BAB II KAJIAN PUSTAKA
Teori ekonomi pembangunan merupakan grand theory dalam penelitian ini. Di dalam teori ekonomi pembangunan dijelaskan tentang perkembangan teori tersebut dari masa ke masa, termasuk di dalamnya penjelasan mengenai perkembangan alat ukur keberhasilan pembangunan. Perkembangan alat ukur keberhasilan ekonomi suatu negera juga dikemukakan, antara lain pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan indikator sosial lainnya. Melengkapi grand teory tersebut, dikemukakan pula teori-teori lainnya yang terkait, meliputi: 1) teori ekonomi kerakyatan, yang menguraikan tentang pembangunan ekonomi yang pada hakikatnya adalah pembangunan untuk kesejahteraan rakyat; 2) teori pasar, sebagai bentuk interaksi masyarakat dalam melakukan transaksi untuk memenuhi kebutuhannya; 3) teori strategi bersaing yang meliputi tiga strategi, yakni keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus; 4) teori kelembagaan, yang menguraikan peranan pemerintah dalam menerbitkan regulasi untuk mengatur pasar tradisional, dan 5) teori pemberdayaan dengan ketiga aspeknya, yakni aspek penyadaran, pengkapasitasan, dan aspek pendayaan. Disinggung pula hasil dari upaya pemberdayaan yang berupa keberdayaan dengan sejumlah indikatornya baik yang berhubungan dengan finansial maupun nonfinansial. Teori-teori tersebut dijelaskan secara berurutan dengan mengikuti pola berpikir deduktif, dimulai dari teori pembangunan ekonomi hingga teori pemberdayaan dengan ketiga tahapan/aspeknya.
22
23
2.1
Ekonomi Pembangunan Pembahasan tentang pembangunan ekonomi , tidak bisa lepas dari adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perekonomian suatu negara meliputi faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor nonekonomi antara lain sistem hukum, pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan, dan lain sebagainya (Irawan dan Suparmoko, 2008: 6). Perkembangan ekonomi adalah suatu proses yang melibatkan faktor-faktor tadi. Dengan kata lain, maju mundurnya perekonomian suatu negara sangat bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pembangunan ekonomi sebagai bentuk usaha-usaha meningkatkan taraf hidup suatu bangsa sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan per kapita. Dengan kata lain, tujuan pembangunan ekonomi di samping untuk menaikkan pendapatan nasional riil, juga untuk meningkatkan produktivitas. Pada umumnya dapat dikatakan, tingkat output pada suatu saat tertentu ditentukan oleh tersedianya
atau digunakannya sumberdaya yang tersedia, baik sumber daya
manusia, teknologi, keadaan pasar, dan kerangka kehidupan ekonomi (sistem perekonomian) serta sikap dari output itu sendiri (Irawan dan Suparmoko, 2008: 5). Dengan alat ukur pendapatan per kapita itu, maka dapat diketahui tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Berfokus hanya pada pendapatan per kapita belum
cukup,
karena
menimbulkan
kemiskinan,
pengangguran,
dan
ketidakmerataan distribusi pendapatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Mier seperti dikutip Kuncoro (2003 : 9) bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan hal
24
yang penting (necesarry), tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan. Dalam perkembangannya, tidak hanya aspek pertumbuhan yang menjadi sorotan dalam pembangunan perekonomian, bahkan juga aspek pemerataan. Peningkatan pendapatan per kapita tidak mencerminkan pemerataan ekonomi, termasuk keadilan sosial bagi warga negara. Oleh karena itu, aspek pertumbuhan dan pemerataan harus dilihat secara bersama-sama. Pembangunan yang berhasil adalah pembangunan yang memberikan pertumbuhan yang berkualitas sekaligus memperkecil kesenjangan antarnegara/bangsa dan antarkomunitas masyarakat. Paradigma pembangunan yang terakhir adalah ada pada pentingnya sumber daya manusia, di atas sumber daya alam. Walaupun suatu negara miskin sumber daya alam, tetapi kaya akan sumber daya manusia, maka negara itu dapat dipastikan akan mengalami kemajuan pesat. Tentu saja dimaksudkan di sini bukan totalitas penduduk yang besar, melainkan terletak pada kualitas penduduk itu. Inilah yang menjadi faktor penentu terciptanya akselerasi pembangunan ekonomi setiap negara. Ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan pun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Keberhasilan pembangunan secara tradisional pada awalnya hanya diukur dari pendapatan nasional bruto (GNP). Kalau kenaikan GNP meningkat, katakanlah 5 – 7 persen atau bahkan lebih tinggi dari itu dipandang sudah bagus. Indeks ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengulur tingkat kemajuan suatu negara adalah tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (income per capita) atau GNP per kapita. Indeks ini pada dasarnya mengukur
25
kemampuan suatu negara untuk memperbesar output-nya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Selanjutnya, ada saatnya pula berkembang pemikiran bahwa pengukuran keberhasilan pembangunan dari sisi ekonomi saja tidaklah cukup. Indikator ekonomi itu mesti didukung pula oleh indikator-indikator sosial (social indicators). Contoh indikator sosial dimaksud antara lain tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan. Dari sekian banyak upaya untuk menciptakan indikator-indikator sosial yang berbobot untuk mendampingin indikator GNP per kapita, yang paling menonjol adalah indikator pembangunan manusia (HDIHuman Development Index) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengukuran HDI ini menyangkut tiga dimensi utama. “This measure incorporates three dimensions of development in relation to human well-being: a long and healty life, education and knowledge, and a decent standard of living” (Willis, 2005: 7). Pada tahun 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama pembangunan ekonomi bukan lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro, 2000: 18). Dengan kalimat yang hampir sama, World Bank menyebut bahwa: “People rise from poverty when countries act on two pillars of development: building a good investment climate in which private
26
entrepreneurs will invest, generate jobs, and produce efficiently, and empowering poor people and investing in them so that they can participate in economic growth.” (Craig and Porter, 2006: 1). Menurut Todaro (2000 : 20) , pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pembangunan ekonomi memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik kesehatan, pendidikan maupun ekonominya. Mula-mula orang hidup di dalam masyarakat primitif yang kehidupannya bersandar pada kegiatan bercocok tanam dan berburu. Mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terbatas (subsisten). Akan tetapi acapkali mereka mengalami kegagalan dari usahanya itu, juga berhadapan dengan masalah kelaparan dan penyakit. Pembangunan ekonomi memungkinkan mereka menghadapi dan mengatasi masalah-masalah itu dengan penemuan teknologi pertanian, dan sebagainya. Pembangunan ekonomi memberikan kemungkinan orang untuk menikmati kesenangan yang lebih luas. Dalam masyarakat primitif, orang harus berjuang demikian keras untuk mempertahankan hidupnya, dengan pembangunan ekonomi akan tersedia banyak barang-barang pemuas kebutuhan dan juga lebih banyak kesempatan untuk bersenang-senang. Di samping itu, pembangunan ekonomi juga membuka kemungkinan orang untuk mengangkat sifat-sifat kemanusiaan selaras
27
dengan kemampuan yang dimilikinya. Orang dapat menolong orang lain kalau kebutuhan paling mendasar untuk dirinya sendiri sudah terpenuhi, sehingga ada surplus yang tersedia untuk membantu mereka yang miskin, cacat, terkena bencana alam, dan sebagainya. (Irawan dan Suparmoko, 2008 : 10-12). Goulet sebagaimana dikutip Todaro (2000 : 21), mengatakan bahwa paling tidak ada tiga komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis untuk memahami pembangunan yang paling hakiki. Ketiga konsep dasar tersebut adalah kecukupan (sustenance), jati diri (selfesteem), serta kebebasan (freedom); ketiga hal inilah yang merupakan tujuan pokok yang harus dicapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam manifestasi (bentuk) di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang jaman. Sebagaimana tujuan pembangunan pada umumnya, pembangunan ekonomi Indonesia
dimaksudkan untuk mencapai kondisi kehidupan masyarakat yang
lebih baik dan lebih manusiawi. Landasan pembangunan ekonomi di Indonesia adalah dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 33. Sila keempat Pancasila menyatakan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Selanjutnya, sila kelima menyatakan dasar pembangunan ekonomi dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada ayat (1) pasal 33 UUD 1945, disebutkan bahwa
perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya, pada ayat (2) dinyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
28
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pada ayat (4) disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 33, merupakan pedoman bagi arah pembangunan ekonomi di Indonesia.
2.2
Ekonomi Kerakyatan Ekonomi rakyat adalah segala kegiatan dan upaya rakyat untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya, yaitu sandang, pangan, pendidikan, dan papan. Dengan perkataan lain, ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat dengan cara swadaya mengelola sumber daya apa saja yang dapat dikuasainya setempat, dan ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya beserta keluarganya. Dalam konteks permasalahan yang sederhana, ekonomi rakyat adalah stategi bertahan hidup (survival) rakyat miskin (Rintuh dan Miar, 2005: 4). Menurut Mubyarto, sebagaimana dikutip Rintuh dan Miar (2005: 5), sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis kekuatan rakyat. Ekonomi kerakyatan adalah istilah yang relatif baru, yang dipopulerkan untuk menggantikan istilah ekonomi rakyat yang konotasinya dianggap negatif dan bersifat
diskriminatif.
Negatif,
karena
didikotomikan
dengan
ekonomi
konglomerat, dan diskriminatif karena didesain untuk terang-terangan memihak
29
pada salah satu sektor
atau strata ekonomi tertentu, yaitu golongan ekonomi
lemah atau rakyat kecil. Menurut Soeharsono Sagir sebagaimana dikutip Asshidiqie (2010: 354255), perekonomian setiap negara pasti berjalan menurut sistem tertentu. Jenis sistem ekonomi yang dianut Indonesia sebagai landasan pembangunan dari waktu ke waktu adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam sistem ini, kedaulatan di bidang ekonomi ada di tangan rakyat, dan karena itu, ekonomi kerakyatan itu terkait erat dengan gagasan demokrasi ekonomi yang tidak lain ialah paham kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Yang menjadi sasaran dari Sistem Ekonomi Kerakyatan itu adalah pembebasan kehidupan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, ketergantungan, perlakukan tidak adil, kerusakan lingkungan, dan rasa was-was dalam menatap masa depan. Karena itu, kebijakan pembangunan nasional sudah seharusnya tidak keluar dari asa ekonomi kerakyatan yang menurut Soeharsono Sagir, tercermin dalam tiga prinsip triple track development, yaitu pro-poor, projob, dan pro-growth. Dalam mengimplementasikan ketiga prinsip tersebut, disebutkan ada enam tolok ukur yang dapat dipakai untuk menilai berhasil-tidaknya suatu proses pembangunan, yaitu: (i) rakyat bebas dari kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; (ii) Rakyat bebas dari kebodohan dan terberdayakan menjadi sumber daya insani (human capital) yang produktif; (iii) Rakyat bebas dari pengangguran dengan bekerja kreatif dan produktif untuk meningkatkan penghasilan sendiri dan orang lain; (iv) Negara bebas dari ketergantungan kepada utang luar negeri; (v) Negara bebas dari kekurangan devisa karena nilai ekspor
30
melibihi impor; (vi) Negara bebas dari kerusakan ekosistem sehingga pembangunan dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Sistem ekonomi kerakyatan tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sila keempat Pancasila menyatakan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Selanjutnya, di dalam ayat (2) pasal 33 UUD 1945, disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pada ayat (4) disebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Demokrasi harus dilihat sebagai wahana untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyat kecil. Menurut Rintuh dan Miar (2005: 77), pemerintah harus lebih berpihak kepada rakyat kecil karena pada hakikatnya paham demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat, pemerintah harus dijalankan sesuai dengan pernyataan politik bahwa Indonesia menganut paham demokrasi, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, juga secara ekonomi Indonesia adalah negara demokrasi. Kata demokrasi ekonomi itu sendiri tidak banyak ditemukan karena demokrasi ekonomi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas di mana setiap individu tidak bebas dan harus mengikuti mekanisme pasar yang merupakan perwujudan dari tangan yang tidak tampak (invisible hand). Dikatakan, sejalan dengan pengertian demokrasi di bidang politik, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, maka demokrasi ekonomi dapat berarti
31
kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Dengan perkataan lain, demokrasi ekonomi adalah kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi ekonomi mengutamakan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran masing-masing individu. Nilai kemasyarakatan dalam kehidupan ekonomi tersebut adalah keadilan dalam kehidupan ekonomi. Demokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian Indonesia dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan oleh Mubyarto, ilmu ekonomi terapan di Indonesia harus memihak rakyat sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945. Jika timbul kecenderungan sistem ekonomi pasar bebas menjurus ke sistem ekonomi yang liberal-kapitalistik, maka pasal 33 UUD 1945 harus dijadikan pedoman untuk meluruskannya kembali, yaitu negara harus mampu menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan negara juga mampu mengendalikan arah kegiatan ekonomi swasta agar sesuai dengan asas demokrasi ekonomi Indonesia. Mubyarto kurang tertarik dengan penggunaan istilah demokrasi ekonomi untuk Indonesia karena bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda. Dikatakan, bahwa yang kita perjuangkan perwujudannya di Indonesia adalah ekonomi kekeluargaan atau kerakyatan, bukan sekadar demokrasi ekonomi. Mengapa hal ini penting ditekankan, karena dikhawatirkan penjabaran pengertian dasar demokrasi ekonomi secara ilmiah cenderung teoritis dan mengacu pada pengertian demokrasi ekonomi pada umumnya di dunia Barat. Jika demikian, penjabaran kita cenderung meninggalkan paham demokrasi ekonomi Indonesia atau demokrasi
32
ekonomi yang harus berdasarkan Pancasila, yang tentu saja menjadi tidak cocok bagi bangsa lain. Dalam pasal 33 UUD 1945, ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak disebutkan secara eksplisit. Hanya disebutkan dengan istilah demokrasi ekonomi. Namun demikian, yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan untuk Indonesia adalah ekonomi yang berlandaskan pada pasal 33 UUD 1945. Walaupun tidak menyebut istilah demokrasi ekonomi, tidak berarti persaingan sama sekali dilarang dalam ekonomi kerakyatan. Sebagaimana dikemukakan Baswir (2009), sesuai dengan panduan ayat (1) pasal 33 UUD 1945, dalam penyelenggaraan ekonomi kerakyatan, kerjasama harus tetap lebih diutamakan daripada persaingan. Seandainya terjadi persaingan diantara sesama pelaku ekonomi Indonesia, maka tujuan utamanya bukanlah berlomba-lomba melipatgandakan keuntungan, apalagi saling meniadakan. Tujuan utama persaingan dalam sistem ekonomi kerakyatan harus tetap diletakkan dalam kerangka untuk mengutamakan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang. Karakter utama ekonomi kerakyatan pada dasarnya terletak pada dihilangkannya watak individualistik dan liberalistik dari jiwa perekonomian Indonesia. Secara makro hal itu diterjemahkan dengan melembagakan kedaulatan ekonomi rakyat dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang. Ekonomi kerakyatan bukanlah sistem perekonomian bebas nilai. Sebagai sebuah politik perekonomian yang secara jelas memuliakan kedaulatan ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan juga berfungsi sebagai gerakan politik yang bertujuan untuk memerdekakan kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam
33
sistem ekonomi neoliberal, yaitu dari tindasan kaum kapitalis yang secara alamiah memang memiliki watak untuk meminggirkan rakyat banyak (Baswir, 2009). Walaupun demikian, tulis Baswir (2009), tujuan utama sistem ekonomi kerakyatan, berbeda dari ekonomi sosialis otoritarian ala Uni Sovyet, bukan untuk membasmi para pemilik kapital tersebut. Tujuan utama ekonomi kerakyatan adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi-politik yang demokratis dan berkeadilan dalam arti sesungguhnya. Dengan meningkatnya kepemilikan alat-alat produksi oleh seluruh masyarakat dan dengan meningkatkatnya kemampuan masyarakat
dalam
dalam
mengendalikan
roda
perekonomian,
maka
penyalahgunaan demokrasi sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi bagi kaum kapitalis diharapkan akan dapat dihindarkan. Dalam ekonomi kerakyatan, kegiatan ekonomi digerakkan oleh mekanisme pasar yang dikendalikan oleh pemerintah menuju ekonomi pasar yang efisien, tetapi berkeadilan (efisiensi-berkeadilan) seperti yang dimaksud pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Assidhiqie, kepemilikan faktor produksi oleh perorangan dibatasi oleh undang-undang, hukum adat, dan norma kepentingan umum, kepemilikan publik, dan kepentingan komunal. Peran swasta tidak dibatasi selama tidak terkait dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dikatakan, peran pemerintah tidak terbatas hanya sebagai regulator, tetapi juga melakukan tindakan yang diperlukan dan bahkan menjadi pelaku langsung apabila timbul adanya eksternalitas negatif, kegagalan dalam mekanisme pasar, ketimpangan ekonomi, atau kesenjangan sosial. Semua itu ditujukan untuk
