10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka yang dimaksud adalah membicarakan mengenai penelitian sebelumnya yang dianggap ada relevansinya dengan penelitian ini. Selain itu, dilakukan pula kajian terhadap pustaka-pustaka lain yang bermanfaat bagi penelitian ini untuk mendapatkan konsep, teori, dan sebagainya. Kajian pustaka juga memungkinkan peneliti untuk menentukan jangkauan atau ruang lingkup penelitiaannya, mencermati teori dan menempatkan masalah penelitiannya, memiliki gambaran mengenai pustaka yang relevan, menghindari pengulangan terhadap penelitian terdahulu, menempatkan hasil penelitiannya pada ranah yang berbeda dengan penelitian yang lainnya (Aziz, 2003:193- dalam Ola, 2003:53) Sebuah hasil penelitian berjudul “Survei Kajian Terhadap Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Unmet Need di Provinsi Bali”, dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Udayana bekerja sama dengan BKKBN Provinsi Bali Tahun 2004. Tujuan survei ini adalah (1) untuk memperoleh informasi tentang beberapa faktor yang menjadi penyebab (unmet need); (2) memperoleh informasi tentang cara-cara yang efektif dalam menanggulangi unmet need serta dapat dibuat desain intervensi yang tepat di Provinsi Bali. Sampel penelitian ini adalah keluarga yang diambil secara random dari hasil pendataan keluarga, sehingga survei ini belum menjangkau Penduduk Tinggal Sementara. 10 10
11
Secara garis besar hasil penelitian ini menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi unmet need ada dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan internal program KB, yaitu (1) ketersediaan alat kontrasepsi; (2) ketersediaan pelayanan informasi dan konseling KB; (3) kondisi perilaku pemberi layanan; (4) tingkat kepuasan dan kecepatan yang diterima oleh klien; dan (5) motivasi dari pemberi layanan. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi unmet need antara lain: (1) takut efek samping; (2) alasan kesehatan; (3) kondisi ekonomi (miskin); (4) tidak paham manfaatnya; (5) merasa anak sudah besar; (6) harga kontrasepsi mahal/ tidak punya uang (BKKBN, 2004:174). Hasil survei ini menambah wawasan peneliti untuk mendapatkan konsep dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi unmet need di kalangan etnis Tionghoa. Tulisan ilmiah yang mempunyai relevansi dengan penelitian penulis yang berhubungan dengan partisipasi etnis tionghoa adalah penelitian Aryana pada tahun 2005 dengan judul “Implementasi Kebijakan Penertiban Penduduk di Kota Denpasar dalam Perspektif Budaya”. Penelitian tersebut menganalisis tiga hal pokok, yaitu: (1) bentuk penertiban administrasi penduduk yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan kebijakan penertiban penduduk; (2) fungsi kebijakan penertiban administrasi penduduk yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Denpasar; dan (3) makna penertiban administrasi penduduk yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan kebijakan penertiban penduduk di Kota Denpasar. Perbedaan penelitian Aryana dengan penelitian ini adalah apabila ditinjau dari segi makna, penelitian Aryana lebih menekankan pada makna SK Walikota 11
12
