BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini digunakan teori utama (grand theory) yang menaungi variabel-variabel penelitian ini yakni teori perilaku organisasi, yang meliputi 2 (dua) konsep teori yaitu perilaku organisasi dan teori kepemimpinan dalam sebuah organisasi. 2.1.1
Perilaku Organisasi Kinerja organisasi yang efektif merupakan ukuran dalam keberhasilan
organisasi, dimana efektifitas organisasi telah menjadi kata kunci dalam suatu organisasi, dimana efektifitas organisasi akan menjadikan daya saing tersendiri dalam persaingan usaha saat ini. Untuk menuju efektifitas organisasi yang maksimal diperlukan suatu kepemimpinan yang dapat mengelola organisasi ini menjadi sebuah organisasi yang kreatif dan inovatif. Perilaku organisasi adalah bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok, sistem atau struktur pada perilaku organisasi dengan tujuan mengaplikasikan pengetahuan untuk memperbaiki efektifitas organisasi (Robbins, 2006). Luthans (2006) juga mengatakan bahwa perilaku organisasi sebagai pemahaman prediksi dan manajemen perilaku manusia di dalam organisasi, dimana perilaku organisasi sangat erat kaitannya dengan komunikasi, pekerjaan, koordinasi, kepemimpinan, produktivitas, budaya organisasi, kepuasan kerja dan kinerja organisasi. Para ahli mengemukakan bahwa perilaku organisasi tidak bisa lepas dari bidang ilmu lainnya, perilaku organisasi merupakan bidang ilmu yang
16
17
mendukung teori perilaku organisasi yang meliputi : psikologi, psikologi sosial, psikologi industri, sosiologi, antropologi dan ilmu politik (Robbins, 2006). Kreiner dan Kinicki (2003) menyinggung perilaku organisasi ini merupakan bidang ilmu yang interdisipliner, yang mencakup berbagai cabang ilmu yang dapat digunakan untuk memahami dan mengelola orang dalam suatu organisasi. Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa perilaku organisasi telah memberikan pemahaman secara menyeluruh terhadap pengelolaan suatu organisasi, dimana semuanya memberikan sumbangan terhadap pembelajaran, motivasi, pemberdayaan, pelatihan, kepemimpinan, disiplin diri, budaya organisasi, kepuasan kerja, komunikasi, perubahan organisasi, kinerja organisasi dan pengaruh lainnya dalam organisasi. Dalam penulisan ini yang menjadi fokus utama sebagai bahan kajian adalah kepemimpinan, budaya kerja, kepuasan kerja dan kinerja organisasi. Dengan demikian bahasan selanjutnya akan berkisar pada masalah tersebut. 2.1.2
Kepemimpinan Sejak
munculnya
kesadaran
pentingnya
manusia
untuk
hidup
berkelompok, maka masalah kepemimpinan mulai muncul seiring dengan keinginan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Dengan adanya keterbatasan manusia maka diperlukan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan daripada yang lain untuk memimpin, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Dalam kelompok, kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk memengaruhi perilaku orang lain untuk bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang diinginkan bersama.
18
Kepemimpinan adalah sebuah kemampuan mempengaruhi anggota kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Para peneliti sebagian besar meneliti kepemimpinan dengan pendekatan yang meliputi ciri-ciri pemimpin (traits approach), perilaku pemimpin (behavior approach), pengaruh-kekuasaan (power- influence approach) dan pendekatan situasional (situational approach) seperti yang dijelaskan McClelland (1985), Compball dan Grant (1974) dalam Chen (2002). Teori terbaru dari kepemimpinan membedakan antara kepemimpinan yang melakukan tranformasi dengan kepemimpinan transaksional (Yukl, 2009). 2.1.2.1 Pengertian Kepemimpinan Kata pemimpin dari sisi etimologi berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) yang mempunyai arti bimbing atau tuntun, sehingga pemimpin merupakan seseorang yang memimpin sekelompok orang, ada dua pihak didalamnya yaitu orang yang dipimpin (anggota organisasi) dan yang memimpin. Dengan awalan “pe” menjadi “pemimpin” (leader) yang mempunyai arti orang yang mempengaruhi orang lain dengan proses komunikasi sehingga orang lain bersedia untuk mengikuti arahannya dalam mencapai tujuan tertentu. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan kelompok untuk dapat bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pemimpin dalam pengertian luas adalah seseorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise, kekuasaan atau posisi, sedangkan dalam pengertian yang terbatas, pemimpin ialah seseorang yang
19
membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya (Pratt dalam Kartono Kartini, 2006). Pengertian lain dari pemimpin adalah seseorang yang memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk melakukan kerjasama ke arah pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Pasolong, 2008). Pemimpin adalah seseorang yang menduduki posisi di kelompok, mempengaruhi orang-orang dalam kelompok itu sesuai dengan ekspektasi peran dari posisi tersebut dan mengkoordinasi serta mengarahkan kelompok untuk mempertahankan diri serta mencapai tujuannya seperti dikatakan Raven (1976) dalam Wirjana dan Supardo (2005), dalam buku yang sama Sears (1977) mengatakan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memulai suatu tindakan, memberi arah, mengambil keputusan, menyelesaikan perselisihan di antara anggota kelompok, demikian juga pemimpin akan memberi dorongan, serta menjadi panutan dan selalu berada di depan dalam kegiatan-kegiatan kelompok. Kepemimpinan sebagai proses social-influence dalam mencapai tujuan organisasi, juga mendorong kebiasaan positif karyawan agar tujuan tercapai dan mempengaruhi kelangsungan organisasi seperti yang dikatakan oleh Yukl (1999). Selain itu Anoraga (1992) dalam Pasolong (2008) mengemukakan, bahwa kepemimpinan adalah suatu kemampuan yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain, melalui komunikasi dengan tujuan untuk menggerakkan orang lain agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pimpinan itu.
20
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pemimpin merupakan seseorang yang sangat istimewa, mereka merupakan orang yang mempunyai kewibawaan dan memiliki kelebihan dibanding dengan orang lain, sehingga mampu memotivasi, mempengaruhi serta menggerakkan individu untuk mencapai tujuan organisasi. 2.1.2.2 Fungsi Kepemimpinan Menurut Keating dalam Pasolong (2008) mengatakan bahwa terdapat fungsi kepemimpinan, dimana fungsi kepemimpinan tersebut mencakup 2 (dua) bidang utama yaitu: pencapaian tujuan organisasi dan kekompakan orang-orang yang dipimpinnya. Adapun fungsi-fungsi yang berhubungan dengan pencapaian tujuan organisasi, adalah: (1) memulai (initiating) yaitu usaha agar kelompok memulai kegiatan atau gerakan tertentu, (2) mengatur (regulating) yaitu proses untuk mengatur arah dan langkah kegiatan kelompok, (3) memberitahu (informating), adalah memberi informasi, data, fakta dan pendapat kepada para anggota dan meminta pada mereka tentang informasi, fakta, dan pendapat yang diperlukan, (4) mendukung (supporting) yaitu proses untuk memberi dorongan agar proses dapat berjalan sesuai dengan tujuan organisasi. (5) menilai (evaluating) yaitu tindakan untuk menguji gagasan dan tindakan yang dilakukan dengan berbagai pertimbangan, (6) menyimpulkan (summarizing) yaitu kegiatan untuk menampung dan merumuskan gagasan, dan usulan yang muncul, menyederhanakan lalu menyimpulkannya sebagai landasan untuk memikirkan lebih lanjut.
21
Fungsi lainnya dalam kepemimpinan
yang berhubungan dengan
kekompakan dalam kelompok, antara lain: (1) encouraging (mendorong) adalah suatu sikap yang hangat, dan bersahabat dalam menerima orang lain, (2) expressing feeling (mengungkapkan perasaan) adalah tindakan untuk menyatakan perasaan terhadap kerja dan kekompakan kelompok, diungkapkan dalam rasa puas, senang, bangga, dan ikut seperasaan dengan orang-orang yang dipimpinnya pada waktu mengalami kesulitan, kegagalan, dan lain-lain, (3) harmonizing (mendamaikan) yaitu tindakan mendamaikan atau mempertemukan silang pendapat dan menenangkan yang berbeda pendapat tersebut, (4) compromising (mengalah) yaitu kemampuan untuk menyesuaikan pendapat dan perasaan sendiri dengan pendapat dan perasaan bawahan, (5) gatekeeping (kesediaan membantu) adalah kesediaan membantu agar mempermudah penerimaan dalam kelompok tersebut, sehingga semua ikhlas menyumbangkan gagasan-gagasan, (6) setting standards (memasang aturan main) yaitu tindakan membuat dan merancang aturan main dalam kelompok agar kelompok tersebut tertib dan teratur. 2.1.2.3 Teori dan Gaya Kepemimpinan Secara umum, teori kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan sifat (traits): dimana kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat yang terlihat, (2) pendekatan perilaku (behavior): pendekatan kepemimpinan dengan mengidentifikasi perilaku pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif, (3) pendekatan contingency: yaitu pendekatan untuk melihat efektifitas kepemimpinan, dengan melihat situasi, tugas
22
yang dilakukan, ketrampilan, harapan karyawan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu, dan sebagainya (Suwatno et al., 2002). Dalam perkembangannya, teori kepemimpinan mengalami evolusi yang dapat dilihat seperti tabel berikut ini : Tabel 2.1 Evolusi Teori Kepemimpinan Teori Kepemimpinan Teori Manusia Hebat (Great Man Theories)
Keterangan Teori ini berdasarkan keyakinan bahwa pemimpin adalah orang yang spesial, dilahirkan dengan kualitas tertentu untuk menjadi seorang pemimpin.
Teori Sifat (Trait Theories)
Teori ini menjelaskan bahwa dalam memimpin terdapat sejumlah sifat dan kualitas pribadi yang dikaitkan dengan kepemimpinan. Sifat-sifat yang ada terus berkembang, sehingga semua sifat positif manusia masuk didalamnya dalam kepemimpinan ini.
Teori Perilaku (Behaviourist Theories)
Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin, bukan sifatnya. Berbagai pola perilaku positif diteliti dan dikatagorikan sebagai gaya kepemimpinan.
Teori Kepemimpinan Situasional (Situational Leadership Theory)
Teori ini menggunakan pendekatan berdasarkan situasi yang dihadapi pimpinan, ada situasi yang harus dihadapi dengan gaya otoriter, dan ada juga partisipatif. Namun dalam teori ini dianjurkan perlunya gaya kepemimpinan yang berbeda untuk berbagai level dalam organisasi tertentu.
Teori Kontinjensi (Contingency Theory)
Teori ini merupakan penyempurnaan teori situasional, memfokuskan pada identifikasi variabel situasional agar bisa menentukan gaya kepemimpinan yang paling tepat atau efektif pada sebuah organisasi.
Teori Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership Theory)
Teori ini menekankan pada pentingnya hubungan antara pimpinan dan pengikut, berfokus pada manfaat bersama yang didapatkan dari ”kontrak” antara pimpinan dengan pengikut. Pimpinan memberikan balas jasa atau penghargaan untuk mendapatkan loyalitas dan komitmen para pengikutnya, sedangkan karyawan terpenuhi kebutuhanyang diharapkan.
Teori Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership Theory)
Teori ini mempunyai konsep utama adalah perubahan peran kepemimpinan dalam mengarahkan dan menerapkan transformasi/perubahan kinerja suatu organisasi.