34
memajukan dan memberdayakan semua pelaku ekonomi secara seimbang dan berkelanjutan menuju pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang menjamin pemerataan yang adil. Ciri-ciri yang demikian itulah yang dapat dipandang sebagai ciri sistem ekonomi kerakyatan yang diidealkan menurut UUD 1945. Dalam Ketetapan MPR No.VI/MPR/1999 mengenai ekonomi kerakyatan, juga disebutkan bahwa misi ekonomi kerakyatan adalah “memberdayakan semua kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Arah kebijakan ekonomi kerakyatan adalah: (i) Bertumpu pada
mekanisme pasar yang berkeadilan; (ii) Berprinsip persaingan yang sehat; (iii) Memperhatikan pertumbuhan ekonomi; (iv) Memiliki nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
sehingga
terjamin
kesempatan
yang
sama
baik
dalam
berusaha/bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan adil bagi seluruh masyarakat. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan sistem ekonomi kerakyatan itu tidak lain adalah sistem ekonomi pasar yang berkeadilan. Istilah ekonomi kerakyatan, ekonomi pasar yang berkeadilan, sesungguhnya adalah istilah-istilah yang kurang-lebih mengandung pengertian yang sama saja. Dengan penggunaan istilah itu orang berusaha untuk menghindar dari kelemahan-kelemahan yang inheren terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis yang seratus persen bebas dan
35
terbuka versus sistem ekonomi sosialis yang seratus persen terpimpin atau dikendalikan oleh negara (Assidhiqie, 2010: 358). Beberapa argumentasi muncul berkenaan dengan perlunya peran negara yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk melindungi setiap pelaku ekonomi. Yustika (2006), menelusurinya mulai dari mazhab neoklasik. Pada mazhab neoklasik, mengijinkan peran negara dalam perekonomian jika terdapat kasus eksternalitas (externality) dan barang-barang publik (public goods)
melalui
regulasi. Paham Keynesian berpandangan bahwa fungsi negara diperlukan untuk mencegah terjadinya resesi ekonomi akibat rendahnya agregat permintaan (underconsumption). Bagi Keynes, lanjut Yustika, jika negara dibiarkan diam, maka selamanya resesi secara periodik akan muncul, karena persoalan rendahnya agregat permintaan tersebut bersifat sistematis. Paham ini dengan terang memberikan ilustrasi, bahwa negara dalam momen-momen tertentu harus bertindak untuk menjaga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, yang dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa dijalankan masyarakat secara sukarela. Dalam kaitannya dengan liberalisasi ekonomi, menurut Yustika, setidaknya ada dua asumsi yang diakui keakuratannya mengenai proses liberalisasi, yakni menguatnya peran modal/pelaku ekonomi swasta dalam memengaruhi aspekaspek kehidupan lainnya dan pasar akan menjadi instrumen tunggal yang mengatur bekerjanya aktivitas ekonomi. Setidaknya dua implikasi penting dari liberalisasi, yaitu pertama, efek dari penguatan pelaku ekonomi berskala besar
36
dalam memengaruhi seluruh lekuk kehidupan kiranya mudah dibuktikan. Di negara-negara berkembang, pengaruh dari korporasi besar (konglomerasi) dan perusahaan-perusahaan multinasional sedemikian besar, khususnya dalam memengaruhi kebijakan pemerintah sehingga menentukan hidup-matinya kepentingan rakyat banyak. Hal itu dapat dilihat dari ekspansi usaha-usaha ekonomi tersebut ke wilayah-wilayah yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan publik, misalnya persawahan maupun fasilitas umum. Dampaknya, pelaku-pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup subsisten dari usaha ekonomi tersebut akan mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang untuk melakukan interaksi sosial. Matinya ekonomi kecil yang tiada lain ekonomi sebagian besar rakyat merupakan tragedi paling mengenaskan dari liberalisasi. Kedua, liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk “membeli” kebijakan pemerintah melalui politik uang. Ini merupakan konsekuensi paling serius dari liberalisasi, ketika modal dibiarkan berkuasa tanpa ada regulasi yang sanggup mengawalnya. Modal dapat menekuk seluruh tatanan ekonomi sesuai dengan hukum yang dimilikinya, yakni kekuatan yang besar akan memakan daya yang lebih kecil. Dengan kedua implikasi yang mengerikan itu, tentu saja peran negara/ pemerintah tidak bisa dicegah lagi. Dalam konteks ini, fungsi negara tidak lagi sekadar menghindari terjadinya resesi ekonomi atau pun mengatasi praktik ekonomi yang merugikan kepentingan pihak lain, melainkan melindungi kepentingan rakyat
yang tersisih sebagai
cermin komitmen sosialnya.
“Pendeknya, negara secara etis harus hadir untuk melayani kaumnya yang takluk
37
karena dipaksa bertarung dengan kekuatan pasar,” terang Yustika (2006: 340), atau seperti dikatakan oleh Yunus (2007: 6), bahwa: “Many people assume that if free market can’t solve social problems, government can. Just as private businesses are devoted to individual profit, government is supposed to represent the interest of society as a whole. Therefore, itu seems logical to believe that large-scale social problems should be the province of government. Government can help create the kind of world we all want to live in.” Dengan uraian di atas, menjadi jelas bahwa dalam demokrasi ekonomi ala Indonesia, peran negara yang diwakili oleh pemerintah menjadi penting dalam rangka mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan. Keberpihakan kepada rakyat kecil, miskin, dan marginal, harus tetap dipertahankan tatkala arus liberalisme dan kapitalisme merambah semakin jauh. Jika tidak, niscaya rakyat kecil akan menjadi pecundang tatkala harus berhadapan dengan suatu sistem yang mengembangkan konglomerasi yang mengandalkan kapital.
2.3
Pasar Sebagai Wadah Ekonomi Pasar merupakan media transaksi bagi konsumen dan produsen melalui
kegiatan pertukaran untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya. Penjelasan secara rinci mengenai pasar sebagai wadah ekonomi meliputi tinjauan pasar dilihat dari pengertiannya, jenisnya, serta pasar dari sisi konsumen dan produsen.
38
2.3.1 Pengertian Pasar 1) Pasar (Market) Istilah pasar sudah acapkali diucapkan dan didengar. Pada umumnya, orang melihat pasar sebagai tempat jual-beli di suatu tempat khusus. Di situ ada pembeli yang membeli suatu barang dan berinteraksi dengan penjual. Pembeli menghendaki harga tertentu yang sesuai dengan kuantitas dan kualitas barang, sebisa-bisanya semurah mungkin. Sementara itu, penjual/pedagang mengusahakan dagangannya laku dengan keuntungan tertentu. Di sinilah, antara pembeli dengan penjual melakukan proses tawar-menawar sampai ditemukan
harga yang
disepakati bersama. Itulah pada umumnya persepsi orang tentang pasar. Bagaimanakah pasar dalam pengertian ilmu ekonomi? Menurut Case dan Fair (2007: 50), yang dimaksudkan dengan pasar adalah lembaga di mana pembeli dan penjual berinteraksi dan terlibat dalam pertukaran. Beberapa pasar berbentuk pertukaran tatap muka yang sederhana; pasar lain berupa rangkaian transaksi yang lebih rumit, sering kali dilakukan dari jarak jauh atau secara elektronik. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Badudu dan Zain (1996 : 1008-1009),
pasar diidentikkan dengan tempat orang berjual beli.
Dijelaskan, terkait dengan pasar, terdapat beberapa istilah, di antaranya, pasar amal yaitu pasar tempat menjual barang-barang untuk mencari dana untuk suatu pekerjaan amal; pasar gelap, yaitu tempat menjual barang-barang secara gelap, dilakukan dengan sembunyi-sembunyi; pasar malam, yaitu pasar yang diadakan hanya pada malam hari; pasar modal yaitu pusat kegiatan bank-bank yang
39
meminjamkan uang secara besar-besaran, atau kegiatan dalam mempertemukan penawaran dan permintaan dana jangka panjang. Selanjutnya, pasar pagi, yaitu pasar yang hanya diadakan pada pagi hari; pasar swalayan adalah toko yang menjual banyak sekali barang keperluan hidup sehari-hari, pembeli mengambil sendiri barang dan membayarnya di kasir. Dalam http://id.wikipedi.org, diakses 11 April 2012, pasar didefinisikan sebagai salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial, dan infransturktur di mana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orangorang dengan imbalan uang. Barang dan jasa dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti uang fiat. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan ini memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi, jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Dalam pengertian yang sederhana atau sempit, pasar adalah tempat terjadinya transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu. Pada umumnya suatu transaksi jual beli melibatkan produk/barang atau jasa dengan uang sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh kedua belah pihak yang bertransaksi. Menurut Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat perbelanjaan dan Toko Modern, pasar
40
didefinisikan sebagai area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan, dan sebutan lainnya. Di dalam Pedoman Pengelolaan Pasar yang diterbitkan oleh Direktorat Bina Pasar dan Distribusi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan tahun 2005 disebutkan, pasar adalah tempat bertemunya pihak penjual dan pihak pembeli untuk melaksanakan transaksi di mana proses jual-beli terbentuk, yang menurut kelas mutu pelayanan dapat digolongkan menjadi Pasar tradisional dan Pasar Modern, dan menurut sifat pendistribusiannya dapat digolongkan menjadi Pasar Eceran dan Pasar Perkulakan/Grosir. Dalam ilmu ekonomi, konsep pasar
adalah setiap struktur yang
memungkinkan pembeli dan penjual untuk menukar jenis barang, jasa, dan informasi. Pertukaran barang atau jasa untuk uang adalah transaksi. Pasar peserta terdiri atas semua pembeli dan penjual yang mempengaruhi harga. Pengaruh ini merupakan studi utama ekonomi dan telah melahirkan beberapa teori dan model tentang kekuatan pasar, dasar penawaran dan permintaan. Ada dua peran di pasar, pembeli dan penjual. Pasar memfasilitasi perdagangan dan memungkinkan distribusi dan alokasi sumber daya dalam masyarakat. Sebuah pasar muncul lebih atau kurang spontan atau sengaja dibangun oleh interaksi manusia untuk memungkinkan pertukaran hak atas jasa dan barang. Secara umum pasar dapat diklasifikasikan sebagai berikut. 1)
Pasar tradisional adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual-pembeli secara langsung dan
41
biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri atas kios-kios atau gerai, los, dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual atau suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahanbahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa, dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia dan umumnya terletak di kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang legendaris antara lain, Pasar Beringharjo Yogyakarta, Pasar Klewer di Solo, dan Pasar Johar di Semarang. 2)
Pasar modern adalah jenis pasar yang penjual dan pembelinya tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum
dalam
barang
(barcode),
berada
dalam
bangunan
dan
pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan seperti buah, sayuran, daging, sebagian besar lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh pasar modern adalah hypermarket, pasar swalayan (supermarket), dan minimarket. Menurut jenisnya, pasar dibagi menjadi 2 (dua), yakni: a.
Pasar konsumsi adalah pasar yang menjual barang-barang untuk keperluan konsumsi. Misalnya, menjual beras, sandal, dan lukisan. Contohnya adalah Pasar Mergan di Malang, Pasar Kramatjati di Jakarta.
42
b.
Pasar faktor produksi adalah pasar yang menjual barang-barang untuk keperluan produksi. Misalnya menjual mesin-mesin untuk alat produksi, dan bahan-bahan/peralatan untuk pabrik. Selanjutnya, ada pula pasar menurut jenis barang yang dijual, yakni ada
pasar ikan, pasar buah, pasar loak, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga kategori pasar berdasarkan lokasi, misalnya Pasar Kebayoran yang berlokasi di Kebayoran Lama, dan lain-lain. Di samping itu, ada lagi pasar menurut hari. Pasar ini dinamakan sesuai dengan hari pasar itu dibuka. Misalnya, Pasar Rebo yang dibuka khusus hari Rabu, pasar Minggu yang dibuka khusus hari Minggu, Pasar Senen yang khusus dibuka pada setiap hari Senin, dan lain-lain. Dikenal juga kategori pasar berdasarkan luas jangkauannya, yaitu : a.
Pasar daerah yaitu pasar yang didalamnya terjadi proses jual-beli produk dalam suatu daerah produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar daerah melayani permintaan dan penawaran dalam suatu daerah.
b.
Pasar lokal adalah pasar yang membeli dan menjual produk dalam suatu kota tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar lokal melayani permintaan dan penawaran dalam satu kota.
c.
Pasar nasional adalah pasar yang membeli dan menjual produk dalam satu negara tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar nasional itu melayani permintaan dan penjualan dari dalam negeri.
d.
Pasar internasional adalah pasar yang membeli dan menjual produk dari beberapa negara. Bisa juga dikatakan luas jangkauannya di seluruh dunia.
43
Selanjutnya terdapat jenis pasar menurut wujud, yaitu: a.
Pasar konkret adalah pasar yang lokasinya dapat dilihat dengan kasat mata. Misalnya ada los-los, toko, dll. Di pasar konkret, produk yang dijual dan dibeli dapat dilihat dengan kasat mata. Konsumen dan produsen dapat dengan mudah membedakan produk tersebut.
b.
Pasar abstrak adalah pasar yang lokasinya tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Konsumen dan produsen tidak bertemu secara langsung. Biasanya dapat melalui internet, pemesanan telepon, dll. Barang yang diperjualbelikan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, pada umumnya menggunakan brosur, rekomendasi, dll. Kita juga tidak dapat melihat konsumen dan produsen secara bersamaan atau bisa dikatakan sulit membedakan konsumen dan produsen sekaligus. Dalam terminologi ekonomi sebenarnya tidak terdapat istilah pasar
tradisional. Yang ada hanya pengertian pasar. Istilah pasar tradisional tersebut muncul ketika terdapat fenomena di berbagai negara (terutama di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia), di mana adanya dua tipe pasar yang secara operasional berbeda tetapi berjalan secara bersamaan, yang kemudian diistilahkan dengan pasar tradisional dan pasar modern.
2) Pasar Tradisional (Traditional Market) Menurut Soeharsono Sagir sebagaimana dikutip Assiddiqie (2010 : 354355), jenis ekonomi yang dianut Indonesia yang menjadi landasan pembangunan adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam sistem ini, kedaulatan di bidang ekonomi ada di tangan rakyat, dan karena itu, ekonomi kerakyatan terkait erat
44
dengan gagasan demokrasi ekonomi yang tidak lain adalah paham kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Yang menjadi sasaran dari Sistem Ekonomi Kerakyatan itu adalah pembebasan kehidupan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, ketergantungan, perlakuan tidak adil, kerusakan lingkungan, dan rasa was-was dalam menatap masa depan. Karena itu, menurut Soehartono Sagir, kebijakan pembangunan nasional seharusnya tidak boleh keluar dari asas ekonomi kerakyatan yang tercermin dalam prinsip triple track development, yaitu pro-poor, pro job, dan pro growth. Pengimplementasian ketiga prinsip itu, ada enam tolok ukur yang dapat dipakai untuk menilai berhasil-tidaknya suatu proses pembangunan, yaitu : 1) rakyat bebas dari kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; 2) rakyat bebas dari kebodohan dan terberdayakan menjadi sumber daya insani (human capital)
yang produktif; 3) rakyat bebas dari pengangguran dengan
bekerja kreatif dan produktif untuk meningkatkan penghasilan sendiri dan orang lain; 4). negara bebas dari ketergantungan kepada utang luar negeri; 5) negara bebas dari kekurangan devisa karena nilai ekspor melebihi impor; dan 6) negara bebas dari kerusakan ekosistem sehingga pembangunan dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Menurut Rintuh dan Miar (2005: 4), ekonomi rakyat adalah segala kegiatan dan upaya rakyat untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Dengan perkataan lain, ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat
dengan secara
swadaya mengelola sumber daya apa saja yang dapat dikuasainya dan ditujukan
45
untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keluarganya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ekonomi rakyat adalah strategi bertahan hidup (survival) dari rakyat miskin. “Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat,” tulis Rintuh dan Miar (2005: 5). Ekonomi rakyat kecil inilah yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Ekonomi kerakyatan adalah salah satu sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat (kecil). Oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan rakyatnya, terutama mereka yang bergerak di sector ekonomi mikro/kecil seperti para pedagang di pasar-pasar tradisional. Mereka yang berkiprah di pasar tradisional adalah mereka yang memiliki modal kecil, jauh berbeda dengan para peritel pasar modern. Pasar tradisional adalah kumpulan para pedagang yang rata-rata berekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar dari mereka berasal dari ekonomi paling bawah dalam struktur ekonomi dan pendapatan. Adalah menjadi komitmen pemerintah untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat. Oleh karena pemerintah berkewajiban melindungi rakyatnya, terutama mereka yang berkegiatan di sektor perdagangan sebagai pedagang informal, pedagang kecil karena permodalan yang terbatas, maka kiranya perlu kesungguhan pemerintah untuk memperhatikan mereka. Mereka adalah bagian terbesar dari rakyat negeri ini. Seyogianya, tidak boleh terjadi pasar tradisional itu kolaps gara-gara kehadiran pasar modern yang meraup hampir seluruh segmen konsumen/pembeli.
