BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang gejala zeroisasi dan anaptiksis dalam tuturan bahasa Gorontalo di lingkungan masyarakat desa Tabumela belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian yang pernah dilakukan adalah penelitian bahasa Gorontalo yakni oleh Sukrileni A. Jusuf (2007) dalam bentuk skripsi yang berjudul “ Resepsi Generasi Muda Kelurahan Lekobalo Terhadap Ungkapan bahasa Daerah Gorontalo dalam Kehidupan Sehari-hari”. Masalah yang dibahas adalah (1) Apa saja ungkapan BG dalam kehidupan sehari-hari, (2) Bagaimana ungkapan BG dalam kehidupan sehari-hari, (3) Bagaimana resepsi generasi muda terhadap ungkapan BG dalam kehidupan sehari-hari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Kajian relevan di atas, menggunakan bahasa Gorontalo sebagai bahan kajian, namun pada penelitian di atas menganalisis tentang resepsi generasi muda kelurahan Lekobalo terhadap ungkapan bahasa daerah Gorontalo dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan pada penelitian ini menganalisis tentang gejala zeroisasi dan anaptiksis dalam tuturan bahasa Gorontalo di lingkungan masyarakat desa Tabumela. Berdasarkan kajian relevan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini difokuskan pada “Gejala Zeroisasi dan Anaptiksis dalam tuturan bahasa Gorontalo di lingkungan masyarakat desa Tabumela “. 2.2 Hakikat Zeroisasi Chaer (2009:10) mengemukakan bahwa zeroisasi (penghilangan fonem) merupakan pelesapan fonem/peristiwa hilangnya fonem akibat proses morfologis. Hal senada disampaikan oleh Yusuf (1998:127) bahwa zeroisasi merupakan proses pelesapan bunyi yang terjadi pada awal kata (afesis, aferesis), di antara dua segmen bunyi (sinkope), dan pada akhir kata (apokope).
2.3 Hakikat Anaptiksis Chaer (2009:105) mengemukakan bahwa anaptiksis (penambahan fonem) merupakan penambahan bunyi vokal di antara dua konsonan dalam sebuah kata atau penambahan sebuah konsonan pada kata tertentu. Hal senada disampaikan oleh Yusuf
(1998:127) bahwa
penambahan bunyi merupakan proses morfologis demi kejelasan pengucapan serta untuk memudahkannya. 2.4 Hakikat Fonem Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil di dalam kata yang berfungsi membedakan bentuk dan makna. Fonem merupakan satuan bahasa terkecil yang bersifat abstrak dan mampu menunjukkan kontras makna atau abstraksi dari satu atau sejumlah fon, entah vokal maupun konsonan. Dapat disimpulkan bahwa fonem adalah kesatuan bunyi yang terkecil dalam bahasa tertentu yang dapat membedakan makna (Pateda dan Pulubuhu, 1999:11). Fonem mempunyai fungsi sebagai pembeda makna yang tergolong pada gejala zeroisasi atau penghilangan fonem di awal, tengah, dan di akhir kata, seperti terlihat pada contoh kata dalam bahasa Indonesia sebagai berikut : 1) Kata jangan dan angan. Dari kedua kata tersebut, ada fonem yang mempunyai fungsi sebagai pembeda makna, yaitu fonem /j/. Hal ini dikarenakan bahwa fonem /j/ dihilangkan.
Jadi, kata jangan mengandung makna “melarang”, sedangkan kata
angan memiliki makna “khayalan”. Penghilangan fonem di awal kata ini disebut dengan istilah aferesis. 2) Kata ucap dan uap. Dari kedua kata tersebut, ada fonem yang mempunyai fungsi sebagai pembeda makna, yaitu fonem /c/. Hal ini dikarenakan bahwa fonem /c/ dihilangkan. Jadi, kata ucap mengandung makna ujaran kata atau kalimat yang dilisankan, sedangkan kata uap memiliki makna segala sesuatu yang berhubungan
dengan penguapan. Penghilangan fonem di tengah kata ini disebut dengan istilah sinkope. 3) Kata kacang dan kaca. Dari kedua kata tersebut, ada fonem yang mempunyai fungsi sebagai pembeda makna, yaitu /ng/. Hal ini dikarenakan bahwa fonem /ng/ dihilangkan. Jadi, kata kacang mengandung makna makanan/cemilan berupa kacang-kacangan, sedangkan kata kaca memiliki makna cermin atau kaca hias. Penghilangan fonem di akhir kata ini disebut dengan istilah apokope. Fungsi pembeda makna tidak hanya terjadi pada gejala zeroisasi, akan tetapi ada juga yang disebut dengan gejala anaptiksis atau penambahan fonem pada kata. Hal ini dapat dilihat pada contoh kata dalam bahasa Indonesia sebagai berikut : 1) Kata arak dan jarak. Dari kedua kata tersebut, ada fonem yang mempunyai fungsi pembeda makna, yaitu fonem /j/. Hal ini disebabkan oleh kata arak artinya minuman keras, sedangkan kata jarak artinya ruang antara dua tempat. Penambahan fonem di awal kata ini disebut protesis. 