu bentuk penegakkan hukum (law enforcement) yang dilakukan oleh pemerintah. Pemeriksaan pajak mempunyai fungsi dengan tiga cara, yaitu sebagai alat edukasi, sebagai alat pendeteksi pelanggaran pajak dan alat untuk pencegahan terhadap wajib pajak lain yang bermaksud untuk melanggar (Gunadi, 2005). Semakin banyak petugas pajak yang melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak, maka semakin sedikit tingkat kecurangan yang mungkin dilakukan oleh wajib pajak dan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hal tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan Fauziah (2011) mengenai Pengaruh Sikap Wajib Pajak dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak menunjukkan bahwa variabel
31
pemeriksaan pajak memiliki nilai signifikan lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,027 yang artinya variabel pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Oleh sebab itu, pemeriksaan pajak diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Ha4 : Pemeriksaan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak 5. Model Konseptual Berdasarkan kerangka teoritis dari pemaparan di atas, maka dapat digambarkan suatu model konseptual yang diteliti dalam penelitian ini dan dapat dilihat pada gambar 2. 1 : Gambar 2.1 Model Konseptual
Kesadaran wajib pajak (X1)
Pengetahuan dan pemahaman wajib pajak (X2)
Kualitas pelayanan pajak (X3)
Pemeriksaan perpajakan (X4)
Kepatuhan wajib pajak (Y)
32
E. Penelitian Terdahulu 1. Gunadi (2005) Dalam penelitiannya yang meneliti tentang “Fungsi Pemeriksaan Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pajak (Tax Compliance)” terdapat dua variabel, yaitu pemeriksaan perpajakan (variabel independen) dan kepatuhan pajak (variabel dependen). Hasil dari penelitian ini berdasarkan analisa pelaksanaan pemeriksaan dan kajian dengan data mulai tahun 2001 sampai 2003, diketahui bahwa pelaksanaan pemeriksaan terhadap SPT yang masuk berkisar rata – rata 12,8%, yang menunjukkan bahwa tax audit coverage masih relatif rendah. Sedangkan bila menganalisa jumlah pemeriksa pajak dibandingkan jumlah wajib pajak yang diperiksa juga menunjukkan tingkat yang sangat rendah yaitu sebesar 5%, hal ini menunjukkan bahwa beban kerja pemeriksa pajak terlalu tinggi. 2. Widayati (2010) Dalam penelitiannya yang meneliti tentang “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemauan untuk Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas” terdapat tiga variabel independen yang akan diuji, yaitu kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan pajak, dan persepsi yang baik atas efektivitas sistem perpajakan. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kemauan membayar pajak. Penelitian ini dilakukan di KPP Pratama Jakarta Gambir Tiga. Analisis koefisien determinasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa 19% variabel
33
kemauan membayar pajak dipengaruhi oleh variabel kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman peraturan pajak dan persepsi sistem perpajakan.
Berdasarkan
uji
parsial,
variabel
pengetahuan
dan
pemahaman tentang peraturan pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemauan wajib pajak untuk membayar pajak. 3. Shiva Fauziah (2011) Dalam penelitiannya yang meneliti tentang “Pengaruh Sikap Wajib Pajak dan Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak” terdapat dua variabel independen yang akan diuji, yaitu sikap wajib pajak dan pemeriksaan pajak. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak. Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong. Hasil dari penelitian ini berdasarkan uji koefisien determinasi menunjukkan bahwa sebesar 25,1% variabel kepatuhan wajib pajak dapat dijelaskan oleh variabel sikap wajib pajak dan pemeriksaan pajak, sedangkan sisanya 74,9% dijelaskan oleh variabel lainnya diluar persamaan regresi. 4. Nur Falah (2012) Dalam penelitiannya yang meneliti tentang “Pengaruh Tingkat Kesadaran, Tingkat Pengetahuan, Kualitas Pelayanan, dan Penegakkan Sanksi
Perpajakan
Terhadap
Kepatuhan
Wajib
Pajak
dalam
Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan” terdapat empat variabel independen yang akan diuji, yaitu tingkat kesadaran, tingkat pengetahuan, kualitas pelayanan, dan penegakkan sanksi
34
perpajakan. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak. Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tamansari Dua. Hasil dari penelitian ini berdasarkan uji koefisien determinasi menunjukkan bahwa sebesar 59% variabel
kepatuhan
wajib
pajak
dalam
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan badan dapat dijelaskan oleh variabel tingkat
kesadaran, tingkat
pengetahuan, kualitas pelayanan, dan
penegakkan sanksi perpajakan, sedangkan sisanya 41% dijelaskan oleh variabel lainnya diluar persamaan regresi. 5. Made Adi Mertha Prabawa (2012) Dalam penelitiannya yang meneliti tentang “Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Sikap Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi” terdapat dua variabel independen yang akan diuji, yaitu kualitas pelayanan dan sikap wajib pajak. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan pelaporan wajib pajak. Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Utara. Hasil dari penelitian ini berdasarkan uji koefisien determinasi menunjukkan bahwa sebesar 60,4% variabel kepatuhan pelaporan wajib pajak dapat dijelaskan oleh variabel kualitas pelayanan dan sikap wajib pajak, sedangkan sisanya 39,6% dijelaskan oleh variabel lainnya diluar persamaan regresi.