46
Apalagi Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang pada intinya menyangkut peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menciptakan iklim usaha
dengan memberdayakan
usaha mikro, kecil, dan menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi
usaha-usaha
tersebut
agar
memperoleh
pemihakan,
kepastian,
kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Pada
pasal
5
Undang-undang tersebut
disebutkan
bahwa
tujuan
pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah meliputi : a. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan; b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan c. meningkatkan peran usaha mikro, kecil, dan menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Undang-undang tersebut sejalan dengan dengan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2007 tentang penataan dan Pembinaan pasar Tradisional, Pusat perbelanjaan, dan Toko Modern serta dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedomn Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Ketiga peraturan itu dalam rangka memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk keberadaan para pedagang di pasar tradisional di dalamnya.
47
Sudah dipaparkan di atas bahwa pasar tradisional
merupakan tempat
bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjualpembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya teridiri atas kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual atau suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan seharihari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa, dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia dan umumnya terletak di kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Menurut Peraturan Presiden RI No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat perbelanjaan dan Toko Modern, pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Berdasarkan Peraturan Presiden itu, pasar tradisional boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan,
termasuk sistem jaringan jalan lokal atau jalan
lingkungan pada kawasan pelayanan bagian kota/kabupaten atau lokal atau lingkungan (perumahan) di dalam kabupaten/kota. Dalam hubungan itu, yang dimaksud dengan jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani
48
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Sementara itu,
jalan lingkungan
merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah. Pada Bab II
pasal 2 mengenai Penataan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern, disebutkan bahwa lokasi pendirian pasar tradisional wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya. Disebutkan, pendirian pasar tradisional wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1)
Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern serta usaha kecil, termasuk koperasi yang ada di wilayah yang bersangkutan;
2)
Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parkir 1 (satu) buah kendaraan roda empat untuk setiap 100 M2 luas lantai penjualan pasar tradisional;
3)
Menyediakan fasilitas yang menjamin pasar tradisional bersih, sehat (hygiene), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman. Menurut Pedoman Pengelolaan Pasar yang diterbitkan oleh Direktorat Bina
Pasar dan Distribusi Ditjen Perdagangan Dalam negeri Departemen Perdagangan tahun 2005, pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, Swasta, Koperasi atau swadaya masyarakat sebagai sarana atau tempat usaha berupa toko, kios, los, tenda yang dimiliki/dikelola pedagang kecil,
49
menengah dan koperasi dengan modal kecil dan usaha kecil, di dalamnya terjadi proses jual beli melalui tawar-menawar. Pada awal-awal keberadaannya, pasar tradisional memiliki peranan yang penting dalam perkembangan wilayah dan terbentuknya kota. Sebagai pusat aktivitas ekonomi masyarakat, pasar tradisional telah mendorong tumbuhnya pemukiman-pemukiman dan aktivitas sosial ekonomi lainnya di sekitar pasar tersebut, dan pada tahap selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan. Jasa besar pasar tradisional, tentunya dengan pelaku-pelaku di dalam pasar tersebut, hampir tidak terbantahkan terutama jika kita lihat sejarah berdirinya hampir
seluruh
kota
di
Indonesia. Namun
demikian,
sejalan
dengan
perkembangan jaman, jasa besar pasar tradisional dan para pelaku di dalamnya mulai dilupakan. Pasar tradisional sekarang pada kenyataannya telah menjadi suatu areal bertransaksi yang kotor, bau, yang telah menyebabkan rusaknya keindahan kota serta acapkali menimbulkan kemacetan lalu-lintas perkotaan.
3) Pasar Modern (Modern Market) Pada awalnya, kegiatan pasar dilaksanakan hanya seminggu sekali. Sebutan nama pasar seperti Pasar Senen, Pasar Rebo, Pasar Kemis, dan Pasar Jumat, Pasar Minggu, menunjukkan bahwa semula kegiatannya hanya seminggu sekali, dan tentu saja the origin of pasar ini bersifat tradisional (Djumantri, 2010). Dengan semakin pesatnya perkembangan penduduk maka semakin besar pula tuntutan kebutuhan akan pasar, baik secara kualitas maupun kuantitas. Seiring dengan
50
kemajuan teknologi dan manajemen, maka berkembanglah pasar modern, seperti department store, mall, hypermarket, supermarket dan sejenisnya. Pasar modern didefinisikan sebagai
jenis pasar yang penjual dan
pembelinya tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan seperti buah, sayuran, daging, sebagian besar lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh pasar modern adalah hypermarket, pasar swalayan (supermarket), dan minimarket ( http://id.wikipedi.org, 11 April 2012). Peraturan Presiden RI No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional dan Toko Modern, tidak menyebutkan istilah pasar modern. Sebagai gantinya, di dalamnya disebut sebagai pusat perbelanjaan dan toko modern. Pada pasal 1 disebutkan, pusat perbelanjaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. Di dalam pasal 1 juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket atau pun grosir yang berbentuk perkulakan. Menurut Pedoman Pengelolaan Pasar yang diterbitkan oleh Direktorat Bina Pasar dan Distribusi Ditjen Perdagangan Dalam negeri Departemen Perdagangan
51
tahun 2005, pasar modern adalah pusat belanja seperti plaza, mall, shopping center, dan sejenisnya dengan menggunakan metode manajemen modern, didukung dengan teknologi modern, serta mengutamakan pelayanan kenyamanan berbelanja. Perkembangan pasar modern ini secara umum akan dapat menguntungkan bagi konsumen karena tersedia banyak pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang semakin tajam antarpasar modern juga akan menguntungkan bagi konsumen, karena mereka akan berusaha untuk menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik. Meskipun begitu, sebagaimana ditulis Albert Napitupulu dalam http://www.jakarta.go.id, yang diakses 16 Juni 2012, saat ini banyak pengusaha yang mengkhawatirkan akan terjadi kelebihan pasokan. Kelebihan pasokan ini bisa menyebabkan banyaknya kredit macet di pusat-pusat perbelanjaan, sebagaimana yang terjadi di sektor properti saat ini. Perkembangan pesat pasar modern juga akan memberikan dampak terhadap pasar tradisional. Pasar modern dengan pusat-pusat perbelanjaannya merupakan pesaing dan akan mengancam pedagang di pasar tradisional. Jika dulu pusat pasar modern lebih banyak dikunjungi oleh penduduk berpendapatan menengah ke atas, kini mulai masuk juga kelas menengah ke bawah. Menurut hasil penelitian First Pasific Davies, dalam Asia Property Fokus, sebagaimana dikutip Albert Napitupulu, (jakarta.go.id, diakses 16 Juni 2012), konsumen di Jakarta dan sekitarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok menengah ke atas, kelompok menengah yang baru tumbuh daya belinya, dan kelompok menengah ke bawah. Kelompok menengah
52
ke atas adalah kelompok tenaga terampil dan tenaga manajemen yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk dibelanjakan. Kelompok ini merupakan sasaran pusat perbelanjaan seperti Sogo, Metro Galeria, dan sejumlah speciality store (toko khusus), seperti Mark and Spencer, mal Taman Anggrek, dan Citra Land merupakan pusat perbelanjaan yang menggarap segmen pasar ini. Selanjutnya, kelompok menengah yang merupakan kelompok baru yang baru tumbuh daya belinya. Kelompok ini umumnya terdiri atas tenaga manajer muda dan teknisi terampil. Kelompok ini sekarang banyak diincar oleh berbagai pusat perbelanjaan. Beberapa mall yang baru mengincar kelompok ini, seperti Mal Puri Indah Jakarta Barat, Mall Mega di Jakarta Utara. Beberapa department store seperti Mega-M dan Wall Mart juga mengincar kelompok ini. Kelompok menengah ke bawah kini juga menjadi sasaran pusat perbelanjaan modern. Kelompok ini umumnya memiliki pendidikan lebih baik dan lebih terbuka dengan alternatif belanja dibanding generasi tuanya. Kelompok ini lebih suka berbelanja di pasar modern daripada pasar tradisional. Kelompok ini juga diduga mempunyai potensi pertumbuhan yang kuat. Department store lokal seperti Matahari dan Ramayana merupakan
pengecer yang sangat aktif
menggarap kelompok ini. Di masa datang ini sangat potensial menyebabkan pergeseran kegiatan belanja dari pasar tradisional ke pasar modern. Kelompok ini dapat target potensial pasar modern dengan menawarkan keunggulankeunggulannya, seperti bersih, nyaman, rapi, teratur, timbangan yang diyakini akurat.
53
Penelitian-penelitian tentang pasar pada umumnya dan keberadaan pasar modern dan pasar tradisional telah dilakukan, seperti Nielsen dan SMERU. Penelitian itu menjadi penting dalam konteks ini, karena dapat menjadi landasan teoritis bagi penelitian selanjutnya. Demikian pula dengan penelitian ini yang pada dasarnya dilandasi oleh penelitian-penelitian terdahulu sejauh penulis dapat membacanya melalui berbagai sumber yang tersedia. Berbeda dengan penelitian terdahulu, maka penelitian ini akan mengungkap hal-hal yang belum pernah diteliti, diantaranya tentang sejumlah faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap keberdayaan pedagang pasar tradisional di Bali.
2.3.2 Pasar dari Sisi Konsumen Pembahasan pasar dari sisi konsumen diawali dengan pemikiran seorang ahli ekonomi, Mankiw (2003: 5) yang menyampaikan hal yang menarik terkait dengan pembicaraan ini. Pelajaran pertama dari Mankiw adalah tentang pembuatan keputusan. Dikatakan, pembuatan keputusan dapat dirangkum dalam sebuah peribahasa berikut: There is no such thing as a free lunch. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, biasanya orang harus merelakan atau menyerahkan hal lain yang sesungguhnya juga berharga. Jika ada banyak tujuan, sebagian tujuan harus dilepaskan demi mengejar tujuan tertentu yang paling diinginkan. Pembuatan keputusan mengharuskan orang rela melepaskan suatu tujuan untuk memperoleh tujuan lain. Jika orang-orang berhimpun dalam sebuah masyarakat, mereka menghadapi berbagai kemungkinan trade-off. Trade-off klasik dikenal adalah antara “senjata
54
dan mentega.” Semakin banyak uang dibelanjakan untuk membangun kekuatan pertahanan nasional guna melindungi wilayah negara dari serangan musuh (senjata), maka semakin sedikit dana yang tersedia untuk menyediakan berbagai keperluan rumah tangga demi meningkatkan standar hidup (mentega). Dilema atau trade-off lain yang kini harus dihadapi masyarakat modern adalah trade-off antara lingkungan hidup yang bersih/sehat versus tingkat pendapatan tinggi. Berbagai peraturan yang mewajibkan perusahaan membatasi polusi cenderung memperbesar biaya produksi barang atau jasa. Apabila biaya produksi yang ditanggung meningkat, perusahaan terpaksa akan menurunkan laba, membatasi upah para pekerja, menaikkan harga produk, atau kombinasi dari ketiganya. Oleh karena itu, orang selalu dihadapkan pada fakta trade-off, pembuat keputusan diharuskan untuk selalu membanding-bandingkan segenap biaya dan manfaat dari setiap pilihan tindakan. Hanya saja, biaya dari suatu pilihan tindakan biasanya tidak tampak seluruhnya pada saat pertama kali harus menjajakinya. Contohnya adalah pada saat harus memutuskan apakah akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau tidak. Manfaat melanjutkan ke pendidikan tinggi jelas, yakni pengetahuan akan banyak bertambah, dan peluang kerja dan karier yang akan diterima juga dengan sendirinya menjadi lebih baik. Tetapi, bagaimana dengan biayanya? Mungkin untuk menjawab pertanyaan ini orang akan langsung menghitung jumlah uang yang diperlukan untuk membayar uang pendidikan selama sekian tahun, untuk membeli buku-buku, dan ongkos pemondokan. Namun perlu diketahui, jumlah total uang yang dikeluarkan itu
55
barulah merupakan biaya langsung, dan belum mencakup seluruh biaya yang harus dipikul. Ada beberapa hal yang harus diperhitungkan untuk sampai pada angka biaya yang sesungguhnya. Belum lagi kalau dilihat dari biaya oportunitas (opportunity cost). Hal ini dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang harus dikorbankan untuk memperoleh sesuatu. Setiap kali hendak membuat keputusan atau memilih tindakan, seseorang tidak hanya harus menghitung biaya langsung, bahkan harus pula menghitung biaya oportunitasnya. Kenyataannya, banyak yang
secara tidak sadar sudah
melakukan hal itu (Mankiw, 2003: 8). Dikatakan oleh Mankiw, sepintas lalu daya kerja pasar itu membingungkan. Kelihatannya, dalam sebuah ekonomi pasar, tidak ada yang mencoba mencapai kesejahteraan seluruh masyarakat. Pasar bebas meliputi begitu banyak pembeli dan penjual dari berbagai macam barang dan jasa, dan masing-masing dari mereka hanya ingin menyejahterakan diri mereka sendiri. Namun, meskipun begitu terdesentralisasinya keputusan dan seegois-egoisnya para pembuat keputusan, perekonomian pasar telah terbukti sangat sukses dalam mengorganisir kegiatankegiatan ekonomi yang mendorong kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan. Adam Smith merumuskan observasinya yang paling terkenal dalam ilmu ekonomi: semua rumah tangga dan perusahaan yang berinteraksi di pasar, seolaholeh dibimbing oleh suatu kekuatan atau “tangan tidak tampak” (invisible hand), sehingga interaksi pasar itu dapat mengarah ke hasil-hasil yang diinginkan. Setiap kali belajar ilmu ekonomi, akan dipahami bahwa harga-harga merupakan wahana nyata yang menjadi pengejawantahan tangan tidak tampak
56
tersebut dalam mengarahkan kegiatan ekonomi. Harga mencerminkan nilai suatu barang bagi masyarakat dan biaya yang harus dibayar masyarakat tersebut dalam mengadakan atau membuat barang itu. Oleh karena segenap rumah tangga dan perusahaan mendasarkan keputusan mereka tentang apa yang harus dibeli atau dijual semata-mata pada harga, mereka tanpa sadar telah memperhitungkan biaya dan manfaat sosial dari tindakan atau keputusan mereka. Dengan mekanisme seperti inilah harga-harga dapat membimbing para pengambil keputusan di tingkat individual mengambil pilihan yang dalam banyak kasus, memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Selanjutnya, Mankiw menulis, jika pemerintah melakukan sesuatu yang mencegah pasar untuk secara alamiah menyesuaikan diri dengan penawaran dan permintaan, maka
lumpuhlah kemampuan tangan tidak tampak dalam
mengkoordinasikan juataan rumah tangga dan perusahaan dalam membentuk perekonomian. Fakta ini dapat menjelaskan mengapa pengenaan pajak oleh pemerintah
dapat
mengubah
alokasi
sumber
daya.
