BAB II KAJIAN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PADA BANK YANG DIKAITKAN DENGAN KLAUSULKEADAAN MEMAKSAAKIBAT BENCANA ALAM DAN KEPASTIAN HUKUM
A. Perjanjian Kredit Pada Bank Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat mentaati apa yang disebut dalam persetujuan itu. Adanya perseorangan dalam hukum perikatan tersebut menunjukkan satu pihak menuntut kepada pihak lain berupa prestasi (sesuatu yang dapat dituntut). Pasal 1234 KUH Perdata, menyebutkan ada 3 macam prestasi yaitu menyerahkan sesuatu, melakukan/berbuat sesuatu dan tidak melakukan sesuatu. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok
(prinsipil) yang bersifat riil.
Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessornya. Ada dan berakhirnya pinjaman jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti rill ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah. 145 Perjanjian kredit merupakan suatu persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank sebagai pemberi pinjaman (kreditur) dan pihak lain sebagai yang membutuhkan pinjaman (debitur/nasabah). Perjanjian kredit biasanya didahului
145
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Ditinjau Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, serta Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 71.
dengan dengan perjanjian pendahuluan berupa persetujuan permohonan kredit dari bank (kreditur) kepada pemohon(debitur), hal mana bank memutuskan bahwa pemohon kredit layak dan memenuhi persyaratan untuk diberikan pinjaman kredit, maka bank sebagai kreditur menerbitkan Surat persetujuan pemberian kredit (SP2K) yang diberikan kepada pemohon kredit atau calon debitur.
Surat persetujuan
pemberian kredit atau surat penawaran kredit atau sering disebut Offering Letter (OL). Surat persetujuan pemberian kredit adalah surat yang dikeluarkan bank berisi pemberitahuan kepada pemohon kredit sebagai calon debitur
yang isinya bank
bersedia atau sanggup memberikan pinjaman kredit apabila calon debitur bersedia memenuhi syarat dan ketentuan minimal seperti tercantum dalam SP2K tersebut. Penawaran Kredit atau offering letter (OL) yang telah disepakati tersebut dituangkan dalam akta yang dibuat dihadapan Notaris (akta otentik) atau dapat pula dibuat dengan surat secara dibawah tangan (onderhands). Dengan demikian, perjanjian kredit adalah suatu perikatan yang dibuat secara tertulis yang di dalamnya salah satu pihak (kreditur) meminjamkan sejumlah uang kepada pihak lain (debitur) dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak antara lain bahwa debitur berkewajiban melunasi hutangnya kepada debitur selambat-lambatnya pada saat jangka waktu tertentu/berakhir ditambah bunga, provisi, denda dan biayabiaya lain yang telah ditentukan serta syarat-syarat lain yang ditetapkan dalam surat persetujuan pemberian kredit (offering letter). Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank dalam surat persetujuan pemberian kredit(offering letter), maka debitur berkewajiban untuk menandatangani
perjanjian kredit, tetapi jika debitur menolak ia tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut. 1. Perjanjian pada umumnya Perjanjian atau persetujuan dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan Pasal 1313, bahwa suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara dua orang tersebut adalah suatu hubungan hukum di mana hak dan kewajiban di antara para pihak tersebut dijamin oleh hukum. Istilah perjanjian juga disebut kontrak, hanya saja kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersial Menurut R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas, Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu: 1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; 2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan diri” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Berdasarkan hal tersebut di atas, sehingga perumusannya menjadi“Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 146
146
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1979), h. 7.
Pengertian lain dikemukakan R.Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana satu seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Berdasarkan peristiwa ini
timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian, itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis, sedangkan yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur atau si berhutang. 147Setiap perikatan selalu terdapat dua pihakyaitu kreditur pihak yang aktif dan debitur yang pasif. Pada debitur terdapat dua unsur yaitu schuld dan haftung. Schuld adalah utang debitur kepada kreditur sedangkan haftung adalah kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut. 148 Seorang debitur memiliki kewajiban untuk melakukan prestasi dan karenanya debitur wajib pula membayar utangnya kepada kreditur kewajiban tersebut disebut schuld. Haftung merupakan kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan untuk pelunasan utang debitur. Dengan demikian haftung ini seseorang debitur wajib membiarkan
147
R.Subekti, Op.Cit., h. 1. R Setiawan,Op.Cit., h. 6-7.
148
kekayaannya untuk diambil kreditur untuk pelunasan utang debitur apabila debitur tidak membayar utang itu dimaksud. 149 Dalam KUH Perdata menyebutkan tentang terjadinya perikatan-perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul dari persetujuan atau undangundang. Oleh karena itu, perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan.Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian itu sendiri secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua di atas dinamakan syarat-syarat subjektif, di mana apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yakni apabila salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian menjadi batal demi hukum. Selanjutnya jika syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Didasarkan pada kata semua berarti setiap orang dan sesama orang lainnya dapat membuat perjanjian apa saja yang isinya bermacam-macam sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian.
149
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Presfektif Perbandingan (Bagian Pertama), (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), h. 10.
Sebab itu pula, perjanjian dianggap sebagai sumber hukum di samping undangundang, karena setiap perikatan lahir dari perjanjian atau dari undang-undang. Hal ini berarti, tiada kurang atau lebih, bahwa setiap orang dengan caranya sendiri, dengan membuat perjanjian, dapat bertindak selaku pembuat undang-undang di dalam lingkup hukum keperdataan (privat), yang mengatur perilaku antara sesama orang tersebut.
150
Walaupun demikian undang-undang juga memberi pembatasannya
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Rumusan tersebut secara tegas mengatur bahwa selain keterikatan kontraktual yang bersumber dari kesepakatan para pihak (faktor otonom), juga harus diperhatikan faktor-faktor lain (faktor heteronom). Hal ini mengingat kontrak yang dibuat para pihak kadangkala hanya mengatur hal-hal yang bersifat pokok, sehingga ketika muncul permasalahan dalam pelaksanaan kontrak telah diantisipasi melalui faktor otonom. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang menentukan isi kontrakadalah kehendak para pihak sebagai faktor primer (otonom), serta faktorfaktor lain (heteronom) meliputi kebiasaan, undang-undang, kepatutan dan keadilan. 151
150
Herlien Budiono, Op.Cit., h. 102. AgusYudha Hernoko, Metode Penentuan Isi Kontrak, makalah yang disampaikan dalam Konferensi Nasional Hukum Perdata II, yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan dan Universitas Udayana, Denpasar, 16-17 April 2015, h. 74. 151
Dalam Buku III KUH Perdata terdapat beberapa asas-asas, yaitu: 152 1. Asas kebebasan (beginsel der contractsvrijheid) Asas ini tersimpul dalam pasal 1338 KUH Perdata. Dari isi pasal itu disimpulkan perjanjian yang dibuat pihak-pihak tersebut mengikat bagi kedua belah pihak (pacta sunt servanda), dan di dalam hal ini terdapat pembatasan, yaitu: a. Asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban umum b. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan c. Tidak boleh bertentangan dengan hukum memaksa (dwingend recht) 2. Asas tambahan (aanvullend recht atau optional law) Maksudnya dengan pengertian ini kepada pihak-pihak dalam membuat perjanjian diberikan sebesar-besarnya untuk menetapkan ketentuan perjanjian tersebut menurut kehendak pihak-pihak yang bersangkutan untuk menetapkan secara selengkap-lengkapnya dengan perjanjian tersebut, tetapi apabila dalam perjanjian tersebut ternyata masih kurang lengkap, maka ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata dan peraturan-peraturan lainnya akan menambahkan. 3. Asas terbuka (open system) Hal ini menunjukan pemberian kebebasan yang terbuka untuk memperlakukan hukum. Di dalam asas ini diperhatikan faktor-faktor keadilan, kebiasaan dan Undang-Undang yang berlaku. Ketentuan asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. 4. Asas sepakat (consensuil) Di sini dimaksudnya bahwa perjanjian yang dibuat tersebut kalau sudah disepakti oleh kedua belah pihak telah dapat mengikat kedua belah pihak. Jadi penyataan sepakat tanpa persyaratan tertulis menunjukkan telah dapat mempunyai kekuatan mengikat bagi kedua belah pihak. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mana Pasal tersebut ditegaskan untuk sahnya suatu perjanjian salah satunya apabila terdapat kata sepakat. 2. Perjanjian dalam perjanjian kredit Kredit dalam hukum perbankan 153 merupakan bagian dari sistem hukum perdata, karena subjek dan objek yang diaturnya berkenaan dengan hubungan hukum yang bersifat perdata antara bank dan nasabah. Untuk itulah tidak salah pula bilamana ketentuan hukum perbankan bersentuhan atau masuk dalam ruang lingkup pengaturan 152
Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), h. 150-151. 153 H.R. Daeng Naja, dalam bukunya Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Hand Book, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), h. 6, definisi atau pengertian hukum perbankan adalah aturan-aturan, baik aturan pokok maupun aturan pelaksanaan, baik yang menyangkut perdata maupun pidana, baik mengenai pengurusan maupun kepemilikan tentang suatu badan usaha yang usaha pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit serta bidang-bidang yang berhubungan dengan kegiatan badan usaha tersebut.
hukum perdata. Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaiman diatur dalam KUH Perdata dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769. Pendapat yang senada dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman, yang menyatakan bahwa dari rumusan di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai pengertian kredit, dapat disimpulkan dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam KUH Perdata Pasal 1754. Perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna luas, yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan, karenanya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah. 154 Djuhaendah Hasanberpendapat lain mengenai perjanjian kredit. Perjanjian kredit yaitu perjanjian kredit lebih merupakan perjanjian tidak bernama, karena mengenai perjanjian kredit belum ada pengaturan secara khusus, baik dalam undangundang maupun Undang-Undang Perbankan. Pengaturan yang ada tidak mengatur tentang bagaimana bentuk dan isi klausul-klausul yang dapat atau mungkin terdapat dalam perjanjian kredit yang dibuat antara bank dengan para debitur. Antara perjanjian pinjam meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa hal yang berbeda, antara lain: 154
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h.110-111
1. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima tersebut, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas. 2. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan dan tidak mungkin diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam pemberi pinjaman dapat oleh individu. 3. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam. Bagi perjanjian pinjam meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan bagi perjanjian akan berlaku ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perbankan, Paket kebijaksanaan Pemerintah dalam Bidang Ekonomi, termasuk bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia, dan sebagainya. 4. Pada perjanjian kredit telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam hanya berupa bunga saja, dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan. 5. Pada perjanjian kredit bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan, baik materiil maupun immateriil. Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam jaminan merupakan pengaman bagi kepastian pelunasan utang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan ini hanya merupakan jaminan secara fisik atau meterilil saja. 155 Pendapat lain juga dikemukakan oleh Sutan Remi Sjahdeniyaituperjanjian kredit bukanlah perjanjian riil seperti halnya perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian kredit mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam. Ciriciri pembeda itu adalah: 1. Sifat konsensual dari suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam meminjam uang yang bersifat riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsensual, tetapi bukan perjanjian peminjaman uang menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat yang tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit 155
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 174.
ditandatangani oleh bank dan nasabah debitur, nasabah debitur belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya setelah ditandatangani kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan di dalam perjanjian kredit. 2. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang atau debitur pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstandingkredit. Hal ini berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan perkataan lain, perjanjian kredit bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit bank tidak berlaku ketentuan-ketentuan Bab XIII Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman uang adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindah-bukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan debitur dengan tidak disyaratkan bagaimana cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak pernah diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu berada dalam pengawasan bank. 156 Selanjutnya Sutan Remi Sjahdeni menyimpulkan bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus, yakni: “Perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. 157 Menurut Johannes Ibrahim perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUH Perdata, bahwa dari
156
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., h. 158-160. Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit.,h. 14.
157
pengertian, subjek pemberi kredit, pengaturan, tujuan dan jaminannya. Akan tetapi dengan perbedaan tersebut tidaklah dapat dilepaskan dari akarnya yaitu perjanjian pinjam meminjam. Mengkaji rumusan kredit yang diberikan oleh Undang-Undang Perbankan, dikatakan bahwa kredit adalah: “ ..., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Demikian pula dengan pembiayaan: “ ..., berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Dari pengertian kredit dan pembiayaan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank, baik dengan sistem konvensional atau syariah, keduanya berakar pada suatu perjanjian yang merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. 2. Pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan tidak terbatas pada cara konvensional, di mana peminjam harus memberikan imbalan berupa bunga melainkan berkembang dengan imbalan atau bagi hasil. 3. Pemberian kredit atau pembiayaan diatur secara khusus dalam beberapa ketentuan perundang-undangan, merupakan hal yang lazim mengingat kepentingan manusia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, dan kredit atau pembiayaan tidak dapat diberikan dalam suatu bentuk tertentu saja. 4. Subyek pemberi kredit atau kreditur diatur oleh suatu lembaga intermediasi atau perantara. Ketentuan pengaturan lembaga intermediasi tidak hanya bank, dikarenakan dalam praktik terdapat pula lembaga lainnya, yaitu pegadaian, anjak piutang atau factoring, leasing yang memiliki kegiatan hampir sama dengan bank. 5. Penyediaan kredit tidak dapat dikatakan hanya sebagai konsensual saja, tetapi juga riil. Penyediaan kredit bersifat konsensual diberikan dalam fasilitas rekening koran, demand loan, atau fasilitas kredit lainnya. Akan tetapi terdapat pula penyediaan kredit secara rill, misalnya fasilitas kredit secara fixed loan atau fasilitas kredit konsumtif, misalnya untuk pembelian rumah atau kendaraan. 6. Syarat penggunaannya tidak selalu menggunakan cara giral melalui cek, giro, atau peminda-bukuan. Dalam praktik perbankan, tidak mustahil pula dilakukan penarikan secara tunai melalui kasir dengan menggunakan kuitansi sebagai bukti pengambilan. 158
158
Johannes Ibrahim, Cross Default&Cross Collateral Sebagai UpayaPenyelesaian Kredit Bermasalah, (Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 28-29.
Oleh karena itu, perjanjian kredit tetap masih berakar pada perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata, tetapi mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. 159 Menurut Tan Kamello, bagaimana Kitab Undang-Undang Perdata melihat perjanjian kredit, dapat dilihat dari beberapa hal: 160 1. perjanjian tidak identik dengan perjanjian pinjam meminjam uang (verbruik lening) sebagaimana diatur dalam pasal 1754 KUH Perdata); 2. perjanjian kredit bank merupakan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst/innominaat contracten) yang tunduk perjanjian pada umumnya; 3. perjanjian kredit bank merupakan perjanjian yang memiliki sifat konsensuil obligatoir; 4. perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian pinjam uang (verbruiklening); 5. perjanjian kredit bank merupakan perjanjian dengan syarat tangguh; perjanjian kredit bank merupakan perjanjian baku yang bersifat timbal balik; 7. perjanjian kredit bank merupakan perjanjian yang prestasinya adalah berbuat sesuatu (iets te doen), 8. perjanjian kredit bank berkaitan dengan jaminan (collateral). Bank wajib menyalurkan kredit dengan hati-hati. Kredit yang berhati-hati menurut ketentuan adalah: 161 1. Kredit yang memperhatikan fesibilitas prospek usaha debitur, kinerja debitur dan kemampuan bayar; 2. Kredit yang sebelum penyalurannya dinilai secara seksama terhadap watak, kemampuan, modal, jaminan dan prospek usaha debitur; 3. Kredit yang mengedepankan jaminan pengembalian yang jelas (lebih dari sekedar ketersediaan agunan karena agunan bukan sesuatu yang wajib apabila telah diperoleh jaminan yang cukup dan dapat diyakini untuk pelunasan kewajiban debitur); 4. Kredit yang tujuan penggunaanya untuk usaha tidak dilarang ketentuan dan AMDAL; 159
Ibid. Tan Kamello, Krmininalisasi Perjanjian kredit Bank, disampaikan dalam seminar publik yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan, tanggal 23 April 2013, h. 5-6. 161 Ahmad Fauzi, Bank Indonesia Perwakilan IX Medan, Kriminalisasi Perjanjian Kredit Bank Dalam Perspektif Pengawasan Bank, disampaikan dalam seminar publik yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan, tanggal 23 April 2013. 160
5. Kredit diperjanjikan secara tertulis; 6. Kredit yang pelaksanaannya diatur dalam Standard Operating Procedure (SOP) kredit yang jelas; 7. Kredit dengan: a) prosedur penyelesaian sengketa yang diperjanjikan; b) mekanisme penyelesaian kewajiban debitur (berkualitas macet selama jangka waktu tertentu) yang jelas diatur; 8. Kredit yang perlakuan yang sama bagi setiap debitur (Diskresi hanya diperkenankan dengan mekanisme dan pertimbangan yang jelas); 9. Kredit yang tidak melampaui batas maksimum pemberian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara bank dengan debitur untuk memberikan pinjaman sejumlah dana kepada debitur. Pemberian kredit sangat berisiko tinggi karena begitu kredit sudah berada dalam tangan debitur pihak bank tidak dapat mengetahui
dan tidak dapat mendeteksi lebih jauh terhadap uang
tersebut, sehingga mungkin saja terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam menyalurkan dana tersebut bank harus melaksanakan asas-asas perkreditan yang sehat, dan asas kehati-hatian serta perlu penilaian yang seksama dari berbagai faktor dalam setiap pertimbangan permohonan kredit, dengan maksud agar sejak awal telah ada upaya pencegahan dan pengurangan risiko itu. 162 Untuk mengetahui atau menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit, pada umumnya dunia perbankan menggunakan instrumen analisis yang dikenal dengan the fives of credit atau 5 C, yaitu: character(watak), Capital (modal), Capacity (kemampuan), Collateral (jaminan) dan Condition of Economy (kondisi ekonomi).
162
Djuhaendah Hasan, LembagaJaminan.., Op.Cit., h. 102
3. Perjanjian kredit bank sebagai perjanjian pokok Pengaturan perjanjian kredit dalam KUH Perdata, sebagaimana dijelaskan sebelumnya ditanggapi berbeda oleh para pakar, Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata. Hal ini dilihat dengan ditegaskannya pengertian kredit dalam rumusan undang-undang perbankan, dapat disimpulkan dasar perjanjian kredit adalah pinjam meminjam di dalam KUH Perdata Pasal 1754, sedangkan Djuhaendah Hasan berpendapat lain, yaitu perjanjian kredit lebih merupakan perjanjian tidak bernama, karena mengenai perjanjian kredit belum ada pengaturan secara khusus, baik dalam Undang-Undang maupun Undang-Undang Perbankan. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III dan Bab XIII KUH Perdata,sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan UUD 1945 yaitu ketentuan bidang ekonomi dalam Garis Garis Besar Haluan Negara (sekarang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), ketentuan umum KUH Perdata, Undang-Undang Perbankan, Paket Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang ekonomi termasuk bidang perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia, dan sebagainya. Berbeda dengan, Johannes Ibrahim yang berpendapat perjanjian kredit tetap masih berakar pada perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata, tetapi mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Berdasarkan beberapa pendapat ahli hukum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit tetap bersumber dari KUH Perdata,
yaitu
merupakan perikatan yang timbul dari persetujuan maupun undang-undang. Dengan demikian, dasar perjanjian kredit sebagian masih mengaju pada ketentuan KUH Perdata Buku III tentang Perikatan, Bab XIII tentang Pinjam-Meminjam. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari perjanjian tersebut timbul hubungan hukum antara dua pihak pembuatnya yang dinamakan perikatan. Perjanjian kredit perlu mendapat perhatian khusus karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya, maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Menurut Ch. Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, diantaranya yaitu: 163 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur. 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monotoring kredit. Dilihat dari fungsinya, perjanjian kredit disebut perjanjian pokok yang di dalamnya diatur dan sekaligus merupakan alat bukti mengenai batasan hak antara kreditur dan debitur dan sebagai alat monitoring kredit. Dalam perjanjian kredit, halhal yang diperjanjikan, antara lain: 1.
Jangka waktu. 163
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), h. 228.
2.
Suku bunga.
3.
Cara pembayaran/angsuran kredit.
4.
Agunan/jaminan kredit.
5.
Biaya provisi dan biaya administrasi.
6.
Asuransi dan tagihan. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret 1995, mengenai kewajiban penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan perkreditan bank bagi bank umum, disebutkan setiap yang disetujui dan disepakati permohonan kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Bentuk dan format perjanjian kredit ditetapkan oleh masingmasing bank, namun paling sedikit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank. 2. Memuat jumlah, jangka waktu, tatacara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit yang dimaksud. Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditandatangani bank dengan debitur, maka tidak ada pemberian kredit itu. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit (pinjam uang). Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan, maka perjanjian kredit adalah perjanjian pokok atau prinsip, sedangkan perjanjian jaminan adalah perjanjian
assesoir atau ikutan artinya ada dan berakhirnya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokok (perjanjian kredit). Sebagai contoh jika perjanjian kredit berakhir karena ada pelunasan hutang, maka secara otomatis perjanjian jaminan akan menjadi hapus, tetapi sebaliknya jika perjanjian jaminan hapus atau berakhir, misalnya barang yang menjadi jaminan musnah, maka perjanjian kredit tidak berakhir. Jadi perjanjian kredit harus mendahului perjanjian jaminan, tidak mungkin ada jaminan tanpa ada perjanjian kredit. Perjanjian kredit berlaku sejak ditandatangani kedua pihak, kreditur dan debitur. Sejak ditandatangani perjanjian kredit bank sebagai kreditur sudah mencatat adanya kewajiban menyerahkan uang oleh bank disebut mencairkan uang secara bertahap sesuai perjanjian. Adanya kewajiban menyerahkan uang tersebut dalam pembukuan bank dicatat dalam posisi of balance yang dalam akutansi disebut komitmen. Komitmen artinya bank setiap saat (any time) siap untuk menyerahkan uang kepada debiturnya sesuai permintaan. Debitur sepanjang memenuhi syarat yang diatur dalam perjanjian kredit. Jika bank secara rill pada posisi on balance artinya perjanjian kredit benar-benar terjadi dan berlaku. Jadi meskipun perjanjian kredit telah ditandatangani bank dan debitur belum menarik uangnya maka perjanjian kredit dianggap belum terjadi/belum ada. 164 Dengan demikian perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti rill ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur. 164
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 98.
Pentingnya perjanjian pemberian jaminan ini sebagai penjanjian assesor dari perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok untuk memberikan keyakinan kepada kreditur atau pembayaran utang-utang yang telah diberikannya kepada debitur. Adanya jaminan diharuskan dalam UU Perbankan yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, walaupun demikian pemberian jaminan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya jaminan (collateral)
bukanlah syarat yang utama dalam pemberian
kredit bank kepada debitur. Berkaitan dengan perjanjian pemberian jaminan dikenal didasarkan pada teori jaminan (lien theory) 165 menyatakan bahwa titel kepemilikan dalam suatu sistem jaminan utang tetap berada pada pihak debitur, mencakup juga kekuasaan untuk menguasai dan memungut hasil dari benda jaminan utang. Titel kepemilikan dari debitur atas benda objek jaminan utang tersebut baru berakhir setelah adanya wanprestasi terhadap utang yang dijamin dan dilakukan eksekusi yang sah sesuai hukum yang berlaku. Jadi menurut teori jaminan benda ini objek jaminan utang dimaksudkan bukan untuk menikmati hasilnya, melainkan hanya sebagai jaminan saja-untuk berjaga-jaga apabila utang memang tidak dibayar nantinya. Ketika utang memang tidak dibayar harga pembayarannya akan diambil dari hasil penjualan bneda objek jaminan utang. Dalam KUH Perdata terdapat asas yang berhubungan jaminan bagi pemberian utang oleh kreditur kepada debitur, yaitu asas yang terdapat dalam pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 menentukan bahwa segala harta kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak, maupun benda tetap, baik yang sudah ada 165
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 7.
maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan agunan bagi semua perikatan yang dibuat oleh debitur dengan para krediturnya. Dengan perkataan lain, Pasal 1131 KUH Perdata, memberi ketentuan bahwa apabila debitur wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitur tanpa kecuali, merupakan sumber pelunasan utangnya. Asas yang terdapat dalam Pasal 1132 KUH Perdata bahwa kekayaan debitur menjadi jaminan atau agunan secara bersama-sama bagi semua pihak yang memberikan utang kepada debitur, sehingga apabila debitur wanprestasi, maka hasil penjualan atas harta kekayaaan debitur dibagikan secara proposional menurut besarnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lainnya. Pengikatan jaminan akan memberikan kenyamanan bagi pihak-pihak yang bertransaksi dalam pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur. Pihak bank selaku kreditur akan mendapatkan kepastian hukum, sedangkan pihak debitur wajib memenuhi kewajibannya bila melakukan wanprestasi sesuai yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit. 4. Perjanjian kredit bank sebagai perjanjian baku dan klausul baku. Dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di hampir semua bidang di mana dibuat kontrak. Beberapa aktivitas penting dan cabang-cabang perusahaan, di mana perjanjian-perjanjian dibuat atas dasar syarat-syarat baku, di antaranya perjanjian kerja (perjanjian-perjanjian kerja kolektif), perbankan (syarat-syarat umum perbankan), pembangunan (syarat-syarat seragam administratif untuk pelaksanaan pekerjaan), perdagangan eceran, sektor pemberian jasa-jasa, sewa, dagang dan
perniagaan, perusahaan pelabuhan, sewa menyewa, sewa beli, hipotik, kolportage, pemberian kredit, pertanian, urusan makelar, praktek notaris dan hukum lainnya, perusahaan-perusahan umum, penyewaan, urusan pers, perusahan angkutan, penerbitan, urusan asuransi dan lain sebagainya. Kiranya tidak tepat kalau ada kesan seakan-akan hampir semua transaksi dibuat atas dasar syarat-syarat baku. Selalu masih terdapat banyak perjanjian yang dibuat sama sekali atau semata-mata dalam bentuk syarat-syarat kontrak individuil. Tidak semua transaksi cocok untuk dibakukan yaitu jenis-jenis kontrak baru dan hubungan-hubungan hukum muskil termasuk golongan ini. Juga transaksi antara seorang pengusaha dan seorang partikelir, yang segera dilaksanakan dalam hal mana pengusaha tidak ada risiko besar (misalnya penjualan bahan makanan) kebanyakan dibuat tanpa syarat-syarat baku – dalam hal ini biaya, waktu dan kesulitan dari penetapan syarat-syarat umum tidak seimbang dengan keuntungan. 166 Perjanjian baku atau standardized contract atau contract d’adhesion pada pokoknya merupakan suatu perjanjian sebagaimana lazimnya dalam pengertian perjanjian itu dibuat oleh dua pihak atau lebih, akan tetapi syarat atau syaratsyaratnya ditentukan secara baku (standar) oleh salah satu pihak saja. Umumnya pihak yang membakukan syarat atau syarat-syarat perjanjian adalah pihak yang dominan. 167Kendati pun terkesan berat sebelah dan sama sekali menutup negoisasi, eksistensi kontrak baku selama ini telah diterima luas dan dimanfaatkan secara luas
166
E.H.Hondius, Syarat-Syarat Baku Dalam Hukum Kontrak, Compedium Hukum Belanda, (Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia – Negeri Belanda di ‘s-Gravenhage, 1978), h. 141. 167 Putu Sudarma Sumadi, Perspektif Sejarah Hukum Mengenai Keabsahan Perjanjian, Kumpulan Makalah yang disampaikan Konferensi Nasional Hukum Perdata II, yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan dan Universitas Udayana, Denpasar, 16-17 April 2015, h. 92.
pula. Berbagai subjek hukum yang memiliki atau berpotensi dominan mulai dari perusahaan yang bergerak di bidang perbankan, asuransi, pembiayaan, perusahaan properti, jasa telkom seluler dan lain lain sampai jasa binatu pun sangat mengandalkan keampuhan kontrak baku untukmewadahi transaksi-transaksi yang mereka lakukan. Pada sisi lain, dengan kontrak baku, nasabah dan atau konsumen yang sebenarnya merupakan sebagai contracting party tidak diperlakukan sebagai demikian. Dalam kedudukan sebagai contracting party, nasabah atau konsumen memiliki hak untuk ikut menentukan syarat perjanjian, akan tetapi dalam kontrak baku hak didominasi bahkan beralih ke pihak bank atau produsen. 168 Dalam sejarah hukum dikenal dua jenis standard form of contracts, yaitu ancient origin dan modern origin.Adapun maksud dari kedua hal tersebut adalah: jenis yang pertama, .... ancient origin are those which set out the terms on which mercantile transaction of common occurance are to be carried out. Examples are bill of loading, charterparties, polices of insurance, contracts of sale commodity markets. The standard clauses in these contracts have been settled over the years by negotiation by representatives of the commercial interests involved and have been widely adopted because experience has shown that the facilitate the conduct of trade. Sedangkan jenis yang kedua, .... modern origin.It is result of the concentration of particular kinds of businessin relatively few hands. The tickets cases in the 19th century provide what are probably the first examples. The terms of this kind of standard form of contract have not been subject of negotiation between the parties to it, or approved by any organization representing the interest of the weaker party. They have been dictated by that party whose barganing power, either exercised alone or in conjunction with other providing similar goods or services, enables him to say:”if you want these goods or services at all, these are the only which they areobtainable. Take it or leave it. 169 (Dalam terjemahan bebasnya, Sumber kuno adalah yang membuat ketentuanketentuandi mana transaksi perdagangan dari kejadian umum dilakukan. Contoh: tagihan pemuatan barang, biaya penyewaan, kebijakan-kebijakan asuransi, kontrakkontrak pasar penjualan komoditas. Klausul-klausul standar pada kontrak ini telah menjadi tetap selama bertahun-tahun diakibatkan oleh negosiasi para perwakilan168
Ibid. Michael Furmston P, Cheshire, Fifoot & Furmston’s Law Of Contract, (Oxford: Oxford University Press, 2007), p. 25 169
perwakilan kepentingan-kepentingan bisnis yang terlibat dan telah diadaptasi secara luas karena pengalaman menunjukkan bahwa klausul-klusul tersebut memfasilitasi pelaksanaan perdagangan. Sumber modern adalah hasil dari konsentrasi jenis-jenis bisnis tertentu. Kasus-kasus tiket di abad 19 merupakan contoh-contoh awal. Ketentuan-ketentuan jenis kontrak berbentuk standar ini belum menjadi subjek negosiasi para pihak yang ada atapun belum disetujui oleh organisasi manapun yang mewakili kepentingan pihak yang lebih lemah. Ketentuan-ketentuan kontrak ini didikte oleh pihak yang kekuatan bargainingnya, entahkah dilakukan sendiri atau berhubungan dengan barang dan jasa yang serupa, memampukan mereka berkata: jika anda mau barang dan jasa ini, hanya inilah yang tersedia. Silahkan beli atau tidak usah sama sekali). Di samping kedua jenis perjanjian baku tersebut di atas, dikenal pula perjanjian baku yang mengandung instrument of command atau perjanjian baku standar pemerintah. Istilah instrument of command untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh W. Friedmann, 170yang menunjukkan salah satu dari lima langkah yang paling representatif yang dilakukan pemerintah dalam campur tangan terhadap kebebasan kepemilikan, kebebasan berkontrak dan kebebasan memberikan (freedom of testamentary disposition). Dengan mengutip dan menerjemahkan sendiri karya G. Ripert yang berjudul Le declin du droit (1949), seorang ahli hukum berkebangsaan Prancis (France), W. Friedmann 171 mengemukakan apa pokoknya dengan Instrument of Command, negara-pemerintah ... prescribes actions or it orders, or it even commands the making certain contracts. Di Indonesia, kontrak baku dalam kandungan instrument of command sesungguhnya telah sejak awal dekade tahun 1960 an, ketika diterapkan sistem jual beli hak atas tanah. Pengikatan yang dituangkan dalam akta jual beli merupakan contoh yang represenatif bagi kontrak baku dengan kandunganinstrument of 170
W. Friedmann, The State And The Rule of Law In A Mixed Economy, (London: Stevens & Sons, 1975), p. 35. 171 Ibid., p. 40.
command. Di samping itu, kenal pula akta pemberian jaminan berupa tanah yaitu Hak Tanggungan, bahkan akta-akta notaris telah ditetapkan oleh pemerintah seperti akta jaminan fidusia, akta pendirian Perseroan Terbatas (PT), akta pendirian Koperasi. Dalam perjanjian baku sebelumnya syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pihak yang dominan, sedangkan dalam perjanjian baku gaya baru, ditentukan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah sama sekali tidak menjadi para pihak, melainkan hanya melakukan campur tangan, yaitu: 172 1. menuangkan syarat dan kondisi perjanjian dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan; 2. membakukan format perjanjian untuk mewadahi langkah pertama, dan ketiga mewajibkan para pihak mematuhinya. Praktik perbankan, setiap bank telah menyediakan blangko atau formulirformulir perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu. Blangko perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu. Blangko perjanjian kredit ini diserahkan kepada pihak debitur untuk disetujui dan tanpa memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain untuk melakukan negoisasi atas syaratsyarat yang disodorkannya. Perjanjian demikian dikenal dengan perjanjian standard atau baku. 173 Dalam hal perjanjian kredit bank dibuat dengan akta notaris, maka bank meminta
notaris berpedoman kepada model perjanjian kredit dari bank yang
bersangkutan. Notaris diminta untuk memedomani klausul dari model perjanjian
172
173
Putu Sudarma Sumadi, Op.Cit., h. 93.
Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif, (Bandung: Utomo, 2004), h. 113.
kredit yang bersangkutan. 174 Sebenarnya tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mewajibkan atau mengharuskan perjanjian kredit dibuat dengan akta otentik. akan tetapi karena pemberian kredit tersebut memiliki risiko yang sangat tinggi, maka perjanjian kredit oleh pihak bank dibuat dengan akta notaris atau akta otentik dengan pertimbangan pencegahan dan pengurangan risiko. Hal ini disebabkan perjanjian kredit yang dibuat dengan akta otentik tersebut memiliki kekuatan pembuktian apabila terjadi permasalahan di kemudian hari. Dari hal ini dapat dikatakan perjanjian kredit merupakan perjanjian baku, karena hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dipersiapkan dan dibakukan oleh pemakainya. Ada beberapa ciri yang dapat dilihat dalam perjanjian kredit, sehingga merupakan perjanjian baku, yaitu: 175 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditor yang posisinya relatif kuat dari debitor. 2. Debitor sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian. 3. Terdorong oleh kebutuhannya debitor terpaksa menerima perjanjian itu. 4. Bentuknya tertulis. 5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual. Ciri-ciri tersebut di atas, menunjukkan perjanjian baku dalam perjanjian kredit mengandung muatan yang negatif dan merugikan debitur. Perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku di mana telah ditentukan klausul-klausul oleh pihak bank (kreditur) mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebenarnya bertentangan dengan pasal 1320 juncto pasal 1338 KUH Perdata. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat, perbedaan
174
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., h. 182. Mariam Darus Badrulzaman, “Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Perjanjian Baku (standard)” dalam Media Notariat No 28-29 Tahun VIII, Juli-Oktober, 1993,h. 47-48. 175
posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberi kesempatan pada debitur mengadakan “real barganing” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai
kekuasaan
mengutarakan
kehendak
dan
kebebasannya
dalam
menentukan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki pasal 1320 juncto pasal 1338 KUH Perdata.Di sini pihak debitur tidak mempunyai kekuatan tawar menawar dalam menentukan klausul-klausul yang ditetapkan sebelumnya dalam bentuk perjanjian kredit yang telah standar (baku). Pihak Bank (kreditur) tinggal menyodorkan akta perjanjian kredit tersebut kepada debitur dan debitur tinggal menyetujui “ya” atau “tidak”. Apabila debitur menyetujui substansinya, ia menandatangani perjanjian kredit tersebut. Akan tetapi, apabila substansi itu tidak disetujui, ia tidak menandatangi perjanjian kredit itu. Dengan demikian, kebebasan berkontrak yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata tidak mempunyai arti bagi debitur karena hak-hak debitur dibatasioleh debitur. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberi batasan klausul baku dan perjanjian baku, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 10. Klausul Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak olehpelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausul baku berarti satu atau lebih klausul yang diformulasikan secara tertulis sebelum terjadinya perjanjian-perjanjian yang sama jenisnya dengan maksud
untuk menentukan pula isi dari perjanjian yang akan terjadi di antara para pihak. 176 Dengan pengertian sebagaimana dimaksud berarti bahwa cukup satu klausul tertulis saja sudah dapat dikatakan adalah klausul baku. Menurut doktrin, sebenarnya yang dianggap sebagai klausul baku adalah sejumlah klausul yang telah disusun secara mendetail dan saksama oleh salah satu pihak. Klausul baku dan perjanjian baku dikatakan mempunyai sifat konfeksi (confectiecharacter), di dalam pengertian klausul dan perjanjian tidak disusun secara individual untuk pihak tertentu. Sifat tersebut termanifestasikan lebih lanjut pada kenyataan bahwa perjanjian baku hampir tidak memungkinkan pihak-pihak untuk menambahkan atau mengubah klausulklausulnya. Klausul baku dan perjanjian baku pada umumnya di dalam literatur setidaknya memenuhi tiga syarat, yaitu: 177 1. Klausul tersebut tertulis. 2. Klausul tersebut telah disusun terlebih dahulu dan perjanjian baku yang memuat klausul baku tersebut akan digunakan terhadap pihak lawannya yang berjumlah relatif banyak. 3. Adanya peraturan pelaksana yang rinci. Jika dilihat dalam perjanjian kredit, kerugian konsumen tak berhenti di tahap pratransaksi. Pada fase transaksi, ketika konsumen membuat perjanjian kredit dengan pihak bank, masalah akan kembali muncul. Di sini biasanya bank sudah mempunyai perjanjian standar di mana debitur sebagai konsumen tidak mempunyai pilihan lain
176
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan...., Op.Cit., h. 135. Ibid.
177
selain menandatanganinya. Setidaknya ada beberapa ketentuan baku dalam perjanjian kredit itu yang dapat merugikan konsumen. Diantaranya tentang kenaikan suku bunga yang dapat diterapkan sewaktu-waktu tanpa persetujuan konsumen selaku debitur, keadaan memaksa (force majeure), pengaturan denda, pencantuman klausul yang membebaskan bank dari tuntutan kerugian, hingga kewajiban debitur untuk tunduk pada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian. Undang-Undang Perlindungan konsumen memberikan nuansa baru karena undang-undang ini mengatur pelaku usaha tidak semena-mena mencantumkan klausul baku dalam menawarkan barang dan/atau jasa. Dalam undang-undang ini tidak secara tegas dan jelas bidang usaha dari pelaku usaha, tetapi dapatlah disimpulkan secara umum bahwa setiap penjual barang/atau jasa termasuk tidak terbatas pihak perbankan yang merupakan suatu lembaga penjual jasa pula. Konsumen dalam undang-undang ini dijelaskan sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat 2, konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali. Peraturan
di bidang hukum perbankan dan
perkreditan agar memperhatikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan asas hukum umum saat membuat perjanjian kredit. Penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian kredit konsumen dapat meminta pembatalan pasal yang merugikan itu kepada pengadilan, tetapi penyalahgunaan keadaan tidak mengakibatkan perjanjian batal demi hukum, melainkan hanya pasal-pasal yang merugikan saja yang dibatalkan bukan keseluruhan perjanjian.
B. Klausul Baku (Standar) Dalam Perjanjian Kredit Pada Bank Dalam Black’s Law Dictionary, a clausula; a sentence orpart of a sentence ini written instrumen or statute. 178 Perjanjian kredit bank, memuat serangkaian klausul atau covenant, di mana sebagian dari klausul tersebut merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur dalam pemberian kredit. Klausul merupakan serangkaian persyaratan yang diformulasikan dalam upaya pemberian kredit ditinjau dari aspek finansial dan hukum. 179 Dari aspek finansial, klausul melindungi kreditur agar dapat memuntut atau menarik kembali dana yang telah diberikan kepada nasabah debitur dalam posisi yang menguntungkan bagi kreditur apabila kondisi nasabah debitur tidak sesuai dengan perjanjian, sedangkan aspek hukum, klausul merupakan sarana untuk melakukan penegakan hukum agar nasabah debitur dapat mematuhi substansi yang telah disepakati dalam perjanjian kredit. Dalam praktiknya perjanjian kredit berisi klausul baku, di mana perjanjian kredit yang dibuat bank dengan nasabahnya dapat dikatakan bersifat perjanjian baku atau perjanjian standar, karena hampir setiap bank telah mempersiapkan blangko atau formulir perjanjian kredit ataupun telah memberikan ketentuan-ketentuan tertentu dalam hubungan dengan para nasabahnya. Manakala perjanjian kredit dalam bentuk akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris, tidak jarang syarat perjanjian telah ditentukan terlebih dahulu oleh pihak bank atau perjanjian kredit dalam bentuk formulir atau blangko dituangkan kembali dalam akta autentik, sehingga isi perjanjian kredit dalam bentuk inipun dapat dikatakan merupakan suatu perjanjian baku dengan
178
Bryan A.Garner,Blakck’LawDictionary,(United States of America,ThomsonBusinessEighth Edition, 1999), p. 268. 179 Johannes Ibrahim,Cross Default.., Op. Cit.,h. 37.
klausul baku pula. Hal ini memberikan kesan dan asumsi bahwa bank dengan cara demikian sebagai pihak yang kuat mendominasi pihak lawan dan telah memaksakan kehendaknya terhadap pihak yang lemah pada nasabahnya. Nasabah dalam keadaan pihak membutuhkan kredit hanya bisa menerima saja. Perjanjian yang demikian mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan terlebih dahulu secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya lemah. Melihat kenyataan ini, klausul yang terdapat dalam perjanjian kredit terdapat unsur paksaan dari pihak bank selaku kreditur terhadap nasabah/debitur. Pasal 1331 KUH perdata menyebutkan, “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Selanjutnya dalam Pasal 1323 KUH Perdata menjelaskan pula “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga untuk pentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat. Akibat paksaaan yang dilakukan pihak bank terhadap klausul yang terdapat dalam perjanjian kredit dapat saja dijadikan alasan perjanjian yang dibuat (dibawah paksaan) oleh debitur. Dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja dilakukan, bukanlah sesuatu yang terlarang sebagaimana yang termaksud dalam pasal 1320 juncto Pasal1338 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1337 KUH perdata menyatakan, bahwa suatu sebab adalah terlarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Hal ini memberikan gambaran umum bagi kita semua, bahwa pada
dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya saja perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. Pasal 1337 ini dapat ditafsirkan bahwa isi atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, moral, dan atau ketertiban umum. Pasal ini harus ditafsirkan bahwa bukan hanya ketentuan dari kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang membolehkan atau berisi suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian, tetapi juga ketentuan-ketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Pasal 1339 KUH perdata, yang berbunyi: Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dan persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Pasal ini bukan hanya mengenai ketentuan-ketentuan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang membolehkan atau berisi suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian, tetapi juga ketentuan-ketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan perkataan lain, larangan-larangan yang ditentukan (atau hal-hal yang dilarang) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang merupakan juga syarat-syarat dari suatu perjanjian. Khusus mengenai kebiasaan, larangan-larangan menurut kebiasaan hanya mengikat perjanjian itu apabila syarat-syarat tertulis di dalam perjanjian itu tidak menentukan lain. 180
180
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., h. 118.
Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata tersebut mempunyai tujuan yang sama. Ada 3 (tiga) tolak ukur dalam Pasal 1337 KUH Perdata untuk menentukan klausul atau syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian baku dapat berlaku dan mengikat. Tolak ukur itu ialah undang-undang (wet), moral (geodezeden) dan ketertiban umum (openbaar order). Sedangkan Pasal 1339 KUH Perdata tolak ukurnya adalah kepatutan (bilijheid), kebiasaan (gebruik), dan undang-undang (wet), atau kalau digabungkan tolak ukur dari kedua pasal itu adalah
undang-undang,
moral, ketertiban umum, kepatutan dan kebiasaan. 181 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), mengatur juga di dalamnya mengenai klausul baku. Jika semula pendekatan instrumen hukum pokok, dalam hal ini instrumen hukum perdata “asas kebebasan berkontrak” (pacta sunt servanda) telah sering disalahgunakan pelaku usaha untuk menjamin hak-haknya terhadap konsumen, sekaligus mengecualikan kewajibankewajiban terhadap konsumen dengan mempraktekkan klausul-klausul baku (onesided standard form contrac) dan klausul pengecualian (exemption clauses), kini melalui pendekatan instrumen hukum sektoral, asas tersebut telah dibatasi oleh UUPK. Dalam kerangka sistemhukum, di mana hukum akan mampu menggunakan “teropong hukum” untuk mengungkapkan ketidakadilan atas nama kebebasan berkontrak. 182 Adapun yang menjadi batasan klausul baku dan penjanjian baku dalam UUPK telah dirumuskan bahwa klausul baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-
181
Ibid., h. 19. Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), h.42. 182
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Selanjutnya larangan ketentuan pencantuman klausul baku dalam UUPK Pasal 18 menekankan: 1.
2.
3.
4.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokomen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung-jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepadapelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara langsung; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jas yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang terbaru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapa dibaca secara jelas, atau mengungkapkannya sulit dimengerti. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan pelaku usahapada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 dinyatakan batal demi hukum. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Dalam penjelasan ayat 1 tersebut, larangan ini dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Jadi sebenarnya pencantuman klausul baku dalam UUPK tidak dilarang sepanjang tidak menyalahi aturan pencantuman klausul baku pelaku
usaha dalam menawarkan barang atau jasa untuk tujuan diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen atau perjanjian sebagaimana dalam Pasal 18 ayat 1 di atas. Perlu dikemukakan di sini, bahwa tidak semua klausul baku atau perjanjian baku mengandung muatan negatif yang dapat merugikan pihak konsumen, mengingat banyak klausul telah diterima dan lazim digunakan di dunia perbankan. 183 Walaupun dalam Pasal 63 Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkreditan Perbankan menyebutkan, dalam perjanjian kredit dilarang mencantumkan: 1. Klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau maknanya sulit dimengerti; dan 2. Ketentuan yang mewajibkan pemohon kredit atau debitur tunduk pada syaratsyarat yang akan ditetapkan kemudian, kecuali hal-hal-hal yang secara tegas ditetapkan dalam undang-undang ini. Tetapi dalam Pasal 21 RUU Perkreditan Perbankan tersebut dalam ayat 1 menyebutkan perjanjian kredit dibuat secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan kelaziman di dunia perbankan. Hal ini dalam ayat 2 dikecualikan, di mana ketentuan mengenai standar Perjanjian kredit tidak berlaku bagi pelaku Usaha Kecil dan Bank Perkreditan Rakyat. Selanjutnya dalam penjelasan ayat 2 dijelaskan ketentuan tentang perjanjian standar yang akan diatur dalam Peraturan bank Indonesia, antara lain: 1. Bentuk dan format perjanjian standar; 2. Contoh hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepatutan; 3. Contoh hal-hal yang menyebabkan adanya tambahan dan/atau perubahanperjanjian standar; dan 4. Sanksi administrasi terhadap penyimpangan dalam pembuatan perjanjian standar.
183
Herlien Budiono, Kumpulan ....., Op.Cit., h. 153.
Dengan mengaju padakredit/utang konsumen, yaitu orang perorangan selaku enduser dari kredit/utang tersebut, maka perjanjian standar perjanjian kredit
yang
mengandung klausul baku baku dilarang oleh UUPK seyogianya adalah kredit/utang konsumtif saja. Bagi debitor yang tidak digolongkan pada konsumen menurut UUPK, masih terdapat larangan mencantumkan ketentuan baku sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 63 Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan. 184 Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang salah satu tugasnya mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: 1. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; 2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
184
Herlien Budiono, mengatakan seyogianya larangan pengunaan atas klausul baku diberlakukan secara selektif, sebagaimana dianjurkan oleh ajaran penundukan kehendak yang relatif (relatieve wilsonderwerping). Menurut ajaran ini pada dasarnya teori kehendak (wilstheorie) dianut, tetapi hanya berlaku mankala adanya faktor kepercayaan (vertrouwen) yang termotifikasi dengan itikad baik yang harus sesuai dengan kepentingan lalu lintas hukum. Klausula baku lainnya yang tidak dilarang sebagaimana digolongkan pada ketentuan Pasal 18 UUPK Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 63 Rancangan UndangUndang Tentang Perkreditan Perbankan tersebut, tetapi nyata-nyata merupakan klausul yang sangat memberatkan salah satu pihak dapat pula menjadi alasan untuk minta dibatalkannya penjanjian tersebut. Kedudukan hukum secara materil yang sama (gelikkwaardige materikle rechtspositie) dari para pihak pada saat perjanjian dilakukan adalah yang utama untuk terjadinya suatu perjanjian yang sah di antara para pihak. Sepanjangtidak dapat dibuktikan adanya penyalahgunaan klausul klausul tersebut klausul baku pada dokumen dan/atau perjanjian baku adalah sah. Hal penyalahgunaan klausula dapat diminimalisasi dengan mengatur suatu agar dapat melindungi kelompok “ekonomi lemah” dengan tetap berasaskan pada kebebasan berkontrak bagi semua orang. Pengaturan sistem tersebut dapat berupa pembentukan suatu komisi pada Departemen kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) yang bersama-sama dengan lembaga masyarakat terkait (Bank Indonesia Lembaga Konsumen dan Ikatan Notaris Indonesia) untuk meneliti dan mengkaji klausula baku dan standar baku) sebelum digunakan, disahkan atau disetujui oleh menteri dan selanjutnya diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia guna memenuhi asas publisitas. Dengan demikian, dapat menjamin asas keseimbangan antara hubungan individu dengan individu-masyarakat.
3. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Dalam penjelasan yang dimaksud dengan melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK, maka OJK memiliki kewenangan regulasi dan supervisi atas pasar modal, perbankan dan aktivitas keuangan non-bank. Bank Indonesia akan memfokuskan pada macro prudential regulation, kebijakan moneter, sistem pembayaran dan foreign exchange. 185Untuk menjalankan perlindungan konsumen yang efektif, OJK menerapkan prinsip: 186 1. Transparansi; 2. Keandalan; 3. Kerahasian dan keamanan data/informasi konsumen; dan 4. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau. Di samping itu, OJK juga melakukan pelayanan pengaduan konsumen yang meliputi: 1. menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan;
185
Bismar Nasution, Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan,disampaikan pada Sosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ruang Balai Citra Convention Hall Hotel Tiara, Medan, Jumat Tanggal 29 November 2013, h. 3. 186 Peraturan Otoritas Jasa KeuanganNomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan, Pasal 2 Konsumen sektor Jasa Keuangan.
2. membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku Lembaga Jasa Keuangan; dan 3. memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang: melakukan pembelaan hukum yang meliputi memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud. OJK juga dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebakan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad baik; dan/atau untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan. 187 1. Kesimbangan klausul-klausul dalam perjanjian kredit bank Dalam praktik perbankan, setiap bank telah mempersiapkan blangko dan formulir ataupun memberikan ketentuan-ketentuan tertentu dalam hubungan dengan para nasabahnya. Manakala perjanjian kredit ini dibuat dalam bentuk akta Notaris, tidak jarang syarat perjanjian telah ditentukan terlebih dahulu oleh pihak bank, sehingga isi dalam perjanjian kredit inipun dapat dikatakan merupakan suatu perjanjian baku dengan klausul baku pula. Hal ini memberikan suatu kesan dan asumsi bahwa bank dengan cara demikian sebagai pihak yang kuat mendominasi pihak lawan yang telah memaksakan kehendaknya terhadap pihak yang lemah, para nasabahnya. Nasabah menyetujui klausul dan perjanjian baku dengan pilihan “take it
187
Zulkarnain Sitompul, Peralihan Fungsi Pengawasan Industri Keuangan, disampaikan padaSosialisasi Kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ruang Balai Citra Convention Hall Hotel Tiara, Medan, Jumat Tanggal 29 November 2013, h.16.
or leave it”. Pada kenyataannya nasabah sebenarnya telah mengutamakan klausul yang seimbang ketimbang kebebasan berkontrak yangbersifat materil. Dengan demikian, kebebasan berkontrak Pasal 1338 KUH Perdata yang menjadi dasar perjanjian kredit tidak mempunyai arti lagi bagi debitur karena ada hak-hak debitur yang dibatasi. Beberapa alasan dapat dikemukakan sebagai berikut: 188 1. Untuk perjanjian tertentu selalu dibutuhkan pembicaraan pendahuluan mengenai syarat/klausul secara rinci, misalnya, pada perjanjian kredit KPR, kredit rekening koran, dan sebagainya, 2. Adanya fungsi hakim untuk mengurangi kemungkinan timbulnya kerugian pada suatu perjanjian, 3. Pihak lemah apabila bergabung dapat pula menjadi pihak yang kuat. Asas kebebasan berkontrak sebagaimana tersirat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata ialah asas yang terkait dengan bentuk dan isi perjanjian. Makna kebebasan berkontrak ialah setiap orang bebas untuk menentukan dengan siapa ia akan membuat perjanjian, bebas untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian dan bebas untuk membuat pilihan hukum (choice of law). Asas ini menunjukkan bahwa perlu adanya keseimbangan kedudukan (bargaining position) antara pihak pembuatnya. Asas kebebasan berkontrak seringkali mengalami degradasi eksistensi dalam praktiknya. Dalam perjanjian kredit, bank sudah menyiapkan kontrak standarnya. Pihak peminjam sudah tidak memiliki kebebasan untuk melakukan negoisasi terhadap klausul-klausul dalam perjanjian kredit. 188
H.G.van der Werf, dalam Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan...., Op.Cit., h. 147.
Penuangan perjanjian kredit dalam bentuk perjanjian standar atau perjanjian baku harus memahami posisi kebebasan berkontrak dalam kaitan terpadu dengan asas-asas hukum perjanjian lainnya yang secara menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, fondasi dari hukum perjanjian. Salah satunya dari asas itu adalah asas keseimbangan.
189
Asas keseimbangan menurut Mariam Darus Badruzaman
merupakan perkembangan lebih lanjut dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu. Dapat dilihat di sini, bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 190 Herlien Budiono mengulas asas keseimbangan menjadi dua bentuk, asas kesimbangan sebagi asas etis dan asas keseimbangan sebagai asas yuridis. 191 1. Asas keseimbangan sebagai asas etis mengandung arti “adanya keadaan yang berat atau bobot pada kedua sisi adalah seimbang”. Didalam konteks inilah keseimbangan yang merupakan “keadaan seimbang karena adanya elemen yang menyebabkan terjadinya hal tersebut”. Keseimbangan di dalam kejiwaan dan karakter mengandung suatu pengertian adanya suatu keadaan di mana tidak diperlukan lagi suatu tindakan lain karena adanya kesesuaian antara keinginan dan kemampuan atau antara naluri atau dorongan hawa nafsu dan kemauan. Di dalam suatu keadaan kejiwaan seimbang, maka kecenderungan orang secara sadar menuju atau diarahkan kepada suatu tindakan yang membawa hasil atau keadaan dan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan kemampuannya. Dengan keadaan “seimbang” tersebut, seseorang dapat membatasi suatu keinginan (yang ditimbulkan dari penilaian) di satu pihak dan keyakinan untuk dapat melaksanakan dan tercapainya keinginan tersebut; sehingga dengan demikian“seimbang” mengandung suatu muatan positif. 2. Keseimbangan sebagai asas yuridis mengandung arti bahwa asas ini harus mempunyai sifat-sifat tertentu juga konsisten tertuju pada kebenaran yang logis 189
Ibid., h. 108 Mariam Darus Badrulzaman,Kompilasi Hukum Perikatan. Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 88. 191 Johanes Ibrahim,PengimpasanPinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Utomo, 2003), h. 108-109. 190
dan cukup konkrit. Karena alasan-alasan tersebut, sampailah kita pada suatu pemikiran bahwa asas keseimbangan adalah asas yang dapat dianggap adil dan merupakan dasar yang dapat diterima sebagai kekuatan mengikat secara yuridis bagi hukum kontrak Indonesia. Untuk dapat sampai pada penemuan asas keseimbangan, menurut Helien Budiono, perlu dilakukan penyelidikan secara kritis dan menganalisis gejala-gejala hukum Indonesia seperti kekeluargaan, gotong royong, dan tolong menolong. Melalui induksi dari bagian-bagian esensial ini, kita sampai pada pengertian keseimbangan. Keseimbangan berkaitan dengan kepentingan individu dan masyarakat secara bersama-sama karena individu dan masyarakat secara bersama-sama membentuk kekuatan-kekuatan normatif dalam suatu perjanjian.
Dalam membentuk suatu
perjanjian harus dilihat kepentingan individu dan kepentingan masyarakat sedemikian rupa, sehingga kedua kepentingan ini berada dalam keadaan seimbang. Dengan demikian kehendak para pihak dibangkitkan oleh kekuatan-kekuatan yang membawa kepada motivasi untuk menundukan diri kepada maksud dari pihak lainnya dengan tujuan yang sama yaitu tercapainya keseimbangan. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa elemen-elemen yang relevan dari asas keseimbangan sudah jelas; kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat harus berada dalam keadaan seimbang dan diterapkan sebagai dasar bagi kekuatan mengikat secara kontraktual. Dalam hal ini yang menjadi masalah adalah menentukan ukuran kepentingan apabila timbul ketidakseimbangan dari hubungan individu-individu dan individu-masyrakat. Di satu pihak adanya kebebasan berkontrak, dan di lain pihak adanya pihak tertentu yang hendak dilindungi. Apabila bermaksud untuk melindungi masyarakat, asas kebebasan berkontrak akan dikalahkan dan terhadap pelanggaran undang-undang
akan berakibat batal demi hukum. Dalam hubungan bank-nasabah haruslah ditentukan kepentingan mana yang hendak dilindungi; bank mewakili dana milik masyarakat berhadapan dengan nasabah (individu). Kebebasan berkontrak yang menjadi dasar perjanjian kredit akan henti manakala pada situasi konkrit terjadi konflik antar kepentingan individu dengan kepentingan yang lebih tinggi. Kebebasan berkontrak tidak hanya dibatasi oleh undang-undang tetapi juga kesusilaan, ketertiban umum, kepatutan dan kepantasan serta itikad baik. Pembatasan asas kebebasan berkontark dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal ini bertujuan mencegah perbuatan yang tidak patut dan bertentangan dengan hukum. 192 Oleh karena itu, para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian, tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan dengan itikad buruk, akibat hukum atas perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjian. Sehubungan dengan keseimbangan dalam asas kebebasan berkontrak, yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 3641 K/Pdt/2001, tanggal 11 September 2002, dalam kaidah hukumnya menyatakan: 193
192
Djaja S Meliala, Masalah Itikad Baik Dalam KUH Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1987),
h. 9. 193
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2006, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2007).
1. Dalam asas kebebasan berkontrak hakim berwenang untuk meneliti dan menyatakan bahwa kedudukan para pihak berada dalam yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebasmenyatakan kehendaknya; 2. Dalam perjanjian yang bersifat terbuka, nilai nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan kepatutan, keadilan, perikemanusian dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap ketentuan yang disepakati dalam perjanjian. Mahkamah Agung memeriksa perkara perdata tingkat kasasi dalam perkaraMade Oka MasAgung, sebagai Pemohon kasasi dahulu PenggugatTerbanding melawan
PT Bank Artha Graha, Notaris Koesbiono Sarmanhadi,
Sugiarto Kusuma, PT Binajaya Padukreasi, sebagai para Termohon Kasasi dahulu paraTergugat I, IV, V, VI-Pembanding dan PT Gunung Agung, PT Gunung Agung Investmen, para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II dan III Turut Terbanding, Adapun duduk perkara sebagai berikut: Bahwa sekitar bulan Mei 1997 sampai dengan Desember 1997, Penggugat asli (Made Oka MasAgung) berada dalam tahanan karena dipersangkakan melakukan tindakan korupsi, kejahatan perbankan dan pemalsuan berdasarkan laporan Tergugat asli I (PT Bank Artha Graha), ternyata Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah memeriksa dan mengadili perkaranya Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) tidak bersalah dan dinyatakan bebas murni; Bahwa ketika Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) berada di Rutan Polda Metro Jaya sekitar Oktober-November 1997, Tergugat alsi IV (Notaris Koesbiono Sarmanhadi) sebagai Notaris telah meyodorkan satu berkas yang terdiridari beberapa Akta Notaris untuk ditandatangani, dan belakangan baru diketahui bahwa akta-akta tersebut adalah Akta Perjanjian No 41 dan 42 masing-masing tanggal 29 Oktober 1997 dan surat pernyataan tanggal 29 Oktober 1997; Bahwa dalam akta No 4 memuat pernyataan bahwa Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) masih mempunyai pinjaman/utang kepada Tergugat asli I (PT Bank Artha Graha) yang belum diselesaikan sebesar Rp 215.837.852.000,- yang ditentukan Tergugat asli I (PT Bank Artha Graha) oleh menjadiRp 100.000.000.000,- yang harus dibayar oleh Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) dengan ketentuan sebagi berikut:
a. Sebesar 20% atas senilai Rp 20.000.000.000,- akan dibayar secara tunai atau dengan penyerahan assetnya atas milik pihak manapun yang oleh Tergugat II (PT Gunung Agung) dan Tergugat III (PT Gunung Agung Investment) dinilai memiliki nilai ekonomis sebesar itu yang dilaksanakan selambat-lambatnya 60 hari terhitung sejak dikabulkannya penangguhan penahanan atas diri Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) oleh pihak yang berwenang; b. Sebesar 80 % atau senilai Rp 80.000.000.000,- akan dibayar seketika dan sekaligus dengan uang tunai Rp 15.000.000.000,- yang wajib dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 180 hari terhitung sejak dikabulkannya pemohonan penangguhan penahanan atas diri Penggugat asli I (Made Oka MasAgung). Bahwa untuk semua itu, Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) diharuskan membuat dan menandatangani permohonan membuka rekening pada Tergugat asli I (PT Bank Artha Graha) yang telah dipersiapkan bersamaan dengan penandatanganan akat No 41 tersebut sekaligus menyodorkan buku Bilyet Giro PT Bank Artha Graha berikut 2 lembar GiroBilyet yang telah ditulis/diisi masing-masing berjumlah Rp 20.000.000.000,- dan Rp 15.000.000.000,-. Bahwa akta No 42 merupakan penegasan dan perincian ketentuan yang dibuat oleh para Tergugat asli pada akat No 41 sepanjang menyangkut Penggugat asli sendiri dengan mengkaitkan pihak lain yaitu Tuan Ketut Abdulrahman MasAgung dan Putra MasAgung sebagai penjamin; Bahwa selain akta-akta tersebut diatas, kemudian diketahui telah dibuat dan ditanda tangani Tergugat asli I (PT Bank Artha Graha) sebagi pihak kedua dan Tergugat II (PT Gunung Agung) dan Tergugat III ( PT Gunung Agung Investment) sebagai pihak kesatu, akat No 31 adalah akta perubahan terhadap akta No 42 mengganti penjaminan pihak lain tersebut di atas dengan harta kekayaan Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) berupa: - Tanah kavling yang teletak di Permata Hijau Blok A-5, 6,dan 7 seluas 4500 m2; - Apartemen Four Season Park-Singapore, Blok 2 Type D No. 25.01.50 Cuscaden Walk yang terdaftar atas nama Groschen Ltd. Suatu perseroan yang didirikan berdasarkan hukum Hongkong berkedudukan di Hongkong B/F Bay Tower; - Sunning Ro Causeway Bay, Hongkong. Bahwa akta-akta tersebut jelas merugikan Penggugat asli I (Made Oka MasAgung) karena ditandatangani secara paksa/setidak-tidaknya dalam keadaan tidak bebas, bahkan penandatangan akta tersebut terlaksanakan di ruang/sel tahanaan Polda Metro Jaya. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya berpendapat Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum terutama sekali dalam menilai tentang kebebasan dalam membuat perjanjian (kebebasan berkontrak), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Bahwa asas kebebasan berkontrak (membuat perjanjian) tidak bersifat mutlak, yang berarti dalam keadaaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum
untuk meneliti dan menilai serta menyatakan, bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya seolah-olah perjanjian terjadi secara sepihak, dan dengan mengingat sistem hukum perjanjian yang bersifat terbuka, maka pada waktu terjadi suatu perjanjian yang berlaku hanya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan atau hukum Adat saja, tetapi nilai-nilai hukum lainnya yang hidup di kalangan rakyat lainnya sesuai dengan kepatutan,keadilan, perikemanusian seperti penyalahgunaan keadaan/kesempatan dan atau larangan penyalahgunaan ekonomi yang berlaku secara berdampingan dan saling mengisi, sehingga merupakan suatu kesatuan. Oleh karena itu nilai-nilai hukum yang dimaksud mempunyai suatu pengaruh yang dapat dipakai sebagai upaya perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut. 2. Bahwa berpedoman pada ad.1 tersebut di atas, penandatanganan perjanjian dalam akta perjanjian No 41 dan Nomor 42 oleh pemohon kasasi ketika ia berada dalam tahanan, menurut Mahkamah Agung adalah terjadi karena ada penyalahgunaan keadaan atau kesempatan, sehingga pemohon kasasi sebagai salah satu pihak dalam perjanjian-perjanjian yang telah disepakati tersebut dalam keadaan tidak bebas menyatakan kehendaknya, berarti akibat hukum yang dibuat sebagaimana tersebut dalam perjanjian yang tercantum dalam akta perjanjian Nomor 41 dan No 42 tersebut berserta perjanjian-perjanjian lainnya yang terbit atau dibuat berdasarkan kedua tersebut harus dibatalkan. Dalam kontrak, ketika salah satu pihak menyodorkan dokumen bisnis dan diterima oleh pihak lain sebagai dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan kontrak, offeror tidak berkewajiban meminta offeree memperhatikan semua ketentuan dalam dokumen itu, kecuali ketentuan tersebut dicetak dengan cara atau posisi sedemikian rupa untuk menyesatkan pengusaha yang cukup berperhatian. Keadaan yang demikian dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu: 194 1. Jika offree sudah menunjukkan persetujuan dengan menandatangani dokumen yang disodorkan offeror, dengan tidak adanya kecurangan (fraud) atau keterangan yang tidak benar (misrepresentation), offeree tidak dapat berdalil tidak mengetahui ketentuan-ketentuan penawaran itu, bahkan jika ia memang benar-benar tidak mengetahui ihwal ketentuan tersebut; 2. Jika dokumen kontrak ditandatangani sebagai akibat dari keterangan lisan yang salah satu ketentuannya,offeree tidak dapat mengandalkan ketentuan itu; 194
Arthur Lewis, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, terjemahan dari Introduction to Business Law, (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 98-100.
