BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Pengkajian yang dilakukan berkaitan dengan al-Barzanjī sudah banyak dilakukan, baik yang melihatnya dari segi aspek ritual pelaksanaan ataupun pengaruh budaya Arab dalam keseniaan tersebut. Selain itu juga ditemukan bahwa al-Barzanjī tidak hanya dikenal dalam masyarakat Islam tertentu, tetapi juga dalam semua masyarakat Islam. Apa yang dikemukakan ini menunjukkan bahwa al-Barzanjī merupakan sebuah keseniaan umumnya dikenal dalam masyarakat Islam, tetapi dari segi teknis pelaksanaan ritual dan pemaknaan setiap etnis masyarakat berbeda memahaminya. Untuk memudahkan pengkajian dalam hal ini akan dideskripsikan beberapa pengkajian yang pernah dilakukan berkaitan dengan objek penelitian ini. Penelitian yang cukup penting dilakukan Rohman (2013), dalam penelitiannya yang berujudul “Pandangan Dunia Ja’far al-Barzanjī dalam Iqdu al-Jawahir: Analisis Strukturalisme Genetik”. Penelitian ini menemukan bahwa struktur cerita yang ada di dalam al-Barzanjī terbangun dari oposisi liberal dan tradisional yang terangkum dalam sufisme sunni berfungsi sebagai penangkal budaya Barat yang masuk dalam budaya Haramain pada abad ke 17. Selain itu, fungsi al-Barzanjī ini juga diperkuat dengan kesusastraam khas Islam seperti al-Mazum al-Nabi yang dilakukan setiap momen tradisi ini dilakukan, sehingga karya ini dapat diterima di hampir seluruh negera berpenduduk umat Islam. Penelitian lain yang dilakukan agak berbeda dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan Tamtam (2013) yang berjudul “Tradisi Membaca Syair al9
Universitas Sumatera Utara
Barzanjī di Lingkungan Sosiokultural Masyarakat Kabupaten Cianjur: Kajian Makna, Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dan Upaya Pelestarianya”. Penelitian ini menemukan bahwa upaya yang dilakukan masyarakat dalam melestariakan keseniaan al-Barzanjī 1) meningkatkan proses pembelajaran dan pelatihan keseniaan al-Barzajanji pada majelis ta’lim dan pondok pesantren 2) menyelenggarakan festival al-Barzanjī secara berkala 3) menjadikan atau memasukkan syair-syair al-Barzanjī ke dalam bahasa ajar dan 4) mengadakan sosialisasi secara intensif, baik di perkotaan ataupun di pedesaan. Temuan penting dikemukakan oleh Fariduddin (2012) dalam penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya Arab pada Masyarakat Melayu Riau: Kajian Resepsi atas Teks al-Barzanjī” menemukan bahwa dalam masyarakat Melayu Riau terhadap teks al-Barzanjī dalam tradisi tulis menulis telah melahirkan beberapa karya saduran yang berbeda-beda seperti saduran prosa lirik versi Abubakar Ya’qub, versi Muhammad Zuhri dan versi Imran Supardi A.H. dalam tradisi lisan teks al-Barzanjī telah melahirkan pertunjukkan dalam acara keagamaan seperti acara maulid nabi, acara pernikahan, acara akikah, acara khitanan dan lainnya. Keseniaan al-Barzanjī dalam kaitannya sebagai nyanyian lokal diteliti Hukmi (2004) dalam penelitiiannya yang berjudul “Nyanian Vokal al-Barzanjī dalam Upacara Akikah di Desa Sekeladi Provinsi Riau”, yang menemukan bahwa keberadaan keseniaan al-Barzanjī dalam masyarakat Melayu masih bertahan karena masih terjaganya rasa solidaritas antara masyarakat dan kerelaan untuk aktif dalam kegiatan keseniaan karena keseniaan al-Barzanjī berfungsi sebagai
10
Universitas Sumatera Utara
hiburan pribadi, presentasi estetis, media komunikasi, penguat norma-norma masyarakat dan pelestarian budaya. Selain yang dikemukakan penelitian lain yang penting disebut dilakukan Salleh (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Suatu Perbincangan tentang Sejarah dan Asal Usul Syair”. Penelitian ini menemukan bahwa al-Barzanjī merupakan bentuk adanya transformasi budaya Arab ke dalam Melayu karena awalnya al-Barzanjī ini didendangkan menggunakan bahasa Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu seperti beberapa saduran yang ada dalam bahasa Melayu diduga diadopsi dari syair-syair al-Barzanjī. Selain itu, keseniaan al-Barzanjī memiliki peran tersendiri dalam penyebarluasan puisi-puisi yang berjeniskan syair. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan sebelumnya diketahui bahwa belum ada kajian yang menganalisis teks wacana al-Barzanjī dari tinjauan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF), yang dikaitkan dengan konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi teks yang ada dalam al-Barzanjī. Tinjauan LSF dalam mengkaji teks al-Barzanjī menarik karena pendekatannya yang tidak hanya membicarakan teks sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan teks dalam artian gramatikal, melainkan juga membicarakan teks dalam konteks yang mempengaruhinya seperti situasi, konteks, ideologi dan dien yang termuat di dalamnya.