Pajak
mendistorsi/mengacaukan harga: sehingga pada gilirannya juga mempengaruhi keputusan segenap rumah tangga dan perusahaan. Tangan tidak tampak biasanya mampu mengarahkan pasar-pasar untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien. Situasi inilah yang oleh para ekonom disebut dengan kegagalan pasar (market failure). Pengertian baku dari istilah ini adalah suatu situasi di mana pasar gagal mengalokasikan sumber-sumber daya secara efisien oleh berbagai sebab seperti eksternalitas dan kuasa pasar.
57
Terkait dengan aspek pasar ditinjau dari aspek konsumen, Stanton (1993 : 117-118) menulis, bahwa pengeluaran kosumen dipengaruhi oleh tahap-tahap dalam daur hidup keluarga para konsumen. Pasangan muda tanpa anak banyak membeli pakaian, mobil, dan berekreasi. Pada waktu anak-anak lahir, pola pengeluaran berubah ke pengeluaran untuk membeli dan melengkapi rumah. Keluarga dengan anak-anak remaja banyak membeli makanan, pakaian, dan kebutuhan pendidikan. Keluarga yang sudah ditinggalkan anak-anaknya terutama bila kepala keluarga masih aktif bekerja, merupakan sasaran menarik bagi para pemasar karena mereka mempunyai daya beli yang besar untuk barang-barang di luar ke butuhan pokok sehari-hari. Selanjutnya dikatakan, besar kecilnya pendapatan sebuah keluarga jelas merupakan faktor penentu untuk mengetahui bagaimana mereka membelanjakan pendapatannya. Hasil penelitian
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat,
sebagaimana dikutip Stanton, menyajikan jenis-jenis informasi ysng diperoleh para pemasar jika mereka menganalisis pola pengeluaran konsumen. Pertama, terdapat keseragaman yang kokoh dalam pengeluaran unit-unit berpendapatan menengah. Struktur kelas sosial merupakan kriteria yang lebih bermanfaat untuk menentukan pola pengeluaran. Kedua, kelompok pendapatan yang lebih tinggi pasti membelanjakan lebih banyak dibandingkan kelompok pendapatan di bawahnya. Kenaikan ini bersifat absolut untuk setiap kategori produk. Meskipun demikian, untuk beberapa kategori produk tertentu seperti makanan, kelompok pendapatan yang lebih rendah mempunyai persentase pengeluaran yang lebih besar. Ketiga, makin tinggi tingkat pendapatan kelompok
58
makin menurun persentase jumlah yang dibelanjakan untuk makanan. Keempat, persentase pengeluaran untuk perumahan, keperluan rumah tangga (air, listrik, dsb.nya) dan kegiatan rumah tangga lainnya tetap tidak berubah di kelompok pendapatan menengah dan kelompok pendapatan tinggi. Kelima, untuk seluruh kelompok, persentase pengeluaran untuk kesehatan dan perawatan badan tetap tidak berubah. Keenam, kenaikan dalam pendapatan di kelompok pendapatan menengah dan rendah cenderung diikuti dengan kenaikan dalam pengeluaran untuk produk dan pelayanan otomotif. Di kelompok pendapatan yang lebih tinggi persentasenya menurun sedikit. Ketujuh, makin tinggi tingkat pendapatan kelompok makin banyak pengeluaran untuk pakaian. Berdasarkan penyamarataan yang luas seperti di atas, para pedagang/penjual dapat mempersiapkan strategi pemasaran produk atau jasa mereka. Meskipun demikian, tulis
Stanton, sebuah pasar ada jika terdapat orang-orang dengan
kebutuhan yang perlu dipuaskan dan memiliki uang untuk dibelanjakan serta kemauan untuk mengeluarkannya. Terkait dengan perilaku konsumen untuk membeli atau tidak membeli suatu produk yang dijual di pasar, pertama-tama harus dilihat terlebih dahulu motif di balik itu. Seluruh perilaku dimulai dengan motivasi. Motif atau pendorong adalah kebutuhan yang terangsang sehingga seseorang berupaya untuk memuaskannya. Contoh motif adalah lapar, kebutuhan akan keamanan, keinginann prestise, dan lain sebagainya. Perlu dicatat, bahwa kebutuhan harus dirangsang atau dibangunkan sebelum menjadi motif. Kadangkadang orang mempunyai kebutuhan yang terpendam dan kebutuhan seperti itu tidak cukup kuat mengaktifkan perilakunya. Sumber rangsangan dapat dari dalam
59
diri atau dari lingkungan, atau cukup hanya memikirkan tentang sebuah kebutuhan sudah dapat membangkitkan kebutuhan menjadi motif. Motif adalah kebutuhan yang dibangunkan. Sebaliknya, motif juga berperan sebagai kekuatan yang mengaktifkan perilaku dengan tujuan memuaskan kebutuhan yang dibangunkan itu. Tetapi, apa yang mempengaruhi dan atau memberi bentuk perilaku itu? Apa yang menentukan arah atau jalur yang diambil oleh perilaku? Jawabannya adalah persepsi kita. Persepsi dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan pasikologis, kelompok sosial, dan budaya yang membentuk karangka acuan (frame of reference) seseorang. Di samping itu, kelompok acuan kecil di mana seseorang berada atau yang menjadi aspirasi seseorang juga mempengaruhi persepsi kita. Kelompok acuan menekankan pentingnya anggota kelompok memiliki pemimpin panutan (opinion leader). Keluarga adalah kelompok sosial yang terkecil yang mempengaruhi persepsi, dan dalam banyak kasus keluarga merupakan kekuatan sosial yang paling kuat daya pengaruhnya terhadap perilaku konsumen. Tahapan daur kehidupan
keluarga
juga
mempengaruhi
perilaku
konsumen.
Seorang
pedagang/penjual/pemasar perlu mengetahui siapa yang berbelanja untuk keluarga dan kapan, di mana, dan bagaimana konsumen berbelanja. Artinya, kebiasaan membeli konsumen (Stanton, 1993 : 126-150). Dalam mengambil keputusan membeli barang, konsumen seringkali ada lebih dari dua pihak yang terlibat dalam proses pertukaran atau pembeliannya. Menurut Kotler (1999 : 252-253), umumnya ada lima macam peranan yang dapat dilakukan seseorang. Ada kalanya kelima peran ini dipegang oleh satu orang,
60
namun seringkali pula peranan tersebut dilakukan beberapa orang. Pemahaman mengenai masing-masing peranan ini sangat berguna dalam rangka memuaskan kebutuhan atau keinginan konsumen. Kelima peran dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyadari adanya keinginan atau kebutuhan yang belum terpenuhi dan mengusulkan ide untuk membeli suatu barang atau jasa tertentu; 2) Pemberi pengaruh (influence), yaitu orang yang pandangan, nasihat, atau pendapatnya mempengaruhi keputusan pembelian; 3) Pengambil keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan pembelian misalnya apakah jadi membeli, apa yang dibeli, bagaimana cara membeli, atau di mana membelinya; 4) Pembeli (buyer), yakni orang yang melakukan pembelian aktual; 5) Pemakai (user), yaitu orang yang mengonsumsi atau menggunakan barang atau jasa yang dibeli. Menurut Tjiptono (1997: 21-22), sebuah proses pengambilan keputusan pembelian tidak hanya berakhir dengan terjadinya transaksi pembelian, tetapi diikuti pula oleh tahap perilaku purnabeli. Dalam tahap ini konsumen merasakan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu yang akan mempengaruhi perilaku berikutnya. Jika konsumen merasa puas, ia akan memperlihatkan peluang yang besar untuk melakukan pembelian ulang atau membeli produk lain di perusahaan yang sama di masa mendatang. Seorang konsumen yang merasa puas cenderung akan menyatakan hal-hal yang baik tentang produk dan perusahaan yang
61
bersangkutan kepada orang lain. Sebaliknya, konsumen yang merasa tidak puas akan bereaksi dengan tindakan yang berbeda. Ada yang mendiamkan saja dan ada pula yang melakukan komplain. Demikianlah, pasar bagi konsumen adalah tempat mendapatkan berbagai keperluan sehari-hari, seperti bahan-bahan makanan, minuman, dan sebagainya. Keberagaman jenis yang dijual menyebabkan oleh pembeli harus memilih jenis barang mana yang hendak dibeli. Pelayanan para pedagang di pasar, merupakan salah satu faktor mengapa seorang konsumen/pembeli memutuskan membeli di suatu lapak/tempat di areal pasar yang luas. Persoalan harga juga menjadi pertimbangan konsumen. Di mana harga yang paling murah untuk kualitas dan kuantitas yang sama, di situlah pembeli akan menukarkan uangnya dengan suatu barang yang dibutuhkannya. Kepuasan konsumen adalah hal yang utama, karena dengan begitu, konsumen cenderung akan berbelanja ulang.
2.3.3 Pasar dari Sudut Produsen Produsen dalam konteks ilmu ekonomi adalah orang atau
sekolompok
orang yang memproduksi barang atau jasa. Untuk menjadikan bahan baku menjadi suatu produk yang akan dijual tentu memerlukan proses produksi. Kata “produksi” sendiri sering digunakan dalam arti membuat sesuatu. Dalam istilah yang lebih luas dan lebih fundamental, produksi dapat diartikan sebagai pengubahan bahan-bahan dari sumber-sumber menjadi hasil yang diinginkan oleh konsumen, dapat berupa barang atau jasa (Swastha, 2002: 280). Proses produksi dapat ditentukan menurut sifat produknya, ada atau tidaknya spesifikasi
62
permintaan pembeli terhadap suatu produk. Dalam hal ini, menurut Swastha, proses produksi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu produksi standar dan produksi pesanan. Produksi standar adalah produksi barang-barang yang sering dilakukan oleh produsen disebut produksi standar. Dalam produksi standar ini, sering dihasilkan sejumlah barang untuk persediaan di samping untuk dikirimkan kepada pembeli/penyalur. Produksi pesanan muncul atau digunakan bilamana para pembeli menghendaki adanya spesifikasi tertentu dari produk yang diinginkan, sedangkan kemampuan produksinya terbatas. Sebagai contoh, pembuatan pakaian dengan ukuran tertentu, mebel untuk keperluan khusus, dan sebagainya. Produsen suatu barang, bisa memasarkan langsung barangnya, atau menjualnya kepada pihak pedagang di pasar, baik melalui perantara maupun dengan datang sendiri membawanya. Kalau ia seorang produsen sekaligus pedagang/penjual produknya sendiri, maka seharusnya produsen memperhatikan segmentasi pasar. Pasar terdiri atas para konsumen dan para konsumen tersebut berbeda dalam satu atau beberapa hal. Mereka bisa berbeda dalam keinginan, sumber daya, lokasi geografis, sikap membeli, dan pelaksanaan pembelian mereka. Setiap variabel ini bisa digunakan untuk menyusun segmentasi pasar. Tidak ada satu cara yang khusus untuk menyusun segmentasi sebuah pasar. Seorang pemasar harus mencoba variabel-variabel segementasi yang berbeda, sendiri-sendiri dan secara kombinasi, dengan harapan menemukan suatu cara yang berguna untuk melihat struktur pasar (Kotler dan Armstrong, 2001: 291-297). Disebutkan bahwa
63
beberapa variabel penting yang digunakan untuk menyusun segmentasi pasar, yakni: Pertama, segmentasi geografis. Segmentasi geografis membagi pasar ke dalam unit-unit geografis yang berbeda, seperti negara, negara bagian/provinsi, wilayah, daerah, kota atau desa. Pemasar bisa memutuskan untuk beroperasi dalam satu atau beberapa wilayah atau beroperasi dalam semua wilayah tetapi memperhatikan variasi-variasi kebutuhan dan pilihan geografis tersebut. Kedua, segmentasi menurut demografi. Segmentasi demografi merupakan pembagian pasar ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan variable-variabel demografi, seperti usia, agama, jenis kelamin, jumlah keluarga, daur hidup keluarga, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, ras dan kewarganegaraan. Variabel demografi merupakan dasar yang paling populer untuk membedakan kelompok-kelompok konsumen. Ketiga, tingkat usia dan daur hidup. Keinginan dan kapasitas konsumen berubah seiring dengan bertambahnya usia. Bahkan anak-anak berumur enam bulan berbeda dengan anak-anak berumur enam bulan dalam hal potensi konsumsi mereka. Keempat, jenis kelamin. Segmentasi jenis kelamin telah lama diterapkan dalam hal pakaian, tata rambut, kosmetika, dan majalah. Kadang-kadang para pemasar lain akan memperhatikan sebuah kesempatan untuk membuat segmentasi berdasarkan jenis kelamin, sesuatu yang sebelumnya hanya untuk jenis kelamin tertentu saja. Mobil misalnya, tak hanya untuk pria, bahkan juga untuk wanita. Kini karena kian banyak wanita berkarier, maka dibutuhkan mobil “feminim” bagi para pengendara wanita. Kelima, pendapatan. Segmentasi berdasarkan pendapatan
64
(penghasilan) merupakan praktik yang sudah berjalan lama dalam kategori produk atau jasa seperti mobil, rumah, pakaian, kosmetika dan perjalanan. Selanjutnya, meskipun sebuah produk telah diproduksi, diberi harga, dan didistribusikan kepada konsumen dengan tepat, namun masih harus dipromosikan. Produsen, jika produknya ingin laku dijual di pasar, aspek promosi ini tak bisa ditinggalkan. Promosi adalah tindakan menginformasikan atau mengingatkan konsumen tentang spesifikasi produk atau merek. Promosi dipentingkan, terlebihlebih dalam mengingatkan konsumen tentang kualitas produk dan keuntungan yang ditawarkan melebihi produk pesaing. Promosi juga mencakup insentif khusus untuk mempengaruhi konsumen agar membeli produk tertentu. Promosi pun dapat digunakan dalam jangka panjang untuk mempertahankan kesan atas suatu produk (product image) dan mempertahankan pangsa pasarnya. Promosi yang efektif harus dapat meningkatkan permintaan atas produk dan menghasilkan tingkat penjualan yang lebih tinggi. Promosi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi yang lebih sering adalah kombisasi sejumlah cara/teknik promosi. Menurut Madura (2001), ada empat metode promosi, yakni 1) Periklanan; 2) Penjualan personal; 3) Promosi penjualan, dan 4) Hubungan masyarakat. Periklanan adalah penyajian penjualan nonpersonal yang dikomunikasikan melalui bentuk media atau nonmedia untuk mempengaruhi sejumlah besar konsumen. Periklanan ini dapat dilakukan melalui berbagai saluran media, diantaranya surat kabar, majalah, radio, televisi, internet, dan sebagainya. Penjualan personal adalah presentasi secara personal yang digunakan untuk
65
mempengaruhi satu konsumen atau lebih. Penjualan ini merupakan upaya personal untuk mempengaruhi permintaan konsumen akan suatu produk. Selanjutnya, promosi penjualan adalah serangkaian aktivitas yang dimaksudkan untuk mempengaruhi konsumen. Promosi penjualan ini bisa menjadi sangat efektif untuk mendorong konsumen untuk membeli produk tertentu. Promosi yang paling umum dilakukan diantaranya pemberian rabat, kupon, pameran, dll. Bentuk hubungan masyarakat (humas) berkenaan dengan tindakan yang diambil dengan tujuan menciptakan atau memelihara kesan yang menyenangkan bagi masyarakat. Perusahaan atau produsen berusaha menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat dengan cara berkomunikasi dengan masyarakat umum, termasuk calon pelanggan. Cara yang umum digunakan adalah melalui acara khusus, rilis berita, dan konferensi pers (Madura, 2001:157-174). Begitulah pentingnya pemahaman akan pasar oleh para produsen. Produsen tak cukup menjual barangnya di pasar, atau menjual melalui perantara (distributor), melainkan dia mesti memahami mengenai segementasi pasar, promosi, dan hal-hal lain mengenai pasar. Dengan pemahaman seperti itu, maka dia akan bisa dengan tepat menentukan jenis barang yang diproduksi, kualitas dan kuantitas, selaras dengan perkembangan kebutuhan pasar. Yang tidak boleh dilupakan, produsen adalah bagian penting dalam penentuan harga di pasar. Harga di tingkat produsen tentu terkait dengan harga bahan baku, biaya proses produksi, dan biaya transportasi. Harga di pasar diharapkan akan lebih besar dari totalitas
66
harga bahan, biaya produksi, dan transportasi agar diperoleh keuntungan yang diharapkan.
2.4
Strategi Bersaing Pedagang Desakan pasar modern sebagaimana disebutkan di depan ditengarai telah
mengakibatkan kian terpuruknya kondisi pasar tradisional di Indonesia. Hal ini jelas tergambar dengan peningkatan pertumbuhan pasar modern sebesar 31,4 persen per tahun sementara pasar tradisional turun hingga 10 persen. Kondisi ini menggambarkan pula betapa masyarakat lebih tertarik untuk datang dan berbelanja ke pasar modern seperti minimarket dan supermarket daripada ke pasar tradisional. Akibatnya, secara perlahan-lahan tetapi pasti, pembeli yang datang ke pasar tradisional kian sedikit dan beralih ke pasar modern. Tentu saja hal ini berdampak negatif terhadap tingkat
pendapatan para pedagang di pasar
tradisional. Maka, tidaklah aneh, kalau pertumbuhan pasar tradisional menjadi minus 10 persen per tahun (suarakarya-online.com. 7 Mei 2012). Untuk mengantisipasi menurunnya kemampuan bertahan pedagang pasar tradisional sekaligus memperkuat kemampuannya dalam menghadapi persaingan, maka diperlukan strategi yang bisa diandalkan. Strategi ini dimaksudkan agar pasar tradisional tidak terus-menerus menurun omsetnya, juga tidak berkurang jumlahnya dari tahun ke tahun sehingga eksistensi pasar tradisional dapat terjaga. Strategi yang ditempuh oleh para pedagang pasar tradisional, tidak hanya untuk bertahan dari tekanan persaingan yang masif, bahkan juga sanggup menghadapi persaingan itu melalui keunggulan bersaing.
67
Secara konseptual, Porter (1992), mengetengahkan tentang strategi bersaing ini. Kendati pun strategi dimaksud diperuntukkan bagi kalangan industri, tetapi dapat diterapkan juga pada dunia pemasaran, khususnya pada bisnis di pasar tradisional. Para pedagang pasar bisa mengadopsi teori Porter dalam mengelola bisnis mereka agar sanggup bersaing di tengah-tengah maraknya kehadiran pasar modern. Jadi, strategi bersaing yang diajukan Porter tidak hanya untuk dunia industri, bahkan relevan untuk pasar tradisional karena ada kesamaan substansi. Landasan fundamental bagi kinerja (performance), sebagaimana disebutkan oleh Porter, adalah keunggulan bersaing yang lestari (sustainable competitive advantage). Walaupun suatu usaha memiliki banyak kekuatan dan kelemahan dibandingkan dengan pesaingnya, ada tiga keunggulan bersaing, yakni: keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus. Porter menyebut ketiganya sebagai strategi bersaing generik. Disebutkan, bahwa strategi keunggulan biaya dan strategi diferensiasi dimaksudkan untuk mencapai keunggulan bersaing dalam beragam segmen usaha yang luas, sedangkan strategi fokus meliputi fokus biaya atau fokus diferensiasi pada segmen yang sempit. Dikatakan, pemikiran yang melandasi konsep strategi generik ini adalah keunggulan bersaing merupakan inti dari strategi apapun, dan mencapai keunggulan bersaing mengharuskan perusahaan untuk menentukan pilihan jika suatu usaha ingin memiliki keunggulan bersaing tertentu, maka ia harus memilih jenis keunggulan bersaing yang akan dicapainya melalui strategi bersaing yang dipilihnya. Menjadi “segalanya untuk semua orang” adalah resep menuju kegagalan dan prestasi di bawah rata-rata, karena itu berarti bahwa perusahaan
68
sebenarnya tidak memiliki keunggulan bersaing apapun. Ungkapan di atas bisa disejajarkan dengan ungkapan bahwa “unggul dalam segala hal”, sesuatu yang sangat sulit diraih bahkan bisa membawa keterpurukan usaha karena beban yang berlebihan. Porter menyebutkan, ada tiga strategi bersaing generik yang bisa dilakukan perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing, yang meliputi
keunggulan
biaya, diferensiasi, dan fokus. Terdapat dua pandangan utama yang dikemukakan di sini, yakni pandangan Porter dan Pardede, untuk memberikan penjelasan terhadap ketiga strategi bersaing dimaksud.
a) Strategi Keunggulan Biaya Keunggulan biaya (cost leadership) adalah suatu keadaan di mana suatu perusahaan dapat bekerja dengan biaya yang paling rendah di antara para pesaingnya dalam industri yang sama. Keunggulan biaya merupakan suatu kekuatan yang sangat berarti bagi setiap perusahaan pada semua industri (Pardede, 2010). Keunggulan biaya mungkin merupakan strategi umum yang paling jelas diantara strategi lainnya. Dalam strategi ini, perusahaan menjadi produsen berbiaya rendah dalam industrinya (Porter, 1992 : 11). Jika sebuah perusahaan dapat mencapai dan mempertahankan keunggulan biaya rendah menyeluruh, perusahaan ini akan menjadi perusahaan yang prestasinya di atas rata-rata di dalam industrinya kalau ia dapat mengatur agar harganya setingkat atau mendekati harga rata-rata dalam industri. Dengan harga setara atau sedikit
69
lebih rendah dibandingkan harga pesaingnya, posisi biaya rendah dari perusahaan yang unggul ini akan terwujud dalam bentuk laba yang tinggi. Demikian pula halnya dengan bisnis pedagang pasar tradisional. Jika mereka bisa menekan harga lebih rendah daripada pesaingnya, maka mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Jadi, biaya (cost) rendah adalah salah satu strategi bersaing yang bisa dilaksanakan oleh para pedagang pasar tradisional. Porter menambahkan, perusahaan yang unggul biaya ini tidak boleh mengabaikan basis diferensiasi. Jika produknya tidak dipandang setara dengan produk pesaing oleh para pembeli, perusahaan unggul biaya ini akan terpaksa menekan harganya jauh di bawah harga pesaing untuk dapat menjualnya. Hal ini dapat meniadakan keunggulan karena posisi biayanya yang rendah. Kesetaraan
dalam
diferensiasi
memungkinkan
perusahaan
yang
mengunggulkan biaya menjelmakan keunggulan biayanya itu langsung menjadi laba yang lebih tinggi ketimbang para pesaing. Logika strategis dari keunggulan biaya biasanya bahwa perusahaan harus merupakan satu-satunya yang mengutamakan keuanggulan biaya, bukan salah satu dari beberapa perusahaan yang memburu posisi itu. Manfaat yang diperoleh perusahaan dengan memiliki keunggulan biaya adalah 1) Memperoleh tingkat laba yang paling tinggi dalam industri untuk tingkat harga yang sama; 2) Memperoleh tingkat laba yang tetap paling tinggi meskipun para pesaing memberlakukan siasat penurunan harga; 3) Lebih mampu menurunkan harga daripada pesaingnya; 4) Memperoleh tingkat laba
70
yang tetap paling tinggi meskipun pemasok yang kuat menaikkan harga; 5) Tetap terlindungi karena keunggulan biaya dapat merupakan pagar atau penghambat yang akan menghalangi masuknya pesaing baru ke dalam industri yang bersangkutan (Pardede, 2010 : 451). Kalau kebermanfaatan yang bisa dipetik oleh kalangan industri tersebut bisa diadopsi oleh para pedagang tradisional, tentu sangat baik. Misalnya, dengan melakukan efisiensi terhadap pengeluaran yang tidak benar-benar perlu dalam
pengelolaan
bisnis
sehingga
pengurangan
biaya
(cost)
akan
meningkatkan laba usaha pedagang. Dalam konteks bisnis para pedagang tradisional, strategi ini sangat relevan diterapkan. Keunggulan biaya dapat dilakukan pada aspek peningkatan efisiensi dalam segala segi yang terkait dengan produk-produk yang ditawarkan sehingga biaya yang dikeluarkan akan relative lebih rendah dibandingkan dengan para pesaingnya. Harga yang lebih rendah di pasar tradisional sangat dimungkinkan karena para pedagang bisa mendapatkan pasokan dari produsen tanpa harus melalui mata rantai perantara yang panjang. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan keunggulan biaya dalam kaitannya dengan pedagang tradisional adalah terwujudnya biaya yang rendah dalam pemasaran produk yang dipasarkan/dijual. Pengelolaan produk rendah biaya ini tentu saja dapat diharapkan menghasilkan laba/keuntungan bagi para pedagang. Biaya yang rendah ini memungkinkan pedagang pasar tradisional lebih mampu bersaing dengan pasar modern yang ada di sekitarnya.
71
b) Diferensiasi Strategi generik kedua adalah diferensiasi. Dalam strategi diferensiasi, sebagaimana dikatakan Porter (1992 : 13), perusahaan berusaha untuk menjadi unik dalam industrinya dalam sejumlah dimensi tertentu yang secara umum dihargai pembeli. Perusahaan memilih satu atau beberapa atribut yang oleh banyak pembeli dalam industri ini dipandang penting dan menempatkan dirinya secara unik untuk memenuhi kebutuhan ini. Karena posisi yang unik (khas) itu, perusahaan merasa layak untuk menetapkan harga premium (premium price). Disebutkan, bahwa cara melakukan diferensiasi berbeda untuk setiap industri. Diferensiasi dapat didasarkan pada produk itu sendiri, sistem pengiriman produk, ancangan pemasaran, serta berbagai cara lain. Porter mencontohkan, dalam industri peralatan industri, misalnya, Caterpillar Tractor mendiferensiasikan dirinya
berdasarkan daya
tahan produk, layanan,
ketersediaan suku cadang, serta jaringan penyalur yang istimewa. Dalam industri kosmetik, diferensiasi cenderung lebih didasarkan pada citra produk dan penempatan counter di toko-toko. Dengan maksud yang sama, Pardede (2010) memilih istilah lain, dengan mengidentikkan diferensiasi dengan istilah pengistimewaan. Dikatakannya, bahwa perusahaan yang memberlakukan siasat keunggulan baiaya akan berusaha untuk tetap hemat dalam segala segi. Dalam hal penentuan jenis barang yang akan dibuat, perusahaan seperti ini tidak akan membuat tingkat pengistimewaan yang tinggi karena pengistimewaan barang membutuhkan
72
penggunaan sumberdaya yang berisi penambahan biaya. Dikatakannya, perusahaan harus memelihara tingkat pengistimewaan yang tetap rendah tetapi dapat membuatnya tidak kalah dibanding pesaing-pesaing yang secara teratur meluncurkan barang baru atau menyempurnakan barang yang sudah ada. Dengan pengistimewaan ini, harga suatu produk ditetapkan berdasarkan kemampuan pasar dan bukan pada biaya pembuatannya. Pardede menulis, sebagai akibat dari barang-barang istimewa, seperti Mercedes Benz dan Rolex, dijual dengan harga yang berbeda di pasar atau negara yang berbeda. Perbedaan harga barang biasa sering jauh lebih tinggi dari perbedaan biaya pembuatannya. Sebagai contoh, perbedaan biaya pembuatan antara Toyota LandCruiser dengan Mitsubishi Lancer tidak sebesar perbedaan harga keduanya. Pardede memerinci bahwa diferensiasi atau pengistimewaan suatu produk dapat dilakukan dalam berbagai segi, di antaranya, 1) Mutu barang; 2) Mutu pelayanan; 3) Teknologi yang digunakan; 4) Saluran pemasaran; 5) Harga; 6) Cap atau nama barang; dan 7) Kecepatan dan ketepatan waktu penyerahan. Pengistimewaan ini akan memberikan beberapa keuntungan, yakni 1) Merangsang kesetiaan para pengguna barang atas cap barang atau jasa (brand loyalty) dan mengakibatkan mereka terlalu peka terhadap perubahan harga; 2) Perusahaan dapat bertahan meskipun pemasok menaikkan harga karena pengistimewaan memungkinkan harga barang lebih tinggi daripada harga barang pesaing; 3) Perusahaan dapat bertahan meskipun pesaing
73
menurunkan harga karena perusahaan bersaing bukan dari segi harga; dan 4) Pengistimewaan menjadi salah satu hambatan masuk industri. Porter menegaskan, bahwa perusahaan yang dapat mencapai dan melestarikan diferensiasinya akan menjadi perusahaan di atas rata-rata dalam industrinya jika harga premium yang ditetapkannya melebihi biaya tambahan yang dikeluarkan untuk memperoleh keunikan yang, oleh Pardede, disebut dengan pengistimewaan. Oleh karena itu, perusahaan diferensiator harus selalu mencari cara melakukan diferensiasi yang memungkinkannya menikmati harga premium yang lebih besar daripada biaya diferensiasi. Perusahaan diferensiator tidak boleh mengabaikan posisi biayanya, karena harga premiumnya akan menjadi tidak berarti jika posisi biayanya sangat buruk. Dengan demikian, perusahaan harus berusaha mencapai kesetaraan harga dengan para pesaingnya, dengan menekan biaya di semua bidang yang tidak memengaruhi usaha diferensiasi. Dalam konteks pasar tradisional, para pedagang setempat harus menemukan sendiri apa yang menjadi diferensiasi bagi bisnisnya. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam rangka diferensiasi produk yang dijual. Misalnya, dengan menjual barang-barang tertentu yang sangat spesifik yang tidak dijual oleh pedagang di sekitarnya. Dengan konsep seperti ini, maka ada pengelompokan pedagang yang didasarkan pada jenis barang tertentu yang dijual. Dalam kelompok itupun, mesti ada lagi hal unik dan spesifik yang mampu membedakan antara pedagang satu dengan pedagang lainnya. Keunikan barang dagangan tersebut dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi
74
pengunjung pasar dalam berbelanja. Dalam konteks eksternal, diferensiasi produk ini bisa dijadikan salah satu keunggulan bersaing dengan pasar modern seperti supermatket dan minimarket yang masuk hingga ke pedesaan.
c) Fokus Strategi generik yang ketiga, menurut Porter (1992: 14), adalah fokus. Strategi ini berbeda dengan strategi lainnya karena strategi ini memilih untuk bersaing dalam cakupan persaingan yang sempit dalam industri. Pemilih strategi fokus, memilih suatu bagian atau kelompok bagian tertentu dalam industri dan menyesuaikan strateginya untuk melayani bagian atau kelompok segmen ini secara khusus. Dengan mengoptimalkan strateginya untuk segmen target terpilih, perusahaan fokus berupaya mencapai keunggulan bersaing dalam segmen targetnya walaupun perusahaan ini tidak memiliki keunggulan bersaing secara menyeluruh. Dengan kalimat yang berbeda tetapi dengan makna yang sama, Pardede (2010 : 461), mengatakan bahwa fokus atau pemusatan perhatian adalah pembuatan barang atau jasa untuk memenuhi hanya bagian pasar atau kelompok pelanggan yang terbatas. Dijelaskan, kelompok pelanggan yang akan dilayani dapat ditetapkan menurut tempat tinggal pelanggan, pendapatan pelanggan, atau jenis barang. Sebagai contoh, perusahaan dapat memusatkan perhatian untuk melayani hanya pelanggan yang tinggal di kota tertentu, hanya pelanggan yang kaya, hanya pelanggan pencinta lingkungan, atau hanya pelanggan yang mengutamakan mutu.
75
Dengan memusatkan perhatian untuk barang tertentu, melayani daerah tertentu, atau melayani kelompok pemakai tertentu, perusahaan dapat menurunkan biaya pengolahan, yaitu melalui penggunaan sumber daya yang dimilikinya untuk satu sasaran saja. Melalui pemusatan perhatian pada satu jenis barang atau jasa
perusahaan perusahaan dimungkinkan untuk
memberlakukan hanya sedikit saja siasat, jenis peralatan pengolahan, jenis tenaga ahli, dan jenis teknologi. Melalui pemusatan perhatian pada daerah pemasaran tertentu, perusahaan dimungkinkan untuk mempunyai sedikit saja siasat pemasaran, jenis promosi, dan jenis saluran pemasaran. Melalui pemusatan perhatian pada kelompok pemakai tertentu, perusahaan dimungkinkan untuk menetapkan hanya sedikit saja tingkat harga yang berbeda, jenis promosi, dan saluran pemasaran. Karena memusatkan perhatian pada bagian pasar tertentu pada umumnya, perusahaan seperti ini berukuran kecil sehingga tidak mungkin memberlakukan siasatsiasat keunggulan biaya dan pengistimewaan barang sekaligus (Pardede, 2010: 461). Sejalan dengan pemikiran tersebut, Porter (1987 : 35) menyatakan bahwa strategi ini didasarkan pada premis bahwa perusahaan akan mampu melayani target strategisnya yang sempit secara lebih efektif dan efisien ketimbang pesaing yang bersaing lebih luas. Sebagai akibatnya, perusahaan akan mencapai diferensiasi karena mampu memenuhi target tertentu dengan lebih baik, atau mencapai biaya yang lebih rendah dalam melayani target ini atau bahkan mencapai kedua-duanya.
