BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1. Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang dijadikan pedoman kajian pustaka dilakukan oleh Zon Vanel, untuk meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Negeri Sebelas Maret Berjudul “Representasi Hukum Kausalitas Dalam Prajna Paramita Hrdaya Sutra (Studi Semiotika Tentang Representasi Hukum Kausalitas Dalam Prajna Paramita Hrdaya Sutra) Beberapa hal penting yang dapat disimpulkan dari penelitian tentang representasi hukum kausalitas dalam Prajñā Pārāmitā Hrdaya Sūtra adalah: Śūnyatā yang merupakan tanda dalam teks dan berada pada tataran sistem semiotik tingkat pertama mempunyai beberapa aspek yang masing-masing saling berhubungan dan dapat dipergunakan untuk menjelaskan. Pertama adalah catuśkoti (negasi bercabang empat), kedua adalah dua level kebenaran., dan ketiga adalah pratītyasamutpāda. Pratītyasamutpāda merupakan konotasi dari tanda-tanda yang terdapat di dalam śutra (denotasi) dan berada dalam tataran sistem semiotik tingkat kedua. Pratītyasamutpāda adalah kebenaran tentang kesalingbergantungan segala sesuatu, kekosongan substansi (svabhāva) dan kerelatifan segala yang ada. Pratītyasamutpāda merupakan meaning (makna) dari hukum
13
kausalitas yang tersirat di dalam Prajñā Pārāmitā Hrdaya Sūtra melalui kedua belas mata rantai sebab-akibat. Kesalingbergatungan ini menurut Nāgārjuna adalah sama dengan śūnyatā, yaitu ke-tanpa-intian semua konsep tersebut. Jika sebuah konsep tergantung pada yang lain untuk keberadaannya, yang memahami pratītyasamutpāda akan memahami pula śūnyatā, yaitu bahwa semua hal tiak mempunyai esensi kekal dalam dirinya. Pratītyasamutpāda
merepresentasikan
hukum
kausalitas
(interdependensi) dalam Prajñā Pāramitā Hrdaya Sūtra. Semuanya tercermin dalam kesalingbergantungan dari dua belas mata rantai yang terdapat di dalamnya. Kedua belas mata rantai tersebut adalah: avijjā (kebodohan batin), sankārā (bentuk-bentuk karma), viññana (perasaan), namarupa (batinjasmani), salāyatana (enam indera bagian dalam), phassa (kesan-kesan), vedanā (perasaan), tanhā (keinginan rendah), upādāna (kemelekatan), bhava (penjadian), jāti (tumimbal lahir), jarāmarana (kelapukan, kematian). Terdapat kesalingbergantungan antara ketidaktahuan (avijjā), bentukbentuk karma (sankhāra), kesadaran (viññana), enam landasan indera (nāmarūpa),
enam
dasar
aktivitas
indera
(salāyatana),
kesan-kesan
(phassa/samjñā), perasaan (vedanā), tanha (kontak atau keinginan rendah), Upādāna (kemelekatan), proses penjadian (bhava), kelahiran (jāti), serta ketuaan dan kematian (jarā marana). Prosesnya adalah sebagai berikut: ketidaktahuan/kebodohan
batin
menggerakkan
perbuatan,
perbuatan
memunculkan kesadaran, kesadaran muncul berkaitan dengan enam
14
landasan dasar indera, enam landasan dasar indera berhubungan dengan enam dasar aktivitas indera, enam dasar aktivitas indera memunculkan kesan-kesan, bergantung pada enam dasar aktivitas indera muncul kesankesan, bergantung pada kesan-kesan menghasilkan perasaan, perasaan menimbulkan
kontak
atau
keinginan
rendah,
dengan
adanya
kontak/keinginan rendah memunculkan kemelekatan, bergantung pada kemelekatan menimbulkan proses penjadian, proses penjadian menghasilkan kelahiran, bergantung pada kelahiran maka menghasilkan ketuaan dan kematian. Berakhirlah proses pada satu putaran kehidupan. Berdasarkan dua belas mata rantai tersebut maka akan menghasilkan karma di kehidupan mendatang atau pada putaran kehidupan yang berikutnya. Dengan memahami kekosongan (śūnyatā) dan keberadaan yang saling bergantungan (pratītyasamutpadā) seseorang akan memahami dan terhindar dari dua ekstrem, yaitu kekekalan dan kemusnahan. Apabila suatu hal saling bergantungan, maka tidak ada kemungkinan baginya untuk menjadi sesuatu yang tidak dapat mengada dengan sendirinya (sesuatu yang tidak dapat berdiri sendiri). Hal ini terjadi karena hal itu, muncul bergantung pada kumpulan bagian yang menjadi landasan bagi penamaan kita atasnya. Tidak ada objek yang berdiri sendiri, tidak ada objek yang dapat mengada secara hakiki, selama hal itu harus bergatung pada faktor yang lain untuk keberadaannya.
15
Dalam esensinya yang terdalam, śūnyatā dan pratītyasamutpāda adalah
identik.
Śūnyatā
adalah
sarana
untuk
merealisasi
prajñā
(kebijaksanaan), yaitu kebijaksanaan untuk memutuskan segala kebodohan dan kelekatan agar dapat mencapai kebebasan. Pratītyasamutpāda merupakan kunci emas dalam memahami semua fenomena (dharma), yang secara hakiki tunduk pada hukum sebab akibat (hukum kausalitas) dan oleh karenanya saling tergantung keberadaannya pada hal yang lain. Kekosongan (śūnyatā) dan keberadaan yang saling bergantungan (pratītyasamutpāda) adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kekosongan di sini maksudnya adalah kosong dari inti dan tidak kosong dari fungsi. Penelitian yang kedua dilakukan oleh Santa Lorita untuk meraih gelar Magister Komunikasi di Universitas Prof. Dr. Mustopo Beragama dengan judul penelitian “Representasi Ideologi Media Dalam Berita Konflik Rumah Ibadah (Analisis Semiotik Sosial Terhadap Berita Konflik Sosial Mengenai Pendirian Rumah Ibadah Pada Surat Kabar Kompas, Media Indonesia dan Republika) Dari hasil pembacaan terhadap berita-berita dari ketiga media cetak yang diteliti, dengan memakai semiotika sosial Halliday sebagai pisau analisisnya, yaitu surat kabar Kompas, Media Indonesia, dan Republika terlihat bahwa representasi berita-berita yang disajikan di ketiga media tersebut kuat dipengaruhi oleh ideologi masing-masing. Sehingga realitas peristiwa konflik rumah ibadah yang dikonstruksi oleh Kompas, Media
16
Indonesia, dan Republika berbeda sesuai ideologi yang diusung masingmasing media. Kompas mengusung ideologi Katolik-Nasionalis, Media Indonesia dengan Nasionalis Kebangsaannya, dan Republika dengan ideologi Islam Modernisnya. Kompas tetap dipandang sebagai surat kabar yang mewakili suara kelompok minoritas khususnya Katolik atau Kristen lainnya, apalagi jika dihadapkan
pada
isu-isu
yang
menyangkut
hubungan
antar-agama.
