BAB II KERANGKA TEORI
Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag pada Maret 2000 sudah mempredikisi Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada tahun 2025. Penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah satunya adalah laju kebutuhan terhadap sumber daya air dan potensi ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam menyuplai air.
Derajat kelangkaan air semakin meningkat. Sementara pertumbuhan penduduk yang pesat disertai dengan pola hidup yang semakin menuntut penggunaan air yang berlebihan makin menambah penggunaan air.
Indonesia adalah merupakan negara yang kaya air dan menduduki urutan ke 5 diantara negara-negara kaya air setelah Brazil, Rusia, Cina dan Kanada. Namun jumlah yang berlimpah tersebut ketersediaannya sangat bervariasi menurut tempat dan waktu. Pulau Jawa yang jumlah penduduknya 65 % dari total penduduk Indonesia, hanya memiliki 4,5 % dari jumlah potensi air tawar secara nasional. Jumlah ketersediaan air tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduknya, maka di pulau yang terpadat penduduknya selalu mengalami defisit air.
2.1.
Air Tanah
Yang dimaksud air tanah ialah air yang terdapat di dalam ruang antara butir-butir tanah yang terdapat dalam retakan batuan di dalam tanah. Air yang tertahan oleh butir-butir tanah dapat digolongkan menjadi: 1. Air kimia. Air ini merupakan suatu persenyawaan dengan butir-butir, oleh karena itu air ini tidak dapat dipergunakan oleh tanaman maupun orang. 2. Air hidroskopik atau air hidrasi, yaitu air yang membentuk selaput yang terikat pada butir-butir yang hidrofil. Humus merupakan suatu koloid yang hidrofil sehingga dapat menahan banyak air hidrasi.
- 10 -
3. Air kapiler, yaitu air yang mengisi rongga-rongga antar butir tanah. Air ini menyelimuti butiran-butiran tanah setelah air grafitasi turun. Air inilah yang biasa dikenal dengan air tanah. Sifat-sifat air kapiler: -
terikat di antara kapasitas lapangan dan koefisien hidroskopis
-
tegangannya 1-31 atmosfir
-
berfungsi sebagai larutan tanah
-
bergerak dengan cara penyusutan selaput dari tebal ke tipis.
4. Air gravitasi, yaitu air yang terus menghilang dari lapisan tanah yang kemampuan menahan air sudah mencapai maksimum. Air ini bergerak kelapisan tanah oleh pengaruh gaya gravitasi bumi.
Berdasarkan sifatnya yang dapat ditembus atau tidaknya oleh air, lapisan tanah dapat dibedakan menjadi lapisan permeable dan lapisan impermeable. Lapisan permeabel adalah lapisan tanah yang dapat ditembus oleh air, yang terbentuk dari hasil endapan pasir atau kerikil, sedangkan lapisan impermeabel adalah lapisan yang kedap air sehingga air tidak akan mampu melewati lapisan ini.
Lapisan permeable yang jenuh air disebut lapisan pengandung air atau lebih dikenal dengan istilah akuifer. Air tanah yang terdapat di dalam akuifer dibedakan mejadi dua macam yaitu akuifer bebas (air tanah bebas; akuifer tidak tertekan) adalah air tanah yang tidak tertutup oleh lapisan impermeable, sedangkan akuifer tertekan (air tanah dalam) adalah air tanah yang tertutup oleh lapisan impermeabel, dimana di atas dan di bawah akuifer ini dibatasi oleh lapisan yang kedap air. Umumnya akuifer tertekan ini keberadaanya lebih dari 40 meter.
Membicarakan masalah air tanah di wilayah DKI Jakarta, maka tidak dapat lepas dari konteks masalah hidrologi dalam arti keseluruhan. Masalah hidrologi di wilayah Jakarta akan dipengaruhi oleh proses-proses hidrogeologi yang berlangsung di daerah-daerah lainnya, selain proses di daerah itu sendiri. Jika satu daerah mengalami perubahan maka akan menyebabkan terjadinya perubahan di daerah lainnya, sehingga semuanya merupakan satu kesatuan sistem sumberdaya air. Dengan demikian untuk mengetahui masalah hidrologi yang terdapat di
-11 -
Wilayah Pengembangan Selatan Jakarta, pendekatan yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan melihat semua permasalahan yang berkaitan dengan hidrologi, hidrogeologi dan lingkungan secara makro di DKI Jakarta.
2.1.1. Dampak pengambilan Air Tanah Air tanah secara nyata menjadi komponen dari daur hidrologi dan oleh karenanya banyak perencanaan pembangunan dalam melaksanakan kegiatannya seringkali kurang mengantisipasi timbulnya dampak egatif terhadap lingkungan sumberdaya air tanah. Untuk itu, pertimbangan lebih baik terhadap pencagaran sumberdaya air tanah harus lebih diperhatikan dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan (perumahan, industri, gedung bertingkat dan kegiatan lainnya yang merubah bentang lahan).
Ketika air tanah dipompa keluar melalui sumur-sumur, maka terjai cone of depression, yaitu melengkungnya permukaan air tanah disekitar sumur ke arah sumur atau pipa yang digunakan untuk mengambil air tanah. Semakin besar laju pengambilan air tanah, maka semakin besar lengkungan permukaan air tanah yang terjadi di sekitar sumur samapai tercapai keseimbangan baru dengan masuknya air hujan dari daerah resapan (catchment area). Demikian seterusnya, keseimbangan baru akan selalu tercapai sepanjang suplai air mencukupi. Tetapi ketika laju pengambilan air tanah dari banyak sumur terlalu besar dibandingkan suplai air, maka lengkungan-lengkungan permukaan air tanah dari satu sumur ke sumur lainnya akan menyebabkan terjadinya penurunan tinggi muka air tanah secara permanen.
