BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan Koentjaraningrat (1980), mendeskripsikan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Selanjutnya ia membedakan wujud kebudayaan dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan. Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat, dan ketiga, kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Kesenian sebagai hasil karya atau simbolisasi manusia merupakan sesuatu yang misterius. Namun secara universal, jika berbicara masalah kesenian orang akan langsung terimaginasi dengan istilah “indah”. Kuda lumping sebagai hasil karya seni merupakan sistem komunikasi dari ”bentuk” dan “isi”. Bentuk yang berupa realitas “gerak, musik, busana, dan peralatan lainnya” secara visual tampak oleh mata oleh Lavi (dalam Ahimsa, 2001:61). Namun isi yang berupa tujuan, harapan, dan cita-cita adalah “komunikasi maya” yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat pendukung budayanya. Kesenian kuda lumping kedudukannya dimasyarakat memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi ritual, fungsi pameran atau festival kerakyatan, dan fungsi tontonan yaitu kepuasan batin semata. Dalam fungsinya sebagai ritual, kuda lumping memiliki berbagai simbol yang bernilai ritual atau alat kelengkapan lainnya seperti mantra maupun berupa prilaku (gerakan maupun bunyi-bunyian). Untuk kepentingan pameran atau festival akan tampak pengaruh besar mempopulerkan kreativitas, sedangkan untuk kepentingan atau kepuasan batin akan menjadi sarana yang bersifat use atau kegunaan yang bermanfaat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kesenian sebagai unsur kebudayaan tidak hanya 10
dilihat sebagai hasil “ciptaan” berupa benda, produk manusia, tetapi dalam hal ini lebih dipandang sebagai suatu “simbol”, lambang yang mengatakan “sesuatu tentang sesuatu”, sehingga berhadapan dengan makna dan pesan. 2.2. Manfaat Kesenian Tradisional Bagi Anak Anak merupakan tumpuan harapan bagi orang tua, bangsa dan negara, karenanya tidak berlebihan jika anak kerap dicatat sebagai generasi pewaris penerus cita-cita.Warisan budaya adalah merupakan suatu media yang tepat untuk memberikan informasi dan pendidikan tentang nilai-nilai hidup yang berkualitas. Maka dari itu kesenian tradisional mengandung beberapa nilai yang dapat ditanamkan. Nilai-nilai tersebut antara lain rasa senang, rasa bebas, rasa berteman, rasa demokrasi, penuh tanggung jawab, rasa patuh, rasa saling membantu yang ke semuanya merupakan nilai-nilai yang sangat baik dan berguna dalam kehidupan masyarakat. Pada intinya permainan dalam kesenian tradisional merupakan bagian dari tingkah laku manusia, yang juga merupakan bagian kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang di dalamnya termasuk ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Pada kenyataannnya anak yang bermain dalam kesenian tradisional kurang merangsang perkembangan mental anak dalam proses interaksi dengan lingkungan selama bermain. Padahal, bermain adalah merupakan bentuk kegiatan yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisik anak. Kegiatan bermain bagi anak memiliki fungsi sebagai kegiatan rekreasi memberikan kesenangan dan kepuasan di waktu luang serta sebagai kegiatan edukatif dalam membantu proses perkembangan psikis dan sarana sosialisasi bagi anak di luar pengetahuan yang anak dapat disaat jam sekolah. Seperti yang terjadi di Desa Batang Pane III, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara, dimana anak-anak yang
11
menjadi anggota kesenian kuda lumping lebih menonjolkan sikap kepedulian mereka terhadap organisasi atau sanggar kesenian mereka. Anak-anak lebih menikmati peran mereka dalam lingkungan organisasi dan lebih memelihara serta mematuhi segala bentuk peraturan atau nilai yang ada di sanggar kesenian kuda lumping. Anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping tidak saja memainkan pertunjukan kuda lumping disaat pertunjukan berlangsung akan tetapi anak-anak acap kali memainkan pertunjukan kuda lumping di luar sanggar. Di sisi lain, apa yang anak-anak tersebut butuhkan tidak jarang ketua sanggar atau pun anggota sanggar kuda lumping memberikan bantuan sesuai apa yang anak tersebut butuhkan. Sehingga dalam kejadian ini, ketua sanggar disebut dengan patron. Patron dianggap pelindung bagi anak (klien) karena patron dapat membantu klien-kliennya dalam memenuhi kebutuhan yang klien butuhkan.
