9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Pustaka 1. Konsep Stilistika al-Qur’an a.
Pengertian Stilistika al-Qur’an Stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksud dapat dicapai secara maksimal.1 Mengutip pendapat Gorys Keraf, Syihabudin Qulyubi dalam bukunya stilistika al-Qur’an mengatakan bahwa: dalam kata style diturunkan dari kata latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada
lempengan
lilin.
Keahlian
mengunakan
alat
ini
akan
mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititik neratkan pada keahlian menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis tau mengunakan kata-kata secara indah.2 Dalam kamus linguistik disebutkan, stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu Interdisipliner antara linguistik dan kesusteraan. Dalam literature Arab stilistika dikenal dengan istilah Uslūb. Pengertian-pengertian tersebut telah memberi gambaran awal kepada kita tentang apa yang dimaksud dengan arti stilistika.3 Setelah disebut di atas bahwa stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; maka stilistika al-Qur’an adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam al-Qur’an. Aspek-aspek bahasa yang dikaji dalam 1
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian Puitika Bahasa Sastra dan Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, hlm. 3. 2 Syihabudin Qulyubi, Stilistika al-Qur’an Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, Titian Illahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm. 27-28. 3 Ibid, hlm. 28.
9
10
stilistika al-Qur’an sama seperti aspek-aspek dalam stilistika pada umumnya yaitu meliputi aspek Fonologi Preferensi Lafaẓ, Preferensi Kalimat Dan Deviasi. Fonologi menganalisis
adalah dan
bidang
linguistic
membicarakan
yan
runtutan
mempelajari, bunyi-bunyi
bahasa.sedangkan secara bahasa fonologi terambil dari kata fon berarti bunyi dan logi yang berarti ilmu. Jadi obyek kajian fonologi yang berkaitan dengan bunyi baik bunyi tersebut dapat membedakan makna atau tidak.seperti contoh ayat:4
1. demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, 2. dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, 3. dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, 4. dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, 5. dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).(Q.S. al- nazi´āt: 1-5).5 Prefensi kata dan prefensi kalimat pemilihan kata atau kalimat yang dipergunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan, sekaligus mempunyai pengaruh terhadap makna yang dikemukakan, sedangkan pemilihan kata lebih kepada kata yang mempunyai kedekatan atau yang serupa dalam maknanya.seperti ayat:6
1. apabila langit terbelah, 2. dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh, 3. dan apabila bumi diratakan, 4. 4
Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qura’an dalam Konteks Komunikasi, UIN Malang Pres, Malang, 2009, hlm. 40. 5 Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. alnazi´āt: 1-5, hlm. 583. 6 Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qura’an dalam…, hlm. 64.
11
dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong, 5. dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat perbuatannya).(Q.S. al-´insyiqāq: 1-5).7 Deviasi secara etimologis berarti penyimpangan ragam atau struktur
bahasa.
Dalam
kajian
sastra,
deviasi
merupakan
penyimpangan dari konvensi atau norma. Sastrawan berusaha memberi cirikhas pada karyanya dengan menyimpang dari konvensi sastra atau bahasa. Penyimpangan yang terjdi dalam pengunaan bahasa sastra ini merupakan penyimpangan sosial, yaitu masyarakat penyair secara keseluruhan, bukan perorangan. Contoh:8
78. (Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan Aku, Maka Dialah yang menunjuki Aku, 79. dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu, 80. dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku, 81. dan yang akan mematikan Aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), 82. dan yang Amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat".(Q.S. al-Syu´arā´: 78-82).9 Sebenarnya, membicarakan stilistika al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konsep I’zaj al-Qur’an itu sendiri karena stilistika alQur’an ilmu yang mengkaji bahasa yang dipergunakan al-Qur’an. Misalnya pemilihan huruf dan pengabungan antara konsonan dan vocal yang serasi sehingga memudahkan dalam mengucapkan. Begu juga pemeliharaan lafaẓ misalnya lafaẓ mar’a dalam surat al-Naziat 7
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. al´insyiqāq: 1-5, hlm. 589. 8 Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qura’an dalam…, hlm. 71. 9 Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. alSyu´arā´: 78-82, hlm. 370.
12
ayat 31, yang berarti mencangkup semua jenis tumbuhan konsumtif, seperti sayuran umbi-umbian, rerumputan, buncis dan sebagainya, namun cukup dengan kata mar῾a sebagai bahan makanan bagi umat manusia dan binatang ternak.10
b.
Ia memancarkan daripadanya mata airnya, (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.(Q.S. al-Nazi’at: 31).11 Macam-macam stilistika
dan
Dalam literatur Arab, istilah stilistika dikenal dengan sebutan ‘ilm al-Uslūb. Secara etimologi, Uslūb adalah al-mariq wa al-wajih wa al-madāhib (metode, cara dan aliran). Dalam pengertian umum, Uslūb adalah cara menulis atau cara memilih dan menyususn kata untuk mengungkap makna tertentu sehingga mempunyai tujuan dan pengaruh yang jelas. Pengertian Uslūb adabi berbeda dengan pengertian Uslūb ‘ilmi, kalau Uslūb adabi adalah bahasa emosi atau rasa (lughah al-atifah), sedangkan Uslūb ‘ilmi adalah bahasa rasio (lugah al-῾aql).12 Menurur pendapatnya ‘Abd al-Qahār al-Jurjani, yang dikutip oleh Ahmad Muzakki bahwa: pengertian Uslūb dengan siyāgah itu sama, yaitu cara penyampaian atau cara pengungkapan yang ditempuh oleh seorang sastrawan untuk mengambarkan sesuatu yang ada pada dirinya, atau untuk menyampaikan kepada orang lain dengan mengunakan ungkapan bahasa tertua, atau cara menyusun kata untuk mengungkap makna agar menjadi jelas dan berpengaruh kepada jiwa pembaca. Dengan kata lain, Uslūb adalah cara seorang penulis atau penyair dalam memilih beberapa kata dan menyusun dalam rangkaian kalimat, atau cara menciptakan pemikiran dan pengekspresiannya 10
Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qura’an dalam…, hlm. 16. Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, QS; al-Nazi’at: 31, hlm. 584. 12 Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an…, hlm. 14. 11
13
dengan mengunakan gaya bahasa yang sesuai dengan keadaan.13 Para sastrawan Arab membagi Uslūb menjadi tiga bagian, yaitu: Pertama, Uslūb kitabi, Uslūb ini menekankan pada ungkapan yang fasih (ibarah jazlah), kalimat yang sempurna, inotasi yang berpengaruh, dan diperindah dengan penekanan (intonāsi) dan variasi dalam menyampaikan kepada orang lain. Kedua, Uslūb ‘ilmi, Uslūb ini menekankan kepada logika yang kuat, keindahan bahasa yang memuaskan pendengar, susunan argumentasi, dan dapat diandalkan dalam menolak keragu-raguan. Ketiga, Uslūb ‘adabi, Uslūb ini mengunakan ungkapan yang lembut, gambaran yang indah dan penyampaian yang halus karena bertujuan untuk memuaskan emosi, membangkitkan rasa. Dari ketiga pembagian Uslūb diatas, pada hakekatnya Uslūb tidak bisa dilepaskan dari dua unsur pokok, yaitu unsur bahasa dan makna (ide, pemikiran dan gagasan). Sedangkn Uslūb memiliki tiga karakter yaitu: al-Juddah (indah), al-Wajazah (ringkas), Al-Tala’um (sesuai). Indikasi al-Juddah adalah pengunaan preferensi kata dan ungkapan yang indah, sedangkan al-‘ijaz adalah menampakan sifatsifat yang mencirikan Uslūb yang baik, dan al-tala’um adalah kesesuain
anter
kalimat
dari
sisi
musikalitas,
susunan
dan
keindahanya. Untuk mencapai katagori ini, al-Ziyat mempertegas bahwa Uslūb hanya terjadi apabila: a)
Adanya kreatifitas ide atau gagasan (al-ma’na al-mubtakīr)
b) Adanya gaya bahasa yang indah sebagai media dari ide dan gagasan (al-surah al-jayyīdah).14
13
Ibid, hlm. 14. Ibid, hlm. 15.