Untuk usaha konservasi air tanah, besarnya pengambilan air tanah untuk aktivitas industri tersebut seharusnya dikurangi. Pemanfaatan air permukaan perlu lebih ditingkatkan, sementara pemanfaatan air tanah diusahakan bersifat suplemen, terutama ketika berlangsung musim kemarau panjang sehingga secara keseluruhan ketersediaan air tanah sepanjang tahun cukup memadai.
Akibat dari tidak seimbangnya antara pengambilan dan pengisian kembali air tanah, menyebabkan berkurangnya cadangan air tanah. Dengan makin
- 12 -
berkurangnya cadangan air tanah akan berdampak terhadap lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dampak yang terjadi adalah : a.
turunnya tinggi muka air tanah
b.
intrusi air laut
c.
terjadi penurunan permukaan tanah
d.
berkurangnya kuantitas dan kualitas air tanah.
Air tanah berkaitan erat dengan air permukaan. Menurut hukum Darcy, apabila penurunan tinggi muka air tanah terus berlanjut akibat pengambilan air tanah secara berlebihan, maka besar kemungkinan terjadinya rembesan air sungai ke dalam tanah. Apabila aliran sungai cukup besar, maka rembesan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap debit sungai. Tetapi bila tanah tersebut mempunyai tingkat permeabilitas yang besar, sementara bahan pencemaran yang terjadi pada sungai yang bersangkutan cukup tinggi, dikhawatirkan pencemaran air sungai tersebut memberikan pengaruh terjadinya pencemaran air tanah.
2.1.2. Peraturan Air Tanah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air adalah merupakan peraturan yang dibuat untuk mengatur pengelolaan sumber daya air. Dalam undang–undang tersebut dinyatakan bahwa air tanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan. Dari pernyataan tersebut adalah bahwa pemerintah menyadari bahwa air adalah merupakan air merupakan sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya karena mempunyai siklus tata air yang relative tetap. Namun disadari bahwa jumlah air tetap sedangkan jumlah penggunanya semakin banyak, Untuk itu air harus dijaga kelestariannya karena apabila adanya kerusakan dalam siklus air tersebut akan memberikan dampak negatif yang luas bagi kehidupan di bumi karena air adalah merupakan sumber utama bagi kehidupan di bumi. Kerusakan lingkungan air tersebut apabila telah parah akan sulit dilakukan perbaikannya, sedangkan kebutuhan air semakin meningkat sesuai dengan makin bertambahnya jumlah manusia di muka bumi.
-13 -
Inti dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air adalah mengatur pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya air yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kemampuan daya dukung lingkungannya. Pengelolaan Sumber daya Air tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi juga termasuk generasi yang akan datang.
Air tanah yang merupakan sumberdaya yang harus dijaga kelestariannya, namun di dalam peraturan pemerintah mengenai pajak daerah masih menjadikan barang komoditas yang murah untuk menarik minat investor. Hal inipun menjadi hal yang krusial pada saat air tanah semakin krisis.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan pembangunan kota Jakarta di segala bidang dan pertambahan penduduk, makin meningkat pula kebutuhan masyarakat terhadap pemakaian air khususnya air bawah tanah yang dilakukan dengan cara pemboran, penggalian atau penurapan, sehingga dapat menimbulkan dampak negative terhadap kelestarian sumber daya air bawah tanah dan lingkungan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dibuat peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 68 Tahun 2005 tanggal 8 Juni 2005. Tentang Pembuatan Sumur Resapan di Propinsi DKI Jakarta. Peraturan ini dikeluarkan sebagai upaya untuk melestarikan air tanah dengan cara membuat sumur resapan yang berfungsi sebagai tempat untuk menampung dan menyimpan curahan air hujan untuk menambah kandungan air tanah. Berdasarkan peraturan ini, setiap pemohon IMB wajib membuat sumur resapan yang spesifikasi teknis dan pengawasannya dilakukan oleh oleh Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Tata Kota.
2.1.3. Pengelolaan Air tanah Pengelolaan airtanah adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan, pemanfaatan, perijinan dan pengendalian serta pengawasan dalam
- 14 -
rangka
konservasi
tanah.
Untuk
pengelolaan
airtanah
yang
menjamin
keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian airtanah harus diterapkan secara terus menerus mengingat sumberdaya airtanah saat ini telah menjadi terbatas dan dampak dari pengambilan airtanah yang berlebihan telah menyebabkan kerusakan ekosistem lingkungan.
