BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI
2.1
Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa
penelitian yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Soraya (2014) berjudul “Pengaruh Interaksi Sosial pada Perilaku Enjokousai Tokoh Tomoko dalam Film Tenshi no Koi Karya Sutradara Kanchiku Yuri” menganalisis tentang tokoh Tomoko yang menjadi pelaku enjokousai melalui interaksi sosial. Teori yang digunakan dalam penelitian Soraya adalah teori sosiologi sastra terfokus pada sistem interaksi sosial. Selain itu, Soraya juga menggunakan teori mise en scene karena data yang dianalisis berupa adegan dalam film. Hasil penelitian Soraya adalah setelah mengalami proses interaksi sosial, tokoh Tomoko kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai pelaku enjokousai. Dimulai dari adanya kontak sosial dan komunikasi dengan kelompok siswi populer, proses imitasi pada kelompok pertemanannya, kemudian sugesti dari kelompoknya. Tomoko merasa nyaman sebagai pelaku enjokousai. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada objek kajian yaitu mengenai enjokousai. Namun, dalam penelitian Soraya hanya menonjolkan kegagalan proses interaksi sosial sebagai penyebab tokoh Tomoko melakukan enjokousai sedangkan dalam penelitian ini dibahas secara lebih mendalam mengenai kehidupan seorang pelaku enjokousai dan juga dijelaskan secara rinci berbagai macam faktor-faktor penyebab tokoh melakukan
8
9
enjokousai. Penelitian Soraya memberikan pemahaman mengenai faktor penyebab enjokousai khususnya dari segi interaksi sosial. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Rani (2014) berjudul “Prostitusi Remaja Wanita Jepang dalam Anime Initial D” menganalisis tentang seorang gadis bernama Natsuki Mogi yang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang lebih tua darinya demi bisa memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan ekonomi maupun hasrat seksual. Teori yang digunakan yaitu teori semiotik Roland Barthes. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia. Hasil penelitian Rani adalah ditemukan unsur-unsur dan karakteristik dari tokoh Natsuki Mogi dan papa sebagai pelaku enjokousai. Selain itu, tokoh Natsuki Mogi merupakan refleksi pelaku enjokousai yang melakukan enjokousai hanya untuk menambah pengalaman seksual masa remaja. Pemahaman mengenai enjokousai dalam penelitian Rani hanya dijelaskan sebatas pemahaman akan hal-hal yang menjadi pendorong terjadinya enjokousai sedangkan dalam penelitian ini pemahaman mengenai enjokousai dilakukan secara lebih mendalam yaitu pemahaman mengenai jenis-jenis enjokousai, faktor penyebabnya, serta dampak yang ditimbulkan dari perilaku enjokousai. Penelitian Rani memberikan pemahaman mengenai konsep enjokousai khususnya mengenai hal-hal yang melatarbelakangi perilaku enjokousai. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Jiwaningrat (2008) yang berjudul “Analisis Konformitas Remaja dalam Kelompok yang Menjadi Salah Satu Penyebab
10
Perilaku Enjokousai dalam Film Love and Pop” menganalisis tentang remaja putri bernama Hiromi yang terjerumus ke dalam perilaku enjokousai karena konformitas dalam kelompok. Penelitian Jiwaningrat menggunakan teori konformitas. Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif. Hasil penelitian Jiwaningrat adalah tokoh Hiromi menjadi seorang pelaku enjokousai karena konformitas yang dianalisis dari empat unsur pemicu yaitu kepercayaan diri yang lemah, rasa takut terhadap celaan sosial, kepercayaan terhadap kelompok, dan kurangnya informasi. Adapun alasan yang mendasarinya yaitu kepercayaan diri yang lemah tercermin dalam tindakan dan perkataan Hiromi yang tidak pernah dapat menolak akan apa yang dikatakan oleh teman-temannya. Persamaan dengan penelitian ini yaitu mengangkat fenomena enjokousai yang terjadi di Jepang yang direfleksikan melalui tokoh dalam sebuah karya sastra. Pada penelitian Jiwaningrat, hanya mengangkat secara khusus konformitas sebagai salah satu penyebab terbesar perilaku enjokousai sedangkan pada penelitian ini dibahas secara mendalam mengenai perilaku enjokousai yang meliputi jenis-jenis perilaku enjokousai, hal-hal yang melatarbelakangi perilaku enjokousai, serta dampak yang ditimbulkan dari perilaku enjokousai. Penelitian Jiwaningrat memberikan pemahaman secara jelas mengenai konsep enjokousai.