Sedangkan surat kabar Republika kebalikan dari Harian Kompas. Republika merepresentasikan kepentingan umat Islam yang diterbitan dalam berita peristiwa konflik rumah ibadah. Republika lebih memfokuskan diri pada permasalahan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Media Indonesia sebagai koran yang berideologi nasionalis kebangsaan tidak memfokuskan diri pada peristiwa-peristiwa yang berbau agama. Isu-isu yang diangkat oleh Media Indonesia terkait peristiwa konflik rumah ibadah adalah isu-isu yang tidak membawa kepentingan agama manapun. Media Indonesia lebih melihatnya sebagai permasalahan kebangsaan atau kebersamaan bangsa yang perlu diselesaikan. Sehingga tidak tampak bahwa Media Indonesia berbicara atau merepresentasikan kepentingan salah satu agama. Penelitian yang tampaknya cukup dekat serta relevan dengan yang dilakukan oleh peneliti yaitu Juni Alfiah Chusjairi dalam menyelesaikan strata dua (S2) di Universitas Indonesia dengan judul penelitian “Konstruksi Identitas Etnis Cina Pasca Orde Baru Melalui Media (Studi Pemaknaan
17
Terhadap Film Cina : Wo Ai Ni Indonesia, Jangan Panggil Aku Cina, dan Ca Bau kan)”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan perspektif fenomenologi dan menggunakan paradigma kritis. Teori utama yang
digunakan
untuk
menganalisis
dalam
penelitian
ini
yaitu
encoding/decoding dari Stuart Hall. Menyimpulkan bahwa Etnis Cina di Indonesia
sudah
beberapa
generasi
tinggal
di
Indonesia.
Namun
kehadirannya hingga saat ini masih belum sepenuhnya dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Era reformasi tampaknya membawa angin baru bagi Etnis Cina di Indonesia. Di era reformasi berbagai peraturan yang diskriminatif mulai di cabut. Termasuk juga bahasa dan budaya Cina tidak dilarang kembali. Sikap pemerintah yang melunak terhadap Etnis Cina membawa perubahan juga pada media. Selain ada stasiun televisi yang menyiarkan siaran berita dalam bahasa Mandarin, televisi juga menayangkan film/sinetron tentang kehidupan Etnis Cina yang ditayangkan dalam menyambut Imlek dan tahun baru Cina, yang melibatkan pemaknaan terhadap film-film Wo Ai Ni Indonesia, Jangan Panggil Aku Cina dan Ca Bau Kan terhadap identitas Etnis Cina. Kritik penulis terhadap penelitian di atas yaitu (1) Peneliti merupakan orang Indonesia/pribumi sehingga memungkinkan adanya jarak antara peneliti dengan informan. (2) Informan dalam penelitian yaitu masyarakat etnis Cina yang sudah pernah menonton tiga film Cina tersebut dan tidak menghadirkan informan dari pihak pribumi sehingga hasil penelitian tidak
18
dapat merepresentasikan secara sempurna apabila para informan hanya menonton dua film Cina saja. Dari ketiga penelitian di atas dapat dibedakan antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian ini, dimana perbedaan media yang dijadikan sebagai data analisisnya. Penelitian yang pertama menganalisis ajaran Budha melalui media cetak berupa kitab. Pada penelitian yang kedua analisis dilakukan untuk mengetahui ideologi media yang tersembunyi dari balik “teks pemberitaan” di ketiga media cetak nasional. Penelitian ketiga tentang fil Cau Bau Kan berusaha untuk mengkontruks keberadaan etnis cina di Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dengan pendekatan analisis fenomenologi. Sementara itu penelitian ini memfokuskan analisisnya pada representasi perempuan dalam media film. Penelitian media massa banyak dilakukan pada media cetak namun masih jarang sekali penelitian media massa dilakukan pada media film sebagai bahan analisisnya. Selain itu kajian dalam penelitian ini menitikberatkan pada persoalan dan atau tema perempuan yang diusung dalam film yang akan diteliti sehingga diharapkan mampu memberikan kritik dan kajian yang komprehensif bagi pengembangan perfilman Indonesia.
19
Matriks 1. Penelitian Terdahulu N Nama o Penel iti
Judul Penelitian
Akad emisi
Subje k
Objek
1
Represent asi Hukum Kausalitas Dalam Prajna Paramita Hrdaya Sutra (Studi Semiotika Tentang Represent asi Hukum Kausalitas Dalam Prajna Paramita Hrdaya Sutra)
S2 (Thesi s) Unive rsitas Sebel as Maret (Sura karta)
Repre senta si terhad ap huku m kausa litas
Kitab Kualita agama tif HinduBudha (Prajna Parami ta Hrdaya Sutra)
Zon Vanel
20
Metod ologi
Perspe Kritik ktif dan paradi gma Semioti Peneli ka tian Barthes ini kuran g mene kanka n pada aspek korela si huku m denga n kondi si realita s saat ini, hanya meng analisi s kata, kalim at dan siste m sosial yang dijelas kan pada masa nya.