76
Jika suatu perusahaan dapat mencapai keunggulan biaya (fokus biaya) atau diferensiasi (fokus diferensiasi) yang lestari (sustainable) dalam segmennya dan segmen ini secara struktur memang menarik, maka penganut strategi fokus ini akan mencapai prestasi di atas rata-rata dalam industrinya. Fokus biaya memanfaatkan perbedaan perilaku biaya pada segmen tertentu, sedangkan fokus diferensiasi memanfaatkan kebutuhan khusus pembeli pada segmen tertentu. Penganut strategi fokus dapat mencapai keunggulan bersaing dengan melayani segmen tertentu ini secara eksklusif. Luasnya segmen target tentu saja relatif, tetapi ini dari fokus adalah penggarapan satu target yang sempit secara berbeda dengan segmen target lainnya dalam industri. Daya tarik struktural segmen merupakan persyaratan penting karena ada segmen tertentu dalam
suatu industri
yang kurang menguntungkan
dibandingkan segmen lainnya. Seringkali ada peluang untuk beberapa strategi fokus yang lestari dalam sebuah industri, asalkan para penganut strategi strategi fokus ini memilih segmen sasaran yang berbeda. Kebanyakan industri mempunyai beragam segmen, dan setiap segmen mengandung kebutuhan pembeli yang berlainan atau membutuhkan sistem produksi atau sistem pengiriman optimal yang berbeda merupakan calon untuk strategi fokus (Porter, 1992 : 14-15). Meskipun strategi fokus tidak mencapai biaya lebih rendah atau diferensiasi sudut pandang pasar secara keseluruhan, strategi ini sesungguhnya mencapai salah satu atau kedua posisi tersebut di target pasarnya yang lebih sempit. Perbedaan di antara strategi generik digambarkan di bawah ini.
77
KEUNGGULAN STRATEGIS Kekhasan yang Dirasakan Pelanggan
Posisi Biaya Rendah
KEUNGGULAN
Seluruh Industri
BIAYA
DIFERENSIASI
MENYELURUH
TINGKAT STRATEGIS Hanya Segmen Tertentu
FOKUS
Gambar 2.1: Tiga Strategi Bersaing Generik (diadopsi dari Porter, 1987: 35).
Perusahaan yang memilih strategi fokus secara potensial juga dapat menghasilkan laba di atas rata-rata untuk industrinya. Srategi fokus dapat berarti bahwa perusahaan mempunyai posisi biaya rendah dengan target starteginya, diferensiasi, atau kedua-duanya. Posisi-posisi ini dapat memberikan perlindungan terhadap kekuatan persaingan. Strategi fokus ini dapat digunakan untuk memilih target yang paling tidak rawan terhadap produk pengganti atau di mana pesaing adalah paling lemah. Dalam hubungannya dengan fokus di lingkungan pasar tradisional, menuntut para pedagang untuk kreatif. Para pedagang bisa memilih fokus pada keunggulan biaya (fokus biaya) atau fokus pada diferensiasi (fokus diferensiasi) pada segmen pasar yang sempit/terbatas. Fokus pada biaya dengan segmen
78
sempit, misalnya, dengan menjual suatu produk yang harganya lebih murah hanya untuk segmen pembeli tertentu, sedangkan untuk segmen pembeli pada umumnya harga yang ditawarkan tidak berbeda dengan para pedagang pasar tradisional atau pasar modern. Fokus pada diferensiasi dengan segmen sempit, misalnya, dengan menjual suatu produk yang memiliki keunikan/kekhasan tertentu hanya untuk segmen tertentu pula. Produk unik itu sebisa-bisanya benar-benar khas dibandingkan dengan yang dijual di pasar modern. Strategi bersaing tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pedagang pasar tradisional. Tanpa strategi bersaing yang andal, maka mustahil kinerja akan bisa ditingkatkan, sebaliknya tanpa kinerja yang baik maka kemampuan bersaing akan sulit diwujudkan.
2.5
Peran Pemerintah dalam Perpasaran Bagaimana dengan peran pemerintah dalam kaitannya dengan keberadaan
pasar tradisional dan modern? Pertanyaan ini mengarah pada penelusuran kembali bebagai kebijakan yang dilakukan terhadap kedua jenis pasar tersebut. Pada pasar modern dan pasar tradisional, pemerintah sudah mengeluarkan kebijakankebijakan melalui berbagai peraturan perundangan-undangan dan ketentuan yang diberlakukan. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Selanjutnya, Peraturan Menteri Perdagangan
79
Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern; dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Di samping itu disusun pula Pedoman Pengelolaan Pasar sebagaimana diterbitkan oleh Direktorat Bina Pasar dan Distribusi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Tahun 2005. Di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 53/MDAG/PER/12/2008, antara lain disebutkan mengenai zona dan jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional. Pada pasal 1 ayat (12) disebutkan, bahwa peraturan zonasi adalah ketentuan-ketentuan Pemerintah Daerah setempat yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Selanjutnya, pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa lokasi untuk pendirian pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern wajib mengacu pada rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota dan rencana detail tata ruang wilayah Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan, bahwa Kabupaten/Kota yang belum memiliki rencana tata ruang wilayah kabupaten/Kota dan rencana detail tata ruang wilayah kabupaten/kota tidak diperbolehkan memberi ijin lokasi untuk pembangunan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern. Ketentuan mengenai jarak antara pasar tradisional dengan pasar modern, diatur pada pasal 3 ayat (1). Disebutkan, pendirian pasar tradisional atau pusat perbelanjaan atau toko modern selain minimarket harus memenuhi persyaratan
80
ketentuan peraturan perundang-undangan dan harus melakukan analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional dan UMKM yang berada di wilayah bersangkutan. Pada pasal 3 ayat (2) disebutkan, analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan pasar tradisional dan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Struktur penduduk dan mata pencaharian; b. Tingkat pendapatan ekonomi rumah tangga; c. Kepadatan penduduk; d. Pertumbuhan penduduk; e. Kemitraan dengan UMKM lokal; f. Penyerapan tenaga kerja lokal; g. Ketahanan dan pertumbuhan pasar tradisional sebagai sarana bagi UMKM lokal; h. Keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sudah ada; i. Dampak positif dan negatif yang diakibatkan oleh jarak antara hypermarket dengan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya; dan j. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Selanjutnya, pada pasal 3 ayat (9), disebutkan bahwa pendirian minimarket, baik yang berdiri sendiri maupun yang terintegrasi dengan pusat perbelanjaan ataua bangunan lain wajib memperhatikan: a.
Kepadatan penduduk;
b.
Perkembangan pemukiman baru;
81
c.
Aksesibilitas wilayah (arus lalu-lintas);
d.
Dukungan/ ketersediaan infrastruktur; dan
e.
Keberadaan pasar tradisional dan warung/toko di wilayah sekitar yang lebih kecil daripada minimarket tersebut.
Ketentuan Menteri Perdagangan di atas bersifat sangat umum. Masih diperlukan peraturan di tingkat bawah, yakni peraturan daerah di Kabupaten/Kota. Permasalahannya adalah, belum setiap kabupaten/kota memenuhi ketentuan tersebut, termasuk tidak menetapkan zonasi pasar modern dan tidak pula menetapkan jarak yang pasti antara pasar tradisional dengan pasar modern. Di samping itu, waktu buka pasar modern pun belum diatur dengan pasti sehingga apa minimarket yang buka selama 24 jam. Ketiga ketentuan penting ini tidak termuat di dalam peraturan daerah di Bali, dan di Indonesia pada umumnya. Belum lagi jika pemerintah daerah setempat tidak atau belum memiliki rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang sebagaimana diamanatkan oleh peraturan Menteri Perdagangan di atas. Ketika rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang tidak atau belum dimiliki, termasuk ketiadaan ketentuan zonasi bagi pasar modern dan ketiadaan kepastian jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional dan waktu buka pasar modern, lantas apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemberian ijin pasar modern tetap berjalan, sementara peraturan daerah yang mengatur hal ini secara spesifik belum ada. Ketentuan pengajuan ijin usaha bagi pasar modern menjadi sangat mudah, disamakan dengan ijin usaha perdagangan lainnya. Sekadar sebagai contoh,
82
berikut ini adalah persyaratan ijin usaha untuk pendirian pasar modern yang berbentuk perorangan seperti minimarket, supermarket, dan sejenisnya di sebuah Kabupaten di Bali, sebagai berikut. a.
Foto warna pemilik ukuran 4 x 6 cm, 2 lembar
b.
Fotocopy KTP pemilik yang masih berlaku
c.
Surat Pernyataan dari pemohon tentang Lokasi Perusahaan atau fotocopy SITU/HO bila UU Gangguan mewajibkan.
d.
Meterai Rp.6.000,-
e.
Stopmap 2 lembar.
Dari contoh persyaratan yang disebutkan di atas, menjadi jelas bahwa betapa mudahnya orang mendirikan perusahaan yang berbentuk minimarket, supermarket dan sejenisnya. Kemudahan-kemudahan pendirian pasar modern ini akan memberikan peluang yang sangat besar bagi para pemilik modal besar untuk menanamkan modalnya hingga ke daerah-daerah, bahkan ke pelosok-pelosok desa. Kalau hal ini dibiarkan terus, maka bukan mustahil pasar tradisional yang selama ini menjadi tempat berbelanja masyarakat cepat atau lambat akan ditinggalkan. Masyarakat akan beralih ke pasar modern yang kini sudah berada tidak jauh dari tempat tinggalnya. Alhasil, pasar tradisional akan mati pelan-pelan. Jika ditelaah lebih lanjut, siapakah sebetulnya diuntungkan oleh hadirnya pasar modern? Benarkah kehadiran pasar modern seperti supermarket dan minimarket itu merupakan bentuk dari keberhasilan pemerintah daerah dalam mengundang investasi? Pasar modern dimiliki oleh pemegang saham, yang mungkin satu orang atau beberapa orang pemodal. Dengan kapital yang mereka
83
miliki, maka mereka masuk ke daerah-daerah hingga ke pelosok-pelosok desa. Kelihatannya desa atau kota setempat lebih ramai, lebih gemerlap di malam harinya. Akan tetapi di balik itu, ketika keuntungan berhasil diraih oleh pasar modern yang berjejaring itu, maka akan masuk ke pemilik modal yang ada jauh dari daerah atau desa tersebut. Masyarakat di sekitar supermarket atau minimarket tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, kecuali tukang parkir dan beberapa karyawan setempat. Seorang peneliti
India
bahkan menyatakan bahwa
dalam
sistem
perekonomian terbuka, di bawah bayangan persaingan global, hampir semua aktivitas perdagangan di India bertujuan untuk mempromosikan perusahaan multinasional dan pemain besar India di lapangan. Akibatnya, usaha-usaha kecil akan masuk dalam perang kompetisi perdagangan yang tidak adil. Kalau hal ini dibiarkan berlanjut, akan menyebabkan usaha-usaha perdagangan kecil semakin tersisih dan keluar secara paksa dan pada akhirnya akan menyebabkan pengangguran (Veerravalli, 2009). Sementara itu, pasar tradisional yang sudah sangat akrab dengan kehidupan masyarakat, memberi tempat mendapatkan mata pencaharian banyak orang, terutama masyarakat ekonomi kelas bawah. Pada sebuah pasar, di samping para pedagang, yang mendapatkan nafkah dari situ adalah tukang parkir, tukang angkut barang, pedagang-pedagang kaki lima, para petani, peternak, nelayan, dan pengrajin sebagai pemasok barang, sopir angkutan umum, dan sebagainya. Banyak pihak yang diuntungkan, sesuatu yang berbeda dengan pasar modern. Belum lagi kalau dihitung miliaran retribusi pasar yang diambil pemerintah
84
daerah setiap tahunnya. Kalau demikian besar multiflier effect pasar tradisional, maka sudah seharusnya eksistensinya dipertahankan bahkan direvitalisasi sehingga bisa bertumbuh dengan baik. Hingga saat ini, kontribusi pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum maksimal dalam pembenahan pasar tradisional.