Apabila memperhatikan dampak sumberdaya air dan lingkungan yang terjadi di DKI Jakarta dimana dampak tersebut mempunyai kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu, maka upaya pengelolan airtanah sudah merupakan kebutuhan yang mutlak. Salah satu metode pengelolaan airtanah adalah dengan melakukan rekayasa dimana dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain dengan metode : a. Injeksi Cara ini banyak digunakan di negara maju yaitu memompakan air bersih ke dalam tanah dengan maksud untuk menambah cadangan air tanah. Metode ini membutuhkan biaya yang mahal mengingat selain diperlukan purifikasi juga energi untuk memompa air masuk ke dalam tanah. Metode ini telah dilakukan di Beijing, Bangkok dan California.
b. Imbas Metode ini dilakukan dengan membendung sungai sehingga akan terjadi kenaikan muka airtanah di daerah hulu dan air akan meresap menambah tampungan airtanah di sampingnya.
c. Ditch and Furrow Metode ini dilakukan dengan mengalirkan air pada suatu parit yang dangkal, dasar rata dan jarak yang rapat untuk memperoleh bidang kontak yang luas dengan permukaan tanah.
d. Pipa Porus Air dari sungai dialirkan dengan pipa yang porous menyamping ke arah kirikanan sungai sehingga diyakini bahwa tidak akan terjadi base flow melalui pipa tersebut.
-15 -
e. Genangan, Metode genangan dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu :
Telaga/ situ/ embung/ kolam yang akan berfungsi sebagai retarding basin
Saluran irigasi dan drainase yang dapat berfungsi sebagai peresapan air apabila tidak dilapisi dengan bahan yang kedap air.
Daerah irigasi merupakan daerah pengisian airtanah mengingat selain air berevapotranspirasi air juga berinfiltrasi ke dalam tanah.
f. Sumur resapan Sumur resapan yaitu sistem resapan yang dapat menampung air hujan, baik dari permukaan tanah maupun dari air hujan yang disalurkan melalui atap bangunan, dapat berbentuk sumur, kolam dengan resapan, saluran porous, saluran resapan dan sejenisnya.
Wilayah Pengembangan Selatan Jakarta yang menerima curah hujan lebih kurang sebesar 2000 mm/tahun sebenarnya sangat menguntungkan dalam proses imbuhan air tanah secara alami, dimana pada saat musim hujan terjadi pengisian dan penggantian (replenishment) airtanah yang terjadi ada musim kemarau sehingga akuifer akan mendapat cadangan air. Secara alamiah kondisi tanahnya juga menguntungkan karena tanahnya mempunyai tingkat infiltrasi sedang dengan kedalaman muka airtanahnya 4,5 – 9,0 meter.
Masalah yang timbul adalah di daerah telah berkembang, akibatnya pengisian kembali airtanah pada musim hujan terhambat karena adanya perubahan lingkungan. Daerah yang seharusnya merupakan daerah resapan air tertutup bangunan sehingga menjadi kedap air. Padahal daerah tersebut hingga Puncak merupakan daerah yang mensuplai airtanah sebesar 37 juta m3/tahun di wilayah sebelah utaranya. Jumlah airtanah sebesar itu tentunya akan menyusut apabila eksploitasi air tanah dan pemanfaatan lahan seperti saat ini terus berlangsung maka besar kemungkinan tidak sampai tahun 2000 deposit airtanah akan defisit untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Dengan demikian maka WPS Jakarta
- 16 -
harus tetap dipertahankan sebagai kawasan resapan air jika DKI Jakarta tidak ingin kehilangan airtanah yang berpotensi tersebut.
Selama tahun 1988-1992 jumlah lahan yang berubah fungsi dari lahan terbuka menjadi lahan tertutup untuk lahan permukiman dan industri di DKI Jakarta mencapai luas 10.491 hektar atau kira-kira seperenam luas DKI Jakarta (64.356 hektar). Dengan demikian tiap tahun rata-rata sekitar 2.612 hektar lahan terbuka berubah menjadi lahan tertutup. Akibatnya terhadap kondisi hidrologi adalah semakin besarnya koefisien aliran permukaan dan semakin kecilnya infiltrasi dan perkolasi ke dalam airtanah. Sebagai gambaran, daerah semula padang rumput dengan koefesien aliran sebesar 0.1 yang berarti 90% air hujan yang turun akan mengalami infiltrasi dan perkolasi ke dalam airtanah, dan 10% dari air hujan tersebut menjadi aliran permukaan (run-off). Selanjutnya apabila daerah yang dibangun tersebut ditutup semen, diperkeras dan diaspal maka koefisien alirannya berubah menjadi 0,9. Artinya 90% dari air hujan yang turun akan langsung menjadi aliran permukaan dan hanya 10% yang meresap ke dalam tanah. Maka tidaklah mengherankan apabila banjir semakin besarnya intensitasnya, bahkan di beberapa tempat yang dulunya tidak pernah mengalami banjir sekarang rutin terjadi banjir pada saat musim penghujan.
2.2.
Sumur Resapan
Pemerintah provinsi DKI Jakarta, sejak 17 Juni 2005 memberlakukan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2005 tentang Perubahan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 115 Tahun 2001 tentang Pembuatan Sumur Resapan. Peraturan ini pada intinya mengajak masyarakat untuk membuat sumur resapan di halaman rumah masing-masing, Mal, Pasar, Perkantoran, Industri, Hotel, Sekolah, Kampus, Tempat Ibadah, Rumah Sakit, Puskesmas dan lain sebagainya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi untuk menerapkan kebijakan mengenai pembuatan sumur resapan pada bangunan-bangunan baru, yaitu dengan mengeluarkan izin pembangunannya apabila adanya rencana pembangunan sumur resapan.dalam gambar rencana.