2.3. Teori Hubungan Patron Klien (Patron-Client Relationship) dalam Perspektif Sosiologi Istilah ‘patron’ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’, sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132). Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa di dalam sebuah interaksi sosial masing-masing aktor melakukan hubungan timbal balik. Hubungan ini dilakukan baik secara vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal (masingmasing aktor kedudukannya sama). Patron klien sendiri merupakan interaksi sosial yang berasal dari hubungan vertikal. Satu aktor memiliki peran yang lebih tinggi dibandingkan aktor yang lain. Aktor yang lebih tinggi ini kemudian memberikan bantuan yang diperlukan kepada aktor yang lebih rendah, sehingga secara norma aktor yang lebih rendah tersebut merasa harus membalas kebaikan aktor yang kedudukannya lebih tinggi tersebut.
12
Oleh karena itu relasi patron klien sering juga disebut pertukaran antara aktor yang lebih tinggi dengan aktor yang lebih rendah. Pelras (1981, dalam Layn: 2008, 45) menguraikan arti dari hubungan patron dan klien. Menurutnya, “patron” berasal dari kata “patronus” yang berarti “bangsawan”, sementara “klien” berasal dari kata “clien” yang berarti pengikut. Jika ditambahkan dengan kata “hubungan” maka hubungan patron klien dapat diartikan sebagai hubungan yang tidak setara yang berlangsung antara seorang bangsawan dengan sejumlah pengikut jelata berdasarkan pertukaran barang dan jasa yang di dalamnya ketergantungan klien terhadap patron dibalas dengan dukungan perlindungan patron terhadap klien. Burke (2001:106, dalam Pabbabari 2010) mendefinisikan patronase sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara antara pimpinan (patron) dan pengikutnya (klien). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah dan lain-lain). Di sisi lain patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada klientnya. Menurut Levinson & Melvin Ember, hubungan patron-klien yang terlihat sebagai suatu fakta sosialkultural, dan hanya didasarkan pada perjanjian informal menjadi pembungkus yang halus dari hubungan sosial, politik dan ekonomi yang diwarnai ketidak setaraan. Padahal, dalam hubungan yang diwarnai ketidak setaraan, maka peluang untuk terjadinya eksploitasi menjadi sangat besar (Levinson, 1996: 106). Diantara para ilmuwan yang fokus pada kajian mengenai relasi patron dan klien, kita perlu merujuk pada James Scott karena memberikan pemahaman paling detail mengenai hal ini. Scott (1972, dalam Layn: 2008, 45) memberikan definisi bahwa ikatan patron klien didasarkan dan berfokus pada pertukaran yang tidak setara yang berlangsung antara kedua belah pihak, serta tidak didasarkan pada kriteria askripsi. Oleh karena itu siapa saja yang memiliki modal maka ia dapat berstatus sebagai patron. Hal ini berbeda dengan 13
definisi menurut Pelras yang mendasarkan bahwa patron adalah para bangsawan, sementara Scott tidak mempermasalahkan asal usul golongan tersebut, asal memiliki modal aktor tersebut melakukan pertukaran secara vertikal maka dia layak disebut patron. Scott (1976, dalam Hariadi, 1987:48), hubungan patron klien merupakan hubungan yang antara dua pihak yang menyangkut persahabatan, dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), dan sebaliknya si klien membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum termasuk pelayanan pribadi kepada patron. Dalam hubungan ini pertukaran tersebut merupakan jalinan yang rumit dan berkelanjutan, biasanya baru terhapus dalam jangka panjang. Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa materi melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan mengharapkan materi atau uang dari klien tapi mengharapkan imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron. Dalam memahami hubungan patron klien, ada satu hal penting yang mendasari hubungan ini. Hubungan patron kilen berawal dari adanya pemberian barang atau jasa dalam berbagai bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, sementara bagi pihak yang menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas barang tersebut (Scott: 1992, 91-91, dalam Pahrudin: 2009). Scott memberikan contoh terhadap hasil temuannya dengan melihat hubungan timbal balik yang terjadi antara petani penggarap dengan pemilik lahan. Supaya bisa menjadi patron, pemilik lahan memanfaatkan modal yang dmilikinya untuk merekrut klien. Mereka memberikan pekerjaan berupa menggarap lahan yang dimiliki patron. Selain patron juga tidak segan-segan melindungi kliennya dengan memberikan jaminan ketika paceklik tiba maupun melindungi para penggarap lahan terhadap makelar. Dari perlindungan inilah patron mengharapkan hadiah dari kliennya, tergantung pada apa yan dibutuhkan oleh sang patron kelak. 14