Ada sejumlah usaha yang
dilakukan pemerintah pusat melalui Departemen Perdagangan Republik Indonesia dan pemerintah daerah sesuai dengan kemampuan anggaran. Pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan RI membuat proyek pasar percontohan yang baru dimulai di Indonesia. Pasar tradisional percontohan yang jumlahnya sangat terbatas dan akan tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia ini diharapkan dapat menjadi contoh yang baik bagi pasar tradisional yang sudah ada. Kehadiran pasar tradisional percontohan diharapkan akan dapat menggugah para pihak yang terkait untuk membenahi pasar-pasar tradisional yang telah ada. Peranan pemerintah daerah dalam hal ini sangat penting, di samping peran para pedagang dan pihakpihak terkait lainnya. Pasar tradisional percontohan telah dimulai pada tahun 2010 dengan menargetkan sebanyak 10 unit pasar yang berhasil dibangun di Indonesia dengan anggaran sebesar Rp. 100-120 miliar dari total Rp. 500 miliar untuk revitalisasi pasar tradisional. Adapun pembangunan pasar tradisional percontohan tersebut meliputi beberapa wilayah di Indonesia, yakni: a. Pasar Minulyo, Jawa Timur; b. Pasar Panguruan, Sumatera Utara; c. Pasar Grabag, Jawa Tengah;
85
d. Pasar Lambocca, Sulawesi Selatan; e. Pasar Agung, Bali; f. Pasar Pattalasang, Sulawesi Selatan; g. Pasar Cokrokembang, Jawa Tengah; h. Pasar Panorama, Bengkulu; i. Pasar Skow, Papua Barat; dan j. Pasar Kewapante, Nusa Tenggara Timur. Mari Elka Pangestu, ketika menjabat Menteri Perdagangan, menjelaskan bahwa pasar-pasar tradisional yang direvitalisasi merupakan pasar-pasar yang memang sudah mendarah daging di daerah tersebut, karena hampir seluruh pasarnya berusia lebih dari 25 tahun. Dirinya menjanjikan akan tetap mempertahankan budaya-budaya yang memang sudah turun-menurun di masingmasing daerah. “Dari tinjauan kami ke sana, saya menemukan banyak hal yang unik dan menarik karena saya memang bukan dari daerah tersebut. Itu yang memang harus dipertahankan,” janjinya
(finance. detik.com., diakses 1 Juni
2011). Mari Elka Pangestu menjelaskan beberapa contoh pasar tradisional yang memiliki budaya yang unik seperti di Pasar Minulyo, Pacitan, Jawa Timur, yang pasarnya juga terdapat taman bacaan dan pengembangan kebudayaan. Kegiatan di Pasar Cokrokembang, Jawa Tengah juga terdapat pandai besi; di Pasar Agung, Bali, pasarnya juga untuk keperluan sembahyang karena ada Pura. “Berdasarkan beberapa kunjungan yang sudah dilakukan, setiap pasar di setiap daerah memiliki perbedaan tertentu yang terkait dengan daerah tempat mereka berada. Ini juga
86
harus kita sadari di dalam melakukan reviralisasi pasar,” papar Menteri Perdagangan RI (ditjen.kemendag.go.id, diakses 11 Juni 2012). Dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membangun atau merehabilitasi pasar tradisional yang ada menjadi sebuah pasar percontohan. Tentu saja, peran pemerintah daerah setempat, terutama pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah otonomi sangat besar dalam hal ini. Pemerintah pusat sudah memberikan stimulus, maka diharapkan pemerintah daerah lebih fokus lagi menangani pasar tradisional di wilayahnya. Dengan stimulus itu pula, diharapkan citra pasar tradisional yang dulunya kumuh, becek, kotor, dan bau, perlahan-lahan menjadi bersih, nyaman, dan aman menjadi kenyataan. Persoalan yang muncul adalah, ada sejumlah kendala yang dialami oleh pemerintah daerah dalam membenahi pasar tradisional di wilayahnnya. Yang paling besar adalah permasalahan dana pembangunan atau rehabilitasi pasar tradisional itu. Sudah sangat umum diketahui, bahwa belakangan ini dana pemerintah daerah banyak terserap untuk belanja pegawai, lebih kecil persentasenya untuk kegiatan operasional dan pengadaan sarana dan prasarana umum (belanja modal), termasuk untuk merehabilitasi pasar tradisional. Hal itu menjadi salah satu penyebab mengapa pasar tradisional tidak kunjung mendapatkan penanganan sebagaimana mestinya dan cenderung terpuruk dari waktu ke waktu. Di samping itu, kendatipun misalnya terdapat anggaran yang cukup, namun jika kemauan baik (goodwill) pemerintah daerah setempat untuk membangun pasar tradisional tidak lebih baik, maka mustahil pasar yang sudah akrab dengan kehidupan rakyat ini mendapatkan sentuhan perbaikan. Jadi, di
87
samping masalah dana yang terbatas, ketiadaan kemauan
baik
pemerintah
setempat menjadi penghambat kemajuan pasar tradisional. Kendatipun renovasi atau perbaikan pasar tradisonal cukup berhasil dilaksanakan, namun acapkali masih ada beberapa hal yang terlupakan sehingga hasilnya tidak maksimal. Seorang pedagang yang telah memiliki pengalaman panjang dalam berdagang di pasar tradisional dan kini membangun pasar tradisional-modern (tradmod) Bambu Kuning Square di Bandar Lampung, Malano telah melakukan indentifikasi terhadap permasalahan yang muncul pada saat dan setelah dilakukannya perbaikan/renovasi pasar tradisional. Malano (2011:160-164), mengidentifikasi dampak negatif renovasi pasar tradisional. Dinyatakan, di
antara
yang harus diperhatikan pada
saat
pengembangan pasar tradisional adalah yang terkait dengan jumlah kios. Banyak kios yang dibuat tetapi kemudian tidak laku disewakan kepada pedagang. Menurutnya, memperbanyak kios harus melalui pertimbangan secara matang, apakah pasar tersebut memang benar-benar membutuhkan penambahan kios dan tidak dipaksakan. Salah satu penyebab kios-kios pasar yang kini kosong adalah karena ketiadaan perencanaan yang matang dalam menentukan jumlah kios. Di samping persoalan penambahan kios, yang harus pula diperhatikan adalah pembangunan jumlah lantai pada pasar tradisional. Agar kelihatan megah dan mampu menampung lebih banyak pedagang, dibangun pasar yang berlantai lebih dari satu. Tetapi, setelah lantai atas dibuat, tak ada pedagang yang bersedia berjualan di situ karena tidak ada pembeli yang datang. Untuk pasar yang pada awalnya hanya satu lantai, misalnya, hendaknya diteliti secara matang, apakah
88
perlu membangun lantai dua, tiga, dan seterusnya. Jangan sampai, setelah dilakukan pembangunan, lantai atas menganggur karena tidak laku disewakan karena di situ sepi pembeli. Menurut Malano, persoalan parkir hendaknya juga diperhatikan. Kebutuhan akan areal parkir seringkali dilupakan pada saat membangun atau merenovasi pasar tradisional. Setiap pembangunan pasar yang tidak memperhatikan luasan parkir cenderung akan mengganggu lalu lintas, bahkan menjadi biang keladi kemacetan. Menurutnya, luasan parkir harus memprediksi kebutuhan dalam 20 tahun ke depan. Persoalan lainnya yang sering dilupakan dalam renovasi pasar tradisional adalah masalah zonasi pedagang. Dikatakan, zonasi juga sangat diperlukan untuk pedagang di pasar basah yang menjual sayur-sayuran, buahbuahan, ikan, ayam, dan daging. “Selayaknya sayur-mayur berkumpul menjadi satu, jangan bersisian dengan pedagang ikan dan daging. Pedagang pakaian jangan berdekatan dengan pedagang bumbu dapur. Posisi pedagang ikan dan daging-dagingan seharusnya dibuat lebih rendah dibandingkan pedagang sayur dan buah buahan, agar air yang muncul dari pedagang ikan dan daging tidak menggenangi bagian pasar lainnya,” tulisnya. Di samping itu, hal yang perlu diperhatikan pula, lanjut Malano, sebaiknya pasar sayuran, ikan, dan daging, tidak berada dalam satu gedung dengan padagang pakaian. Walaupun persoalan zonasi yang dikemukakan Malano tampak sederhana, tetapi sangat vital dalam menciptakan keserasian dan keterpaduan di dalam pasar. Hal penting lain yang acapkali menjadi aspek minus pembenahan pasar tradisional adalah persolan relokasi pedagang. Sering terjadi, tulis Malano dalam
89
bukunya itu, pemerintah menggusur pedagang lama dan setelah renovasi mereka dipindahkan ke lantai dua atau tiga. Di tempat yang baru mereka kehilangan penghasilan karena transaksi di situ sepi akibat tidak adanya zonasi dagangan. Hal yang luput dari perhatian pemerintah pula, areal tempat berdagang sebagai tempat relokasi tersebut ternyata tidak terjangkau oleh kantong para pedagang, sehingga tidak banyak yang sanggup menempati kios pascarelokasi. Alhasil, mereka terpaksa berjualan dengan cara gelaran di pinggir-pinggir jalan sebagaimana PKL umumnya. Malano juga melihat, seringkali perbaikan yang dilakukan hanya terhadap fisik bangunan pasar dan mengabaikan unsur sumber daya manusianya. Sudah saatnya pelatihan bagi para pedagang digiatkan kembali seperti pada masa Orde Baru. Kepada para pedagang perlu diberikan pendidikan dan pelatihan dengan materi kiat berkomunikasi, memperluas wawasan, dan kemampuan manajemen dan kewirausahaan. Hal ini dimaksudkan agar kualitas sumber daya pedagang semakin baik sehingga usaha mereka pun kian maju. Faktor pendidikan dan pelatihan ini terbukti telah mendorong banyak pengusaha kecil untuk mencapai tingkat produktivitas terbaiknya. Merupakan keharusan bagi pemerintah dan lembaga yang lain yang bisa mensponsori untuk mengupayakan agar pengetahuan dan keterampilan para pengusaha kecil dapat terus-menerus ditingkatkan mengingat hal ini memainkan peran penting (Khan, 2009). Dari hasil risetnya di India, Wadhwa meyakini, bahwa berawal dari pendidikan dan keterampilan teknis yang lemah dan mengubahnya menjadi spesialis teknis, membuat orang sangat produktif dan
90
mampu bersaing dan tumbuh pesat. Pelajaran dari AS dan negara-negara lain dalam menghadapi meningkatnya persaingan global mensyaratkan bahwa pendidikan dan pelatihan tenaga kerja sangat penting dalam mempertahankan keunggulan kompetitif (Wadhwa et.al., 2008). Satu lagi pemikiran yang berharga untuk memajukan pasar tradisional datang dari Ida Bagus Rai Utama. Dikatakan, bahwa untuk melakukan revitalisasi terhadap pasar tradisional, beberapa gagasan yang disampaikan meliputi: perbaikan kondisi fisik pasar, jam operasi bebas dengan tata kelola yang baik, bebas dengan pengawasan, jaminan kepuasan pelanggan, pengawasan kesehatan, serta sanitasi yang memadai. Diperlukan juga perubahan budaya dan tata kelola dengan mengadopsi prinsip manajemen modern, perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan dengan regulasi khusus. Selain itu, menghapus premanisme yang masih melekat pada pengelolaan pasar dan perbaikan kemasan produk. Apa yang disampaikan Herman Malano dan Ida Bagus Rai tentu saja pantas mendapatkan perhatian dari para pihak yang terkait, terutama pemerintah, sehingga revitalisasi pasar tradisional mencapai hasil terbaiknya.
2.6
Pemberdayaan Pedagang Pasar Tradisional Istilah pemberdayaan dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai
empowerment. Empowerment berasal dari kata dasar power yang memiliki beberapa makna. Pertama, power berarti kekuasaan. Misalnya, dalam kalimat : He’s a man of great power ( Ia seseorang yang sangat berkuasa). Kedua, power juga bermakna kekuatan. Misalnya: Which party has great power? (Partai manakah yang kuat sekali?). Ada pula istilah yang merupakan bersumber dari kata
91
dasar power, yakni empower yang dimaknai sebagai menguasakan, memberi kuasa/kewenangan ( Echols dan Shadily, 1989 : 441, 211). Memperhatikan makna power sebagai kata dasar dari empowerment, maka yang dimaksud dengan pemberdayaan (empowerment) adalah memberikan kekuatan kepada lembaga atau mereka yang lemah untuk bisa bangkit dan mandiri dalam kehidupan. Dalam hubungan ini, memberdayakan masyarakat dimaknai sebagai usaha untuk meningkatkan harkat dan masyarakat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu untuk kemudian dapat melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Istilah memberdayakan mengandung dua makna, yakni mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sector kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela, dan berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah (Prijono dan Pranarka, 1996). Menurut
Pearse
dan
Steifel,
pemberdayaan
mengandung
dua
kecenderungan, yakni kecenderungan primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder berarti melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya (Prijono dan Pranarka, 1996).
92
Sejalan dengan itu, Elmes et al (2005), mendefinisikan empowerment sebagai peningkatan kekuasaan sehingga memungkinkan pekerja mencapai tujuan institusional dengan efektivitas dan efisiensi yang lebih besar. Efisiensi lebih besar yang dimaksudkan adalah dengan pengurangan biaya dan lebih sedikit waktu. Efektivitas lebih besar yang dimaksudkan adalah kualitas yang lebih baik dan level kepuasan konsumen yang lebih tinggi. Dengan redistribusi kekuasaan dalam cara yang memungkinkan pekerja mencapai sasaran institusional secara lebih efisien dan lebih efektif. Perbaikan kualitas layanan dan profitabilitas melalui proses empowerment bahkan dapat dianggap sebagai sangat penting dan strategis. Pada tingkat organisasi, Randolph (2000), seorang profesor di University of Baltimore, mendefinisikan pemberdayaan sebagai memberikan orang kekuatan untuk mengambil keputusan.
Jadi, yang menjadi konsepnya adalah pada
bagaimana membagi kekuasaan sebagai salah satu bentuk motivasi internal organisasi untuk mencapai hasil yang maksimal. Randolph menyatakan pemberdayaan sebagai “to achievereal empowerment managers must embrace this wider concept and must focus on ways to release the power within people to achieve astonishing results.” Studi berikutnya tentang empowerment berasal dari Dana Yagil dan Iddo Gall (2002), yang pada pokoknya menemukan bahwa iklim layanan berhubungan dengan kepuasan pelanggan. Kedua ahli ini juga menemukan bahwa perilaku kepemimpinan dan kontrol terhadap para pekerja cenderung meningkatkan kualitas iklim layanan dan memberikan kepuasan kepada para pelanggan.
93
Wrihatnolo R dan Riant Nugroho D (2007) menyebutkan bahwa pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumber daya pembangunan
agar mampu
mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya. Pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan proses instan. Sebagai “proses menjadi”, pemberdayaan disebutkan memiliki tiga tahapan, yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan sebagaimana digambarkan di Gambar 2.2.
Penyadaran
Pendayaan Pengkapasitasan
Pendayaan
Gambar 2.2: Tahapan Pemberdayaan Sumber : Wrihatnolo dan Riant Nugroho D, 2007.
Pertama, tahap penyadaran, yaitu masyarakat miskin diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai hak untuk menjadi berada. Di samping itu juga diberikan penyadaran bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk keluar dari
94
kemiskinannya. Pada tahap ini, masyarakat miskin dibuat mengerti bahwa proses pemberdayaan itu harus berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar komunitas ini mendapat cukup informasi. Melalui informasi aktual dan akurat terjadi proses penyadaran secara alamiah. Proses ini dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan. Kedua, tahap pengkapasitasan, tahap ini bertujuan untuk memampukan masyarakat miskin sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mengelola peluang yang akan diberikan. Tahap ini dilakukan dengan memberikan pelatihanpelatihan, lokakaya dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life skill dari masyarakat miskin. Pada tahap ini sekaligus dikenalkan dan dibukakan akses kepada sumberdaya kunci yang berada di luar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan harapan dan eksistensi dirinya. Selain memampukan masyarakat miskin baik secara individu maupun kelompok, proses memampukan juga menyangkut organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan organisasi melalui restrukturisasi organiasasi pelaksana sedangkan pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan ”aturan main” yang akan digunakan dalam mengelola peluang. Ketiga, tahap pendayaan, pada tahap ini masyarakat miskin diberikan peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan.
95
Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu menilai lingkungan sosial ekonominya serta mampu mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu dilakukan perbaikan. Tahapan selanjutnya dari pemberdayaan adalah mewujudkan masyarakat yang mandiri berkelanjutan. Mandiri adalah langkah lanjut yang rasional dari masyarakat yang telah sejahtera. Dalam kata mandiri telah terkandung pengertian ada usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan usaha sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Dalam pemandirian masyarakat miskin hendaknya tidak mengabaikan potensi dan kapasitas yang tersisa dalam diri maupun kelompoknya serta menghindarkan diri dari budaya cepat puas dan merasa
cukup.
Dalam
pemandirian
masyarakat
miskin
diajak
untuk
mengembangkan jejaring komunikasi sehingga mereka bisa menambah wawasan dan selalu diingatkan untuk memiliki pikiran yang maju berwawasan jauh ke depan untuk menjangkau kondisi yang lebih baik. Bila dikaitkan dengan pembangunan, pemberdayaan ditujukan untuk meningkatkan, memandirikan, keswadayaan, dan keberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara utuh dan komprehensif guna meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari kesenjangan dan keterbelakangan, menjadi upaya memampukan dan memandirikan masyarakat. Kemandirian adalah kemampuan mengakomodasi sifat-sifat baik manusia untuk ditampilkan dalam sikap dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seorang individu. Individu yang memiliki kemandirian akan memiliki dan menunjukkan sifat dan sikap rajin, senang bekerja, sanggup bekerja keras, tekun,
96
berdisiplin, berani merebut kesempatan, jujur, mampu bersaing dan bekerjasama, dapat dipercaya, dan mempercayai orang lain, tidak mudah putus asa, dan berusaha mengenali kelemahan dan kekurangannya serta berusaha menolong dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain (Ningtias, 2009). Pemberdayaan dilakukan dengan satu tujuan, yaitu agar masyarakat yang menjadi sasaran benar-benar bisa berdaya dalam arti memiliki kemampuan untuk mandiri dan lepas dari ketergantungan terhadap pihak yang memberdayakan. Kemandirian ini mengandung kapasitas dan kapabilitas yang memadai untuk bisa eksis dalam melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, masyarakat yang diberdayakan itu memiliki keberdayaan, yang dengan bekal itu, mereka bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik, termasuk di dalamnya menjadi lebih sejahtera. Dalam kaitannya dengan pasar tradisional, sejatinya pemberdayaan sudah banyak
dilakukan.
