BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Peran Adanya konflik merupakan suatu bukti keberadaannya peranan pada suatu tempat atau wilayah oleh kelompok atau golongan yang sudah terkoordinasi. Maka dapat mempengaruhi tindakan dengan memiliki batasan-batasan
perbuatan
tertentu
yang
berdiri
sendiri.
Dengan
mempunyai fungsi langsung dan kepentingan masing-masing, sehingga dapat digolongkan menjadi dua tipe peranan dasar yakni yang berkuasa dan yang dikuasai. Peranan yang berkuasa mempunyai kepentingan untuk mempertahankan keadaan dan yang dikuasai berkepentingan untuk kembali berkuasa. Pada kondisi-kondisi tertentu kesadaran akan adanya meningkatnya pertentangan antara dua kelompok yang berkepentingan, sehingga terjadi perubahan dalam kelompok atau golongan yang sudah terkoordinasi secara komando menjadi dua kelompok yang berlawanan (Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini, 1988:78). Pada permasalahan yang akan diteliti kelompok yang bertentangan secara perlawanan melalui fisik yaitu pemerintah Belanda yang di wakili oleh pasukan Tentara Belanda dan pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia, Tentara Pelajar, maupun masyarakat pejuang kemerdekaan dari seluruh Indonesia pada
8
umumnya, dan pada khususnya pada masyarakat Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali. 2. Agresi Militer Diadakannya
perencanaan
persetujuan
Renville
ternyata
menjumpai kesulitan-kesulitan yang tidak dapat diatasi baik dari pihak Belanda maupun dari pihak Indonesia yang mempunyai pendapat dan pandangan sendiri-sendiri tentang isi persetujuan (C.S.T.Kansil dan Julianto, 1984:52). Setelah perundingan Renviile mengalami jalan buntu maka pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan aksi militernya terhadap RI. Akibatnya Ibukota RI yaitu Yogyakarta berhasil direbut dan diduduki oleh Pasukan Belanda. Pada hari yang sama Presiden dan wakil presiden RI dengan sejumlah pejabat negara ditawan oleh Belanda. Tetapi sebelumnya, pemerintah RI sudah memberi tugas dan wewenang kepada Menteri Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatera untuk membentuk dan memimpin pemerintahan darurat Republik Indonesia. Panglima Besar Angkatan Perang Indonesia yakni Jenderal Soedirman mengundurkan diri ke luar Ibukota Yogyakarta untuk memimpin perang gerilya secara total terhadap Tentara Belanda, meskipun dalam keadaan sakit (Sartono Kartodirdjo, 1975:62). Dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II menggunakan sistim Wehrkreise yaitu sistem pertahanan dengan membagi-bagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran (bahasa Jerman Kreise) yang dapat mengadakan pertahanan (bahasa Jerman Wehr) secara berdiri sendiri
9
dengan memanfaatkan untuk menggabungkan semua tenaga manusia dan materiil serta bahan-bahan yang sudah ada dalam lingkaran–lingkaran sekitarnya. Konsepsi strategi ini pada segi taktis militernya dilengkapi dengan taktik gerilya (Moehkardi, 1983:180). Dengan adanya Perintah Panglima Besar No.I tertanggal 10 November 1948 yang menjadi landasan dari berlangsungnya siasat perang gerilya semesta yang digelar dalam bentuk Wehrkreise, Wingate atau Long March (N.S.S. Tarjo, 1984:15). Menurut A.H. Nasution dalam buku pokok-pokok Gerilya (2012), menjelaskan bahwa Perang gerilya adalah
perang yang melibatkan
seluruh kekuatan masyarakat, yang lebih dikenal dengan perang rakyat semesta. Dalam perang rakyat semesta secara bersamaan melaksanakan beberapa aspek yang sangat bermanfaat dalam mendukung perang gerilya, diantaranya seperti: aspek militer, politik, sosial-ekonomi, dan psikologis (A.H.Nasution, 2012:27). Siasat gerilya ialah untuk memaksa musuh tersebar kemana-mana dan terpecah-pecah dengan cara dikepung dan dihancurkan, agar kekuatan musuh berkurang. Sehingga kekuatan musuh menjadi lemah dan persenjataan musuh dapat dirampas (A.H.Nasution, 2012:50). 3. Nasionalisme Nasionalisme menurut Ir. Soekarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1963), merupakan suatu iktikad (niat yang baik), suatu keinsyafan (kesadaran) rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa” (Soekarno, 1963:3). Nasionalisme pada masa penjajahan pada
