7
BAB II KERANGKA TEORI
A. Deskripsi Teori 1.
Tanah Liat Tanah adalah tubuh alam yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat
bekerjanya gaya alam terhadap bahan-bahan alam dipermukaan bumi. Tubuh alam ini dapat mengalami deferensiasi dan membentuk horizon-horizon tanah mineral maupun organik yang kedalamannya beragam dan berbeda-beda sifatnya dengan bahan induk yang terletak di bawahnya dalam hal morfologi, kimiawi, fisika maupun kehidupan biologi. Hal ini berpengaruh kepada jenis interaksi antara tanah dengan polutan (Syamsiah, 1993: 5). Tanah memiliki ukuran partikel yang bervariasi, dari ukuran 100 mm sampai ukuran lebih kecil dari 0,001 mm. Tanah liat atau lempung merupakan material alam berpori yang memiliki fraksi anorganik. Tanah terdiri atas fragmen-fragmen batuan dan mineral dalam berbagai ukuran dan komposisi. Berdasarkan ukurannya, dikenal tiga fraksi utama yaitu: (1) fraksi kasar (2-0,050 mm) yang disebut pasir, (2) fraksi halus (0,050-0,002 mm) yang disebut debu, dan (3) fraksi sangat halus (<0,002 mm) yang dinamakan lempung (Kim H. Tan, 1982: 93). Tanah liat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah liat yang berasal dari daerah Sangiran, Jawa Tengah. Tanah liat sangiran memiliki komposisi silika amorf yang kadarnya mencapai sekitar 55-70 %. Komponen tanah liat sangiran yang sangat penting dalam proses adsorpsi adalah silika yang terdapat pada daerah antara 1400 dan 800 cm-1 yang disebabkan oleh getaran Al-OH dan Si-O, yang disebut daerah sidik jari. Selain itu pada daerah antara 4000 dan 3000 cm-1 adanya getaran regang dari air terjerap atau gugus OH oktahedral, yang disebut daerah gugus fungsional (Kim H. Tan, 1982: 145). Tanah liat sangiran memiliki struktur yang sama dengan zeolit yaitu kerangka tiga dimensi yang terbentuk oleh tetrahedral AlO4 dan SiO4 dengan rongga di
8
dalamnya terisi ion-ion logam alkali, alkali tanah, atau besi (Na, K, Mg, Ca dan Fe) dan molekul air yang cenderung dapat bergerak bebas dalam ruang intermilar struktur rongga. Untuk mempermudah proses pertukaran kation-kation, padatan tanah liat sangiran dibuat homogen yang dilakukan melalui proses preparasi baik secara fisika maupun kimia yaitu dengan pemanasan dan penambahan asam atau garam tertentu.
2.
Adsorpsi Adsorpsi adalah proses melekatnya partikel-partikel atau zat-zat pada
permukaan. Fasa yang mengadsorpsi disebut adsorben dan fasa yang teradsorpsi disebut adsorbat (Kosmulski, 2001: 190-191). Proses adsorpsi dapat berlangsung jika suatu permukaan padatan dan molekul-molekul gas atau cair, dikontakkan dengan molekul-molekul tersebut, maka di dalamnya terdapat gaya kohesif termasuk gaya hidrostatik dan gaya ikatan hidrogen yang bekerja di antara molekul seluruh material. Gaya-gaya yang tidak seimbang pada batas fasa tersebut menyebabkan perubahanperubahan konsentrasi molekul pada interface/fluida. Pada dasarnya proses adsorpsi dapat terjadi melalui dua cara, yaitu : a.
Adsorpsi Fisik Adsorpsi fisik melibatkan gaya antar molekul yang relatif lemah, yaitu gaya
van der wals, dimana gaya tarik yang terjadi hanyalah gaya tarik menarik secara fisika tanpa disertai perubahan kimia. Adsorpsi fisik tergantung pada sifat-sifat fisika adsorbat dan tidak banyak tergantung pada sifat-sifat kimia adsorben. Pada proses ini molekul terikat sangat lemah dan energi yang dilepaskan pada adsorpsi fisik relatif rendah yaitu sekitar 20 kJ/mol. Banyaknya zat yang teradsorpsi dalam proses adsorpsi fisik berupa lapisan monomolekul, dan banyaknya adsorpsi fisik akan makin kecil dengan naiknya suhu (Atkins, 1997: 437). b.
Adsorpsi Kimia Adsorpsi kimia terjadi bila terdapat interaksi kimia antar molekul zat yang
teradsorpsi dengan molekul adsorben. Kemisorpsi terjadi diawali dengan adsorpsi fisik, yaitu partikel-partikel adsorbat mendekat ke permukaan adsorben
9
melalui gaya van der wals atau melalui ikatan hidrogen. Kemudian diikuti dengan adsorpsi kimia yang terjadi setelah adsorpsi fisika. Dalam adsorpsi kimia partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia (biasanya ikatan kovalen), dan cenderung mencari tempat yang memaksimumkan bilangan koordinasi substrat (Atkins, 1997: 437). Interaksi antara tanah liat yang telah teraktivasi asam sulfat terhadap ion logam Cr(VI) dan Cu(II) dengan cara pertukaran ion dimana ion H+ yang terdapat dalam rongga struktur tanah liat terlepas digantikan oleh ion logam tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi, yaitu : 1) Luas permukaan, semakin luas permukaan adsorben maka akan semakin banyak adsorbat yang terserap, sehingga proses adsorpsi semakin efektif. Semakin kecil ukuran diameter partikel maka akan semakin luas permukaan adsorben. 2) Makin kecil ukuran partikel yang digunakan maka semakin cepat kekuatan adsorpsinya. 3) Waktu kontak, semakin lama waktu kontak dapat memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik. 4) Distribusi ukuran partikel, distribusi pori akan mempengaruhi distribusi ukuran molekul adsorbat yang masuk dalam partikel adorben. Kebanyakan zat pengadsorpsi atau adsorben merupakan bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau letak-letak tertentu di dalam partikel tersebut.
3.
Logam Berat Istilah logam biasanya diberikan kepada beberapa unsur kimia dengan ketentuan
atau kaidah-kaidah tertentu. Unsur ini dalam kondisi suhu kamar tidak selalu berbentuk padat melainkan ada yang berbentuk cair, misalkan saja air raksa atau hidrargirum (Hg), serium (Ce) dan galium (Ga). Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam-logam lain.
10
Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan atau masuk ke dalam tubuh organisme hidup (Heryando Palar, 1994: 21-23). Logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih dari 5 gr/cm3 dengan nomor atom 22 sampai dengan 92. Diantara semua unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam hal sifat racunnya, dibandingkan dengan logam berat lainnya, kemudian diikuti oleh logam berat antara lain Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Zn (http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-2-03.pdf). Sedangkan menurut Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990), sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu : a. Bersifat toksik tinggi yang terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. b. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co c. Bersifat toksik rendah terdiri dari unsur Mn dan Fe. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yaitu: a. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan). b. Dapat terakumulasi dalam organism, termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut. c. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan massa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.
4.
Kromium (Cr) Kromium merupakan logam kristalin yang memiliki nomor atom 24 dan
dilambangkan dengan simbol Cr. Kromium memiliki konfigurasi 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s2 dan 3d4 , bersifat sangat keras dan memiliki titik didih dan titik leleh tinggi diatas
11
titik didih dan titik leleh unsur transisi deretan pertama lainnya, memiliki tingkat oksidasi utama adalah +2, +3 dan +6. Kromium yang paling stabil adalah kromium dengan tingkat oksidasi +3, karena untuk kromium dengan tingkat oksidasi +6 mudah mengalami disproposional menjadi kromium(III). Logam ini memiliki daya tahan yang tinggi terhadap bahan-bahan kimia, sehingga sering digunakan sebagai bahan pelapis pada besi. Di alam, logam Cr tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni, logam ini di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan padat atau mineral dengan unsur-unsur lain. Logam kromium ini larut dalam asam klorida encer atau pekat. Jika terkena udara, akan terbentuk ion-ion kromium(II), reaksinya dapat dilihat sebagai berikut : Cr(s) + 2H+(aq)
Cr2+(aq) + H2(g)
Cr(s) + 2HCl(aq)
Cr2+(aq) + 2Cl-(aq) + H2(g)
Dengan adanya oksigen dari atmosfer, kromium sebagian atau seluruhnya menjadi teroksidasi ke keadaan trivalen, menurut reaksi sebagai berikut: 4Cr2+(aq) + O2(g) + 4H+(aq)
4Cr3+(aq) + 2H2O(l)
Asam sulfat encer menyerang kromium perlahan-lahan, dengan membentuk hidrogen. Dalam asam sulfat pekat panas, kromium larut dengan mudah , dimana ionion kromium (III) dan belerang dioksida terbentuk, reaksinya : 2Cr(s) + 6H2SO4(aq)
2Cr3+(aq) + 3SO42-(aq) + 3SO2(g) + 6H2O(l)
Asam nitrat baik encer maupun pekat membuat kromium menjadi pasif, begitu pula dengan asam sulfat pekat dingin dan air raja. (Vogel, 1990: 270-271). Sedangkan pada pH rendah (suasana asam), dikromat bersifat pengoksidasi yang kuat. Cr2O72-(aq) + 14H3O+(aq) + 6e
2Cr3+ (aq) + 21H2O(l)
12
5.
Tembaga (Cu) Logam tembaga adalah logam yang berwarna kemerahan, bersifat lunak, dapat
ditempa, memiliki titik lebur pada suhu 1038o C (Vogel, 1990: 270-271). Tembaga mempunyai nama kimia cuprum yang dilambangkan dengan Cu. Tembaga dalam periodik unsur terletak pada periode keempat di golongan 1B dengan nomor atom 29 dan mempunyai massa atom 63,54. Logam tembaga memiliki potensial elektroda standar positif (+0,34 V) untuk pasangan Cu(I) dan Cu(II), maka tembaga tidak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer meskipun dengan adanya oksigen logam ini bisa larut sedikit. Larutan sianida bila ditambahkan dalam jumlah yang sangat sedikit mula-mula terbentuk endapan kuning tembaga(II) sianida : Cu2+(aq) + 2CN-(aq)
Cu(CN)2(s)
Endapan dengan sangat cepat terurai menjadi tembaga(I) sianida yang berwarna putih dan sianogen (gas yang sangat beracun). 2Cu(CN)2(s)
2CuCN(s) + (CN)2(g)
Dalam reagensia yang berlebihan, endapan larut dan terbentuk kompleks stabil tetrasianokuprat(I) yang tidak berwarna. CuCN(s) + 3CN-(aq) 6.
[Cu(CN)4]3-(aq)
Aktivasi Tanah Liat Proses aktivasi tanah liat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu zat
agar bersifat lebih aktif dari keadaan sebelum diaktivasi. Proses aktivasi ini bertujuan untuk membuka permukaan pori-pori tanah liat agar efisiensi adsorpsi tanah liat menjadi maksimum. Aktivasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aktivasi secara fisika dan kimia. Aktivasi secara fisika dilakukan dengan cara pemanasan dan
13
aktivasi secara kimia dilakukan dengan cara penambahan asam-asam mineral seperti HCl, H2SO4, dan HNO3. Sebelum tanah liat digunakan pada proses adsorpsi, maka tanah liat terlebih dahulu dilakukan aktivasi dengan menggunakan asam. Dalam penelitian ini digunakan asam sulfat
sebagai aktivator karena memiliki ion H+ yang banyak
dibandingkan dengan asam-asam yang lain serta memiliki sifat higroskopis yang dapat menyerap kandungan air yang terdapat pada tanah liat. Tujuan aktivasi kontak asam adalah menukar kation yang ada dalam tanah liat menjadi ion H+ dan melepas ion Al, Fe, Mg dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur sehingga secara fisik permukaan tanah liat menjadi luas pori-porinya dan situs aktifnya menjadi meningkat.
7.
Asam Sulfat Asam secara paling sederhana didefinisikan sebagai zat, yang bila dilarutkan
dalam air, mengalami disosiasi dengan pembentukan ion hidrogen sebagai satusatunya ion positif dan basa adalah zat yang bila dilarutkan dalam air mengalami disosiasi dengan pembentukan ion hidroksida sebagai satu-satunya ion negatif (Vogel, 1990: 27). Asam sulfat (H2SO4) merupakan asam mineral (anorganik) yang kuat. Zat ini larut dalam air pada semua perbandingan, serta memiliki titik lebur 10,31o C dan titik didih pada 336,85o C. Asam sulfat murni yang tidak diencerkan, tidak dapat ditemukan secara alami karena sifatnya yang higroskopis. Asam sulfat terbentuk secara alami melalui oksidasi mineral sulfida. Asam sulfat mempunyai banyak kegunaan dan merupakan salah satu produk utama industri kimia. Asam sulfat 98% lebih stabil untuk disimpan, dan merupakan bentuk asam sulfat yang paling umum. Asam sulfat 98% umumnya disebut sebagai asam sulfat pekat. Asam sulfat merupakan asam berbasa dua dan berdisosiasi dalam dua tingkat : H2SO4(aq)
H+ (aq) + HSO4-(aq)
HSO4- (aq)
H+(aq) + SO42-(aq)
14
Derajat disosiasi berbeda-beda antara satu asam dengan asam lainnya. Asam sulfat berdisosiasi hampir sempurna pada pengenceran yang sedang, karena itu asam sulfat merupakan elektrolit kuat.
8.
Spektroskopi Serapan Atom Spektroskopi Serapan Atom (SSA) merupakan metode analisis unsur secara
kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas dan memiliki range ukur optimum pada panjang gelombang 200-300 nm (Skoog et. al., 2000: 30). Metode ini banyak digunakan karena memiliki kesensitifitasan yang tinggi (ppm-ppb), waktu analisis yang cepat, dan analisisnya tidak memerlukan pemisahan terlebih dahulu. Metode spektroskopi serapan atom ini berprinsip pada adsorpsi cahaya oleh atom, atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Misalkan saja tembaga menyerap pada panjang gelombang 324,8 nm, dan kromium pada panjang gelombang 357,9 nm. Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi diturunkan dari: a. Hukum Lambert: bila suatu sumber sinar monokromatik melewati medium transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorpsi. b. Hukum Beer: intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar tersebut. Dari kedua hukum tersebut diperoleh suatu persamaan: It = Io.e-εbc, atau A = - Log It/Io = εbc
15
Keterangan : Io = intensitas sumber sinar It = intensitas sinar yang diteruskan ε = absorptivitas molar b = panjang medium c = konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar A = absorbansi. Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya berbanding lurus dengan konsentrasi atom (S.L. Underwood dan R.A. Day Jr, 1986: 59). Kurva
Konsentrasi
Absorbansi
hubungan antara konsentrasi dan absorbansi dapat dilihat pada Gambar 1:
Gambar 1: Grafik hubungan antara konsentrasi dan absorbansi Gambar alat spektrofotometer serapan atom dapat ditunjukkan pada Gambar 2:
Gambar 2: Spektrofotometer serapan atom
16
Bagan alat spektrofotometer serapan atom dapat ditunjukkan pada Gambar 3:
Gambar 3: Bagan alat spektrofotometer serapan atom Spektrofotometer serapan atom memiliki komponen instrumen sebagai berikut: a. Sumber sinar (lampu katoda berongga), berguna memancarkan sinar dengan panjang gelombang yang tepat sama dengan panjang gelombang logam yang dianalisis. b. Nyala api (flame), untuk mengubah unsur logam yang dianalisis menjadi atom-atom netral yang masih berada dalam tingkat encer dasar. Proses ini disebut pengatoman atau atomisasi. c. Monokromator, untuk meneruskan panjang gelombang emisi dari lampu katoda berongga yang diabsorpsi paling kuat oleh atom di dalam nyala api (panjang gelombang maksimum) dan menahan garis-garis emisi lain dari lampu katoda berongga yang tidak digunakan dalam analisis. d. Detektor, untuk mengamati dan mendeteksi datangnya berkas sinar dari sistem monokromator dan mengubah energi sinar yang masuk menjadi energi listrik yang sebanding. e. Amplifier, untuk menggerakkan sistem elektronik digital atau mengerakkan rekorder. f. Rekorder, sebagai alat pencatat.
17
g. Spray chamber (ruang penyemprot), untuk membuat campuran yang homogen dari gas oksigen plus bahan bakar aerosol yang mengandung larutan contoh, sebelum campuran ini menjadi burnernya. h. Nebulizer (ruang pengabut), untuk mengubah larutan yang dihisap melalui pipa kapiler menjadi aerosol (kabut atau menjadi butiran-butiran halus). Adapun kondisi analisis dengan spektrofotometer serapan atom untuk ion logam Cr(VI) adalah: panjang gelombang 357,9 nm.; jenis lampu katoda cekung; slit 0,2 nm; arus lampu 5,0 mA; integritas time 3,0 detik; sedangkan flame: C2H2/udara; kecepatan 65 L/jam; jenis burner 100 mm; tinggi burner 7 mm; kecepatan nebulizer 5,0 mL/menit. Kondisi analisis dengan spektrofotometer serapan atom untuk ion logam Cu(II) adalah: panjang gelombang 324,8 nm.; jenis lampu katoda cekung; slit 0,2 nm; arus lampu 5,0 mA; integritas time 3,0 detik; sedangkan flame: C2H2/udara; kecepatan 65 L/jam; jenis burner 100 mm; tinggi burner 7 mm; kecepatan nebulizer 5,0 mL/menit.
9.
Spektroskopi Infra Merah Spektroskopi infra merah merupakan salah satu jenis dari spektroskopi yang ada,
metode ini umum digunakan untuk identifikasi secara kualitatif gugus fungsional yang terdapat pada suatu senyawa meliputi teknik adsorpsi, emisi, dan translasi. Spektroskopi infra merah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik
yang berada pada daerah
panjang -1
gelombang 0.75 – 1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 – 10 cm . Prinsip dasar spektroskopi ini adalah bila sinar radiasi infra merah dilewatkan melalui cuplikan senyawa, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan frekuensi yang lain akan diteruskan/ditransmisikan tanpa diserap (Sastro Hamidjojo Hardjono, 2007: 45). Pengabsorpsian energi pada berbagai frekuensi dapat dideteksi oleh spektroskopi infra merah, yang memplot jumlah radiasi infra merah yang diteruskan melalui cuplikan sebagai fungsi frekuensi (atau panjang gelombang) radiasi. Plot tersebut
18
adalah spektrum infra merah yang memberikan informasi penting tentang gugus fungsional suatu molekul. Penyerapan gelombang elektromagnetik dapat menyebabkan terjadinya eksitasi tingkat-tingkat energi dalam molekul, dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi, atau rotasi. Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi molekul sangat khas untuk suatu molekul tertentu dan biasanya disebut vibrasi finger print pada daerah 2000 - 400 cm-1. Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu vibrasi regangan (streching) dan vibrasi bengkokan (bending) (Khopkar, 1984: 246). Dua kelompok daerah frekuensi yang biasanya mencirikan kurva infra merah dari kebanyakan mineral tanah liat yaitu: 1. Daerah antara 4000 dan 3000 cm-1 yang diakibatkan oleh getaran regang dari air terjerap atau gugus OH oktahedral, yang disebut daerah gugus fungsional. 2. Daerah antara 1400 dan 800 cm-1 , yang disebabkan oleh getaran Al-O atau SiO, yang disebut daerah sidik jari (Kim H.Tan, 1982: 145).
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Susila Kristianingrum dan Siti Sulastri (2008) mengenai pengaruh berbagai asam terhadap daya adsorpsi ion kromium(III) dan kromium(VI) pada tanah diatomae. Asam yang digunakan untuk perbandingan pada perendaman tanah liat adalah asam klorida, asam nitrat, dan asam sulfat. Daya adsorpsi tertinggi diperoleh pada perendaman tanah diatomae dengan asam klorida 18,50% (v/v), dengan asam nitrat 32,50% (v/v), dan asam sulfat 12% (v/v). Tanah diatomae asli dan yang sudah diberi perlakuan mempunyai pola spektra FTIR yang hampir sama. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Tri Wahyuni pada tahun 2010 mengenai pengaruh konsentrasi asam nitrat pada efisiensi adsorpsi tanah diatomae terhadap ion logam berat kromium(III) dan kromium(VI).