2) Kata gong dan golong. Dari kedua kata tersebut, ada fonem yang mempunyai fungsi sebagai pembeda makna, yaitu fonem /lo/. Hal ini disebabkan oleh kata gong artinya perangkat gamelan berupa canang besar, sedangkan golong artinya berkelompok atau berbondong-bondong. Penambahan fonem di tengah kata ini disebut epentesis. 3) Kata gol dan golf. Dari kedua kata tersebut, ada fonem yang mempunyai fungsi pembeda makna, yaitu fonem /f/. Hal ini disebabkan oleh kata gol artinya gawang sepakbola/masukan bola ke gawang, sedangkan golf artinya bagian olahraga yang menggunakan pemukul untuk memukul bola guna dimasukkan ke dalam lubang. Ada juga Kata organis & organisasi. Dari kedua kata tersebut, ada fonem yang mempunyai fungsi pembeda makna, yaitu fonem /asi/. Hal ini disebabkan oleh kata organis artinya pemain (pemegang) organ dalam permainan musik, sedangkan organisasi artinya
kesatuan yang terbentuk karena penggabungan dari beberapa orang dan sebagainya dalam suatu perkumpulan yang mempunyai tujuan tertentu. Penambahan fonem di akhir kata ini disebut paragog. 2.5 Klasifikasi Fonem dalam Bahasa Indonesia a) Fonem segmental, yaitu fonem yang dapat dianalisis, karena merupakan bagian dari unsur segmental bahasa. Jenis fonem ini disebut juga fonem primer, misalnya /a/, /b/, /c/, /d/, dan sebagainya. Fonem segmental ini dibagi atas vokal, diftong, dan konsonan. b) Fonem suprasegmental, yaitu fonem yang kehadirannya menyertai fonem yang kehadirannya menyertai fonem segmental. Jenis fonem ini disebut juga fonem sekunder, misalnya tekanan, nada, intonasi, durasi dan jeda. 2.6 Fonem Bahasa Gorontalo Pateda dan Pulubuhu (1999:11) mengemukakan bahwa dengan menggunakan teknik pasangan minimal, ditentukan 5 buah vokal dan 22 konsonan dalam BG. Lima vokal yang dimaksud adalah /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/, sedangkan 22 konsonan dimaksud adalah /b/, /p/, /d/, /t/, /j/, /c/, /g/, /k/, /m/,/mb/, /n/, /nd/, /ny/, /nj/, /ng/, /ngg/, /l/, /r/, /s/, /w/, /y/, dan /h/. Adapun glotal yang ditandai dengan /’/ tidak dimasukkan sebagai konsonan. Kehadiran fonem ini dapat diramalkan. Pike (dalam Pateda dan Pulubuhu, 1999:15) mengatakan jika kehadiran sebuah fonem dapat diramalkan, maka fonem itu harus ditolak kehadirannya. Dalam bahasa Gorontalo didapati kenyataan, jika ada urutan vokal, baik sejenis maupun tidak, pasti muncul glotal stop ’/’/. Vokal sejenis E’e ‘ayak’
Le’e ‘sesal’
Ba’ato ‘jejak’
Pi’ita ‘kikir’
Po’ota ‘pemberitahuan’
Tu’udu ‘ukuran’
Vokal tak sejenis Bu’olo ‘ombak’
Du’ito ‘arang’
He’ita ‘rakit’
Pa’ita ‘batu nisan’
Ti’u ‘siku’
Titi’o ‘kepinding’
Pertimbangan penggunaan tanda (‘) untuk menggambarkan glotal stop dalam bahasa Gorontalo. Pateda dan Pulubuhu (2009:12) mengemukakan bahwa glotal stop ditandai dengan /’/. Selain memiliki vokal, yakni /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/, terdapat juga pasangan minimal sebagai berikut : Aaita ‘koneksi’
Aita ‘kaitlah’
Ilaato ‘famili’
Ilato ‘kilat’
Baate ‘pemangku adat’
Bate ‘batik’
Taato ‘karat’
Tato ‘basah’
Leeto ‘keaiban’
Leto ‘sapu tangan’
Liilide ‘tempat judi’
Lilide ‘doronglah’
Tuutu ‘pencungkil’
Tutu ‘sudut’
Too’o ‘ditusuk’
To’o ‘binatang berbisa di sungai/di pantai’
Persoalannya, yakni apakah /ii, ee, aa, oo dan uu/ di deretan sebelah kiri berstatus fonem atau tidak. Dengan kata lain dalam bahasa Gorontalo terdapat vokal panjang dan vokal pendek?. Dalam hubungannya dengan ada tidaknya vokal pendek dan panjang dalam bahasa Gorontalo, ada baiknya kita menggunakan penafsiran dwifonem, Verhaar (dalam Pateda dan Pulubuhu, 1999:18). Dengan demikian, tidak perlu kita menganggap terdapat vokal panjang dalam bahasa Gorontalo, karena kebetulan terdapat kuantitas. Yang dimaksud dengan kuantitas adalah lamanya pengucapan vokal dengan jalan mempertahankan posisi alat bicara yang sama. Jadi, dalam bahasa Gorontalo tetap hanya terdapat 5 vokal yakni / i, e, a, o, dan u, hanya kebetulan terdapat kuantitas berupa pengucapan yang panjang. 2.7 Perubahan Fonem dalam bahasa Indonesia Pateda dan Pulubuhu (2008, 125-128) mengemukakan bahwa perubahan fonem meliputi adaptasi, disimilasi, kontraksi, metatesis, penghilangan fonem (zeroisasi), penambahan fonem
(anaptiksis) serta velarisasi. Namun kajian dalam penelitian ini hanya dibatasi pada gejala zeroisasi (penghilangan fonem) dan gejala anaptiksis (penambahan fonem). Hal ini akan dijabarkan sebagai berikut ini. 1) Chaer (2009:10) mengemukakan bahwa zeroisasi (penghilangan fonem) merupakan pelesapan fonem/peristiwa hilangnya fonem akibat proses morfologis.