-17 -
2.2.1. Pengertian dan Fungsi Sumur resapan Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan ini kebalikan dari sumur air minum. Sumur resapan merupakan lubang untuk memasukkan air kedalam tanah, sedangkan sumur air minum berfungsi untuk menaikkan air tanah ke permukaan. Dengan demikian konstruksi dan kedalamannya berbeda. Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka air tanah. Sumur air minum digali lebih dalam lagi atau di bawah muka air tanah.
Penerapan sumur resapan ini dalam kehidupan sehari-hari penting artinya. Beberapa fungsi
sumur resapan bagi kehidupan manusia adalah sebagai
pengendali banjir, melindungi dan memperbaiki (konservasi) air tanah.
Penurunan muka air tanah yang banyak terjadi akhir-akhir ini dapat teratasi dengan bantuan sumur resapan. Tanda-tanda penurunan muka air tanah terlihat dari keringnya sumur dan mata air pada musim kemarau serta timbulnya banjir pada musim penghujan. Masalah tersebut akibat dari perubahan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, berupa pembukaan lahan, penebangan hutan serta pembangunan pemukiman dan industri yang tidak terkendali yang menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau dan situ-situ yang merupakan daerah resapan air hujan.
Salah satu strategi atau cara pengendalian banjir, baik untuk mengatasi banjir dan kekeringan adalah dengan sumur resapan. Sumur resapan ini merupakan upaya memperbesar resapan air hujan ke dalam tanah untuk menambah cadangan air untuk digunakan pada saat dibutuhkan
dan memperkecil aliran permukaan
sehingga menghindari dari penggenangan aliran permukaan secara berlebihan yang menyebabkan banjir. Namun upaya ini akan berfungsi apabila adanya peran serta masyarakat untuk menerapkannya. Karena peran sumur resapan akan tidak berarti bila hanya beberapa penduduk saja yang menerapkannya.
Secara teknis petunjuk pembuatan sumur resapan sudah dibuat standar sesuai dengan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 17 Tahun 1992 baik untuk perumahan
- 18 -
tinggal maupun kelompok. Namun demikian petunjuk teknis tersebut tidak dapat diterapkan di sembarang tempat. Sistem pembuatan sumur resapan harus memperhatikan kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya yang terdapat di tempat tersebut.
Di WPS Jakarta meliputi kecamatan Cilandak, Jagakarsa, Pasar Minggu, Pasar Rebo, Ciracas dan Cipayung tidak di kesemua wilayah metodenya sama. Aspek fisik yaitu tinggi muka airtanah (pisometri) dan permeabilitas tanah harus diketahui terlebih dahulu, sebab apabila aspek ini diabaikan maka justru akan menimbulkan masalah baru seperti banjir. Di daerah Jabotabek, harga koefesiensi permeabilitas (K) yang bervariasi tergantung dari struktur lapisan tanahnya. Dari pengukuran koefesien permeabilitas memperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 2.2 Koefesien Permeabilitas Tanah di Daerah Sekitar Jakarta Lokasi
Kedalaman (m)
K (cm/hari)
Pondok Gede
16,3 – 17,5 24,5 – 25,5 25,5 – 26,5 58,3 – 60,2 117,5 – 118,5 30,0 – 31,0 37,1 – 41,0 105,0 – 109,0 137,0 – 141,0 189,0 – 193,0 57,6 – 60,0 77,0 – 79,0 112,0 – 124,45 124,4 – 188,4 240,0 – 244,0
13,40 64,52 31,96 81,56 22,43 0,105 1,897 0,163 0,163 0,740 14,00 1,68 1,58 19,7 1,18
Serpong
Parung Badak
Sumber : BPPT (1994)
Secara umum permeabilitas tanah di WPS mempunyai tingkatan rendah hingga agak cepat (<13 cm/hari), maksudnya tanah tersebut mempunyai kemampuan untuk meloloskan air ke dalam tanah sebesar kurang dari 13 cm/hari. Besaran resapan untuk sebuah sumur resapan dapat dihitung dengan pendekatan sebagai berikut (Suyono S dan Kensaku T, 1997) :
-19 -
Dimana :
Q = 4 kSr
……………………………………..
Q k S r
debit air yang diresapkan koefisien permeabilias besar penurunan muka air jari-jari sumur
= = = =
(2.1)
Dengan menggunakan pendekatan tersebut pembuatan sumur resapan dapat dilakukan dengan dimensi/ ukuran yang bervariasi. Dimensi yang baik umumnya berdiameter 1 meter sedangkan kedalamannya disesuaikan dengan kedalaman muka airtanah. Penelitian yang pernah dilakukan di Jakarta Selatan memperoleh koefisien permeabilitas sebesar 13 cm/hari maka apabila dibuat sumur resapan dengan diameter 1 meter dan kedalaman antara 1-12 meter akan memberikan debit yang berbeda-beda.
Tabel 2.3 Besarnya Debit Sumur Resapan Berdasarkan Kedalaman Tanah Kedalaman (meter)
Debit Sumur Resapan (liter/hari)
1 125,8 2 251,6 3 377,4 4 503,2 5 629,0 6 754,8 7 880,6 8 1.006,4 9 1.132,2 10 1.258,0 11 1.138,8 12 1.509,6 Sumber : Dinas Pertambangan DKI, 1995
Penetapan jumlah dan volume sumur resapan sesuai dengan kondisi permeabilitas tanahnya telah terdapat pedomannya, baik dari Pemda DKI maupun dari Departemen Pekerjaan Umum dan untuk langkah-langkah pembuatannya secara garis besar memperhatikan aspek fisik yaitu tinggi muka airtanah, permeabilitas, jarak dan sistem penampungannya.
- 20 -
2.2.2. Faktor yang Perlu Dipertimbangkan Dalam rencana pembuatan sumur resapan perla diperhitungkan faktor iklim, kondisi air tanah, kondisi tanah, tata guna lahan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. 1.
Faktor iklim merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan sumur resapan. Faktor-faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah besarnya curah hujan. Semakin besar curah hujan di suatu wilayah berarti semakin besar sumur resapan yang diperlukan.
2.
Kondisi Air Tanah. Pada kondisi permukaan air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan suplai air melalui sumur resapan. Sebaliknya pada lahan yang muka air tanahnya dangkal (1-3 meter), sumur resapan ini kurang efektif dan tidak akan berfungsi dengan baik. Terlebih pada daerah rawa dan pasang surut, seperti daerah bagian utara DKI Jakarta sumur resapan tidak efektif, pada daerah tersebut justru memerlukan saluran drainase pembuangan.
3.
Kondisi Tanah. Keadaan tanah sangat berpengaruh pada besar kecilnya daya resap tanah terhadap air hujan. Konstruksi sumur resapan harus mempertimbangkan sifat fisik tanah. Sebagi contoh tanah berpasir dan poros lebih mampu merembeskan air hujan dengan cepat. Tabel 2.1 di bawah ini menyajikan hubungan antara beberapa tipe tekstur tanah dengan kecepatan merembeskan air hujan kedalam tanah (infitrasi).
Tabel 2.1. hubungan kecepatan infiltrasi dan tekstur tanah Tekstur Tanah
Kecepatan Infiltrasi
Keterangan
(mm per jam) Pasir berlempung
25 - 50
Sangat cepat
Lempung
12,5 - 25
cepat
Lempung berdebu
7,5 - 15
sedang
Lempung berliat
0,5 – 2,5
lambat
< 0,5
Sangat lambat
Liat
-21 -
Sumber : Sitanala Arsyad, 1976 4.
Kondisi Lingkungan. Pembangunan sumur resapan harus memperhatikan kondisi lingkungan. Hal ini perlu dilakukan karena kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Karena itu upaya penting yang dilakukan adalah pencegahan masuknya air limbah, banjir ke dalam badan air dan atau ke dalam lapisan tanah.
2.3.
Konsep Pengelolaan Sumberdaya Air Perkotaan
Kota merupakan ekosistem yang tidak lengkap, karena pada ekosisitem ini proses dekomposisi tidak dapat berlangsung dengan sempurna, maka pemerintah harus menyediakan air bersih dan air minum bagi masyarakat. Pengadaan air bersih, pada umumnya dilakukan dengan cara mengolah air permukaan yang diambil dari sumbernya, misalnya sungai atau waduk yang digunakan sebagai resevoir air. Selain itu dapat pula dengan cara mengolah sumber mata air menjadi air bersih akan jauh lebih murah karena kemurniannya lebih tinggi daripada air permukaan, tetapi mata air tidak selalu ada di dekat kota. Oleh karena itu pilihan utama di dalam penyediaan air bagi penduduk kota adalah pembangunan instalasi pengolahan air bersih yang menggunakan air sungai/waduk.
Konsep sumberdaya air kota pada dasarnya mengikuti prinsip daur hidrologi. Konsep ini merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global, tetapi berlaku juga untuk skala regional. Sesungguhnya mudah dipahami betapa pentingnya untuk menjaga kualitas air, karena kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat lama, Karena itu upaya penting yang harus dilakukan adalah pencegahan masuknya air limbah ke dalam badan air dan atau kedalam lapisan tanah. Infrastruktur dan aktivitas kota menghasilkan berbagai macam limbah sehingga menimbulkan dampak terhadap badan air dan kualitas air. Dampak tersebut pada tingkat selanjutnya menimbulkan dampak lanjutan terhadap biota air dan kesehatan manusia. Dengan demikian dapat dipahami betapa eratnya kaitan antara penyediaan air bersih kota dengan aspek kesehatan lingkungan.
- 22 -
Selain aktivitas di dalam kota, berbagai kegiatan yang berlangsung di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) juga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumber air untuk perkotaan. Permasalahan kualitas yang terjadi adalah banyak aliran sungai yang sebelum masuk daerah perkotaan telah membawa bahan-bahan pencemar karena menampung limbah berbagai kegiatan di daerah hulu. Begitupulu dengan masalaa kuantitas yang sering terjadi adalah terjadinya perebutan air antara daerah perkotaan dan pertanian.
2.3.1. Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Persoalan Pemenuhan kebutuhan air bersih di megapolitan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua megapoitan di negara berkembang. Semakin banyak penduduk yang tinggal di Megapolitan selalu diikuti oleh meningkatnya kebutuhan air bersih sementara suplai air bersih sangat terbatas adanya. Dari waktu ke waktu pemerintah selalu berusaha untuk mencari kemungkinankemungkinan baru untuk menambah supali air bersih di daerah megapolitan dalam mengantisipasi peningkatan kebutuhan air bersih pada masa yang akan datang. Disamping memeanfaatkan sumber-sumber air yang berasal dari daerah pegunungan, Pemerintah mencari peluang untuk memanfaatkan air tanah yang ada. Keberadaan suplai air tanah yang berasal dari pegunungan selalu menghadapi persoalan kerusakan lingkungan yang dibuat oleh manusia, sehingga konservasi dan preservasi mata air yang ada mengalami hambatan yang tidak kecil, padahal kelestarian mata air sangat ditentukan oleh kelestarian vegetasi penutup yang dalam hal ini berupa hutan di daerah pegunungan.