Sumber: Gosling et al., (2003)
Salah satu bentuk kepemimpinan yang dapat mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma baru dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai kepemimpinan transformasional, yaitu gaya kepemimpinan yang dapat membangkitkan atau memotivasi karyawan, sehingga dapat berkembang dan mencapai kinerja pada
23
tingkat yang tinggi, melebihi dari apa yang mereka perkirakan sebelumnya seperti dikatakan Bass (2000) dalam Yukl (2009). Untuk menyikapi hubungan antara atasan dan bawahan, model kepemimpinan transformasional ini disempurnakan dengan adanya kesadaran betapa pentingnya hubungan antar keduanya serta posisi masing-masing yang mandiri. Menurut Gosling et al., (2003), dalam model kepemimpinan ini tidak ada pahlawan ataupun pimpinan tunggal, tetapi yang ada adalah sebuah tim, dengan pimpinan yang bersama-sama dengan bawahan, bukan pimpinan yang selalu berada di lini depan, tetapi pimpinan adalah seseorang yang punya kapasitas untuk dianut, ia bukan seorang master, tapi pelayan. Teori
Servant
Leadership
merupakan
pengembangan
dari
teori
kepemimpinan transformasional, dalam penelitiannya, Stone et al., (2003) menyatakan yang membedakan antara servant leadership dan kepemimpinan transformasional adalah pilihan untuk fokus pada orang lain. Servant Leadership bukan merupakan konsep baru yang menyeluruh, demikian juga bukan sebuah ide yang muncul bersamaan dengan datangnya agama Kristen. Banyak para penulis kuno, filosof, sejarawan, pencipta puisi dan dramawan yang peduli dengan nilainilai, ide dan kebenaran yang tertanam dalam konsep Servant Leadership, jauh sebelum kelahiran Jesus. Konsep Servant Leadership merupakan konsep kepemimpinan yang diperkenalkan oleh Greenleaf berupa kepemimpinan moral berbentuk spesifik, didalamnya terdapat komponen moral ekplisit dan penerapannya.
24
Gaya kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan oleh seseorang dalam memimpin dan mempengaruhi perilaku orang lain, dan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pemimpin pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Dalam memimpin, seorang pemimpin tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang sama, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter individu dan tingkat kemampuan. Dalam menerapkan gaya kepemimpinan, pemimpin harus memahami individu bawahan, mengerti kekurangan dan kekuatan bawahan, mengerti cara memanfaatkannya untuk mengimbangi kelemahan pemimpin tersebut. Gaya kepemimpinan adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam mempengaruhi para pengikutnya. Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai tujuan tertentu, seperti dikatakan Hersey (1996) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku (kata-kata dan tindakan-tindakan) dari seorang pemimpin yang dirasakan oleh orang lain. Gatto dalam Salusu (2006) menyatakan bahwa ada empat gaya kepemimpinan yaitu: a) Gaya Direktif adalah seorang pemimpin yang membuat keputusan penting, sekaligus terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Gaya kepemimpinan berpusat pada seorang pemimpin dan bawahan tidak banyak terlibat sehingga tidak mempunyai kreasi. Gaya kepemimpinan seperti ini sering disebut sebagai gaya otoriter.
25
b) Gaya Konsultatif adalah gaya kepemimpinan ini dibangun atas gaya direktif. Pemimpin tidak lagi otoriter dan lebih banyak melakukan interaksi dengan bawahan.
Pemimpin
berfungsi
sebagai
tempat
untuk
berkonsultasi,
memberikan bimbingan, motivasi, memberi nasehat dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. c) Gaya Partisipatif adalah gaya kepemimpinan ini mengedepankan partisipasi dan bertolak dari gaya konsultatif, dimana gaya ini yang bisa berkembang ke arah saling percaya antara pimpinan dan bawahan. Fungsi pimpinan hanya memberi kepercayaan pada kemampuan staf untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka, tanpa meninggalkan kontak konsultasi. Pemimpin lebih banyak mendengar, dan memberi dorongan untuk bekerjasama dalam proses untuk mengambil keputusan tertentu. d) Gaya Delegasi adalah gaya kepemimpinan yang lebih banyak mendorong bawahan untuk mengambil inisiatif sendiri. Gaya kepemipinan ini kurang terjadi interaksi dan kontrol yang dilakukan pemimpin, gaya kepemimpinan ini bisa berjalan bila bawahan mempunyai tingkat kompetensi dan keyakinan yang baik untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Sedangkan White dan Lippit dalam Pasolong (2008), mengemukakan 3 (tiga) gaya kepemimpinan, yaitu : a) Kepemimpinan Otokratis adalah gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin dalam
menentukan
kelompoknya,
dimana
sendiri
kebijakasanaannya,
pemimpin
membuat
membuat
keputusan
rencana
sendiri,
dan
bertanggung jawab penuh. Pemimpin tersebut menentukan atau mendiktekan
26
aktivitas dari anggotanya, bawahan harus patuh atas perintahnya. Dalam kepemimpinan otokrasi terjadi adanya keketatan dalam pengawasan, sehingga sukar bagi bawahan dalam memuaskan kebutuhan pribadinya sendiri. b) Kepemimpinan Demokrasi atau Demokratis adalah gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin yang sering mengadakan konsultasi dengan bawahannya dan aktif bersama bawahannya untuk menentukan rencana kerja. Pemimpin demokratis berfungsi seperti moderator atau koordinator dan tidak memegang peranan seperti pada kepemimpinan otoriter. Pemimpin mengutamakan "human relation" yang baik agar bisa mencapai sasaran organisasi yang telah dicanangkan, sehingga tujuan dapat dicapai bersama-sama. c) Gaya Kepemimpinan Laissez Faire merupakan gaya kepemimpinan dengan kendali bebas, bukan berarti tidak adanya sama sekali pimpinan. Pemimpin mengandaikan bahwa suatu tugas ditujukan kepada kelompok yang sudah biasa menjalankan tugasnya sendiri dengan caranya sendiri dalam mencapai sasaran organisasi. Gaya kepemimpinan ini berjalan atas dasar aktivitas bawahan dan pimpinan kurang melakukan kontrol terhadap bawahan. Dalam hal tanggung jawab, pemimpin akan meletakkan tanggung jawab keputusan sepenuhnya kepada para bawahannya, pemimpin hampir tidak sama sekali memberikan pengarahan, bersifat pasif dan seolah-olah tidak mampu memberikan pengaruhnya dalam pelaksanaan di lapangan. Terry (1972) dalam Nawawi (2010) menambahkan beberapa gaya kepemimpinan dengan teori otokratis, teori psikologis, teori sosiologis, teori supportif, teori laessez faire, teori kelakuan pribadi, teori sifat dan teori situasi.
27
2.1.2.4 Servant Leadership Konsep modern tentang fungsi pimpinan sebagai pelayan diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam tulisan-tulisannya sepanjang dekade tahun 1960an sampai dengan dan tahun 1970an. Greenleaf menolak motif keuntungan jangka pendek yang dangkal, dan mengundang institusi-institusi agar melayani masyarakat secara konstruktif. Servant Leader adalah merupakan kegiatan melayani yang pertama kali harus dilakukan. Diawali dengan perasaan bahwa jika seseorang ingin dilayani, maka ia harus melayani terlebih dahulu, kemudian pilihan yang dilakukan dengan bercita-cita tinggi untuk menjadi pimpinan. Orang tersebut sangat berbeda dengan pimpinan sebelumnya, mungkin karena adanya keharusan memiliki sesuatu yang bersifat material. Tipe ”pemimpin” yang pertama dan tipe ”pelayan” yang merupakan dua hal yang sangat berbeda. Diantara keduanya terdapat gabungan variasi sifat manusia yang tak terbatas (Greenleaf, 1970). Jika Servant Leadership diaplikasikan pada tingkat yang lebih tinggi pada organisasi, maka hal ini akan berdampak pada perilaku pimpinan, manajer, dan penyelia pada berbagai unit organisasi. Bass (2000) menyatakan selain sebagai sebuah gerakan, kekuatan dan jangkauan teori Servant Leadership mampu mendukung pembelajaran karyawan, pertumbuhan, dan penguatan otonom. Teori yang belum diujicobakan akan berperan dalam kepemimpinan mendatang dalam pembelajaran organisasi. Oleh karena sebagian besar organisasi pada semua levelnya harus tetap belajar untuk bisa menyesuaikan dengan perubahan lingkungan, maka Servant Leadership akan
28
menjadi isu yang menarik bagi para pimpinan organisasi agar bisa memberdayakan karyawan dan mendukung perkembangan mereka. Servant Leadership merupakan dasar bagi kepemimpinan efektif. Setelah belajar tentang model kehidupan dan kepemimpinan pada pertengahan 1980an, Blanchard mendeklarasikan Situational Leadership Theory (SLT) menjadi model Servant Leadership. Model Situational Leadership Theory dikembangkan oleh Hersey-Blanchard di Ohio University dan digunakan secara berkesinambungan pada 400 dari 500 program training perusahaan, (Hersey dan Blanchard, 1996). Seorang pimpinan harus menyesuaikan gayanya agar selaras dengan situasi tertentu dan kebutuhan karyawannya. Jika karyawan bisa merasakan bahwa pimpinannya menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan kebutuhan personal karyawan, maka situasi demikian akan memungkinkan pimpinan lebih fokus pada karyawannya, inilah konsep kunci Servant Leadership. Bass (2000) meyakini bahwa Servant Leadership merupakan gerakan, dimana pimpinan harus memiliki tujuan moral, bukan hanya mengandalkan ketrampilan yang berkaitan dengan rasio dan peraturan. Servant Leadership merupakan cara yang lebih baik dan mendalam untuk memimpin, tetapi memang tidak mudah, karena terdiri atas serangkaian standar yang cukup tinggi dan harus dikerjakan. Membangun kompetensi saat berhubungan dengan karyawan merupakan cara terbaik untuk menghasilkan karyawan bermutu dan sebuah organisasi yang potensial. Servant Leadership juga menghasilkan keluaran positif bagi organisasi.