2
Santa Lorita
Represent asi Ideologi Media Dalam Berita Konflik Rumah Ibadah (Analisis Semiotik Sosial Terhadap Berita Konflik Sosial Mengenai Pendirian Rumah Ibadah Pada Surat Kabar Kompas, Media Indonesia dan Republika )
S2 (Thesi s) Unive rsitas Dr Musto po Berag ama (Jakar ta)
Repre senta si terhad ap ideolo gi media
21
Kompa Kualita s, tif Media Indone sia, Republ ika
Semioti ka Sosial Halliday
Peneli tian ini mene kanka n berita sebag ai analisi s semio tik yang meng analisi s kata, kalim at dan hubun gan antar parag raph dan edisi terbit, seme ntara gamb ar (photo ) yang meny ertai berita tidak diikuts ertaka n dalam analisi snya
3
Juni Alfiah Chusj airi
Konstruks i Identitas Etnis Cina Pasca Orde Baru Melalui Media (Studi Pemaknaa n Terhadap Film Cina : Wo Ai Ni Indonesia, Jangan Panggil Aku Cina, dan Ca Bau kan)
S2 (Thesi s) Unive rsitas Indon esia
Konst ruksi pema knaan film Cina : Wo Ai Ni Indon esia, Janga n Pang gil Aku Cina dan Ca Bau Kan.
22
Masya rakat Etnis Cina Di Indone sia.
Kualita tif
Fenom enologi dan Kritis
Peneli ti merup akan orang Indon esia/p ribumi sehin gga memu ngkin kan adany a jarak antara peneli ti denga n inform an. Inform an dalam peneli tian yaitu masy arakat etnis Cina yang sudah perna h meno nton tiga film Cina terseb ut dan
tidak meng hadirk an inform an dari pihak pribu mi sehin gga hasil peneli tian tidak dapat merep resent asika n secar a semp urna apabil a para inform an hanya meno nton dua film Cina saja.
23
2.1.2. Kajian Teoritis 2.1.2.1. Proses Komunikasi dan Produksi Makna Komunikasi dalam sistem masyarakat ialah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia. Kebiasaan manusia sebagai makhluk sosial dalam berkomunikasi sendiri dipengaruhi oleh pengalaman dan referensi yang dimilikinya. Setiap individu dalam melakukan komunikasi mengacu pada dua hal. Pertama, manusia memandang komunikasi
sebagai
proses
transmisi
pesan-pesan
(transmission
of
messages). Kedua, manusia memandang komunikasi sebagai suatu kegiatan produksi dan pertukaran makna (production and exchange of meanings). Model yang diusulkan oleh Laswell guna menjelaskan cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah dengan pertanyaan berikut : “Who Says What In Which Chanel To Whom With What Effect. Paradigma Laswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yaitu: komunikator (communicator, source, sender),
pesan
(message),
media
(channel,
media),
komunikasi
(communicant, communicatee, reciver, recepient), dan efek (effect, impact, influence)” (Severin dan Tankard, 2005: 55). Pada dasarnya berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek. Model ini banyak diterapkan dalam komunikasi massa.
24
Dengan demikian, manusia ketika berkomunikasi ialah, ia melakukan interaksi dengan sesama dan lingkungannya, dalam arti luas. Berbagai macam pengalaman yang dimiliki manusia, merupakan sikap berbagi rasa, ide dan gagasan. Proses tersebut yang kemudian dinamakan sebagai pesan (massage). sebagaimana dikatakan oleh Onong Uchjana (2000: 312), bahwa “pesan adalah terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content of massage) dan lambang (symbol) untuk mengekpresikannya”. Selanjutnya pesan ditafsirkan oleh penerima dengan bedasarkan kerangka pengalaman yang telah dimilikinya. Terdapatnya perbedaan budaya sangat dimungkinkan ditemukannya perbedaan makna pesan. Sebagaimana dikatakan oleh Fiske, dalam bukunya Introduction to Communication Studies, mengatakan : So readers with different social experiences or from different culturaes may find different meanings in the same text (2004: 30). (Sehingga pembaca dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan perbedan makna ada teks yang sama). Pada hakikatnya komunikasi adalah merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang mempunyai efek tertentu. “Dalam bagian komunikasi perspektif psikologis ketika seorang komunikator berniat menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, maka dalam dirinya terjadi suatu proses (encoding-decoding), dalam primary proses,
komunikasi
merupakan
proses
penyampaian
pikiran
oleh
komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai medianya” (Onong, 2000: 33).
25
Dalam pandangan Fiske
(2004: 2), “pendapat ini digolongkannya
pada aliran komunikasi sebagai proses transmisi pesan. Dimana studi komunikasi bukan semata proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan semata tetapi juga komunikasi sebagai proses dan pertukaran makna yang disebutnya sebagai aliran semiotik”. Sesungguhnya studi komunikasi sudah tidaklah murni lagi sebagai subjek karena di dalamnya terdapat berbagai macam studi. Mengenai hal ini Fiske (1990) memiliki beberapa asumsi : “... communication is anneble to study, but that we need a number of discplinary approaches to be able to study it comprehensively”. (... komunikasi disepakati sebagai studi, tetapi memerlukan disiplin pendekatan untuk mempelajari komunikasi secara luas). “... communication involves signs and codes”. (... komunikasi melibatkan tanda dan kode). “... signsand codes ae transmitted or made available to others and ransmitting or receiving signs/codes/comunication is the practice social relationship”. (... tanda dan kode ditransmisikan atau ditujukan kepada orang lain dan pengiriman atau penerimaan tanda atau kode atau komunikasi adalah hubungan sosial yang praktis). “... communication is cenral to the culture or our life ... consequencly the study of communication involves the study of the culture ehich it is integrated”. (... komunikasi adalah pusat budaya kehidupan kita ... konsekuensinya, studi komunikasi melibatkan studi budaya yang diintegrasikan).