10
hakikatnya baru mencapai taraf ingin mempunyai negara. Nasionalisme meliputi perjuangan untuk melepaskan ikatan kesatuan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dengan tujuan untuk mencapai kemerdekaan. Kepentingan pihak terjajah yang ingin melepaskan diri dari penjajahan berlawan dengan kepentingan pihak penjajah yang berusaha untuk mempertahankan dan mengabadikan kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu dalam usaha memperjuangkan kepentingan masing-masing selalu menimbulkan bentrokan yang melibatkan antara pihak nasionalis dan pihak yang berkuasa (Slamet Muljana, 1968:7-9). Bangunnya rakyat terjajah dan penolakan terhadap hubungan kolonial disebut nasionalisme, yang didalamnya memiliki unsur-unsur semangat kebangkitan politik, ekonomi, sosial, cultural, dan religius, yang dikembangkan untuk mencapai pembaharuan ke arah kemandirian dan kesatuan bangsa (Suhartono, 1994:19). 4. Masyarakat Masyarakat, dalam bahasa Inggris disebut dengan society yang berasal dari bahasa Latin socius, yang berarti kawan. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata syaraka yang berarti ikut serta atau berpartisipasi. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling bergaul dan berinteraksi.Tetapi tidak semua kesatuan manusia yang bergaul dan berinteraksi merupakan masyarakat, karena masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus. Ikatan tersebut ialah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas
11
kesatuan itu dan pola tersebut sudah menjadi adat istiadat yang khas (Koentjaraningrat, 2002:144). Di dalam masyarakat terdapat suatu kesatuan manusia yang disebut golongan sosial yaitu kelas sosial atau lapisan sosial. Salah satunya yaitu dalam masyarakat modern seperti adanya lapisan petani, lapisan buruh, lapisan pegawai dari yang tinggi maupun rendahan, dan sebagainya. Lapisan semacam itu terjadi karena beberapa manusia yang dikelaskan ke dalamnya memiliki gaya hidup yang berbeda atau mempunyai ciri khas tersendiri, tergantung dari sudut pandang orang yang melihat, apakah lebih tinggi atau lebih rendah (Koentjaraningrat, 2002:153). 5. Tentara Pelajar Pada masa pendudukan Jepang yaitu pada tahun 1943 di beberapa kota di Jawa berdiri Organisasi Pelajar diantaranya di Yogyakarta yang dikenal
dengan
nama
Gabungan
Sekolah
Menengah
Mataram
(GASEMMA), kemudian di Solo berdiri dengan nama Gabungan Menengah Sekolah Surakarta (GASEMSA), di Semarang dengan nama Gabungan Sekolah Menengan Semarang (GASEMSE), sedangkan di Banyumas dengan nama Gabungan Sekolah Menengah Banyumas (GASEMBA). Organisasi-organisasi Pelajar awalnya bersifat sosial, tetapi setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan terjadinya perebutan kekuasaan dengan Jepang, semua Organisasi Pelajar tersebut mengikuti kegiatan pertahanan keamanan
12
meskipun para pelajar tersebut masih berusia muda (Sewan Susanto, 1985:13). Untuk menyesuaikan dengan pertahanan Kelaskaran Rakyat Pemerintah RI mengikutsertakan para pelajar dalam perjuangan perang kemerdekaan, maka Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), membentuk bagian pertahanan yaitu IPI Pertahanan. Untuk menghadapi serangan Belanda, Pemerintah RI berusaha memperkuat pertahanannya dengan mengerahkan segenap kelaskaran rakyat dan organisasi pelajar, termasuk yang tergabung dalam pasukan pelajar IPI-Pertahanan. Dengan persetujuan Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (MB-TKR), pasukan resimen pelajar dijadikan pasukan khusus pelajar dengan nama Tentara Pelajar. Tentara Pelajar di Yogyakarta yang menjadi pusat dari Tentara Pelajar Jawa Tengah, yang diresmikan pada tanggal 17 Juli 1946 oleh Dr. Mustopo dan Markas Pertahanan berada di Lapangan Pingit Yogyakarta (Sewan Susanto, 1985:18-22). B. Penelitian yang relevan Dalam skripsi Djati Pratiwi tahun 2003 dengan judul Peran Tentara Pelajar dalam Pertempuran 4 Hari di Solo tanggal 7-10 Agustus 1949, mengemukakan bahwa Jepang menduduki Indonesia dalam waktu yang relative singkat yaitu hanya tiga setengah tahun. Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Proklamasi kemerdekaan yang dirasakan Bangsa Indonesia tidak semua seratus persen