Denpasar Nomor 610 Tahun 2000 bermakna: (a) makna strategis, yakni dalam upaya pengembangan sistem administrasi kependudukan yang akurat sebagai dasar pembangunan di Kota Denpasar; (b) mempunyai makna sosiologis yaitu: (i) terciptanya pengelolaan dan pengendalian penduduk secara lebih tertib dan manusiawi, serta terbinanya hubungan kerjasama yang harmonis antara penduduk lokal dan pendatang; (ii) terciptanya keseimbangan tata ruang; (iii) terciptanya keseimbangan di dalam menggunakan kesempatan berusaha sehingga tercipta kesejahteraan bagi semua penduduk; dan (iv) mewujudkan sebuah pemerintah yang berwibawa. Penelitian saya difokuskan pada makna partisipasi Etnis Tionghoa terhadap program keluarga berencana yang dijalankan pemerintah Kota Denpasar. Persamaan penelitian Aryana dengan penelitian saya adalah hanya dalam keterkaitannya dengan konsep penduduk pendatang. Etnis Tionghoa sebagai pendatang di Kota Denpasar diharapkan dapat mengimplementasikan secara maksimal kebijakan pemerintah dalam bidang kependudukan. Hasil penelitian ini, menambah wawasan penulis untuk lebih memahami tentang konsep penduduk pendatang dalam hal ini etnis Tionghoa. Jadi kajian Aryana di atas meneliti penduduk
pendatang
dalam
kaitannya
dengan
implementasi
kebijakan
kependudukan baik yang dikelurkan oleh pemerintah berupa perda maupun awigawig oleh desa adat, sedangkan penelitian penulis adalah “Partisipasi Etnis Tionghoa dalam Program Kelurga Berencana di Desa Sidakarya Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar”. Tulisan ilmiah lain yang mempunyai relevansi dengan penelitian penulis yang berhubungan dengan etnis Tionghoa adalah penelitian I Ketut Wirata pada 12
13
tahun 2000 dengan judul “Integrasi Etnis Tionghoa di Desa Adat Carangsari Kecamatan Petang Kabupaten Badung Bali (Suatu Kajian Budaya)”. Penelitian ini menganalisis tentang Emigran Tionghoa yang datang di Indonesia sejak abad kelima adalah suku Hokkien, suku Hakka, suku Teacheu, dan Suku Kanton. Diantara mereka suku Hokkien yang pandai berdagang adalah orang-orang Tionghoa yang pertama kali bermukim di Indonesia dalam jumlah besar, dan mereka merupakan golongan terbesar diantara emigran-emigran sampai abad ke19. Orang-orang Tionghoa, terutama yang hidup di kota-kota besar umumnya jarang mau bergaul dengan masyarakat pribumi. Dalam kehidupan kesehariannya sengaja mengisolir diri dari pergaulan pribumi, dan menonjolkan identitas kecinaannya. Prilaku demikian membentuk stereotipe negatif bagi orang Cina (Tionghoa) dimata penduduk pribumi, yang menuduh mereka egois, individual, eksklusif . Perbedaannya dengan penelitian saya adalah bahwa hasil penelitian di atas tidak secara langsung membahas bentuk partisipasi Etnis Tionghoa yang ada di Kota Depansarar dalam program keluarga berencana. Ia juga tidak membahas tentang bentuk-bentuk resistensi pasangan usia subur warga asal Etnis Tionghoa terhadap program KB yang dilaksanakan pemerintah. Walaupun demikian, kedua penelitian ini mendiskusikan budaya masyarakat Etnis Tionghoa yang ada di Indonesia. Hasil penelitian ini juga, menambah wawasan penulis untuk lebih memahami tentang budaya etnis Tionghoa. Jadi penelitian I Ketut Wirata mempunyai keterkaitan dengan penelitian penulis, terutama tentang budaya etnis 13
14
Tionghoa bahwa mereka pada umumnya mengisolir diri dengan penduduk pribumi. Budaya etnis Tionghoa dalam penelitian Wirata mempunyai korelasi dengan penelitian ini, khususnya stereotype-nya berbeda dengan stereotype penduduk pribumi. Penelitian ini juga akan menyinggung stereotype budaya etnis Tionghoa, hanya saja penelitian ini lebih menonjolkan stereotipenya yang berkaitan dengan sikap etnis Tionghoa dalam memandang kebijakan program KB yang dilaksanakan pemerintah.