29
Buchen (1998) dan Senge dalam Jaworski (1996) menyatakan bahwa Servant Leadership akan menghasilkan shared leadership (kepemimpinan berbagi) yang menyeimbangkan ego dan kekuasaan pada seorang pimpinan. Terdapat konsensus pada kepemimpinan berbagi karena servant leader akan menggunakan posisi dan kekuasaannya untuk memberdayakan orang lain yang dipimpin dan bekerjasama dengannya sebagai partner dalam komunitasnya. Pimpinan yang berada pada posisi berkuasa akan menjadi sangat berkuasa ketika harus menyerahkan kekuasannya pada orang lain. Russel dan Stone (2002) mengidentifikasi 10 karakteristik Servant Leadership sesuai dengan pernyataan Greenleaf (1970) sebagai berikut: 1) Listening (mendengarkan) adalah melakukan komunikasi yang akurat dalam menjalankan kepemimpinan merupakan hal penting sebagai aktivitas menghargai orang lain. Pemimpin yang melayani sebenarnya adalah orang yang mau ”mendengarkan” dalam menanggapi masalah. 2) Empathy (empati) merupakan kemampuan dalam mendengarkan kata hati orang lain. Pelayan yang baik selalu berempati, karena memimpin dengan empati akan menjadikan pemimpin yang mengerti keadaan orang lain. 3) Healing (membuat utuh) adalah pemimpin yang melayani mengakui adanya keinginan manusia untuk berbagi agar menemukan keutuhan diri pribadi, dan mendukung kebutuhan manusia. 4) Awareness (kepedulian) adalah pemimpin yang mempunyai kepedulian akan dapat memimpin dengan baik dan selalu memahami keadaan bawahan atau orang lain. 5) Persuasion (persuasi) dimana kepemimpinan melayani yang efektif akan membangun konsensus kelompok secara terus menerus, tetapi tidak menggunakan
30
kekuasaan untuk menekan kenyamanan kelompok. Dalam mempengaruhi bawahan dan mencapai tujuan organisasi, Servant Leadership menggunakan pendekatan personal. 6) Conceptualization (konseptual) dimana Servant Leader mampu menemukan solusi untuk persoalan yang dihadapi dengan konsep yang jelas. 7) Foresight (melihat ke depan) dimana pemimpin mengetahui sebelumnya atau melihat ke depan itu lebih baik daripada menebak apa yang akan terjadi nantinya. 8) Stewardship (mengurusi) yaitu mengurus individu dalam organisasi, yang akan berdampak positif terhadap hubungan masyarakat sekelilingnya. 9) Commitment to the growth of people (berkomitmen terhadap perkembangan masyarakat) dimana pemimpin yang melayani akan menghargai dan mendorong orang lain, bersedia menyatukan kelompok dengan mendukung mereka agar tumbuh dan berkembang. 10) Building community (membangun komunitas) adalah membangun kembali komunitas tersebut yang membutuhkan bentuk kehidupan yang nyata, dimana seorang pemimpin yang melayani akan menunjukkan cara kepemimpinan yang ada di komunitas tersebut. Kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan adalah kepemimpinan yang menekankan pada pelayanan kepada orang lain, dengan melakukan pendekatan holistik kepada pekerjaan, rasa kemasyarakatan dan kekuasaan pembuatan keputusan yang dibagi bersama dengan pihak lain (Nawawi, 2010). Untuk mengukur Servant Leadership tersebut, maka Wong dan Page (2003) mengembangkan kerangka kerja konseptual sebagai berikut: 1) Orientasi Karakter, untuk melihat seorang pemimpin yang berkaitan dengan penanaman sikap melayani, berfokus pada nilai, kredibilitas, dan
31
motif seorang pimpinan yaitu (1). integritas, (2). pelayanan dan (3). kerendahan hati. 2) Orientasi Masyarakat, pemimpin yang selalu berhubungan dengan orang lain atau masyarakat sekelilingnya, terkait dengan pengembangan sumber daya, berfokus pada hubungan pimpinan dengan masyarakat dan komitmennya untuk mengembangkan orang lain, yaitu: (1). peduli terhadap orang lain, (2). memberdayakan orang lain, (3). mengembangkan orang lain disekitarnya. 3) Orientasi Tugas, terkait dengan yang dikerjakan seorang pemimpin dengan pencapaian produktivitas dan keberhasilan, berfokus pada tugas dan kemampuan yang dibutuhkan seorang pimpinan untuk mencapai keberhasilan, yakni : (1). bervisi, (2). merancang tujuan, (3). memimpin 4) Orientasi Proses, terkait dengan proses yang dilakukan pemimpin dalam mempengaruhi bawahan, dengan peningkatan efisiensi dalam organisasi, berfokus
pada
kemampuan
pimpinan
untuk
mewujudkan
dan
mengembangkan sistem yang luwes, efisien, dan terbuka, yaitu : (1). menjadi panutan, (2). membangun tim kerja, (3). berbagi dalam pengambilan keputusan secara bersama-sama. 2.1.3
Budaya Organisasi
2.1.3.1 Pengertian Budaya Organisasi Sifat hakiki manusia sebagai makluk sosial adalah selalu ingin hidup berkelompok dalam masyarakat, manusia mempunyai kecenderungan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia mempunyai keterbatasan untuk
32
mencapai kebutuhan dan tujuan hidupnya, maka harus bekerja sama dengan manusia lainnya yang secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Budaya organisasi menjadi landasan individu-individu untuk menyatukan langkah dalam mencapai tujuan organisasi (Gudono,2012). Oleh karenanya manusia selalu hidup dalam berbagai macam kelompok seperti perusahaan, koperasi mahasiswa, perguruan tinggi dan berbagai macam organisasi lainnya. Definisi organisasi dalam konteks administrasi dikemukakan oleh Boone dan Kurtz dan ditulis kembali oleh Dharmamesta dan Sukotjo (1997) adalah suatu proses tersusun yang orang-orangnya berinteraksi untuk mencapai tujuan. Definisi organisasi bersifat kontekstual artinya hampir setiap disiplin ilmu dapat mendefinisikan artinya sesuai disiplin ilmunya masing-masing. Banyaknya definisi dari organisasi mengindikasikan bahwa permasalahan organisasi adalah permasalahan multidisipliner dan tidak dapat dimonopoli oleh satu disiplin ilmu saja. Armstrong (2009) mengemukakan budaya merupakan alat perekat sosial dan menghasilkan kedekatan, sehingga dapat memperkecil diferensiasi dalam sebuah organisasi. Dengan demikian budaya organisasi juga memberikan makna bersama sebagai dasar dalam berkomunikasi dan memberikan rasa saling pengertian. Fungsi budaya ini tidak dilakukan dengan baik, maka budaya secara signifikan dapat mengurangi efisiensi organisasi. Budaya organisasi adalah perekat sosial yang mengikat anggota organisasi. Karakteristik atau kepribadian yang berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lain dapat disatukan dalam suatu kekuatan organisasi maka perlu adanya perekat sosial (Kreitner dan
33
Kinicki, 2005). Dalam dunia bisnis, organisasi dapat berbentuk perusahaan, koperasi atau badan usaha lainnya. Keterkaitan antara budaya dengan budaya perusahaan dapat dijelaskan bahwa budaya merupakan sistem makna yang dianut oleh masyarakat pada suatu wilayah tertentu dan budaya sebagai pedoman hidup, sedangkan budaya perusahaan merupakan suatu sistem makna yang diyakini dan dianut sebagai pola perilaku maupun cara pandang terhadap suatu hal oleh seluruh komponen perusahaan bersangkutan. Wilayah budaya perusahaan sangat dipengaruhi oleh keyakinan para pendiri perusahaan, dimana akhirnya membentuk nilai-nilai ideal pada perusahaan tersebut (Harwiki, 2013). Awal mula pembahasan budaya organisasi setelah munculnya tulisan Andrew Pettigrew yang berjudul “On studying organizational culture” yang dimuat administrative science quartely pada tahun 1979 (Sobirin, 1997). Tulisan tersebut mengubah paradigma yang memandang organisasi tidak hanya dipandang dari aspek formalnya, namun juga terdapat aspek informal yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kinerja perusahaan. Kemudian keterkaitan antara budaya organisasi dengan kinerja karyawan. Budaya organisasi merupakan sistem kontrol sosial di dalam organisasi sehingga anggota organisasi tersebut mempunyai satu kebudayaan yang relatif sama, sehingga berdampak pada perilaku dan pola pikir anggota yang lain. Dengan demikian organisasi dapat lebih efektif menuju sasaran perusahaan yang telah dicanangkan. Budaya organisasi adalah suatu alat dalam menafsirkan kehidupan dan perilaku dari organisasinya, budaya yang kuat merupakan alat yang sangat
34
bermanfaat untuk mengarahkan perilaku, karena dapat membantu karyawan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik sehingga setiap karyawan dapat memahami budaya dan bagaimana budaya tersebut diterapkan. Budaya organisasi sebagai ”perekat normatif” yang mengikat kebersamaan dalam organisasi seperti yang dikemukakan Tichy (1982), budaya adalah serangkaian karakteristik yang menggambarkan organisasi dan yang membedakan dengan lainnya. Schein (1997) mengemukakan bahwa salah satu ahli organisasi dan manajemen terkemuka juga memberikan definisi formal terhadap budaya perusahaan yaitu sebuah pola asumsi dasar bersama dimana kelompok tersebut belajar untuk memecahkan masalah eksternal dan internal, dengan kerja yang baik dan valid, dengan pemikiran kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah tersebut. Budaya perusahaan adalah suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang diterima, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal atau integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota organisasi baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut. Definisi Schein tersebut memperlihatkan budaya perusahaan memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi, budaya organisasi juga merupakan instrumen untuk menentukan arah organisasi, budaya organisasi juga dapat mengalokasikan
35
sumber daya dan mengelola sumber daya organisasional, serta digunakan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal. Secara mendasar fungsi dari budaya organisasi adalah sebagai sistem kontrol sosial bagi anggota organisasi untuk mengendalikan perilaku yang diharapkan sesuai tujuan perusahaan sehingga tujuan perusahaan yang telah direncanakan jauh-jauh hari dapat terlaksana. Budaya organisasi juga terkait erat dalam program organization development, yang terkait erat dalam program, intervensi keorganisasian, struktur organisasi, dan pada akhirnya menyentuh aktifitas perencanaan sumberdaya manusia, pengembangan, pendidikan dan pelatihan agar sumberdaya yang ada memiliki nilai budaya yang kuat, adaptif dan sesuai dengan tuntutan yang ada. Menon et al., (1999) mengemukakan fokus organisasi saat ini terbagi atas 2 elemen dasar yaitu, struktur organisasi dan budaya organisasi. Struktur organisasi terbagi atas sentralisasi dan formalitas, karena keberadaannya dianggap sebagai faktor pengukur keberhasilan kinerja organisasi, sedangkan budaya organisasi mempunyai peran dalam pengembangan sebuah strategi. Budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar yang dimiliki bersama yang didapat oleh suatu perusahaan ketika memecahkan masalah penyesuaian internal dan external, berhasil cukup baik dan dianggap sah. Oleh karena itu disampaikan pada anggota baru sebagai cara yang tepat untuk menerima, berfikir, dan merasa berhubungan dengan masalah tersebut. Jadi budaya organisasi adalah belajar berhubungan dengan lingkungan, demikian dikatakan Schein dalam Luthans (2006).