3. Jika saat kontrak dibuat, seseorang memberikan janji lisan yang tidak dapat dicocokkan dengan salah satu ketentuan dalam kontrak tercetak, maka janji lisan itu lebih diutamakan daripada klausul yang tercetak; 4. Jika kondisi-kondisi tercetak pada suatu kontrak yang ternyata berlawanan dengan janji lisan yang bersifat mengikat, tidak membebaskan tanggung jawab atas pelanggaran janji tersebut. Sejalan dengan itu dalam perjanjian yang dibuat akta notaris, mengenai kewajiban pembacaan akta oleh Notaris telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan mengalami perubahan berdasarkan Undang UndangNomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, di mana Pasal 16, ayat 1 huruf m, yang berbunyi: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Selanjutnya dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan dalam ayat 7, 8 dan 9bahwa: Ayat 7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa haltersebut dinyatakan dalam penutup aktaserta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Ayat 8. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 7 dikecualikan terhadap pembacaan kepala akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup akta.
Ayat 9. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf m dan ayat 7tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik tidak saja bekerja setelah perjanjian dibuat tetapi juga telah mulai bekerja sewaktu pihakpihak akan memasuki perjanjian yang bersangkutan, maka perbuatan perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam membuat dan melaksanakan perjanjian itu adalah antara dua mitra janji dan bukan dua lawan janji. Lebih-lebih lagi pada pembuatan perjanjian kredit bank, asas kemitraan itu sangat diperlukan. Landasan asas kemitraan pada pembuatan perjanjian kredit bukan saja karena bekerjanya asas itikad baik, tetapi juga karena bagi bank nasabah debitur adalah sesungguhnya mitra usaha bank. Bukan saja nasabah debitur memerlukan bank, tetapi juga bank membutuhkan nasabah debitur sebagai mitra usaha. Nasabah tidak dapat berkembang usahanya tanpa bank dan sebaliknya bank juga tidak dapat berkembang usahanya tanpa nasabah. Bank dan nasabah debitur harus saling menjadi mitra, maka dalam perjanjian di antara mereka tidak boleh ada lebih kuat kedududukannya. 195 Dengan perkataan lain, klausul-klausul dalam perjanjian kredit pun juga harus seimbang dan tidak memberatkan salah satu pihak, di mana mengenai klausul-klausul dalam perjanjian kredit sering memberatkan nasabah debitur. Tetapi dalam hal bank berhadapan dengan pengusaha-pengusaha konglomerat sebagai debitur, seringkali terhadap klausul-klausul perjanjian kredit justru bank dalam kedudukan yang lemah. 195
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., h. 193.
2. Asas kebebasan berkontrak dalam klausulperjanjian kredit bank Dalam konteks hukum perjanjian dikenal beberapa asas penting yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam membuat perjanjian yang merupakan soko guru hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda dan asas itikad baik. Asas-asas tersebut merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Asas kebebasan berkontrak dalam KUH Perdata yang tersirat di dalam suatu norma hukum sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Konsekuensi penerapan asas kebebasan berkontrak dalam suatu aturan hukum mengakibatkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya para pihak diberi kebebasan untuk menentukan isi dan kepada siap perjanjian diperbuat dan dengan demikian ketentuan Buku III KUH Perdata dapat disimpangi oleh para pihak sepanjang disepakati bersama. 196 Di samping itu, dalam Pasal 1329 KUH Perdata, menentukan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh undangundang. Pasal 1332 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa asal saja menyangkut barang-barang
yang
bernilai
ekonomis,
maka
setiap
orang
bebas
untuk
memperjanjikannya. Dari ketentuan Pasal 1320 ayat (4) juncto Pasal 1337 KUH Perdata dapat disimpulkan, asal saja bukan mengenai kuasa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum,
196
Zoelfirman,Kebebasan Berkontrak Versus HakAsasi Manusia (Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), (Medan: UISU Press, 2003), h. 48.
maka setiap orang memiliki kebebasan untuk memperjanjikannya. 197 Dari rumusan ketentuan pasal-pasal KUH Perdata di atas dapat disimpulkan
berlakunya asas
kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian di Indonesia. Dalam etika, Aristoteles menggambarkan kontrak sebagai suatu bentuk keadilan. Menurut Aristoteles, keadilan merupakan gagasan yang mendua, sebab dari satu sisi, konsep ini mengacu pada keseluruhan kebajikan sosial. Dari lain sisi, juga mengaju kepada salah satu jenis kebajikan sosial yang khusus. Yang pertama disebut kebajikan universal (umum) dan yang kedua disebut keadilan partikular. Keadilan universal adalah keadilan yang terbentuk bersamaan dengan perumusan hukum, sedangkan keadilan partikular adalah jenis keadilan yang oleh Aristoteles diidentikkan dengan fairness atau equalitas.
198
Lebih jauh, prinsip kebebasan
berkontrak juga merupakan dasar hubungan antarpihak yang mengandung dimensi hak dan etika sekaligus. Adam Smith (1723-1790) memahami kebebasan dalam pengertian
etis
yaitu
kebebasan
bertindak
yang
tidak
merugikan
orang
lain. 199Kebebasan yang diterapkan dengan hanya berorientasi pada kepentingan salah satu pihak dipahami sebagai kebebasan yang tidak sempurna. Kebebasan yang mementingkan diri sendiri dapat diartikan sebagai kebebasan yang tidak etis. 200 Ditinjau secara formal kebebasan berkontrak tetap dipertahankan, namun isi hubungan kontraktual pada hakikatnya ditentukan oleh seperangkat aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hukum mengalami proses sosialisasi melalui pengeseran
197
Johannes Ibrahim, Penghimpasan Pinjaman..., Op.Cit., h. 100. H. Budi Untung, Hukum dan Etika Bisnis, (Yogyakarta: Andi, 2012), h.96. 199 A. Sonny Keraf,Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah: Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Jakarta: Kanisius, 1996), h.116. 200 Nico Syukur Dister, Filsafat Kebebasan, (Jakarta: Kanisius, 1998), h. 31. 198
tekanan dari kepentingan pribadi ke arah kepentingan bersama. Jadi di sini dijumpai tindakan pendesakan ke belakang unsur-unsur hukum privat dan penarikan ke depan unsur-unsur hukum publik. Suatu akibat jelas dari tindakan ini adalah pengikisan kebebasan pribadi manusia. 201 Dalam kontrak-kontrak kadang mengandung klausul-klausul pembebasan di mana satu pihak yang mengajukan kontrak berusaha mendapatkan pembebasan dari beberapa
atau
semua
pertanggungjawaban
yang
dikenakan
padanya
oleh
hukum.Ketentuan ini mengikuti doktrin dari kebebasan berkontrak bahwa pihakpihak pada prinsipnya, boleh setuju bahwa pada kemungkinan-kemungkinan tertentu salah pihak harus dibebaskan dari pertanggungjawaban yang dikenakan oleh hukum. Ketentuan ini, bagaimanapun juga adalah komponen dari kualifikasi yang dibutuhkan oleh kebijakan publik atau peraturan hukum. Suatu ketentuan yang membebaskan satu pihak dari tanggungjawabnya dalam hal ini melakukan kesalahan terhadap pihak lain dari kontrak adalah kosong, karena hal itu melanggar atau menyalahi kebijakan publik. Pengadilan tidak berpihak pada klausul-klausul ini dalam kontrak walaupun mereka harus menghormati kebebasan pihak-pihak untuk setuju pada ketentuan kontrak mereka sendiri. 202 Perjanjian kredit bank, memuat serangkaian klausul atau covenant,di mana sebagian besar dari klausul tersebut merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur dalam pemberian kredit. Klausul merupakan serangkaian persyaratan yang diformulasikan dalam upaya pemberian kredit ditinjau dari aspek finasial dan aspek 201
Herlien Budiono, “Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan Yang Seimbang dalam Suatu Perjanjian”, Makalah pada Media Notariat No. 28-29, Juli-Oktober 1993. 202 Clive M. Schmitthoff dan David A.G. Sarre, Charles Worth’s Mercantile Law, (London: Stevens & Sons, Thirteenth Edition, 1977), p. 29.
hukum. Dari aspek finansial, klausul melindungi kreditur agar dapat menuntut atau menarik kembali dana yang telah diberikan kepada nasabah debitur dalam posisi yang menguntungkan bagi kreditur apabila kondisi nasabah debitur tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, sedangkan dari aspek hukum, klausul merupakan penegakan hukum agar nasabah debitur dapat mematuhi substansi yang telah disepakati dalam perjanjian kredit. 203 Analisis kritis tentang kebebasan berkontrak memunculkan ide bahwa kontrak harus diperlakukan secara berbeda ketika terdapat ketidaksetaraan dalambargaining position. Pertama, ketidaksetaraan dari dirinya tidak bisa menjadi dasar untuk ketidakabsahan karena biasanya tidak ada cara untuk pihak yang lebih kuat menjauhkan dirinya dari keuntungan dan itupun tidak akan menjadi keuntungan bagi pihak yang lebih lemah untuk melarang kontrak antara kedua belah pihak secara total. Ketidakabsahan harus tergantung kepada keadaan di mana yang lebih kuat yang mengambil keuntungan tidak adil dari posisinya. Kedua, ketidaksetaraan yang benar pas dalam bargaining position adalah tidak biasa ketika satu pihak sedikit lebih kuat, proses negoisasi harus mengarah kepada kesepakatan di mana kedua pihak setuju untuk hasil yang setara. 204 Dalam perjanjian kredit di Indonesia prinsip kebebasan berkontrak harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menekankan aspek keserasian, kesimbangan dan keselarasan antara para pihak yang melakukan perjanjian/kontrak. Pandangan Pancasila kepentingan orang banyak didahulukan dengan mensejahterakan rakyat
203
Johannes Ibrahim, Cross Default...,Op.Cit., h. 58-59. Michael Furmston, Law of Contract, (OxfordUniversity Press, 2012), p. 25.
204
banyak (keadilan sosial). Dengan demikian pelaksanaan perjanjian kredit harus bersumber pada: 1. Unsur objektif yaitu undang-undang dan kebiasaan atau kepatutan, dan 2. Unsur subjektif yaitu isi perjanjian yang berupa klausul-klausul dalam perjanjian kredit harus berlandaskan kepada kejujuran dan kepatutan (itikad baik) dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Itikad baik merupakan salah satu asas di dalam sistem hukum di Indonesia. Sebagai asas, maka itikad baik berfungsi untuk menilai hukum positif yang bertujuan untuk mencari keadilan. 205 Asas itikad baik tersebut dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1338 ayat 3, yang menentukan tentang pelaksanaan perjanjian:
“Persetujuan-
persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Mahkamah Agung Belanda dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 merumuskan itikad baik itu sebagai berikut: “perjanjian harus dilaksanakan menurut syarat-syarat kewajaran (redelijikheid) dan kepatutan (billijkheid).”Menurut Wery, yang dimaksud dengan kewajaran ialah yang dapat dimengerti oleh intelek dan akal sehat, dengan budi. Jadi rumus kewajaran dan kepatutan meliputi semua yang dapat ditangkap baik intelek maupun perasaan. Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menunjuk pada norma tidak tertulis yang disebut objektif, sebab esensinya bukan kewajaran dan kepatutan menurut para pihak masing-masing tetapi sesuai menurut pendapat umum. Para pihak bukan hanya terikat pada kata-kata perjanjian itu saja, tetapi juga pada 205
Mariam Darus Badrulzaman, “Perkembangan Prinsip Itikad baik Sebagai asas Umum di Dalam Hukum Indonesia”, Disampaikan dalam Seminar Perkembangan Prinsip Itikad Baik & Klausula Aribitrase Dalam Pembuatan Perjanjian Komersial, yang diselenggarakan Badan Arbitarse Nasional Indonesia (BANI) Perwakilan Medan, Lembaga Pelayanan Hukum (LPH) KADIN Sumatera Utara, Berkerjasama dengan STIH Graha Kirana Medan, Tanggal 15 November 2013, di Grand Kanaya Hotel Medan.
itikad baik. Di samping itu, dikenal juga itikad baik yang bersifat subjektif. Itikad baik subjektif terletak dalam ranah hukum benda. Itikad baik subjektif di sini adalah kejujuran yang berkaitan dengan sikap batin seseorang. 206 Pelaksanaan perjanjian/kontrak itu harus dilakukan dengan itikad baik yang objektif artinya diukur menurut norma-norma pandangan umum bukan diukur menurut perasaan yang berkepentingan atau itikad baik subjektif. Kontrak juga tidak hanya menyangkut hal-hal yang sudah tegas dinyatakan, tetapi juga hal-hal yang menurut sifatnya dari persetujuan menurut ukuran kepatutan yang dikehendaki oleh kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUH Perdata). Dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai tujuannya, bila para pihak mempunyai posisi tawar yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah, maka pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain bagi keuntungannya sendiri. Syarat-syarat atau ketentuan ketentuan dalam perjanjian seperti itu akan melanggar rasa keadilan. Kenyataannya tidak selalu para pihak memiliki posisi tawar yang seimbang, sehingga negara dapat campur tangan melindungi pihak yang lemah. 207 Keadaan yang seperti inilah yang terdapat dalam perjanjian kredit bank yang dalam hubungan antara bank selaku kreditur dan nasabah peminjam selaku debitur, posisi bank sebagai kreditur menjelma menjadi perusahaan besar dan pemilik dana, maka diasumsikan memiliki tawar yang kuat terhadap debitur selaku peminjam yang memiliki posisi tawar lebih lemah.
206
Ibid. Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., h. 47.
207
C. Klausul Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Perjanjian Kredit Bank 1. Keadaan memaksa (force majeure) dalam peraturan perundang-undangan Keadaan memaksa ialah peristiwa yang terjadi di luar kesalahan debitur setelah dibuatnya perikatan, atau sepatutnya tidak dapat memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan. 208Istilah keadaan memaksa (overmacht)atau kejadian yang tiba-tiba (toeval), juga diartikan menghalangi penuaian perikatan, membebaskan orang yang berutang dari kewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga. Undang-Undang mengatur bersisian antara sebab luar biasa (vereemde oorzaak),
keadaan
memaksa,
dan
kejadian
tiba-tiba
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada yang berutang (debitor). Biasanya ketiga-tiganya termasuk dalam keadaan memaksa. 209 Pengertian mengenai force majeure atau overmacht, dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, tidak menentukan secara jelas namun dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 dapat dilihat pengaturannya, yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya. Pasal 1244 KUH Perdata, menyatakan: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa tidak pada waktu yang tetap dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu jika tidak ada itikad buruk padanya. Pasal 1245 KUH Perdata, menyatakan: Tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tidak sengaja, si berutang debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. 208
R.M.Suryodiningrat, Azas-Azas Hukum Perikatan, (Bandung: Tarsito, 1995), h. 31. Siti Anisah, Doktrin Keadaan Memaksa, Pengaturan,dan Perkembangannya,Jurnal Hukum Bisnis, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Volome 29 – No. 2-Tahun 2010, h. 59. 209
Dari rumusan-rumusan dalam pasal KUH Perdata seperti tersebut di atas dapat dilihat kausa-kausa force majeure, sehingga bentuk-bentuk force majeure sebagai berikut: 1. Forje majeure karena sebab-sebab yang tak terduga Dalam hal ini, menurut pasal 1244 KUH Perdata, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya oleh pihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk kedalam kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beritikad jahat, di mana dalam hal ini debitur tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya. 2. Forje majeure karena keadaan memaksa Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan memaksa (force majeure), sehingga ia tidak perlu bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa (lihat pasal 1245 KUH Perdata). 3. Forje majeure karena perbuatan tersebut dilarang Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku), maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (pasal 1245 KUH Perdata) Pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata ini lebih menekankan pada penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan.Pada pasal 1244 KUH Perdata menamakan keadaan memaksa itu sebab yang halal dan pasal 1245 KUH Perdata menamakan keadaan memaksa atau overmacht.
Selanjutnya pasal 1444 KUH Perdata menentukan kebetulan yang tidak dapat diperkirakan atau oonvorziene toeval. 210 Pasal 1444 KUH Perdata, menyatakan: Jika barang-barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkannya suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang, seandainya sudah diserahkan kepadanya. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tak terduga, yang dimajukannya itu.Dengan cara bagaimana pun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang barang ini tidak sekali-sekali membebaskan orang yang mencuri barang dari kewajibannya untuk mengganti harganya. Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata, sebagaimana ditunjukkan di atas, disimpulkan bahwa overmacht adalah keadaan yang melepaskan seseorang atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan (i.e siberutang atau debitur), yang tidak atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk memberi ganti rugi, biaya dan bunga, dan atau dari tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya tersebut. 211 R. Subekti mengartikan bahwa overmacht atau keadaan memaksaadalah: 212 Di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama kali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, tidak terlaksananya perjanjian atau terlambat dalam pelaksanaan perjanjian bukan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.
210
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum ...., Op.Cit., h. 25. Lihat pula Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UndangUndang), (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 19. 211 Rahmat S.S.Soemadipradja, Op.Cit., h. 3. 212 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit., h. 55.
R Subekti mendasarkan keadaan memaksa pada dua pasal, yaitu pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa isi dua pasal sama
hanya
penilaian lebih baik diberikan pada isi pasal 1244 KUH Perdata karena dianggap paling tepat menunjuk overmacht. Overmacht yang merupakan pembelaan bagi debitor yang dituduh lalai juga memberikan beban pembuktian pada debitor untuk membuktikan adanya peristiwa yang disebut overmacht (keadaan memaksa). Dari pasal-pasal tersebut diatas, dilihat, bahwa keadaan memaksa itu adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak sengaja dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak dapat menepati janji. 213 Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian overmacht adalah adanya hal yang tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang, sedangkan yang bersangkutan dengan segala daya berusaha secara patut memenuhi kewajibannya. Selanjutnya, dikemukakan juga bahwa hanya debitor yang dapat mengemukakan keadaan memaksa, apabila setelah dibuat suatu perjanjian timbul suatu keadaan yang tidak diduga-duga akan terjadi dalam keadaan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. 214 Rumusan tersebut mensyaratkan adanya unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan memaksa (force majeure), yaitu: 1. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan; 2. Ada sebab yang terletak diluar kesalahan debitor karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitor untuk berprestasi; 213
Ibid. Rahmad S.S. Soemadipradja, Op.Cit., h.24.
214
3. Faktor penyebab itu tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor. Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai force majeure membawa konsekuensi (akibat hukum), sebagai berikut: 215 1. Kreditor tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi 2. Debitor tidak dapat lagi dinyatakan lalai 3. Debitor tidak wajib membayar ganti rugi 4. Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik 5. Perikatan dianggap gugur Dalam klausul suatu kontrak, force majeure diterjemahkan sebagai suatu keadaan atau kondisi alamiah atau keadaan yang memaksa dihindarkan
yang terjadi karena
yang tidak bisa
kehendak Tuhan seperti bencana alam, banjir
bandang, gunung meletus, gempa bumi, badai topan, dan/atau terjadi pemberontakan, perang/invasi, dan sebagainya. Diluar kontrol atau kendali para pihak yang menyebabkan salah satu pihak tidak bisa memenuhi kewajiban seperti yang diperjanjikan dalam
kontrak. Namun demikian,
sebaliknya klausul keadaan
memaksa dalam kontrak secara tegas merinci hal-hal apa yang termasuk dalam kategori force majeure, karena klausul ini menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk tidak melaksanakan prestasi atau kewajiban yang dijanjikan. 216 Dalam peraturan perundangan, selain dalam KUH Perdata konsep keadaan memaksa berkaitan dengan perikatan juga diatur dalam peraturan perundangan lainnya, seperti Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi yang dalam Pasal 22 ayat 215
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 243. Siti Anisah, Op.Cit., h. 58.
216
2huruf j menyebutkan keadaan memaksa (force majeure) yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. 217 Dijelaskan lebih lanjut, keadaan memaksa mencakup: 1. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut), yakni bahwa para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya; 2. Keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkanuntuk melaksanakan hak dan kewajibannya; Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain melalui lembaga-lembaga pertanggungan (asuransi). Di sampingUndang-Undang Jasa Konstruksi, pengertian keadaan memaksa juga terdapat dalam peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang dalam Pasal 91 ayat 1 dijelaskan, bahwa Keadaan memaksa yang dalam peraturan ini disebut keadaan kahar adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi. Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 2yang dapat digolongkan sebagai keadaan kahar dalam kontrak pengadaan barang/jasa meliputi: 1. Bencana alam; (penjelasan: Yang termasuk bencana alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor). 2. Bencana non alam;
217
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
3.
4. 5. 6.
(Penjelasan: Yang termasuk bencana non alam antara lain berupa gagal teknologi, epidemi dan wabah penyakit). Bencana Sosial; (Penjelasan: Yang termasuk bencana sosial antara lain konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror). Pemogokan; Kebakaran; Gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri teknis terkait. (Penjelasan: Menteri Keuangan dan menteri teknisi terkait menerbitkan Surat Keputusan Bersama setelah memperoleh pertimbangan dari APIP/Aparat Pengawas Intern Pemerintah, LKPP/Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan BPS/ Badan Pusat Statistik).
Diatur pula persyaratan dan akibat keadaan kahar, yaitu: 1. Dalam hal terjadi keadaan kahar, Penyedia barang/jasa memberitahukan tentang terjadinya keadaan kahar kepada PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) secara tertulis dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar, dengan menyertakan salinan pernyataan keadaan kahar yang dikeluarkan oleh pihak/instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat 3). 2. Tidak termasuk keadaan kahar adalah hal-hal merugikan yang disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian para pihak (ayat 4). 3. Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan oleh terjadinya keadaan kahar tidak dikenakan sanksi (ayat 5). 4. Setelah terjadinya keadaan kahar, para pihak dapat melakukan kesepakatan, yang dituangkan dalam perubahan kontrak (ayat 6). Selanjutnya, selain dalam kedua peraturan tersebut di atas, dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2007 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan pula istilah keadaan memaksa (force majeure)dalam Pasal 164 ayat 1 dan ayat 3, tetapi dalam undang-undang ini maupun penjelasannya tidak dijelaskan apa yang menjadi pengertian dan kriteria dari pada keadaan memaksa (force majeure) tersebut. Keadaaan memaksa mengakibatkan perikatan tersebut tidak lagi berlaku bekerja (working) walaupun perikatannya sendiri tetap ada. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi dan juga tidak dapat mengatakan debitur berada
dalam keadaan lalai dan karena itu tidak dapat menuntut ganti rugi. Jadi pada asasnya perikatan itu tetap ada dan yang lenyap adalah daya berlakunya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan memaksa yang bersifat sementara itu berhenti, maka perikatan itu kembali mempunyai daya kerja. 218 Dalam praktiknya keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) tersebut tidaklah serta merta debitur dibebaskan dari tanggung jawab atas kewajibannya karena tak jarang harus memenuhi syarat tertentu bahkan berujung sampai ke pengadilan,sedangkan pada keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif) sangatlah sulit untuk memenuhi kewajibannya kembali oleh debitur karena hampir tidak dapat dipastikan kapan perikatan itu mempunyai daya kerja kembali dan tak jarang debitur bersedia untuk melaksanakan kewajiban, sehingga kreditur harus melakukan gugatan ke pengadilan untuk dapat memperoleh kembali haknya. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 409K/Sip1983 tertanggal 25 Oktober 1984, yang kaidah hukum dari putusan tersebut adalah jika dapat dibuktikan bahwa terjadi force majeure, maka perjanjian dapat dibatalkan dan debitur tidak dapat dibebankan penggantian kerugian.Putusan Mahkamah Agung di atas tentang pertanggungjawaban seorang pengangkut yang harusbertanggung jawab sepenuhnya
atas
barang-barang
yang
diangkutnya
sejak
diterima
sampai
diserahkannya barang-barang yang diangkut tersebut kepada yang berhak. Seorang pengangkut juga harus mengganti kerugian sebagian atau seluruhnya akibat dari tidak
218
Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum ...,Op.Cit., h. 66.
dapat diserahkannya barang tersebut atau kerusakan barang adalah suatu malapetaka yang secara patut ia tak dapat mencegahnya. 219 Hal yang sama dalam juga dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 558 K/Sip/1971 dan telah menjadi Yurisprudensi dengan kaidah hukumnya: Keadaan memaksa (force majeure) yang diajuhkan oleh Tergugatasal sebagai timbulnya kebakaran yang menyebabkan musnahnya bis merek Dodge milik Penggugat-asli (perbuatan melawan hukum;Red. MA) tidak terbukti. Setiap orang mengetahui bahwa mengisi bensin pada kendaraan bermotor tidak melalui pompa bensin adalah sangat berbahaya, Apabila yang bersangkutan, meskipun mengetahui bahaya tersebut, tetap mengisi bensin dengan menggunakan ember (di luar pompa bensin), maka ia harus menanggung riskonya. Kebakaran tersebut terjadi karena kelalaian seorang pegawai PO NV Bintang dalam melakukan pekerjaannya. Oleh karena itu, menurut yurisprudensi tetap majikannya harus mengganti kerugian yang timbul karena kesalahan pegawainya. 220 2. Keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian dan perkembangannya Dilihat dari sejarah di Indonesia, hukum perjanjian dilandaskan pada aturanaturan hukum yang bersumberkan pada perundang-undangan zaman Hindia Belanda, yaitu Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata,yang pemberlakuannya berdasarkan asas konkordansi, artinya mengadakan persamaan dengan hukum yang sejenis yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam Pembukaan UUD 1945, dalam Pasal II Aturan
219
Rahmat S.S.Soemadipradja,Op.Cit., h. 112. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia 1 Perdata Umum 1962-1979 (Jakarta: Pilar Yuris Ultima, 2009), h. 353. 220
Peralihan, disebutkan “ segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar. Di Belanda, Pasal 54 huruf b Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) menentukan hak untuk menunda prestasi muncul jika prestasi yang harus dilaksanakan selamanya voor zover de nakoming van de verbintenis van de wederpartij blijvend onmogelijk is).19 Berkaitan dengan akibat dari tidak dilaksanakannya prestasi dapat dilihat dalam Pasal 74 Nieuw Burgerlijk Wetboek yang mengatur setiap kegagalan disetiap pelaksanaan prestasi mewajibkan debitor untuk memperbaiki kerugian yang dialami oleh kreditor, kecuali kegagalan itu tidak dapat dipersalahkan kepada debitor. Selanjutnya pada Pasal 75 Nieuw Burgerlijk Wetboek diatur bahwa suatu kegagalan dalam pelaksanaan prestasi tidak dapat dipersalahkan kepada debitor jika hal ini bukan sebagai akibat dari kesalahannya, dan jika ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap hal ini berdasarkan hukum atau pendapat umum yang dapat diterima. 221 Jaap Hijma dalam tulisan Force Majeure (Overmacht) According To The Civil Code of The Netherlands, mengatakan, bahwa konsekuensi dari force majeure adalah : 222 1. Hukum utama Belanda mengakui tindakan pemulihan tertentu (art.3:295 Dutch Civil Code). Pengandaian kemustahilan force majeure; hakim tidak akan memaksa suatu pihak untuk mencapai apa yang tidak mungkin. Untuk alasan ini dalam kasus force majeure dengan tindakan tertentu akan diblokir. Sebenarnya jalan ini dilarang bukan karena force majeure seperti itu, tetapi murni karena adanya hambatan tersebut. 2. Sebagai akibat dari force majeure debitur tidak bertanggung jawab atas kerusakan (art. 6: 74 par.2 DCC). 221
Rahmat S.S.Soemadipradja,Op.Cit., h. 63. Ibid., h. 29-30.