2.2 Konsep 2.2.1 Resistensi Dalam Cambridge Learner’s Dictionary dikatakan bahwa resistance is (1) disagree when people disagree with a change, idea, etc and refuse to accept it, and (2) the ability of your body to not be affected by illnesses. Dalam konteks ini, bentuk resistensi adalah ketidak setujuan orang terhadap sebuah ide, perubahan dan sebagainya dan tidak mau menerima idea atau perubahan tersebut. Sejalan dengan apa yang disebutkan di atas, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/resistensi dikatakan bahwa resistensi (Inggris: resistance) berasal dari kata resist + ance adalah menunjukan pada posisi sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang atau upaya oposisi pada umumnya sikap ini tidak berdasarkan atau merujuk pada paham yang jelas. Resistensi rakyat biasanya ditimbulkan oleh faktor penyebab langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, atau paksaan yang dilakukan oleh pemerintah, tuan tanah, pemilik modal atau pihak lain (Scott dalam Alisjahbana, 2005: 18)
14
15
Bentuk resistensi tidak selalu terlihat, karena implementasi dari resistensi itu sendiri berbeda-beda. Ada yang hanya sekedar “tidak ikut”, apatis, sampai pada aksi “perlawanan”, tergantung dari kadar perubahan maupun kekuatan individu/komunitas yang resisten. Sikap resisten akan terlihat jelas apabila program transformasi diwujudkan, ada yang bersikap mencoba mencari titik lemah dari transformasi tersebut ataupun berusaha menjauhinya. Secara garis besar sumber resistensi dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu, resistensi yang bersumber dari individu/perorangan dan resistensi yang bersumber dari kelompok. Setidaknya ada lima faktor utama kenapa individu resisten/menolak idea atau hal baru yakni habit, keamanan, ekonomi, ketakutan dan distorsi informasi. Sedangkan resistensi kedua pada prakteknya mudah untuk ditemukan. Lihatlah organisasi pemerintah, presiden datang silih berganti, menteri datang dan pergi tapi kinerja masing-masing departemen tetap saja tidak ada perubahan yang berarti. Demikian juga perguruan tinggi yang sering diklaim sebagai institusi ilmiah, masyarakat intelektual, corong reformasi dan transformasi justru paling sulit (egois) untuk berubah. Sistem pendidikan kita barangkali tidak mengalami perubahan yang paling signifikan selama berpuluh tahun. Mengacu pada pembahasan di atas, resistensi dalam penelitian ini diartikan sebagai sikap etnis Tionghoa untuk berperilaku “tidak ikut”, apatis, bertahan, menentang, berusaha melawan, atau upaya oposisi lainnya yang disertai berbagai alasan terhadap program KB yang dilaksanakan pemerintah. 2.2.2 Pasangan Usia Subur (PUS) Secara umum, pasangan usia subur adalah pasangan suami istri (laki-laki dan perempuan) yang masih memungkinkan istri hamil sebagai hasil dari 15
16
bertemunya sperma dan ovum dalam rahim sang istri. Dalam dunia kedokteran, kehamilan seorang istri banyak ditentukan oleh masa subur seorang wanita. Masa subur seorang wanita adalah masa atau waktu kira-kira 12 sampai 16 hari sebelum wanita dewasa mengalami mentruasi (haid). Masa haid rata-rata berkisar 4-5 hari. Di luar masa haid itu, seorang wanita masuk dalam kategori masa subur. Walaupun demikian, setiap wanita memiliki masa haid yang berbeda-beda. Dalam Situmorang, dkk (1999: 142) masa subur atau masa reproduksi seorang wanita dimulai sejak usia 12 sampai 45 tahun, yaitu masa mendapat haid pertama (menasche) yang biasanya disebut juga akil baliq. Wanita yang mulai memasuki usia akil baliq biasanya disertai dengan perubahan jasmani dan rohani. Masa subur bagi seorang wanita dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu: (1) reproduksi muda, yaitu seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia 15 sampai 20 tahun, (2) reproduksi sehat bila seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia 20 sampai 30 tahun, dan (3) reproduksi tua yaitu bila seorang wanita hamil dan melahirkan pada usia di atas 30 tahun. Sedangkan usia subur untuk seorang pria adalah mulai sejak ia mimpi basah, yakni antara umur 12 sampai 15 tahun hingga usia yang tidak terbatas, selagi seorang pria masih dapat mengeluarkan mani yang mengandung sperma (Sintumorang, dkk. 1999: 137). Berdasarkan pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa definisi pasangan usia subur dalam penelitian ini adalah pasangan suami-istri, baik pria maupun wanitanya masih dapat mengeluarkan mani yang mengandung sperma dan wanitanya masih mengalami masa haid, khususnya 12 sampai 16 hari sebelum masa haid berikutnya. 16
17
2.2.3 Etnis Tionghoa Menurut kamus bahasa Indonesia Etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan (Em Zul Fajri, tt :289). Pengertian Etnis dalam Ensiklopedi Indonesia adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi (Barth: 1988) Istilah etnis yang dimaksud adalah etnis Tionghoa yang menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnis adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang di dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Definisi etnis di atas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnis yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. 2.2.4 Program Keluarga Berencana (KB) Menurut definisi ICPD 1994 Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan 17
18
mengurangi insiden kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan; meningkatkan mutu nasihat, komunikasi, edukasi dan informasi, konseling dan pelayanan KB, dan meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2006:5). Dalam era otonomi atau desentralisasi, urusan KB sudah menjadi urusan wajib pemerintah daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007, tentang organisasi perangkat daerah. Ini berarti seluruh pemerintah daerah wajib melaksanakan program KB di wilayahnya, serta memberikan pelayanan kontrasepsi secara gratis bagi seluruh penduduk miskin. 2.2.5 Resistensi Pasangan Usia Subur (PUS) Etnis Tionghoa terhadap Program KB Secara sederhana, kebanyakan masyarakat mengartikan kata “resistensi” sebagai sikap perlawanan seseorang terhadap sesuatu yang masuk kedalam kehidupannya. Sedangkan pasangan usia subur sebagaimana didefinisikan sebelumnya adalah pasangan suami-istri yang masih memungkinkan untuk hamil dan beranak atau melahirkan. Dalam kondisi fisiologisnya sebagai manusia normal, bila menyalurkan kebutuhan biologisnya maka mereka berpeluang besar untuk beranak padahal kadang-kadang mereka tidak menginginkan untuk tidak beranak lagi. Terkait dengan keinginan untuk tidak beranak lagi, di sisi lain keinginannya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya maka pemerintah melalui 18
19
program KB membantu pasangan suami-istri dengan mempersiapkan dan memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan alat penghalang pertemuan sperma dengan ovum yang disebut dengan alat kontrasepsi. Keberadaan alat kontrasepsi dalam masyarakat diterima secara berbedabeda. Ada yang setuju untuk menggunakan alat kontrasepsi dalam mencegah kehamilan, akan tetapi ada pula masyarakat yang menolak (resisten) terhadap alat tersebut. Masing-masing orang, baik yang menerima maupun yang menolak tentu memiliki alasan-alasan baik secara budaya maupun alasan lainnya. Bagi masyarakat etnis Tionghoa, diduga terdapat sikap resisten untuk mengikuti program KB, khususnya bagi pasangan usia subur. Resistensi pasangan usia subur etnis Tionghoa terhadap program KB dalam penelitia ini diartikan sebagai sikap pasangan suami-istri yang masih memungkinkan untuk hamil dan melahirkan, yang berasal etnis Tionghoa untuk berperilaku “tidak ikut”, apatis, ,bertahan, menentang, berusaha melawan, atau upaya oposisi lainnya yang disertai berbagai alasan terhadap program KB yang dilaksanakan pemerintah.