36
Organisasi yang berbentuk koperasi merupakan salah satu organisasi ekonomi yang saat ini berkembang pesat di Indonesia, dimana koperasi mengemban misi ganda, yaitu misi sosial dan misi ekonomi. Sehingga budaya organisasi yang berkembang pada koperasi berbeda dengan budaya organisasi yang berkembang pada bentuk organisasi ekonomi lainnya seperti pada badan usaha ekonomi lainnya, dimana pada badan usaha biasa selalu berorientasi pada laba. Dengan demikian budaya organisasi pada koperasi akan mempengaruhi kinerja koperasi tersebut, sebagai organisasi ekonomi yang mengemban misi sosial, maka budaya organisasi yang berkembang pada koperasi lebih cenderung mengacu kepada sikap budi pekerti mulia yang terangkum dalam lima pilar (Hidayatullah, 2009) yaitu: (1) integritas: yaitu menjaga martabat, budaya ini sikap kepada seluruh karyawannya agar mengawali setiap langkah kerja dengan niat dan hati tulus, berpikir jernih, bicara benar, sikap terpuji dan perilaku teladan, (2)
konsisten: merupakan kunci menuju
sukses, organisasi menanamkan sikap untuk berpegang teguh pada komitmen, sikap optimis, pantang menyerah, kesabaran dan percaya diri,
(3) profesionalisme :
merupakan gaya kerja, watak yang menunjukkan semangat belajar berkelanjutan, cerdas, inovatif, terampil dan adil yang ditanamkan oleh organisasi pada karyawan, (4) tanggung-jawab: yaitu terpercaya menjadi cepat tanggap, obyektif, akurat dan disiplin, dan (5) kepemimpinan: sikap untuk mengajak dan memberi contoh kepada yang lain dengan kasih sayang, selalu transparan, membimbing, visioner, komunikatif dan memberdayakan. Budaya organisasi yang berkembang dengan baik pada koperasi akan meningkatkan kinerja koperasi. Budaya organisasi pada koperasi akan membentuk
37
identitas atau jati diri koperasi, hal ini sangat diperlukan untuk menumbuhkan kebanggaan karyawan dan anggota koperasi (Ernita, 2011). Budaya kerja yang terbentuk secara solid di dalam tubuh koperasi tidak hanya meningkatkan kinerja koperasi tetapi juga membentuk citra baik koperasi. Suatu budaya yang kuat ditandai oleh nilai-nilai inti yang dipegang kukuh dan disepakati secara luas. Semakin banyak anggota organisasi koperasi yang terdiri pengurus, karyawan dan anggota dapat menerima nilai-nilai inti tersebut maka semakin kuat budaya organisasinya. 2.1.3.2 Manfaat Budaya Organisasi Susanto (1997) mengemukakan bahwa budaya perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai daya saing andalan organisasi dalam menjawab tantangan dan perubahan. Budaya organisasi pun dapat berfungsi sebagai rantai pengikat dalam proses menyamakan persepsi atau arah pandang anggota terhadap suatu permasalahan, sehingga akan menjadi satu kekuatan dalam pencapaian tujuan organisasi. Robbins (2001) juga mengemukakan adanya 10 (sepuluh) karakteristik kunci yang merupakan inti budaya organisasi, yakni : 1) Member identity, yaitu identitas anggota dalam organisasi secara keseluruhan, dibandingkan dengan identitas dalam kelompok kerja atau bidang profesi masing-masing, 2) Group emphasis, yaitu besarnya aktivitas kerja bersama dibandingkan kerja individual, 3) People focus, yaitu keputusan manajemen yang diambil digunakan untuk mempertimbangkan keputusan tersebut bagi anggota organisasi,
38
4) Unit integration, yaitu seberapa jauh unit-unit di dalam organisasi dikondisikan untuk beroperasi secara terkoordinasi, 5) Control, yaitu banyaknya / jumlah peraturan dan pengawasan langsung digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku karyawan, 6) Risk tolerance, yaitu besarnya dorongan terhadap karyawan untuk menjadi lebih agresif, inovatif, dan berani mengambil risiko, 7) Reward criteria, yaitu berapa besar imbalan dialokasikan sesuai dengan kinerja karyawan dibandingkan alokasi berdasarkan senioritas, favoritisme, atau faktor-faktor nonkinerja lainnya, 8) Conflict tolerance, yaitu besarnya dorongan yang diberikan kepada karyawan untuk bersikap terbuka terhadap konflik dan kritik, 9) Means-ends orientation, yaitu intensitas manajemen dalam menekankan pada penyebab atau hasil, dibandingkan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mengembangkan hasil, 10) Open-system focus, yaitu besarnya pengawasan organisasi dan respon yang diberikan untuk mengubah lingkungan eksternal. Juga dijelaskan manfaat budaya organisasi, yaitu: 1) Membatasi peran untuk membedakan antara organisasi yang satu dengan organisasi lain karena setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda sehingga perlu memiliki akar budaya yang kuat dalam sistem dan kegiatan yang ada di dalamnya.
39
2) Menimbulkan rasa memiliki identitas bagi anggota; dengan budaya yang kuat anggota organisasi akan merasa memiliki identitas yang merupakan ciri khas organisasinya, 3) Mementingkan tujuan bersama daripada mengutamakan kepentingan individu, 4) Menjaga stabilitas organisasi; komponen-komponen organisasi yang direkatkan oleh pemahaman budaya yang sama akan membuat kondisi internal organisasi relatif stabil. Dari empat fungsi tersebut, maka budaya dapat membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan kegiatan organisasinya. Sehingga perlu ditanamkan nilai-nilai pada setiap anggota organisasi, sehingga terbentuk menjadi budaya. Masih menurut Robbins (2006) untuk mempertahankan budaya organisasi dapat melalui 3 (tiga) kekuatan, yaitu: praktek seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Budaya Organisasi juga akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, sehingga penerapan budaya organisasi sangat penting dalam sebuah organisasi (Nawawi, 2010). 2.1.3.3 Tipe Budaya Organisasi Kotter dan Heskett (1992) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) tipe budaya organisasi, yaitu: (a) Budaya kuat dan budaya lemah, (b) Budaya yang selaras dan strategis, dan (c) Budaya yang adaptif dan tidak adaptif. (a) Budaya kuat dan budaya lemah: Nilai-nilai, norma-norma, dan asumsiasumsi yang terinternalisasi dan dipegang kuat oleh anggota organisasi akan melahirkan perasaan tenang, komitmen, loyalitas, dan terpacu bekerja lebih
40
baik, kohesivitas, keseragaman sasaran, pengendalian perilaku, dan produktivitas. Logika tentang kekuatan budaya berhubungan dengan kinerja, meliputi 3 (tiga) gagasan yaitu: penyatuan tujuan, penciptaan motivasi, komitmen, dan loyalitas luar biasa pada diri anggota organisasi, dan menciptakan struktur dan kontrol yang dibutuhkan tanpa harus bersandar pada birokrasi formal sehingga bisa menimbulkan inovasi dan motivasi. (b) Budaya yang selaras dan strategis: Kandungan budaya yang cocok dan serasi dengan kondisi obyektif organisasi adalah sangat penting. Sebuah budaya dikatakan baik bila selaras dan serasi dengan konteks bisnis dalam karakeristik
lingkungan
industrinya
dan
segmen
industri
yang
dispesifikasikan oleh strategi organisasi. Makin besar keserasian dan keselarasan budaya dengan lingkungannya, maka makin baik kinerja anggota dan organisasinya, demikian juga makin kurang serasi dengan lingkungan, maka makin buruk kinerjanya. Oleh karena itu, tak ditemukan kriteria umum tentang bagaimana hakikat budaya yang baik dan bersifat sama ukurannya bagi semua organisasi dan bisa berfungsi baik dalam keadaan apa pun. (c) Budaya yang adaptif dan tidak adaptif: Kinerja tinggi para anggota dan organisasi dalam jangka waktu lama, hanya bisa diasosiasikan dan dihubungkan dengan budaya yang helpful, antisipatif, dan adaptif terhadap lingkungan. Organisasi harus senantiasa mengarahkan budaya organisasi agar menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Makna terpenting teori ini adalah: bahwa organisasi dengan budaya adaptif akan memunculkan
41
kepemimpinan dan kepeloporan perubahan dalam strategi dan taktik tiap saat diperlukan untuk memuaskan para stakeholder, dan stockholder. Sebaliknya organisasi dengan budaya tak adaptif, maka jajaran manajer dan seluruh tingkatan organisasi akan cenderung berperilaku sangat hati-hati dan politicking agar diri sendiri, kelompok dan produknya selalu progresif dan terlindungi. Handy (2003) menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) tipe budaya organisasi berdasarkan pada tingkat sentralisasi dan formalisasi, yaitu: (1) Formalisasi tinggi, sentralisasi tinggi: yaitu budaya birokrasi dimana semua pekerjaan sudah diatur secara sistematis melalui berbagai prosedur, dan akan disertai time and motion study bila diperlukan. Oleh karena itu, porsi pekerjaan anggota organisasi bersifat rutin dan telah ditetapkan sebelumnya. (2) Formalisasi rendah, sentralisasi tinggi: dalam budaya organisasi tipe ini, tak banyak ditemui, banyak peraturan dan prosedur. Kekuasaan tertinggi ada pada seseorang atau sekelompok kecil sebagai pemberi komando dari pusat. (3) Formalisasi tinggi, sentralisasi rendah: budaya organisasi tipe ini banyak ditemui pada kelompok kerja interdisipliner terorganisir yang bekerja berdasarkan tugas atau proyek tertentu. Cara kerja kelompok budaya organisasi semacam ini, akan independen terorganisir dan terikat dalam berbagai prosedur yang ketat.
42
(4) Formalisasi rendah, sentralisasi rendah: merupakan tipe budaya organisasi yang terdesentralisasi dan informal. Semua anggota organisasi memiliki tujuan dan kepentingan yang sama, tetapi masih bisa menikmati kebebasan individu yang besar. Timbulnya tipe budaya organisasi semacam ini ditandai dengan bergabungnya para ahli yang saling mandiri untuk bekerjasama berdasarkan kesamaan interest, dan kesenangan, misalnya kelompok individu yang tergabung dalam konsultan. 2.1.3.4 Dimensi-dimensi Budaya Organisasi Schein (1990) menggunakan dimensi-dimensi untuk membedakan budaya organisasi yang meliputi 10 (sepuluh) karakteristik budaya organisasi mencakup: (a) observe behavior: bahasa, pakaian, tradisi; (b) group norms: standar dan nilai; (c) expoused values: pemberitahuan, pengumuman untuk umum; (d) formal philosophy: misi; (e) rules of game: peraturan untuk semua organisasi; (f) climate: iklim kelompok dalam berenteraksi; (g) embedded skills; (h) kebiasaan berfikir, bertindak, paradigma dan berbagi pengetahuan dalam bersosialisasi; (i) berbagi makna dalan kelompok; dan (j) metaphorsa atau simbol, sedangkan Luthans (2005) menyebutkan 6 (enam) karakteristik penting budaya organisasi adalah: (a) observed behavioral regularities, adalah keteraturan cara bertindak para anggota organisasi yang bisa diamati. Jika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lain, mereka sangat mungkin untuk menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (b) norms: adalah berbagai standar perilaku yang ada, didalamnya termasuk pedoman untuk menyelesaikan pekerjaan; (c) dominant values: yaitu tersedianya nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota
43
organisasi, misalnya tentang pelayanan prima bagi pelanggan, delivery tepat dan cepat, atau dan efisiensi; (d) philosophy: adanya kebijakan yang berkaitan dengan keyakinan dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan; (e) rules: yaitu adanya pedoman yang ketat, terkait dengan kemajuan organisasi; (f) organization climate: yaitu perasaan menyeluruh (an overall feeling) yang tergambarkan dan tampak dalam kondidi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memerlakukan diri serta konsumen. Schein (1990) menjelaskan bahwa dalam budaya organisasi ditemukan 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (a) artefak, adalah ketika budaya bersifat kasat mata tapi sering tak bisa diartikan; (b) nilai, yaitu sesuatu yang memiliki tingkat kesadaran lebih tinggi daripada artefak; dan (c) asumsi dasar. Asumsi-asumsi dasar tersebut selanjutnya dijabarkan dalam teori Schein (1990) ke dalam 7 (tujuh) dimensi yaitu: (a) hubungan dengan lingkungan; (b) hakikat kegiatan manusia; (c) hakikat realistis dan kebenaran; (d) hakikat waktu; (e) hakikat sifat manusia, (f) hakikat hubunga antra manusia; dan (g) homogenity versus diversity. Hofstede (1980) menyebutkan 4 (empat) dimensi budaya organisasi, adalah: (a) penghindaran atas ketidakpastian adalah tingkat yang menunjukkan kondisi masyarakat dalam ketidakpastian, merasa tidak nyaman, dan ambiguitas. Perasaan demikian akan mengarahkan anggota organisasi untuk menjaga lembaga-lembaga yang melindungi penyesuaian. Anggota organisasi yang memiliki penghindaran ketidakpastian kuat, akan terus mempertahankan kepercayaan dan perilaku yang ketat dan tidak toleran terhadap orang atau ide yang menyimpang. Sebaliknya masyarakat yang memiliki penghindaran
44
ketidakpastian lemah, akan terus berupaya menjaga suasana santai, dan mempunyai anggapan bahwa ”praktek” itu melebihi “prinsip”, serta bersedia mentolerir penyimpangan; (b) Maskulin dan feminin. Tingkat maskulinitas adalah kecenderungan dalam masyarakat tentang prestasi, kepahlawanan, ketegasan dan keberhasilan materiil.