26
Sementara itu, hal senada dikatakan David Sless bahwa teori komunikasinya juga berangkat dari pendekatan semiotik. Pesan dalam proses komunikasi bukanlah semata apa yang dikirimkan oleh sender kepada receiver. Pesan dipandang sebagai teks dan memiliki cakupan yang sangat luas. Pesan tidak saja terjadi ketika seseorang berdialog dengan orang lain, tetapi secara tersembunyi seseorang telah dapat menyampaikan pesan melalui penampilan, menulis, melukis, membuat film, novel, puisi atau hiburan merupakan bagian dari pembuatan teks atau pesan (Fiske, 2004: 3). David Sless dalam bukunya mempergunakan istilah author agar bersinonim dengan pengirim (sender), dan reader yang bersinonim dengan penerima (receiver) serta teks yang bersinonim dengan pesan (massage). Sless mengasumsikan komunikasi sebagai pemilahan antara pengirim teks dan penerima teks. Sless memberi terminologi terhadap hal ini dengan istilah comunication as position. Maksudnya bahwa dalam proses komunikasi, pengirim dan penerima pesan menempati posisinya masing-masing. Posisi pengirim akan berbeda dengan posisi penerima. Tatkala pengirim dan penerima pesan dihadapkan pada objek yang sama, maka belum tentu menghasilkan pemahaman yang sama. Sless menganalogikan hal ini dengan perbedaan antara author dengan reader terhadap gunung yang sama. Gunung akan terlihat berbeda bila dipandang oleh author di selatan dan reader di utara (Fiske, 2004: 35). Hal ini memberi implikasi adanya keterlibatan budaya dalam memaknai sebuah objek atau teks.
27
Adanya perbedaan budaya akan sangat memungkinkan munculnya perbedaan makna pada pesan yang sama oleh pengirim dan penerima pesan. Seorang pengirim pesan, baik secara implisit maupun eksplisit, mengkonstruksikan pesan yang dicitrakannya kepada penerima. Dengan demikian proses komunikasi berjalan dengan dinamis, baik pengirim pesan maupun penerima pesan memiliki interaksi dengan pesan. Penerima pesan tidak saja pasif dalam menerima pesan. Penerima pesan dapat saja memberi makna konstruksi pesan yang diterimanya, karena unsur apapun yang terlibat dalam pesan merupakan teks yang dapat dipahami secara arbitrer. Hal ini akan mengakibatkan adanya kelebihan ataupun kekurangan makna pesan dari pengirim. Teori Fiske dan Sless menyiratkan bahwa pada dasarnya studi komunikasi tak dapat lepas dari pertukaran makna dan pengertian dari suatu pesan. Pesan disampaikan dengan menggunakan simbol (symbol) atau tanda (sign) yang dapat diinterpretasikan oleh audiens ataupun pembaca pesan itu. Bagaimana tanda atau simbol itu diinterpretasikan sangat tergantung pada interpreter atau penerima tanda. Salah satu bentuk tanda adalah bahasa. Secara sederhana Jalaluddin Rakhmat membedakan bahasa menjadi dua, yaitu: bahasa sebagai pesan linguistik (yaitu pesan dalam bentuk kata dan kalimat) dan bahasa sebagai pesan non-verbal yang meliputi pesan paralinguistik (manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara tertentu dan setiap cara berkata
28
memberikan maksud tertentu dan pesan ekstralinguistik (bahasa dalam bentuk simbol atau isyarat). Secara fungsional, bahasa dipahami sebagai alat yang dimiliki untuk mengungkapkan ide dan makna. Artinya, bahasa hanya dapat dipahami apabila ada konvensi di antara anggota kelompok sosial yang menggunakannya. Kata-kata dimaknai secara arbitrer oleh kelompok sosial, kemudian dikonvensikan dalam penggunaannya (Pradopo, 1995: 268-269). Sementara itu proses komunikasi bahasa (lambang verbal) adalah paling banyak digunakan, oleh karena hanya bahasa yang mampu mengungkapkan pikiran komunikator mengenai hal atau peristiwa, baik yang konkret maupun yang abstrak, yang terjadi masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang. Karena itulah pula maka kebanyakan merupakan alat atau sarana yang diciptakan untuk meneruskan pesan komunikasi dengan bahasa. Bahasa mempunyai dua jenis pengertian yang perlu dipahami oleh para komunikator. Pertama adalah pengertian denotatif, yang kedua pengertian konotatif. Perkataan yang denotatif adalah yang mengandung makna sebagaimana tercantum dalam kamus (dictionary meaning) dan diterima secara umum oleh kebanyakan orang yang sama kebudayaannya dan bahasanya. Perkataan yang denotatif tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan ketika diterpa pesan-pesan komunikasi. Sebaliknya apabila komunikator menggunakan kata-kata konotatif. Kata-kata konotatif mengandung pengertian emosional atau evaluatif. Oleh karena itu
29
dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda pada komunikan (Sobur, 2003: 45). Berdasarkan penjelasan di atas, pikiran dan atau perasaan seseorang baru akan diketahui dampaknya oleh orang lain apabila ditransmisikan dengan menggunakan media primer tersebut, yakni lambang-lambang. Dengan
perkataan
lain,
pesan
(massage)
yang
disampaikan
oleh
komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (content) dan lambang (symbol). Pesan yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi hal diatas dan bahasa dalam bentuk audio-visual dalam film. Mengingat film merupakan teks “wicara” untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan paduan diantara keduanya. Di samping itu, komunikasi juga dapat dilihat sebagai proses aktivitas produksi dan pertukaran makna (production and exchange meaning). Dalam pendekatan ini tidak mengenal adanya suatu kegagalan komunikasi. Perbedaan makna antara sender dan reciever lebih cenderung dilihat sebagai akibat adanya perbedaan latar belakang budaya. Interpretasi baru akan muncul jika orang mulai menafsirkan isyarat atau simbol dan berusaha memahami dengan melibatkan aspek pikiran, perasaan, dan konsep (Effendy, 1985). Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika, yaitu proses penggalian makna yang berusaha menyingkap atau menjelaskan berbagai aspek intrinsik dari lambang tertentu, arti dan bentuknya. Pendekatan