222
Ada suatu pengecualian untuk aturan ini. Jika debitur mengirimkan manfaat yang sehubungan dengan kegagalan, di mana ia tidak akan mendapat dalam kasus tindakan yang tepat, kreditur berhak atas reparasi kerusakan itu dengan penerapan aturan yang berkaitan dengan peningkatan pembenaran, sampai dengan maksimum jumlah imbalan tersebut (art.6:7 DCC). Ketentuan terakhir ini kompleks tetapi cukup beralasan; contoh dapat memperjelas hal itu A (tetapi tidak dikirimkan) menjual lukisan ke B. Rumah A tersambar petir dan terbakar habis. A sebagai pemilik lukisan itu telah mengasuransikannya dan kompensasi untuk kerugian dari perusahaan asuransi. Jika pembeli B mengalami kerugian, biasanya ia tidak dapat menuntut ganti rugi; petir akan dianggap sebagai force majeure. Art.6:78 Dutch Civil Code memastikan bahwa B tetap berhak atas kerusakan sepanjang A diberikan ganti kerugian melalui pembayaran perusahaan asuransi. 3. Force majeure tidak secara otomatis menyisihkan kewajiban terhalang atau kontrak. Pihak lain namun dapat memilih untuk mengatur kontrak lain, baik dengan cara perjanjian ekstra-yuridis atau dengan cara menuntut suatu keputusan pengadilan (art.6:267 DCC). Setiap kegagalan dari salah satu pihak dalam melaksanakan salah satu kewajibannya memberi pihak lain hak untuk mengatur kontrak lain, secara keseluruhan atau sebagian (art.6:265 par.1 DCC). Akuntabilitas dari kegagalan tidak diperlukan; karena itu kreditur juga akan diberikan hak untuk menentukan kontrak selain dalam force majeure. Ide latar belakang adalah bahwa ketika kreditur menginginkan tindakan yang ditetapkannya, ia harus selalu dapat lolos dari kinerja yang dia janjikan (keseimbangan yang sama antara kedua belah pihak). 4. Hukum Belanda menganut doktrin keadaan yang tak terduga (perubahan keadaan; clausula rebus sic stantibus). Atas permintaan salah satu pihak, pengadilan dapat memodifikasi efek dari kontrak atau mungkin menyingkirkannya, secara keseluruhan atau sebagian, dengan dasar dari keadaan yang tak terduga yang sedemikian rupa bahwa pihak lain, sesuai dengan standar kewajaran dan keadilan, tidak mungkin mengharapkan kontrak yang akan dijalankan dalam bentuk yang belum diubah (art.6:258.par.2 DCC). Dalam kasus tertentu, terjadinya force majeure dapat merupakan suatu keadaan yang tak terduga, yang memungkinkan hakim dapat mengubah kontrak jika salah satu pihak (dalam hal ini: kreditur) hingga tuntutan. Pengadilan Belanda disarankan menerapkan art.6:258 DCC (dan memang demikian). Berhadapan dengan munculnya keadaan yang tak terduga (onvoorziene omstandigheden), ketentuan pasal 6 : 258 BW memuat solusi, yakni bahwa hakim atas dasar permohonan salah satu pihak dapat memutus atau mengubah akibat suatu perjanjian atau membatalkan perjanjian untuk sebagian atau seluruhnya. Di
sinipersoalan pertama yang muncul ialah kapan dan bilamana campur tangan hakim dapat dimunculkan. Ketentuan pasal 6: 258 BW berkenaan dengan masalah ini menetapkan kriterium bahwa haruslah ada: “keadaan yang tak terduga sedemikian rupa sehingga pihak lawan beranjak dari ukuran kepatutan dan kelayakan tidak dapat lagi mengharapkan dipertahankannya muatan isi kontrak tanpa perubahan.” Suatu keadaan dianggap tidak terduga, jika keadaan tersebut pada waktu kontrak dibuat baru muncul di masa depan dan para pihak tidak menduga akan munculnya. 223 Keadaan memaksa dalam bahasa Prancis adalah “superior force”. Keadaan memaksa dalam bahasa Prancis juga dikenal dengan istilah “cas fortuit”, dan dalam bahasa Latin disebut “casus fortuitus”. Force majeure merupakan klausul umum dalam kontrak yang terutama membebaskan kedua pihak dari tanggung jawab atau kewajiban ketika satu peristiwa yang sangat luar biasa atau kejadian di luar kontrol para pihak, seperti suatu perang, pemogokan, kerusuhan, kejahatan, atau suatu kejadian yang dalam istilah hukum disebut“act of God”, misalnya banjir, gempa bumi, gunung meletus. Kejadian itu menghalangi salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam kontrak. Meskipun demikian force majeure tidak dimaksudkan untuk membebaskan kesembronoan (negligence) atau pelanggaran (malfeansance) lainnya dari salah satu pihak, karena tidak terlaksananya kewajiban disebabkan oleh akibat yang tidak alamiah atau tidak biasa dari kekuatan dari luar para pihak, atau di mana keadaan campur tangan secara khusus diperkirakan. 224
223
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan..., Op.Cit., h. 475. Siti Anisah, Op.Cit., h.62.
224
Hukum Prancis dijalankan dengan landasan bahwa sebuah janji untuk melakukan sesuatu yang tak mungkin berarti batal atau tidak berlaku (impossibilium nulla obligatio). Prinsip ini telah diterima secara luas, walaupun tidak disebutkan didalam Code Civil I secara eksplisit. Ia tersirat di dalam sejumlah Pasal seperti Pasal 1108, 1126-1130, 1172, 1302 dan 1601. Apabila sejak semula perkerjaan tidak mungkin untuk dijalankan, maka tujuannya juga tidak mungkin dan, oleh sebab itu tak ada kontrak yang terjadi. Apabila ada ketidakmungkinan yang tak terduga, maka sebuah kontrak sudah dianggap ada, tetapi debitur tidak lagi berada dalam kewajiban untuk menjalankannya apabila non-performansi dikarenakan kesalahan debitur atau, bisa juga, ketika debitur bisa menunjukkan bahwa non-performansi itu disebabkan oleh force majeure atau cas fortuity, maka klaim atas kerugian dapat diajukan. Dalam keadaan-keadaan seperti itu, tentunya, sebuah klaim untuk menunjukkan performansi tidak akan bisa dijalankan. 225 Pengadilan mempunyai pendapat dalam menentukan ada tidaknya force majeure
berpedoman kepada “expression” yang merupakan beberapa hambatan
psikis atau material dan tidak termasuk di dalamnya adalah suatu rasa ketakutan atau kekhawatiran yang tidak masuk akal terhadap sesuatu yang akan terjadi sebagai hambatan untuk melaksanakan kewajiban oleh salah satu pihak. Expression mengandung pengertian yang lebih luas daripada “Act of God” atau “vij major”Vij major sendiri dalam bahasa Latin diartikan sebagai “a superior force”, yaitu suatu kekuatan yang lebih besar atau lebih unggul; suatu kekuatan yang tidak dapat ditahan (irresistible force). Ini mungkin berakibat adanya kerugian yang timbul secara 225
Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, Common Law, Civil Law dan Socialist Law, Terjemahandari Comparative Law in a Changing World, (Bandung: Nusa Media 2010), h. 453.
langsung dari suatu sebab alam yang tidak dapat dicegah meskipun telah dilakukan kehati-hatian, ketekunan dan ketelitian (prudence, diligence, and care). Istilah lainnya adalah vis divinaatau superior force. Ini merupakan suatu kekuatan yang tidak dapat ditahan, suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari atau Act of God. Suatukekuatan alam yang sama sekali tidak dapat dikontrol, dalam kondisi lain sebagai contoh, suatu serangan senjata yang dilancarkan oleh musuh dengan tiba-tiba atau perampokan dengan menggunakan kekerasan secara paksa, yang barangkali membebaskan tanggung jawab seseorang dalam kontrak yang telah dibuatnya. 226 Memahami force majeure pada hukum Prancis mirip dengan pemahaman vis major dalam hukum Internasional. Menurut hukum Prancis, suatu peristiwa disebutforce majeureapabila memenuhi 3 (tiga)unsur yaitu: 227 1. Suatu peristiwa yang terjadi diluar kemampuan manusia (externality). Berkaitan
dengan unsur externality ini, tergugat harus dalam keadaan tidak dapat melakukan apapun berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. 2. Tidak dapat berkaitan diperkirakan sebelumnya (unpredictability). Dalam peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya, maka tergugat diwajibkan untuk terlebih dahulu bersiap-siap menghadapinya. Standar ini sangat ketat dalam penerapannya, misalnya dalam Conseil d’Etat (CE) “Chais d’Armagnac” Prancis 9 April 1962 menyatakan bahwa suatu banjir yang menyebabkan kerugian yang terjadi 69 tahun sebelumnya, menjadikan para pihak dalam kontrak untuk memprediksikan peristiwa serupa tersebut. Selanjutnya dalam Administrative Tribunal of Grenoble 19 Juni 1974 (“Dame Bosvy”), menentukan bahwa tanah atau salju longsor dipertimbangkan untuk diperkirakan sejak hal itu terjadi sebagai suatu bagian dalam kontrak meskipun peristiwa tersebut terjadi setengah abad yang lalu. 3. Tidak dapat ditahan (irresistibility). Hal ini berkaitan dengan akibat yang terjadi dari suatu peristiwa harus tidak dapat dicegah sebelumnya (unpreventable). Peristiwa lainnya yang dapat dikategorikan sebagai force majeure dalam hukum Prancis adalah angin ribut dan gempa bumi. Force majeure yang mungkin 226
Siti Anisah, Op.Cit., h. 62-63. Ibid.
227
terjadi di suatu wilayah yang mudah tertimpa bencana alam memerlukan suatu definisi yang jelas apakah force majeure dapat dipertimbangkan sebagai suatu yang betul-betul dapat membebaskan tanggung jawab suatu pihak di dalam suatu kontrak. Sebagai contoh pada suatu wilayah yang sering terjadi gempa bumi, pengertian teknis dari gelombang atau gerakan gempa bumi dapat ditetapkan sebagai klausul pokok dalam kontrak atas dasar kajian peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Ukuran ini atau ukuran yang dapat dicatat kemudian pada suatu penaksiran di tempat terjadinya peristiwa dilakukan dengan menggunakan suatu prosedur yang disetujui sebelumnya. Suatu gempa bumi yang terjadi dalam guncangan yang lemah ataukah sebagai kejadian yang merusakan. Kerugian atau kerusakan akibat dari suatu gempa bumi tidak dapat dinyatakan secara langsung. Untuk gempa bumi dalam skala kecil dan sedang, pantas untuk ditentukan syarat-syarat dalam persiapan kontrak; untuk kajian gempa bumi yang besar
tidak selalu tepat ketika dilakukan itu. Konsep seperti
“kerugian akibat gempa bumi” dalam klausulforce majeuretidak dapat membantu untuk menjelaskan kerusakan, khususnya di wilayah yang di sana tidak ada referensi lain yang tersusun atau kebanyakan bangunannya tidak aman. Pada common law system, impracticability muncul dari doktrin tentang impossibility dan frustration of purpose, yang prinsip-prinsip dasarnya tetap sama. Dengan demikian, penting untuk dicatat bahwa istilah impossibility dan impracticability merujuk pada doktrin umum yang sama. Tidak ada perbedaan fungsional antara kasus-kasus impossibility dan frustration di satu sisi dan kasuskasus impracticability di sisi lainnya. Pembelaan berdasarkan impossibility terdapat dalam common law; sedangkan Uniform Commercial Code (UCC) menggunakan
istilah “impracticability” untuk menunjukkan doktrin yang sama.
228
Namun
demikian, di antara ketiganya dapat dibedakan. Impracticability ”berpusat pada munculnya keadaan yang secara signifikan meningkatkan biaya, tingkat kesulitan, atau risiko dari prestasi para pihak”, sementara frustration menunjukkan “ketidakpuasan suatu pihak yang disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tujuan awal dibuatnya kontrak”, sedangkan impossibility dapat menghilangkan kewajiban suatu pihak untuk berprestasi. 229 Impossibility of performance adalah ketidakmungkinan untuk melakukan sebuah kontrak yang terjadi, contohnya ketika kontrak itu berhubungan dengan hal subjek yang tidak nyata. Kejadian yang mengakibatkan ketidakmungkinan pelaksanaan kontrak bisa muncul sebelum ataupun setelah kontraknya dibuat. Dalam kasus sebelumnya (contoh: jika X setuju untuk menjual seekor kuda kepada Y yang tanpa diketahui kedua belah pihak, ternyata kudanya sudah mati) kontraknya void (tidak sah) karena mistake 230 (kesalahan). Kasus setelahnya (contoh: jika kudanya mati direnggang waktu antara kontrak dan pelaksanaan kontrak) kontraknya akan dilaksanakan dibawah doktrin frustration (penghalangan) kontrak. 231
228
The Uniform Commercial Code (UCC), Section 2-615. Siti Anisah, Op.Cit., h. 65. 230 Dalam Oxford Dixtionary law, Mistake adalah sebuah kesalahpahaman atau kepercayaan yang salah tentang sebuah hal fakta (kesalahan fakta) atau sebuah hal hukum (kesalahan hukum). Dalam kasus-kasus perdata, kesalahan itu khususnya penting dalam hukum kontrak. Kesalahankesalahan hukum tidak mempunyai efek kepada keabsahan persetujuan-persetujuan dan begitu juga halnya, untuk kesalahan-kesalahan fakta. Ketika sebuah kesalahan fakta dapat mempengaruhi persetujuan, hal ini dapat mengakibatkan persetujuan tidak sah (void) di bawah peraturan common law (di mana kasusnya merujuk sebagai sebuah kesalahan operatif (operative mistake) atau hal ini bisa membuat kontraknya dapat dibatalkan (voidable) dalam artian dapat dikenakan tangung jawab sebagai subyek dan pembatasan-pembatasan tertentu, dapat dikesampingkan oleh pembatalan di bawah hukum kesetaraan yang lebih permisif (tidak terlalu keras). 231 Ibid. 229
Ketika sebuah kontrak dibatalkan karena mistake, itu karena kontraknya mengandung persyaratan/ketentuan tersirat yang menetapkan bahwa ini harus terjadi. Dari sudut pandang penjelasan mistake ini, masalah utama adalah apakah ketentuanketentuan tersirat itu adalah tersirat dalam hukum atau tersirat dalam fakta. Ketentuan dasarnya adalah bahwa sebuah kontrak dapat dibatalkan/dikesampingkan hanya jika terdapat mistake yang relevan dan yang berasal dari kepentingan yang fundamental. Dalam signifikasi utama untuk mendefinisikan mistake, terdapat tiga kategori kasus penting yang kadang-kadang dilewatkan yaitu kasus-kasus yang melibatkan situasi yang berubah-ubah, kasus-kasus yang melibatkan kesalahan-kesalahan kesepakatan, dan kasus-kasus yang melibatkan kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh penjelasan yang salah (misrepresentation). 232 Dalam kontrak terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak mempengaruhi keabsahan dari sebuah kontrak. Telah menjadi ketentuan umum, fakta sederhana bahwa salah satu pihak dalam kontrak berbuat sebuah kesalahan tidak mempengaruhi keabsahan kontrak tersebut. Sebuah kontrak hanya dapat dikatakan tidak sah (void) dibawah pengertian ketika terjadi kesalahan (mistake), kesalahan berdasarkan fakta bahwa sebelumnya tidak ada kesepakatan yang nyata antara pihak-pihak, atau jika ada kesepakatan yang nyata tetapi disepakati karena pihak membuat kesalahan yang sama pada beberapa hal penting (vital), dan semestinya tidak akan pernah membuat kesepakatan tersebut sama sekali, kecuali mereka sudah membuat kesalahan tersebut. Doktrin impossibility telah ditetapkan secara ketat dalam common law, baik di Inggris maupun di Amerika, yaitu kegagalan untuk melaksanakan kewajiban 232
Stephen A. Smith, Contract Theory, (New York: Oxford University Press, 2004),
365-366.
p.
kontraktual dapat dimaafkan apabila suatu kejadian tidak terduga yang muncul mengakibatkan pelaksanaan kontrak itu tidak dimungkinkan. Impossibility dapat muncul berdasarkan dua keadaan, yaitu: 233 1. Suatu kejadian tak terduga yang muncul menyebabkan pelaksanaan kewajiban secara fisik tidak mungkin dilakukan, sebagaimana halnya dengan kematian promisor yang keberadaannya cukup vital dalam pelaksanaan kewajiban kontraktual. Impossibility fisik dapat diterapkan dalam keadaan telah hancurnya benda tertentu yang penting untuk pelaksanaan kewajiban. 2. Pembelaan berdasarkan impossibility dapat diajukan apabila pelaksanaan kewajiban tidak dimungkinkan secara hukum. Keringanan karena adanya ilegalitas yang tak terduga meliputi keadaan yang mana pelaksanaan kewajiban kontraktual masih dapat dilakukan tetapi perbuatan tesebut akan melanggar hukum atau perintah negara. Doktrin frustration of purpose, seperti halnya doktrin impracticability, mewajibkan tidak munculnya suatu asumsi dasar yang menjadi sandaran para pihak pada saat pembuatan kontrak. Frustration memberikan keringanan bagi kontrakkontrak yang dapat dilaksanakan tetapi tujuan pelaksanaan kontrak tersebut telah hilang. Frustration menunjukkan “ketidakpuasan suatu pihak .....yang disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tujuan awal dibuatnya kontrak”. 234 Di Amerika Serikat, istilah ‘frustration’ dibatasi untuk keadaan di mana suatu kontrak dapat dilaksanakan, tetapi pelaksanaan tersebut tidak ada gunanya. Ilustrasi yang kerap digunakan adalah izin untuk menggunakan apartemen untuk menyaksikan proses penobatan Raja Edward VII. Pihak yang telah membuat kontrak untuk menyewa kamar agar dapat menyaksikan penobatan Raja Edward VII dibebaskan dari kewajiban membayar karena sakitnya Raja berakibat pada ditundanya acara penobatan, karena tujuan awal penyewaan kamar yang dilakukan 233
Siti Anisah, Op.Cit., h. 64-65. Ibid.
234
para pihak tidak jadi terlaksana. Tujuan dari kontrak tersebut telah terganggu (frustrated), dan kontrak tersebut batal.Di Inggris, ‘frustration’ digunakan terhadap kasus-kasus terdapat kemungkinan berprestasi (impossibility of performance) dan juga kasus-kasus perjanjian dilaksanakan, namun pelaksanaan tersebut tidak ada gunanya. 235 Frustration adalah pembatalan yang tak terduga-duga dikarenakan sebuah peristiwa yang membuat pelaksanaan kontraknya mustahil atau ilegal ataupun dikarenakan sebuah peristiwa yang mencegah tujuan-tujuan utama kontraknya tercapai. Contohnya: frustration akan terjadi juga jika barang-barang dispesifikasikan dalam kontrak penjualan barang hancur, akan terjadi juga jika efek dari sebuah perang mengakibatkan satu pihak menjadi orang asing yang ilegal. Kecuali jika bagian kontrak yang spesifik tentang peristiwa penghalangan dibuat, kontrak yang terhalangi secara otomatis dicopot dan posisi para pihak diatur dalam Law Reform (Frustrated Contract) Act 143. Uang yang dibayarkan sebelum peristiwa bisa dikembalikan dan uang yang seharusnya dibayarkan tetapi tidak terbayarkan berhenti menjadi harus dibayar (payable).
Tetapi, suatu pihak yang sudah mendapatkan
keuntungan berharga apapun dibawah kontrak, harus membayar dengan jumlah yang masuk akal untuk itu. Akta tersebut (Law Reform Act 143) tidak berlaku untuk kontrak-kontrak tertentu untuk penjual barang-barang, kontrak-kontrak untuk pengangkutan barang melalui laut, ataupun kontrak-kontrak asuransi. 236
235
Ibid.,h.65-66. Elizabeth A. Martin dan Jonathan Law, A Dictionary of Law, (New York: Oxford University Press, Six Edition, 2006), p. 234. 236
Selanjutnya, doktrin impracticability adalah sebuah pembelaan terhadap keberatan atas suatu pelaksanaan prestasi tertentu atau kerusakan yang diduga karena pelanggaran kontrak. Doktrin ini dapat juga diinterpretasikan sebagai peraturan dasar yang melampirkan syarat-syarat yang tersirat dalam setiap kontrak.Persyaratan tersebut akan membebaskan para pihak dari kewajibannya saat suatu kejadian yang tak terkira membuat pelaksanaan prestasi menjadi “impracticable”. Meskipun arti sesungguhnya tidak begitu jelas, istilah “impracticable” dikonotasikan sebagai konsekuensi yang sangat berat. Oleh karena itu, doktrin ini serupa dengan klausul force majeure yang diterapkan setiap impracticability terjadi karena terjadinya keadaan yang tidak terduga pada saat kontrak disusun. Meskipun tidak terdapat kejelasan atas kriteria yang menyatakan bahwa suatu keadaan adalah “tidak terduga”, hal tersebut digolongkan, paling tidak, sebagai keadaan yang tidak diatur secara eksplisit dalam kontrak. 237 Menurut Arthur Lewis, kontrak tidak hanya saat kontrak itu dilaksanakan, tetapi juga saat kontrak dibebaskan. Hal ini karena hak dan kewajiban yang sudah dirujuk dimulai saat kontrak itu dibuat, maka ketika hak dan kewajiban itu dihapuskan, dapat dikatakan saat itu pula kontrak dibebaskan. 238 Metode pembebasan kontrak dapat
berupa
kejadian tak terduga yang
menbatalkan kontrak (frustration).Kadang-kadang, saat kontrak sudah dibuat, terjadisesuatu yang menbuat kontrak tidak mungkin terlaksana. Apa pengaruh situasi ini terhadap para pihak? Hal itu selalu bergantung pada fakta-fakta khusus dalam
237
Siti Anisah, Op.Cit., h. 66. Arthur Lewis, Op.Cit., h. 147.
238
kasusnya. Bila salah satu pihak telah memberikan janji mutlak bahwa sesuatu harus sudah dilakukan dalam waktu tertentu, maka kemungkinan besar pihak itulah yang dinyatakan bertanggung jawab atas pelanggaran bila tidak mampu melaksanakan apa yang telah dijanjikannya. Namun, bila kejadian yang menghalangi terlaksananya kontrak itu, 1) tidak disebabkan oleh salah satu pihak; 2) tidak dapat diramalkan; dan berpengaruh hapusnya landasan kontrak, maka pengadilan akan menyatakan bahwa kontrak tersebut telah mengalami frustration. Jika itu yang terjadi, maka kontrak dinyatakan telah dibebaskan dan kedua belah pihak tidak lagi memikul tanggung jawab apa pun di bawah kontrak tersebut. 239 Contoh: Kasus Taylor ν Caldwell (1863). Caldwell setuju bahwa Taylor boleh menggunakan “The Surrey Gardens and Music Hall” selama empat hari tertentu untuk mengelar konser di sana. Tepat sebelum tiba waktunya untuk pelaksanaan kontrak, Music Hall itu musnah akibat kebakaran. Taylor menginginkan ada yang memberikan kompensasi, jadi dia menggugat Caldwell, tetapi kebakaran itu bukan akibat kelalaian Caldwell. Pengadilan memutuskan, karena Hall sudah tidak ada lagi dan itu bukan akibat kesalahan adalah satu pihak, maka kedua belah pihak harus dibebaskan dari pelaksanaan kontrak mereka. Pengadilan tidak dengan serta-merta menyatakan suatu kontrak telah mengalami frustration karena penyataan demikian berarti mencabut hak masing-masing pihak untuk menuntut pihak yang lain dan hak untuk mendapatkan kompensasi.Kejadian frustration selalu muncul tanpa peringatan. Masing-masing pihak dapat kehilangan haknya untuk menuntut pihak yang lain. Apa yang terjadi bila salah satu pihak telah mengeluarkan biaya-biaya sebelum peristiwa penyebab frustration terjadi, atau bahkan sudah berjanji untuk membayar sejumlah uang kepada pihak yang lain sampai tahun 1943, keadaannya tidak memuaskan, namum pada tahun itu, Law Reform (frustrated Contract) Act disahkan. Sejak saat itu, beginilah keadaannya: 1. Uang yang sudah jatuh tempo, tetapi dalam kenyataannya belum dibayar, tidak lagi harus dibayar; 2. Pihak yang telah mengeluarkan biaya dapat diputuskan untuk diberi kompensasi; 3. Pihak yang sudah menikmati manfaat, dapat diminta membayar sejumlah uang yang pantas untuk itu. Dalam praktiknya, dan untuk menghindari keharusan maju ke pengadilan untuk meminta putusan tentang tanggung jawab para pihak terhadap kontrak yang tidak mungkin lagi dilaksanakan, perlu dimasukkan klausul yang sesuai pada kontrak. 239
Ibid., h. 147-153.
Klausul ini disebut klausul force majeure. Tujuannya untuk menghadapi situasi saat kontrak menjadi tidak mungkin terlaksana dikarenakan terjadinya peristiwa di luar kendali para pihak. Sering dimasukkan pada klausul-klausul ini peristiwa seperti pemogokan, penangguhan pengiriman, serta perubahan kebijakan pemerintah; dan salah satu pihak diminta untuk menunda atau membatalkan pelaksanaan kontrak bila salah satu dari peristiwa-peristiwa itu terjadi 240. Dalam common law system, para pihak dalam suatu kontrak dimungkinkan memilih untuk mengabaikan keadaan memaksa dengan cara menyisipkan suatu “hell or highwater clause”. Klausul ini merupakan suatu ketentuan yang menyatakan bahwa para pihak tetap terus melanjutkan pelaksanaan kontrak meskipun jika penyelesaian atau pelaksanaan kontrak secara fisik tidaklah mungkin. Dengan perkataaan lain, “hell or highwater clause” adalah suatu klausul di dalam suatu kontrak biasanya sewa menyewa yang menentukan bahwa para pihak harus berturutturut menunaikan kewajiban meskipun pihak debitor mungkin menghadapi kesulitankesulitan untuk menunaikan kewajibannya (biasanya berkaitan dengan pembayaran harga sewa). Ini disebut juga suatu janji untuk membayar kontrak. Force majeure adalah suatu sebab penghapusan tanggung jawab yang dapat diterapkan di seluruh hukum Prancis. Namun demikian, Prancis menolak keringanan untuk hardship dalam kontrak yang masuk dalam hubungan hukum perdata, tetapi memberikan keringanan dengan dasar doktrin imprevision(hal yang tidak terduga) dalam peradilan tata usaha negara untuk mengawasi hardship dalam pelaksanaan kontrak-kontrak pemerintah. Hardship atau diterjemahkan keadaan sulit, dalam berbagai sistem hukum digunakan berbeda untuk pengertian yang sama seperti frustration of purpuse,
240
Ibid.
wegfall de geschaftsgrunlage, inprevision, accessiva anerrosita sopravvenuta, dan lain-lain. Penggunaan istilah hardship dipilih karena sangat luas dikenal dalam praktik hukum perdagangan internasional, yaitu diperkuat dengan masuknya “hardship clause” dalam berbagai kontrak internasional. 241 Keadaan sulit atau hardship adalah doktrin hukum baru yang dibangun dan dikembangkan dalam hukum kontrak yang penting dan mendasar. Berbeda keadaan memaksa/force majeure dan wanprestasi yang telah diatur dalan KUH Perdata Buku III, keadaan sulit belum diatur, tetapi dalam kasus-kasus terkait dengan keadaan sulit hakim akan memutus keadaan memaksa /force majeure. Jadi, masih terdapat pemahaman hakim yang menyamakan keadaan sulit dengan keadaan memaksa/force majeure. 242 Keadaan sulit/hardship, benar belum ada aturan hukum positifnya namun konsep keadaan sulit ini ternyata berkembang dalam praktik hukum kontrak internasional.
Misalnya,
UPICCc
(UNIDROITPrinciples
for
Internasional
Commercial Contracts), Artikel 6.2.1 (Contract to be observed Comment 2 (Change ini circumstance relevant only exceptional case) memuat konsep keadaan sulit/hardship, karena memuat klausul yang menentukan bahwa jika pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi satu di antara dua pihak lainnya, maka pihak tersebut tetap terikat untuk melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan hukum tentang keadaan sulit (sebagai pengecualian). 243
241
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju, 2012), h. 360. 242 Ibid. 243 Ibid., h. 360-361.
Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa prinsip sifat mengikatnya kontrak bagaimanapun juga bukan sesuatu yang absolut. Apabila terjadi keadaankeadaan yang menimbulkan perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak tersebut, maka keadaan tersebut merupakan situasi yang dikecualikan yang dimaksud dalam prinsip-prinsip ini sebagai kesulitan (hardship). 244 Definisi hardship sendiri dapat dilihat pada Pasal 6.2.2 UNIDROIT yaitu 245 Peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu: 1. Peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak; 2. Peristiwa tidak dapat diperkirakan secara mestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak; 3. Peristiwa terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan; 4. Risiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti permasalahannya adalah terjadinya ketidakseimbangan beban yang harus dipikul oleh salah satu pihak sebagai akibat perubahan kondisi yang tidak dapat diprediksi, tetapi masih dapat tertanggulangi dengan penyesuaian. Persamaan yang paling jelas antara force majeure dan hardship, adalah: 1. Mengenai keberlakuannya, di mana keduanya baru dapat diterapkan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumya terjadi dan peristiwa tersebut tidak berada dalam kendali pihak yang dirugikan. Oleh karena itu,menjadi wajar, pihak tersebut tidak mungkin melaksanakan prestasinya. Tidak ada hakim
244
Ibid. Taryana Soenandar,Prinsip-Prinsip Unidroit,Sebagai Sumber Hukum Kontrak Dan Penyelasaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 72. 245
yang akan menghukum seseorang untuk sesuatu yang tidak mungkin untuk dilaksanakan; 2. Baik force majeure maupun hardship, hanya dapat diterapkan pada keadaan yang tidak terduga pada kontrak itu dibuat. Dengan perkataan lain, sebelum kontrak disepakati para pihak tidak memiliki dugaan bahwa akan terjadi sesuatu peristiwa. Misalnya pada sebelum kontrak kredit disepakati, debitur tidak menduga bahwa akan terjadi krisis moneter yang mengakibatkan berubahnya nilai pinjaman secara drastis sebagai kelanjutan dari kenaikan nilai kurs mata uang asing. Selain adanya persamaan, tentu terdapat perbedaan yaitu: 1. Seperti yang telah dijelaskan di atas, pengertian mengenai keduanya jelas berbeda. hardship lebih menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara mendasar di antara para pihak, sedang force majeure memiliki pengetian tampak lebih umum yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa tak terduga di luar kekuasaan para pihak. 2. Perbedaan pengertian dan kondisi dapat diterapkannya hardshipdan force majeure menyebabkan adanya perbedaan mengenai akibat hukum terhadap sebuah kontrak bisnis. Berdasarkan doktrin para ahli hukum, pada force majeure absolut menyebabkan pemenuhan prestasi tidak mungkin dapat dilakukan lagi dan seketika itu kontrak putus. Sebaliknya, pada force majeure relatif, pemenuhan prestasi menjadi tertunda dan kontrak tidak putus. Akibat hukum hardship terhadap kontrak terutama menyangkut pada kesempatan pihak yang dirugikan untuk mengajukan negoisasi ulang (renegoisasi). Hal ini wajar dimungkinkan, sebab hardship membuat kedudukan para pihak tidak
lagi seimbang dikarenakan adanya peristiwa tak terduga yang mengubah kedudukan para pihak secara mendasar. Bahkan Unidroit Priciples 2004 secara tegas di dalam komentarnya membedakan hardship dan force majeure. 246 Pada hardship, belum terjadi wanprestasi (non performance), namun pada saat terjadi telah terjadi wanprestasi. Dalam UNIDROITConventions, ada 12 (dua belas) prinsip hukum kontrak yang dipakai, Conventions on Subtantie Rules of Intermediated Securities (Genewa 2009), yang salah satunya adalah Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa (force majeure). UNIDROIT(Internasional Institute for the Unification of Private
Law)
adalah
organisasi
independen
antar
pemerintah
sejak
1926).Keanggotaan Indonesia dalam UNIDROIT didasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata. Sejak 1 Januari 2009 Indonesia resmi menjadi anggota ke63 dalam UNIDROIT melalui instrumen aksesi pada statuta UNIDROIT. Prinsip penting force majeure atau keadan memaksa (juga kadang disebut keadaan kahar) termuat dalam pasal 7.1.7 prinsip UNIDROIT. Bunyi artikel tersebut adalah rumusan yang umum, termasuk dalam hukum nasional kita. Rumusan tersebut adalah: 1. Peristiwa yang menyebabkan force majeure merupakan peristiwa di luar kemampuannya. 2. Adanya peristiwa tersebut mewajibkan pihak yang mengalaminya untuk memberitahukan pihak lainnya mengenai telah terjadinya force majeure. 246
UNIDROIT, Internasional Institute for the Unification of Private Law, 2004. UNIDROIT, Prinsiples of Internasional Commercial Contracts 2004. Roma.
Dalam perkembangannya pertanggungjawaban kontrak atas kesepakatan yang telah dibuat para pihak dalam kontrak mengalami penggeseran baik di negaranegara common law maupun civil law system. Doktrin keadaan memaksa pada awalnya diterapkan secara ketat, pada perkembangannya mengalami perubahan. Perubahaan itu antara lain meliputi konsep tentang peristiwa atau keadaan yang tidak terduga dan tidak dapat dipersalahkan serta mempengaruhi prestasi para pihak maupun akibat hukum adanya peristiwa atau keadaan itu. Doktrinimpracticability berpusat pada munculnya keadaan yang secara signifikan meningkatkan biaya, tingkat kesulitan, atau risiko dari prestasi para pihak. Sementara itu doktrin frustration merujuk pada ketidakpuasan suatu pihak yang disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tujuan awal dibuatnya kontrak, sedangkan imposibility dapat menghilangkan kewajiban suatu pihak untuk berprestasi. Selanjutnya equilibrium pada para pihak yang terlibat dalam perjanjian, doktrin hardship dapat digunakan untuk menyelesaikan pelaksanaan kontrak. 247 Berbagai sistem hukum pada umumnya mengakui otonom para pihak untuk melakukan penyesuaian pada kontrak bila terdapat peristiwa tak terduga yang muncul pada saat pelaksanaan kontrak. Pengadilan baik di common law maupun civil law system mempunyai peran untuk mengubah berlakunya suatu kontrak atau mengesampingkan seluruh atau sebagian ketentuan kontrak dengan dasar peristiwa tidak terduga yang sifatnya membuat para pihak sulit atau tidak dapat melaksanakan prestasi.
247
Siti Anisah, Op.Cit., h. 68.