Sebaliknya, feminin akan selalu berkait
dengan
kesederhanaan, kecenderungan tentang hubungan, perhatian ke pihak lemah, dan kualitas kehidupan. (c) Individualisme dan kebersamaan, individualisme adalah kecenderungan seseorang untuk menjaga diri dan kelompoknya, sedangkan kolektivisme adalah kecenderungan seseorang untuk mendapatkan perlindungan dari kelompoknya atas loyalitas dan pengorbanan yang telah diberikan. (d) Jarak kekuasaan merupakan ukuran yang diterima kelompok atas kekuasaan organisasi yang tak terdistribusikan secara merata. Kondisi ini akan memengaruhi perilaku anggota organisasi, baik yang sedang, kurang atau pun tidak berkuasa. Gibson (1997) mengemukakan 7 (tujuh) dimensi budaya meliputi: hubungan manusia dengan alam, individualisme versus kolektivisme, orientasi waktu, orientasi aktivitas, informalitas, bahasa, dan kepercayaan. Gibson James (1998) menyebutkan 9 (sembilan) dimensi budaya organisasi adalah: (a) inisiatif individu, tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi individu, (b) toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sebesar dan sejauh mana anggota organisasi diberikan kesempatan untuk bertindak inovatif, agresif, dan beresiko. (c) arah, adalah sejauh mana organisasi mampu membuat sasaran dan harapan tentang prestasi dengan jelas bagi anggota, (d) integrasi, adalah dorongan bagi unit dalam organisasi untuk beraktivitas dengan koordinatif, (e) dukungan
45
manajemen, adalah kemampuan manajemen untuk berkomunikasi dan memberi bantuan pada karyawan di tingkat bawahnya, (f) identitas, adalah seberapa jauh anggota organisasi mampu mengidentifisir diri secara menyeluruh jika dibandingkan dengan kelompok kerja dengan bidang keahlian tertentu, (g) sistem imbalan, adalah sebaik apa alokasi imbalan diberikan atas kriteria yang berkebalikan dengan senioritas, dan sikap kedekatan, serta kriteria negatif lainnya, (h) toleransi terhadap konflik: adalah situasi dimana anggota organisasi didorong untuk menyatakan kritik secara terbuka, dan dihadapkan pada konflik yang terkendali, (i) pola komunikasi, adalah rentang komunikasi yang terjadi dalam organisasi dan dibatasi oleh hirarki kewenangan formal. 2.1.4 Kepuasan Kerja 2.1.4.1 Pengertian Kepuasan Kerja Hasibuan (2007) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan merupakan hal yang sangat penting sehingga harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat, hal ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja juga dapat dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Yang dimaksud dengan kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Seorang karyawan
46
yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting. Definisi kepuasan kerja merupakan perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut (Robbins dan Judge, 2009). Sedangkan Kinicki dan Kreitner (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai
respon
sikap
atau
emosi
terhadap
berbagai
segi
pekerjaan
seseorang. Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu seseorang dapat secara relatif dipuaskan dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak puas dengan satu atau berbagai aspek. Kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif dan menyenangkan sebagai hasil dari penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan seseorang. 2.1.4.2
Respon terhadap ketidakpuasan kerja Robins dan Judge (2009) menerangkan dalam suatu ketidakpuasan kerja
ada 4 (empat) respon yang berbeda satu sama lain dalam 2 (dua) dimensi yaitu konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Exit, ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku, yaitu diarahkan pada meninggalkan organisasi, seperti mencari posisi baru atau mengundurkan diri. 2) Voice, ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan, seperti menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. 3) Loyalty, ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, misalnya dengan berbicara dalam forum untuk mengkritik organisasi dan mempercayai organisasi dan
47
manajemen melakukan hal yang benar. 4) Neglect, ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif membiarkan
kondisi
semakin
buruk,
termasuk
kemangkiran
atau
keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan. 2.1.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja Ada beberapa factor yang mempengaruhi kepuasan kerja, menurut Hasibuan (2007) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor: 1) Balas jasa yang adil dan layak. 2) Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. 3) Berat ringannya pekerjaan. 4) Suasana dan lingkungan pekerjaan. 5) Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6) Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. 7) Sifat pekerjaan monoton atau tidak. Kepuasan kerja karyawan juga banyak dipengaruhi oleh sikap pimpinan dalam kepemimpinan. Gaya kepemimpinan partisipasi dapat memberikan kepuasan kerja bagi karyawan, hal ini dikarenakan karyawan ikut aktif dalam memberikan pendapatnya untuk menentukan kebijaksanan perusahaan. Pada kepemimpinan otoriter banyak mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja karyawan ini juga merupakan kunci pendorong moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan.
48
Menurut Robbins dan Judge (2009) ada 21 (dua puluh satu) faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu otonomi dan kebebasan, karir benefit, kesempatan untuk maju, kesempatan pengembangan karir, kompensasi/gaji, komunikasi antara karyawan dan manajemen, kontribusi pekerjaan terhadap sasaran organisasi, perasaan aman dilingkungan kerja, kefleksibelan untuk menyeimbangkan kehidupan dan persoalan kerja, keamanan pekerjaan, komitmen organisasi untuk pengembangan, training spesifik pekerjaan, pengakuan manajemen
terhadap
kinerja
karyawan,
keberartian
pekerjaan,
jejaring,
kesempatan untuk menggunakan kemampuan atau keahlian, budaya perusahaan secara keseluruhan, hubungan sesama karyawan, hubungan dengan atasan langsung, pekerjaan itu sendiri, keberagaman pekerjaan. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, dengan mengingat dimensi-dimensi paling penting yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, promosi, pengawasan, dan rekan kerja (Luthans, 2005).
Byars (2001),
menyatakan bahwa sistem reward organisasi sering mempunyai dampak signifikan pada tingkat kepuasan kerja karyawan. Selain dampak langsung, cara reward extrinsik diberikan dapat mempengaruhi reward intrinsik dan juga kepuasan dari penerima. Hal ini dapat dijelaskan jika tiap orang menerima peningkatan gaji 5 persen adalah akan sulit untuk mendapatkan penyelesaian reward. Namun jika kenaikan gaji dikaitkan langsung dengan kinerja, seorang karyawan yang menerima peningkatan gaji yang besar akan lebih mungkin mengalami perasaan penyelesaian dan kepuasan.
49
Kepuasan kerja dapat dikelompokkan dalam 5 (lima) komponen utama kepuasan kerja yaitu: 1) Sikap terhadap kelompok kerja 2) Kondisi umum pekerjaan 3) Sikap terhadap perusahaan 4) Keuntungan secara ekonomi 5) Sikap terhadap manajemen Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat 5 (lima) faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan yaitu: 1) Need fulfillment atau pemenuhan kebutuhan, model ini menerangkan bahwa kepuasan ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2) Discrepancies atau perbedaan, model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan dapat mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas karena adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan. 3) Value attainment atau pencapaian nilai, gagasan ini adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4) Equity atau keadilan, model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan
50
fungsi dari seberapa keadilan individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya. 5) Dispositional/genetic components atau komponen genetik, menyatakan bahwa seorang rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. 2.1.4.4 Manfaat Kepuasan Kerja Menurut penelitian yang dilakukan oleh Robbin dan Judge (2009), meyebutkan bahwa kepuasan kerja akan memberikan manfaat antara lain sebagai berikut: (a) Menimbulkan peningkatan kebahagiaan hidup karyawan. (b) Peningkatan produktivitas dan prestasi kerja. (c) Pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan. (d) Meningkatkan gairah dan semangat kerja. (e) Mengurangi tingkat absensi (f) Mengurangi labor turn over (perputaran tenaga kerja) (g) Mengurangi tingkat kecelakaan kerja (h) Mengurangi keselamatan kerja (i) Meningkatkan motivasi kerja (j) Menimbulkan kematangan psikologis.
51
(k) Menimbulkan sikap positif terhadap pekerjaannya.
Menurut Siagian (1994) ada beberapa faktor yang dapat digunakan oleh manajemen untuk memuaskan kebutuhan para anggota, antara lain: 1. Adanya tujuan yang jelas, untuk tujuan jangka panjang, sedang maupun jangka pendek. 2. Proses kebijaksanaan yang melibatkan semua unsur dalam organisasi, paling sedikit sebagai sumber informasi dan input. 3. Proses pengambilan keputusan yang demokratis dengan mendengar pendapat unsur pelakasana. 4. Proses pelaksanaan yang didasarkan atas pembagian tugas yang jelas. 5. Pendelegasian wewenang yang menggairahkan pengembangan daya inovasi dan kreasi anggota organisasi. 6. Pengawasan yang bersifat mendidik atau bukan untuk mencari alasan bagi pimpinan untuk bertindak punitif. 7. Penggunaan sistem umpan balik secara efektif dalam keseluruhan proses manajemen. 2.1.4.5 Efek Kepuasan Kerja Kepuasan kerja sangat berpengaruh terhadap perkembangan perusahaan, sehingga pimpinan diharapkan mampu menumbuhkan budaya organisasi yang dapat meningkatkan kepuasan kerja. Menurut Robbins (2001) ada 4 (empat) respon karyawan terhadap kepuasan kerja yaitu: a. Penilaian untuk tetap bertahan dalam organisasi. b. Tidak melakukan upaya menuggu baiknya kondisi organisasi secara pasif.
52
c. Tidak melakukan upaya aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi. d. Tetap perduli dengan kondisi organisasi. Kepuasan kerja yang tinggi sangat diharapkan oleh para pimpinan perusahaan, karena dapat dikaitkan dengan hasil positif yang mereka harapkan. Menurut Umar (2000) dampak kerja perlu dipantau dengan mengaitkannya pada output yang dihasilkan seperti: a. Kepuasan kerja dengan produktifitas. b. Kepuasan kerja dengan turn over. c. Kepuasan kerja dengan absensi d. Kepuasan kerja dengan efek lainnya seperti dengan kesehatan fisik mental, kemampuan mempelajari pekerjaan baru dan kecelakaan kerja. Siagian (1994) menyatakan bahwa karyawan yang produktif adalah mereka yang merasa bahagia dalam kepentingannya. Dari teori sumberdaya manusia diketahui bahwa terdapat empat variabel yang menjadi indikator bahagia tidaknya karyawan dalam berkarya yaitu tingkat produktifitas yang tinggi, tingkat kemangkiran yang rendah, tingkat perpindahan karyawan yang rendah dan kepuasan kerja yang tinggi. Kepuasan kerja juga dapat mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya.