2.3 Landasan Teori Beberapa teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah: (1) Teori Ideologi; (2) Teori Hegemoni; (3) Teori Feminisme. Selanjutnya masingmasing teori tersebut akan disoroti pada uraian berikut ini. 2.3.1 Teori Ideologi Ideologi pertama kali ditemukan oleh De Tracy pada akhir abad kedepalan belas. Dia memunculkan kata “ideology” sebagai ilmu yang menunjuk pada ‘ilmu 19
20
tentang gagasan’. Semenjak itu, khususnya karena pengaruh para pemikir seperti Max, Freud, dan – lebih kebelakang Manuheim, arti istilah ini bergeser. Dalam penggunaan yang lebih modern dan sempit, ideologi mengacu pada sistem gagasan, gagasan yang dapat digunakan untuk mensosialisasikan, memberikan teguran, memaafkan, menyerang atau menjelaskan keyakinan, kepercayaan, tindak, atau pengaturan kultural tertentu (Kaplan, dkk. (1999: 154). Masih sejalan dengan itu, Schksinger (dalam Kaplan, 1999: 54) mengatakan bahwa ideologi merupakan kristalisasi gagasan menjadi sistem yang bersifat universal. Ideologi adalah “…sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu” (O’neil, 2001: 33). Masih searah dengan O’neil, Thompson (2003: 17) menyatakan bahwa ideologi adalah “…sistem
berpikir,
sistem
kepercayaan,
praktek-praktek
simbolik
yang
berhubungan dengan tindakan sosial dan politik”. Pada konteks yang lebih luas, Streger (2005: 7) mengatakan bahwa: “ideologi merupakan sistem gagasa yang sangat luas diikuti keyakinan yang berpola, norma dan nilai-nilai terpadu, serta gagasan-gagasan regulatif yang diterima sebagai kenyataan atau kebenaran oleh sejumlah kelompok. Ideologi-ideologi tidak hanya menawarkan gambaran koheren mengenai dunia sebagaimana adanya, namun juga sebagaimana seharusnya. Jadi, ideologi mengorganisasikan kompleksitas pengalaman umat manusia ke dalam gambaran yang sederhana dan mudah dipahami, yang memberikan orientasi normative dalam ruang dan waktu, serta dalam alat dan tujuan”. Ideologi sebagai sistem gagasan dengan mengorganisasi kompleksitas pengalaman yang bersifat regulasi akan berposisi superstruktur dan berfungsi sebagai resep bertindak atau pola dari dan pola untuk bertindak bagi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Pola bertindak tersebut dimaksudkan untuk 20
21
mengembangkan kepentingan-kepentingan tertentu yang dipahaminya sebagai sesuatu yang benar. Hal ini sejalan dengan pendapat Montero (2005: 220) berikut: “ideologi mengacu kepada suatu sistem gagasan yang mengembangkan kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan ini secara khusus dibenarkan oleh pengembangan gagasan-gagasan dimana fakta-fakta dan proses sejarah diubah, diingkari, atau disembunyikan. Selain itu, ideologi mengkonstruksi realitas dengan suatu cara dimana orang-orang menginternalisasi atribut-atribut negative tentang dirinya sendiri sebagai sesuatu yang alamiah dan sah.” Dalam realitas kehidupan sehari-hari, aspek-aspek yang bertentangan dengannya, sengaja disembunyikan guna memberikan pembenaran terhadap gagasan yang tercakup dalam ideologi yang mereka anut. Ideologi mengikat dan melekatkan manusia pada tatanan sosial yang ditandai oleh kesejahteraan. Akan tetapi, ideologi bisa saja melahirkan gap status, dan jurang kekuasaan yang demikian menonjol, namun kadang orang tidak menyadarinya karena mereka terbius secara ideologis (Storey, 2003: 8). Mannheim (1993) mengatakan bahwa gejala tersebut bertalian dengan adanya kenyataan bahwa penganut suatu ideologi sulit melihat kebenaran dari sebuah teori kemasyarakatan lain yang tidak didasarkan
pada
sistem
yang
mereka
anut.
