BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka Kakawin pada umumnya mengandung cerita dalam epos Ramayana dan
Mahabharata yang menceritakan perjalanan tokoh dalam cerita tersebut. Seiring perjalanan dan perkembangannya, ada kakawin yang menyimpang dari ketentuan tersebut. Salah satunya KBD karya I Nyoman Adiputra yang mengambil ide ceritanya dari Pulau Bali. Kajian tentang kakawin dari segi struktur formal kakawin dilakukan oleh Ranti (1998) dalam skripsinya yang berjudul “Kakawin Arjuna Pramada Analisis Struktur dan Fungsi”. Dalam penelitiannya Kakawin Arjuna Pramada dari segi struktur formal masih mengikuti konvensi dalam kakawin seperti guru-laghu, wreta dan matra, gana dan canda. Kajian tentang kakawin dalam sudut pandang konvensi dilakukan oleh Sumitri (1990) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Struktur dan Konvensi Kakawin Hanihārana”. Dalam penelitiannya Kakawin Harihārana dari segi konvensi masih mempertahankan tradisi, yaitu bahasa, sastra, dan budayanya. Dari bahasa masih mempertahankan bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa kakawin secara konvensional, dari sastranya terjadi penyimpangan yaitu tidak memuat bagian penutup (epilog), sedangkan dari struktur formalnya masih mengikuti konvensi kakawin. Dari segi budayanya Kakawin Harihārana merupakan sebuah
9
karya sastra kakawin ditulis di lingkungan kraton, karena pengarang menyebutkan kebesaran seorang raja sebagai pelindung. Harjanti (1998) dalam skripsinya yang berjudul “Kakawin Srudhayana Analisis Struktur dan Konvensi”. Dalam penelitiannya Kakawin Srudhayana dijalin dengan suatu konvensi cipta sastra kakawin, tetapi agak berbeda dengan konvensi kakawin pada umumnya. Perbedaaan ini disebabkan oleh susunan teksnya yaitu bagian akhirnya hanya menyebutkan tanggal penyalinan, nama penyalin. Dari segi konvensi bahasa masih tetap menggunakan bahasa Jawa Kuna dan dari segi konvensi budaya menyebutkan Dewa Kama sebagai yoganya dan menunjukkan rasa terima kasihnya sehingga menciptakan karya sastra kakawin.
2.2
Konsep Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi,
batasan secara singkat dari sekelompok fakta, gejala, atau merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penelitian.
2.2.1 Konvensi Secara umum, kakawin memiliki bentuk yang terikat yaitu konvensi dalam kakawin, seperti konvensi bahasa, sastra dan budaya. Secara konvensi bahasa, kakawin pada umumnya menggunakan bahasa Jawa Kuna. Bila terdapat bahasa selain bahasa Jawa Kuna, maka dapat dikatakan hal tersebut merupakan inkonvensional. Jendra (1982: 25) berpendapat konvensi bahasa adalah suatu alat yang paling utama dalam menentukan hasil karya sastra yang baik. Bahasa
10
merupakan alat komunikasi lisan maupun tulisan untuk menyampaikan informasi antara sesama manusia maupun terhadap lainnya. Bahasa dapat dipelajari melalui karya sastra, oleh karena itu antara bahasa dengan karya sastra memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan salah satu diantaranya. Bahasa juga merupakan alat kebudayaan yang sekaligus unsur kebudayaan yang tak terpisahkan. Menurut pendapat Teeuw (1988: 32) karya sastra tidak hanya mengikuti konvensi sastra yang telah ada, tetapi seringkali menyimpang sekaligus melampaui bahkan merombak konvensi. Fenomena tersebut tidak hanya dialami dalam sastra modern, tetapi juga dalam sastra tradisional, sebagaimana terlihat dalam karya kakawin. Pada prinsipnya pola aturan yang mengikat metrum kakawin seperti wrêtta, matra, dan guru-laghu masih tetap sama dengan konvensi sebelumnya. Akan tetapi, dari segi naratif terjadi penyimpangan yang signifikan. Berdasarkan hal tersebut periode pembaharuan lebih diartikan sebagai kebangkitan bagi suatu generasi pembaharu yang membawa arus kesusastraan Jawa Kuna menuju keorisinilitas, yaitu terciptanya suatu generasi Jawa Kuna yang asli (Suarka, 2002: 32). Sehingga KBD ini tergolong sebagai periode pembaharuan, karena berada pada tegangan antara konvensi dan kreasi (inovasi).