53
2.1.5 Kinerja Organisasi 2.1.5.1 Pengertian Kinerja Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut (Bastian, 2001). Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (per individu) dan kinerja organisasi. Konsep kinerja dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment (Rue dan Byars, 1981 dalam Keban, 1995). Kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan sudah ditetapkan sebelumnya. Kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Atau kinerja merupakan produk dari kegiatan administrasi, yaitu kegiatan kerjasama dalam sebuah organisasi atau kelompok untuk mencapai tujuan yang pengelolaannya menggunakan sistem manajemen. Kinerja merupakan sebuah hasil (output) dari suatu proses yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber tertentu yang digunakan (input). Kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu organisasi. Dalam kerangka organisasi terdapat hubungan antara kinerja perorangan (Individual Performance) dengan kinerja organisasi (Organization Performance). Organisasi besar maupun kecil dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan harus melalui kegiatankegiatan yang digerakkan oleh orang atau sekelompok orang yang aktif berperan sebagai pelaku, sehingga dapat mencapai tujuan organisasi. Meningkatkan kinerja
54
dalam sebuah organisasi merupakan tujuan atau target yang ingin dicapai oleh organisasi dalam memaksimalkan suatu kegiatan. 2.1.5.2 Pengertian Organisasi Difinisi organisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu. “Organisasi ialah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seseorang / beberapa orang yang disebut atasan dan seorang / sekelompok orang yang disebut dengan bawahan.” (Armosudiro, 2006). Ada juga yang mengartikan organisasi adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu organisasi di bentuk karena mempunyai dasar dan tujuan yang ingin dicapai, organisasi adalah bentuk perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan bersama. Akan tetapi perlu kita fahami bahwa yang menjadi dasar organisasi, yang dipentingkan bukan siapa orang yang akan memegang organisasi, tetapi “apakah” tugas dari organisasi. (Mooney, 1996) 2.1.5.3 Pengertian Kinerja Organisasi Kinerja organisasi merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai dan mencerminkan keberhasilan suatu organisasi, serta merupakan hasil yang dicapai dari perilaku anggota organisasi. Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang dilakukan oleh seluruh
55
komponen organisasi terhadap sumber-sumber tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu organisasi. Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi (Surjadi, 2009). Kinerja organisasi merupakan sesuatu yang telah dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan input, output, outcome, benefit, maupun impact. Indikator dalam melihat kinerja adalah sebagai berikut : 1. Keluaran (Output) 2. Hasil 3. Kaitan Usaha dengan Pencapaian 4. Informasi Penjelas Pertama, keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik maupun non fisik, yang dapat dirasakan langsung oleh anggota organisasi atau masyarakat. Kelompok keluaran (output) meliputi dua hal, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan, indikator ini mengukur kuantitas fisik pelayanan dan kuantitas pelayanan yang diberikan yang memenuhi persyaratan kualitas tertentu. Indikator ini mengukur kuantitas fisik pelayanan yang memenuhi uji kualitas. Kedua, hasil adalah mengukur pencapaian atau hasil yang terjadi karena pemberian layanan yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah, yang memiliki efek langsung. Maka segala sesuatu kegiatan yang dilakukan atau dilaksanakan pada jangka menengah harus dapat memberikan efek langsung pada organisasi tersebut.
56
Kelompok hasil, merupakan pengukuran pencapaian atau hasil yang terjadi karena pemberian layanan, kelompok ini mencakup ukuran persepsi publik tentang hasil. Ukuran keluaran disebut sangat bermanfaat jika disajikan secara lengkap dengan membandingkan dengan hasil tahun sebelumnya, target, tujuan, atau sasaran, norma, atau standar yang diterima secara umum. Selanjutnya efek sekunder dari pelayanan atas penerimaan atau pengguna bisa teridentifikasi dan layak dilaporkan. Ukuran itu mencakup akibat tidak langsung yang signifikan, dimaksud atau tidak dimaksud, positif atau negatif, yang terjadi akibat pemberian pelayanan yang diberikan. Ketiga, hubungan antara usaha dengan pencapaian adalah ukuran efisiensi yang menghubungkan usaha dengan keluaran pelayanan. Berdasarkan pengertian diatas, maka mengukur sumber daya yang digunakan atau biaya per unit keluaran, dan memberi informasi tentang keluaran di tingkat tertentu dari penggunaan sumber daya, menunjukkan efisiensi relatif suatu unit jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya, tujuan yang ditetapkan secara internal, norma atau standar yang bisa diterima atau hasil yang bisa dihasilkan setara. Indikator yang mengaitkan usaha dengan pencapaian, meliputi dua hal, yaitu pertama, ukuran efisiensi yang mengaitkan usaha dengan keluaran pelayanan, indikator ini mengukur sumber daya yang digunakan atau biaya per unit keluaran, dan memberi informasi tentang keluaran ditingkat tertentu dari penggunaan sumber daya di lingkungan organisasi. Yang kedua, ukuran biaya hasil yang menghubungkan usaha dan hasil pelayanan, ukuran ini melaporkan biaya per unit hasil, dan mengaitkan biaya dengan hasil sehingga manajemen
57
publik dan masyarakat bisa mengukur nilai pelayanan yang telah diberikan secara riil dalam usaha. Keempat, informasi penjelas adalah suatu informasi yang harus disertakan dalam pelaporan kinerja yang mencakup informasi kuantitatif dan naratif. Membantu pengguna untuk memahami ukuran kinerja yang dilaporkan, menilai kinerja suatu organisasi, dan mengevaluasi signifikansi faktor yang akan mempengaruhi kinerja yang dilaporkan. Ada 2 (dua) jenis informasi penjelas yaitu pertama, faktor substansial yang ada diluar kontrol seperti karakteristik lingkungan dan demografi. Kedua, faktor yang dapat dikontrol seperti pengadaan staf. 2.1.5.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi Kinerja dalam lingkup organisasi adalah hasil kerja yang telah dicapai oleh suatu organisasi dalam melakukan suatu pekerjaan, berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. Kinerja organisasi tidak lepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi menurut Ruky (2001) adalah sebagai berikut : 1. Teknologi yang digunakan, meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang dipakai untuk menghasilkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi, kualitas teknologi sangat menentukan tingkat kinerja, kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi. 2. Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan ruangan, dan kebersihan.
58
3. Budaya organisasi sebagai merupakan pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam organisasi yang bersangkutan. 4. Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan standar dan tujuan organisasi. 5. Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi, imbalan, promosi dan lainnya. Meningkatkan kinerja dalam sebuah organisasi merupakan tujuan atau target yang ingin dicapai oleh organisasi dalam memaksimalkan suatu kegiatan yang telah di tetapkan sebelumnya. Keberhasilan kinerja organisasi tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan, kinerja tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi. Berdasarkan pengertian diatas bahwa suatu kinerja organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung dan penghambat berjalannya suatu pencapaian kinerja yang maksimal faktor tersebut meliputi faktor yang berasal dari intern maupun ekstern. Menurut Amstrong dan Baron (1998) bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan kuat dengan tujuan strategis, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi ekonomi. Pengukuran kinerja organisasi merupakan hal yang penting dalam manajemen program secara keseluruhan, sehingga dapat mendorong tercapainya kinerja organisasi tersebut (Nawawi, 2010). Seperti diketahui bahwa koperasi merupakan organisasi yang penyelenggaraannya juga diatur oleh Pemerintah, demikian juga dalam mengukur kinerja koperasi maka pemerintah juga mengatur tentang kinerja koperasi dalam Peraturan Menteri
59
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 22/PER/M.KUKM/IV/2007 yang selanjutnya disempurnakan dengan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 06/PER/M.KUKM/III/2008
tanggal
12
Maret
2008
tentang
Pedoman
Pemeringkatan Koperasi. Dalam Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah tersebut pengukuran kinerja koperasi menggunakan pendekatan yang meliputi 6 (enam) aspek koperasi berkualitas, yaitu : a). badan usaha aktif, b). kinerja usaha yang semakin sehat, c). kohesivitas dan partisipasi anggota, d). orientasi pada pelayanan anggota, e). pelayanan kepada masyarakat, f). kontribusi terhadap pemerintah daerah. Sehingga ke enam aspek tersebut yang akan digunakan dalam item pengukuran indikator dari variabel kinerja organisasi. 2.2 Tinjauan Empiris 2.2.1 Kaitan Berbagai Variabel 2.2.1.1 Pengaruh Servant Leadership terhadap Kinerja Organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Melchar dan Bosco (2010) yang menguji hubungan antara Servant Leadership dengan kinerja organisasi, juga mengenai komitmen organisasi dan kepuasan kerja pada hubungan kerjasama pendidikan USA dan Philipina, sedangkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Servant Leadership, kinerja organisasi, komitmen organisasi dan kepuasan
60
kerja. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil terdapat hubungan signifikan antara Servant Leadership dengan kinerja organisasi. Penelitian West dan Bocarnea (2008) yang meneliti tentang hubungan Servant Leadership dengan efektivitas organisasi, diteliti para dosen dan karyawan dari dua lembaga yang berbeda yaitu Regent University, USA dan WNC University, Bacolod, Philipine. Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan peneliti maka diperoleh hasil adanya korelasi positif signifikan antara servant leadership dengan kinerja efektifitas tim, dengan kata lain terdapat hubungan signifikan antara Servant Leadership dengan kinerja organisasi. Ada juga penelitian yang dilakukan Irving (2005) dalam penelitian untuk menyusun disertasi pada Regent University ini meneliti tentang hubungan Servant Leadership dengan efektivitas tim pada 1.800 anggota divisi organisasi internasional non profit di USA, pada penelitian ini digunakan variabel Servant Leadership dan kinerja organisasi. Hasil penelitian ini seperti hipotesa yang ada terdapat korelasi positif signifikan antara Servant Leadership dengan kinerja efektifitas tim, dengan demikian hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang lainnya. Juga penelitian Kennet (2010), seorang mahasiswa program doktoral pada Capella University USA, meneliti hubungan antara Servant Leadership dan kinerja organisasi pada manajemen proyek, penelitian ini dilakukan pada Project Management Institute dengan memakai variabel Servant Leadership dan kinerja organsasi, pada hasil pengolahan data dihasilkan adanya korelasi positif antara
61
servant leadership dengan keberhasilan proyek, dimana keberhasilan proyek tersebut menunjukkan adanya kinerja perusahaan yang meningkat. Hamideh dan Nikooparvar (2012) juga meneliti hubungan faktor-faktor leadership, dimana salah satu dimensinya adalah Servant Leadership dengan efektifitas organisasi pada organisasi penerbangan di USA, variabel yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah leadership dan kinerja organisasi, dari hasil penelitian didapat korelasi signifikan kuat pada hubungan dimensi Servant Leadership dengan efektivitas tim. Terlihat bahwa efektifitas tim pada organisasi ini menunjukkan adanya peningkatan kinerja perusahaan dengan adanya gaya kepemimpinan Servant Leadership. 2.2.1.2 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Organisasi Pada penelitian Gordon dan Ditomaso (1992) yang meneliti kekuatan hubungan budaya organisasi dengan kinerja organisasi, penelitian ini dilakukan di 11 perusahaan asuransi di USA, pada kurun waktu tahun 1982 sampai dengan tahun 1987, pada penelitian ini digunakan variabel budaya organisasi dengan beberapa dimensi budaya dan kinerja organisasi hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara budaya organisasi dengan kinerja organisasi Dyck et al.,(2005), meneliti hubungan kesalahan budaya organisasi perusahaan dengan kinerja organisasi pada perusahaan dari dua negara Eropa yang berbeda, dimana pada penelitian tersebut digunakan variabel budaya dan kinerja organisasi. Hasil dari penelitian tersebut terdapat hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dan kinerja perusahaan