2.2 Konsep Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa penelitian ini berkaitan dengan wacana teks al-Barzanjī, maka tentu saja konsep yang diajukan juga mengikuti arah pembahasan. 11
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Teks Teks secara filologi diartikan sebagai kata-kata yang berinteraksi dalam bentuk satu kesatuan yang utuh, terdiri atas beberapa kata, tetapi dapat juga terdiri atas beberapa teks yang tertulis dalam sebuah naskah yang berisi dalam naskah (Sudari, 2001: 4-5). Menurut Baried (1985: 56) teks juga merupakan kandungan atau muatan naskah yang berbentuk abstrak yang hanya dapat dibayangkan. Teks itu sendiri berisikan tentang ide-ide atau amanat yang akan disampaikan penulis kepada pembacanya dalam bentuk cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan alur, perwatakan, gaya bahasa dan sebagainya. Teks merujuk pada wujud konkrit bahasa dalam penggunaanya berupa untaian kalimat yang mengembangkan proposisi tertentu sebagai keutuhan. Teks sangat berkaitan dengan bahasa pembentukan interaksi dan komunikasi yang berlangsung (Soedewo, 2007: 20). Menurut Halliday (dalam Susanto 2008) teks merupakan sebuah pilihan simantis (semantic choice) dalam kaitannya dengan kontek sosial yang ada di dalam teks tersebut yang diungkapkan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam kaitan teks ini Halliday (1978: 135) menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan teks, di antaranya: i) Teks sebagai unit semantis, yaitu bahwa teks merupakan sebuah konsep semantik yang lebih besar dari pada kalimat atau klausa, tetapi teks sendiri tidak tersusun dari kalimat atau klausa, melainkan direalisasikan dalam bentuk kalimat. ii) Teks sebagai proyeksi makna pada lebih tingkatan yang lebih tinggi karena sebuah teks dapat direalisasikan dalam level-level sistem bahasa yang lebih 12
Universitas Sumatera Utara
rendah seperti sistem leksikografi dan fonologi yang juga direalisasikan dari tingkatan yang tinggi dari interpretasi, kesusastraan, sosiologis, psikologis dan lainnya yang dimiliki teks itu sendiri. iii) Teks sebagai sebuah proses sosio-sematis yang merupakan sebuah peristiwa sistem sosial yang sedang dipertukar antara satu dengan lainnya, yaitu anggota masyarakat sebagai individu pemakna (meaner) melalui tindak tutur pemaknaan antar individu dengan lainnya. iv) Teks sebagai sesuatu yang ditentukan oleh situasi sosial yang dipertukarkan oleh anggota masyarakat dalam bentuk teks, yang membentuk makna sebagai sistem sosial, maka situasi sangat menentukan bentuk dan makna teks tersebut. Berdasarkan penjelasan yang dikemukan dapat ditegaskan bahwa teks tidak hanya merupakan sebuah kata dalam artian harfiah, tetapi lebih dari pada itu teks juga memiliki konteks karena keduanya saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak hanya itu, teks dan konteks juga saling mempengaruhi dan sebaliknya bisa berpindah posisi dari teks ke konteks karena keduanya saling melengkapi. 2.2.2 Konteks Konteks diartikan sebagai suatu bunyi, kata atau frase yang mendahului dan mengikuti suatu unsur bahasa dalam ujaran. Konteks juga dapat diartikan sebagai ciri-ciri alam di luar bahasa yang menumbuhkan makna pada ujaran atau wacana (Kridalaksana, 1984). Secara fungsional, konteks mempengaruhi makna kalimat atau ujaran. Konteks ada yang bersifat linguistik dan non-linguistik (ekstra linguistik). Konteks linguistik menjadi wilayah kajian semantik, 13
Universitas Sumatera Utara
sedangkan konteks non-linguistik (ekstra linguistik) menjadi wilayah kajian pragmatik. Dalam sosio-linguistik konteks ini diklasifikasi pada dua, yaitu konteks lisan dan kontek tulisan. Konteks lisan ini mengacu pada teks dimana dibicarakan dalam sebuah kata, kalimat, percakapan dan lainnya yang mempengaruhi konteks lisan dalam memahami ekspresi dalam konteks yang mempengaruhinya. Demikian juga konteks sosial merupakan bentuk tampilan dari teks yang dibicarakan oleh penggunanya masyarakat atau individu, maka konteks sosial merupakan penggunaan bahasa dalam situasi yang bersifat subjektif oleh penggunanya. Menurut Halliday (1997) konteks merupakan keseluruhan dari lingkungan tutur (verbal) ataupun lingkuangan tempat teks diproduksi (diucapkan atau ditulis), maka untuk memahami konteks diperlukan beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya 1) medan wacana 2) pelibat wacana dan 3) modus wacana. Medan wacana adalah merujuk pada aktifitas sosial yang terjadi dan menjadi latar belakang tempat munculnya sebuah bahasa, maka untuk memahami hal demikian perlu diketahui ranah pengalaman, tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Sedangkan pelibat wacana merujuk hubungan antar partisipan yang termasuk di dalamnya tentang peran dan status konteks yang dilahirkan teks. Demikian juga modus wacana merupakan bagian dari bahasa yang sedang digunakan dalam situasi yang menjadi saluran yang dipilih dalam bentuk lisan atau tulisan. Menurut Sinar (2012) bahasa sebagai sistem semiotik mempunyai pandangan bahwa (1) bahasa adalah sistem, (2) bahasa adalah fungsional, (3) 14
Universitas Sumatera Utara
fungsi bahasa adalah membuat makna-makna, (4) bahasa adalah sistem semiotik sosial, dan (5) penggunaan bahasa adalah kontekstual. Artinya bahasa dalam kehidupan manusia bersifat fungsional karena meanusia perlu memaparkan atau menggambarkan, mempertukarkan dan merangkaikan pengalaman mereka dengan menggunakan metafungsi bahasa atau tata bahasa dan diujarkan melalui konteks sosial bahasa. Konteks sosial mencakup konteks situasi terdiri atas apa (field) yang dibicarakan, siapa (tenor) yang membicarakan sesuatu bahasa dan bagaimana (mode) pembicaraan itu dilakukan. Secara lebih teknis dapat disebut field yang ada dalam bahasa menunjuk pada peran bahasa atau topic yang dibicarakan dalam interaksi sosial, sedangkan tenor menggambarkan status (sama atau setara, tidak sama atau berbeda), suka atau tidak suka. Demikian juga mode menjadi medium atau saluran pemakaian bahasa yang dapat berupa lisan atau tulisan. Menurut Gregory (1968) konteks bahasa mencakup konteks yang bersifat sosial (social) dan konteks yang bersifat sosietal (societal). Kontek sosial (social context) adalah konteks yang ditimbulkan sebagai akibat dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Adapun yang dimaksudkan dengan konteks sosietal (societal context) adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan (rank) anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di dalam masyarakat sosial dan budaya tertentu. Merujuk pada konsep teks dan konteks yang dikemukakan dalam penelitian ini wacana yang dimaksudkan adalah teks dan konteks yang ada dalam al-Barzanjī dalam bentuk wacana tulis sebagaimana yang dipraktekkan 15
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dalam banyak momen kegiatan keseniaan. Sebagaimana diketahui bahwa al-Barzanjī merupakan sebuah teks yang menggunakan bahasa Arab yang berisikan tentang puisi atau syair yang berkaitan tentang pujian kepada Nabi Muhammad merupakan sebuah ritual keseniaan. Dalam teks dan konteks, asal teks al-Barzanjī merupakan bentuk komunikasi tidak langsung yaitu tulisan yang menyampaikan dengan sarana antara penulis dengan pembaca dan sebaliknya pembaca dengan pendengarnya. Dalam sarana komunikasi yang disebutkan wacana tulis ini, khususnya wacana bahasa Arab dalam komunikasi ini sangat penting dalam membentuk wacana pembaca dan pendengarnya. Demikian dimaksudkan konsep wacana dalam penelitian ini.
2.3 Landasan Teori Landasan teori merupakan desain penelitian yang akan dijadikan sebagai langkah dalam proses penemuan data, terutama teori-teori yang berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Untuk itu, landasan teori dimaksud sebagai upaya memudahkan dalam proses penelitian, baik itu yang berkaitan dengan hal teoritis ataupun praktis. Landasan teori ini diajukan berdasarkan realitas penelitian yang dilakukan karena tanpa landasan dan kerangka teori sebuah penelitian mustahil dapat dilakukan secara baik dan mengukuti ketentuan atribut ilmiah yang menjadi unsur utama dalam penelitian. Untuk mengkaji wacana bahasa Arab dalam penelitian ini akan digunakan teori LSF yang memandang bahwa bahasa adalah sistem semiotik sosial. Kerangka teori dalam mencari jawaban terhadap rumusan masalah yang telah 16
Universitas Sumatera Utara
dikemukakan. Berkaitan dengan konsep konteks situasi, budaya dan ideologi. Oleh sebab itu, semiotik sosial dimaksudkan sebagai sistem situasi, budaya dan ideologi yang ada dalam teks al-Barzanjī melalui makna yang ada di dalamnya. Secara lebih teknis Halliday (1997) memandang bahwa bahasa sebagai sejumlah sistem makna yang ada dalam sistem tradisi, sistem mata pencaharian dan sistem tata karma secara bersamaan membentuk budaya manusia. Dalam menerapkan teori ini, perlu melingkup pada 1) teks 2) triologi konteks situasi (medan wacana, pelibat wacana dan modus wacana) 3) register 4) kode 5) sistem lingual yang mencakup ideasional interpersonal dan tekstual dan 6) struktur sosial (Santoso, 2008: 2). Dalam kajian ini peneliti akan membatasi kajian pada analisis konteks situasi, budaya dan ideologi. Menurut Sinar (2004) relasi teks dan wacana ini selalu berkaitan dengan ikatan bahasa yang terdiri atas konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks ideologi (ideology). Untuk memudahkan pemahaman tentang konteks yang dimaksud akan dijelaskan konteks-konteks yang disebut. 2.3.1 Konteks Situasi Konteks situasi adalah adalah keseluruhan lingkungan yang melingkupi teks, baik dalam lingkungan verbal ataupun non verbal. Menurut Halliday (1978: 110) konteks situasi ini dapat dijelaskan dalam tiga unsur, yaitu i) medan wacana, yaitu merupakan bentuk aktifitas sosial yang terjadi dalam sutuan bahasa yang muncul ii) pelibat wacana, yaitu merupakan peran dan status teks dalam konteks bahasa dan iii) modus wacana, yaitu merupakan bagian dari bahasa yang sedang dimanikan dalam situasi dalam bentuk lisan atau tulisan (Susanto, 2008: 12). Hubungan teks dan situasi sedikitnya terdiri atas 3 (tiga) unsur,yaitu: 17
Universitas Sumatera Utara
i) Medan wacana, yaitu medan kegiatan sebagaimana yang diperankan melalui item leksikal dalam rantai taksonomi dan bahasa sebagai makna pengalaman. Contoh Rantai Taksonomi saya (Sinar, 2012) Saya mengikuti repetisi Saya telah menyatakan repetisi Saya berpendapat repetisi Saya memutuskan repetisi Saya sampaikan repetisi Saya ucapkan repetisi Saya minta maaf
ii) Pelibat wacana, yaitu pelibat atau interaksi antara yang terlibat dalam penciptaan teks sebagai makna interpersonal. Menurut
Sinar
(2012),
secara
internal
pelibat
wacana
(tenor)
dikarakterisasikan melalui tiga dimensi: (1) status, (2). kontak, (3) afeksi dan (4) kekuasaan. Pelibat wacana direalisasikan melalui Aksi dan Reaksi yang mencakup Epitet, modalitas,eufemisme dan makna konotatif. iii) Sarana wacana, yaitu saluran retorika sebagai makna tekstual. Situasi merupakan lingkungan tempat teks hidup dan nyata karena teks tidak lahir dalam ruang yang konsong situasi, maka teks merupakan sesuatu yang hidup dan akan hidup hanya dalam situasi yang mengikuti. Sedangkan konteks situasi merupakan repsentasi yang abstrak dari lingkungan yang berkaitan dengan 18
Universitas Sumatera Utara
teks yang menjadi pengubung utama antara sistem budaya dan teks (Halliday, 1992: 62). Sarana adalah jenis peran yang dimainkan bahasa di dalam interaksi sosial penciptaan teks, sarana wacana-dalam-teks (1) saluran, dan (2) medium. Saluran berhubungan dengan bagaimana cara sarana diperoleh yaitu dengan dua cara visual dan bukan-visual (Sinar, 2012). 2.3.2 Konteks Budaya Konteks budaya berkaitan dengan fungsi sosial teks yang berkaitan dengan “struktur teks” dan makna yang ada di dalam teks yang dihasilkan penutur atau penulis bahasa. Konteks budaya distilahkan oleh Martin sebagai “genre” atau ragam teks yang terapkan melalui bahasa yang berdimensikan oleh konteks situasi yang mengikuti teks. Martin yang pertama kali memperkenalkan istilah konteks budaya atau analisis genre. Martin (1984) meneliti berbagai jenis teks dan struktur masingmasing teks, ia mengatakan genre are referred to as social processes, bermakna “struktur skematika” proses sosial keterorganisasian genre-dalam-teks. Sebenarnya struktur yang dimaksud Martin merupakan pengembangan dari analisis Halliday dan Hasan (1985) menamakan struktur teks sebagai ’struktur generik’. Setiap teks merupakan ragam-ragam genre yang mempunyai struktur skematika genre masing-masing dan dapat berbeda atau bervariasi pada setiap genre. Genre cerita seperti narasi, kisah, mitos, anekdot, fabel, roman, horor, hero, kisah moral, cerita-cerita peri, mempunyai struktur skematika abstrak (n) ^ orientasi (n) ^ komplikasi (n) ^ resolusi (n) ^ (evaluasi) (n) ^ (koda) dan genre faktual seperti eksposisi, diskusi mempunyai struktur skematika Posisi 19
Universitas Sumatera Utara
(unsur yang menyatakan posisi), tesis (unsur pernyataan yang faktual mendukung posisi), Argumentasi (unsur evaluasi terhadap pernyataan, pendapat dan penilaian) dan Simpulan/saran (unsur penutup pada teks eksposisi menyatakan penilaian, ajakan dan saran dari penulis ) dan demikian pulan strukter-struktur lainnya dalam genre (Sinar, 2012). 2.3.3 Ideologi dan Dien Ideologi dalam kaitannya dengan teks merupakan sebuah ikatan yang bersifat kontruk yang bersifat saling menentukan dan menunjukkan pada konteks sosial. Menurut Lemke (dalam Zainuddin, 2000: 2) bahwa sebenarnya bahasa dalam penggunaanya tidak diperlukan sebagai instrument saja karena sebuah teks tidak pernah berdiri sendiri diluar nilai dan ideologi. Konteks ideologi dalam teks merupakan bentuk keterpengaruh dalam dua bentuk, yaitu ideologi inheren yang
bersifat sosial bukan individu dan ideologi internal yang ada dalam komunitas. Konsep ideologi dan dien diperkenalkan Tou (1997) di dalam analisisnya. Penelitian Sinar (2002, 2003) menunjukkan dien selalu hadir mengawali sebuah wacana pada tingkat Sub-fase Salam Pembuka (SPe) atau Greeting (GR) yaitu jenis fungsi mikro yang digunakan dalam analisis fase WKT merujuk kepada jenis sub-fase yang bertujuan partisipan untuk menciptakan keharmonisan hubungan dan menjaga ikatan sosial antara dosen dengan mahasiswa atau penutur dengan pendengar (Sinar, 2002, 2003).
2.4 Konstruk Analisis Secara teknis dapat digambarkan konstruk analisis yang dijadikan sebagai kerangka teori dalam penelitian ini dengan kerangka kerja sebagaimana yang digambarkan berikut ini. 20
Universitas Sumatera Utara
Dien
Skematis Medan Sarana Pelibat
Bagan 1: Konteks Sosial al-Barzanjī Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan berkaitan dengan penelitian ini konteks sosial dalam teks al-Barzanjī merupakan bagian dari kajian LSF yang akan dianalisis dalam bentuk wacana bahasa Arab dengan memfokuskan pada konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi, yang mana ketiga yang disebut sangat berkaitan dengan sistem linguistik pada penelitian ini.
21
Universitas Sumatera Utara