BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kematian Maternal 2.1.1 Definisi kematian maternal Kematian maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The International Classification of Diseases (ICD-10) adalah kematian wanita yang terjadi pada saat kehamilan, atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau yang diperberat oleh kehamilan tersebut atau penanganannya, tetapi bukan kematian yang disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan (WHO,2007). Kematian-kematian yang terjadi akibat kecelakaan atau kebetulan tidak dimasukkan ke dalam kematian maternal. Untuk memudahkan identifikasi kematian maternal ICD-10 memperkenalkan kategori baru yang disebut pregnancy – related death (kematian yang dihubungkan dengan kehamilan) yaitu kematian wanita selama hamil atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari penyebab kematian (WHO, 2007)
2.1.2 Determinan kematian maternal Penyebab kematian maternal di Indonesia yang paling sering adalah perdarahan pasca persalinan (28 %), eklampsia (24 %), infeksi (11 %), abortus (5 %), partus lama/macet (5 %), emboli obstetrik (3 %), trauma obstetrrik (5 %),
8
9
komplikasi puerperium (8%), dan lain – lain (11 %) (Kemenkes 2008 dalam Wilopo 2010). Berdasarkan kerangka dari McCharty dan Maine (1992) faktor – faktor yang mempengaruhi kematian maternal dikelompokkan sebagai berikut: 2.1.2.1 Determinan dekat Determinan dekat merupakan proses yang paling dekat dengan kejadian kematian itu sendiri, yaitu kehamilan dan komplikasi dari kehamilan itu sendiri, persalinan dan masa nifas (Wibowo, 1994). Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi, baik komplikasi kehamilan maupun komplikasi persalinan, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut (WHO, 1998). a. Komplikasi kehamilan Komplikasi kehamilan merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi kehamilan yang sering terjadi yaitu perdarahan, preeklamsia / eklamsia, dan infeksi (Abdulla et al, 2010). b. Komplikasi persalinan dan nifas Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan penyebab langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan setelah persalinan terutama adalah perdarahan, partus macet atau partus lama dan infeksi akibat trauma pada persalinan (UNFPA, 2004).
10
2.1.2.2 Determinan antara a. Status kesehatan ibu Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian ibu meliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada kehamilan dan persalinan (Kemenkes RI, 1994). b. Status reproduksi Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian ibu adalah usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu (Royston et al, 1998). 1) Terlalu Tua Kehamilan diatas usia 35 tahun menyebabkan wanita terpapar pada komplikasi medik dan obstetrik. Kejadian perdarahan pada usia kehamilan lanjut meningkat pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun, dengan peningkatan insidensi perdarahan akibat solusio plasenta dan plasenta previa. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa kematian maternal akan meningkat 4 kali lipat pada ibu yang hamil pada usia 35 – 39 tahun bila dibanding wanita yang hamil pada usia 20 – 24 tahun. Usia kehamilan yang paling aman untuk melahirkan adalah usia 20 – 30 tahun (Kemenkes RI, 2004). 2) Terlalu Muda Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko untuk hamil dan melahirkan (Kemenkes RI, 1994). Wanita yang melahirkan pada usia 14 tahun tahun mengalami risiko kematian saat melahirkan sebesar 5 sampai 7 kali. Sedangkan wanita yang melahirkan pada usia antara 15 sampai 19 tahun
11
mengalami risiko kematian saat melahirkan sebsar 2 kali lipat.Tingginya tingkat kematian tersebut disebabkan oleh preeklampsi, perdarahan post partum, sepsis, infeksi HIV dan malaria (Nour,2009). Kekurangan akses ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan perawatan kehamilan dan persalinan merupakan penyebab yang penting bagi terjadinya kematian maternal di usia muda. Keadaan ini diperburuk oleh kemiskinan dan kebuta- hurupan, ketidaksetaraan kedudukan antara pria dan wanita, pernikahan usia muda dan kehamilan yang tidak diinginkan (Kemenkes RI, 2008). 3) Terlalu Sering Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas ≤ 1 (belum pernah melahirkan/baru melahirkan pertama kali) dan paritas > 4 memiliki angka kematian maternal lebih tinggi (Saifudin,1994). Paritas ≤ 1 dan usia muda berisiko karena ibu belum siap secara medis maupun secara mental, sedangkan paritas di atas 4 dan usia tua, secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan (Kemenkes RI, 2004). 4) Terlalu Dekat Jarak antar kehamilan yang kurang dari 2 tahun dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian maternal ( Kemenkes RI, 2004). Persalinan dengan interval kurang dari 24 bulan merupakan kelompok resiko tinggi untuk perdarahan postpartum, kesakitan dan kematian ibu (Kemenkes RI, 2004). Penelitian yang dilakukan di tiga rumah sakit di Bangkok (Cunningham, 2006) memperlihatkan bahwa wanita dengan interval kehamilan kurang dari dua tahun memiliki risiko