14
14
c.
Manfaat Stilistika Berbicara tentang stilistika, sudah mengandaikan suatu bentuk pendekatan bahasa, yang kedengaranya agak asing diteliga kita. Kemudian, kita tidak akan berapologi atau berdiskusi berlarut-larut, bahwa semua metodologi ilmu pengetahuan kita adopsi dari dunia barat. Terlepas sedikit dari persoalan itu, keberakaran pengetahuan secara empiris, berasal dari kebertautan kita dengan realitas sosiologis, tidak bisa dibantah. Apa yang ingin dibcarakan pada dataran teoritis adalah suatu rekonstruksi realitas sosiologis sedemikian rupa, sehingga ruang, waktu dan peristiwa yang terjadi, berusaha dibekukan dalam tulis-menulis, dan lealitas sosiologi itu sendiri seakan-akan hadir, tersaji secara utuh. Dan pembaca dibawa masuk kedalam dunia baru, ruang pentas imajenatif, yang sekaligus melibatkan dirinya, seakan menonton secara langsung, kisah atau peristiwa yang di tuturkan di dalamnya. Inilah
kemampuan
bahasa
dalam
bengambarkan
atau
menjelaskan sesuatu hal. Dalam sekala yang lebih luas, tindakan bahasa semacam ini, memadukan banyak hal, mulai dari ekspresi kreatif penutur ataupun bentuk-bentuk bunyi dan sususnan kalimat tutur sampai dengan keindahan susatra. Dalam konteks kebudayaan dan peradaban, paradigma perkembangan bahasa justru dapat menjadi indikasi, sejauh mana kebudayaan atau peradaban secara positivisik, lebih maju atau lebih berkembang dari sebelumnya. Istilah-istilah baru yang muncul, atau revitalisi makna kosa kata lama, ataupun suatu kata yang memperoleh makna baru, dapat menjadi tolak ukur tingkat penemuan dan eksplorasi pemikiran masyarakatnya sendiri. Wajar bila kemudian, dibarat saat ini, setiap tuhunya selalu dilakukan pemantauan (penghitungan dan pengkajian istilah-istilah atau kosa kata baru, baik yang digunakan dala duna sains-ilmiah ataupun yang digunakan sehari-hari dalam masyarakat) terhadap pengunaan masyarakatnya.
15
Kajian terhadap bahasa selalu menarik, selalu memberikan nuansa-nuansa pemikiran dan interpretasi baru, yang lebih segar, pas dan mengena (baik secara tekstual maupun kontekstual) serta memberikan kemungkinan kajian interdisipliner dengan bidangbidang ilmu yang lain. Dan bagaimana dengan stilistika yang dikaitkan dengan al-Qur’an, akan menempatkan kita pada posisi netral, tidak memihak satu golongan atau satu pendapat tertentu (lebih mengarah kepada al-Qur’an itu sendiri), dalam arti tidak menghakimi sesuatu, kecuali mengungkap keindahan dan gaya bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an. Dan hal ini memberi peluang dan kemungkinan yang lebih luas bagi studi-studi yang lebih lanjut.15 2. Karakteristik Stilistika al-Qur’an a.
Ditinjau dari Segi Lafaẓ al-Qur’an Keunikan dan keistimewaan al-Qur,an dari segi bahasa merupakan kemukjizatan utama dan yang pertama yang ditunjukan kepada masyarakat Arab pada 15 abad yang lalu. Kemukjizatan yang dihadapkan kepada mereka itu, bukan dari segi isyarat ilmiah dan pemberitaan gaibnya, kerena kedua aspek ini berada di luar jangkauan pemikiran mereka. Satu huruf dalam al-Qur’an dapat melahirkan keserasian bunyi dalam sebuah kata, kumpulan kata akan membentuk keserasian irama dalam rangkaian kalimat, dan kumpulan kalimat akan merangkai keserasian irama dalam ayat. Inilah yang menjadi salah satu kemukjizatan al-Qur’an dari sisi lafaẓ dan Uslūb-nya. Sebagaimana yang dikatakan Abu Sulaiman Ahmad bin Muhammad, keindahan susunan lafaẓ dan ketepatan maknanya menunjukan bahwa al-Qur’an adalah mu῾jizat yang tidak akan tertandingi selamanya.16 Kalau memperhatikan lebih seksama tentang struktur kalimat al-Qur’an sering mengunakan kalimat yang berbeda untuk satu pesan, atau mengunakan struktur kalimat yang sama untuk kasus yang
15
Syihabudin Qulyubi, Stilistika al-Qur’an…, hlm. 6-8. Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an…, hlm. 4.
16
16
berbeda, sehingga kadang tampak seperti ada deviasi dari aspek tata bahasa yang baku. Dalam pemilihan kata al-Qur’an juga sering mengunakan beberapa kata yang memiliki arti sama dalam bahasa Indonesia, misalnya kata basyar, ´insan dan nās jika diterjemahkan berarti “manusia”. Yang menarik adalah, jika tiap kata itu memang memiliki makna yang sama, niscaya antar satu kata dengan kata yang lainnya bisa saling menganti. Tetapi, pengantian semacam itu dalam al-Qur’an tidak diperbolehkan. Mengertian ini mengindikasikan bahwa setiap kata yang diungkap al-Qur’an memiliki karakter makna sesuai dengan konteks pembicaraan.17 Adanya pemilihan kata untuk tujuan tertentu, melahirkan sebuah kajian ilmu yang disebut stilistika. Stilistika secara sederhana dapat diartikan sebagai kajian linguistik yang objeknya berupa Style, sedangaka style adalah cara mengunakan bahasa dari seseorang dalam konteks tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam dunia retorika, gaya bahas ajuga dikenal denga istilah style.18 Pemilihan kata dalam al-Qur’an tidaka saja dalam arti keindahan, melaikanjuga kekayaan makna yang dapat melahirkan berbagai ragam pemahaman. Salah satu faktor yang melatarai pemilihan kata dalam al-Qur’an adalah keberadaan konteks, baik bersifat geografis, sosial maupun budaya. Sebagaimana disebutkan dalam kajian sosiologistik, bahwa ada dua faktor yang turut menentukan ketika aktivitas berbicara berlangsung, yaitu faktor situasional dan sosial. Faktor situasi turut mempengaruhi pembicaraan terutama pemilihan kata-kata dan bagaimana caranya mengkode, sedangkan faktor sosial menentukan bahasa yang dipergunakan. Dengan begitu preferensi kata atau kalimat benar-benar menjadi pertimbangan agar bahasa itu menjadi komunikatif.19 b. 17
Kemanfaatan Bagi Umat Manusia
Ibid, hlm. 4-5. Ibid,, hlm. 5. 19 Ibid, hlm. 4-6. 18
17
Stilistika bukan semata-mata masalah khas sastra sebagaimana dipahami sebelumnya. Benar, secara akademis adalah khas sastra, tetapi efek pragmatisnya dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat, bahkan sebagai keperluan-keperluan yang bersifat elementer. Dalam hubungan inilah karya sastra berfungsi demi perkembangan masyarakat secara luas, bagian berikut secara terusmenerus akan dikemukakan kaitan dialektis antara peranan kehidupan sehari-hari dengan sastra disatu pihak, bahasa dan sastra dipihak yang lain20 Melalui dialeka dengan fenomena kehidupan masyarakat Arab, al-Qur’an memiliki variasi gaya bahasa dalam menyampaikan pesanpesan moral dan kebenaran. Dengan kata lain sesunguhnya ayat-ayat al-Qur’an merupakan proses dialektis dan jawaban Muhammad atas konteks yang dihadapi. Dengan demikian, analisis konteks cukup berperan dalam memahami peristiwa pewahyuan, karena ayat-ayat alQur’an tidak dapat dimengerti secara sempurna kecuali dengan melihat konteks saat wahyu diturunkan. Dalam tradisi tafsīr, terutama dikalngan sunni permasalahan ini dikembalikan dan dibatasi pada analisis mengenai al-asbāb al-nuzūl atau konteks sosio-historis seputar turunya ayat-ayat al-Qur’an.21 c.
Memberi Stimulasi Bagi Akal dan Perasaan Dalam dunia empiris, kita sulit memilih bahasa yang tepat untuk mewakili sebuah realitas, apalagi bahasa al-Qur’an yang sangat menekankan
aspek
believing
(keyakinan)
dan
understending
(pemahaman), bahasa al-Qur’an memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Ia bukan hanya mengacu pada dunia empirik, tetapi juga mengacu pada dimensi metafisik, bahkan mengatasi ruang dan waktu. Salah satu kelemahan bahasa adalah tidak setiap kata yang diungkapkan mengacu kepada suatu 20
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian…, hlm. 8. Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an…, hlm 7.
21
18
obyek yang kongkrit, empirik dan dapat dibuktikan secara nyata, misanya ungkapan kata al-jannah (surga) dan al-nār (neraka). Dalam upaya mengatasi stagnāsi bahasa, maka sangat realitis jika kemudian dikembangkan bahasa metafor dan analogi. Karena bahasa metafor dan analogi dapat menjembatani antara rasio manusia yang terbatas dengan bahasa al-Qur’an yang serba tidak terbatas. Bahasa al-Qur’an sangat komunitif dan bisa diterima sekalipun dalam satu sisi sangat menantang kemampuan dan kepandaian para ahli bahasa dan sastra pada saat itu. Mereka adalah masyarakat yang sangat mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Qur’an, serta menyadari ketidak mampuannya untuk menyusun semisal alQur’an. Tetapi, sebagian mereka ada yang tidak mau menerima kehadiran al-Qur’an, karena pesan-pesan yang dikandungnya tidak sejalan dan bertentangan denga kebiasaan, tradisi dan kepercayaan yang diyakini. Sesunguhnya sikap penolakan yang mereka lontarkan bertentangan dengan keyakinan yang sebenarnya, mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah syair, tetapi mereka sangat menyadari akan keindahan susunan dan irama yang tidak mungkin dibuat
oleh
22
Muhammad SAW.
Karena semua gaya dalam hubungan ini gaya karya sastra, karya sastra yang berhasil adalah artifisial, diciptakan dengan sengaja. Gaya dengan demikian adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan perasaan. Tampa adanya proses hubungan yang harmonis antara kedua gejala tersebut, maka gaya bahasa tidak ada. Dalam istilah aktifitas komunikasi antara pikiran dan perasaan diproduksi secara terus-menerus sejak awal hingga akhir, sehingga keseluruhan karya dapat dianggap sebagai memiliki gaya bahasa.23
22
Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an…, hlm. 2-3. Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian…, hlm. 6.
23
19
d.
Kalimat yang Serasi Pemilihan huruf dalam al-Qur’an dengan mengabungkan antara konsonan dan vokal sangat serasi sekali, sehingga memudahkan dalam pengucapan (terutama bagi bangsa Arab, tempat al-Qur’an diterunkan dan mereka ditantang untuk menandinginya) keserasian dalam tata bunyi al-Qur’an adalah keserasian adalam mengatur harakat (tanda baca yang menimbulkan bunyi a, i, dan u), sukun (tanda baca mati) madd (tanda baca yang menimbulkan panjang) dan gunnah (nāsal) sehingga enak untuk di dengar dan diresapi.24 Keserasian bunyi pada akhir ayat melebihi keserasian yang dimiliki puisi, karena al-Qur’an mempunyai purwakanti yang beragam sehingga tidak menjemukan perhatikan saja semisal surah al-Kahfi ayat 9-16:
24
Syihabudin Qulyubi, Stilistika al-Qur’an…, hlm. 40.
20
9.
atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka Termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?10. (ingatlah) tatkala Para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami (ini)."11. Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu,12. kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).13. Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.14. dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan Kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; Kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, Sesungguhnya Kami kalau demikian telah mengucapkan Perkataan yang Amat jauh dari kebenaran".15. kaum Kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?16. dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, Maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.(Q.S. al-Kahfi: 916).25 Pada akhir ayat-ayat terdapat bunyi vokal “a” namun diiringi oleh konsonan yang bervariasi sehingga menimbulkan hembusan suara yang berbeda, yaitu antara ba´, da´, ta´, dan qa´. Sehingga tidak anaeh tatkala al-Qur’an turun hati orng arab tersentuh oleh keserasian dan keindahanya, mereka mengira al-Qur’an itu puisi, namun al-Wālid bin al-Mugīrah seorang ahli puisi pra Islam, kala itu membantahnya, Departemen Agama RI. al-Qur’an dan terjemahny, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. al-kahfi: 9-16, hlm. 294-295. 25
21
karena bunyi al-Qur’an berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang sudah mereka kenal.26 Dalam al-Qur’an kita menemukan beberapa preferensi kata yang menjalin dialetika antara teks dengan konteks geografis tanah Arab. Misalnya, ketika al-Qur’an melukiskan dahsyatnya hari kiamat, ia digambarkan laksana gunung-gunung yang berubah menjadi tumpukan pasir yang berterbangan:
Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan, dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang berterbangan.(Q.S.al-Muzzamil:14).27 Sebuah gambaran yang intensitasnya melebihi badai padang pasir yang mesti dihadapai oleh pengembara. Situasi itu juga ditamsilkan al-Qur’an sehubungan dengan perbuatan orang-orang kafir. Disebutkan bahawa amalan-amalan mereka seperti debu pasir yang berterbangan dihembus angin rebut,:
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti Abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.(Q.S.´Ibrāhīm:18).28 26
Syihabudin Qulyubi, Stilistika al-Qur’an…, hlm. 40. Departemen Agama RI. al-Qur’an dan terjemahny, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S.al-Muzammil: 14, hlm. 574. 28 Departemen Agama RI. al-Qur’an dan terjemahny, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. Ibrāhīm:,18 hlm. 257. 27
22
pada ayat tersebut situasi kejamnya kehidupan dipadang pasir terut menjadi latar dalam pemilihan kata (ikhtiar al-lafẓ).29 e.
Kaya dengan Seni Redaksional Gaya bahasa al-Qur’an dalam konteks ilmu bayan yang dalam kajian bahasa Arab ia identik dengan mengunakan bahasa metaforiksimbolik, diantaranya adalah gaya bahasa tasbīh, istia´rah, majāz, dan kināyah. Langkah yang bertanggung jawab adalah sangat penting dalam memahami metafora keagamaan dan menempatkan metafora itu pada konteks sosial, kultur, dan historis ditempat metafora itu diciptakan. Karena situasi sosial, kultur, politis, dan kesejarahan yang dialami oleh suatu komunitas keagamaanlah yang membuat mereka menciptakan metafora-metafora keagamaan. Setiap metafora adalah kontruksi dari sosio-kultural yang dibangun oleh masyarakat yang sekaligus juga berefek untuk merancang bangunan masyarakat dan budayanya.30 1) Majāz adalah kebalikan dari ḥaqiqah. Sebuah kata yang mengacu kepada makana asal atau makna dasar, tampa mengundang kemungkinan makna lain disebut dengan ḥaqiqah. Sedangkan majāz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan makna dasar ke makna yang lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar. Secara teoritik majāz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju keliterer, atau dari yangdenotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.seperti pada ayat:31
29
Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an…, hlm.6. ῾A´isyah ῾Abdurrahman bint al-Syāṭ´I, al-´i´jāz al-bayānī lilQur´ān wa masā´il ´Ibn al´Azraq dirāsah Qur´āniyyah lugawiyyah wa bayāniyyah, Dār al-Ma῾ārif, Kairo, t.th, hlm. 104. 31 Ahmad Muzakki, Pengantar Teori Sastra Arab, UIN Maliki Pres, Malang, 2011, hlm. 181. 30
23
Aatau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati dan Allah meliputi orang-orang yang kafir (Q.S. al-Baqarah: 19).32 Keadaan orang-orang munafik Mekah ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan, adalah seperti orang yang ditimpa hujan leba dan petir, mereka menyumbat telingganya karena tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan alQur’an. Secara leksikal kata ´aṣabi῾ maknanya adalah jari-jari dan mustahil bagi mereka untuk menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur yang mematikan. Tapi yang dimaksud ´aṣabi῾ pada ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya. Berdasarkan konsep teori diatas maka kata ´aṣabi῾ disebut majāz, salah satu alasanya adalah menyampaikan ungkapan dalam bentuk plural (jama’) namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.33 2) Tasbīh secara bahasa berarti penyerupaan, sedangkan secara terminologis adalah penyerupaan dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu. Para sastrawan Arab menjelaskan bahwa tasbīh merupakan elemen vital dalam karya sastra. Menurut mereka tasbīh mempunyai empat unsur: 1) suatu yang diperbandingkan (Al-Musabah), 2) obyek perbandingan (AlMusaba bih), 3) alasan perbandingan (wajah sabah), 4) perangkat perbandingan (adat sabah). Tasbīh berfungsi memperjelas makana sertamemperkuad maksud dari sebuah ungkapan. Sehinga orang mendengarkan pembicaraan bisa merasakan seperti pengalaman psikologi si pembicara, seperti dalam ayat:
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan terjemahny, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. al-Baqarah: 19 hlm. 4. 33 Al-Sayid ´Ahmad al-Hāsyimī, Jawāhiru al-Balāgah Fī al-Ma῾ānī wa al-badī῾, Dār alKutub ῾Ilmiyyah, Bairut, 2012, hlm. 178. 32
24
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surgasurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya(Q.S.al-Baqarah:25).34 Kebutuhan fisik berupa air dan buah-buahan, serta kebutuhan biologis berupa istri-istri, merupakan fenomena dan realita yang menimpa masyarakat Arab. Untuk menggugah kepercayaanya, agar mereka mau beriman kepada ajaran yang dibawa Nabi SAW. dan kemudia diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata, maka al-Qur’an perlu menyampaikan dalam bentuk gaya bahasa tasbīh, yaitu surga diperumpamakan anhar (sungai-sungai), di dalam surga mereka diberi thamarah (buahbuahan), dan disiapkan azwāj muṭaharāh (istri-istri yang suci). Dengan kondisi geografi Arabia yang tidak ramah, maka pemilihan kata atau frase yang disajikan al-Qur’an seperti pada ayat diatas sangat memotivasi keyakinan mereka sekaligus menjadi dambaan dalam hidupnya.35
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. al-Baqarah: 25, hlm. 5. 35 Al-Sayid ´Ahmad al-Hāsyimī, Jawāhiru al-Balāgah Fī…hlm. 174-176. 34
25
3) Isti’arah adalah meminjam kata untuk dupakai dalam kata yang lain karena ada beberapa faktor. Pada lazimnya, orang Arab sering meminjam kata dan menempatkanya untuk kata yang lain tatkala ditemukan alasan-alasan yang memungkinkan. Pengertian lain menyebutkan, isti’arah adalah peminjaman makna kata untuk kata lainyayang mana kata tersebutpada awalnya
tidak
memiliki
makna
yang
dipinjamkan.