3. Keadaan memaksa (force majeure) dalam putusan hakim Di negara-negara civil law, termasuk negara-negara Eropa kontinental, para cendikiawan atau ahli hukum telah merumuskan hukum kontrak ke dalam kumpulankumpulan hukum yang disahkan oleh badan pembuat undang-undang. Di negaranegara common law, termasuk Amerika Serikat, hakim-hakim telah merumuskan hukum kontrak dalam memutuskan kasus-kasus. Amerika Serikat sebenarnya telah mengkodifikasi banyak common law kontrak-kontrak ke dalam tiga dokumen penting, yaitu kumpulan hukum komersial (Uniform Commercial Code), kontrakkontrak pernah dibuat dalam Hukum Amerika (the American Law Institute’s Restatements of Contracts), dan statuta-statuta yang merevisi Statuta Kecurangan Inggris yang lama (Statutes Revising the Old English Statute of Frauds). 248 Dalam membuat kontrak bukan lagi murni sebuah perbuatan pribadi/private. Ia bisa dikendalikan bahkan didikte oleh tekanan legislatif atau ekonomi dan ia bisa melibatkan pengadilan dalam tindakan perbuatan dan ini mirip dengan atau mengadaptasi teknik interpretasi perundang-undangan. Dalam kehidupan sehari-hari, kontrak yang dinegoisasikan secara individual/private ada dan bahkan banyak. 249 Memang hukum kontrak seringkali merupakan instrumen yang tidak memuaskan karena penegakannya bergantung pada kondisi di mana para pihak mengetahui hakhaknya, mampu berusaha untuk menegakkan hak-haknya dan mempertimbangkan biaya dan waktu secara layak.
248
Robert B. Cooter Jr. Thomas Ulen, Law and Economics, Pearson New International Edition, Sixth Edition, (England: Peason Education Limeted 2014), p. 300. 249 Michael Furmston, Op.Cit., p. 28.
Salah satu pihak dalam kontrak akan mengharap bahwa salah satu pihak akan memenuhi kewajiban perjanjian mereka, tetapi dalam kondisi yang luar biasa pengadilan dapat memberikan keringanan atau pembebasan dari kewajiban dalam kontrak mereka. Jika ada kontrak yang sudah dibuat tetapi kemampuan salah satu pihak untuk melaksanakan ternyata tidak bisa dilakukan tanpa kesalahan dia karena ada peristiwa/kejadian waktu kontraknya ditulis/dibuat dalam asumsi yang kejadian itu tidak akan terjadi, maka kewajiban dia untuk melaksanakan kontrak tidak harus dilakukan. Kecuali ada kata-kata dalam kontrak atau sebenarnya kondisinya seharusnya bisa dilakukan. 250 Beberapa kasus di Pengadilan di Indonesia, terhadapkeadaan memaksa (force majeure) banyak dilakukan dalam dalil sangkalan atau tangkisan tergugat. Meskipun dalam dalil sangkalan atau tangkisan tergugat dikemukakan mengenai keadaan memaksa (force majeure), akan tetapi hakim dalam putusan Mahkamah Agung mengesampingkan sangkalan atau tangkisan tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya hakim masih berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1244 dan Pasal 1245. Hakim seharusnya dapat melakukan anologi atau interpretasi terhadap keadaan memaksa (force majeure) dengan menggunakan doktrin hukum yang ada. Hal ini karena tidak semua kata, istilah, dan kalimat yang menunjukkan suatu kaidah hukum, baik yang dikemukakan dengan lisan atau dinyatakan dengan tertulis dalam bentuk perundangan itu sudah jelas dan mudah dipahami.
250
Scott J. Burnham, The Contract Drafting Guidebook, (Charlottesville, Virginia: The Michie Company, 1992), p. 209.
Berkaitan hal tersebut, menurut Sudikno Mertokusumo interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju pada pelaksanaan yang dapat diterima dalam masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku. 251 Jadi tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan perkataan lain, apabila undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya, sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum. Atas dasar itulah, orang dapat mengatakan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. 252 Interpretasi terhadap kontrak atau perjanjian dalam praktik hukum mengalami perkembangan, mengingat perjanjian merupakan kumpulan kata dan kalimat yang sifatnya interpretable (dapat ditafsirkan), baik oleh para pihak yang berkepentingan, undang-undang maupun oleh hakim. Sementara itu dalam aturan perundangundangan sendiri tidak memberikan pedoman dan kepastian hukum tentang
251
Sudikno Mertokusumo dan A. Pilto, Bab-Bab Penemuan Tentang Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), h. 13. 252 Utrech, Pengantar Dalam Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1959), h. 250, sebagaimana dikutip Yugha Bakti Ardhiwisastra, h.8, dalam Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pres, 2009), h. 82.
bagaimana seharusnya dalam menafsirkan antarsatu pihak dengan pihak lainnya. 253 Hal ini disebabkan banyak kontrak atau perjanjian dalam praktik bisnis dibuat isinya tidak jelas dan kabur, tumpang tindih dan sebagainya. Dalam Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan, “kalau kata-kata suatu persetujuan jelas tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”. Hal ini menunjukkan pada hakikatnya penafsiran tidak diperkenankan apabila kata-kata suatu persetujuan telah jelas atau berlaku asas sens-clair. Penganut aliran doktrin sens-clair, berpendapat bahwa penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan jika: 254 1. Peraturannya belum ada untuk suatu kasus inconcreto; atau 2. Peraturannya sudah ada, tetapi belum jelas menurut pandangan ini; di luar dari keadaan dua hal di atas, penemuan hukum oleh hakim tidak ada. Berkaitan
dengan
doktrin
tersebut,Michel
Van
Kerckhove
(1978:
13-50)
menyimpulkan doktrin sens-clair dalam 5 (lima) butir sebagai berikut: 255 1. Ada teks undang-undang yang dimengerti maknanya sendiri dan berdasarkan setiap penjelasan serta tidak mungkin menimbulkan keraguan. 2. Karena bahasa hukum didasarkan pada bahasa percakapan sehari-hari, maka dapat semua istilah yang tidak ditentukan oleh pembuat undang-undang tetap saja sama artinya dengan yang dimiliki dalam bahasa percakapan sehari-hari. 3. Kekaburan suatu teks undang-undang hanya mungkin terjadi karena mengandung dua arti (ambigurasi) atau karena kekuranganketetapan arti yang lazim dari istilahistilah itu. 4. Secara ideal, biasanya yang dijadikan pegangan bagi pembuat undang-undang adalah ia harus merumuskan teks undang-undang dengan sejelas-jelasnya. Kekaburan teks harus dihindari, juga jangan sampai terjadi perumusan yang kurang baik. 5. Untuk mengetahui adanya kekaburan ataupun tidak adanya kekaburan teks undang-undang tidak perlu penafsiran. Sebaliknya, pengakuan tentang jelas atau 253
Ibid., h. 95. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h. 113. 255 Ibid., h. 114. 254
kaburnya teks menghasilkan kriteria yang memungkinkan untuk menilai apakah suatu penafsiran atau penemuan hukum memang atau tidak diperlukan. Kalau diperlukan atau tidak diperlukan, hasilnya dalam penerapan hukum adalah sah. Suatu kontrak atau perjanjian terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Menurut Corbin, penafsiran atau interpretasi kontrak adalah: 256 proses seseorang memberikan makna terhadap simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah kata-kata baik satu persatu maupun kelompok, oral atau tertulis. Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan interpretasi. Dalam ilmu hukum kontrak, dikenal 3 (tiga) metode penafsiran, yaitu: 257 1. metode penafsiran subjektif 2. metode penafsiran objektif 3. metode penafsiran antara objektif dan subjektif Menurut metode penafsiran subjektif ini, penafsiran kontrak dilakukan dengan berpegang seoptimal mungkin pada maksud yang sebenarnya dari para pihak, tanpa terlalu berpegang kepada kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut. Metode ini juga dianut dalam KUH Perdata, dengan menyebutkannya dalam Pasal 1343 KUH Perdata yang menentukanbahwa penafsiran kontrak dilakukan dengan lebih mempertimbangkan dan menyelidiki maksud dan tujuan dari kedua belah pihak dari hanya melihat kepada kata-kata secara gramatikal. Berbeda dengan penafsiran subjektif, maka metode penafsiran objektif lebih menekankan pada apa yang tertulis dalam suatu kontrak, daripada melihat kepada maksud dari para pihak, apalagi jika bahasa yang digunakan dalam suatu kontrak sudah cukup jelas. Metode penafsiran objektif ini sesuai pula dengan doktrin “pengertian jelas” yang menyatakan bahwa tidak diperlukan penafsiran jika bahasa dalam kontrak sudah jelas artinya. Pasal 1342 KUH Perdata juga menyatakan hal yang senada. Dalam perkembangannya, yang banyak terjadi dalam praktik penafsiran perjanjian, justru penafsiran yang bergerak antara metode penafsiran objektif dengan metode penafsiran subjektif. KUH Perdata juga mengandung banyak pasal yang bergerak ditengah-tengah seperti ini. Dengan 256
Ridwan Khairandy, Itikad baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2004, h.97-98. 257 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 56.
demikian, untuk penafsiran ini berupaya mengkombinasikan antara metode penafsiran objektif dengan metode penafsiran subjektif 258 Dalam praktik, tidak ada prioritas dalam penggunaan untuk interpretasi. Oleh karena itu metode interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan beberapa metode interpretasi sekaligus secara bersama-sama. Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan interpretasi tertentu, tetapi yang penting bagi hakim adalah interpretasi yang dipilih adalah dapat tepat sasaran yaitu dapat memperjelas ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat secara tepat diterapkan terhadap peristiwanya. 259 Berkaitan dengan penafsiran kontrak, A Joanne Kellerman menyatakan penasiran kontrak adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataanpernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya. 260Dengan demikian, asas itikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak atau perjanjian. Peranan itikad baik itu wajib dibangun oleh hakim dalam melakukan intepretasi atau penafsiran, karena jika kontrak atau perjanjian hakim perlu melakukan interpretasi atau penafsiran, maka harus ditafsirkan sesuai itikad baik, di mana isi kontrak harus ditafsirkan secara fair atau patut. Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun pasal ini bertujuan mencegah perbuatan yang tidak patut dan bertentangan dengan hukum, sehingga dalam perjanjian itikad baik itu dapat
258
Ibid., h. 57. Bambang Sutiyoso,Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Pres, 2009), h. 83. 260 Ibid. 259
diartikan sebagai jujur atau kejujuran dalam melakukan suatu kontrak atau perjanjian dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Beberapa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang keadaan memaksa (force majeure) didalilkan dalam sangkalan tergugat atau tangkisan tergugat/pemohon kasasi: 1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 835 K/Pdt.Sus/2012 (Perkara Pernyataan Pailit), dalam sangkalan tergugat/tangkisan tergugat (termohon pailit), antara lain disebutkan bahwa tidak dapat diselesaikannya pembangunan apartemen oleh tergugat bukan karena kelalaian termohon, tetapi karena keadaan memaksa (force majeure) yang terjadi pada saat pelaksanaan pembangunan apartemen yaitu adanya perlawanan/demonstrasi warga setempat (huru-hara) yang menentang dilanjutkannya pembangunan apartemen karena menurut mereka telah menyebabkan lingkungan kotor, bising, sehingga menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi kehidupan warga/masyarakat setempat, sehingga menuntut diberikan konpensasi. Dalam Pertimbangan hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat antara lain dijelaskan adanya demonstrasi penduduk sekitar yang membuat termohon kasasi tidak mampu melaksanakan perumahan, sehingga tidak mampu menyerahkan unit-unit rumah kepada para krediturnya, sebagaimana dijanjikan belum atau kategorikan sebagai force majeure. Oleh karena itu, alasan force majeure tidak dapat dibenarkan. Putusan Mahkamah Agung dalam perkara ini menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi.Perkara dalampenyataan pailit ini adalah merupakan kelalaian tidak melakukan kewajiban dan dikategorikan wanprestasi karena UndangUndang Kepailitan menerapkan pengertian utang dalam arti luas, sehingga kewajiban yang tidak dipenuhi oleh penjual (termohon kasasi/termohon pailit) terhadap pembeli (pemohon kasasi/pemohon pailit) sebagaimana dijanjikan adalah utang penjual kepada pembeli karena secara sederhana kewajiban tersebut dapat dinilai dengan uang yaitu sebesar uang yang telah dibayarkan oleh pembeli kepada penjual, sehingga berdasarkan hal hal tersebut, maka ketiga penjual gagal memenuhi kewajibannya adalah debitur dan pembeli adalah kreditur.Wanprestasi adalah merupakan wujud perbuatan melawan hukum, di mana tidak dipenuhinya kewajiban prestasi sebagaimana wujudnya bisa: 1) prestasinya sama sekali tidak dipenuhi; 2) keliru dipenuhi, atau 3) terlambat dipenuhi. Tindakan atau sikap debitur tidak memenuhi kewajiban-perikatan tentunya merupakan tindakan atau sikap yang bersifat melawan hukum (onrechtmatigedaad) karena sikap seperti itu debitur telah membawa dirinya dalam keadaan wanprestasi, debitur telah melanggar hak kreditur; di samping itu, ia melanggar kewajiban hukumnya sendiri; wanprestasi mestinya juga merupakan perbuatan yang tidak patut dan karenanya melanggar etika pergaulan hidup (goede zeden) dan pasti melanggar
kewajibannya untuk krediturnya. 261
patut
memperhatikan
kepentingan
diri
dan
harta
2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 558 K/Sip/1971, dalam perkara ini Pengadilan Negeri Tegal dengan putusan Nomor 60/1966/Pdt tanggal 7 Maret 1968 memutuskan antara lain, menghukum para tergugat (pekerja/pegawai dan majikan) secara tanggung menanggung menyerahkan kepada penggugat sebuah otobis yang semacam dan tahun pembuatannya sama dengan otobis kepunyaan penggugat yang terbakar, yaitu merk “Dodge” tahun pembuatan 1960/1961. Putusan tersebut dalam tingkat banding atas permohonan penggugat dan tergugat telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan putusan Nomor 222/1968/Pdt/PT.Smg yang amarnya antara lain: menghukum para tergugat untuk secara tanggung menanggung mengganti otobis penggugat yang terbakar dengan otobis yang merk dan tahun pembuatannya sama, yaitu merk “Dodge”. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia, menolak permohonan kasasi tergugat (tergugat asal) dengan pertimbangan hukum antara lain bahwa alasan overmacht yang diajukan oleh tergugat tidak terbukti karena setiap orang mengetahui bahwa mengisi bensin adalah sangat berbahaya apabila yang bersangkutan meskipun mengetahui adanya bahaya tersebut, tetap mengisi bensin dengan mempergunakan ember (di luar pompa bensin), maka ia harus menanggung risikonya, kesalahan tersebut ternyata karena kelalaian pegawai tergugat dalam melakukan pekerjaaannya, maka menurut Undang-Undang dan Yurisprudensi, tetap majikan harus mengganti kerugian yang timbul karena kesalahan pegawainya. Dalam perkara tersebut di atas Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan overmacht yang diajukan tergugat. Overmacht adalah suatu paksaan yang tidak dapat dielakkan yang datangnya dari luar. Perbuatan seseorang tidak merupakan perbuatan melawan hukum bila melakukan perbuatannya karena terdesak oleh keadaan memaksa. Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan tidak boleh seorang dihukum bila melakukan suatu perbuatan pidana karena terdesak keadaan memaksa. Kemudian Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa si berutang tidak akan diharuskan membayar ganti kerugian apabila karena keadaan memaksa terhalang untuk memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu yang diharuskan kepadanya. Pasal tersebut meniadakan pertanggungan gugat dalam overmacht. 262 3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 373 K/Pdt.Sus/2009 (Perkara Perselisihan Hubungan Industrial), dalam memori kasasi, antara lain alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi/tergugat, sejak terjadinya kebakaran pada pabrik perusahaan, maka perusahaan beritikad baik merumahkan untuk karyawan dengan status karyawan tetap, sedangkan untuk karyawan kontrak secara otomatisdengan adanya force majeure (kebakaran yang tidak terduga) karyawan tersebut sudah 261
J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), h. 4. 262 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h. 199-200.
putushubungan kerja dengan tergugat karena kondisi yang tidak memungkinkan setelah kebakaran, karyawan kontrak termasuk penggugat dipekerjakan lagi dengan tanpa ikatan kerja yang penggugat sepakati, kemudian setelah kondisi agak normal secara resmi diikat hubungan kerja sistem kontrak. Dalam putusannya hakim menolak permohonan kasasi pemohon kasasi tanpa mempertimbangkan peristiwa kebakaran yang tidak diduga tersebut sebagai force majeure. Perkara Perselisihan Hubungan Industrial tersebut adalah merupakan perbuatan melawan hukum dari pemohon kasasi/tergugat kepada termohon kasasi/penggugat, karena Pemutusan Hubungan kerja (PHK) oleh pemohon kasasi/tergugat kepada termohon kasasi/penggugat adalah bukan karena perusahaan mengalami kerugian terus menerus selama 2 (dua) tahun atau keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 164 ayat (1), tetapi karena efisiensi perusahaan. Sehubungan dengan semakin luasnya perumusan perbuatan melawan hukum dari Pasal 1365 KUH Perdata, baik karena doktrin maupun yurisprudensi sejak perkara Lindenbaum vs Cohen (HR 31 Januari 1919, NJ.!919, 161), maka perbuatan melawan hukum meliputi: 1) perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain; 2) Melanggar kewajiban hukumnya sendiri (kedua-duanya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang); 3) melanggar etika pergaulan hidup (goede zeden); 4) melanggar kewajibannya sebagai anggota masyarakat untuk, dalam pergaulan hidup, secara patut memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain (maatschappelijke betamelijheid). 263 4. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359 PK/Pdt/2011, dalam putusan peninjauan kembali, Mahkamah Agung Menguatkan putusan Pengadilan Tinggi dan Putusan Hakim kasasi,yang menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali/tergugat, dalam eksepsi putusan Mahkamah Agung mengandung kekhilafan atau kekeliruan yang nyata karena sama sekali tidak mempertimbangkan adanya peristiwa overmacht/force majeure sebagai penyebab kebakaran atas objek sewa dan pemohon peninjauan kembali adalah juga pihak yang sangat dirugikan dengan kebakaran karena banyak barang elektronika milik pemohon peninjauan kembali yang turut terbakar dan pemohon peninjauan kembali tidak dapat menikmati masa sewa sampai berakhirnya masa sewa menyewa karena musnahnya objek sewa padahal pemohon peninjauan kembali telah membayar lunas uang sewa untuk masa sewa yang sedang berjalan. Pertimbangan Pengadilan Banding (JudexFicti) maupun Mahkamah Agung (Judex Juris) dalam perkara ini, sama sekali tidak menyatakan bahwa tergugat/pemohon peninjauan kembali telah melakukan perbuatan melawan hukum karena melakukan pembakaran atau penyebab terjadinya kebakaran. Oleh karena itu, sangat tidak adil dan tidak dapat diterima logika hukum apabila pemohon peninjauan kembali dihukum untuk membayar ganti rugi akibat terbakarnya obyek sewa.
263
Ibid., h. 36
5. Putusan Mahkamah Agung Nomor 349 K/Pdt.Sus/2012 (perkara Perselisihan Hubungan Industrial),bahwa antara lain alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi/tergugat dalam memori kasasi mengenai perusahaan (Perusahaan Penanaman Modal dalam Negeri/PMDN yang bergerak di bidang industrial Meubel/Furniture) memang benar menutup perusahaannya dengan cara menghentikan kegiatan produksinya dengan alasan karena kesulitan bahan baku(kayu) dan hal ini dikategorikan sebagai peristiwa force majeure. Selanjutnya dengan alasan force majeure ini perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan perusahaannya dengan alasan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 164 ayat (1) mengatakan: Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap para penggugat karena perusahaan mengalami kerugian terus menerus selama 2 (dua) tahun atau keadaan memaksa (force majeure) dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).Selanjutnya Mahkamah Agung menyatakan, bahwa pertimbangan Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Tanjungpinang dalam pertimbangan hukum dalam perkara ini telah salah dan keliru dalam penerapanhukum dan juga tidak memberikan pertimbangan hukum yang cukup (onvoldoende gemotiveerd), di mana Majelis hakim berkesimpulan bahwa perusahaan memang benar menutup perusahaannya dengan cara menghentikan kegiatan produksinya dengan alasan karena kesulitan bahan baku dan hal tersebut Majelis menganggap bahwa permasalahan tersebut dapat dikategorikan sebagai peristiwaforce majeure. Pertimbangan hukum Mahkamah Agung, penggugat berdasarkan ketentuan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan telah benar penerapan hukumnya, karena meskipun perusahaan tutup dan tidak memperkerjakan para tergugat namun para tergugat tidak melakukan tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara tegas kepada para penggugat. Perusahaan (tergugat) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada para pekerja antara lain tidak membayar upah tepat pada waktunya yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut turut atau lebih dan tidak melakukan kewajibaan yang telah dijanjikan kepada pekerja menutup perusahaan tanpa membayar hak-hak pekerja. Dalam putusannya Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undangundang, dan alasan-alasan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan,maka permohonan kasasi yang diajuhkan oleh pemohon kasasi tersebut harus ditolak. 6. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1630 K/Pdt/2002, bahwaantara lain dalam jawaban-jawaban oleh tergugat/pemohon kasasi dalam dalilnya mengatakan keadaan krisis moneter adalah merupakan overmacht di mana hal ini merupakan juga notoir feit. Krisis moneter seharusnya menjadi pertimbangan hukum utama karena suka tidak suka kejadian adanya krisis moneter telah nyata-nyata berakibat berhentinya seluruh kegiatan para
pengembang termasuk tergugat/pemohon kasasi. Judex Facti pada Pengadilan Negeri dan diperkuat Pengadilan Banding menyatakan tergugat telah melakukan ingkar janji/wanprestasi dan Mahkamah Agung dalam pertimbangannya bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum, dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi harus ditolak. 7. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2537 K/Pdt/2010, dalam gugatan perwakilan kelompok (class action) masyarakat korban banjir bandang Sungai Sampean di Kabupaten Situbondo yang terjadi tanggal 8 Pebuari 2008. Para penggugat adalah masyarakat korban banjir bandang Sungai Sampean yang hak-haknya telah dilanggar, tidak mendapat pelayanan dini (warning system service), tidak mendapat kompensasi dan/atau pelayanan publik yang layak sebagai warga negara dan masyarakat bagi kelangsungan hidup selanjutnya. Dalam putusan Pengadilan Negeri Situbondo, menyatakan Pengadilan Negeri Situbondo tidak berwenang mengadili gugatan class action tersebut, sedangkan dalam putusan pengadilan banding menerima gugatan dengan acara class action sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Negeri Situbondo. Putusan Mahkamah Agung memerintahkan judex facti/Pengadilan Negeri Situbondo untuk memeriksa pokok perkara. 8. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2231 K/Pdt/2011, dalam perkara gugatan 38 konsumen korban pemadaman aliran listrik sekecamatan Teluk Ambon, tergugat (Perusahaan Listrik Negara/PLN) telah melakukan pemadaman-pemadaman aliran listrik secara sepihak tanpa persetujuan penggugat selaku konsumen dan pemadaman yang paling merugikan para penggugat adalah kurun waktu Januari 2008 sampai bulan Pebuari 2010 tergugat telah melakukan pemadamanpemadaman setiga 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) kali dengan berbagai alasan menghindari tanggung jawab, sehingga menimbulkan kerugian bagi penggugat selama 2 (dua) tahun lamanya. Dalam penerapan hukumnya, antara lain disebutkan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukumuntuk dijadikan alasan dalam menolak gugatan penggugat/pembanding/pemohon kasasi dengan alasan salah satunya kesimpulan Judex Facti yang menyatakan bahwa telah terbukti perbuatan pemadaman listrik selama kurun waktu 2008 sampai dengan kurun waktu 2010 yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan dan kebaikan dimasa mendatang dan dilakukan tergugat/terbanding atau dalam keadaan terpaksa/mendesak atau force majeure, merupakan kesimpulan yang salah (keliru) karena kerusakan mesin PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Disel) atau ketidaklayakan beroperasi mesinnya yang sudah tua, sudah dapat diperhitungkan oleh tergugat/terbanding/termohon kasasi sebelumnya. Tergugat/terbanding mempunyai keuangan finansial untuk menggantikan dengan mesin pembangkit yang baru untuk menghindari kerugian konsumen tenaga listrik tetapi tidak dilakukannya. Menimbang alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan kasasi dari pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, bahwa putusan Pengadilan Negeri yang
dikuatkan oleh pengadilan Tinggi sudah tepat dan benar sebab tergugat lebih dahulu telah memberitahukan kepada masyarakat bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Disel benar rusak dan tergugat telah mengumumkannya melalui media cetak dan elektronik (TVRI) dalam waktu selambat-lambatnya 24 jam dan penghentian sementara penyaluran tenaga listrik tersebut tidak memberikan hak kepada pelanggan untuk menuntut ganti rugi (Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No.03.P//451/M.PE/1991), sebagaimana pertimbangkan olehPengadilanNegeri.Bahwa besarnya kerugian penggugat/pembanding/pemohon kasasi yang dituntut adalah ganti rugi umum melalui pembuktian pembayaran rekening listrik yang menurut hukum tidak perlu dibuktikan lagi karena sudah menjadi pengetahuan umum termasuk hakim bahwa setiap pelanggan listrik memiliki tagihan listrik sesuai pemakaian meteran. Kerugian ini secara pasti dapat dihitung sehingga tuntutan kerugian menjadi rill dan dapat dirinci. Menyangkut ganti rugi khusus yang diderita oleh setiap pelanggan listrik, baik kerugian material maupun inmaterial tidak dilakukan penuntutan. Menurut Munir Fuady, ganti rugi umum adalah ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi oleh Mahkamah Agung ditolak. Di samping putusan Mahkamah Agung bidang Keperdataan di atas, terdapat juga putusan Mahkamah Agung dalam perkara Pidana, dalam eksepsi terdakwa (baik pembelaan/pledoi atau pemohonan terdakwa) yang berkaitan dengan keadaan memaksa (force majeure), yaitu: 1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 560 K/Pid.Sus/2013, dalam perkara tindak pidana korupsi penyedian barang dalam kegiatan Jaringan Irigasi Desa (JIDES), bahwa alasan terdakwa tidak dapat menyediakan bahan material sampai ke lokasi karena kendala di lapangan yaitu jauhnya lokasi dan keadaan jalan yang tidak memungkinkan tidak dapat digolongkan sebagai keadaan kahar (force majeure) sesuai dalam Pasal 8 Surat Perjanjian Pengadaan Barang Nomor: 027.1/2377/PBJ/Tan.Pgn/IX/2009 tanggal 4 September 2009 yang menggolongkan keadaan kahar adalah peperangan; kerusuhan; revolusi; bencana alam, banjir, gempa bumi, badai, gunung meletus, tanah longsor, wabah penyakit dan angin topan; pemogokan; kebakaran; gangguan Industri. Dalam hal ini unsur melawan hukum telah terpenuhi, sehingga putusan hakim Pengadilan Negeri yang membebaskan terdakwa (putusan bebas/Vrijpraak) seharusnya putusan hakim lepas dari segala tuntutan (onslag). Menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 42 K/Kr/1965, dinyatakan pada umumnya suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum selain berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan juga berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, seperti
dalam perkara ini faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. Menimbang bahwa terhadap alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum dapat dibenarkan, karena Jaksa/Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa pembebasan tersebut bukan bebas murni dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa pertimbangan Judex Facti tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti keliru melakukan kualifikasi fakta hukum dipersidangan dan tidak melakukan analisis hukum secara tepat dan benar menurut hukum pembuktian; Bahwa Terdakwa (Kadeda Lamabang selaku Direktur Tator Bogor Raya dan juga sebagai pemenang lelang serta pelaksana proyek Jaringan Irigasi Desa (JIDES) harus bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang yang diperlukan termasuk bahan-bahan proyek JIDES harus tersedia tepat waktu dan selesai sebelum musim tanam tiba sebagaimana diatur dalam Surat Perjanjian Pengadaan Barang tertanggal 4 September 2009 jo Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 jo Peraturan Presiden No54 Tahun 2010 terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang /jasa Pemerintah; Bahwa perbuatan terdakwa yang telah memberikan uang kepada saksi (Sujono SP) secara berangsur-angsur yang seluruhnya berjumlah Rp 805.500.000,- (delapan ratus lima juta lima ratus ribu rupiah) untuk keperluan pembelian termasuk distribusi bahan-bahan bangunan proyek kepada 11 (sebelas) Kecamatan penerima JIDES adalah merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukum terdakwa sendiri yaitu melaksanakan paket belanja atau pembelian bahan baku bangunan untuk 11 (sebelas) lokasi Kecamatan karena merupakan tugas dan tanggungjawab terdakwa, bukan tugas dan tanggungjawab saksi (Sujono SP); Bahwa perbuatan terdakwa memberikan sejumlah uang tersebut di atas kepada saksi (Sujono SP) sebagai pihak yang tidak berhak menerima dan melakukan pengadaan/pembelian barang dan distribusi bahan bangunan adalah perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan tugas dan kedudukannya selaku kontraktor pelaksana kegiatan proyek JIDES berdasarkan Perjanjian Pengadaan Barang tanggal 4 September 2009 dan Surat keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tanggal 19 Maret 2009; Bahwa sesuai fakta dalam persidangan sisa uang pembelian bahan bangunan proyek JIDES yang dipergunakan oleh saksi (Sujono SP) sejumlahRp 143.505.500,- (seratus empat puluh tiga juta lima ratus lima ribu lima ratus rupiah) dan sisa uang tersebut diserahkan saksi (Sojono SP) kepada atasannya (Ir Bambang Sutistyo,MM selaku Kepala Dinas dan Kuasa Pengguna Anggaran/KPA), yang seharusnya sisa uang tersebut dikembalikan kepada kas Daerah dan bukan kepada atasan saksi (Sujono SP), maka dengan demikian terdakwa telah memperkaya orang lain yaitu bertambahnya kekayaan Ir Bambang Sutistyo,MM sebesar Rp 143.505.500,- (seratus empat puluh tiga juta lima ratus lima ribu lima ratus rupiah); Bahwa akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa tersebut di atas, mengakibatkan Negara/Pemerintah Daerah Bogor telah mengalami kerugian
keuangan negara karena seharusnya sisa uang pembelian bahan bangunan oleh saksi (Sojono SP) kepada atasannya Ir Bambang Sutistyo,MM (selaku Kepala Dinas dan Kuasa Pengguna Anggaran/KPA); Bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena perbuatan tersebut bertentangan dengan: a. Perjanjian pengadaan barang tanggal 4 September 2009; b. Surat Perintah Mulai Bekerja (SPMK) tanggal 4 September 2009; c. Pasal 5 dan Pasal 32 Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, huruf f tentang mencegah tentang terjadinya pemborosan keuangan Negara, huruf g tentang mencegah penyalahgunaan untuk keuntungan pribadi atau golongan atau pihak lain yang merugikan negara, Pasal 32 ayat (3) tentang larangan mengalihkan tanggungjawab pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan pihak lain kecuali ayat 4 kepada penyedian barang/jasa spesialis. Menimbang alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung dalam putusannya mengabulkan pemohonan kasasi dari pemohon kasasi (Jaksa/Penuntut Umum) dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri yang dalam putusannya membebaskan terdakwa. Selanjutnya mengadili sendiri dan menyatakan terdakwa (Kadeda Lambang) terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan pidana korupsi secara bersama-sama. 2.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 859 K/Pid/2013, Dalam perkara pidana penggelapan dalam jabatan. Bahwa dalam perkara ini terdakwa sebagai Sales Manager di PT Duta Lestari telah menerima uang atas penjualan barang dari pembeli seharusnya menyetor ke kasir, namun uang penjualan tidak disetorkan ke kasir dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada PT Duta Lestari dan akibat perbuatan terdakwa PT Duta Lestari mengalami kerugian Rp 273.773.766,- (dua ratus tujuh puluh tiga juta tujuh ratus tujuh puluh tiga ribu tujuh ratus enam puluh enam ribu). Alasan terdakwa tidak menyetorkan ke kasir PT Duta Lestari, karena menurut terdakwa uang tersebut telah dicuri/dirampok di wilayah Gedangan Sidoarjo. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang dikuatkan Pengadilan banding,menyatakan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana pengelapan dalam jabatan dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan. Alasan terdakwa tidak menyetorkan ke kasir PT Duta Lestari, karena menurut terdakwa uang tersebut telah dicuri/dirampok di wilayah Gedangan Sidoarjo. Selanjutnya dalam alasan yang diajukan terdakwa/pemohon kasasi antara lain: Bahwa pertimbangan majelis tidak menguraikan secara pasti apa yang dimaksud Pasal 374 Kitab Undang Undang Hukum Pidana haruslah diaudit melalui akuntan publik, disisi lain, bahwa uang perusahaan yang didakwakan oleh termohon kasasi tersebut terhadap diri terdakwa dirampok oleh orang yang tidak dikenal. Kejadian perampokan tersebut sudah dilaporkan olehpemohon kasasi/pebanding/terdakwa sesuai Tanda Bukti lapor nomor:
TBL/324/IX2012/JATIM/RES SDA/SEK Gedangan tertanggal 12 September 2012 atas nama pelapor (Irene Monika); Bahwa apa yang pemohon kasasi jelaskan di atas, membuktikan bahwasanya putusan perkara adanya pengelabuhan fakta dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia serta adanya diskriminasi hukum yang mana sangatlah merugikan pada diri terdakwa oleh karena uang perusahaan tersebut jelas-jelas dirampok oleh orang lain (force majeure) bukanlah menjadi tanggung jawab terdakwa. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya berpendapat bahwa alasan terdakwa tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum serta tidak pula melewati kewenangannya, karena memperhatikan bukti-bukti faktur yang diajukan persidangan yang bertanggal bulan Juni dan Juli 2012, padahal uang pembayaran atas pembelian barang yang terima terdakwa, seharusnya diserahkan/disetorkan pada hari itu juga atau dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan demikian perbuatan terdakwa sebagai karyawan PT Duta Lestari yang tidak menyerahkan uang hasil penjualan barang yang tertera pada faktur Toko Lia dan Toko Imanuel Mulia Farma telah mengakibatkan PT Duta Lestari menderita kerugian Rp 273.773.766,- (dua ratus tujuh puluh tiga juta tujuh ratus tujuh puluh tiga ribu tujuh ratus enam puluh enam ribu). Selanjutnya Mahkamah Agung berpendapat pertimbangan Judex Facti Pengadilan Negeri Sidoarjo yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dalam mempertimbangkan terbuktinya perbuatan terdakwa sudah tepat dan benar. Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan kasasi/terdakwa: IRENE MONIKA tersebut, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan. Adapun tindak pidana penggelapan dalam jabatan tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum. Dilihat dari aktornya, baik pelaku perbuatan melawan hukum dalam wilayah hukum perdata maupun pelaku dalam wilayah hukum pidana, mereka sama-sama bertindak atas sesuatu yang bertentangan dengan larangan ataupun suruhan yang dinormakan. Oleh karena itu, dalam konsep hukum Indonesia seringkali dikatakan bahwa tindak pidana (strafbaarfeit) adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad). 264 Dari beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, yang berkaitan sangkalan tergugat/tangkisan tergugat dengan mendalilkan keadaan memaksa (force majeure/overmacht) yang diajuhkan tergugat, Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya tidak membenarkan alasan keadaan memaksa (force majeure/overmacht), karena dalam perkara tersebut masih berkaitandan merupakanperistiwa dan keadaan ingkar janji/wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Karena berada dalam 264
Rosa Agustina, Op.Cit., h. 239.