12
dua setengah kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan dengan wanita yang memiliki jarak kehamilan lebih lama (Royston, 2008). c. Akses terhadap pelayanan kesehatan Hal ini meliputi keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan, tempat pelayanan yang lokasinya sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi (WHO, 2008). Akses terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti lokasi dimana ibu dapat memperoleh pelayanan kontrasepsi, pemeriksaan antenatal, pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan rujukan yang tersedia di masyarakat (Kemenkes RI, 2004). d. Perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan Perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan antara lain meliputi perilaku penggunaan alat kontrasepsi. Ibu yang mengikuti program keluarga berencana (KB) akan lebih jarang melahirkan dibandingkan dengan ibu yang tidak mengikuti program Keluarga Berencana. Demikian juga perilaku pemeriksaan antenatal, ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur akan terdeteksi masalah kesehatan dan komplikasinya. Termasuk juga dalam hal ini adalah penolong persalinan, ibu yang ditolong oleh dukun berisiko lebih besar untuk mengalami kematian dan kesakitan dibandingkan dengan ibu yang melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan, serta tempat persalinan, persalinan yang dilakukan di rumah akan menghambat akses untuk mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat apabila sewaktu-waktu dibutuhkan (WHO, 2008).
13
2.1.2.3 Determinan jauh Meskipun determinan ini tidak secara langsung mempengaruhi kematian maternal, akan tetapi faktor sosio kultural, ekonomi, keagamaan dan faktor – faktor lain juga perlu dipertimbangkan dan disatukan dalam pelaksanaan intervensi penanganan kematian ibu ( Wibowo, 1997). Termasuk dalam determinan jauh adalah status wanita dalam keluarga dan masyarakat,
yang
meliputi
tingkat
pendidikan,
pekerjaan
ibu
dan
kemiskinan.Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat
menimpa
ibu
hamil
maupun
bayinya
terutama
dalam
hal
kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan. Ibu – ibu terutama di daerah pedesaan
dengan
pendidikan
rendah,
tingkat
independensinya
untuk
mengambil keputusanpun rendah dan berdasarkan pada budaya ‘berunding’ yang berakibat pada keterlambatan merujuk. Kemiskinan dapat menjadi sebab rendahnya peran serta masyarakat pada upaya kesehatan (Burcheet, 2009). Kematian maternal sering terjadi pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, tinggal di tempat terpencil, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri (Kemenkes RI, 2004). Determinan jauh dari kematian maternal sangat berkaitan erat dengan tiga keterlambatan dalam The Three Delays Models.
14
2.2 Kematian Maternal Akibat Perdarahan Sebab – sebab perdarahan yang berperan penting dalam menyebabkan kematian maternal selama kehamilan adalah perdarahan, baik yang terjadi pada usia kehamilan muda/trimester pertama, yaitu perdarahan karena abortus (termasuk di dalamnya adalah abortus provokatus karena kehamilan yang tidak diinginkan) dan perdarahan karena kehamilan ektopik terganggu (KET), maupun perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut akibat perdarahan antepartum. Perdarahan juga dapat terjadi setelah persalian berlangsung atau perdarahan post partum (Saifudin, 1997). Perdarahan post partum adalah hilangnya 500 ml atau lebih darah setelah kala tiga persalinan selesai (Cunningham, 2006). Di Inggris separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh proses post partum (Cunningham, 2006). Perdarahan post partum terjadi secara mendadak dan lebih berbahaya apabila terjadi pada wanita yang menderita anemia. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90 % perdarahan pascapersalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi (Ripley dalam Wilopo 2010). Dua pertiga dari semua kasus perdarahan pascapersalinan terjadi pada ibu tanpa faktor resiko yang diketahui sebelumnya dan tidak mungkin memperkirakan ibu mana yang akan mengalami atonia uteri atau perdarahan pascapersalinan ( Kemenkes RI, 2008). Atonia uteri menyumbang 63 % dari total kematian karena perdarahan dan kondisi ini diperberat oleh tiga terlambat dan empat terlalu. Keterlambatan mengambil keputusan menyebakan kondisi perdarahan yang terjadi semakin berat karena tidak mendapatkan pertolongan yang segera dan
15
sesuai dengan prosedur yang berujung pada kematian ibu. Resiko lain apabila wanita yang bersangkutan pernah mengalami perdarahan postpartum dan kesalahan penatalaksanaan pada kala III. Penyebab perdarahan pestpartum yang lain adalah perdarahan akibat retensi sisa plasenta, inversio uteri, laserasi traktus genitalia, hematoma puerperium dan ruptur uteri. Kematian ibu oleh karena ruptur uteri masih terjadi yang dilaporkan oleh Ripley dalam Cunningham 2005. Bahkan, 20 persen kematian ibu karena perdarahan disebabkan oleh ruptur uteri (Nagaya dkk dalam Cunningham 2006).
2.3 Aspek Tiga Terlambat Pada Kematian Ibu 2.3.1 Kerangka model tiga keterlambatan pada ibu melahirkan oleh Maine dan Thaddeus (1994). Factor Affecting Utilization and Outcome
Phases Of Delay
Socio-economic/Cultural factors
Phase I : Deciding to Seek Care
Phase II : Identifying and Reaching Medical Facility
Accessibility of Facilities
Phase III : Receiving Adequate and Appropriate Treatment
Quality of Care
Bagan 2.1 The Three Phases of Delay Models
16
2.3.2 Tiga Keterlambatan dan beberapa faktor yang berperan 2.3.2.1 Sosial ekonomi dan Budaya dan aspek Tiga Terlambat a. Terlambat dalam pengambilan keputusan Pada tahap ini wanita berinteraksi dengan faktor-faktor tertentu sebelum mencapai keputusan apakah akan mencari fasilitas perawatan kesehatan atau tidak. Faktor – faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan adalah : faktor penyakit, sosial budaya (pendidikan, pendapatan, pemanfaatan tenaga dukun, budaya kawin muda) , biaya yang tinggi dan rendahnya kualitas perawatan. Keterlambatan dalam mencari perawatan kesehatan dilakukan bila penyakit telah mangakibatkan implikasi yang serius terhadap ibu. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh oleh Killewo et al (2006) menemukan bahwa pencarian perawatan kesehatan modern adalah pilihan terakhir ketika terjadi kegagalan yang jelas menurut pendekatan lokal mereka. Penundaan pencarian perawatan dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang tanda bahaya obstetri. Rendahnya status perempuan dalam masyarakat, budaya dan kepercayaan adalah faktor yang menyebabkan wanita gagal untuk mengakses pelayanan kesehatan (WHO,2009). Mrisho dalam Cham et.al 2008 menemukan tradisi di pedesaan Tanzania, budaya dan pola pengambilan keputusan kekuasaan di keluarga mencegah wanita untuk ke fasilitas kesehatan. Hambatan sosial ekonomi yang dirasakan membuat ketidakmampuan bagi perempuan untuk mengambil keputusan untuk mencari perawatan. Sebelum memutuskan, mereka menghitung biaya yang dibutuhkan dalam perjalanan ke
17
fasilitas kesehatan. Menurut Mpembeni et al dalam Cham et al 2008, penyebab utama persalinan dirumah adalah tersedianya dukun bayi dan ketakutan yang tinggi terhadap biaya ketika dirujuk ke rumah sakit. Selain itu Mrisho et al (2007) mengungkapkan bahwa kurangnya akses terhadap uang adalah alasan mengapa wanita Pedesaan Tanzania tidak dapat mengambil keputusan. Kualitas pelayanan kesehatan yang merupakan halangan untuk mencari jasa pelayanan kesehatan. Sikap yang buruk dari petugas kesehatan, tidak tersedianya tenaga yang ahli, infrastruktur kesehatan yang buruk dan fasilitas yang kurang menjaga privasi dan kerahasiaan, kurangnya obat-obatan, persediaan dan peralatan adalah isu yang dapat menciptakan anggapan negatife dari pasien. Di Nepal, sebuah studi dilakukan untuk menunjukkan pengaruh sikap staf terhadap pemanfaatan asuhan kebidanan professional dan tercatat bahwa sikap staf yang baik terhadap klien memberikan kontribusi terhadap peningkatan pemanfaatan jasa pelayanan (Cristian et al, 2009). Tradisi yang sulit ditinggalkan hingga saat ini adalah persalinan dirumah yang dilakukan oleh dukun. Menurut Mpembeni dalam Cham et.al 2008 penyebab utama persalinan dirumah adalah tersedianya dukun bayi dan ketakutan terhadap biaya yang tinggi ketika dirujuk ke rumah sakit. Data dari Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mencapai 82,2 % dari total persalinan, akan tetapi masih terdapat 17 Provinsi dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dibawah 80 %. Bahkan masih ada Provinsi dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan hanya 26,6 %.
18
Pada pasien dengan perdarahan, keputusan keluarga untuk mencari perawatan sering dilakukan pada saat pasien sudah kehilangan darah dalam jumlah yang banyak, hal ini diperparah dukun sebagai penolong yang hanya mengandalkan kebiasaan dalam menolong persalinan, tidak berdasarkan kemampuan teknis yang diperoleh melalui jenjang pendidikan (Titaley et al, 2010). Sehingga meskipun sudah ada keputusan untuk merujuk, tetapi keputusan itu sudah terlambat. b. Terlambat mencapai fasilitas rujukan Ini
terjadi
pada
tahap
dimana
seorang
wanita
diharapkan
untuk
mengidentifikasi dan mencapai fasilitas medis. Tahap ini terutama didominasi oleh faktor – faktor sosio-ekonomik aktual yang memprediksi apakah seorang wanita akan mengidentifikasi dan menjangkau fasilitas medis pada waktu yang tepat. Diantara hambatan ini meliputi : kurangnya jaringan transportasi, kurangnya ongkos untuk transportasi, transportasi tidak teratur. Dari beberapa hambatan diatas terlihat bahwa transportasi yang baik dan ketersediaan ongkos untuk transportasi adalah faktor sosial ekonomi yang memungkinkan perempuan untuk mengidentifikasi dan menjangkau pelayanan kesehatan. Di negara berkembang, kebutuhan transportasi yang dapat diandalkan untuk mencapai fasilitas kesehatan tidak memadai dan belum merata. Selain itu infrastruktur dan geografis yang jelek menyebabkan tidak adanya akses ke fasilitas pelayanan kesehatan.
19
c. Terlambat mendapat pertolongan Keterlambatan ketiga terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kualitas teknis perawatan. Salah satu alasan mengapa wanita tidak menerima perawatan yang mereka butuhkan adalah : ketidak sediaan alat atau rendahnya kualitas pelayanan yang disediakan (WHO,2009). Komponen keterlambatan ketiga yang mempengaruhi kurangnya kualitas perawatan adalah : keterampilan staf termsuk tenaga kesehatan perempuan, tidak adanya komitmen dan motivasi staf, lemahnya manajeman dan administrasi pelayanan kesehatan, kekurangan dana, perlengkapan, obat-obatan dan peralatan, kurangnya privasi dan kerahasiaan serta organisasi yang buruk dari pelayanan dan infrastruktur. Menurut WHO (2009) sebagian kematian ibu yang terjadi dapat dihindari apabila tersedia tenaga pertolongan persalinan yang terampil. Kompetensi adalah prasyarat untuk praktek – praktek terbaik dan memastikan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu (Canavan dalam Cham et al 2008). Kurangnya keterampilan manajerial dan beban kerja yang tinggi bagi manajer memberikan kontribusi terhadap rendahnya kinerja. Penelitian tentang ketersediaan
sumber
daya
manusia
untuk
EmOC
di
Tanzania
utara
menyimpulkan bahwa ketersediaan personil yang memenuhi syarat serta manajemen kelembagaan dan kapasitas menentukan kualitas layanan perawatan obstetrik (Olsen et al, 2005).
20
2.3.3 Akses fasilitas kesehatan dan aspek tiga terlambat : Faktor Geografis dan keberadaan sarana pelayanan kesehatan akan sangat mempengaruhi hasil pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau baik dari segi pembiayaan maupun dari segi jarak akan lebih banyak dikunjungi oleh masyarakat khususnya masyarakat ekonomi lemah/miskin. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarmo (2007) yang menyatakan
bahwa
biaya
dan
jarak
sering
berkaitan
sebagai
bahan
pertimbangan seseorang dalam mengakses pelayanan. Di tiga pedesaan di Kabupaten Singada hambatan yang paling sering ditemukan dalam merujuk pasien ke fasilitas kesehatan adalah kurangnya uang dan jarak yang terlalu jauh ke rumah sakit terdekat (Cham et al, 2008). Studi lain mencatat bahwa 84 % wanita di pedesaan Tanzania memutuskan untuk melahirkan di rumah karena masalah transportasi dan jarak (Mrisho et al 2007). Mpembeni et al (2007) menemukan bahwa wanita yang tinggal kurang dari 5 km dari fasilitas kesehatan lebih mungkin untuk merujuk ke fasilitas kesehatan daripada mereka yang tinggal lebih dari 5 km. Akses ke fasilitas sangat berkaitan erat dengan keterlambatan pertama, kedua, dan ketiga dimana sosial ekonomi yang rendah mengakibatkan wanita maupun keluarganya tidak dapat mencapai akses ke pelayanan kesehatan terkait dengan biaya transportasi, ketiadaan biaya juga mengakibatkan ibu dan keluarganya sulit untuk mendapatkan akses terhadap layanan yang berkualitas (Cham et al, 2008 ).