30
semiotika lebih mengarah pada pandangan tentang komunikasi sebagai production and exchange meanings. Hal ini mengingat bahwa teks atau naskah itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tandatanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Sejalan
dengan
pemikiran
tersebut
McFee
mengungkapkan,
pengalaman budaya berperan sangat penting dalam proses kognitif selalu bersumber darinya. Lebih lanjut Sutopo menambahkan, “dengan demikian pengalaman seseorang yang merupakan akumulasi dari hasil interaksi dengan
lingkungan
hidupnya
setiap
hari
dalam
masyarakat,
lokasi
geografisnya, latar belakang ekonomi dan politiknya, keterlibatan religiusnya, sangat menentukan persepsinya terhadap suatu kegiatan” (Sutopo, 2000: 181). Pengalaman budaya yang dimaksudkan ialah latar dan setting tempat kejadian dalam alur film. Dimana peristiwa yang terdapat dalam film meliputi tempat (latar-tempat kejadian) dan juga waktu (kapan-peristiwa terjadi). Dalam beberapa teori sastra pengalaman budaya ditambahkan dengan setting budaya, artinya dimana kejadian atau peristiwa tersebut dipengaruh dengan proses budaya yang sedang berlangsung. 2.1.2.2. Mitologi Secara etimologi mitos adalah “sebuah tipe pembicaraan atau wicara „a type of speech‟ “ (Barthes, 2007: 295). Selanjutnnya Barthes menyatakan bahwa “mitos adalah suatu sistem komunikasi (suatu pesan), mitos
31
merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form). Mitologi dapat memiliki suatu fondasi historis, karena mitos merupakan semacam wicara yang dipilih oleh sejarah, mitos tidak mungkin berkembang dari „hakikat‟ pelbagai hal” (2007: 296-297). Sementara Danesi (2010: 57) menyatakan bahwa “kata mitos berasal dari kata Yunani „mythos‟ yang artinya „kata-kata‟, „wicara‟, „kisah para dewa‟. Hal ini bisa didefinisikan sebagai narasi yang didalamnya karakter-karakter para dewa, makhluk mistis, dengan plot (alur cerita) asal-usul segala sesuatu atau tentang peristiwa metafisis yang berlangsung di dalam kehidupan manusia, dan setting-nya adalah penggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata”. Wicara yang dimaksudkan ialah suatu pesan, tidak menutup kemungkinan pada berbagai bentuk pesan, baik lisan maupuk teks-teks yang tertulis, fotografi, film, laporan, olahraga, pertunjukan, publisitas. Karena semua
bentuk
materi
mitos
mensaratkan
adanya
kesadaran
yang
menandakannya, maka logika kita berhak melakukan penalaran terhadap kesadaran penandaanya. Penekanan wicara gambar ialah bentuknya yang merupakan sekaligus makna yang memerlukan kata-kata untuk deskripsi tentang makna yang terkandung didalamnya. Makna yang dijadikan sebagai penunjukan atas dua dunia, dunia metafisis sebagai sebuah pembahasan materi
analisis
dan
dunia
nyata
sebagai
referen-referen
atas
kontekstualisasinya terhadap dunia metafisis, dan sifatnya saling melengkapi untuk menunjukan mitos.
32
Mitos sebagai sistem semiologis seperti yang dinyatakan oleh Engels (Barthes, 2007: 300) bahwa “kesatuan sebuah eksplanasi tidak bisa didasarkan pada amputasi salah satu pendekatan, didasarkan pada koordinasi dialektis terhadap ilmu-ilmu yang digunakan”. Sebagai bagian dari semiologi maka “mitologi merupakan bagian dari ideologi karena ia merupakan ilmu formal, merupakan bagian dari ideologi karena ia merupakan ilmu sejarah, ia mempelajari gagasan dalam bentuk-bentuk” (Barthes, 2007: 300). Selanjutnya “dalam mitos pola tiga dimensi; penanda, petanda dan tanda, karena ia dibentuk dari sistem semiologis yang telah eksis sebelumnya, mitos merupakan sistem semiologis tatanan kedua (second order semiological system)” (2007: 303). Tanda dalam sistem semiologis tatanan pertama hanya menjadi sekedar penanda pada tatanan kedua dan merupakan totalitas dari segala asosiasi antara konsep tanda dan citra tanda yang berfungsi sebagai penanda bagi materi-materi yang berkaitan dengan mitos. Mitos berusaha untuk menelanjangi sekumpulan tanda menjadi suatu tanda global, sebagai hasil tatanan pertama sistem semiologis. Kemudian pada tatanan kedua sistem semiologi berusaha untuk mengeser tatanan pertama secara esensial terhadap analisis terhadap mitos. Pada tatanan ini semua bentuk tanda akan terjalin menjadi sebuah kontinuitas yang pada akhirnya bermuara pada asosiasi mitos itu sendiri. Karena didasarkan pada upaya berbagai asosiasi dan alanogi dialektika untuk menampilkan detail-detail sesuatu yang
33
dimaksudkan secara konkret. Maka mitos berguna untuk menjelaskan asal mula keberadaan mitos yang menyertai objeknya. Dalam semua jenis teks/wicara untuk menunjukan mitos yang terkandung didalamnya ialah bagaimana penanda, petanda dan tanda dijadikan sebagai alat untuk menunjukan tentang representasi terlebih dahulu, dimana representasi berguna untuk menampilkan secara sistematis tentang keberadaan mitos dalam sebuah narasi. Sebagai sebuah upaya menentukan arah dan bentuk-bentuk mitos representasi dalam narasi yang termediasikan untuk konsumsi khalayak melalui media massa. Sebagaimana dinyatakan oleh Barthes dalam Stephen Heath (2010: 171) pandangan mitos kontemporer menunjuk pada beberapa pendapat ilmuan, antara lain: 1. Mitos, yang hampir sama dengan istilah „representasi kolektif‟ yang diajukan oleh sosiolog Durkheimian, muncul dalam bentuk ujaranujaran anonym dalam surat kabar (media massa), dunia periklanan dan apa saja yang dikonsumsi massa (termasuk film), mitos adalah sesuatu yang dideterminasi oleh wacana sosial, ia merupakan „refleksi‟. 2. Dalam Gambaran Marx, mitos terjadi ketika kultur dijungkir balik menjadi natural, atau ketika kualitas sosial, kultural, ideologis, dan historis terbalik menjadi natural.