2.2.2 Inovasi Kata inovasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu innovation yang berarti pembaharuan, perubahan secara baru (Echols, John M. dan Shadily, Hassan, 1990: 323)
11
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 435) inovasi merupakan pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru, pembaharuan. Menginovasikan merupakan menampilkan sesuatu yang baru, bersifat pembaharuan (kreasi baru).
2.3
Landasan Teori Teori merupakan alat untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu,
dalam mempergunakan teori sastra haruslah dipilih teori yang relevan dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain, teori harus dipilih sesuai dengan kepentingan penelitian (Triyono, 1994:38). Sejalan dengan pendapat di atas Jendra (1982: 3) menyatakan teori sangat penting dalam suatu penelitian yang digunakan sebagai pijakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang hendak diselesaikan. Teori sangat bermanfaat untuk memberikan arah, tuntunan, memantapkan, dan mengontrol jalannya pelaksanaan peneliti sehingga dapat memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian yang
tidak menggunakan rancangan
penelitian. Berdasarkan latar belakang, pemaparan masalah, dan tujuan khusus yang hendak dicapai, maka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori konvensi untuk dapat mengetahui suatu inovasi dalam kakawin.
2.3.1 Teori Konvensi Pada umumnya unsur konvensi pada karya sastra lama sangat ketat. Hal ini erat hubungannya dengan berbagai fungsi, antara lain bahwa karya sastra lama itu untuk dinikmati bersama sehingga dalam ketaatan dalam segala lapisan mutlak
12
perlu untuk memudahkan orang mengingat-ingat atau menghafalkan, umpama lukisan tentang kecantikan seorang putri, keberanian, kepahlawanan, dan lain-lain. Fungsi lain adalah untuk mempertahankan model dunia konvensional serta guna penanaman kode tingkah laku kepada angkatan muda (Teeuw, 1978b: 263). Selanjutnya Jendra (1982: 25) berpendapat konvensi bahasa adalah suatu alat yang paling utama dalam menentukan hasil karya sastra yang baik. Bahasa merupakan alat komunikasi lisan maupun tulisan untuk menyampaikan informasi antara sesama manusia maupun terhadap lainnya. Bahasa dapat dipelajari melalui karya sastra, oleh karena itu antara bahasa dengan karya sastra memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan salah satu diantaranya. Bahasa juga merupakan alat kebudayaan yang sekaligus unsur kebudayaan yang tak terpisahkan. Karya sastra kakawin menggunakan bahasa yang lazim disebut Jawa Kuna. Bahasa Jawa Kuna tersebut secara khas dikembangkan sebagai konvensi dalam sastra (Wiryamantana dan L. Mardiwarsito, 1979: 1).
2.3.2 Teori Inovasi Kata inovasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu innovation yang berarti pembaharuan, perubahan secara baru (Echols, John M. dan Shadily, Hassan, 1990: 323) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 435) inovasi merupakan pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru, pembaharuan. Menginovasikan merupakan menampilkan sesuatu yang baru, bersifat pembaharuan (kreasi baru).
13
Pada umumnya unsur konvensi pada karya sastra lama sangat ketat. Hal ini erat hubungannya dengan berbagai fungsi, antara lain bahwa karya sastra lama itu untuk dinikmati bersama sehingga dalam ketaatan dalam segala lapisan mutlak perlu untuk memudahkan orang mengingat-ingat atau menghafalkan, umpama lukisan tentang kecantikan seorang putri, keberanian, kepahlawanan, dan lain-lain. Fungsi lain adalah untuk mempertahankan model dunia konvensional serta guna penanaman kode tingkah laku kepada angkatan muda (Teeuw, 1978b: 263). Selanjutnya Teeuw (1988: 32) berpendapat bahwa karya sastra tidak hanya mengikuti konvensi sastra yang telah ada, tetapi seringkali menyimpang sekaligus melampaui bahkan merombak konvensi. Fenomena tersebut tidak hanya dialami dalam sastra modern, tetapi juga dalam sastra tradisional, sebagaimana terlihat dalam karya kakawin. Pada prinsipnya pola aturan yang mengikat metrum kakawin seperti wrêtta, matra, dan guru-laghu masih tetap sama dengan konvensi sebelumnya. Akan tetapi, dari segi naratif terjadi penyimpangan yang signifikan. Berdasarkan hal tersebut periode pembaharuan lebih diartikan sebagai kebangkitan bagi suatu generasi pembaharu yang membawa arus kesusastraan Jawa Kuna menuju keorisinilitas, yaitu terciptanya suatu generasi Jawa Kuna yang asli (Suarka, 2002: 32).
14