Daerah bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) atau yang terletak di bagian yang mempunyai elevasi wilayah yang lebih tinggi berfungsi sebagai daerah tangkapan air hujan (catchment area). Makin terpeliharanya vegetasi penutup berarti makin baik pula kemampuan wilayah dalam hal konservasi air yang ada demi menjaga keberlangsungan munculnya mata air dibagian hulu tersebut atau cadangan air tanah dan hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di bagian lebih rendah, khususnya kawasan Megapolitan. Makin meningkat jumlah penduduk, peluang pengrusakan lingkungan khususnya penebangan hutan sebagai vegetasi penutup catchment area semakin besar.
-23 -
Megapolitan yang berlokasi di daerah pantai, kendala dalam memanfaatkan air tanah bertambah dengan ancaman intrusi air laut ke bagian daratan. Penyusupan air laut ini ternyata makin lama makin jauh ke arah darat sebagai akibat pemompaan air tanah yang melebihi dari kemampuan pengisian kembali air tanah.
2.3.2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Tantangan terbesar dalam pengelolaan sumberdaya air adalah mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan air bagi kebutuhan hidup manusia dan ketersediaan sumberdaya air. Pengalolaan DAS diharapkan dapat memberikan kerangka kerja ke arah tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.
Pengelolaan DAS tidak selalu memberikan penyelesaian yang menyeluruh terhadap konflik-konflik yang timbul sebagai konsekuensi perkembangan pertumbuhan ekonomi dengan usaha-usaha perlindungan lingkungan. Tetapi, dengan pengelolaan DAS dapat memberikan suatu kerangka kerja yang praktis dan logis serta menunjukkan mekanisme kerja yang jelas untuk penyelesaian masalah-masalah kompleks yang timbul oleh adanya kegiatan pembangunan. Dalam pelaksanaannya pengelolaan DAS akan bertumpu pada aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian erosi, penghutanan kembali (reboisasi) lahan-lahan kritis, serta berdimensi regulasi atau kelembagaan seperti insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Dimensi sosial dalam pengelolaan DAS lebih diarahkan pada pemahaman kondisi sosial budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai pertimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas pengelolaan DAS yang berdaya guna tinggi serta efektif. Keseluruhan rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut masih dalam kerangka kerja yang mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia tersebut secara lestari.
Kerangka pemikiran pengelolaan DAS dalam hal ini akan melibatkan tiga dimensi pendekatan analisis (Standar) untuk pengelolaan DAS seperti dikemukakan oleh Hufschmidt (1986). Dengan kombinasi ketiga unsur utama tersebut diharapkan
- 24 -
diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang proses dan mekanisme pengelolaan DAS. Ketiga dimensi pendekatan analisis pengelolaan DAS tersebut adalah : 1.
Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi berkaitan erat.
2.
Penglolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait.
3.
pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.
Pengalaman selama ini yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan
DAS
seringkali
dibatasi
oleh
batas-batas
yang
bersifat
politis/administrasi (negara, provinsi, kabupaten). Padahal kita sadar bahwa kekuatan alam seperti banjir, kekeringan, erosi, pencemaran air berlangsung menurut batas-batas daerah aliran sungai. Pembangkit listrik tenaga air, saluransaluran air dan
irigasi akan mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh
proses-proses alamiah yang berlangsung di dalam DAS. Beberapa aktivitas pengelolaan DAS yang diselenggarakan di daerah hulu seperti pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, hal ini dapat menimbulkan dampak di hilir (dalam bentuk pendangkalan sungai atau saluran irigasi karena pengendapan sendimen yang berasa dari erosi di daerah hulu).
Peristiwa degradasi lingkungan ini jelas mengabaikan penetapan batasan-batasan politis atau administrasi, sebagai batas pengelolaan. Dengan demikian, DAS dapat dimanfaatkan sebagai satuan perencanaan dan pengelolaan (sumberdaa alam) yang logis dari sisi pandang pengelolaan lingkungan. Meskipun demikian, batasbatas politis atau administrasi juga bersifat lois dari sisi pandang politis.
Untuk mencapai pembangunan DAS yang berkelanjutan kegiatan pembangunan ekonomi dan perlingungan lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan kedua sisi pandang tersebut
Selama ini pengalaman yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan
DAS
seringkali
dibatasi
-25 -
oleh
batas-batas
yang
bersifat
politis/administrative (Negara,propinsi, kabupaten), dan oleh karenanya, batasbatas ekosistem alamiah kurang banyak dimanfaatkan. Padahal kita sadar bahwa kekuatan alam seperti banjir dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis. Sebaliknya bahwa aliran air (banjir), tanah longsor, erosi, migrasi ikan dan organisme akuatis lainnya serta pencemaran air berlangsung menurut batas-batas daerah aliran sungai (ekologis). Pembangkit listrik tenaga air, saluran-saluran irigasi, dan jaringan transportasi (darat dan air) akan mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh proses-proses alamiah yang berlangsung didalam DAS. Beberapa aktifitas Pengelolaan DAS yang diselenggarakan didaerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, pada gilirannya, dapat menimbulkan dampak di daerah hilir ( dalam bentuk pedangkalan sungai atau saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari erosi didaerah hulu). Peristiwa degradasi lingkungan ini jelas mengabaikan penetapan batasbatas politis sebagai batas pengelolaan sumberdaya alam. Dengan demikian, daerah aliran sungai dapat dimanfaatkan sebagai satuan perencaan dan pengelolaan (sumberdaya alam)
yang logis dari sisi pandang pengelolaan
lingkungan. Meskipun demikian, batas-batas politis/administratif juga bersifat logis dari sisi pandang politis/administratif.
Untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan harus diselaraskan. Dalam hal ini diperlukan penyatuan kedua sisi pandang tersebut secara realistis melalui penyesuaian kegiatan pengelolaan DAS dan konservasi daerah hulu ke dalam kenyataan-kenyataan ekonomi dan sosial. Inilah tantangan formulasi kebijakan yang harus dituntaskan apabila tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ingin diwujudkan. Untuk ilustrasi, berikut ini dikemukakan contoh bagaimana penyelarasan sisi pandang sistem ekonomi dan sistem politik diwujudkan melalui konsep pengelolaan DAS yang komprehensif seperti dilaporkan oleh Brooks et al. (1994).
Bangsa polinesia yang tinggal dikepulauan Hawaii pada waktu iti telah mencoba menyelaraskan dua kepentingan yang seringkali berbenturan, yaitu sistem politik dan ekonomi kedalam prinsip-prinsip yang umumnya berlaku dalam suatu daerha
- 26 -
aliran sungai. Mereka mendefinisikan DAS sebagai wilayah pengelolaan yang membentang daerah-daerah puncak pengunungan hingga kedaerah pantai dan bahkan ke lokasi terumbu karang (coral reefs) diluar batas alamiah suatu DAS. Kepala-kepala suku masing-masing mempunyai akses dan otoritas terhadap DAS yang berada diwilayahnya masing-masing. Mereka memandang masing-masing wilayah DAS tersebut sebagai wilayah politik, ekonomi dan lingkungan yang dapat menyediakan makanan, air, dan sumberdaya alam lainnya bagi kelanjutan kehidupan warga yang tinggal didalam wilayah DAS tersebut. Mereka mengelola daerah hulu, terutama daerah dengan kemiringan lereng besar sebagai hutan dan mengusahkan tanaman pangan pada tempat-tempat yang dianggap tidak atau kurang rentan terhadap erosi dan tanah longsor. Mereka memanfaatkan saluransaluran irigasi untuk mengairi ladang-ladang tanaman pangan yang terletak didaerah hilir serta mengelola ladang pertanian sedemikian rupa sehingga tidak mencamari ikan dan makluk lain yang hidup dalam karang berumbu dilautan bebas. Mereka beranggapan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dengan bijakan dapat mencegah atau mengurangi terjadinya pencemaran dan erosi, dan dengan demikian, memberikan keuntungan sosial dan politis didaerah tersebut.
Konsep pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang dirumuskan dengan baik pula. Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS seharusnya mendorong dilaksanakannya praktek-pratek pengelolaan lahan yang kondusif terhadap pencegahan degradasi tanah dan air. Harus selalu disadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi DAS jauh lebih mahal daripada biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan perlindungan DAS. Sasaran dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan DAS memberikan kerangka kerja bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan dalam skala DAS yang melibatkan sumber daya lahan dan air.
Lebih jauh,
kerangka kerja ini dapat membantu menyatukan atau menyelaraskan pengelolaan sumber daya alam yang mempunyai dimensi biofisik dan sosial-ekonomi serta membantu menghindari timbulnya permasalahan-permasalahan lingkungan. Dalam konteks ini, praktek-praktek pengelolaan lahan dan konservasi tanah dan iar merupakan ”alat” dari kerangka kerja tersebut di atas. Praktek-praktek tersebut di atas meliputi aktivitas yang berdimensi keteknikan (perubahan tataguna lahan
-27 -
dan penutpan tajuk) yang diharapkan dapat mencapai sasatan dan tujuan dari pengelolaan DAS yang telah ditentukan.
Pengelolaan DAS dapat dibedakan menjadi beberapa langkah sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki
oleh lembaga-lembaga yang terkaid dengan
kegiatan pengelolaan DAS tersebut. Langkah-langkah ini dapat dikenali dengan cara menganalisis program pengelolaan DAS sebagai serial kegiatan yang saling berkaitan untuk menghasilkan sasaran tertentu dan dengan aktivitas pengelolaan tertentu.
Misalnya, sebagai aktivitas pertama, seluruh wilayah DAS dibagi menjadi beberapa tipe tataguna lahan utama (saat ini dan yang akan diusulkan), antara lain hutan (produksi, lindung, suaka alam), pertanian, perkebunan, pertambangan, transportasi, pemukiman dan lain-lain. Untuk setiap tipe tataguna lahan, kemungkinan akan ada lebih dari satu penggunaan. Sebagai aktivitas kedua, untuk setiap unit operasi tataguna lahan tertentu, perlu dikembangkan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah tersebut. Untuk bidang pertanian, aktivitas meliputi, antara lain, tipe dan rotasi tanaman pangan, jumlah dan periode pemberian ”input”, metode praktek pertanian, serta perbuatan dan perbaikan teknik konservasi tanah dan air. Untuk pengusahaan hutan produksi, aktivitas meliputi pemilihan jenis pohon, teknik pemanenan pohon serta prosedur pengangkutannya.