Mendefinisikan isti’arah sebagai peralihan makna dari kata yang dalam pengunaan bahasa keseharian memiliki makna dasar, atau makna asli kemudian karena alasan tertentu makna itu beralih kepada
makna
lainya,
bahkan
melampaui
batas
makna
leksikalnya, Sebagaimana ayat:
Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.(Q.S. ´Ibrāhīm:1).36 Dalam ayat diatas terdapat tiga kata yang dipinjam yaitu: al-ẓulumāt (gelap gulita), al-nūr (cahaya), al-ṣirāṭ (jalan). Kata al-ẓulumāt dipinjam dari kata al-kufr (kekufuran), aslinya kekufuran diserupakan dengan suasana gelap gulita karena samasama tidak ada cahaya atau petunjuk.Kemudian kata al-kufr di buang dan dimasukanya dipinjamkan kepada kata al-ẓulumāt. Kata al-nūr dipinjam dari kata al-iman (keimanan), asalnya keimanan
diserupakan
dengan
cahaya
karena
sama-sama
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S. Ibrāhīm: 1 hlm. 257. 36
26
menerangi kehidupan.Kemudian kata al-iman dibuang dengan maksud dipinjamkan kepada kata al-nūr. Sedangkan kata al-ṣirāṭ dipinjam dari kata al-Islam (keislaman), asalnya jalan yang diserupakan dengan Islam karena sama-sama memberikan cara atau aturan hidup. Kemudian alIslam dibuang dan maksudnya dipinjam kepada kata al-ṣirāṭ. Jadi dalam memahami ayat tersebut hendaknya kata al-ẓulumāt dipahami sebagai kekufuran, kata al-nūr dipahami dengan keimanan, dan kata al-ṣirāṭ dengan keIslaman. Sebab menurut akal, diturunkanya al-Qur’an kepada manusia bukan karena supaya mereka kuluar dari suasana gelap gulita menuju cahaya untuk memperoleh jalan, tetapi al-Qur’an sebagai pedoman hidup, dia diturunkan agar manusia bisa keluar dari kekufuran menuju keimanan dengan aturan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.37 4) Kināyah ada kemiripan dengan gaya bahasa metonimia, ia berasal dari bahasa yunani, meta yang berarti menunjukan perubahan dan onama yang berarti nama. Dengan demikian metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Al-Sayid ´Ahmad al-Hāsyimī, Jawāhiru al-Balāgah Fī…hlm. 187-190
37
27
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(Q.S.al-Nisa´:43).38 Secara leksikal, kata lamastum berarti saling menyentuh, tetapi jika melihat konteks keseluruhan ayat maka yang dimaksudkan menurut jumhur ulama adalah berhubungan badan (jama῾tum), sekalipun ada sebagian pendapat lain, yaitu menyentuh.39 3. Konsep al-Asmā’ al-Ḥusnā a.
Pengertian al-Asmā’ al-Ḥusnā Kata al-Asmā´ adalah bentuk jamak dari kata al-Ism yang biasa diterjemahkan dengan “nama”. Ia berakar dari kata assume yang berarti ketinggian, atau asimah yang berarti tanda. Memang nama merupakan tanda bagi sesuatu, sekaligus harus dijunjung tinggi. Allah memiliki apa yang dinamai-Nya sendiri dengan al-Asmā’ dan bahwa al-Asmā’ itu bersifat husnā. Kata al-Husnā adalah bentuk mu´annaṡ/feminism dari kata Ahsan yang berarti terbaik. Pensifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlative ini menunjukan bahwa nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga terbaik, bila dibandingkan dengan nama-nama yang lainya, apakah yang baik dari selain-Nya itu wajar disandang-Nya atau tidak. Sifat pengasih -misalnya- adalah baik. Ia dapat disandang oleh mahluk/manusia, tetapi karena bagi Allah nama
Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Jumānatul ´Alī, Bandung, 2004, Q.S.al-Nisa´: 43 hlm. 85. 39 Ahmad Muzakki, Stilistika al-Qur’an…, hlm. 148-149. 38
28
yang terbaik, maka pastilah sifat kasih-Nya melebihi sifat kasih mahluk, dalam kapasitas kasih maupun subtansinya. Di sisi lain sifat pemberani , merupakan sifat yang baik disandang oleh manusia, namun sifat ini tidak wajar disandang Allah, karena keberanian mengandung kaitan dengan subtansinya dengan jasmani, sehingga tidak mungkin disandangkan kepada-Nya. Ini berbeda dengan sifat kasih, pemurah, adil dan sebagainya. Kesempurnaan manusia adalah jika ia memiliki keturunan, tetapi sifat kesempurnaan manusia ini, tidak mungkin pula disandang-Nya karena ini mengakibatkan adanya unsur kesamaan Tuhan dengan yang lain, disamping menunjukan kebutuhan, sedangkan hal tersebut mustahīl bagi-Nya. Demikian kata al-Husnā menunjukan bahwa nama-namanya adalah nama-nama yang amat sempurna, tidak sedikitpun tercemar oleh kekurangan.40 Al-Asmā’ al-Ḥusnā secara harfiah berarti nama-nama yang terbaik, istilah ini diambil dari beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mempunyai berbagai bahwa Allah mempunyai beberapa nama yang terbaik. Melalui nama-nama tersebut, umat Islam bisa mengetahui keagungan Allah yang menyeru dengan nama-nama tersebut ketika berdo’a dan mengharap kepadaNya. Meskipun dalam al-Qur’an sudah disebutkan beberapa nama yang terbaik itu.41 Nama/sifat-sifat yang disandang-Nya itu, terambil dari bahasa manusia, namun kata yang digunakan saat disandang manusia, pasti mengandung makna kebutuhan serta kekurangan, walaupun ada diantaranya yang tidak dapat dipisahkan dari kekurangan tersebut dan ada pula yng dapat dipisahkan. Keberadaan pada satu tempat, atau arah tidak mungkin dapat dipisahkan dari manusia. Ini merupakan keniscayaan sekaligus kebutuhan bagi manusia, dan dengan demikian 40
M. Syafi’ie El-Bantanie, Rahasia Keajaiban Asmaul Husna, Wahyu Media, Jakarta, 2009,
hlm. x. 41
xvi.
M. Zulkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2011, hlm.
29
ia tidak disandangkan dengan Tuhan, karena pemustahilan pemisahan itu. Ini berbeda dengan kata “kuat” bagi manusia, kekuatan diperoleh oleh sesuatu yang bersifat materi yakni adanya otot-otot yang berfungsi baik, dalam arti kita membutuhkan hal tersebut untuk memiliki kekuatan. Kebutuhan tersebut tentunya tidak sesuai dengan kebesaran Allah, sehingga sifat kuat bagi Tuhan hanya dapat dipahami dengan menyingkirkan dari nama/sifat tersebut hal-hal yang mengandung makna kekurangan dan atau kebutuhan itu.42 b.
Hakikat Al-Asmā’ al-Ḥusnā dalam Al-Qur’an Sangat popular berbagai riwayat yang menyatakan bahwa jumlah Al-Asmā’ al-Ḥusnā adalah Sembilan puluh Sembilan. Namanama Allah SWT itu yakni: 1.
Allah,
2.
اﻟﺮﺣﻤﻦAl-Rahman, (Yang Maha Pengasih)
3.
اﻟﺮﺣﯿﻢAl-Rahīm, (Yang Maha Penyayang)
4.
اﻟﻤﻠﻚAl-Malik, (Yang Maha Merajai)
5.
اﻟﻘﺪوسAl-Qudūs, (Yang Maha Suci)
6.
اﻟّﺴﻼمAl-Salām, (Yang Maha Menyelmatkan)
7.
اﻟﻤﺆﻣﻦAl-Mu´min, (Yang Maha Memberi Keamanan)
8.
اﻟﻤﮭﯿﻤﻦAl-Muhaimin, (Yang Maha Melindungi)
9.
اﻟﻌﺰﯾﺰAl-῾Azīz, (Yang Maha Perkasa)
10. اﻟﺠﺒﺎرAl-Jabbār, (Yang Maha Memaksa) 11. اﻟﻤﺘﻜﺒﺮAl-Mutakabbir, (Yang Maha Sombong) 12. اﻟﺨﺎﻟﻖAl-Khāliq, (Yang Maha Pencipta) 13. اﻟﺒﺮيAl-Barī, (Yang Maha Mengadakan) 14. اﻟﻤﺼﻮرAl-Muṣawwir, (Yang Maha Membentuk) 15. اﻟﻐﻔﺎرAl-Gaffār, (Yang Maha Pengampun) 16. اﻟﻘﮭﺎرAl-Qahhār, (Yang Maha Perkasa) 17. اﻟﻮھﺎبAl-Wahhāb, (Yang Maha Memberi Karunia) 42
M. Qurais Shihab, Menyikap Ta’bir Ilahi Asma’ al-Husna Dalam Perpektif Al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta 1998. hlm xxxiv-xxxix.
30
18. اﻟﺮزاقAl-Razzāq, (Yang Maha Memberi Rejeki) 19. اﻟﻔﺘﺎحAl-Fatāh, (Yang Maha Membuka) 20. اﻟﻌﻠﯿﻢAl-‘Alīm, (Yang Maha Mengetahui) 21. اﻟﻘﺎﺑﺾAl-Qābiḍ, (Yang Maha Menahan) 22. اﻟﺒﺎﺳﻂAl-Bāsiṭ, (Yang Maha Melepaskan) 23. اﻟﺨﺎﻓﺾAl-Khāfiḍ, (Yang Maha Merendahkan) 24. اﻟﺮاﻓﻊAl-Rāfi’, (Yang Maha Meningikan) 25. اﻟﻤﻌﺰAl-Mu’iz, (Yang Maha Memuliakan) 26. اﻟﻤﺬلAl-Mużil, (Yang Maha Menghinakan) 27. اﻟﺴﻤﯿﻊAl-Samī’, (Yang Maha Mendengar) 28. اﻟﺒﺼﯿﺮAl-Bashīr, (Yang Maha Melihat) 29. اﻟﺤﻜﻢAl-Hakam, (Yang Maha Menghukumi) 30. اﻟﻌﺪلAl-‘Adil, (Yang Maha Adil) 31. اﻟﻠﻄﯿﻒAl-Laṭif, (Yang Maha Lembut) 32. اﻟﺨﺒﯿﺮAl-Khabīr, (Yang Maha Waspada) 33. اﻟﺤﻠﯿﻢAl-Halīm, (Yang Maha Penyantun) 34. اﻟﻌﻈﯿﻢAl-‘Aẓīm, (Yang Maha Agung) 35. اﻟﻐﻔﻮرAl-Gafūr, (Yang Maha Mengampuni) 36. اﻟﺸﻜﻮرAl-Syakūr, (Yang Maha Berterima Kasih) 37. اﻟﻌﻠﻲAl-‘Alī, (Yang Maha Tinggi) 38. اﻟﻜﺒﯿﺮAl-Kabīr, (Yang Maha Besar) 39. اﻟﺤﻔﯿﻆAl-hafāḍ, (Yang Maha Menjaga) 40. اﻟﻤﻘﯿﺖAl-Muqīt, (Yang Maha Memberi Makan) 41. اﻟﺤﺴﯿﺐAl-Hasīb, (Yang Maha Menghitung) 42. اﻟﺠﻠﯿﻞAl-Jalīl, (Yang Maha Sempurna) 43. اﻟﻜﺮﯾﻢAl-Karīm, (Yang Maha Mulia) 44. اﻟﺮﻗﯿﺐAr-Raqīb, (Yang Maha Mengawasi) 45. اﻟﻤﺠﯿﺐAl-Mujīb, (Yang Maha Mengabulkan) 46. اﻟﻮاﺳﯿﻊAl-Wāsī’, (Yang Maha Luas) 47. اﻟﺤﻜﯿﻢAl-Hakīm, (Yang Maha Bijaksana) 48. اﻟﻮدودAl-Wadūd, (Yang Maha Mengasisi)
31