Dalam patron klien, hubungan dibangun tidak berdasarkan pemaksaan atau kekerasan. Hubungan ini identik terjadi dalam bentuk hubungan pertemanan atau hubungan yang sama-sama menguntungkan (simbiosis mutualisme). Seperti yang disampaikan oleh Scott (1972) yang mengatakan bahwa hubungan patronase mengandung dua unsur utama yaitu pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain, entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa, dan bisa berbagai ragam bentuknya. Dengan pemberian barang dan jasa pihak penerima merasa berkewajiban untuk membalasnya, sehingga terjadi hubungan timbal balik. Kedua adanya unsur timbal balik yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan atau hubungan karena adanya wewenang formal (Putra 1988:3, dalam Pabbabari 2010). Sekalipun hubungan patron klien terbangun bukan atas dasar paksaan, namun hubungan ini tetaplah tidak seimbang. Ketidakseimbangan terjadi karena ada satu aktor (patron) yang mendominasi aktor yang lain (klien). Patron memiliki sesuatu modal yang bisa ditawarkan kepada klien, sementara klien hanya bisa memberikan hadiah sebagai bentuk timbal balik. Seperti dalam kasus pemilik lahan dengan para penggarap, tentu penggarap sebagai klien lebih tergantung kepada sang patron. Begitu juga para anak-anak yang menjadi anggota kuda lumping lebih meluangkan waktunya dan mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh pawang untuk sanggar kuda lumping Turonggo Madyo Budoyo. Kebaikan hati pawang memberikan izin kepada anak-anak untuk menjadi anggota kuda lumping, sangat berharga untuk anak-anak yang menjadi kuda lumping. Anak merasa dibutuhkan dan dihargai keberadaanya oleh pawang dan keinginan anak-anak untuk memiliki endang atau ingin mewarisi kesenian kuda lumping dapat terwujud. Hubungan patron klien ini juga mempunyai akhir atau bisa diakhiri. Bagi Scott, ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi kultural dan dimensi 15
obyektif. Dimensi kultural disini oleh Scott diartikan sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan minimum secara kultural para klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual, kebutuhan sosial kolektif atau kelompok dll. Sedangkan dimensi obyektif lebih cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasar atau minimun yang mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup untuk memberi makan, memberi bantuan untuk orang sakit dll. Jika para patron tidak sanggup memenuhi 2 dimensi kebutuhan tersebut dalam konteks kepuasan para klien, maka menurut Scott klien akan berpikir hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan eksploitatif. Untuk itulah dalam relasi patron klien masing-masing aktor memiliki posisi tawar. Klien meskipun sangat bergantung kepada sang patron, tetap memiliki posisi tawar. Begitu juga dengan patron, modal yang dimilikinya tidak serta merta membuatnya bisa melakukan eksploitasi kepada klien maupun memberikan keputusan yang merugikan klien. Selama masih merasa memperoleh keuntungan dari pihak lain, hubungan patron klien masih terus berlangsung. Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa pertukaran barang atau jasa yang terjadi dalam hubungan patron klien adalah tidak seimbang dan tidak menguntungkan pada dasarnya merupakan pandangan yang subyektif atau berdasarkan perspektif luar. Perspektif semacam ini mengemuka karena hubungan patronase terlalu diperhitungkan dan dipertimbangkan secara ekonomis. Padahal jika diperhatikan secara lebih mendalam akan ditemukan sebuah kenyataan bahwa bukankah hubungan tersebut tidak akan terjadi kalau masing-masing pihak yang terlibat tidak diuntungkan. Atau dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hubungan semacam ini dapat terus berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena para pelaku yang terlibat di dalamnya mendapatkan keuntungan.
16