13
dirasakan bangsa Indonesia karena kembali kedatangan Belanda yang kedua kalinya yang harus dihadapi oleh seluruh rakyat Indonesia pada umumnya dan TNI dan Para Tentara Pelajar pada khususnya. Di Solo, Tentara Pelajar harus menghadapi Tentara Belanda yang ingin menduduki kota dengan tujuan meluaskan daerah kekuasaan dan ingin menunjukkan pada dunia bahwa TNI sudah musnah dan RI hancur. Akibat dari penyerangan Belanda di Kota Solo, maka masyarakat Solo membalas serangan Belanda dengan Serangan umum pada tanggal 7-10 Agustus 1949. Perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian yang relevan di atas yaitu dalam hal Metode Pendekatan. Jika dalam
penelitian
Djati
Pratiwi
menggunakan
pendekatan
Multidimensional, Sedangkan dalam penelitian yang berjudul Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949 menggunakan pendekatan sosial-politik. Penelitian yang dilakukan Ani Olivia tahun 2005 yang berjudul Peran Tentara Pelajar Batalyon 200 Salatiga dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Salatiga Tahun 1945-1949. Penelitian ini mengemukakan tentang rasa patriotisme dan nasionalisme pemuda pelajar sudah mulai ditanamkan pada masa penjajahan Belanda khususnya di Salatiga. Dibuktikan dengan berdirinya Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di jalan Tentara Pelajar Salatiga. AMRI merupakan cikal bakal Tentara Pelajar
14
Batalyon 200 di Salatiga. Sebagai penghargaan terhadap perjuangan Ex Tentara Pelajar pemerintah mendirikan Monumen di jalan Tentara Pelajar Salatiga. Dasarnya adalah di sepanjang jalan itulah para pejuang AMRI yang menjadi cikal bakal Tentara Pelajar Batalyon 200 sebagai tempat asrama pasukan Yamadipa dan pasukan Pringgondani. Perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian yang relevan di atas yaitu dalam hal Metode Pendekatan. Jika dalam penelitian Ana Ovilia menggunakan pendekatan militer dan politik. Sedangkan dalam penelitian yang berjudul Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA Pada Agresi Militer Belanda II Tahun 1948-1949 menggunakan pendekatan sosial-politik.
15
C. Kerangka berpikir Agresi Militer Belanda II di Indonesia
Agresi Militer Belanda II di Boyolali
Tentara Belanda
Tentara Pelajar
Tokoh Agama
Bidang Perjuangan Fisik
Masyarakat Kebonbimo
Perangkat Desa Kebonbimo
Bidang Logistik
Bidang Komunikasi
Masyarakat
Bidang Kesehatan
Keterangan : Tujuan utama dari gerakan Agresi Militer Belanda II adalah untuk menduduki Ibu kota Republik Indonesia yaitu Yogyakarta. Gerak maju Tentara Belanda dilakukan dari enam penjuru dengan mudah menerobos garis-garis pertahanan TNI. Pada tanggal 20 Desember 1948 ibu kota Yogyakarta dapat diduduki. Pada tanggal 21 Desember 1948 Tentara Belanda yang didaratkan di Tuban, sudah bergerak mencapai Cepu. Sedangkan pasukan yang bergerak dari Surabaya pada tanggal 21
16
Desember 1948 dengan tujuan Bojonegoro dan Blitar sudah berhasil dikuasai. Pada tanggal 22 Desember 1948 pasukan Belanda sudah menduduki Solo yang bergerak dari Semarang, kemudian pada hari bersamaan pasukan yang didaratkan oleh Angkatan Laut Belanda di Jepara sudah berhasil menduduki Kudus, Pati dan Rembang. Di Sumatera pada hari pertama, Agresi Militer Belanda II ditujukan di sekitar pekebunan dan pertambangan yang sudah dikuasai. Daerah Asahan diduduki tanggal 20 Desember 1948, di Sumatera Barat Tentara Belanda menduduki Bukittinggi. Pada tanggal 21 Desember 1948 di Riau, Tentara Belanda menduduki Bagansiapi-api dan di Palembang hanya beberapa daerah disekitar Plaju yang diduduki. Tanggal 23 Desember 1948 rencana tahap pertama Belanda sudah terlaksana, semua kota-kota yang dianggap penting sudah diduduki sehingga mereka mulai melaksanakan tahap kedua yaitu menghancurkan kekuatan-kekuatan Republik dan
memulihkan