49. اﻟﻤﺠﯿﺪAl-Majīd, (Yang Maha Mulia) 50. اﻟﺒﺎﻋﺚAl-Ba’iṡ, (Yang Maha Membangkitkan) 51. اﻟﺸﮭﯿﺪAl-Syahīd, (Yang Maha Menyaksikan) 52. اﻟﺤﻖAl-Haq, (Yang Maha Benar) 53. اﻟﻮﻛﯿﻞAl-Wakīl, (Yang Maha Mewakili) 54. اﻟﻘﻮيAl-Qawī, (Yang Maha Kuat) 55. اﻟﻤﺘﯿﻦAl-Matīn, (Yang Maha Kokoh) 56. اﻟﻮﻟﻲAl-Walī, (Yang Maha Melindungi) 57. اﻟﺤﻤﯿﺪAl-Hamīd, (Yang Maha Terpuji) 58. اﻟﻤﺤﺼﻲAl-Muhṣī, (Yang Maha Menghitung) 59. اﻟﻤﺒﺪئAl-Mubdi’, (Yang Maha Memulai) 60. اﻟﻤﻌﯿﺪAl-Mu῾īd, (Yang Maha Mengembalikan) 61. اﻟﻤﺤﯿﻰAl-Muhyī, (Yang Maha Menghidupkan) 62. اﻟﻤﻤﯿﺖAl-Mumīt, (Yang Maha Mematikan) 63. اﻟﺤﻲAl-Hayyu, (Yang Maha Hidup) 64. اﻟﻘﯿﻮمAl-Qayūmu, (Yang Maha Berdiri Sendiri) 65. اﻟﻮاﺟﺪAl-Wājid, (Yang Maha Menemukan) 66. اﻟﻤﺎﺟﺪAl-Mājid,( Yang Maha Memiliki Kemulyaan) 67. اﻟﻮاﺣﺪAl-Wāhid, (Yang Maha Tunggal) 68. اﻷﺣﺪAl-´Ahad, (Yang Maha Esa) 69. اﻟﺼﻤﺪAl-ṣamad, (Yang Maha Dibutuhkan) 70. اﻟﻘﺎدرAl-Qādir, (Yang Maha Kuasa) 71. اﻟﻤﻘﺘﺪﯾﺮAl-Muqtadīr, (Yang Maha Memiliki Kekuasaan) 72. اﻟﻤﻘﺪﯾﻢAl-Muqaddīm, (Yang Maha Mendahului) 73. اﻟﻤﺆﺧﺮAl-Mu’akhir, (Yang Maha Mengakhiri) 74. اﻷولAl-´Awwal, (Yang Maha Awal) 75. اﻷﺣﺮAl-´Akhir, (Yang Maha Akhir) 76. اﻟﻈﺎھﺮAl-Ẓāhir, (Yang Maha Nyata) 77. اﻟﺒﻄﻦAl-Baṭin, (Yang Maha Samar) 78. اﻟﻮاﻟﻰAl-Wālī, (Yang Maha Menguasai) 79. اﻟﻤﺘﻌﺎﻟﻰAl-Muta’alī, (Yang Maha Memiliki Ketingian)
32
80. اﻟﺒﺮ
Al-Barru, (Yang Maha Baik)
81. اﻟﺘﻮابAl-Tawwābu, (Yang Maha Menerima Taubat) 82. اﻟﻤﻨﺘﻘﻢAl-Muntaqim, (Yang Maha Menyiksa) 83. اﻟﻌﻔﻮ
Al-‘Afwu, (Yang Maha Memaafkan)
84. اﻟﺮءوفAl-Ra´ūf, (Yang Maha Belas Kasihan) 85. ﻣﺎﻟﻚ اﻟﻤﻠﻚMalik al-Mulk, (Yang Maha Memiliki Kerajaan) 86. ذواﻟﺠﻼل واﻹﻛﺮمẒū al-Jalāli Wa al-´Ikram, (Yang Maha Memiliki Kebesaran Dan Kemulyaan) 87. اﻟﻤﻘﺴﻂAl-Muqsiṭ, (Yang Maha Adil) 88. اﻟﺠﺎﻣﻊAl-Jāmi’, (Yang Maha Menghimpun) 89. اﻟﻐﻨﻲAl-Ganī, (Yang Maha Kaya) 90. اﻟﻤﻐﻨﻲAl-Mugnī, (Yang Maha Memberi Kekayaan) 91. اﻟﻤﺎﻧﻊAl-Māni’, (Yang Maha Mencegah) 92. اﻟﻀﺎرAl-Ḍaru, (Yang Maha Memberi Mudlarat) 93. اﻟﻨﺎﻓﻊAl-Nāfi’, (Yang Maha Memberi Manfaat) 94. اﻟﻨﻮرAl-Nūr, (Yang Maha Cahaya) 95. اﻟﮭﺎديAl-Hādī,( Yang Maha Memberi Petunjuk) 96. اﻟﺒﺪﯾﻊAl-Badī’, (Yang Maha Pencipta) 97. اﻟﺒﺎﻗﻲAl-Bāqī, (Yang Maha Kekal) 98. اﻟﻮارثAl-Wāriṡ, (Yang Maha Mewarisi) 99. اﻟﺮﺷﯿﺪAl-Rasyid, (Yang Maha Memberi Petunjuk) 100.اﻟﺼﺒﻮرAl- Ṣabūr, (Yang Maha Penyabar).43 c.
Manfaat al-Asmā’ al-Ḥusnā Keberadaan
al-Asmā’
al-Ḥusnā
dalam
agama
Islam
mempunyai beberapa aspek kemanfaatan diantaranya adalah: 1) Menjelaskan “kepribadian” Allah SWT. , sehingga setiap orang mengenal Allah dengan baik. 2) Nama-nam terbaik itu bisa digunakan manusia untuk memohon pertolongan ketika berdo’a kepada Allah SWT.
43
Ibid, hlm. xxxix-xliii.
33
3) Demi tegaknya moral yang baik dalam kehidupan maka setiap orang perlu mewujudkan makna “kepribadian” Allah dalam kehidupanya pribadi, atau dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, atau dengan manusia yang lain, alam semesta dan dengan tuhan. 4) Jika kurang mampu menghayatinya dalam kehidupan, minimal bisa membacanya secara rutin setiap hari, sehingga dapat menghafalnya diluar kepala. Kalau disederhanakan maka hanya ada dua fungsi utama alAsmā’ al-Ḥusnā yaitu: bagi Allah untuk menjelaskan kepribadianNya, dan bagi hamba (manusia), untuk tegakan moral yang baik dalam kehidupan.44
B. Penelitian Terdahulu Ada beberapakajian yang pernah dilakukan dalam tema yang serupa dengan ini, seperti beberapa hal berikut ini: 1.