2.2
Konsep Konsep merupakan semua istilah atau kata kunci yang digunakan dalam suatu
karya ilmiah. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.
11
2.2.1 Perilaku Menyimpang Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat (Arief Herdiyanto, 2004:5). Elisanti dan Rostini (2009:93) menyatakan bahwa penyimpangan merupakan ancaman, tetapi juga merupakan alat pemeliharaan stabilitas sosial. Perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial. Dewasa ini tidak ada satu pun masyarakat yang dapat bertahan dalam kondisi statis untuk jangka waktu yang lama. Perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi penyimpangan individual dan penyimpangan kolektif. Penyimpangan individual terdiri dari penyalahgunaan narkoba, proses sosialisasi yang tidak sempurna, pelacuran, penyimpangan seksual, tindak kriminal, gaya hidup, dan tindak eksentrik. Perilaku kolektif terdiri atas kenakalan remaja, tawuran pelajar, dan penyimpangan kebudayaan.
2.2.2 Enjokousai Istilah enjokousai berasal dari dua kata yaitu enjo (援助) yang berarti bantuan dan kousai (交際) berarti pergaulan (Matsuura, 1994). Jadi, enjokousai secara harfiah mengandung arti pergaulan bantuan atau seringkali disebut pergaulan yang menguntungkan. Namun, ternyata lambat laun pengertian enjokousai mulai berubah
12
dan mengalami perluasan makna. Istilah enjokousai didefinisikan sebagai transaksi yang dilakukan oleh seseorang dengan memberikan pelayanan seksual tanpa paksaan untuk mendapatkan sejumlah uang atau hadiah (Wakabayashi, 2003:145). Enjokousai dikenal sebagai fenomena sosial daerah perkotaan Jepang dan dikenal sebagai bentuk baru dari prostitusi. Perilaku enjokousai lebih banyak dilakukan oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Menurut Maruta, pelaku enjokousai berkisar pada usia 14-52 tahun, meskipun 96% dari mereka adalah remaja. Pekerjaan mereka berkisar dari sekolah tinggi, pekerja kantor, pekerja paruh waktu, dan ibu rumah tangga. Adapun orang-orang yang terlibat dalam enjokousai sebagai pembeli, rentang usia mereka dari sembilan belas sampai lebih dari delapan puluh tahun. Sebagian besar adalah pria usia tiga puluhan dan empat puluhan yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik untuk membayar pelaku enjokousai. Enjokousai dapat dimulai melalui perantara terekura (servis kencan dengan media telepon). Selain itu, terkadang gadis muda bertemu dengan pria di tempat-tempat umum seperti klub malam atau taman di siang hari. Karena seringkali enjokousai berakhir di sebuah hotel yang sering dinamakan “Love Hotel”, terutama yang berakhir dengan melakukan hubungan seksual. “Love Hotel” adalah hotel tempat pasangan yang sudah menikah atau yang belum menikah melakukan hubungan seksual dalam waktu singkat. Alasan banyak pasangan memilih “Love Hotel” adalah karena jika dilakukan di dalam rumah tidak ada privasi, dindingnya tipis, dan kamar sempit (Maruta dalam Wakabayashi, 2003:157).