34
3. Mitos kontemporer bersifat diskontinu. Mitos ini tidak lagi hadir dalam bentuk narasi-narasi panjang dengan format baku, tetapi hanya dalam bentuk wacana. 4. Karena merupakan bentuk ujaran (yang berarti dari kata muthos), maka mitos kontemporer masuk dalam cakupan semiologi. Dimana melahirkan sistem semantiknya, adalah sebagai berikut: a. Sistem konotatif yang pertandanya bersifat ideologis, dank arena itu sinisan atau ejekannya lebih bersifat langsung „tidak terbalik‟, lebih jelas dan terbuka terhadap bahasa moral. b. Sistem denotatif ;ke-literal-an‟ atau kandungan literal imaji, objek, kalimat
tampak
jelas,
berfungsi
menaturalisasikan
atau
melumrahkan proposisi kelas dengan memberikan jaminan bahwa hal yang natural, hal yang paling „inosen‟. Dari penjelasan tersebut, maka ujaran yang mencakup konotatif dan denotatifnya
merupakan
ujaran
yang
tidak
wajar
yang
dalam
perkembangannya kemudian dinaturalisasikan, diwajarkan dengan dukungan ideologi kelas tertentu untuk bisa dditerima dalam kelas masyarakat sebagai bentuk refleksi atas kehidupannya. 2.1.2.3. Feminisme (Sosialis) Sebuah paham dan gerakan, feminisme banyak membuktikan inspirasi pemikiran dan tafsiran terhadap posisi perempuan dalam bingkai sosial, agama, pembangunan negara dan lain-lain. Banyak pandangan konstruksi
35
kritis feminisme yang dikaitkan dengan perspektif agama, kaum agamawan banyak dituntut perannya guna menuntaskan permasalahan perempuan dan kedudukannya di masyarakat. Kultur partiarki lebih dominan menopang tradisi peran dalam lingkungan, pengambilan keputusan, hak ekonomi dan pelbagai posisi dan kondisinya. Feminisme menurut Fakih (2008: 144) “digolongkan menjadi golongan liberalis, radikalis, marxis dan sosialis”. Golongan liberalis berasumsi bahwa “kebebasan dan keadilan berakar pada rasionalitas dan perempuan adalah makhluk yang rasional, golongan ini menganggap perempuan irrasional disebabkan oleh keterbelakangan dan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki yakni dengan kebodohan daan sikap perempuan yang memegang teguh nilai-nilai tradisional. Feminisme radikalis justeru melihat sikap dominasi kaum laki-laki yang memaksa perempuan sebagai kaum teroprasikan. Bagi golongan ini, akar penindasan kaum perempuan ialah dominasi kaum laki-laki, sikap patriarki menjadi hegemoni dan sekaligus ideologi yang menganggap power laki-laki sebagai kaum superior, laki-laki mencoba mereduksi hubungan gender pada berbagai jenis perbedaan kodrati (berhubungan dengan pemahaman agama) dan biologis. Paham Marxian beranggapan bahwa strukturalis, pembagian kerja dan penempatan kaum perempuan sebagai pendidik anak dan hal ini menjadi urusan publik. Pembagian kerja kaum perempuan dan laki-laki sebagai sebuah lingkup pembagian kerja secara internasional dan bila kaum
36
perempuan terlibat dalam produktivitas kerja, perempuan diharuskan tidak menangani urusan rumah tangga. Pendapat kaum sosialis mencoba menggabungkan marxisme dan radikalis. Menurut Eisenstein dalam Fakih (2008: 146) yang menyatakan bahwa “persamaan dialektika struktur kelas dengan struktur hirarki seksual, yang selanjutnya dinamakan dengan teori patriarki kapitalis, teori ini merupakan
sintesis
Marxisme
perempuan
sebagai
suatu
dan
kelas,
radikalis.
Teori
dikarenakan
sosialis
penindasan
melihat, terhadap
perempuan terjadi dimanapun”. Selanjutnya Eisenstien menyatakan bahwa “ketidakadilan semata-mata akibat perbedaan dari biologis, tetapi lebih disebabkan oleh penilaian dan anggapan “social construction” terhadap perbedaan tersebut”. Melalui penjelasan diatas maka, peneliti memberikan ruang yang luas dalam memaknai proses tanda dan makna yang terdapat dalam film “Jamila dan Sang Presiden” dengan pendekatan teori feminisme sosialis, menginggat teori ini mencoba mengkritisi berbagai persoalan yang menyangkut perempuan dalam bingkai yang lebih luas, yakni mereduksi hubungan gender pada berbagai jenis perbedaan kodrati (berhubungan dengan pemahaman agama), biologis dan strukturalis, pembagian kerja dan penempatan kaum perempuan sebagai pendidik anak serta rumah tangga. Evans menurutnya,
(1997)
menyoroti
awalnya
adalah
repesentasi “keinginan
37
gender untuk
dan
perempuan,
menunjukan
bahwa
perempuan juga punya peran dalam budaya, khususnya seni dan sastra, sebagai reaksi atas penghilangan perempuan dari jajaran penulis atau komunikatornya. “Tesis bahwa politik gender memainkan peran sentral dalam proyek representasi” (Barker, 2007: 327). Hal ini berkaitan dengan perhatian pada bermacam representasi tentang perempuan yang telah dikonstruksi. Studi feminis pada awalnya memegang asumsi realis bahwa representasi merupakan ekspresi langsung dari realitas sosial dan atau merupakan distorsi, secara potensial dan aktual, dari realitas hidup yang sebenarnya. Ekspresi ini menempatkan realitas perempuan sebagai wacana yang sangat potensial untuk direpresentasikan dalam tatanan kehidupan. Dengan demikian representasi terhadap perempuan dalam realitas nyata dinyatakan sebagai cerminan sikap atas ideologi yang berkuasa atasnya, yakni ideologi laki-laki. Ideologi ini membentuk kesalahan representasi atas perempuan yang sejatinya. Dari persoalan tersebut kemudian memunculkan perspektif dan politik citra perempuan. Kaum pascastrukturalisme memandang semua bentuk representasi sebagai konstruksi kultrural dan bukan sebagai refleksi dunia realitas. Politik citra perempuan merupakan konsep stereotip untuk bisa menempatkan posisi terpenting dalam ideologi. Konsep ini sengaja menunjukan sekelompok stereotip mereduksi seseorang atau kelompok stereotip lain menjadi sekumpulan ciri atau sifat yang dibesar-besarkan dan lebih sering bersifat negatif. Melalui ideologi, suatu stereotip menjadi petanda