Mereka
selalu
berusaha
mempertahankan ideologi yang mereka anut dan tidak terjebak pada utopis. 2.3.2 Teori Hegemoni Teori hegemoni pertama kali dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1971) yang digunakan untuk memaknai suatu determinasi sejarah. Determinan itu artinya mempertahankan, melembagakan, melestarikan kekuasaan, menggerogoti secara terus menerus, melemahnya dan meniadakan potensi tanding kekuatan lawan. Untuk memperjelas konsep hegemoni Gramsci membedakan konsep 21
22
hegemoni dengan “kekuatan” (force). Kekuatan meliputi penggunaan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti atau mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi tertentu. Hegemoni budaya dan hegemoni ideologis bagi Gramsci berarti situasi dimana suatu ’blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kondisi antara kekuatan, dan terlebih lagi, dengan konsensus. Jadi, praktik normal hegemoni di arena klasik rezim parlementer dicirikan dengan kombinasi kekuatan konsensus, yang secara timbal balik saling mengisi kekuatan yang secara berlebihan memaksakan konsensus. Sesungguhnya, usaha adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut tampak hadir berdasarkan atas konsensus mayoritas yang diekspresikan dengan organ opini publik koran dan asosiasi (Gramsci, 1971:80). Dalam analisis Gramsci, ideologi dipahami sebagai kebenaran universal, merupakan peta makna yang didukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Di atas itu semua, ideologi tidak dapat dipisahkan dari aktivitas praktis kehidupan, namun ia adalah fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan moral yang sepadan dengan agama yang secara sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan norma tindakan terkait. Representasi sistem pendidikan formal sebagai kesempatan yang setara dan adil dalam suatu masyarakat dan representasi bagi warga kulit berwarna yang ‘secara alamiah’ inferior dan kurang mampu bila dibandingkan dengan orang kulit putih, keduanya dapat dikatakan bersifat ideologis.
22
23
Suatu blok hegemoni tidak pernah terdiri dari kategori sosial-ekonomi tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi dimana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin. Ideologi memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini (awalnya dikonsepsikan dalam terminologi kelas) menanggalkan kepentingan sempit usaha-ekonomi dan mengutamakan kepentingan ‘nasionalis-populer. Jadi, ‘suatu kesatuan sosial-budaya’ diperoleh ‘melalui anekaragam kehendak’ yang tujuan heterogennya secara bersama-sama dimasukkan ke dalam satu tujuan tunggal, sebagai basis suatu konsepsi tentang dunia yang adil dan alamiah. Pembentukan, peneguhan atau penanggalan konsepsi umum tentang dunia merupakan suatu aspek dari perjuangan ideologis yang melibatkan trasformasi pemahaman melalui kritik terhadap ideologi populer yang ada (Gramsci, 1971: 349). Rumusan Gramsci ini dalam mengkaji “partisipasi Etnis Tionghoa dalam program KB” untuk melihat kemungkinan adanya hegemoni provider dalam memberikan pelayanan KB kepada klien yang kurang memperhatikan hak-hak reproduksi. Demikian pula, kemungkinan adanya hegemoni laki-laki untuk memutuskan pemilihan pemakaian kontrasepsi bagi mereka yang lebih memfokuskan perempuan sebagai obyek KB. Ketertarikan peneliti untuk melihat teori hegemoni “masyarakat sipil” yang dikembangkan oleh Gramsci yang diperkuat oleh Foucult untuk mengkaji “dominasi” perkembangan jumlah penduduk berdasarkan etnis di Desa Sidakarya Kecamatan Denpasar Selatan telah memperkuat teori hegemoni oleh masyarakat sipil tidak saja dalam masalah ekonomi, politik, agama, kebudayaan dan sebagainya, tetapi juga masalah-masalah yang lebih luas seperti kependudukan. 23