62
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Rose et al.,(2008), juga meneliti hubungan antara budaya dengan kinerja organisasi dalam operasional perusahaan multi nasional (MNC) yang ada di Malaysia, perusahaan multi nasional yang diteliti merupakan perusahaan Eropa, Jepang, Amerika dan Malaysia, variabel yang digunakan adalah budaya organisasi dan kinerja organisasi, dimana masingmasing Negara mempunyai budaya yang berlainan dan ini mempunyai pengaruh dalam kinerja perusahaan. Pada hasil penelitian ini terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi dengan kinerja perusahaan untuk perusahaan multi nasional dari Amerika dan Malaysia, sedangkan hasil lainnya terdapat temuan yang tidak signifikan antara budaya organisasi dan kinerja organisasi untuk perusahaan multi nasional dari Eropa dan Jepang. Temuan ini cukup menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Jarad et al.,(2010) pada penelitian yang fokus pada pengukuran budaya organisasi dan hubungannya kinerja organisasi, dengan variabel utama budaya organisasi dan kinerja organisasi. Terdapat pengaruh yang signifikan positif antara budaya organisasi dengan kinerja organisasi. Demikian juga pada penelitian Ogbonna dan Lloyd (2000)
pada
penelitian yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang ada di Inggris ini merupakan penelitian yang menguji hubungan antara gaya kepemimpinan dan kinerja dengan mediasi budaya organisasi, pada penelitian ini menggunakan variable gaya kepemimpinan, budaya organisasi dan kinerja organisasi. Dihasilkan adanya terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi
63
sebagai mediasi dan kinerja organisasi, dengan demikian gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja organisasi bila ada mediasi budaya organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Liviu dan Gavrea (2008) bertujuan menguji budaya organisasi dan kinerja organisasi melalui analisa analisa model kultur dan studi empiris yang dilakukan untuk meneliti hubungan budaya organisasi dan kinerja perusahaan. Variabel yang digunakan adalah budaya organisasi dan kinerja organisasi. Hasilnya terdapat pengaruh yang positif signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja organisasi. 2.2.1.3 Pengaruh Servant Leadership terhadap Kepuasan Kerja Penelitian yang dilakukan oleh Donghong et al.,(2012) merupakan penelitian yang fokus dalam meneliti hubungan servant leadership dan loyalitas karyawan dengan mediasi kepuasan kerja pada 186 karyawan di perusahaan Cina, penelitian ini menggunakan variabel Servant Leadership, kepuasan kerja sebagai mediasi dan loyalitas karyawan. Hasil dari penelitian ini didapat bahwa untuk meningkatkan loyalitas karyawan tidak hanya menerapkan gaya kepemimpinan Servant Leadership tetapi juga harus mempertimbangkan kepuasan karyawan, dengan demikian Servant Leadership berhubungan kepuasan kerja karyawan. Disertasi Anderson (2005), yang menguji tentang hubungan Servant Leadership dan kepuasan kerja pada Organisasi Pendidikan Agama di Rocky Mountain USA, sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan pelayanan kepada umat. Responden yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 550 orang karyawan. Variabel yang digunakan adalah Servant Leadership dan kepuasan
64
karyawan. Hasil dari penelitian ini terdapat pengaruh yang kuat antara Servant Leadership terhadap kepuasan karyawan. Meyer dan Piccolo (2008), dalam penelitian ini meneliti hubungan Servant Leadership terhadap kepuasan kerja dengan keadilan organisasional dan kepuasan kebutuhan sebagai mediasi pada organisasi hukum di USA menggunakan responden
187
orang
dengan
variabel
Servant
Leadership,
keadilan
organisasional, kepuasan kebutuhan dan kepuasan kerja. Hasil penelitian ini terdapat pengaruh yang signifikan antara servant leadership terhadap kepuasan kerja yang dimediasi variabel keadilan organisasional dan kepuasan kebutuhan. Disertasi Amadeo (2008), mahasiswa program doktoral University of Phoenix menguji hubungan antara Servant Leadership dan kepuasan kerja, penelitian ini menggunakan responden sebanyak 313 perawat Rumah Sakit Nirlaba yang ada di Amerika dengan variabel Servant Leadership dan kepuasan kerja. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat korelasi yang kuat antara persepsi perilaku Servant Leadership dan kepuasan para perawat. Penelitian yang ditulis dalam disertasi Caffey (2012) merupakan penelitian yang menguji tetang hubungan Servant Leadership kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru dan niat untuk bertahan di lembaga sekolah di Missouri USA dengan responden 313 orang guru. Penelitian yang bertujuan untuk melihat praktek gaya kepemimpinan dalam sebuah sekolah ini menggunakan variabel Servant Leadership dan kepuasan kerja guru. Hasil yang terdapat dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh yang signifikan positif Servant Leadership terhadap kepuasan kerja sehingga para guru berniat untuk bertahan di lembaga tersebut.
65
2.2.1.4 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Khoshidi et al.,(2012) dalam penelitiannya yang menguji hubungan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja karyawan pada Universitas Kedokteran Qazvin dengan responden 595 orang karyawan yang terdiri dari 317 orang wanita dan 278 orang laki-laki dengan variabel budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hasil penelitian ini bahwa budaya organisasi dan gender tidak memiliki pengaruh berarti terhadap kepuasan kerja, dengan kata lain tidak ada perbedaan antara budaya organisasi dan gender, dan tidak ada perbedaan gender dan kepuasan kerja. Selanjutnya penelitian ini juga menemukan adanya pengaruh signifikan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja. Penelitian Sabri et al.,(2011) merupakan penelitian yang menguji pengaruh budaya organisasi terhadap tingkat kepuasan kerja guru di University Teachers of Lahore, pada penelitian ini dilakukan pada 347 responden guru dengan menggunakan kuesioner. Pada penelitian ini terdapat hasil dimana terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap kepuasan kerja. Penelitian Yafang (2011) yang bertujuan untuk menguji hubungan antara budaya organisasi, perilaku kepemimpinan dan kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit Taiwan, penelitian ini dilakukan terhadap 300 responden yang diberi kuesioner. Variabel yang digunakan adalah budaya organisasi, perilaku kepemimpinan dan kepuasan kerja. Hasil dari penelitian ini adalah budaya organisasi mempunyai korelasi positif signifikan dengan perilaku kepemimpinan
66
dan kepuasan kerja, juga perilaku kepemimpinan organisasi secara signifikan positif berkorelasi dengan kepuasan kerja. Penelitian Kumar (2011) yang menguji hubungan budaya organisasi dan kepuasan kerja dalam organisasi perangkat lunak di India, penelitian ini dilakukan pada enam perusahaan perangkat lunak yang ada di India, yaitu tiga perusahaan besar dan tiga lainnya merupakan perusahaan kecil. Hasil temuan dalam penelitian ini bahwa karyawan pada organisasi yang lebih kecil merasakan kepuasan kerja dengan budaya organisasi serta memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan perangkat lunak yang lebih besar. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Dalam penelitiannya, Adel (2012) yang menguji hubungan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja di perusahaan minyak nasional Libya, dengan mengambil sampel 227 orang karyawan. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah terdapat temuan pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi terhadap kepuasan kerja di perusahaan minyak nasional Libya, khususmya budaya hirarki. Penelitian Khan et al.,(2011) yang menguji peran budaya organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan bank di Pakistan dengan sampel sebanyak 150 orang karyawan bank. Temuan dari penelitian ini bahwa terdapat relevansi budaya organisasi yang diterapkan pada perusahaan dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Ditemukan pengaruh positif lemah antara kepuasan kerja dengan
67
aturan dan kebijakan serta tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja dengan reward dan benefit. 2.2.1.5 Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Organisasi Penelitian Cynthia (2003) dilakukan untuk menguji korelasi antara kepuasan kerja dan kinerja organisasi dengan 2 (dua) metode studi. Pada penelitian ini peneliti menggunakan variabel kepuasan kerja dan kinerja organisasi yang berhubungan langsung. Temuan dari penelitian ini bahwa pekerja percaya bila kepuasan kerja yang ada akan menghasilkan kinerja yang baik pula, dengan kata lain terdapat pengaruh signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja organisasi. Meta analisis yang dilakukan Ritteka (2008) bertujuan menganalisis 16 (enam belas) studi-studi yang mengukur kinerja organisasi pada kepuasan kerja dan komitmen organisasi, fokus studi pada kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja organisasi. Temuan dalam analisis ini adalah komitmen organisasi dan kepuasan kerja mempengaruhi sangat kuat kinerja organisasi. Ololube (2006) dalam penelitiannya menguji pengaruh tingkat kepuasan kerja dan motivasi guru terhadap kinerja pada 249 guru di Nigerian Union of Teachers (NUT) Nigeria yang dijadikan responden, variabel yang digunakan adalah kepuasan kerja, motivasi kerja dan kinerja. Temuan dalam penelitian ini kepuasan kerja dan motivasi kerja berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja pada organisasi. Penelitian Kuzey (2012) merupakan penelitian yang meneliti faktor utama yg berkontribusi terhadap kepuasan kerja dan juga menentukan dampak kepuasan
68
kerja kerhadap kinerja organisasi pada 249 petugas kesehatan di Turki. Hasil penelitian ini bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja organisasi. Sarker (2009) pada penelitian yang menguji pengaruh praktek Human Resources Management (HRM), kepuasan kerja terhadap kinerja organisasi pada bank komersial di Bangladesh, sebagai variabel adalah praktek human resources management, kepuasan kerja dan kinerja organisasi. Temuan dalam penelitian ini bahwa praktek human resources management berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja dan kemudian kepuasan kerja karyawan berpengaruh signifikan pada kinerja organisasi. Penelitian Schlecher et al.,(2004) merupakan penelitian yang menguji konsistensi afektif kognitif sikap kerja dengan kinerja organisasi pada 65 karyawan di berbagai industri di California. Hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat korelasi signifikan lebih besar antara kepuasan kerja dengan kinerja organisasi. Dari uraian pada penelitian terdahulu maka secara singkat dapat dibuat ringkasan hasil penelitian pada table 2.2 sebagai berikut :
69
Tabel 2.2 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Servant Leadership – Kinerja Organisasi Peneliti Jurnal Uraian Melchar dan Achieving High Menguji tentang Bosco Organization Hubungan antara (2010) Performance Trough servant leadership dg Servant leadership kinerja perusahaan pada 3 dealer mobil.
Variabel -servant leadership -budaya kerja -kinerja organisasi
Hasil Penelitain Terdapat pengaruh yang signifikan antara servant leadership terhadap budaya organisasi yang membuat kinerja organisasi meningkat. Terdapat pengaruh signifikan antara servant leadership terhadap kinerja organisasi
West dan Bocarnea (2008)
Servant Leadership and Organization Outcomes:Relationship in US and Filipino Higher Educational Setting
Meneliti hubungan antara servant leadership dengan kinerja organisasi, juga mengenai komitmen organisasi dan kepuasan kerja pada Hubungan kerjasama pendidikan USA dan Philipina
-servant leadership -kinerja organisasi -komitmen organisasi -kepuasan kerja
Irving (2005) Dissertation
Servant Leadership and Effectiveness of Teams
Disertasi ini meneliti tentang hubungan servant leadership dg efektivitas tim pada 1.800 anggota divisi Internasional organisasi non profit di USA
-servant leadership -kinerja organisasi
Terdapat korelasi positif signifikan antara servant leadership dengan kinerja efektifitas tim.