Akhirnya, untuk mengurangi kemungkinan timbulnya dampak negatif di daerah hilir, suatu paket aktivitas pengelolaan daerah hilir perlu dilaksanakan. Kegiatan ini meliputi usaha-usaha vegetatif dan mekanik untuk konservasi tanah dan air yang meliputi perbaikan saluran, perlindungan pinggir sungai melalui penanaman vegetasi, dan lain-lain.
2.3.3. Kompensasi Pada umumnya, upaya merehabilitasi hutan dan lahan yang dilakukan selama ini lebih berorientasi pada target, baik melalui pendekatan struktural fisik maupun vegetatif. Sedangkan partisipasi masyarakat, aspek sosial kelembagaan, dan
- 28 -
kesejahteraan masyarakat lokal belum mendapat perhatian yang proporsional. Dari segi pembiayaan, dana untuk melaksanakan kegiatan semacam ini biasanya berasal dari pemerintah, sehingga dengan demikian seringkali dipahami sebagai kegiatan yang cost – centered. Pada akhir dekade tahun 2000-an, pendekatan pengelolaan lingkungan atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan yang berorientasi pada permintaan pasar meningkat sebagaimana layaknya semua sektor di bidang ekonomi lainnya. Aspek pemasaran atau aspek ekonomi secara umum selalu bertumpu kepada sektor swasta dan merekalah yang diharapkan dapat berperan secara aktif. Di sisi lain, diharapkan pemerintah dapat menyiapkan perangkat atau mekanisme pengelolaannya
sehingga
lingkungan
dan
sumberdaya
alam
(termasuk
sumberdaya hutan) dapat dikelola secara lestari. Selain itu, pemerintah dan masyarakat bersama lembaga swadaya masyarakat diharapkan siap dengan personil pengelola kompensasi jasa lingkungan yang kapasitasnya memadai. Keterbatasan tersedianya dana dan kemampuan atau kapasitas pengelolaan membuat kerusakan lingkungan semakin parah.
Sebagai respon terhadap
permasalahan tersebut maka lahir berbagai gagasan inovatif misalnya dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services atau PES). Mekanisme pembayaran jasa lingkungan termasuk di dalamnya jasa air adalah salah satu inovasi pengelolaan lingkungan secara lestari yang cukup dikenal di berbagai belahan dunia. Hal ini sangat beralasan karena 20% penduduk dunia kekurangan akses terhadap fasilitas air bersih dan separuh penduduk dunia kekurangan akan fasilitas kesehatan (Cosgrove dan Rijsberman, 2000). Menurut Landell-Mills dan Porras (2002), perkembangan pemasaran jasa air di dunia diakibatkan memang adanya permintaan pasar (52%), karena adanya peraturan pemerintah (28%), adanya penawaran (8%) dan hal-hal lainnya (12%). Implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di suatu wilayah perlu diintegrasikan dengan perencanaan spasial (spatial planning) disertai dengan adanya kesepakatan lintas sektoral, provinsi dan nasional. Diperlukan pula adanya konsultasi bottom-up dalam penyusunan proses dan besaran kompensasi hingga -29 -
didapatkan kesesuaian atau equilibrium willingness-to-accept dan willingness-topay. Kompensasi terhadap jasa lingkungan bukan suatu jawaban universal untuk memerangi kemiskian di pedesaan (termasuk kemiskinan di sekitar kawasan konservasi dan kawasan hutan) dan degradasi lingkungan. Agar berfungsi sebagai instrumen yang berharga untuk memperkuat strategi-strategi peningkatan penghidupan masyarakat, maka skema kompensasi sebaiknya menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah yang lebih luas. Dengan demikian, secara umum pasar jasa lingkungan dapat pula diartikan sebagai kesempatan bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi serta kawasan hutan untuk meningkatkan taraf hidup mereka (ICRAF et al., 2005). Selain itu, mekanisme ini juga ditujukan untuk meningkatkan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat dalam mengelola dan mengakses sumberdaya alam atau hutan (recognition).
2.4. Kebijakan publik Kebijakan publik adalah merupakan serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terjadi hambatan-hambatan
(kesulitan-kesulitan)
dan
kemungkinan-kemungkinan
(kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Carl Friedrich, 1967;79)
Tiga teori pengambilan keputusan yang menitikberatkan pada langkah atau kegiatan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan : a.
Teori Rasional
Model teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Model ini mengatakan bahwa proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya.
- 30 -
b.
Model Inkremental
Model inkremental adalah merupakan kritik terhadap model Rasional. Para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang dipersyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka (pembuat kebijakan) tidak memiliki cukup waktu, intelektual maupun biaya. Ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya.
Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan
di
masa
lalu.
Model
ini
dapat
dikatakan
sebagai
model
pragmatis/praktis. Pendekatan ini diambil ketika pegambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif (Riant Nugroho, 2006). Kebijakan ini umumnya baik, namun dalam dunia yang berubah dengan cepat, kebijakan inkremental sama dengan menggunakan SIM A untuk mengandarai pesawat.
c.
Model Mixed Scanning Theory.
Model ini merupakan upaya menggabungkan antara model rasional dan model inkremental. Inisiatornya adalah pakar sosiologi organisasi, Amitai Etzioni tahun 1967. Pada dasarnya, model ini adalah model yang menyederhanakan masalah
-31 -