Keadaan memaksa (overmacht/force majeure) bisa mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali atas wanprestasi. Dalam wanprestasi, bahwa prestasi yang terutang pada debitur memang secara normal bisa dipenuhi dan patut untuk dituntut pemenuhannya, paling tidak demikian itu dalam pikiran para pihak pada waktu menutup perjanjian. Namun demikian, harus diingat bahwa wanprestasi berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian – bukan pada masalah pada saat perjanjian dibuat – yang keadaannya belum diketahui atau bahkan tidak bisa diramalkan pada waktu perjanjian ditutup. Bagaimana kalau kemudian ternyata kewajiban debitur – karena sesuatu hal – tidak mungkin dipenuhi? Sudah tentu hal itu tergantung dari apakah halangan seperti itu sudah bisa diduga atau sepatutnya diperhitungkan oleh debitur?
Kiranya secara
umum bisa dipersangkakan bahwa orang pada waktu menutup suatu perjanjian sudah memperhitungkan
kemampuannya
untuk
memenuhi
janji-janjinya
dengan
mengalkulasi semua risiko yang mungkin timbul. Kalau halangan itu sudah bisa diduga atau sepatutnya sudah diperhitungkan oleh debitur, semua itu harus ditanggung oleh debitur (vide Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata). 265 Jadi, kalau debitur tidak mau memikul risiko munculnya konsekuensi seperti itu, mestinya ia tidak usah menutup perjanjian yang bersangkutan. Dengan itu mau dikatakan bahwa adalah salahnya sendiri ia harus menanggung risko yang tidak ia kehendaki. Di sini debitur tidak bisa dikatakan menghadapi keadaan memaksa sebab ada unsur salah pada dirinya. Permasalahan baru muncul kalau halangan untuk melaksanakan kewajiban prestasi muncul di luar salahnya dan sudah tentu di luar salahnya kreditur.
265
J. Satrio, Op.Cit., h. 101.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang menghalangi debitur untuk berprestasi, halangan tersebut timbul diluar salahnya para pihak dalam perjanjiannya.Misalnya, karena objek prestasi yang akan diserahkan disambar petir, sehingga musnah di luar salahnya debitur.
Dari
pandangan umum bahwa peristiwa adanya sambaran petir tidak ada yang salah; yang salah petir, tetapi tidak selalu demikian. Sekalipun datangnya petir tidak ada yang mengundang, perbuatan atau sikap kita bisa memperbesar datangnya sambaran petir, sehingga kita bisa dianggap punya salah. Sekalipun demikian, pada umumnya tidak ada yang salah kalau terjadi saatu benda tersambar petir. Kalau sebagai akibat debitur tidak bisa menyerahkan benda prestasi – yang disambar petir- debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa. Di samping itu, bagaimana kalau prestasinya sekalipun masih bisa dipenuhi, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan yang ada, menurut pandangan masyarakat tidak pantas lagi untutk dituntut pemenuhannya dari si debitur oleh krediturnya? Ini adalah permasalahan yang berkaitan dengan keadaan memaksa. Wanprestasi dan keadaan memaksa berkaitan dengan masalah ganti rugi (Pasal 1243 KUH Perdata). Sikap debitur yang tidak mau berprestasi, bisa: 1. Merupakan wanprestasi, dengan akibat debitur, atas tuntutan kreditur wajib memberikan ganti rugi atau 2. Karena debitur menghadapi keadaan memaksa, keadaan tersebut membenarkan debitur untuk tidak berprestasi, dengan konsekuensinya tidak harus menanggung
kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata). 266 Dengan perkataan lain, wanprestasi yang berada dalam keadaan memaksa dilihat dari ada tidaknya unsur salah dan kalau debitur mengadapi hal yang tidak terduga, yang
tidak dapat dipersalahkan kepadanya, atau debitur
menghadapi
keadaan memaksa, debitur tidak harus menanggung kerugian yang diderita oleh kreditur karenanya kalau pada peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata itu debitur tidak harus menanggung kerugian yang diderita oleh kreditur karenanya.Seperti halnya dalam hukum pidana, demikian pula dalam hukum perdata, adakalanya perbuatan melawan hukum mendapat alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan. Perbuatan yang menurut kriteria adalah melawan hukum, akan tetapi sebagai akibat terdapatnya keadaan yang meniadakan sifat melawan hukum, perbuatan menjadi suatu yang benar. 267 Pada umumnya telah diterima dan diakui keadaan memaksa (force majeure/ overmacht) sebagai alasan pembenar. Pasal 1245 KUH Perdata menentukan bahwa debitur tidak wajib membayar ganti rugi, apabila karena force majeure/ overmacht ia terhalang memenuhi prestasinya, sedangkan dalam hukum Pidana dapat dilihat dalam Pasal 49 KUH Pidana menerangkan bahwa tidak dapat dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pidana overmacht. Yang dimaksud dengan overmacht adalah salah satu paksaan/dorongan yang datangnya dari luar yang tak dapat dielakkan atau harus dielakkan.
266
Ibid. Ibid., h. 21.
267
Pendapat yang menyatakan bahwa overmacht sebagai alasan pembenar, ada juga yang berpendapat bahwa overmacht itu mempunyai sifat yang berbeda dan tidak harus menimbulkan akibat yang sama, maka overmacht adakalanya merupakan alasan pembenar dan adakalanya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Yang sering terjadi adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam keadaan noodtoestand. Ini merupakan bentuk tertentu dari overmacht, yaitu yang timbul disebabkan oleh konflik kewajiban. Terdapat noodtoestand, apabila kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan karena melawan hukum ditiadakan oleh suatu kewajiban lain atau suatu kepentingan yang lebih tinggi tingkatannya. Pelanggaran terhadap hak orang lain misalnya tidak melawan hukum, apabila ini terpaksa dilakukan untuk melawan bahaya yang berlangsung mengancam jiwa atau kesehatan sendiri atau orang lain. Tidak merupakan perbuatan melawan hukum, apabila merusak hak milik tetangganya untuk meloloskan diri sendiri atau orang lain dari rumah yang sedang terbakar. Perbuatan Kotamadya yang menolak untuk menyerahkan daging kepada pemiliknya karena membahayakan
kesehatan tidak
merupakan perbuatan melawan hukum. Misalnya, seorang supir ditodong dengan senjata api dan dipaksa untuk mengendarai dengan kecepatan tinggi, sehingga menabrak kenderaan orang lain. Relatif, jika seorang melakukan perbuatan melawan hukum oleh karena suatu keadaan,
ia terpaksa melakukan perbuatan tersebut
daripada mengorbankan kepentingan sendiri dengan risiko yang sangat besar. 268 Berkaitan dengan sangkalan/tangkisan tergugat dalam mendalilkan keadaan memaksaforce majeure/overmacht,hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan 268
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), h. 23.
perkara kasasi tidak serta merta menyatakan sebuah peristiwa sebagai keadaan memaksaforce majeure, tetapi terlebih dahulu melihat pada perbuatan hukum ingkar janji/wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dan keterkaitan dengan kerugian yang ditimbulkan. Hakim juga dalam putusannya masih melihat pada peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya Pasal 1243, Pasal 1244, dan Pasal1245, yang seharusnya hakim dalam mempertimbangkan putusannya dapat melihat dari aspek keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan. Hukum tidak boleh terjebak ke dalam keasyikan denganurusan ke dalam, seperti kepastian, sistem, logika peraturan dan lain lain, tetapi harus dapat memberi respon yang baik terhadap problem sosial. Hukum memang tidak pernah bekerja secara lurus lurus saja, melainkan penuh dengan gejolak. Untuk itulah hakim harus dapat membuat dan menjalankan hukum (making the law) dan di sana mendobrak hambatan (breaking the law) agar hukum tetap bisa bermanfaat untuk kehidupan manusia.Hukum tidak selalu benar, ia tidak monopoli kebenaran; hukum bisa salah. Di sini, ketidakpatuhan kepada hukum perlu didengar dan diterima sebagai usaha untuk mengkoreksi adanya sesuatu yang tidak benar. 269
269
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir. Catatan Kritis tentang Pengulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2008), h.9.
4. Bencana alam merupakan keadaan memaksa (force majeure) Keadaan memaksa (force majeure) adalah suatu keadaan yang terjadi bukan karena adanya unsur kesalahan, tetapi di luar kehendak dan tidak dapat diketahui atau diduga pada saat perancangan, pembuatan dan pelaksanaan kontrak oleh debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, misalnya bencana alam (gunung meletus, gempa bumi, tsunami, banjir, dan lain-lain), keadaan cuaca dan iklim. Di samping itu, juga karena perubahan peraturan dan kebijakan pemerintah, pemogokan atau unjuk rasa. Kesemuanya itu yang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan prestasi atau kewajiban hukum kontraktual baik secara tetap (permanen) maupun sementara (temporer). Dilihat kriteria jangka waktu berlakunya keadaan memaksa (force majeure), dapat dibedakan menjadi: 1. keadaan memaksa tetap (permanen), artinya prestasi sampai kapanpun tetap tidak akan dapat dilaksanakan, misalnya objek kontrak musnah sama sekali; 2. keadaan memaksa yang temporer, artinya pemenuhan prestasi tidak dapat dilaksanakan sementara waktu karena terjadi peristiwa tertentu, misalnya munculnya kebijakan pemerintah secara tiba-tiba yang melarang sesuatu yang semula tidak dilarang. Jika kemudian larangan itu dihapus, debitur dapat lagi berprestasi. 270 Perlu diperhatikan sifat dari keadaan memaksa (force majeure) terhadap kemungkinan pelaksanaan prestasi, yaitu:
270
F.X. Suhardana, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Tenik Penyusunan Kontrak, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2009), h. 58.
1. Keadaan memaksa yang bersifat absolut (tetap, permanen), yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi tidak mungkin dilakukan; dan 2. Keadaan memaksa yang bersifat relatif (tidak tetap, temporer) yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan atau sementara waktu ditangguhkan sampai dimungkinkannya pemenuhan prestasi kembali. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BencanaPasal 1 angka 1, dijelaskan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkain peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, agin topan, dan tanah longsor. Lebih lanjut dijelaskan pula dalam Pasal 7 ayat 2, adanya penetapan status dan tingkatan bencana, yaitu bencana nasional dan bencana daerah. Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan bencana daerah memuat indikator yang meliputi: a) jumlah korban; b) kerugian harta benda; c) kerusakan prasarana dan sarana; d) cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Penetapan status darurat bencana untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden,
skala
Provinsi
oleh
Gubernur
dan
skala
Kabupaten/Kota
oleh
Bupati/Walikota. Mengenai penetapan status dan tingkatan bencana dalam UndangUndang ini dijelaskan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Namun hingga saat ini Peraturan Presiden tersebut belum ditetapkan karena belum adanya kesepakatan para pihak (stakeholder).
Draf Peraturan Presiden atau Rancangan Peraturan Presiden tentang penetapan status dan tingkatan bencana ini telah dibahas lintas sektor dan lembaga non-pemerintah sejak tahun 2009 sampai sekarang. Dalam draf Peraturan Presiden tersebut, yang dimaksud dengan tingkatan bencana adalah keadaan disuatu tempat yang terlanda oleh jenis bencana tertentu dan dinilai berdasarkan jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah, dan dampak sosial ekonomi, yang dibedakan menjadi lokal, daerah, dan nasional. Status bencana dibedakan atas bencana ringan, sedang dan berat sesuai dengan indikator tersebut Adapun kesulitan utama adalah penentuan besaran dari masing-masing indikator. Dalam draf Peraturan Presiden tersebut dijelaskan: Tingkat Lokal (Kabupaten/Kota), indikatornya jika jumlah korban (jiwa) kurang dari 100 orang, kerugian harta benda kurang dari Rp 1 milyar, kerusakan sarana dan prasarana ringan, cakupan wilayah kurang dari 10 km2, dampak sosial ekonomi terbatas, pemerintah (Kabupaten/Kota) mampu menangani berdasarkan sumber daya manusia, sumber daya finansial dan dari segi teknologi; Tingkat Daerah (Provinsi), indikatornya jika jumlah korban (jiwa) kurang dari 500 orang, kerugian harta benda kurang dari Rp 1 triliun, kerusakan sarana dan prasarana menengah (beberapa menggangu kehidupan masyarakat), cakupan wilayah lebih dari 1 Kabupaten/Kota dalam provinsi, dampak sosial ekonomi menengah, sebagian besar kegiatan sosial ekonomi terganggu,
pemerintah bersama pemerintah (kabupaten/kota) mampu
menangani berdasarkan sumber daya manusia, sumber daya finansial dan dari segi teknologi; Tingkat Nasional, indikatornya jika jumlah korban (jiwa) lebih dari 500 orang, kerugian harta benda lebih dari Rp 1 triliun, kerusakan sarana dan prasarana
berat, sehingga tidak dapat mendukung kehidupan, cakupan wilayah sangat luas mencakup beberapa di lebih dari 1 Provinsi,
pemerintah bersama pemerintah
(Kabupaten/Kota) tidak mampu lagi menangani berdasarkan sumber daya manusia, sumber daya finansial dan dari segi teknologi. Berkaitan dengan bencana alam sebagai keadaan memaksa, perbankan memberikan perlakuan khusus kepada debitur di wilayah bencana. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2005 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah Tertentu Di Indonesia Yang Terkena Bencana, Bank Indonesia dengan Surat Keputusan
akan menetapkan
penentuandaerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam, dengan memperhatikan aspek-aspek antara lain: 1. luas wilayah yang terkena bencana; 2. jumlah korban jiwa; 3. jumlah kerugian materiil; 4. jumlah debitur yang diperkirakan terkena dampak bencana alam; 5. persentase jumlah kredit yang diberikan kepada debitur yang terkena dampak bencana alam terhadap jumlah kredit di daerah bencana; dan 6. persentase jumlah kredit dengan plafon sampai dengan Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) terhadap jumlah kredit di daerah yang terkena bencana alam. Penentuan daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam yang ditetapkan pemerintah tersebut berkaitan dengan restrukturisasi terhadap kredit bagi Bank Umum dan kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam; 2. telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di daerah-daerah tertentu; dan 3. direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam.
D. Keadaan Memaksa (Force Majeure) Sebagai Klausul Baku Dalam Perjanjian Kredit Perjanjian kredit bank memuat serangkaian klausul atau covenant, di mana sebagian besar dari klausul tersebut merupakan upaya melindungi pihak kreditur dalam pemberian kredit, agar debitur dapat melaksanakan kewajibannya sesuai yang diperjanjikan. Selanjutnya bagaimana kemudian ternyata kewajiban debitur karena sesuatu hal tidak mungkin dipenuhi di luar kemampuan debitur. Dalam Perjanjian kredit umumnya terdapat klausul keadaan memaksa atau force majeure, tetapi ada juga dalam akta perjanjian yang kredit tidak mencantumkan klausulforce majeure. Pencantuman klausul-klausul dalam perjanjian kredit bank merupakan sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Pasal 1339 KUH perdata menentukan bahwa sutau perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Hal ini menunjukkan, bahwa selain keterikatan kontraktual bersumber dari apa yang telah disepakati oleh para pihak, juga perlu diperhatikan faktor lain.
Berkaitan dengan faktor lain atau di luar faktor yang bersumber dari diri para pihak sendiri yang disepakati, dalam Pasal 1347 KUH Perdata menyatakan bahwa hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. 1. Pencantuman klausul keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian kredit bank Penelitian dibeberapa perjanjian kredit bank-bankdi kota Medan baik yang dibuat secara dibawah tangan oleh pihak bank maupun akta perjanjian kredit yang autentik yang dibuat dihadapan Notaris, klausul keadaan memaksa (force majeure) ada yang dicantumkan akta perjanjian kredit, tetapi ada juga yang tidak dicantumkan dalam akta perjanjian kredit melainkan
dicantumkan dalam syarat-syarat dan
ketentuan umum yang dibuat dalam lembaran tersendiri di luar akta perjanjian kredit. Selanjutnya dari hasil penelitian 44 (empat puluh empat) bank yang ada di Kota Medan yaitu bank sebagai anggota Persatuan Bank Swasta Nasional (Perbanas) sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) dan ada 4 (empat) bank milik Pemerintah/Negara serta ada 3 (tiga) bank milik pemerintah daerah, maka hanya sebanyak 4 (empat) bank yang mencatumkan klausul keadaan memaksa (force majeure) dalam akta perjanjian kredit maupun dalam syarat-syarat dan ketentuan umum.
TABEL 2 DAFTAR KLAUSUL FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN KREDITBANK No.
Bank
Klausul Force Majeure Perjanjian Syarat Ketentuan Kredit Umum Ada
1
Bank Artha Graha Internasional
2
Bank Danamon Indonesia
Ada
-
3
Bank Agris
Ada
-
4
Bank UOB
-
Ada
5 6 7 8 9
Bank BRI Agro Bank ANZ Indonesia Bank Bukopin Bank Bumi Artha Bangkok Bank Public Company Limited Bank Commonwealth Bank Central Asia Citi Bank Bank ICBC Bank CIMB Niaga Bank of China Limited Bank Ekonomi Raharja Bank Internasional Indonesia Bank SBI Indonesia Bank ICB Bumiputera Bank of India Indonesia Bank Mestika Dharma Bank Maspion Indonesia Bank Muamalat Indonesia Bank Mayapada Internasional Bank Mutiara Bank National Nobu Bank OCBC NISP Bank Pundi Indonesia Permata Bank Panin Bank Bank BTPN Bank QNB Kesawan Bank Rabobank Internasional Indonesia Bank Sahabat Sampoerna Standar Chartered Bank Bank Yudha Bakti Bank Mega Bank BRI Bank BNI Bank Mandiri Bank BTN Bank Sumut Bank Aceh Bank Jabar
-
-
-
-
-
-
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Kriteria - Didefinisikan force majeure bencana alam - Klausul force majeure untuk Kepentingan Kreditur/Bank - Pemberitahuan kewajiban Bank (14 hari) - Keterlambatan peristiwa force majeure tifdak dapat digunakan. - Didefiniskan force majeure bencana alam - Klausul force majeure untuk Debitur. - Pemberitahuan kewajiban debitur (7 hari) - Debitur wajib membuktikan dengan itikad baik dan telah melakukan upaya menekan perisetiwa seminimal mungkin. − Klausul force majeure dimasukkan dalam Klausul pengakhiran perjanjian − Didefinisikan force majeure bencana alam − mengesampingkan ketentuan Force Majeure − Didefinisikan force majeure bencana alam − Pemberitahuan oleh debitur (7 hari) − Kelalaian pemberitahuan menyebabkan akibat force majeure tidak diakui pihak lain.
Sumber: Bank-bank yang ada di Kota Medan Tahun 2015.
Klausul keadaan memaksa (force majeure) dimuat dalam perjanjian kredit tersebut, menyebutkan dalam klausul: 1. Klausul Keadaan Kahar/Force Majeure yang terdapat dalam perajnjian kredit Bank Artha Graha Internasional, menyebutkan: a. Yang dimaksud dengan keadaan kahar adalah hal-hal yang mempengaruhi jalannya pelaksanaan kewajiban bank berdasarkan perjanjian kredit ini, keadaan mana berada di luar kemampuan bank untuk mencegahnya, antara lainnamun tidak terbatas pada gempa bumi, huru hara yang bersifat massal, kebakaran, banjir, peristiwa alam/keadaan cuaca lainnya, tindakan pemerintah dalam bidang moneter atau kebijaksanaan pemerintah lainnya, sehingga debitur tidak dapat melaksanakan/menyelesaikan kewajibannya secara tepat waktu. b. Bank harus memberitahukannya kepada debitur dan pemilik jaminan atau penjamin selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak terjadinya keadaan kahar tersebut. Apabila bank lalai memberitahukan kejadian tersebut secara tertulis, dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, maka debitur tidak dapat lagi menggunakan peristiwa keadaan kahar sebagai alasan keterlambatan pelaksanaan kewajiban debitur berdasarkan perjanjian kredit ini. c. Jika keadaan kahar tersebut mengakibatkan debitur tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya, maka mengenai kelanjutan dari perjanjian kredit ini, bank akan memberitahukan dan menyelesaikan secara musyawarah dengan debitur. 2. Klausul force majeure pada perjanjian kredit Bank Danamon Indonesia, menyebutkan:
a. Hal-hal yang termasuk force majeure dalam perjanjian ini adalah peristiwa atau kejadian di luar kekuasaan manusia, termasuk tetapi tidak terbatas pada bencana alam, huru-hara, peperangan, kebakaran, banjir, ledakan yang menyebabkan salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian ini (selanjutnya disebut “force majeure”). b. Apabila perjanjian ini tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari timbulnya salah satu atau lebih kejadian atau peristiwa force majeure di atas, maka pihak yang pelaksanaan kewajibannya terhambat karena peristiwa force majeure wajib memberitahukan pihak lainnya secara tertulis dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya kejadian dimaksud tentang adanya peristiwa tersebut, dengan membuktikan bahwa hambatan dimaksud adalah akibat dari suatu force majeure. c. Dalam hal terjadinya satu atau beberapa kejadian atau peristiwa force majeure di atas, para pihak secara bersama-sama maupun masing-masing dengan dilandasi itikad baik akan melakukan setiap dan seluruh upaya dan usaha semaksimal mungkin agar kejadian atau peristiwa dimaksud dapat ditekan menjadi seminimal/sesingkat mungkin. d. Selanjutnya apabila kejadian force majeure tersebut telah selesai, pihak yang pelaksanaan kewajibannya terhambat tersebut juga wajib memberitahukan pihak lainnya secara tertulis dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak selesainya kejadian force majeure dimaksud, selanjutnya para pihak akan melanjutkan kembali pelaksanaan perjanjian ini.
3. Klausul Tak Terduga dalam perjanjian kredit pada bank Agris dimasukkan pada klausul pengakhir perjanjian yang menyebutkan: Dalam hal terjadi suatu perubahan undang-undang dan/atau peraturan yang berlaku yang mengakibatkan tidak sahnya bagi bank untuk mempertahankan dan/atau melaksanakan kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian ini, serta adanya situasi politik, ekonomi dan sosial yang menurut bank dapat memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan dan dapat mengganggu pembayaran utang oleh debitur, maka kewajiban bank untuk memberikan kredit kepada debitur dengan segera berakhir dan debitur wajib membayar kembali kepada bank seluruh utang berdasarkan perjanjian ini. 4. Klausulforce majeure pada Bank UOB tidak dicantumkan dalam perjanjian kredit tetapi dalam syarat-syarat ketentuan umum yang merupakan lampiran dan satu kesatuan serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian kredit, yang menyebutkan: a. Bank tidak bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan karena adanya force majeure yaitu peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang disebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, huru hara, pemberontakan, epidemi, sabotase, peperangan, pemogokan, kebijakan pemerintah atau sebab lain di luar kekuasaan bank. b. Dalam hal terjadi force majeure, maka pihak yang terkena akibat force majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti kepolisian/instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai terjadinya
peristiwa force majeure tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal force majeure. c. Keterlambatan atau kelalaian para pihak untuk memberitahukan adanya force majeure tersebut mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure oleh pihak lainnya. d. Segala dan tiap-tiap permasalahan yang timbul akibat terjadinya force majeure akan diselesaikan oleh bank dan debitur secara musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak bank. Klausul keadaan memaksa (force majeure) juga ditemukan pula dalam praktik perbankan syariah klausul akad terhadap langkah-langkah yang akan diambil para pihak apabila terjadi suatu keadaanforce majeure, seperti: 271 1. Para pihak dibebaskan dari kewajiban untuk melaksanakan isi akad pembiayaan, baik sebagian maupun seluruhnya apabila kegagalan atau keterlambatan melaksanakan kewajiban tersebut disebabkan oleh karena keadaaan memaksa (force majeure). 2. Dalam hal terjadi keadaan memaksa, pihak yang mengalami peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang hal tersebut kepada pihak lainnya, dengan melampirkan bukti secukupnya dari kepolisian atau instansi yang berwenang mengenai terjadinya keadaan memaksa. 3. Bilamana dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender (atau ditentukan lain) sejak diterimanya pemberitahuan tersebut dimaksud, belum atau tidak ada tanggapan dari pihak yang menerima pemberitahuan, maka adanya peristiwa tersebut dianggap telah disetujui oleh pihak tersebut. Selanjutnya setelah berakhir atau dapat diatasinya keadaan force majeure, pihak yang mengalami force majeure wajib segera melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Perumusan klausul keadaan memaksa atau keadaan kahar (force majeure) dalam beberapa perjanjian kredit bank tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa 271
Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), h. 149-150.
walaupun bencana alam merupakan peristiwa atau kejadian di luar kekuasaan manusia, yang menyebabkan salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian. Force majeure tersebut didefinisikan sebagai peristiwaperistiwa atau kejadian-kejadian yang disebabkan oleh bencana alam, diantaranya gempa bumi, banjir, peristiwa alam/keadaan cuaca lainnya.Dalam klausul force majeure tersebut, walaupun bencana alam merupakan force majeure, tetapi debitur tetap dipersyaratkan, kewajiban untuk memberitahu secara tertulis bank baik pada saat dan/atau setelah peristiwa bencana alam itu terjadi bahkan keterlambatan pemberitahuan itu mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai force majeure oleh pihak bank. Di samping itu, terhadap peristiwa bencana alam tersebut harus dibuktikan oleh debitur dan dengan dilandasi itikad baik telah melakukan setiap dan seluruh upaya dan usaha semaksimal mungkin agar kejadian atau peristiwa itu dapat ditekan menjadi seminimal/sesingkat mungkin.Klausul keadaan memaksa (force majeure) yang ditambahkan dengan persyaratan demikian memberatkan debitur dan akibat debitur lalai memberitahukan kejadian tersebut secara tertulis dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, maka debitur tidak dapat lagi menggunakan klausul peristiwa keadaan memaksa (force majeure) sebagai alasan keterlambatan pelaksanaan kewajiban debitur berdasarkan perjanjian kredit. Mengenai kewajiban pemberitahuan dalam klausul
tersebut dapat di
bandingkan dengan kasus terjadi di Bank of America: 272 Bank of America Nat& Sav. Ass’n V Pendergrass(1955) adalah sebuah tindakan hukum yang diajukan oleh bank tersebut terhadap sebuah surat utang seharga $ 4.750 yang ditandatangani oleh para tergugat dan masih harus dibayarkan “seketika juga”. 272
John P. Dawson, William Burnett harvey, Stanley D. Henderson, Contracts Case and Comment, EighthEdition, (New York: Foundation Press, 1998), p. 488-489.
Pengacara tergugat menawarkan untuk membuktikan bahwa surat dan sebuah kredit pribadi perumahan yang mengamankan pembayarannya ditandatangani hanya setelah pewakilan bank menjanjikannya, sepanjang tahun 1932, para tergugat akan diijinkan untuk mengusahakan ladang di mana mereka menanambibit kembang kol, tanpa intervensi; bahwasanya janji ini dibuat secara curang tanpa ada niat untuk melaksanakannya; dan bahwa “ dalam sebuah jangka waktu yang pendek” setelah suratnya ditandatangani, bank menyita properti yang di-cover olehkredit pribadi perumahan. Diputuskan bahwa bukti yang ditawarkan tidak diterima. Efeknya akan memperluas atau menunda” kewajiban tak bersyarat selama satu tahun, tertulis dalam surat, untuk membayar “seketika juga”. Bukti hukum kecurangan untuk menemukan ketidak-absahan instrumen dapat diterima ketika iaberhubungan dengan suatu fakta yang independen, “suatukecurangan dalam perolehan instrumen atau suatu pelangaran kepercayaan yang menyangkut penggunaannya”. Tetapi bukti hukum tidak dapat diterima ketika ia akan membuktikan “sebuah janji yang secara langsung berlawanan dengan janji tertulis”. Dapat dikatakan secara umum bahwa klaim-klaim kecurangan pada pembujukan tidak dihalangi oleh peraturan pembuktian hukum. Secara bersamaan, secara umum, tulis-menulis dianggap melebihi/dapat menggantikan pernyataan-pernyataan lisan, dan dimengerti bahwa tujuan utama dari peraturan pembuktian hukum adalah memblok upaya-upaya untuk memvariasikan ketentuan-ketentuan dari sebuah kontrak tertulis. Apakah kasus diatas kelihatan seperti sebuah kasusdi mana satu pihak, melalui kesaksian lisan,berusaha untuk menulis kembali kontrak? Pengadilan California tampaknya berpikir demikian. Kasus di atas dapat dilihat, bahwasanya janji yang dibuat secara jurang tanpa ada niat untuk melaksanakannya
dan jangka waktu yang pendek setelah surat
perjanjian ditandatangani yang mengakibatkan bank menyita properti (jaminan) yang dicover oleh kredit membawa akan efek memperluas atau menunda kewajiban. Di samping itu, dalam klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit, hanya mendefinisikan force majeure serta kewajiban pemberitahuan kepada bank mengenai telah terjadinya keadaan force majeure tersebut dengan jangka waktu tertentu dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat setempat, dengan ketentuan debitur tetap berkewajiban melunasi kreditnya pada bank. Selanjutnya apabila debitur lalai melakukan pemberitahuan tersebut dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka debitur tidak dapat lagi menggunakan peristiwa force majeure sebagai alasan
keterlambatan pelaksanaan kewajiban debitur berdasarkan perjanjian kredit. Adapun penyelesaiannya dilakukan secara musyawarah mufakat dengan ketentuan tanpa mengurangi hak-hak bank. 2. Pencantuman klausul keadaan memaksa (force majeure) sebagai klausulbaku Ketentuan keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian kredit bank dituangkan secara baku dalam bentuk klausul keadaan memaksa,force majeure atau keadaan kahar. Pencantuman klausultersebut dalam perjanjian kredit bank secara baku mengakibatkan pengertian dan definisi serta kriteria keadaan memaksa dalam perjanjian kredit bank dapat berbeda-beda, sehingga penafsirannya pun dapat mengakibatkan arti yang berbeda pula. Hal ini juga menimbulkan persoalan tersendiri jika dalam perjanjian kredit bank tidak mencantumkan ketentuan keadaan memaksa. Putusan Mahkamah AgungRepublik Indonesia Nomor 2305 K/Pdt/2005, dalam perkara HajjahMasni Hasibuan (untuk dan atas nama CV Nanda Raya Timber), selaku Pemohon kasasi dahulu Penggugat-Pembanding v Bank Pembanguan Daerah Sumatera Barat, dan Departemen Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Kantor Wilayah I DJPLN Medan, Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Pekanbaru, selaku Para termohon Kasasi dahulu para tergugat-para terbanding. Dalam pokoknya atas dalil-dalil, penggugat telah memperoleh fasilitas kredit dari tergugat berdasarkan surat persetujuan membuka kredit berikut addendumnya sebagai berikut: kredit investasi persetujuan membuka kredit Nomor: 035/PER/KIEBJVI/0599/0504 tanggal 31 Mei 1999 dan addendum Nomor: PK/001035/PB/ADD-I/KI-ABJVI/03-2001/05-2004 dengan plafon maksimum sebesar Rp 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah); kredit modal kerja persetujuan membuka kredit nomor: 027/PER/MK-EBJVI/0599/0504 tanggal 31 Mei 1999 dan addendum nomor: PK/003-027/PB/ADD/MK-AJBVI/03-2001/05-2004 dengan plafon sebesar Rp 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah). Kredit investasi
dan kredit modal kerja yang diterima penggugat tersebut di atas berikut bunga dan biaya lain-lain yang timbul sehubungan dengan persetujuan tersebut harus dibayar kembali paling lambat 31 Mei 2004.Dalam masa persetujuan membuka kredit berjalan tanggal 6 Juli 2001 tempat usaha penggugat (obyek investasi dan modal kerja) mengalami kebakaran sehingga penggugat tidak dapat lagi menjalankan usahanya dan seterusnya kesulitan dalam mengembalikan pinjaman kepada tergugat I (Bank). Selanjutnya tergugat I menyerahkan penanganan kredit macet penggugat ke pada tergugat II (Kantor Lelang Negara) melalui surat tergugat I No.S/319/PB/UM/08-2002 tanggal 29 Agustus 2002. Dalam gugatannya penggugat menyatakan antara lain bahwa kejadian kebakaran tersebut secara hukum adalah force majeure “keadaan memaksa” yang bersifat absolut yang diatur dalam Buku III Titel I Afdeling 4 Pasal 1244 jo 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; bahwa keadaan force majeure secara hukum juga mengakibatkan penghalang terhadap pemenuhan dari perikatan serta membebaskan penggugat dari kewajiban untuk membayar kewajiban-kewajiban yang timbul dalam persetujuan membuka kredit; bahwa oleh karena itu penggugat secara hukum harus dibebaskan dari kewajiban membayar pengembalian kredit berikut dengan bunga dan biaya lainnya yang timbul sehubungan persetujuan membuka kredit tersebut di atas. Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru menolak gugatan penggugat seluruhnya. Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan penggugat-pembanding telah dikuatkan Pengadilan Tinggi Riau. Mahkamah Agung, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi, yang dalam pertimbangannya keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum. Bahwa Kebakaran unit usaha tidak merupakan force majeure atas pengembalian kredit bila tidak diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Putusan hakim Mahkamah Agung
di atas menunjukkan bahwa dalam
perjanjian kredit, hakim tidak berusaha untuk menggunakan interpretasi bahwa telah menjadi pendapat umum,kebakaran adalah merupakan peristiwa force majeure yang tidak dapat diduga oleh siapapun, sehingga terhadap hal berlaku asas umumyang terdapat dalam pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, sehingga debitur dibebaskan dari tanggung jawab atas kewajibannya. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu pihak dalam kontrak akan mengharapkan bahwa salah satu pihak akan memenuhi kewajiban perjanjian mereka, tetapi dalam kondisi yang luar biasa pengadilan dapat memberikan keringanan atau pembebasan dari kewajiban dalam kontrak mereka. Jika ada kontrak yang sudah
dibuat tetapi kemampuan salah satu pihak untuk melaksanakan ternyata tidak bisa dilakukan tanpa kesalahan dia karena ada peristiwa/kejadian waktu kontraknya ditulis/dibuat dalam asumsi yang kejadian itu tidak akan terjadi, maka kewajiban dia untuk melaksanakan kontrak tidak harus dilakukan (hal ini disebut perbuatan absolut /absolute performance). Kecuali ada kata-kata dalam kontrak atau sebenarnya kondisinya seharusnya bisa dilakukan. 273Kontrak yang menjanjikan perbuatan absolut (absolute performance) itu tergantung di atas asumsi yang pihaknya mempunyai waktu kontraknya dibuat tentang apa yang terjadi di waktu depan. Prinsip force majeure dalam Uniform Commercial Code (U.C.C) 2-615 274 berlaku sebagai asas (berlaku umum) dan force majeure itu menjadi aturan kalau tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang kondisi yang tidak dapat diduga. Pihak bisa menyatakan asumsi mereka kejadian yang mungkin akan menjadikan alasan mereka tidak dapat menjalankan kontrak. Klausul yang mengatakan kondisi yang akan membebaskan ketidakpelaksanaan disebut force majeure, vij majeure, atau klausula Act of God. Kejadian-kejadian yang dinyatakan dalam kontrak itu dianggap eksklusif, jadi daripada menyatakan kontrak sembarangan mungkin lebih baik untuk tidak menyatakan apa-apa mengenai force majeure dan membolehkan asas tersebut untuk menentukan dalam kontrak. Kalau dinyatakan dalam kontrak, maka kejadian-kejadian yang di luar kontrak tidak dapat dilindungi atau merupakan force majeure. Berikut ini contoh klausulforce majeure tersebut: 273
Scott J. Burnham, The Contract ..., Op.Cit., Drafting Guidebo, p. 209. Uniform Commercial Code (UCC) adalah standar hukum bisnis yang mengatur kontrak keuangan dan transaksi komersial. UCC telah diadopsi oleh sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat dan Code itu sendiri memiliki sembilan artikel terpisah. 274
1.
Pesanan yang tidak ditentukan oleh pihak mana saja kalau ada Act of God, perang, bentrokan, peledakan, banjir, pemogokan, larangan bekerja, perintah, ketidakmampuan untuk mendapat bahan bakar, listrik, materi dasar/kebutuhan pokok,buruh,
fasilitas
transportasi,
kecelakaan,
alat-alat
rusak,
kepentingan/pengamanan negara, atau penyebab di luar kendali/kontrol pihaknya yang menghalangi produksi kiriman penerimaan atau konsumsi kiriman barang atau barang yang pabrik yang pabrik perlukan untuk barangnya. 2.
Pihak tidak akan bertanggung jawab kalau pelaksanaan dalam kontrak terlambat atau terhalang oleh revolusi atau kekacauan yang lain, perang, pelaku musuh, mogok, kebakaran banjir, Act of God atau tanpa membatasi/mengabaikan ketentuan di atas dengan penyebab yang lain di luar kontrol pihak yang pelakunya akan diganggu dan kapan mereka tidak bisa memberhentikan gangguan itu walaupun sudah berusaha untuk itu dan pihak tidak dapat menghentikannya, meskipun jenis penyebabnya tertulis atau tidak tertulis. 275
Dari hal tersebut di atas, dapat
dilihat bahwa klausulforce majeure harus
memutuskan bagaimana para pihak akan menyatakan atau menuliskan klausulforce majeure itu secara umum (general) atau secara spesifik. Ini perlu kesimbangan kejadian-kejadian yang tertulis dan bahasa yang umum (atau penyebab lain yang di luar kontrol pihak). Arthur Lewis, mengatakan bahwa setiap kontrak memuat syarat atau ketentuan. Biasanya syarat dan ketentuan di dalam kontrak dinyatakan secara tegas. Namun, terkadang ketentuan hanya tersiratkan menjadi kontrak. Ketentuan demikian 275
Scott J. Burnham., Op.Cit., p. 212.
tersirat melalui fakta, hukum, atau kebiasaan. Ketentuan yang tersirat melalui fakta adalah ketentuan yang oleh pengadilan diputuskan wajib diniatkan para sekutu untuk dimasukkan. Dahulu ujinya ialah “would an offcious bycious bystander have assumed that the parties would have intended to include some term”. Sekarang pengadilan menegaskan bahwa aplikasi harus nyata bagi kedua belah pihak. Contoh terbaik syarat-syarat melalui hukum
adalah persiapan Sale of Good Act 1979. Act ini
menyiratkan ketentuan-ketentuan dalam semua kontrak penjualan barang, terutama ketentuan bahwa barang tidak boleh rusak atau cacat. Ketentuan yang tersirat melalui kebiasaan, para pihak yang telah menjalankan kegiatan usaha di pasar tertentu selama periode waktu tertentu diasumsikan telah menyesuaikan diri dan menganut kebiasaan umum di pasar tersebut. 276 Berkaitan dengan syarat dan ketentuan di dalam kontrak dinyatakan secara tegas, di Amerika Serikat secara umum kontrak lebih rumit dan panjang, mereka mencoba untuk menulis semua kemungkinan. Tetapi sebaliknya orang di Inggris lebih suka jika kontrak mereka singkat, jelas dan menulis point-point yang penting saja dan utama. Orang Amerika Serikat tidak suka kalau ada kemungkinan yang tidak tertulis. Kebanyakan negara di dunia mengikuti style/gaya Inggris, perbedaan ini mungkin karena kerumitan (kompleks) struktur industri di Amerika Serikat dan peran besar dari pengacara di Amerika Serikat. Kalau dipertanyakan mana yang lebih baik, maka secara idealnya kontrak yang jelas dan singkat tanpa pengacara punya daya tarik, biasanya kemungkinan kejadian yang tertulis tidak akan terjadi, dan jika itu terjadi, maka kebaikan manusia dapat menyelesaikannya, kita saling percaya juga 276
Arthur Lewis, Dasar-Dasar ..., Op. Cit., h. 95-96.
kalau kita mencoba menulis semua kemungkinan, maka ongkos legal lebih tinggi dan ini pandangan orang Eropa tadi, tetapi orang Amerika Serikat mengatakan apa yang dikerjakan harus dikerjakan dengan baik, meskipun kadang-kadang sanggat panjang dan rumit. Kontrak Amerika Serikat secara umum lebih bagus dan bernuansa serta berpengalaman. 277 Klausul-klausul dalam kontrak bentuk standar dapat mengarah kepada tuduhan bahwa klausul-klausul tersebut dibebankan sebagai bagian dari paket “take it or leave it” (ambillah, kalau tidak mau, ya sudah) oleh pihak yang punya posisi bargaining (tawar menawar) lebih kuat; ini adalah istilah altrenatif dari “contracts of adhesion” (kontrak-kontrak pelekatan). Efek dari kontrak-kontrak bentuk standar seringkali bahwa pihak yang dikenakan ketentuan ini tidak tahu bahwa itu adalah sebuah ketentuan kontrak. Dalam situasi-situasi seperti itu, tidak mengagetkan lagi, jika keadilan atas ketentuan pengecualian dipertanyakan, khususnya ketika debitur sedang berusaha terhadap ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh kreditur. Di negara Common Law seperti Amerika Serikat dikenal adanya Unifair Contract Terms Act Tahun 1977 (Undang-Undang Ketentuan Ketidakadilan Dalam Kontrak). Beberapa kasus hukum di Amerika Serikat berkaitan dengan ketentuanketentuan pengecualian harus dipandang secara hati-hati sekarang. Keberadaaan UCTA 1977 berarti alat-alat yang dikembangkan oleh Common law untuk berurusan dengan ketentuan pengecualian sekarang dapat digunakan dengan lebih hati-hati oleh pengadilan-pengadilan. UCTA 1977 mempunyai keuntungan bahwa undang-undang ini sering kali mengijinkan pengadilan secara terbuka untuk menimbang faktor-faktor 277
Ibid., p. 214.
untuk mengetahui apakah sebuah klausul/ketentuan itu “masuk akal.” Perhitunganperhitungan ke masukakalan pasti telah mempengaruhi pendekatan pengadilan dalam penggunaan mereka akan alat-alat common law, tetapi hal itu sekarang seringkali dapat dipertimbangkan secara terbuka, dengan argumen-argumen dari kedua sisi yang secara spesifik diarahkan kepada itu. Bagaimanapun juga, haruslah diingat bahwa tidak semua tipe kontrak dapat mempengaruhi oleh UCTA 1977 dan pengadilanpengadilan bisa saja lebih tertarik menggunakan alat-alat common lawketika berhadapan dengan sebuah kontrak yang tidak termasuk kepada UCTA. 278 Namun tidak boleh diasumsikan bahwa kontrak-kontrak bentuk standar, dengan ketentuanketentuan pengecualian mereka adalah selalu merupakan alat-alat yang bisa dipakai untuk menyalahgunakan kekuasaan oleh pihak yang posisibargaining-nya lebih kuat. Pada keuntungan-keuntungan yang bisa didapatkan dari penggunaan kontrak bentuk standar. Sebuah kontrak bentuk standar dapat dipergunakan untuk mempercepat proses kontrak dan mengurangi biaya-biaya. Hal ini tidak perlu diprotes yaitu jika kontrak bentuk standar adalah sebuah alokasi risiko yang bagus. Bentuk standar tersebut mungkin adalah yang digunakan selalu pada sebuah perdagangan tertentu, yang muncul karena negoisasi, dalam ketentuan yang adil, diantara perwakilanperwakilan mereka yang menggunakannya pada kedua sisi (contoh: pembeli-pembeli dan penjual-penjual sebuah komoditas tertentu, atau penyewa-penyewa dan yang menyewakan sebuah jenis peralatan). Di bawah keadaan-keadaan seperti itu, ketentuan pengecualian dapat semata-mata merepresentasikan sebuah alokasi risiko
278
Laurence Koffman, Elizabeth Macdonald, The Law Contract, Six Edition, (New York: Oxford University Press, 2007), p. 163.
terhadap orang yang paling layak untuk diasuransikan untuk hal itu. Pembatas risiko dapat disertai oleh rendahnya ongkos bagi pihak lain tersebut. 279 Proses penafsiran kontrak, dengan pencariannya terhadap “maksud para pihak” adalah suatu hal yang mengijinkan pengadilan-pengadilan, yang merupakan fleksibilitas memadai bagi daya tarik hasil akhir untuk memainkan sebuah bagian di dalam kesimpulan yang telah dicapai. Sebelum perundangan kontrol-kontrol yang dibebankan
terhadap
ketentuan-ketentuan
pengecualian
oleh
UCTA
1977,
pengadilan-pengadilan menggunakan peraturan-peraturan konstruksi/pembentukan hukum secara kreatif dalam rangka meringankan akibat-akibat ketentuan-ketentuan tersebut. Ini digambarkan oleh Lord Denning MR dalam Pengadilan Banding dalam perkara Geoege Mitchell (Chesterhall) Ltd v Finney Seed Ltd (1983) QB 284 at 297: Dihadapan kepada penyalahgunaan kekuasaan-oleh yang kuat melawan yang lemaholeh penggunaan detail-detail persyaratan-para hakim melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk meletakkan sebuah kontrol atas itu. Para hakim masih menjunjung idola “kebebasan berkontrak” (freedom of contract). Mereka masih berlutut dan mnyembahnya, tetapi mereka menyembunyikan sebuah senjata rahasia di balik jubah mereka. Mereka memakai senjata tersebut untuk menikam idola mereka dari belakang. Senjata ini dinamakan “pembentukan/kontruksi hukum” (the construction of the contract). Mereka memakainya dengan skill yang tinggi dan kecerdikan. Mereka memakainya sehingga keluar dari makna
279
Ibid.
alami kata-kata
ketentuan pengecualian dan meletakkan di depan mereka sebuah bentuk yang tegang dan tidak alami”. 280 Dalam perkara General of Fair Trading v First National Bank(2002), bersangkut kepada salah satu ketentuan-ketentuan kontrak standar First National Bank untuk meminjamkan uang kepada para peminjam melalui kesepakatankesepakatan teregulasi di bawah Consumer Credit Act 1974. Ketentuan tersebut mengijinkan keberlanjutan tingkat bunga kontraktual setelah hasil pengadilan yang menyatakan “default” (gagal secara hukum untuk membayar utang) Signifikan ketentuan tersebut adalah bahwa, tanpa ketentuan itu First Nationaltadinya bisa saja akan kehilangan hak atas bunga atas jumlah uang yang masih belum dilunasi ketika hasil pengadilan telah keluar. Tanpa sebuah ketentuan yang demikian, hak kontraktual terhadap bunga tadinya akan “melebur” dengan hasil pengadilan dan, karena putusan pengadilan harus diusahakan di Pengadilan Tingkat Pertama (County Court), tidak ada bunga yang dapat diberikan karena apa yang menjadi pertanyaan adalah sebuah kesepakatan yang teregulasi/telah diatur. Pengadilan mempunyai kuasa untuk memerintahkan pembayaran dengan cara angsuran, tetapi tidak termasuk bunga di masa depan untruk menutupi waktu yang lebih lama yang diambil untuk melunasi pinjaman. Pengadilan juga mempunyai kuasa di bawah bagian 136 Consumer Credit Act 1974, ketika membuat ‘perintah waktu’ untuk mengijinkan pelunasan di sepanjang sebuah periode waktu, untuk mengamandemenkan ketentuan apapun dari kesepakatan. Namun, yang menyebabkan permasalahan dibawah ke depan pengadilan dalam kasus ini adalah bahwa County Court akan memberikan hasil pengadilan bagi First National bank “consumer’s default” (ketidakmampuan nasabah secara hukum untuk melunasi utang-utangnya), dan membuat sebuah perintah yang mengijinkan pembayaran dengan cara angsuran. Nasabah akan mau melakukan angsuran pembayaran tersebut dan kemudian terkejut mengetahui bahwa jumlah yang besar masih menjadi utangnya karena, di bawah ketentuan kontrak yang ada, tingkat suku bunga kontraktual telah berkanjut harus dibayarkan setelah putusan pengadilan. Bunga tersebut tidak dapat ditutupi oleh pembayaran-pembayaranyang diperintahkan oleh pengadilan dan pengadilan, ketika membuat keputusan belum mempertimbangkan apakah akan menyediakan bantuan utuk itu. Nasabah belum mengerti interaksi ketentuan perundang-undangan. Ada 2 (dua) argumen dasar yang dipertimbangkan pengadilan. Pertama, ketentuan yang dipertanyakan adalah yang paling esensial dan yang tidak ditudungi oleh test keadilan/kejujuran, dan yang kedua, ketentuan tersebut di luar dari semua permasalahan, adalah adil. Pengadilan Tinggi, Pengadilan Kasasi, dan House of Lords menemukan ketentuan tersebut bukanlah yang paling esensial, tetapi hanya Pengadilan Kasasi yang menganggapnya sebagai tidak adil. 281
280
Ibid., p. 187-188. Ibid., p. 268-269.
281
Aspek dari kasus yang berkaitan dengan penerapan test kejujuran/keadilan akan dikembalikan ke bawah. Apa yang berasal dari kepentingan di sini adalah pendekatan yang diambil berdasarkan jangkauan dari pengecualian inti. Unifair Contract Terms Act Tahun 1977 (Undang-Undang Ketentuan Ketidakadilan Dalam Kontrak) menundukkan klausul-klausul kemasuk-akalan’.
Di
dalam
hubungan
kepada
kepada
‘kebutuhan akan kontrak-kontrak
antarakonsumer dan penjual atau penyuplai, peraturan-peraturan ketentuan-ketentuan tidak adil dalam kontrak –kontrak (Unfair Terms in Consumer Contracts Regulation /UTCCR 1999) menundukkan ketentuan-ketentuan secara non-individual lebih secara umum kepada test ‘kejujuran’. Hal ini menerima beberapa penjelasan pada UTCCR 1999, reg 5 (1) sebuah ketentuan dianggap tidak adil/jujur, jika: ‘ berlawanan denganebutuhan akan itikad baik, hal itu mengakibatkan sebuah ketidak seimbangan signifikan pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang muncul di bawah kontrak yang dapat membahayakan konsumer/pelanggan’. Secara dasar ada dua elemen di sini: 1. Ketidakseimbangan signifikan pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang dapat membahayakan konsumer/pelanggan; 2. Kebutuhan akan itikad baik. Untuk sebuah ketentuan yang tidak adil menghasilkan ‘ketidakseimbangan signifikan’, pasti merupakan sesuatu yang berlawanan dengan pentingnya ‘itikad baik’. Kecenderungan terhadap itikad baik bukanlah sesuatu yang familiar bagi pengacara-pengacara di Inggris dan Wales, walaupun hal itu pasti sekarang menjadi lebih lagi, dengan peran penting itikad baik itu sendiri pada peraturan ketentuan-
ketentuan Tidak Adil sejak 1994. Itikad baik sudah lama menjadi lebih familiar pada sistem-sietem hukum perdata, dalam hubungan di mana efeknya telah dikatakan sebagai yang paling layak dikomunikasikan oleh bahasa sehari-hari sebagai ‘bermain jujur’, ‘bermain bersih’ atau ‘memperlihatkan kartu seseorang di atas meja’. Tetapi arahan signifikan telah diberikan oleh House of Lords di Director General of Fair Trading v First National Bank (2002). Fakta-fakta Director General of Fair Trading v First National Bank (2002), catatan yang merupakan komentar-komentar untuk ‘good faith’, Lord Bingham mengatakan: 282 ‘kebutuhan akan itikad baik pada konteks ini adalah salah satu tindakan bisnis yang jujur dan terbuka. Keterbukaan memerlukan bahwa ketentuan-ketentuannya harus diungkapkan/dituliskan secara lengkap, jelas dan bisa dibaca, tidak mengandung lubang-lubang atau perangkap-perangkap tersembunyi. Keutamaan yang pantas harus diberikan kepada ketentuan-ketentuan yang dapat bekerja secaramerugikan bagi pelanggan. Tindakan bisnis yang jujur memerlukan bahwa seorang pemasok tidak boleh, entahkan secara sengaja ataupun tidak, mengambil keuntungan atas kepentingan, kemiskinan, kurangnya pengalaman, ketidaktahuan akan hal subyek kontrak, possisi bargaining yang lemah atau faktor lain apapun dari konsumer yang terdaftar pada schedule-schedule peraturan-peraturan’. Secara mirip, Lorn Steyn melihat itikad baik sebagai masukan ‘ide akan tindakan bisnis terbuka dan jujur’. Secara jelas, hal ini bergantung kepada keadaankeadaan standarisasi dan, secara lebih luas lagi. Lord Bingham juga mengenali bahwa itikad baik ‘melihat pada standar-standar moralitas dan praktik sosial yang baik’ dan, mirip juga Lord Styen melihat ‘tujuan adanya itikad baik dan tindakan bisnis yang jujur’ sebagai sedang ‘menegakkan standar-standarmasyarakat akan kejujuran dan kemasuk-akalan’. Dalam pandangan iniitikad baik secara luas menjelmakan ‘standarstandar’ tindakan bisnis tertentu kepada dua aspek itikad baik-tindakan bisnis yang
282
Ibid., p. 278.
terbuka dan tindakan bisnis yang jujur-yang pada akhirnya mengandung ide-ide tentang ketercukupan pemberitahuan ketentuan-ketentuan (termasuk kejelasan rancangan ketentuan-ketentuan tersebut) dan tentang keadaandi mana suatu keuntungan tidak akan diambil oleh pihak yang lebih kuat, penjual maupun penyuplai. 283 Hak-hak dan kewajiban-kewajiban di bawah sebuah kontrak tidak bisa dianggap berimbang secara merata, kecuali jika kedua belah pihak secara merata terikat oleh kewajiban-kewajiban mereka di bawah kontrak dan hukum umum. Kecurigaan akan ketidakadilan muncul pada setiap ketentuan yang merongrong nilai kewajiban-kewajiban tersebut dengan cara mencegah atau menghalangi konsumer mendapatkan kompensasi dari seorang pemasok yang tidak patuh kepada kewajibankewajiban tersebut. Jika jangkauan kesepakatan masih berada di dalam sengketa, pengadilan harus pertama kali memutuskan pernyataan-pernyataan apakah yang sebenarnya dibuat oleh para pihak entahkah secara lisan atupun tertulis. Di dalam situasi-situasi khusus, hukum Inggris membutuhkan sebuah tingkat formalitas entahkah sebagai kebutuhan substantif ataupun sebagai sebuah kebutuhan prosedural kontrak. Namun, sebagai sebuah peraturan umum, tidak ada formalitas yang dibutuhkan. Sebuah kontrak dapat dibuat secara lengkap dengan perkataan mulut, atau secara lengkap dengan cara terulis. Jika kontrak secara lengkap dibuat dengan perkataan mulut, konten-kontennya adalah sebuah bentuk bukti yang secara normal diberikan kepada seorang hakim yang duduk sebagai seorang juri. Haruslah ditemukan sebagai sebuah fakta apa yang 283
Ibid.
benar-benar dikatakan oleh para pihak. Jika kontrak dibuat secara lengkap dengan cara tertulis, apa yang telah tertulis biasanya tidak akan menimbulkan kesulitan, dan interpretasinya adalah suatu hal yang secara eksklusif merupakan di dalam kekuasaan hakim. 284 Dalam kasus Hawrish v Bank Montreal, seorang pengacara, bekerja untuk sebuah perusahaan, menandatangani sebuah formulir yang ditawarkan oleh bank perusahaan tersebut, di mana si pengacara secara personal memberikan sebuah ‘jaminan berkelanjutan’ sampai dengan $ 6000 ‘untuk semua utang-utang terkini dan nanti’ dari perusahaan tersebut. Ia hendak memberikan bukti jaminan tersebut dimaksudkan untuk hanya menjadi hanya sebuah overdarf (ketentuan tentang jumlah yang yang harus dibayarkan ke bank ketika seseorang sudah menghabiskan lebih banyak uang daripada yang ada di rekening bank seseorang) sebesar $ 6000. Mahkamah Agung Canada memutuskan bahwa bukti tersebut tidak diterima. 285 Pengertian umum menyarankan dan hukum telah lama mengenali bahwa kewajiban-kewajiban yang diciptakan oleh sebuah kontrak bukanlah berasal dari kepentingan yang merata. Adalah hal yang utama bagi para pihak untuk meletakkan nilai mereka sendiri pada ketentuan-ketentuan yang mereka saling bebankan. Tetapi adalah jarang bagi mereka untuk mengungkapkan dengan jelas apa yang mereka punya dalam pikiran mereka; dan tugas yang dihasilkan
dari kesimpulan dan
berinterpretasi tentang maksud mereka adalah selalu merupakan sebuah hal yang sangat sulit. Dalam konteks terkini adalah telah menjadi rumit oleh karena teknik
284
M P Furmston, Cheshire and ..., Op.Cit., p. 107. Ibid.
285
frasa/kata-kata yang diadopsi oleh hakim-hakim dalam upaya untuk membatasi berkerjanya sebuah kontrak dan menilai bagian-bagian komponennya. Masalah-masalah yang disebabkan oleh klausul-klausul pengecualian bertumpang tindih dengan hal-hal yang disebabkan oleh dua tema hukum kontrak modern lainnya yang mulai muncul, peningkatan penggunaan kontrak-kontrak berbentuk standar dan perkembangan peraturan-peraturan spesial demi perlindungan konsumen/nasabah.
Klausul-klausul
pengecualian
biasanya
walaupun
tidak
semestinya, terkandung di dalam kontrak-kontrak bentuk standar tetapi klausul tersebut merupakan satu-satunya masalah yang kontrak-kontrak tersebut hadirkan bagi pengadilan-pengadilan. Untuk itu perlunya ada kerjasama yang merupakan solusi hukum untuk masalah tersebut. Solusi hukumnya adalah membuat sebuah kontrak yang sah (dapat ditegakkan). Dengan menegakkan janji-janji, hukum kontrak memampukan oranguntuk membuat komitmen-komitmen yang kredibel untuk bekerja sama satu sama lain. Mereka memaksimalkan hasil yang didapat dari kerjasama ketika hukum menciptakan dorongan-dorongan yang efisien untuk pelaksanaan dan ketergantungan. Hukum juga dapat mengurangi biaya menegoisasikan kontrak dengan menyediakan ketentuan-ketentuan dasar yang efisien, dan mengoreksi beberapa kegagalan pasar dengan menyediakan ketentuan-ketentuan wajib. Solusi hukum terhadap kerjasama mengasumsikan sebuah keadaan yang efektif untuk menegakkan kontrak-kontrak. Mesin-mesin hukum negara adalah mahal pada keadaan-keadaan terbaik dan tidak efektif pada keadaan-keadaan terburuk. Solusi non-hukum kepada masalah kerjasama, menciptakan sebuah hubungan abadi yang memampukan hubungan-
hubungan yang tahan lama dan berhasil dalam transaksi-transaksi yang dilakukan berulang-ulang. Dari
sudut
pandang
ekonomi,
suatu
kontrak
harus
dapat
mengimplementasikan kesesuaian pendapat (meeting of the minds), sehingga selain berfungsi efisien, secara ekonomis kontrak dapat dijadikan media untuk mencegah kerugian dengan biaya terendah (to avoid the loss at the least cost). Dengan terjadinya efisiensi dalam pelaksanaan kontrak yang tidak merugikan orang lain (pareto effciency) kontrak semacam ini mempunyai nilai ekonomis yang menghasilkan keuntungan bertimbal balik (mutual benefit) untuk para pihak yang bertransaksi. 286Sebagaimana peran positif analisis ekonomi dari hukum, upaya untuk menjelaskan peraturan-peraturan hukum dan hasilnya untuk mengubah menjadi lebih baik, khususnya yang tidak terbatas hanya pada bidang-bidang yang besar dari common law atas properti, kerugian, kejahatan, dan kontrak, yang sarat dengan pertimbangan ekonomi. Diakui bahwa beberapa pendapat hakim secara ekspilit mengandung konsep-konsep ekonomi. Namun sering basis sebenarnya dari keputusan hukum
dirahasiakan
daripada
dijelaskan
dengan
pendapat-pendapat
yang
berkarakteristik retoris. 287 Peleburan cakrawala ilmu memberikan kejelasan dan pengertian yang tidak dapat dimungkiri bahwa tidak ada satu pun ilmu yang dapat berdiri sendiri untuk menjawab persoalannya secara menyeluruh. Sudah saatnya menyadari bahwa semua ilmu saling bersinergitas, saling mengisi dalam memecahkan suatu permasalahan. 286
Fajar Sugianto, Economic Analysis of Law, Seri Analisis Ke-ekonomian Tentang Hukum, Seri I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 62. 287 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Fifth Edition, (New York: A Division of Aspen Publisher, Inc. A Wolters Kluwer Company, 1998), p. 27.