13
Ada resiko signifikan yang dihadapi oleh gadis-gadis yang melakukan enjokousai dalam menghadapi pelanggannya yaitu seperti dipukuli atau diserang secara seksual karena perbedaan dalam hal kekuasaan, status ekonomi, kecerdasan, dan pengalaman antara pria dan wanita. Semakin banyak para gadis tersebut memiliki pelanggan, resiko terhadap bahaya tersebut semakin besar. Untuk menghindari bahaya tersebut, gadis-gadis lebih memilih hubungan jangka panjang. Untuk perlindungan juga, dua gadis mungkin terlibat dalam satu enjokousai yang disebut dengan “kyoyu papa” yang berarti “ayah bersama” atau dikonseptualisasikan sebagai lelaki milik para gadis. Tetapi, para lelaki tidak menyukai hubungan yang seperti itu karena beresiko tinggi membuat mereka teridentifikasi (Wakabayashi, 2003:158)
2.3
Kerangka Teori Teori yang digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai dalam novel
Grotesque karya Natsuo Kirino adalah Teori Sosiologi Sastra Wellek dan Warren dan Teori Patologi Sosial dari Kartini Kartono. 2.3.1 Teori Sosiologi Sastra Menurut Damono (1978:2) sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Selain itu, sosiologi sastra merupakan suatu telaah terhadap suatu karya sastra. Wellek dan Warren (dalam Damono, 1993:111-112) membagi sosiologi sastra menjadi tiga bagian, yaitu :
14
1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. 2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra, tujuan, serta halhal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri berkaitan dengan masalah sosial, situasi tertentu, atau dengan sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya. 3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra terhadap masyarakat. Dalam penelitian ini yang dibahas adalah isi dari novel Grotesque tentang fenomena sosial yang ada di Jepang yaitu perilaku enjokousai. Sehingga dari teori Wellek dan Warren tersebut, penelitian ini memfokuskan pada butir kedua yaitu sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino. 2.3.2 Teori Patologi Sosial Menurut Kartono, patologi sosial mengkaji mengenai gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” atau penyakit masyarakat. Berbagai penyakit masyarakat, antara lain : individu sosiopatik, perjudian, korupsi, kriminalitas, pelacuran, dan mental disorder. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-
15
batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Perbuatan melacurkan diri dilakukan baik sebagai kegiatan sambilan atau pengisi waktu senggang (amateurisme), maupun sebagai pekerjaan penuh atau profesi. Kartono (2014:216) menjabarkankan definisi dari pelacuran adalah sebagai berikut : 1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (prosmiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya. 2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. 3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah. Kebanyakan pelacur adalah wanita-wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka pada umumnya memasuki dunia pelacuran pada usia yang muda, yaitu 13-24 tahun dan yang paling banyak ialah usia 17-24 tahun. Tindak-tindak immoral seksual, berupa relasi seksual terang-terangan tanpa malu, sangat kasar, dan sangat provokatif
16
dalam bersenggama, dan dilakukan dengan banyak pria (promiskuitas) pada umumnya dilakukan oleh anak-anak gadis penganut seks bebas (Kartono, 2014:225). Kartono
(2014:245)
menjelaskan
motif-motif
yang
melatarbelakangi
pelacuran pada wanita dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan tingginya nafsu seksual yang dimiliki orang tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban penipuan, korban kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, Kartono (2014:251) membagi jenis-jenis prostitusi menjadi tiga macam, yaitu : a) Prostitusi menurut aktivitasnya : 1. Prostitusi yang terdaftar. Prostitusi yang pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. 2. Prostitusi yang tidak terdaftar. Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar,baik secara perorangan maupun kelompok. b) Pelacuran menurut jumlahnya : 1. Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator. 2. Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi. c) Pelacuran berdasarkan tempat penggolongan atau lokasinya : 1. Segreasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya.
17
2. Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour) Teori patologi sosial digunakan untuk menganalisis perilaku enjokousai serta dampak dari perilaku enjokousai yang terdapat dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino.