BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian yang Relevan Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu peneliti merasa terdorong untuk melakukan penelitian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah. Akan tetapi kajian yang relevan menyangkut afiks telah dilakukan oleh mahasiswa berdasarkan bahasa daerah mereka masing-masing. Kajian tersebut dijelaskan sebagai berikut. Samran (2008) telah mengkaji afiks dalam bahasa Tolitoli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa afiks dalam bahasa Tolitoli terdiri atas: (1) prefiks yang terbagi atas 9 bagian yakni: kanga-, me-, ma-, mo, na, no-, po-, soo- dan nook-; (2) infiks yakni: -ka-; (3) sufiks yakni: -i-, -ai-, dan –an-; (4) konfiks terbagi atas 3 macam, yakni: noli-/-an, iko-/-an dan ika-/-an; (5) gabungan yakni map- + -pa+ -an. Fatimah (2005) telah mengkaji afiks pembentuk verba bahasa Kaili dialek Ledo. Berdasarkan hasil dan pembahasan diketahui bahwa afiks pembentuk verba bahasa Kaili dialek Ledo meliputi (1) prefiks yang terdiri atas {no-}, {nom-}, {na}, {ni-}, {me-}, {mo-}, {me-}, {mang-}, {mon-},{mom-}, {ne-}, {paka}, {nosi-}, dan {nompaka-}, (2) sufiks yang ditemukan dalam penelitian ini hanya satu, yaitu {-ka}, dan konfiks terdiri atas {ni-/-ka}, {ni-/-ki}, {ni-/-na}, {me-/-ka}, {mo-/ka}, {ma-/-ka}, {pe-/-ka}, dan {paka-/-ka}. Wujud verba bahasa Kaili dialek
Ledo terdiri atas verba dasar dan verba turunan. Sedangkan makna afiks adalah melakukan pekerjaan sesuai dengan bentuk dasarnya dan bermakna membuat jadi (kausatif). Leonard (2005) telah mengkaji afiks bahasa Kaili dialek Edo. Berdasarkan hasil analisis diperoleh simpulan bahwa afiks pembentuk verba bahasa Kaili dialek Edo sebagai berikut: (1) prefiks yang terdiri atas prefiks {ma-}, {mo-}, {me-}, {ni-}, {mom-}, {ha-}, {paka-}, {mosi-}; (2) infiks terdiri atas: {-um-}, {imb-}; (3) sufiks terdiri atas sufiks {-i}, {-aka}, {-i}, {-ti}, {-si}, {-haka}; dan konfiks terdiri atas konfiks {mosi-/si}, {momba-/i}. Hajaria Hi. Hasim (2005) telah mengkaji Sinonim dalam bahasa Banggai. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh simpulan bahwa sinonim yang terdapat dalam bahasa Banggai yaitu sinonim nomina yang terdiri atas nomina konkrit dan nomina abstrak, serta sinonim verba yang terdiri atas verba perbuatan, proses, dan keadaan. Adapun relevansi penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian ini yaitu dari segi persamaannya penelitian yang dilakukan oleh Samran dengan penelitian ini sama-sama meneliti tentang afiks, sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada objek penelitian yaitu bahasa Tolitoli. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Fatimah dengan penelitian ini yaitu sama-sama mengkaji afiks, sedangkan perbedaannya yaitu afiks yang dikaji yaitu afiks pembentuk verba dan yang menjadi objek penelitian yaitu bahasa Kaili dialek Ledo. Persaman yang dilakukan oleh Leonard dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu sama-sama mengkaji afiks, sedangkan perbedaannya yaitu afiks yang dikaji yaitu afiks pembentuk verba dan yang menjadi objek penelitian yaitu bahasa Kaili
dialek Edo. Persaman yang dilakukan oleh Hajaria Hi. Hasim dengan penelitian ini yaitu terletak pada objek yang diteliti yaitu bahasa Banggai, sedangkan perbedaannya yaitu Hajaria Hi. Hasim meneliti tentang sinonim sedangkan pada penelitian ini yang diteliti adalah afiks atau imbuhan. Dari beberapa penelitian yang relevan di atas, setelah melihat persaman dan berbedaannya maka dapat disimpulkan bahwa kajian yang telah dilakukan sebelumnya memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan afiks yang dikaji oleh peneliti dalam bahasa Banggai. Jadi peneliti sebagai penutur bahasa Banggai tertarik melakukan penelitian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah.
2.2 Kajian Teori 1) Afiks dalam Kajian Morfologi a) Morfologi Badudu (1982: 66) mengatakan bahwa morfologi ialah ilmu yang membicarakan morfem yaitu bagaimana kata dibentuk dari morfem-morfem. Morfem ialah bentuk bahasa yang terkecil yang tidak dapat lagi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Sedangkan menurut Pateda (2009: 4) morfologi adalah subdisiplin linguistik yang mengkaji bentuk kata, perubahan bentuk, dan makna yang timbul akibat perubahan bentuk itu. Secara etimologi kata morfologi berasal dari kata morf yang berarti „bentuk‟ dan kata logi yang berarti „ilmu‟. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti „ilmu mengenai bentuk‟. Di dalam kajian linguistik, morfologi berarti „ilmu mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata‟. Mengenai pembentukan
kata akan melibatkan pembicaraan mengenai komponen atau unsur pembentukan kata itu, yaitu morfem, baik morfem dasar maupun morfem afiks (Chaer, 2008: 3). b) Morfem Menurut Chaer (2008: 7) morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang bermakna. Morfem ini dapat berupa akar (dasar) dan dapat pula berupa afiks. Bedanya, akar dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata, sedangkan afiks tidak dapat. Badudu (1982: 66) mengatakn bahwa morfem ialah bentuk bahasa yang terkecil yang tidak dapat lagi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat dikatakan bahwa morfem ialah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna dan tidak dapat dibagi lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Selanjutnya Badudu (1982: 66) membagi morfem menjadi dua macam yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem yang dapat berdiri sendiri disebut morfem bebas, sedangkan morfem seperti me- dan -kan disebut morfem terikat. Semua imbuhan dalam bahasa Indonesia (awalan, sisipan, akhiran) adalah morfem terikat. Dari definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa afiks merupakan morfem terikat yang tidak dapat berdiri sendiri. Suatu morfem dikatakan morfem bebas apabila morfem tersebut dapat berdiri sendiri dalam ujaran dan berfungsi untuk berkomunikasi, sedangkan morfem yang harus dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata sehingga dapat difungsikan dalam ujaran, disebut morfem terikat (Pateda, 2009: 31-32). Jadi morfem terikat dapat difungsikan apabila sudah dilekatkan pada morfem lain sehingga membentuk suatu kata yang memiliki makna. Berbeda
dengan morfem bebas, morfem ini bisa langsung difungsikan karena morfem ini dapat berdiri sendiri. Berdasarkan kebebasannya untuk dapat digunakan langsung dalam peruturan dibedakan adanya morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang tanpa keterkaitannya dengan morfem lain dapat langsung digunakan dalam pertuturan. Misalnya, morfem {pulang}, {merah}, dan {pergi}. Morfem bebas ini tentunya berupa morfen dasar. Sedangkan morfem terikat adalah morfem yang harus terlebih dahulu bergabung dengan morfem lain untuk dapat digunakan dalam pertuturan. Dalam hal ini semua afiks dalam bahasa Indonesia termasuk morfem terikat (Chaer, 2008: 16-17). Kridalaksana (2008: 38) mengemukakan bahwa bentuk seperti pra, eks, panca, aneka, ultra, multi, dan sebagainya yang jelas terikat dengan unsur yang menyertainya, dan juga bersama-sama membentuk kata, tetapi kategorinya jelas lebih jelas daripada afiks, sehingga tidak digolongkan sebagai afiks. c) Afiks 1. Pengertian Afiks adalah morfem terikat yang harus dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata sehingga dapat difungsikan untuk berkomunikasi (Pateda, 2009: 42). Sedangkan menurut Chaer (2008: 23) afiks adalah morfem yang tidak dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata, tetapi hanya menjadi unsur pembentuk dalam proses afiksasi. Imbuhan atau afiks tidak dapat berdiri sendiri, dan agar afiks tersebut dapat difungsikan maka harus dilekatkan pada kata dasar, karena afiks tidak dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata. Yasin (1988: 52) mengemukakan bahwa
afiks adalah bentuk linguistik yang keberadaannya hanya untuk melekatkan diri pada bentuk-bentuk lain sehingga mampu menimbulkan makna (baru) terhadap bentuk-bentuk yang dilekatinya tadi. Bentuk-bentuk yang dilekatinya bisa terdiri atas pokok kata, kata dasar, atau bentuk kompleks. Yang perlu dicatat dalam pembentukan kata kompleks dalam bahasa Indonesia adalah bahwa afiks-afiks itu membentuk satu system, sehingga kejadian kata dalam bahasa Indonesia merupakan rangkaian proses yang berkaitan (Kridalaksana, 2007: 28). Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa jenis afiks dan bentuknya. 2. Jenis dan Bentuk Afiks Verhaar (1996: 107) mengemukakan ada empat macam afiks yang disebutkan berikut ini. Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut “prefiksasi”. 1) Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang disebut “sufiksasi”. 2) Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam proses yang namanya “infiksasi”. 3) Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks, yang diimbuhkan untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya, dalam proses yang dinamai “konfiksasi”, atau “simulfiksasi”, atau “ambifiksasi”, atau “sirkumfiksasi”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Yasin. Yasin (1988: 58-63) membagi beberapa macam afiks yakni sebagai berikut.
1) Prefiks ialah imbuhan yang melekat di depan bentuk dasar (kata dasar). Macam-macam prefiks: me, di, ber, ter, per, se, pe, ke, para, pra, dan sebagainya. 2) Infiks ialah imbuhan yang melekat di tengah bentuk dasar. Macam-macam sisipan/infiks: el, em, dan er. 3) Sufiks ialah imbuhan yang melekat di belakang bentuk dasar (kata dasar). Macam-macam sufiks/akhiran: i, an, kan, nya, wan, wati, man, is, dan sebagainya. 4) Konfiks/simulfiks ialah imbuhan gabungan antara prefiks dan sufiks. Macammacam konfiks: ke-an, pe-an, per-an, ber-an, se-nya, dan sebagainya. Konfiks/simulfiks ialah imbuhan gabungan antara prefiks dan sufiks. Kedua macam afiks tersebut melekat secara bersama-sama pada suatu bentuk dasar. Sesuai dengan kedudukannya, kedua unsure (prefiks dan sufiks) tersebut masing-masing melekat pada bagian depan bentuk dasar dan bagian belakang bentuk dasar. Sedangkan menurut Samsuri (1988: 131) terdapat produktivitas yang cukup tinggi dalam pembentukan kata baru dengan afiks pungutan. Afiks-afiks itu ialah awalan (1) antar, (2) anti, (3) non, (4) swa, dan akhiran (5) isasi, (6) isme, (7) wan. Adapun menurut Pateda (2009: 49-54) yakni sebagai berikut. 1) Prefiks atau awalan adalah imbuhan yang harus dilekatkan di depan morfem untuk membentuk kata yang dapat digunakan untuk prefiks yang asli, misalnya ber-, di-, me-, ke-, pe-, se-, ter-. Prefiks serapan, misalnya a-, an-, de, hiper-, in-, ko-, mono-, non-, pra-, sub-, tele-.
2) Infiks adalah imbuhan yang harus dilekatkan di tengah morfem dasar untuk membentuk kata yang dapat difungsikan untuk berkomunikasi. Infiks dalam bahasa Indonesia sangat terbatas dan bersifat aseli. Infiks itu, yakni -el-, -em-, dan -ar-. 3) Sufiks adalah imbuhan yang harus dilekatan di belakang morfem dasar untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Sufiks aseli dalam BI, yakni – an-, kan-, dan –i. Sufiks serapan dalam BI, antara lain -al, -i, -iah, -isme, -or, wan, -wati. 4) Konfiks adalah imbuhan yang dilekatkan pada morfem dasar secara serentak untuk membentuk kata yang dapat difungsikan dalam ujaran. Konfiks itu antara lain ke-/-an. 5) Gabungan adalah imbuhan yang harus dilekatkan pada morfem dasar yang dilekatkan bersama-sama untuk membentuk kata yang dapat difungsikan dalam ujaran. Gabungan BI, misalnya me- + per- pada kata memperbesar. Chaer (2008: 23) membedakan adanya morfem afiks yang disebut: 1) Prefiks, yaitu afiks yang dibubuhkan di kiri bentuk dasar, yaitu prefiks ber-, prefiks me-, prefiks per-, prefiks di-, prefiks ter-, prefiks se-, dan prefiks ke-. 2) Infiks, yaitu afiks yang dibubuhkan di tengah kata, biasanya pada suku awal kata, yaitu infiks -el-, infiks -em-, dan infiks -er-. 3) Sufiks, adalah afiks yang dibubuhkan di kanan bentuk dasar, yaitu sufiks -kan, sufiks -i, sufiks -an, dan sufiks -nya. 4) Konfiks, yaitu afiks yang dibubuhkan di kiri dan di kanan bentuk dasar secara bersamaan karena konfiks ini merupakan satu kesatuan afiks. Konfiks yang
ada dalam bahasa Indonesia adalah konfiks ke-an, konfiks ber-an, konfiks pean, konfiks per-an, dan konfiks se-nya. 5) Dalam bahasa Indonesia ada bentuk kata yang berklofiks, yaitu kata yang dibubuhi afiks pada kiri dan kanannya; tetapi pembubuhannya itu tidak sekaligus, melainkan bertahap. Kata-kata berklofiks dalam bahasa Indonesia adalah yang berbentuk me-kan, me-i, memper, memper-kan, memper-i, berkan, di-kan, di-i, diper-, diper-kan, diper-i, ter-kan, ter-i, ter-per, teper-kan, teper-i. Untuk menentukan jenis dan bentuk afiks, maka dalam penelitian ini peneliti labih mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Chaer dan didukung oleh pendapat Pateda, yaitu mereka membagi afiks bahasa Indonesia menjadi lima bagian yakni prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan klofiks atau gabungan. 