Pemerintah
menerbitkan
regulasi
merupakan
bentuk
pemberdayaan yang mengandung sejumlah aturan yang mengikat sehingga para pelaku dapat berbisnis dengan baik dengan mengedepankan rasa keadilan dalam berusaha. Di antaranya adalah peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Di samping itu, ada pula Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 53/M-DAG/PER/12?2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pedoman Pengelolaan Pasar juga diterbitkan oleh Direktorat Bina Pasar dan
97
Distribusi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan tahun 2005. Semua peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional itu ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah masing-masing sebagai bentuk peraturan daerah yang implementatif sifatnya. Di wilayah penelitian, peraturan daerah sudah cukup memadai dalam menindaklanjuti peraturan pemerintahan pusat. Dengan kata lain, sudah terdapat peraturan daerah atau peraturan di bawahnya yang bersifat menjaga dan menguatkan keberadaan pasar, baik pasar modern maupun pasar tradisional. Di samping dari aspek regulasi, pemerintah daerah bersama dengan instansi terkait dan pihak swasta telah melakukan banyak hal terkait dengan usaha pemberdayaan pedagang pasar tradisional di Bali. Usaha-usaha itu dimaksudkan untuk memberikan pemahaman, pengkapasitasan, dan kemandirian pedagang pasar tradisional. Misalnya, melalui perbankan, pemerintah sudah menyediakan kredit bagi pengusaha kecil dan menengah dengan bunga yang relatif rendah. Dana usaha yang disediakan pemerintah ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para pedagang yang membutuhkan permodalan, sebagai salah satu sumberdaya yang penting, dalam rangka mengembangkan usaha. Demikian pula dengan usaha penyediaan sarana dan prasarana berjualan, pemerintah daerah sudah menyediakan pasar-pasar tradisional dengan berbagai fasilitasnya yang dimanfaatkan pedagang untuk berjualan. Para pedagang bisa menyewa atau membeli kios yang telah disediakan pemerintah. Di samping itu, pemberdayaan dalam bentuk pengaturan zonasi berjualan sudah juga dilakukan. Posisi berjualan para pedagang ditata sedemikian rupa secara berkelompok sesuai dengan jenis
98
barang yang dijual sehingga para pembeli bisa dengan mudah menemukan zonasinya ketika hendak berbelanja sesuai dengan kebutuhannya. Semua bentukbentuk pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan pedagang pasar tradisional. Dalam konteks penelitian ini, keberdayaan dimaksud adalah keberdayaan para pedagang pasar tradisional. Keberdayaan mereka terwujud tentu dengan berbagai upaya, baik yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, maupun oleh mereka sendiri bersama kelompoknya. Peningkatan keberdayaan ini tidak bisa dilakukan sekali jadi, melainkan harus terus-menerus
mengingat tantangan,
hambatan, dan peluang senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Pedagang pasar tradisional diharapkan tidak lagi sekadar bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri, bahkan secara bertahap sanggup menjadi pedagang dengan kemampuan manajemen dan kuallitas layanan yang jauh lebih baik. Hasil akhir yang diharapkan adalah terwujudnya peningkatan taraf hidup para pedagang pasar tradisional khususnya di Bali, tempat penelitian ini dilakukan. Keberdayaan pedagang pasar tradisional dapat diukur dari berbagai aspek, yakni
tingkat penjualan, tingkat laba, tingkat kekayaan, pangsa pasar, dan
loyalitas pelanggan. Tingkat penjualan diukur dari omset penjualan barang para pedagang pasar tradisional. Tingkat laba dilihat dari keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan, dan tingkat kekayaan ditinjau dari kepemilikan aset atau kekayaan pedagang yang didapat dari hasil usahanya sebagai pedagang. Selanjutnya, pangsa pasar adalah luasan segmen pemasaran barang yang
99
dijangkau para pedagang, sedangkan loyalitas pelanggan adalah kesetiaaan para pelanggan untuk secara berulang-ulang berbelanja pada pedagang di pasar tradisional di Bali.
2.7
Kajian Penelitian Terdahulu Leksono (2009) dalam sebuah penelitiannya menghasilkan beberapa
kesimpulan, diantaranya: Pertama, pasar sebagai institusi ekonomi tertua akan tetap sustain dan berkembang jika institusi ini sehat; sementara dari waktu ke kurun waktu berikutnya membuktikan bahwa walaupun semakin banyak pelaku ekonomi yang memanfaatkan transaksi pasar tradisional, namun ternyata tidak memberi akibat peningkatan investasi dan inovasi yang memadai bagi kebanyakan para pedagang. Kedua, karakter sekaligus kelemahan konvensional para pedagang tradisional terletak pada “tawar-menawar” yang berkepanjangan, memakan energi dan waktu lama sehingga menambah biaya transaksi konsumen yang semakin 99 tidak objektif ini. Hal ini ditangkap dengan baik oleh pengelola pasar modern dengan menciptakan alat konsumsi baru atau bahkan dieksploitasi sebagai bagian dari barang dan jasa konsumsi. Bentuknya antara lain konsumen mendapatkan barang dan jasa secara terkendali, konsumen dieksploitasi melalui penyediaan berbagai fasilitas pelayanan yang memanjakan keinginan konsumen. Ketiga, manfaat maksimum dengan mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya direbut oleh pasar modern dengan cara penetrasi pasar: mengeksploitasi kelemahan konsumen melalui strategi penjualan, antara lain melalui fix price,
100
menata barang dengan daya tarik, discount harga dan belanja secara individuality privacy dan exclusivity. Sementara itu, pedagang tradisional dideterminasi oleh situasi kegagalan pasar; terjebak pada pilihan risiko penawaran harga yang memaksimumkan keuntungan dengan harga jual tinggi. Padahal, pola transaksi seperti ini semakin dihindari oleh kebanyakan konsumen. Keempat, regulator pasar atau operator pasar memilih bekerja dengan rasionalitas. Dengan rasionalitas itu, mereka akan meraup materi atau uang namun mengabaikan norma moral. Oleh karena itu, regulator pasar harus mengoreksi diri para pengelolanya yang menyimpang sebagai akibat dilalaikannya watak pasar tradisional sebagai public good dan bersifat kerakyatan. Kelima, peran pemerintah sebagai kendali utama dalam penentuan berbagai kebijakan ekonomi masyarakat, khususnya public goods menyebabkan ekonomi rakyat menjadi terpinggirkan akibat kekurangpekaan dalam memahami problem dan kepentingan pedagang pasar yang sesungguhnya. Sebuah lembaga riset, Nielsen, menempatkan pasar tradisional masih menjadi favorit konsumen. Pasar tradisional, berdasarkan hasil riset lembaga ini, masih sangat medominasi dalam penjualan produk segar bagi konsumen Asia dan Indonesia. Budget belanja produk segar bagi konsumen Indonesia sekitar Rp.500.000,- per bulan. Berdasarkan hasil riset tersebut, sebanyak 62 persen konsumen Indonesia di Jabodetabek berbelanja daging di pasar basah (tradisional), dan yang berbelanja di pasar modern 11 persen. Sebanyak 53 persen konsumen berbelanja ikan di pasar basah, hanya 7 persen yang membeli ikan di
101
pasar modern. Di Bandung, sekitar 60 persen konsumen memilih berbelanja sayur, daging, dan ikan di pasar tradisional (kabarbisnis.com, diakses 12 Mei 2012). Hasil riset Nielsen Indonesia, sebagaimana dikutip Harian Galamedia, 2 Maret 2011, menyebutkan bahwa saat ini masyarakat perdesaan perlahan-lahan mulai mengalihkan kebiasaan belanja dari pasar tradisional ke sejumlah minimarket yang menjamur di perdesaan. Menurut Direktur Panel Service Nielsen Indonesia, Lim Soon Lee, tingkat kunjungan ke pasar modern, rumah tangga perdesaan paling banyak berkunjung ke minimarket. Rata-rata masyarakat perdesaan mengunjungi minimarket sebanyak 11 kali per bulan. Rata-rata belanja yang dikeluarkan tercatat sebesar Rp.4.000,- per kunjungan. Sedangkan total belanja yang dikeluarkan masyarakat perdesaan untuk belanja di minimarket mencapai Rp.465.000,- atau naik 87 persen dibandingkan kondisi tahun 2007 yang hanya Rp.250.000,- Kendati banyak masyarakat yang berbelanja di minimarket, Nielsen masih menganggap perdagangan tradisional seperti pasar tradisional dan toko, memainkan peran utama belanja barang konsumen yang cepat perputarannya. Penelitian tentang pasar juga dilakukan oleh Tim Peneliti Kementerian Perdagangan RI pada tahun 2010. Penelitian yang beranggotakan 6 orang peneliti ini menuliskan sejumlah gagasan bagi terwujudnya sinergi antara pasar tradisional dan pasar modern. Peluang untuk bersinegi ini dianjurkan agar tak ada pihak yang merasa dirugikan, bahkan sebaliknya terjadi simbiosis mutualistis antara kedua jenis pasar tersebut. Penelitian itu memuat beberapa pokok-pokok pikiran dalam
102
upaya menata pasar, baik pasar tradisional maupun modern, ke depan sehingga bisa bahu-membahu mencapai kemajuan. Pertama, pembinaan pasar tradisional sebagai bagian dari Corporate Social Responbility (CSR). Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan agar pedagang tradisional dapat hidup berdampingan dengan pelaku pasar modern. Usaha klasik yang sering dilakukan adalah mendorong pelaku usaha modern untuk menyisihkan sebagian keuntungannya bagi usaha kecil yang membutuhkan. Program CSR perusahaan bisa juga diarahkan untuk membantu para pedagang dan pengembangan pasar tradisional melalui berbagai metode. Misalnya, melakukan kegiatan pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan pedagang pasar tradisional. Kedua, menjual produk usaha kecil. Bagaimana nasib para pedagang kecil dan usaha kecil-menengah (UKM) dengan menjamurnya pasar modern? Upaya kerjasama selalu dapat dilakukan, misalnya pemajangan produk-produk tradisional dan hasil kerajinan lokal pada gerai-gerai pasar modern. Hanya saja, produk UKM itu harus sudah memiliki standard an keunikan tersendiri sehingga memiliki daya tarik. Ketiga, pasar tradisional seharusnya dapat berubah. Berubah menjadi lebih baik, lebih maju, lebih kreatif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pasar tradisional dengan segenap pelaku di dalamnya harus bisa merevolusi diri mengejar ketertinggalan. Mulai berpikir dengan visi dan misi yang jelas agar segala keterpurukan dapat segera diatasi. Budaya berpikir hari ini (jangka pendek), pragmatis, tidak teratur atau tidak mau diatur harus diubah jika ingin
103
menapak masa depan yang lebih baik. Hasil penelitian itu meyakinkan bahwa kalau usaha sinergitas itu diterapkan dengan komitmen tinggi, lambat laun akan mengkristal menjadi budaya bersama. Dalam buku Selamatkan Pasar Tradisional (2011), Malano, menuangkan hasil pemikiran, pengamatan, dan pengalamannya yang sudah puluhan tahun lamanya menjadi pedagang pasar. Dua butir pemikirannya yang terpenting, diantaranya, pertama, kondisi pasar yang kumuh dan semrawut seakan dibiarkan saja tanpa perhatian pemerintah. Aparat birokrasi yang bertugas di dalamnya justru mencari keuntungan dari kisruh yang kerap melanda pasar. Mereka mengambil uang retribusi, uang parkir, uang keamanan, dan sebagainya, tetapi hanya sedikit yang masuk kas daerah, selebihnya habis dibagi-bagi oleh para oknum. Dengan kondisi seperti itu, tak ada petugas yang tertarik untuk memajukan pasar maupun pedagangnya. Dikatakan, manajemen pasar tradisional di Indonesia tak pernah serius dilakukan. Pasar-pasar yang dikelola pemerintah dibiarkan semrawut dan tidak terurus. Renovasi pasar kerap tidak menyelesaikan masalah, malahan sebaliknya, menimbulkan banyak persoalan baru yang merugikan para pedagang. Sehubungan dengan hal itu, apapun yang dilakukan yang terkait dengan pengembangan pasar, seharusnya dilakukan melalui proses penelitian yang matang. Kedua, persoalan modal juga menjadi permasalahan yang besar bagi pedagang. Mereka tidak mampu menyewa kios, memperbesar oplag dagangan, dan meningkatkan kualitas produk, karena keterbatasan modal. Kondisi ini terjadi karena perbankan enggan berurusan dengan pedagang kecil dan mikro. Akhirnya, jadilah pedagang tradisional ini sulit berkembang. Berkenaan dengan
104
hal ini, pemerintah harus serius membantu permodalan bagi para pedagang, yaitu dengan mendirikan bank khusus. Semua bantuan permodalan, baik yang khsusus untuk pedagang maupun bantuan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) pada umumnya harus dikucurkan melalui bank ini. Pemerintah harus melakukan upaya yang serius agar pasar-pasar tradisional yang nyaris mati dapat dihidupkan kembali. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 yang menyasar daerah perkotaan di Indonesia (smeru.or.id, diakses 11 Desember 2012), menyimpulkan hasil penelitiannya sbb.: Pertama, penyebab utama kelesuan usaha pasar tradisional di daerah perkotaan di Indonesia adalah lemahnya daya beli pelanggan sebagai akibat lonjakan harga BBM pada tahun 2005, peningkatan persaingan dengan PKL yang berjualan di lahan parkir dan area lain di sekitar pasar, dan kehadiran supermarket. Supermarket telah diidentifikasikan sebagai penyebab utama kelesuan usaha para pedagang di pasar tradisional khususnya di Pasar Pamoyanan di Bandung. Kedua, kehadiran supermarket secara statistik hanya berdampak pada pengurangan jumlah pegawai yang dipekerjakan oleh pedagang pasar tradisional bila letak supermarket dekat dengan pasar tradisional. Ketiga, supermarket bukanlah menjadi penyebab utama kelesuan usaha yang dialami oleh para pedagang pasar tradisional, melainkan infrastruktur yang tidak baik, kurangnya pengorganisasian para PKL, dan pelaksanaan praktik pengelolaan pasar yang kurang baik. Penelitian tentang eksistensi modern juga pernah dilaksanakan
pasar tradisional di tengah pesona pasar di Kabupaten Pati yang dipublikasikan pada
105
tahun 2011. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Penelitian dan Pengembangan Kab. Pati tersebut menyebutkan, pertama, eksistensi pasar tradisional mengalami penurunan seiring dengan semakin besarnya daya tarik pasar modern. Penurunan kinerja pasar modern selain disebabkan oleh maraknya pasar modern, juga disebabkan karena kelemahan manajemen pasar tradisional, masalah infrastruktur, dan lemahnya kerjasama, daya dukung permodalan dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen. Kedua, di tengah kondisi yang kurang menguntungkan, dengan segala kelebihan yang ditawarkan dan kekurangan yang dimiliki oleh pasar tradisional di Kabupaten Pati, masih banyak yang bertahan terutama pasar-pasar tradisional utama yang terletak di tingkat kecamatan dan tingkat kota. Ketiga, diperlukan upaya untuk mempertahankan pasar tradisional yang merupakan salah satu pusat ekonomi yang berbasis rakyat kecil yang didukung oleh peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Beberapa penulis sudah pernah melakukan penelitian tentang pasar tradisional di berbagai daerah di Indonesia, yang antara lain sudah dimuat di dalam jurnal-jurnal penelitian, buku, dan lainnya. Hanya saja, belum banyak peneliti yang melakukan riset tentang keberadaan pasar tradisional dan publikasinya pun sangat terbatas. Untuk memberikan gambaran tentang kedudukan (state of the art) penelitian ini dalam kaitannya dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
106
Tabel 2.1 Kedudukan Penelitian Ini (State of The Art) Analisis No.
1.
2.
3.
4.
5
Keterangan
Judul Penelitian SEM
Regre si
Produk Moment
Parsial
Ttest
Kualitatif
Impact of Supermarket on Traditional Market and Retail’s in Indonesia, 2007, SMERU Runtuhnya Modal Sosial, Pasar Tradisional, Perspektif Emic Kualitatif, 2009, Leksono Pasar Tradisional dan Modern Bersinergi Membangun Bangsa, 2010,Litbang Deperindag Eksistensi Pasar Tradisional di Tengah Pasar Modern, 2011, Tim Lit Kab. Pati Selamatkan Pasar Tradisional, 2011, Malano Traditional Market, 2012, Nielsen Pengaruh Faktor Sumberdaya, Pemberdayaan, Strategi Bersaing, dan Kondisi Fisik Pasar terhadap Keberdayaan Pedagang Pasar Tradisional di Bali, 2015, I Ketut Suweca
Masih terbatasnya jumlah penelitian tentang pasar tradisional dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya, menyebabkan penelitian ini menjadi penting dalam menggenapi penelitian sebelumnya. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penelitian yang membahas tentang variabel-variabel penentu yang menjadi faktor pengungkit (leverage) dalam memajukan pasar tradisional.
107
Padahal, selama ini persoalan internal pasar tradisional masih menjadi permasalahan yang krusial untuk bisa dijelaskan dan ditangani. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini diuraikan secara gamblang sejumlah faktor internal di pasar tradisional sebagai faktor penentu yang seyogianya diperkuat agar keberdayaan pedagang pasar tradisional dapat ditingkatkan, seperti faktor sumberdaya dan pemberdayaan pedagang. Dengan penguatan pada faktor internal melalui berbagai intervensi dari pemerintah dan pihak terkait lainnya, di samping upaya-upaya yang dilakukan oleh para pedagang secara mandiri, niscaya keberadaan pasar sebagai center of economic masyarakat akan tetap terjaga sekaligus bisa dibanggakan.