24
Teori hegemoni dipergunakan untuk mengkaji rumusan masalah faktor-faktor penyebab unmet need di kalangan etnis Tionghoa. 2.3.3 Teori Feminisme Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi. Hakekat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik didalam maupun diluar rumah (Fakih, 2003: 99). Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentrasformasi sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan
kata lain, hakekat feminisme adalah gerakan
transformasi sosial dalam arti tidak melulu memperjuangkan soal perempuan (Fakih, 2003: 100). Teori feminisme secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian yaitu: feminisme liberal, radikal/kultural, dan sosialis. Feminisme liberal (Frieden, 1963) berpandangan bahwa perempuan dapat menaikkan posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi inisiatif dan prestasi individual. Feminisme radikal atau kultural berpandangan bahwa perlu meruntuhkan atau secara radikal memperbaiki keluarga dan menciptakan budaya non-misionos dimana perempuan tidak dijadikan objek. Feminisme sosialis berpendapat bahwa perempuan tidak dapat meraih keadilan sosial tanpa membubarkan patriarkhi dan kapitalisme (Angger, 2007: 225). Sejak program KB diluncurkan di Indonesia sekitar tahun 1970-an memang perempuan lebih banyak dieksploitasi” untuk memakai alat kontrasepsi, 24
25
jika dibandingkan dengan laki-laki. Teori feminisme ini digunakan untuk mengkaji rumusan masalah bentuk partisipasi Etnis Tionghoa khususnya masalah KB pria. Jenis alat kotrasepsi KB pria yang ada pada saat ini adalah kondom dan vasektomi. Rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB selain karena memang jenis alat kontrasepsi untuk pria masih terbatas, kemungkinan pria tidak mau menggunakan kotrasepsi dan perempuan saja yang memakai. Jadi ada semacam dominasi suami terhadap istrinya dalam pemilihan kontrasepsi. 2.4 Model Penelitian Model penelitian ini ditampilkan sebagaimana gambar 1 berikut: Gambar 1. Model Penelitian Budaya Etnis Tionghoa
Pemerintah
Resistensi Pasangan Usia Subur Etnis Tionghoa dalam Program KB
Klinik KB PPKBD SubPPKBD
Bentuk resistensi PUS etnis Tionghoa terhadap program KB
Faktor-Faktor Penyebab adanya resistensi PUS etnis Tionghoa terhadap program KB
Keterangan : = Mempengaruhi = Saling Mempengaruhi
= Indikator 25
-
Ekonomi Pengetahuan Kesadaran Filosofi Politik
Dampak dan Makna resistensi PUS Etnis Tionghoa dalam Program KB
26
Penjelasan Model Penelitian Tingkat resistensi pasangan usia subur etnis Tionghoa terhadap program KB Nasional dipengaruhi oleh dua aspek yaitu peranan pemerintah itu sendiri dalam memberikan akses pelayanan KB kepada mereka juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, (ekonomi, pengetahuan, kesadaran, dan sebagainya) dalam menerima program KB. Akses pelayanan KB bagi semua penduduk oleh pemerintah diberikan melalui pelayanan kontrasepsi diklinik KB, serta pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) melalui kelompokkelompok masyarakat yang dibentuk sebagai fasilitator KB di tingkat desa yaitu pembantu Pembina KB Desa (PPKBD) dan tingkat dusun/banjar adalah SubPembantu Pembina KB Desa (Sub-PPKBD). Etnis Tionghoa tentunya memiliki latar belakang dan nilai-nilai budaya yang dibawanya dari negara asal. Nilai-nilai budaya tersebut apakah mempengaruhi mereka untuk ber-KB atau tidak. Etnis Tionghoa yang tidak berKB apakah dipengaruhi oleh faktor internal atau faktor eksternal. Sangat penting untuk memahami faktor-faktor yag menjadi penyebab Etnis Tionghoa tidak mau ber-KB (umnet need). Atau karena faktor eksternal misalnya adanya akses pelayanan KB yang kurang atau petugas klinik lapangan yang kurang memberikan pelayanan KIE kepada mereka.
26