38
antara batas yang normal dengan golongan yang rendah, antara kita dan mereka. Perempuan di media ditunjukan dengan adanya penggambaran yang konsisten dan unity tentang perempuan yang dikomodifikasikan dan distereotipkan ke dalam politik hegemoni citra biner, baik dan buruk. Krishnan dan Dighe menyatakan bahwa “dalam film fiksi, laki-laki menjadi karakter utama jauh lebih sering dibandingkan perempuan”. (Barker, 2007: 329). Perempuan distereotipkan menjadi yang diidamkan dan menyimpang. Perempuan ideal adalah penyayang dan keibuan, mendukung ambisi laki-laki tapi tidak punya ambisi untuk dirinya sendiri, berkorban, empatik dan terpaku pada rumah. Perempuan sebagai anak atau isteri yang pasif, menerima kontrol dari laki-laki dan mengabdi pada laki-laki. Sementara perempuan menyimpang adalah perempuan yang mendominasi laki-laki dan tidaak berada di rumah untuk mengurus keluarga. Karena ambisinya perempuan memutus hubungan dengan keluarga, merusak keterikatan dan hubungannya dengan laki-laki dan tidak cukup pengertian atau menerima. Pada prinsipnya posisi subjek perempuan adalah perspektif, atau kumpulan makna diskursif atau wacana yang teregulasi dan meregulasi, yang digunakan untuk bisa memahami teks atau wacana. Dengan kata lain, posisi subjek menunjuk pada subjek yang harus kita identifikasi atau menempati supaya wacana perempuan menjadi bermakna. Bordo (1993) dalam Tong (2008: 16) menyatakan bahwa “tubuh perempuan yang tergenderkan karena
39
perempuan bertubuh langsing. Kelangsingan perempuan adalah kondisi ideal daya tarik perempuan kontemporer karena itu, perempuan lebih rentan terkena gangguan makan demi wacana kelangsingan sebagai bentuk representasi tubuh ideal”. Pada abad ke-18 di mana mula-mula proses industrialisasi bergerak cepat dan meninggalkan dampak yang paling besar pada perempuan borjuis terutama yang sudah menikah. Perempuan dalam kelompok ini ialah para perempuan yang merasakan tinggal di rumah dan tidak mempunyai pekerjaan poduktif dikarenakan mereka menikahi para kaum laki-laki professional dan pengusaha yang berkecukupan. Wollstonecraft menyebut “perempuan golongan ini sebagai perempuan-perempuan “beruntung” yang diharapkan dapat terinspirasi untuk mencapai cara bereksistensi yang lebih manusiawi”. (Tong, 2008: 18). Stanton menyatakan “secara tegas doktrin, kode, kitab suci dan hukum (Kristen) semuanya berdasarkan gagasan ideal patrialkal, bahwa perempuan diciptakan dengan mencontoh laki-laki (laki-laki yang utama diciptakan), dari laki-laki (tulang rusuk) dan untuk laki-laki, makhluk yang inferior, yang tunduk pada laki-laki”. (Tong, 2008: 68). Kemudian bagaimana sistem seks atau gender mengopresi perempuan, tetapi karena kebanyakan perempuan pada masanya termasuk mereka yang aktif dalam gerakan perempuan tidak mampu untuk melihat realitas yang sebenarnya. Perempuan radikal yang menggabungkan diri dengan program liberal hanya untuk alasan pragmatis.
40
Adalah sebuah kebenaran jika banyak kaum feminis dalam pembebasan perempuan tidak rela berada dalam jalur filosofis feminisme akan tetapi untuk tujuan praktis, politik praktis. Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg (Brooks, 2006: 10) klaim sistem seks atau gender dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Bahwa perempuan adalah, secara historis, kelompok teropresi yang pertama. 2. Opresi terhadap perempuan adalah paling menyebar dan ada di dalam setiap masyarakat yang diketahui. 3. Opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti sulit dihapuskan atau dihilangkan dalam perubahan social. 4. Opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling buruk
korbannya,
baik
secara
kualitatif
maupun
kuantitatif.
Penderitaan tersebut muncul akibat prasangka seksis, baik dari opresor maupun pihak yang diopresikan. 5. Opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual untuk memahami bentuk opresi yang lain, (yang berkaitan dengan lingkup perempuan). Kate Millet berpendapat bahwa “seks adalah politis” (Rosmerie, 2008: 73).
Sejauh
pandangan
mengenai
seks
ditujukan
pada
paradigma
kekuasaan. Kasta sosial mendahului bentuk inegaliterianisme diantaranya ras, politik, ekonomi dan jika penerimaan terhadap laki-laki sebagai hak sejak
41
lahir. Karena kendali laki-laki di dunia publik dan private terutama status, peran dan temperamen seksual. Ideologi laki-laki yang menekkankan peran maskulin yang dominan sedangkan perempuan mempunyai peran subordinat (menerima). Hal ini dikonstruksi dari institusi akademi, agama dan peran keluarga. Seksualitas bagi ideologi laki-laki ialah lokus kekuasaan laki-laki yang merupakan tempat gender dan hubungan gender dikonstruksikan. Ideologi laki-laki yang kemudian menciptakan pandangan terhadap perempuan tertuang dalam aktivitas seksual, mendorong laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai warga negara kelas dua, bukan saja di dalam dunia pribadi di dalam kamar tidur, melainkan juga di dalam dunia publik di tempat kerja dan lingkungan, bersosial dan bernegara. Prinsip operasi dan teoritis yang menjadi ciri khas feminisme ialah hasil persimpangan feminisme dengan wacana metanarasi-modernitas, contohnya Marxisme, ataupun wacana posmodernis dan postrukturalis tentang posmodernitas. Metanarasi adalah “sebuah cerita raksasa yang membantu
kita untuk menyusun orientasi kita di dalam dunia yang
memberikan kepada kita arah dan menjelaskah tentang narasi (gambaran masa depan) tentang kita”. (Eaglestone, 2003: 61). Metanarasi juga menekankan kepada “whig” atau kemajuan (modernitas) pada gagasan bahwa ras manusia menjadi semakin baik dengan melewati momen dan pada akhirnya ras manusia akan menjadi sempurna.