Stilistika al-Quran Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an, karangan Syihabudin Qulyubi, buku ini membahas stilistika secara umum dalam al-Qur’an, karena hanya membahas teori-teori dari ilmu stilistika saja, dan buku ini lebih memfokuskan pada kisah-kisah dalam al-Qur’an, yang mana buku ini mengkhususkan kisah nabi Yūsuf.
2.
Stilistika
al-Qur’an,
Gaya
Bahasa
al-Qur’an
Dalam
Konteks
Komunikasi, karya Ahmad Muzakki, buku ini tidak jauh berbeda dengan karangan Syihabudin Qulyubi, karena memang buku ini menginduk pada Stilistika al-Qur’an karangan Syihabudin Qulyubi, buku ini hanya membahasa dasar-dasar dari teori stilistika. 3.
“Upaya Guru Dalam Mengatasi Malas dan Lalai Melalui Dzikir alAsmā’ al-Ḥusnā Pada Peserta didik Madrasah ´Āliyah NU Nurussalam Besito Gebog Kudus”
tugas akhir dari Imam Ali Munthoha, NIM.
108087, STAIN Kudus. Disini hanya membahas Upaya yang dilakukan 44
M. Zulkani Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan…, hlm. xviii
34
guru dalam mengatasi malas dan lalai melalui dzikir asmaul husna pada peserta didik Madrasah Aliyah NU Nurussalam Besito Gebog Kudus, Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi upaya guru dalam mengatasi malas dan lalai peserta didik Madrasah Aliyah NU Nurussalam Besito Gebog Kudus. Penelitian ini menggunakan metode penelitian field research (penelitian lapangan) yang disajikan secara diskriptif kualitatif. Sedangkan ini akan mengunakan penelitian kepustakaan dan akan memfokuskan pada al-Asmā’ al-Ḥusnā yang ada pada akhir ayat yang mempunyai kesesuaian yang sangat tepat dengan makna ayat-ayatnya. Kalau melihat dari ketiga penelitian diatas, penelitian yang dilakukan kali ini sangat berbeda, seperti pada karangan Syihabudin Qulyubi, meskipun beliau mengangkat tema yang sama tentang stilistika dalam al-Qur-an, namun titik berat penelitian beliau yaitu pada pembahasan tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an, dan lebih memfokuskanya lagi pada kisah Nabi Yūsuf. Begitu juga pada penelitian Ahmad Muzakki, beliau hanya memberi pengertian tentang ilmu-ilmu yang berkaitan dengan stilistika al-Qur’an, tidak spesifik membahas penelitian stilistika (gaya bahasa) dalam al-Qur’an. Kemudian yang terahir adalah penelitian teman sealmamater sendiri, yaitu saudara Imam Ali Muthaha. Dalam penelitannya, dia hanya meneliti dari segi kegunaan membaca al-Asmā’ al-Ḥusnā pada anak sekolah supaya tidak malas dan lalai dalam belajar. Hal tersebut tentunya sangat jauh dari apa yang akan penulis kaji saat ini, yakni penelitian yang lebih menitikberatkan pada stilistika alAsmā’ al-Ḥusnā pada al-Qur’an. Berangkat dari sini, penulis menganggap bahwa penelitian yang akan penulis lakukan sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena pada penelitian kali ini akan memfokuskan tentang gaya bahasa (stilistika) alQur’an pada saat ayat-ayatnya di akhiri dengan mengunakan al-Asmā’ alḤusnā, yangmana hal tersebut belum tersentuh oleh peneliti sebelumnya.
35
C. Kerangka Berfikir Keindahan bahasa al-Qur’an, memang selalu menarik untuk dibahas, bahkan dari berbagai sudut pandang keilmuan kebahasaan (seperti balāgah, sastra, mantiq dan stilistika itu sendiri), kita masih tetap bisa merasakan keindahan, dan keistimewaan gaya bahasa yang terdapat pada kata-kata didalam al-Qur,an. Stilistika (gaya bahasa) sendiri mempunyai banyak kajian mengenai susunan kata dalam al-Qur’an, salah satunya yang menjadi perhatian penulis adalah ketika mengungkap gaya bahasa (stilistika) terhadap ayat-ayat yang diakhiri dengan mengunakan sifat-sifat Tuhan yang terkumpul dalam al-Asmā’ al-Ḥusnā. Al-Asmā’ al-Ḥusnā yang terdapat pada akhir ayat, dengan berbagai isi serta kandungan, dinilai bukan suatu kebetulan semata, atau sesuatu yang asal-asalan. Bahkan jika diperhatikan, terdapat kesesuain serta kolerasi antar al-Asmā’ al-Ḥusnā yang digunakan dengan ayat tersebut,. Baik itu kaitanya dengan hukum syariat, etika, ataupun ancaman dan kabar gembira. Sebagaimana halnya setiap ayat yang berbicara tentang rahmat, sedang ayat itu diakhiri dengan al-Asmā’ al-Ḥusnā , maka dapat dipastikan al-Asmā’ alḤusnā yang digunakan adalah sifat Allah yang mengandung makna rahmat. Begitu juga ketika ayat itu berbicara tentang adab, maka al-Asmā’ al-Ḥusnā yang digunakan akan mengandung makna yang menunjukan keperkasaan dan kekuasaan-Nya. Bahkan yang lebih popular lagi dan yang lebih sering didengar, yaitu pada saat ayat-ayat dalam al-Qur’an itu berbicara tentang do’a-do’a, maka sudah bisa dipastikan bahwa ayat itu akan di akhiri dengan mengunakan alAsmā’ al-Ḥusnā yang mempunyai kandungan arti yang sesuai dengan apa yang diminta dalam do’a di ayatnya. Berangkat dari rasa ingin mengetahui seberapa jauh kesesuaian serta korelasi yang ada antara ayat-ayat dalam al-Qur’an, dengan al-Asmā’ alḤusnā yang terdapat pada akhir ayat tadi, maka penulis menganggap perlu, untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimana kesesuain al-Asmā’ al-Ḥusnā
36
yang terdapat pada akhir ayat dalan al-Qur’an, dengan mencoba melihat kesesuain itu dari sudut pandang gaya bahasa (stilistika) al-Qur’an, dan memahami makna-makna al-Asmā’ al-Ḥusnā pada setiap ayatnya.
Al-Asmā’al-Husnā
Penjelasan Tafsir Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 115-130 yang mengandung al-Asmā’al-Ḥusnā
Stilistika al-Qur’an
al-Asmā’al-Ḥusnā pada Akhir Ayat
Gaya Bahasa al-Asmā’alḤusnā pada akhir ayat