Misalnya,
hilangnya bunyi /r/ yang ada pada prefiks (ber-) dalam proses prefiksasi pada kata renang ; hilangnya bunyi /h/ pada proses pengimbuhan dengan akhiran (wan) pada kata sejarah. Hal ini dapat dilihat pada kata (ber+renang) menjadi berenang dan (sejarah+wan) menjadi sejarawan. Hal senada disampaikan oleh Yusuf (1998:127) bahwa zeroisasi merupakan proses pelesapan bunyi yang terjadi pada awal kata (afesis, aferesis), di antara dua segmen bunyi (sinkope), dan pada akhir kata (apokope). Sedangkan menurut Pateda dan Pulubuhu (2009:123) bahwa penghilangan fonem adalah hilangnya fonem secara tidak sengaja atau tidak disadari oleh penutur bahasa yang bersangkutan. Zeroisasi (Penghilangan fonem) terdiri atas ; a. Aferesis merupakan proses penanggalan/penghilangan/gejala pertukaran tempat satu atau lebih fonem pada awal kata. Contoh dalam bahasa Indonesia, seperti : jangan menjadi angan, sedangkan contoh dalam bahasa Gorontalo, seperti : le’e artinya sesal menjadi e’e artinya ayak. b. Sinkope merupakan proses penghilngan/penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Contoh dalam bahasa Indonesia, seperti : baharu menjadi baru, sedangkan contoh dalam bahasa Gorontalo, seperti : tiilo artinya ibu menjadi tilo artinya kapur. c. Apokope merupakan proses/gejala penghilangan, penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Contoh dalam bahasa Indonesia, seperti : kacang menjadi kaca, siapa menjadi siap, sedangkan contoh dalam bahasa Gorontalo, seperti : lemulo artinya lebih dulu menjadi lemu artinya lem.
2) Chaer (2009:105) mengemukakan bahwa anaptiksis (penambahan fonem) merupakan penambahan bunyi vokal di antara dua konsonan dalam sebuah kata atau penambahan sebuah konsonan pada kata tertentu. Hal senada disampaikan oleh Yusuf (1998:127) bahwa penambahan bunyi merupakan proses morfologis demi kejelasan pengucapan serta untuk memudahkannya.
Sedangkan Pateda dan Pulubuhu (2009:124)
mengatakan bahwa penambahan fonem (anaptiksis) adalah gejala penambahan fonemfonem, baik karena historis atau karena disengaja oleh penutur bahasa yang bersangkutan. Anaptiksis (penambahan fonem ) ini terdiri atas : a. Protesis merupakan proses/gejala penambahan fonem di depan suatu bentuk atau pada awal kata. Contoh dalam bahasa Indonesia, seperti : mas menjadi emas, jati menjadi sejati, sedangkan contoh dalam bahasa Gorontalo, seperti : lala artinya nanah menjadi talala artinya celana. b. Epentesis merupakan proses/ gejala penambahan fonem di tengah kata. Contoh dalam bahasa Indonesia, seperti : les menjadi lepas, tega menjadi tembaga, sedangkan dalam bahasa Gorontalo, seperti : duhu artinya darah menjadi duduhu artinya bangau. c. Paragog merupakan gejala/proses penambahan fonem pada akhir kata. Contoh dalam bahasa Indonesia, seperti : adi menjadi adik, sedangkan dalam bahasa Gorontalo, seperti : lombu artinya besok menjadi lombuli artinya pedagang.