21
2.3.4
Kualitas pelayanan dan aspek tiga terlambat
Kematian pada ibu akibat perdarahan terjadi karena salah satu faktor keterlambatan dalam mendapatkan pertolongan kegawatdaruratan karena faktorfaktor personil dan sarana yang tidak memadai, personil yang tidak terlatih dan masalah keuangan (Kemenkes RI, 2007). Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di tingkat daerah-daerah jauh dan terpencil harus mempunyai standar pelayanan kesehatan dan penanganan kasus perdarahan pada wanita hamil dan melahirkan sehingga kematian ibu melahirkan dapat ditekan seminimal mungkin (Kemenkes RI, 2007). Standar pelayanan yang memiliki kriteria dalam hal ini termasuk standar petugas, peralatan dan ruangan serta obat. Standar petugas menggambarkan kualifikasi dan kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh petugas seperti kemampuan melakukan pertolongan pada kasus emergensi dan pertolongan persalinan dengan standar seperti manajemen aktif kala tiga dan penggunaan partograf (Kemenkes RI, 2007). Kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat juga merupakan salah satu aspek pertimbangan dalam keluarga untuk mengambil keputusan dalam mencari pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan yang kurang memadai dan tidak sesuai standar mengakibatkan masyarakat tidak mengaskes layanan kesehatan tersebut yang mengakibatkan keterlambatan dalam memutuskan penolong persalinan mereka.
22
2.3.4.1 Manajemen aktif kala III Persalinan kala III dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Tujuan manajemen aktif kala III adalah untuk menghasilkan kontaksi uterus yang efektif sehingga dapat mempersingkat waktu kala III, mencegah perdarahan dan mengurangi kehilangan darah pada kala III persalinan. Sebagian besar kasus kesakitan dan kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan pascapersalinan dimana sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri dan retensio plasenta yang sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala III (Kemenkes RI, 2008). Keuntungan manajemen aktif kala III antara lain: persalinan kala III yang lebih singkat, mengurangi jumlah kehilangan darah dan mengurangi kejadian retensio plasenta (Kemenkes RI, 2008). Manajemen aktif kala III terdiri dari tiga langkah utma : a. Pemberian suntikan oksitosin dalam satu menit pertama setelah bayi lahir b. Melakukan penegangan tali pusat terkendali c. Massase fundus uteri. 2.3.4.2 Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dengan Stiker Program Pererencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi merupakan suatu kegiatan dalam rangka peningkatan peran aktif keluarga dan masyarakat dalam merencanakan suatu persalinan yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, serta menggunakan stiker sebagai media notifikasi
23
sasaran dalam rangka meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan bayi baru lahir (Kemenkes RI, 2008). Tujuan dari program P4K (Kemenkes RI, 2008 ) adalah : meningkatnya cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan bayi baru lahir menghadapi komplikasi dan tanda bahaya kehamilan serta persalinan bagi ibu sehingga melahirkan bayi dengan aman, selamat dan sehat serta terdatanya sasaran ibu hamil dengan terpasangnya stiker P4K dirumah ibu hamil. 2.3.4.3 Manajemen pertolongan pasien dengan perdarahan (USAID 2008) 1) Perdarahan dalam kehamilan: mendiagnosis dan menangani perdarahan dalam kehamilan. a. Mengenali jenis perdarahan dalam kehamilan b. Mengidentifikasi, menilai, melakukan Penatalaksanaan kasus abortus c. Megidentifikasi, menilai, menatalaksana kasus perdarahan antepartum 2) Perdarahan Pasca persalinan : mendiagnosis, memberikan pertolongan pertama, dan merujuk kasus perdarahan pasca persalinan. a. Diagnosis perdarahan pasca persalinan b. Memberikan pertolongan pertama, dan merujuk kasus perdarahan post partum.