Kennet (2010) Dissertation
Servant Leadership : An Effective Model For Project Management
Disertasi ini meneliti hubungan antara servant leadership dan kinerja organisasi pada management project (Project Management Institute)
-servant leadership -kinerja organsasi
Terdapat korelasi positif antara servant leadership dengan keberhasilan proyek (kinerja organisasi)
Hamideh dan Nikooparvar (2012)
Promoting Leadership Effectiveness in Organizations : A Case Study on The Involved Factor of Servant Leadership
Meneliti hubungan factor-faktor leadership (salah satunya servant leadership) dengan Efectifitas Organisasi pada organisasi penerbangan.
-leadership -kinerja organisasi
Terdapat korelasi signifikat kuat pada hubungan dimensi servant leadership dengan efektivitas tim (kinerja organisasi).
Dilanjutkan halaman berikutnya,
70
Tabel 2.2 Lanjutan Servant Leadership – Kepuasan Kerja Peneliti Jurnal Uraian Donghong Relationship of Meneliti hubungan et al.,(2012) Servant Leadership servant leadership and Employee Loyalty dan loyalitas : The Mediating Role karyawan dengan of Employee mediasi kepuasan Satisfaction kerja pada 186 karyawan di persh Cina
Variabel -servant leadership -kepuasan kerja -loyalitas karyawan
Hasil Penelitain servant leadership mempunyai pengaruh signifikan terhadap loyalitas karyawan dengan mediasi kepuasan karyawan.
Anderson (2005) Dissertation
A Correlational Analysis of Servant leadership and Job Satisfaction in Religious Educational organization
Disertasi ini meneliti tentang hubungan servant leadership dan kepuasan kerja Organisasi Pendidikan Agama Rocky Mountain USA.
-servant leadership -kepuasan karyawan
Terdapat korelasi yang kuat antara servant leadership dengan kepuasan karyawan.
Meyer et al. (2008)
Do Servant Leaders help satisfy follower needs? An Organizational Justice Perspective
meneliti hubungan servant leadership terhadap kepuasan kerja dg keadilan organisasional dan kepuasan kebutuhan sebagai mediasi pada organisasi hukum di USA
-servant leadership -keadilan organisasional -kepuasan kebutuhan -kepuasan kerja
Terdapat pengaruh yang signifikan antara servant leadership terhadap kepuasan kerja yang dimediasi variabel keadilan organisasional; dan kepuasan kebutuhan
Amadeo (2008) Dissertation
A Correlational study of Servant Laeadership and Registered Nurse Job Satisfaction in Acute Health-Care Settings
Disertasi ini meneliti hubungan antara servant leadership dan kepuasan pada 313 perawat RS Nirlaba di USA
-servant leadership -kepuasan kerja
Terdapat pengaruh yang signifikan antara servant leadership terhadap kepuasan kerja para pertawat.
Caffey (2012) Dissertation
The Relationship Between servant Leadership of Principals and Begenning Teacher Job Satisfaction and Intent to Stay
Disertasi ini meneliti tetang hubungan servant leadership kepala sekolah dengan kepuasan kerja guru dan niat untuk bertahan di lembaga sekolah di Missouri USA.
-servant leadership -kepuasan kerja
Terdapat pengaruh yang signifikan positif antara servant leadership terhadap kepuasan kerja sehingga para guru berniat untuk bertahan di lembaga tersebut.
Dilanjutkan halaman berikutnya,
71
Tabel 2.2 Lanjutan Budaya Organisasi – Kepuasan Kerja Peneliti Jurnal Khoshidi Investigating et al., ( 2012) Relationship between Organitational Culture and Job Satisfaction of Employees, Medical Science University,Qazvin
Uraian Menguji hubungan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja karyawan pada Universitas kedokteran Qazvin
Variabel -budaya organisasi -kepuasan kerja
Meneliti hubungan budaya organisasi thd tingkat kepuasan kerja guru di Universitas Teachers of Lahore Menguji hubungan antara budaya organisasi, perilaku kepemimpinan dan kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit Tawan
-budaya organisasi -kepuasan kerja
Sabri et al., (2011)
Organizational Culture and Its Impact on The Job Satisfaction of The University Teachers of Lahore
Yafang (2011)
Relationship Between Organizational Culture, Leadership Behavior and Job Satisfaction
Kumar (2011)
Linkage Between Organization Culture and Job Satisfaction
Menguji hubungan budaya organisasi dan kepuasan kerja dalam organisasi perangkat lunak di India
-budaya organisasi -kepuasan kerja
Adel (2012)
The Relationship Between Organizational Culture and Job Satisfaction in National Oil Corporation of Libya
Menguji hubungan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja di Persh Minyak nasional Libya
-budaya organisasi -kepuasan kerja
Khan et al., (2011)
Impact of Organization Culture on The Job Satisfaction of The Employees (banking Sector of Pakistan)
Menguji peran budaya organisasi terhadapo kepuasan kerja karyawan bank di Pakistan
-budaya organisasi -kepuasan kerja
Dilanjutkan halaman berikutnya,
-budaya organisasi -perilaku kepemimpinan -kepuasan kerja
Hasil Penelitain -terdapat pengaruh signifikan antara budaya organisasi terhadap kepuasan kerja, -tidak ada perbedaan antara tingkat budaya dan gender Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap kepuasan kerja -budaya organisasi mempunyai pengaruh positif signifikan thd kepuasan kerja dan kepemimpinan organisasi -perilaku kepemimpinan mempunyai pengaruh signifikan positif dg kepuasan kerja -terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja -hubungan kepuasan kerja lebih kuat dg budaya organisasi untuk organisasi yang lebih kecil. -Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja, terutama budaya hirarki yang paling kuat. -ditemukan pengaruh positif lemah antara kepuasan kerja dg aturan dan kebijakan -tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja dg reward dan benefit.
72
Tabel 2.2 Lanjutan Budaya Organisasi- Kinerja Organisasi Peneliti Jurnal Uraian Gordon dan Predicting Corporate Meneliti hubungan Ditomaso Performance from kekuatan budaya (1992) Organizational organisasi dengan Culture kinerja di 11 persh asuransi di USA
Variabel -Budaya Organisasi -Kinerja Organisasi
Hasil Penelitain Terdapat pengaruh yang sangat kuat dan signifikan antara budaya organisasi terhadap Kinerja Organisasi
Dyck et al., (2005)
Organizational Error Management Culture and Its Impact on Performance : A Two Study Replcation
Meneliti hubungan Kesalahan budaya organisasi persh dengan Kinerja Organisasi pada 2 persh negara Eropa yang berbeda
-Kinerja -Budaya Organisasi
Terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja perusahaan
Rose et al. (2008)
Organizational Culture as a Root of Performance Improvement : Research and Recomandations
Meneliti hubungan antara budaya dan kinerja dlm operasional persh MNC di Malaysia
-Budaya Organisasi -Kinerja Organisasi
Terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja organisasi unt persh dari Eropa dan Jepang
Jarad et al., (2010)
A Review Paper on Organizational Culture and Organizational Performance
Review tentang hubungan budaya organisasi dan kinerja organisasi
-budaya organisasi -kinerja organisasi
Terdapat pengaruh yang signifikan positif antara budaya organisasi terhadap Kinerja organisasi
Ogbonna dan Lloyd (2000)
Leadership Style,Organisational Culture and Performance :Empirical Evidence from UK Companies
Meneliti hubungan antara gaya kepemimpinan dan kinerja, dg mediasi budaya organisasi
-Gaya Kepemimpinan -Budaya Organisasi -Kinerja Organisasi
Terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja organisasi
Liviu dan Gavrea (2008)
The Link Between Organizational Culture and Corporate Performance- an Overview
Menguji hubungan budaya organisasi dan kinerja organisasi melalui analisa existent culture model
-Budaya Organisasi -Kinerja Organisasi
Terdapat pengaruh yang positif signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja organisasi.
Dilanjutkan halaman berikutnya,
73
Tabel 2.2 Lanjutan Kepuasan Kerja -Kinerja Organisasi Peneliti Jurnal Uraian Cynthia Why do Lay People Menguji korelasi (2003) Believe That antara kepuasan kerja Satisfaction and dan kepuasan kerja Performance are dg 2 metode study Correlated Possible Sources of a Commonsense Theory Ritteka The Causal Relation Menganalisis 16 (2008) Between Job studi yang mengukur Attitudes and kinerja organisasi Performance: A Meta pada kepuasan kerja Analysis of Panel dan komitmen Studies. organisasi. Ololube Teachers Job Menguji hubungan (2006) Satisfaction and antara tingkat Motivation for School kepuasan kerja dan Effectiveness : An motivasi guru Assessment terhadap kinerja pada 249 guru di Nigerian Union of Teachers (NUT) Nigeria.
Variabel -Kepuasan kerja -kinerja organisasi
Hasil Penelitain Terdapat pengaruh signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja organisasi
-kepuasan kerja -komitmen organisasi -kinerja organisasi -kepuasan kerja -motivasi kerja -kinerja
Komitmen organisasi dan kepuasan kerja mempengaruhi sangat kuat kinerja organisasi. -kepuasan kerja dan motivasi kerja berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja pada organisasi
Kuzey (2012)
Impact of Health Care Employees’ Job Satisfaction on Organizational Performance Support Vertor Machine Approach
Meneliti factor utama yg berkontribusi terhadap kepuasan kerja dan juga menentukan dampak kepuasan kerja kerhadap kinerja organisasi pada 249 petugas kesehatan di Turki
-Kepuasan Kerja -Kinerja Organisasi
Terdapat pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap kinerja organisasi
Sarker (2009)
Impact of HRM Practices on Job Satisfaction and Organizational Performance in Private Commersial Banking Sector of Bangladesh
Menguji hubungan antara praktek Human Resources Manajemen,kepuasan kerja dan Kinerja organisasi pada bank komersial di Bangladesh
-HRM Praktis -Kepuasan Kerja -Kinerja Organisasi
-HRM berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja -Kepuasan kerja karyawan berpengaruh signifikan pada kinerja organisasi
Schlecher et al., (2004)
Reexamining The Job SatisfactionPerformanceship The Complexity of Attitudes
Menguji konsistensi afektif kognitif sikap kerja dg kinerja organisasi pada 65 karyawan di berbagai industry di California
-Kepuasan kerja -Kinerja organisasi
Terdapat korelasi signifikan lebih besar antara kepauasan kerja dengan kinerja organisasi.
Sumber : Diolah peneliti dari berbagai jurnal dan disertasi (2013)
74
Berdasarkan penjelasan kajian penelitian terdahulu pada Tabel 2.2, tergambar bahwa penelitian ini merupakan pengembangan penelitian dari hasil penelitian terdahulu dengan mengembangkan hubungan antar variabel. Penelitian ini mengelaborasi secara lebih komprehensif pengaruh Servant Leadership dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Organisasi melalui Kepuasan Kerja.