Penelitian ini dilakukan untuk
19
mengetahui pengaruh penambahan asam nitrat (HNO 3) dengan berbagai konsentrasi dan untuk mengetahui efisiensi adsorpsi tanah diatomae terhadap ion Cr(III) dan ion Cr(VI) pada kondisi optimum setelah diberi perlakuan dengan asam nitrat 32,50; 16,25; dan 8,125% (v/v). Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi konsentrasi asam, ukuran butir tanah, dan jenis ion logam yang diadsorpsi. Sebagai variabel terikatnya adalah efisiensi adsorpsi terhadap ion Cr(III) dan Cr(VI). Penentuan banyaknya ion Cr(III) dan Cr(VI) yang teradsorpsi dalam sampel tanah diatomae, dilakukan dengan alat spektrofotometer serapan atom dan penentuan karakter tanah diatomae murni mau pun yang diberi perlakuan dilakukan dengan FTIR. Hasil penelitian menunjukan harga efisiensi adsorpsi optimum untuk kromium(III) sebesar 95,31% untuk tanah yang telah diaktivasi dan 97,24% untuk tanah diatomae murni. Pada kromium(VI) harga efisiensi adsorpsi sebesar 35,72% untuk tanah yang telah diaktivasi dan 69,49% untuk tanah diatomae murni. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Herawati (2008), mengenai pengaruh konsentrasi asam sulfat (H2SO4) pada efisiensi adsorpsi tanah diatomae terhadap ion logam berat kromium(III) dan kromium(VI). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan asam sulfat (H2SO4) dengan berbagai konsentrasi dan untuk mengetahui efisiensi adsorpsi tanah diatomae terhadap ion Cr(III) dan ion Cr(VI) pada kondisi optimum setelah diberi perlakuan dengan asam sulfat 48, 24, dan 12% (v/v). Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi konsentrasi asam, ukuran butir tanah, dan jenis ion logam yang diadsorpsi. Sebagai variabel terikatnya adalah efisiensi adsorpsi terhadap ion Cr(III) dan Cr(VI). Penentuan banyaknya ion Cr(III) dan Cr(VI) yang teradsorpsi dalam sampel tanah diatomae, dilakukan dengan alat spektrofotometer serapan atom dan penentuan karakter tanah diatomae murni mau pun yang diberi perlakuan dilakukan dengan FTIR. Hasil penelitian menunjukkan tanah diatomae murni menghasilkan efisiensi adsorpsi kromium(III) paling tinggi yaitu sebesar 97,02%, sedangkan harga efisiensi adsorpsi optimum tanah diatomae yang sudah diaktivasi adalah 96,29%. Pada kromium(VI) tanah murni menghasilkan efisiensi adsorpsi sebesar 67,36%, sedangkm efisiensi adsorpsi optimum untuk tanah
20
diatomae yang sudah di aktivasi adalah 41,09%. Tanah diatomae murni dan yang sudah diberi perlakuan mempunyai pola spektra FTIR yang hampir sama. Perbedaan antara ketiga penelitian di atas adalah jenis asam dan konsentrasi asam pengaktivasinya.
C. Kerangka Berfikir Logam kromium dan logam tembaga merupakan logam berat yang banyak terdapat dalam limbah cair industri metalurgi. Sebelum limbah ini dibuang di lingkungan, maka konsentrasinya harus disesuaikan dengan batas aman yang telah ditentukan oleh pemerintah. Salah satu cara penurunan kadar ion logam Cr(VI) dan Cu(II) adalah dengan adsorpsi. Pada penelitian ini media adsorpsi yang digunakan adalah tanah liat. Tanah liat merupakan tanah yang memiliki komposisi utama berupa silika amorf yang kadarnya mencapai sekitar 55-70%. Kadar dan struktur silika ini bervariasi tergantung pada asalnya. Komponen tanah liat yang berhubungan dengan proses atau sifat adsorben adalah silika. Untuk mempermudah pertukaran kation-kation atau proses adsorpsi maka perlu dilakukan aktivasi secara kimia atau pun secara fisika dengan penambahan asam-asam mineral atau garam-garam dan dengan pemanasan. Penambahan asam ini bertujuan untuk membersihkan permukaan pori-pori tanah liat dan untuk membuang senyawa-senyawa pengotor. Dalam penelitian ini tanah liat yang digunakan adalah tanah liat yang berasal dari daerah Sangiran, Jawa Tengah. Sebelum digunakan untuk mengadsorpsi ion logam Cr(VI) dan Cu(II), tanah liat diaktivasi dengan menggunakan asam sulfat 2,5; 5; dan 10 % (v/v), untuk memperluas permukaan tanah liat agar efisiensi adsorpsinya menjadi lebih maksimum. Selanjutnya juga diteliti pengaruh lama perendaman yaitu 0; 2; 4 dan 6 jam. Metode yang dipakai dalam penelitian untuk mengetahui kadar ion logam Cr(VI) dan Cu(II) mula-mula dan setelah perendaman adalah dengan menggunakan metode spektrofotometri serapan atom (SSA) yang merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk menentukan kadar unsur-unsur
21
dalam suatu bahan dengan kepekaan, ketelitian serta selektifitas yang tinggi. Metode yang dipakai untuk mengetahui gugus-gugus fungsi yang berperan dalam proses adsorpsi adalah dengan menggunakan metode spektrofotometri infra merah yang mampu menunjukkan vibrasi ikatan tertentu dengan bilangan gelombang tertentu pula.