keamanan di Indonesia (Tobing, 1986:175-179). Dengan menduduki Ibukota Yogyakarta yang sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, Belanda mengira bahwa riwayat RI akan berakhir. Ternyata sebelum terjadi aksi militer Belanda, pemimpinpemimpin Indonesia telah memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Penangkapan para pemimpin Indonesia yang dilakukan Belanda, mengobarkan semangat masyarakat. Pasukan-pasukan TNI menghindari pertempuran besar-besaran melainkan dengan cara menyusup dan menyerang Belanda dengan mendadak. Mereka mencegat pasukan–
17
pasukan Belanda yang sedang berpatroli, kemudian berpencar dan menghilang. Mereka menyamar sebagai masyarakat biasa ditengah-tengah penduduk. Dalam masa perang gerilya, bantuan masyarakat sangat besar dalam perjuangan gerilyawan mempertahankan kemerdekaan (C.S.T. Kansil dan Julianto, 1984:52-53). Daerah yang diserbu dan diduduki Belanda pada Agresi Militer Belanda II di Jawa diawali dari Semarang melalui daratan menuju ke Selatan, menduduki Ambarawa, Secang, Magelang, Muntilan, Sleman, dan kota Yogyakarta. Ibukota Yogyakarta lebih dulu diduduki melalui serangan udara dari Induk Militer Belanda di Semarang. Dari Secang sebagian pasukan Belanda yang akan menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta berbelok meneruskan gerakannya menuju arah Temanggung, Parakan dan Wonosobo. Gerakan pasukan Belanda ke Selatan diawali dari Ambarawa menuju Salatiga, Tengaran, Boyolali, Solo, Sragen, Karanganyar, Sukorejo, dan Wonogiri. Gerakan Militer Belanda dari sebelah Barat dimulai dari Purbalingga, menuju ke Banjarnegara dan Wonosobo. Gerakan dari Purwokerto menuju ke Karangjati, Kroya, Sumpyuh, Kebumen, Kutowinangun, Prembun, Kutoarjo, Purworejo, Salaman, dan Wonosobo. Gerakan Militer Belanda dari Semarang kearah Timur kemudian melingkar ke Selatan, dengan menduduki Kudus, Jepara, Pati, Tugu, Rembang, Blora, Cepu, Ngawi dan Madiun. Sedangkan yang sudah menduduki Ibu kota RI dari Yogyakarta, kemudian bergerak menuju Sleman, Bantul, Bantar, Pakem, dan Kaliurang (Sewan Susanto, 1985:69).
18
Untuk menghadapi Belanda secara perang gerilya, daerah Solo di bentuk satu komando pertempuran yang diberi nama Pusat Pertempuran Senopati (PPS) yang fungsinya sama dengan Wehr Kreise (WK) di daerah lain. Pasukan Tentara Pelajar SA (Strum Abteilung) sebanyak 2 kompi, bersama dengan pasukan Letkol Slamet Riyadi keluar kearah Utara Kota Solo. Pasukan ini berkedudukan didaerah antara Ampel dan Banyudono. Tentara Pelajar Strum Abteilung /Corps Sukarela Angkatan (SA/CSA) adalah Tentara Pelajar Solo yang gigih mempertahankan wilayah Indonesia secara perang gerilya atau pertahanan rakyat total. Selama melakukan tugas gerilya dan penyerangan terhadap Belanda sesuai wilayah yang telah ditentukan. Tentara Pelajar Kompi SA memegang komando sektor yang wilayahnya antara Tengaran sampai Bangak yang letaknya di sebelah jalan raya Salatiga-Solo. Pasukan TP kompi SA erat sekali bekerjasama dengan masyarakat desa karena merasa senasib dan sepenanggungan dalam menghadapi militer Belanda. Melalui pertahanan rakyat total, dengan sistem menghadapi secara perang gerilya dengan tidak secara frontal. Berbagai macam peristiwa telah dialami TP SA Seperti di sekitar Tlatar dengan melakukan perusakan jembatan darurat di Kenteng daerah Ampel (Sewan Susanto, 1985:81-85). Dari berdirinya sebuah sekolah SMA dan adanya Monumen pelajar pejuang bersama masyarakat atau lebih dikenal dengan monumen pruputan di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali. Dimana Sekolah dan monument tersebut dibangun
19
oleh keluarga besar eks Tentara Pelajar SA/CSA, dimana pada masa Agresi Militer Belanda II, wilayah Desa Kebonbimo dan daerah sekitarnya dijadikan salah satu basis dari kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti Peran masyarakat Kebonbimo dalam mendukung perjuangan Tentara Pelajar SA/CSA pada masa Agresi Militer Belanda II dalam berbagai bidang, diantaranya: Bidang Perjuangan Fisik, Bidang Logistik, Bidang Komunikasi, dan Bidang Kesehatan.
20