Dalam hal ini, suatu masalah hukum tidak berarti hanya dapat dipecahkan dengan ilmu hukum murni, namun diperlukan keluasaan pengkajian dan bantuan ilmu lainnya. Keleluasaan pengkajian terhadap suatu permasalahan tidak dapat diuraikan secara parsial untuk tidak melahirkan kesesatan dan pemahaman keliru. Keleluasan dalam berpikir justru memberikan kelonggaran dalam menguraikan, mengkaji, sehingga dapat memahami suatu permasalahan secara utuh. 288
E. KlausulKeadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Perjanjian
Kredit
Bankyang DikaitkanDengan keadaan Tidak Mampunya Nasabah Debitur Membayar KreditnyaPada BankSebagai Kreditur Dilihat dari pengertian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan di mana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain. Kapan sebenarnya perjanjian tersebut timbul dan mengikat para pihak? Perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk 288
Fajar Sugianto, Op.Cit., h.73.
melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu: 1. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya 2. Perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan undangundang 3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata memuat asasasas dan prinsip kebebasan membuat kontrak atau perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (pasal 1337 KUH Perdata). 1. Debitur dalam keadaan tidak wanprestasi dan tidak melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan, bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian dan apa yang seharusnya dilakukan jika hal tersebut terjadi? Menurut KUH Perdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian ataupun telah memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya
dikategorikan
sebagai
wanprestasi.
Dalam
prakteknya
untuk
menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan dianggap melakukan
wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu (somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar ketentuan perjanjian (dicantumkan pasal dan ayat yang dilanggar). Disebutkan pula dalam somasi tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tidak mematuhi somasi yang dilayangkan. Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan bila hal tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah hukum, misalnya berupa pengajuan gugatan ke Pengadilan yang berwenang atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. Mengenai hal ini Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan: “debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan wanprestasi tersebut serta bunganya. Dalam Pasal 1243 KUH Perdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan. Yang dimaksud dengan kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya berupa biaya-biaya yang sungguh-sunguh telah dikeluarkan (kosten), atau
kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda siberpiutang (schaden),tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving). 289 Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada 2 (dua) sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab akibat, yaitu: 290 1. Conditio Sine qua non (Von Buri) Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada peristiwa A. 2. Adeguanted Veroorzaking (Von Kries) Menyatakan bahwa peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain).Peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (perisiwa B). Dari kedua teori diatas, maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas rzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas bagian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu di samping itu, teori ini yang paling mendekati keadilan. Selanjutnya bagaimana jika terjadi force majeure yaitu dalam keadaan memaksa atau hal-hal yang secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya? Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu: 1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (force majeure); 2. Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri lalai;
289
R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa , 2001), h. 148. Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UI, 2003), h. 223.
290
3. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi. Menurut asas umum, setiap kelalaian dan keingkaran mengakibakan sipelaku wajib mengganti kerugian serta memikul segala risiko akibat kelalaian dan keingkaran, akan tetapi jika pelaksanaan pemenuhan perjanjian yang menimbulkan kerugian terjadi karena overmacht; debitur dibebaskan menanggung kerugian terjadi. Hal ini berarti apabila debitur tidak melaksanakan pemenuhan perjanjian yang menyebabkan timbunya kerugian bagi kreditur, akan tetapi hal ini bukan oleh karena kesalahan perbuatan debitur. Kerugian semata-mata oleh keadaan atau peristiwa di luar kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi dasar hukum
melepaskan
debitur
dari
kewajiban
mengganti
kerugian
(schadevergoeding). 291 Dengan demikian overmacht merupakan dasar hukum yang mengesampingkan asas yang terdapat dalam Pasal 1239 KUH Perdata, setiap wanprestasi yang meyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (schadevergoeding). Meskipun demikian force majeure tidak dimaksudkan untuk membebaskan kesembronoan (negligence) atau pelanggaran (malfeansance) lainnya dari salah satu pihak, karena tidak terlaksananya kewajiban disebabkan oleh akibat yang tidak alamiah atau tidak biasa dari kekuatan dari luar para pihak, atau di mana keadaan campur tangan secara khusus diperkirakan. 292Banyak hal belum dijelaskan berkenaan perjanjian dengan segala aspek yang ada dan terkait didalamnya. Namun demikian 291
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), h. 82. Siti Anisah, Op.Cit., h. 62.
292
jika kita menarik kesimpulan, maka salah satu inti dari perjanjian atau kontrak adalah itikad baik dari para pihak. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2679 K/Pdt/2008, dalam perkara Darmono, selaku pemohon kasasi dahulu tergugat/pembanding v PT Bank Perkreditan Rakyat Arta Agung Yogyakarta, selaku termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding dan Endang Sudianti, selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat II/turut terbanding. Dalam dalil-dalil pada pokoknya di persidangan Pengadilan Sleman sebagai berikut: bahwa penggugat (Bank) telah memberikan fasilitas kredit/pinjaman yang kepada tergugat I dan tergugat II sejumlah Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), sebagimana tertuang dalam surat perjanjian utang piutang Nomor: 00994.08.06/KBI tanggal 28 Agustus 2006; bahwa tergugat I dan tergugat II berkewajiban melunasi pinjamannya paling lambat pada tanggal 28 Agustus 2007, namun tergugat I dan tergugat IItidak memenuhi kewajibannya untuk menyelesaikan utangnya kepada penggugat.Dalam amar putusannya Pengadilan Negeri Sleman, antara lain: menyatakan menurut hukum bahwa surat perjanjian utang piutang Nomor: 00994.08.06/KBI tanggal 28 Agustus 2006 adalah sah menurut hukum; menyatakan menurut hukum tergugat I dan tergugat II telah ingkar janji (wanprestasi) tidak mengangsur/melunasi utang kepada penggugat. Selanjutnya dalam tingkat banding atas pemohonan pembanding telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Dalam alasan memori kasasi yang diajukan pemohon kasasi/tergugat I antara lain: bahwa tidak akan terjadi ingkar janji (wanprestasi) apabila tidak terjadi musibah alam yakni gempa bumi yang terjadi tanggal 27 Mei 2007 di Yogyakarta; bahwa dengan adanya peristiwa tanggal 27 Mei 2007 tempat usaha yang menjadi andalan untuk memenuhi kewajiban menjadi berantakan yaitu tempat penggilingan padi hancur, rumah hancur sehingga tempat usaha menjadi tidak efektif lagi, sebagaimana layaknya “orang jatuh tidak dapat berdiri lagi. Mahkamah Agung terhadap alasanalasan kasasi tersebut berpendapat: bahwa alasan pemohon kasasi tidak dapat membayar angsuran pinjaman kepada PT Bank Perkreditan Rakyat Arta Agung Yogyakarta adalah akibat bencana alam/gempa bumi tidak dapat dibenarkan, karena pemohon kasasi telah tidak membayar angsuran kreditnya sejak September 2007, sedangkan gempa bumi Yogyakarta terjadi tanggal 27 Mei 2008. Menimbang hal tersebut di atas Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/tergugat I. Melihat putusan Mahkamah agung di atas dapatwalaupun dalam klausul perjanjian kredit terdapat ketentuan force majeure, di mana debitur tidak mampu
menbayar utangnya kepada kreditur (Bank) tetap harus diperhatikan apakah saat terjadinya peritiwa force majeure tersebut debitur/nasabah dalam keadaan wanprestasi. Jika memang dapat dibuktikan bahwa pada saat peristiwa force majeure tersebut
debitur
dalam
keadaan
tidak
wanprestasi,
maka
hakim
dapat
mempertimbangkan dalam putusannya bahwa debitur dalam keadaan tidak wanprestasi tetapi terjadi peristiwa bencana alam yang merupakan force majeure/keadaan memaksa untuk membebaskan debitur/nasabah dari kewajiban membayar utangnya kepada kreditur (Bank). Putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) sehubungan force majeure akibat bencana bencana alam dengan dapatdilihat dalam putusan Nomor: 1899 K/Pdt/2012, dalam perkara Gandung Suparman, selaku pemohon kasasi dahulu penggugat/pembanding v PT Bank Central Asia Tbk. Cq PT Bank Centeral Asia Tbk, Kantor Cabang Utama Yogyakarta, Pemerintah Republik Indonesia Cq Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kanwil IX Semarang Cq Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN) Yogyakarta, Nugroho, masing-masing selalu para termohon kasasi dahulu tergugat I, II dan II/para terbanding. Dalam persidangan Pengadilan Negeri Yogyakarta pada pokoknya dalil-dalil, antara lain: bahwa penggugat telah melakukan pinjaman uang (kredit) pada tergugat I, karena keadaan terkena musibah flu burung ke I pada bulan Desember 2004, gempa bumi tanggal 27 Mei 2006 dan kemudian disusul musibah flu burung ke II pada bulan Febuari 2007 yang berdampak pada usaha ayam penggugat mengalami jatuh kerugian sangat besar, sehingga tidak dapat melakukan pembayaran utang sampai terjadi tunggakan utang penggugat pada tergugat I; bahwa kemudian kredit tersebut menjadi macet, dengan adanya keberatan penggugat untuk melakukan pembayaran utang pada tergugat I, semestinya kebijakan kredit yaiturescheduling dan atau injeksi kredit serta penangguhan eksekusi jaminan sesuai dengan himbauan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tertanggal 18 Juni 2007 khusus bagi UMKM yang terkena dampak
gempa bumi 27 Mei 2006, akan tetapi oleh tergugat I tetap diajuhkan lelang terhadap barang jaminan berupa tanah dan bangunan melalui jasa pralelang PT Balelelang Tunjungan kemudian diproses lelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang (KPKLN) Yogyakarta (tergugat II); bahwa saat pelelangan tersebut terjadi penggugat tidak diberi tahu pelaksanaannya, kemudian setelah selesai pelelangan telah laku dibeli oleh tergugat III. Dalam alasan penggugat menyatakan bahwa perbuatan para tergugat dalam melakukan pelelangan tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Yoyakarta menjatuhkan putusan menolak gugatan penggugat, dan dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Yogyakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dalam memori kasasi, alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi/penggugat antara lain: bahwa pemohon kasasi/ pembanding/penggugat telah terbukti sebagai korban bencana alam gempa bumi tanggal 26 Mei 2006, yang mendapat pelakukan khusus (hal ini dinyatakan dalam pertimbangan hukumnya dalam putusan perkara Nomor: 88/Pdt.G/2010/PN Yk, dalam halaman 55-56); bahwa PBI Nomor 8/10/PBI/2006 yang mengatur batar akhir restrukturisasi terhadap korban bencana gempa bumi adalah akhir Juni 2009 telah dirubah dengan PBI Nomor: 11/27/PBI/2008 dalam Pasal 3 (1): bahwa kualitas kredit bagi bank umum dan kredit bagi bank perkreditan rakyat yang direstrukturisasi ditetapkan lancar terhitung sejak restrukturisasi sampai dengan Akhir Desember 2010. Mahkamah Agung dalam pertimbanganya berpendapat: alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, JudexFacti/Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri tidak salah menerapkan hukum, pertimbangannya sudah tepat dan benar, dengan alasan sebagai berikut: bahwa oleh penggugat konvensi sebagai debitur tidak melunasi utangnya kepada tergugat I sesuai jangka waktu yang telah disepakati, maka terugat I konvensi sebagai pemegang hak tanggungan dapat menjual lelang barang-barang milik penggugat yang dibebani hak tanggungan untuk pelunasan utang penggugat konvensi terhadap tergugat I konvensi; bahwa penjualan obyek hak tanggungan yang dilakukan oleh tergugat I konvensi telah dilaksanakan sesuai dengan persyaratan dan prosedur yang ditentukan dalam perundang-undanganoleh karena itu, penjualan lelang tersebut sah, dan tergugat III selaku pembeli yang beritikad baik harus dilindungi. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Gandung Suparman tersebut harus ditolak. Dalam hal perbuatan melawan hukum hendaknya diperhatikan bahwa kerugian merupakan unsur dari perbuatan melawan hukum, kalau kerugian tidak terbukti, maka tidak ada perbuatan melawan hukum.
2. Klausul keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian Kredit bank tidak dapat diperdayakan oleh nasabah debitur dalam membebaskan dari kewajibannya Banyak kontrak secara cepat menyediakan jalan bagi pelaksanaannya agar tidak usah dilanjutkan apabila dibuat mustahil oleh karena penyebab yang tidak dapat dihindari sepertiAct of God sebagai keadaan memaksa (force majeure). Ketetapanketetapan untuk efek tersebut adalah efektif, disediakan bahwa ketetapan-ketetapan tersebut tidak pasti dalam persyaratan-persyaratan mereka dan bahwa ada ketaatan terhadap kebutuhan pemberitahuan apapun. Klausulforce majeure harus ditafsirkan dalam setiap kasus sesuai dengan sifat alami dan persyaratan-persyaratan umum kontrak, dan pastinya dengan perhatian terhadap kata-kata yang jelas dalam klausul tersebut. Klausul yang dalam bentuknya yang layak dapat membantu pengadilan untuk mempertimbangkan kewajibankewajiban si promisor di bawah kontrak di luar fakta. Sejarah hukum kontrak pada abad ke 14, ada dua jenis utang yang jelas dibedakan, yaitu kewajiban pada utang yang berhubungan dengan sebuah kegiatan tulis menulis (termasuk sebuah perjanjian dan perikatan); dan kewajiban pada utang sur contract, yang berhubungan dengan harga yang belum terbayarkan atau imbalan ketika kontrak sudah dieksekusi oleh penggugat. Sebuah klausulforce majeure adalah sebuah klausul kontrak yang mengijinkan sebuah pihak untuk menangguhkan (force majeure relatif) atau menghilangkan (force majeure absolut) pelaksanaan kewajiban-kewajibannya ketika keadaan-keadaan tertentu yang berada di luar kontrol mereka muncul, pelaksanaan tidak dianjurkan,
tidak dapat dilakukan secara komersial, ilegal atau tidak mungkin. Klausulnya hanya dapat menyatakan bahwa kontrak ditangguhkan secara sementara, atau kontraknya dihapuskan jika peristiwa force majeure berlanjut untuk sebuah periode waktu yang disarankan. Peristiwa-peristiwa yang akan dimasukkan adalah sebuah perihal negoisasi di antara para pihak. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, secara umum peristiwa force majeure dapat mencakup peristiwa-peristiwa force majeure dapat mencakup perang, pemberontakan, kebakaran, banjir, badai, topan, gempa bumi, petir,
ledakan,
aksi
mogok
kerja,
lockout/penutupan
perusahaan,
slowdown/perlambatan kerja, kekurangan suplai energi, dan tindakan-tindakan negara atau instruksi pemerintah yang melarang pihak manapun melakukan masing-masing kewajiban mereka di bawah kontrak. Dalam ketiadaan klausulforce majeure, pihak nasabah debitur bank sangat jarang menghasilkan untuk tidak melaksanakan kontrak yang telah dibuat. Debitur hanya menunggu belas kasihan dari bank/kreditur untuk tidak menangguhkan atau menghapuskan kewajiban untuk membayar utangnya pada bank. Klausul standar yang umum dalam kontrak untuk debitur tetap bertanggung jawab pada kewajibannya dinyatakan bahwa, ‘Setiap pihak tidak bertanggung jawab untuk kegagalan apapun dari atau penundaan pelaksanaan kesepakatan ini untuk periode bahwa kegagalan atau penundaan tersebut dikarenakan penyebab-penyebab di luar kendali logisnya, termasuk tetapi tidak terbatas pada Act of God, perang, unjuk rasa atau perselisihan ketenagakerjaan, larangan perdagangan, perintah-perintah pemerintah atau peristiwa force majeure yang lain’.
Di samping klausul yang secara umum dicantumkan dalam kontrak untuk debitur tetap melaksanakan kewajibannya dalam keadaan force majeure, terdapat juga alternatif-alternatif klausul, yang dinyatakan ‘tidak satupun pihak bertanggung jawab untuk kegagalan dalam melaksanakan (kecuali yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban pembayaran) semata-mata dikarenakan oleh korban yang tak dapat dihindari; keterlambatan pengiriman barang; perlarangan niaga, instruksiinstruksi pemerintah; tindakan-tindakan otoritas sipil atau militer, tindakan-tindakan oleh pengangkut-pengangkut umum, kondisi-kondisi darurat (termasuk kondisi cuaca) yang tidak sesuai dengan keamanan atau ketrampilan kerja berkualitas baik, atau; peristiwa tak terduga apapun yang mirip yang membuat pelaksanaan tidak dapat diterima secara komersial.Jika sebuah peristiwa force majeure terjadi, pihak yang terluka oleh ketidakmampuan pihak lain dalam melaksanakan kewajibannya dapat memilih salah satu dari remedi berikut ini: 1. menghapuskan kesepakatan ini secara keseluruhan atau secara sebagian; atau 2. menangguhkan kesepakatan, secara keseluruhan atau secara sebagian, selama durasi-durasi situasi force majeure. Pihak yang mengalami keadaan-keadaan force majeure akan bekerja sama dengan dan menolong pihak yang terluka dalam caracara yang logis untuk meminimalisir dampak force majeure pada pihak yang terluka, yang dapat berupa penempatan dan penyusunan pelayanan-pelayanan pengganti jika diperlukan. Alternatif lain, sebuah pihak tidak akan dianggap gagal dalam kesepakatan ini dia juga tidak akan memutuskan pihak lain bertanggung jawab terhadap gangguan atau penundaan pelaksanaan kewajiban-kewajiban (kecuali kewajiban pembayaran)
diakibatkan gempa bumi, banjir, kebakaran, badai, bencana alam, Act of God, perang, terorisme, konflik bersenjata, unjuk rasa pekerja, lockout atau peristiwa-peristiwa serupa lainnya di luar kendali logis pihak, dinyatakan bahwa pihak yang bergantung pada klausul ini: memberikan peringatan kata-kata tertulis daripada yang telah disebutkan, dan mengambil semua langkah yang penting secara logis untuk meringankan efek-efek peristiwa force majeure. Jika sebuah peristiwa force majeure meluas selama sebuah periode dalam kelebihan 30 hari secara agresif, pihak manapun boleh dengan segera menghapuskan kesepakatan ini dengan peringatan tertulis. Force majeure didefinisikan secara umum sebagai peristiwa atau kondisi apapun, yang tidak eksis sebagaimana dari tanggal penandatanganan kontrak, yang tidak secara logis dalam kendali pihak manapun, yang mencegah, secara keseluruhan atau secara sebagian, pelaksanaan oleh salah satu pihak akan kewajiban-kewajiban kontraktualnya, atau yang membuat pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut sangat sulit atau mahal yang
membuat pelaksanaan tersebut tidak logis secara
komersial. Kebanyakan hukum-hukum nasional, peristiwa-peristiwa force majeure harus kena kepada 4 (empat) kriteria: 293 1. Peristiwanya harus berasal dari luar kontrak dan para pihak; 2. Peristiwanya harus membuat pelaksanaan pihak berbeda secara radikal dari apa yang para pihak bayangkan pada mulanya; 3. Peristiwanya harus sudah tidak dapat diduga; dan
293
Mary K. McCormick, Force Majeure Clauses: Buried in the Boilerplate But Important, June 15, 2009, Previous Published by InterMart, Inc, on July, 16, 2007, diakses dari www.martindale.com, hari Senin, Tanggal 6 September 2014.
4. Terjadinya peristiwa harus berada di luar kendali pihak yang berusaha menggunakanforce majeure sebagai sebuah alasan untuk tidak melaksanakan. Pengadilan-pengadilan cenderung menginterprestasikan force majeure secara dangkal; bahwasanya adalah hanya peristiwa-peristiwa yang didaftarkan dan peristiwa-peristiwa yang mirip dengan yang sudah didaftarkan itulah akan dicover/ditudungi. Contohnya, ketika tindakan-tindakan terorisme mungkin menjadi sebuah peristiwa force majeure yang telah dispesifikasikan, hal itu tidak semestinya bahwa sebuah pengadilan akan juga mengijinkan non-pelaksanaaan sebuah pihak berdasarkan “ancaman-ancaman terorisme. Oleh karena itu, adalah khususnya penting untuk menentukan/mengspesifikasikan jenis-jenis keadaan apapun yang anda pikir dapat mencegah atau menghalangi pertemuan anda untuk diputuskan. 294 Oleh karena itu, dalam suatu kontrak atau perjanjian, elemen-elemen berikut ini harus dicantumkan di dalam sebuah klausulforce majeure: 295 1. Definisi peristiwa-peristiwa force majeure; 2. Apa yang terjadi ketika sebuah peristiwa terjadi; 3. Siapa yang dapat menangguhkanpelaksanaan; dan 4. Apa yang terjadi jika peristiwa force majeure berlanjut untuk lebih dari sebuah periode waktu yang telah ditentukan. Perlindungan pihak debitur terhadap perjanjian baku dapat melalui ajaran penyalahgunaan keadaan dan ajaran itikad baik. Mengenai ajaran penyalahgunaan keadaan yaitu apabila seeorang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak
294
Janice M.Ryan, Understanding Force Majeure Clauses, Febuary 2011, diakses dari www. m.venable.com/understanding-forcemajeure-clauses,hariSenin,Tanggal 6 September 2014. 295 www.contractstandarts.com/forcemajeure, diakses hari Senin,Tanggal 6 September 2014.
lain karena keadaan-keadaan tertentu (misalnya: dalam keadaan kepicikan, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman) tergerak untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum. Penyalahgunaan keadaan dalam istilah Inggris disebut Undue Influence, pokoknya untuk berhasilnya gugatan berdasarkan penyalahgunaan keadaan pada hakikatnya disyaratkan adanya tindakan yang merugikan orang lain atau tindakan untuk mengambil keuntungan oleh yang menyalahgunakan itu.Perlindungan debitur terhadap perjanjian baku melalui itikad baik ialah yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3, bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pilto tidak lain berarti bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu menurut kepatuhan dan keadilan. Menafsirkan suatu perjanjian adalahmenetapkan akibat-akibat daripadanya. Mengacu pada itikad baik orang dapat merubah atau melengkapi perjanjian di luar kata-kata aslinya. 296 Sehubungan dengan hal itu
sebelum penandatanganan
kontrak atau
perjanjian, supaya klausul-klausul itu mengikat sebagai bagian dari perjanjian haruslah diberitahukan kepada pihak yang mengadakan perjanjian atau pada waktu perjanjian itu dibuat. Apabila telah dikomunikasi dengan baik oleh kedua belah pihak tidak akan mempunyai akibat hukum yang merugikan dikemudian hari. Sebagai bahan perbandingan di Jepang berkaitan dengan klausul-klausul dalam kontrak baku, perusahaan dalam bidang tertentu mengajukan rancangan kontrak bakunya kepada depatemen-departemen yang bersangkutan untuk diteliti lebih dahulu sebelum diberi ijin usaha. Kemudian secara periodik semua kontrak baku dalam berbagai bidang usaha ditinjau oleh departemen-departemen yang 296
Ibid.
bersangkutan. Memang cara demikian merupakan pembatasan kebebasan berkontrak, tetapi pembatasan ini bersifat positif. 297 Hal sama telah diakomodir dalam draf rancangan Undang-Undang tentang Perkreditan dan Perbankan yang masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dalam Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi: Perjanjian kredit dibuat secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan kelaziman dalam perbankan. Selanjutnya dalam Pasal 26 ayat (1) berbunyi: Bank wajib memberian penjelasan mengenai seluruh isi perjanjian kredit dan dampak hukum dari isi perjanjian kredit tersebut kepada pemohon kredit; dan ayat (2) berbunyi: Setelah permohonan kredit mengerti seluruh perjanjian kredit dan akibat hukum dari isi perjanjian tersebut dan menyetujui sebagaimana dalam ayat (1) kedua belah pihak menandatangani perjanjian kredit. Dalam Pasal 22 juga disyaratkan bahwa dalam surat perjanjian kredit wajib memuat pernyataan debitur bahwa debitur telah mengerti dan menyetujui isi perjanjian kredit. Pengaturan klausulforce majeure dalam perjanjian kredit maupun ketiadaan klausul tersebut dalam perjanjian kredit tetap taat pada asas hukum yang berlaku, hal ini sebagaimana juga telah dituangkan
dalam draf rancangan undang-undang
perkreditan perbankan dalam Pasal 23, bahwa perjanjian kredit tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang telah diatur dalam perjanjian kredit, tetapi juga untuk segala sesuatuyang menurut sifat perjanjian diharuskan berdasarkan asas.Perkreditan perbankan dilaksanakan dengan menganut prinsip mekanisme pasar yang berasaskan
297
Hideo Tanaka (ed), The Japanese Legal System, dalam Djasadin Saragih, Op.Cit., h. 48.
kepercayaan, keadilan, kejujuran, transparan, kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan sesuai kepastian hukum. Mengingat pentingnya peranan kredit perbankan dan perlunya unifikasi ketentuan-ketentuan mengenai perkreditan, maka diharapkan rancangan undangundang ini segera diundangkan menjadi undang-undang, sehingga dapat lebih menjamin kepastian hukum bagi semua pihak, sedangkan peristiwa bencana alam sebagai force majeure dalam hukum memerlukan suatu definisi yang jelas agar dapat dipertimbangkan sebagai suatu yang betul betul dapat membebaskan tanggung jawab suatu pihak dalam melakukan kewajiban dalam perjanjian. Perlu pula adanya pembedaan secara tegas antara force majeure dengan hardship, seperti halnya
di Belanda hakim saat ini sangat ketat dan hati-hati
menggunakan Pasal force majeuere yang ada dalam NBW, karena berkaitan dengan salah satu pihak yang akan dibebaskan haknya dari kewajiban pihak lain. Hakim di Belanda dalam putusannya telah mulai bergeser menggunakan doktrin hardship yang ada di common law. Dalam hardship terjadi ketidakseimbangan beban yang harus dipikul oleh salah satu pihak sebagai akibat perubahan kondisi yang tidak dapat diprediksi. Jadi lebih menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara mendasar di antara para pihak, sedangkan force majeure memiliki pengertian yang lebih umum yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa tak terduga di luar kekuasaan para pihak. Akibat hukum dari hardship terhadap kontrak terutama menyangkut pada kesempatan pihak yang dirugikan untuk mengajukan negoisasi ulang (renegoisasi). Hal ini dimungkinkan sebab harship membuat kedudukan para pihak tidak seimbang lagi
dikarenakan adanya peristiwa tak terduga yang mengubah kedudukan para pihak yang mendasar. Seiring dengan perkembangan hukum kontrak, hukum Belanda mengatur tentang perubahan keadaan (changed circumstances) yang terlalu membebani para pihak untuk berprestasi, sebagai berikut: 298 1. Dengan permintaan salah satu pihak, hakim dapat mengubah berlakunya suatu kontrak, atau ia dapat mengesampingkan seluruh atau sebagian ketentuan kontrak itu dengan dasar keadaan tidak terduga yang sifatnya membuat para pihak, berdasarkan kriteria kewajaran dan keadilan, tidak dapat melaksanakan kontrak apabila tidak diubah. Perubahan maupun pengesampingan dapat diberlakukan secara retroaktif. 2. Perubahan atau pengesampingan kontrak tidak dilafalkan sedemikian sehingga orang yang mengubah keadaan tersebut harus bertanggung jawab kepada mereka sesuai kontrak atau pendapat umum. 3. Untuk tujuan pasal ini, seseorang yang hak atau kewajiban kontraktualnya telah berpindah, diasimilasikan sebagai pihak dalam kontrak. Isi kontrak terkait dengan penentuan sifat serta luasnya hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual para pihak. Untuk mengetahui sifat serta luasnya hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual menekankan pada daya mengikatnya suatu kontrak (faktor otonom) dan faktor-faktor yang berasal dari luar pihak (faktor heteronom) yang terdiri dari undang-undang, kebiasaan (gebruik), syarat yang bisa diperjanjikan (bestanding gebruikelijk beding) dan kepatutan (billijkheid). 299 Hal ini bersumber dari Pasal 1339 KUH Perdata, persetujuanpersetujuan tidak hanya mengikat untuk hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Rumusan tersebut secara tegas 298
Ibid, h. 64. J.H. Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan(Terjemahan Djasadin Saragih), (Surabaya, 1985), h. 37-45. 299
mengatur bahwa selain keterikatan kontraktual yang bersumber dari kesepaktan para pihak (faktor otonom), juga perlu diperhatikan faktor-faktor lain (faktor heteronom). Hal ini mengingat kontrak yang dibuat para pihak kadangkala hanya mengatur hal-hal yang bersifat pokok, sehingga ketika muncul permasalahan dalam pelaksanaan kontrak telah diantisipasi melalui penerapan faktor heteronom. Di samping faktor otonom dan faktor heteronom untuk mengetahui sifat serta luasnya hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual, maka perlu diperhatikan aspek interpretasi (penafsiran; uitleg). Interpretasi dilakukan dalam upaya untuk menemukan makna yang hakiki. Menurut Paul Scholten, untuk memahami kontrak atau dokumen-dokumen bisnis kiranya perlu untuk melakukan interpretasi dengan baik. Menurutnya undangundang tidak selalu jelas, tidak mungkin undang-undang memberikan penyelesaian 1001 persoalan yang diajukan kepadanya dengan semudah itu. Dengan demikian adalah sebuah arogansi atau kekhilafan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menyatakan bahwa kodifikasi undang-undang telah mampu mengakomodir segala problema yang muncul dalam masyarakat, akibatnya mereka beranggapan bahwa interpretasi tidak perlu bahkan dilarang. Setiap undang-undang, juga yang paling baik dirumuskan sekalipun, membutuhkan penafsiran. Pada setiap penafsiran, keadilan itu harus selalu diperhatikan dan dalam setiap usaha untuk menemukan hukum yang konkrit, keadilan adalah awal dan akhirnya. 300
300
Paul Scholten, Mr. C. Asser Handleiding Tot de Beoefening van Het Nederlansch Burgerlijk Recht: Aglemeen Deel, (terjemahan Siti Soementri Hartono), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), h. 3-4.
Vollmar 301 mengingatkan pentingnya interpretasi, mengingat bahasa yang dipergunakan dalam undang-undang, termasuk kontrak, sulit untuk mewujudkan pikiran-pikiran pembentuknya sehingga selalu muncul peristiwa-peristiwa baik seluruhnya maupun sebagian yang tidak masuk dalam rumusannya. Melalui interpretasi, menurut Vollmar 302 kita mencari tujuan dan maksud kata-kata yang terdapat dalam undang-undang, sehingga interpretasi tidak lain adalah untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Untuk itulah sebagaimana dikatakan oleh Lawrence Meir Friedman, hukum harus
dilihat dari substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal
structure) dan budaya hukum (legal culture). Ketiga hal ini merupakan kesatuan yang utuh sehingga menentukan efektifnya hukum tersebut. 303 Struktur hukum adalah satu dasar dan elemen nyata dari sistem hukum. Struktur lebih mengarah pada lembagalembaga (pranata-pranata), bagaimana lembaga-lembaga aparat penegak hukum menjalankan tugasnya Substansi (peraturan-peraturan) adalah elemen lainnya. Substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi itu harus berperilaku. H.L.A. Hart berpendapat bahwa ciri khas suatu sistem hukum adalah kumpulan ganda dari peraturan-peraturan. Suatu sistem hukumadalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer dan peraturan-peraturan sekunder. Peraturan primer adalah norma perilaku peraturan sekunder adalah norma mengenai normanorma ini – bagaimanana memutuskan apakah semua itu valid, bagaimana 301
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I, (Jakarta: Rajawali, 1992), h. 15. H.F.A. Vollmar,HukumBenda Menurut KUH Perdata(terjemahan Chaidir Ali), (Bandung: Tarsito, 1990), h. 17. 303 Lawrence Meir Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, (terjemahan The legal System: A Social Science Perspective), (Bandung: Nusamedia, 2009), h. 17-18. 302
memberlakukannya dan lain lain. Substansi hukum itu hakikatnya mencakup semua peraturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti keputusan pengadilan yang dapat menjadi peraturan baru ataupun hukum baru dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Budaya hukum, lebih mengarah pada sikap masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap hukum. Dalam hal ini budaya hukum merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum atau dengan perkataan lain tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Klausul-klausul dalam perjanjian kredit bank sepatutnya merupakan upaya kemitraankarena baik bank selaku kreditur maupun debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usaha masing-masing. Oleh karena itu, dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan perkreditan yang dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit yang dituangkan dalam perjanjian kredit.
304
Di sisi lain, pengadilan yang merupakan pihak ketiga
dalam mengatasi perselisihan apabila terjadi antara bank dan nasabah debitur dapat menilai apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah memenuhi sesuai dengan yang disepakti dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Hal ini tentu juga sekaligus memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak dalam perkreditan.
304
Johannes Ibrahim, Cross Default ..., Op.Cit., h.47.