3. Makna Afiks Sebagaimana telah diketahui, pada dasarnya afiks belum memiliki makna sebelum dilekatkan pada bentuk yang lain. Tetapi afiks ini dapat dikatakan sebagai penyebab lahirnya suatu makna gramatikal. Menurut Chaer (2008: 29) makna leksikal adalah makna yang secara inheren dimiliki oleh setiap bentuk dasar (morfem dasar atau akar). Umpamanya makna leksikal akar kuda adalah „sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai‟. Berbeda dengan makna leksikal, maka makna gramatikal baru “muncul” dalam suatu proses gramatika, baik proses morfologi maupun proses sintaksis. Umpamanya, dalam proses prefiksasi ber- pada dasar dasi muncul makna gramatikal „memakai (dasi)‟, dalam proses prefiksasi me- pada dasar batu muncul makna gramatikal „menjadi seperti (batu)‟.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 2009: 62). Makna leksikal dan makna gramatikal ini akan tersisih oleh makna kontekstual atau pemakaian kata itu di dalam konteks kalimat maupun konteks situasi. Umpamanya, prefiksasi me- pada kata ambil menjadi mengambil memunculkan makna gramatikal „melakukan ambil‟ (bandingkan dengan bentuk menulis dalam arti „melakukan tulis‟, dan membaca dalam arti „melakukan baca‟). Namun, dalam kalimat “perusahaan kami akan mengambil 10 pegawai baru”, kata mengambil memiliki makna kontekstual „menerima‟; sedangkan dalam kalimat “semester ini saya tidak mengambil mata kuliah kewiraan” kata mengambil memiliki makna gramatikal „mengikuti‟ (Chaer, 2008: 30). Dalam bahasa Indonesia ada bentuk {meN-}, {ber-}, dan {peN-}. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahui artinya apabila bentuk itu dilepaskan dari unsur lainnya atau bentuk dasarnya. Arti {meN-}, {ber-}, dan {peN-} diketahui setelah bergabung dengan bentuk dasar, misalnya beri, lari, dan cukur. Bentuk {meN-} bergabung dengan bentuk beri sehingga menjadi kata memberi, mempunyai arti „melakukan tindakan yang tersebut pada bentuk dasar beri‟; bentuk {ber-} bergabung dengan bentuk lari sehingga menjadi kata berlari, mempunyai arti „melakukan tindakan yang tersebut pada bentuk dasar (lari)‟; bentuk {peN-} bergabung dengan bentuk dasar cukur sehingga menjadi kata
pencukur, mempunyai arti „orang yang biasa atau pekerjaannya melakukan tindakan yang tersebut pada bentuk dasar (cukur)‟ (Muslich, 2008: 39). Proses morfologi atau proses pembentukan kata mempunyai dua hasil yaitu bentuk dan makna gramatikal. Bentuk dan makna gramatikal merupakan dua hal yang berkaitan erat. Bentuk merupakan wujud fisiknya dan makna gramatikal merupakan isi dari wujud fisik atau bentuk itu. Wujud fisik dari proses afiksasi adalah kata berafiks, disebut juga kata berimbuhan, kata turunan, atau kata terbitan (Chaer, 2008: 28). Dari beberapa penjelasan mengenai makna afiks yang telah dikemukakan di atas, adapun contoh makna afiks dalam bahasa Banggai yakni prefiksasi mompada kata poli menjadi mompoli yang artinya „mencari‟ dan memunculkan makna gramatikal „melakukan cari‟. Contoh lain yaitu sufiksasi -an pada kata paisu menjadi paisuan yang artinya „berair‟ dan memunculkan makna gramatikal „mengeluarkan air‟. Telah dijelaskan di atas bahwa afiks tidak memiliki makna. Tetapi jika afiks dilekatkan pada kata dasar maka akan menimbulkan makna baru. Untuk menentukan makna afiks dalam penelitian ini peneliti lebih mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Chaer.