42
Sentimen pertama kali muncul ketika pers pada sekitar tahun 1920-an mengadakan serangan kata-kata melalui media terhadap peran gender. Dengan cepat organisasi-organisasi feminis mulai terjungkal, dan kelompok perempuan yang tersisa dengan serta merta mencela amandemen persamaan hak atau dengan sederhananya mengubah diri menjadi klub-klub sosial. Bagi Faludi dalam Ann Brooks (2006: 4) “agenda gerakan kaum feminis jelaslah disetting oleh media dan dirancang untuk meruntuhkan tujuan dan pencapaian kaum feminis. Media pada masa itu merancang dan mendeklarasikan bahwa feminisme adalah cita rasa
dan posfeminisme
adalah cerita baru”. Peran media sangat berpengaruh terhadap membingkai pemahaman umum yang negatif dan popular mengenai segala aspek perempuan. Sebenarnya dominasi perempuan dalam media massa audio visual bukan sekedar persoalan yang kompleks di atas, kemudian mempengaruhi laki-laki menyukai tontonan yang informasinya di dominasi dengan informasi perempuan. Akan tetapi karena lazimnya penonton tayangan audio visual adalah lebih banyak perempuan dan yang harus disuguhkan (isi) content mengenai masalah perempuan. Media massa berikutnya yang berkaitan dengan feminisme ialah film. Mayne (Brooks, 2008: 125-126) menyatakan bahwa “perkembangan simultan dari sinema dan psikoanalisis, secara obsesif lewat sinema yang diteorikan oleh psikoanalisis bagi sinema sebagai suatu manifestasi penjelasan Frued
43
mengenai aparat psikis. Bagi feminis, kegunaan potensial dari psikoanalisis ialah merefleksikan penanaman yang bergairah dalam mengambil dan menegaskan
perempuan
sebagai
subjek
di
dunia
representasi,
kepenontonan, kesarjanaan dan produksi”. Salah satu kesulitan yang dihadapi feminis adalah kecenderungan psikoanalisis untuk mengambil wacana film kedalam suatu orbit phalosentris dan menganggapnya berasal dari identitas sebagai permasalahan yang universal dan keterpaksaan yang kemudian menjadi suatu pandangan esensialis tentang kajian gender. Di dalam kajian film feminis bukanlah seperti keterikatan antara dimensi-dimensi kesejarahan dan ideologis, namun fakta kontemporer yakni hubungan imajiner dan simbolik yang menjadikan perbedaan seksual merupakan daya tarik penentu yang sentral. Hubungan yang telah diciptakan film feminis antara sinema klasik dan evaluasi terhadap suatu sinema perempuan alternatif merupakan corak dan nuansa feminis dalam film, yakni merepresentasikan dualisme yang ada antara sinema klasik dan sinema perempuan alternatif. Konsep dan teori film yang utama termasuk semiologi, teori psikoanalisis, realisme dan tatapan laki-laki (male gaze). Tujuan tersebut untuk mengembangkan kritik film feminis, khususnya masalah penyimpangan feminisme dan strukturalisme, psikoanalisis dan juga semiologi. Kaplan menyatakan dalam Ann Brooks (2008: 127) “konsep psikoanalisis berguna untuk mencari konstruksi perempuan dalam sinema
44
Hollywood klasik”. Dimana psikoanalisis dan semiologi memungkinkan perempuan untuk membuka kunci budaya patriarkal seperti ekspresi dalam representasi dominan yang dilakukan oleh laki-laki melalui kuasa sosial, politik, ekonomi dan seksual terhadap perempuan. Film merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagian besar pada tingkat mitos. Tanda beroperasi melalui dua tingkat, yakni denotatif dan konotatif. Denotatif merefleksikan suatu penanda dan makna yang spesifik dan konotatif ialah sebuah refleksi atas proses memberikan makna dalam konteks kebudayaan atau ideologis tertentu. Dalam bahasanya Piliang (2005: 54) kedua tanda tersebut disebut sebagai “proper sign dan pseudo sign”. Proper sign ialah tanda yang sebenarnya, tanda yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan konsep atau realitas yang direpresentasikannya. Sedangkan pseudo sign disebut sebagai tanda palsu, suatu tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan berpretensi, gadungan yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas. Dalam media perempuan hanyalah satu dari sekian objek penindasan struktural. Ibrahim (2007: 28) menyatakan bahwa “makna-makna dominan yang diijenksikan oleh media haruslah dilawan dengan pembacaan sebagai momen perlawanan “tekstual” apabila masih terjadi hegemoni makna yang dianggap akan memarginalkan posisi perempuan”. artinya, dalam konteks ini terjadi pertautan dan perebutan makna dan wacana dalam ruang publik yang mengharuskan adanya keseimbangan wacana untuk menunjukan eksistensi
45
perempuan, apabila terjadi hegemoni patriarki. Upaya pemberdayaan perempuan dalam konteks media massa terutama media film sebagai medium ruang publik kapitalisme, ialah bagaimana perempuan menjadikan media film sebagai pola komunikasi nilai-nilai feminitas yang bisa dihidupkan dan mendapatkan posisi yang layak di ruang publik (media). 2.1.2.4. Wacana Ideologi dan Hegemoni Laki-Laki dalam Media Istilah ideologi merujuk pada ide-ide tentang hakikat dan operasi hubungan kekuasaan dalam budaya dan masyarakat. Lebih jauh lagi istilah ideologi merujuk pada berbagai kepercayaan dan nilai dominan yang diterima begitu saja (taken for granted) (Burton, 2007: 17). Penjelasannya ialah tentang cara-cara berbagai aspek media yang secara nyata memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan berbagai kepercayaan dan nilai tersebut tanpa dipertanyakan. Sebagai contoh, banyak materi media menyiratkan pentingnya suatu peristiwa yang disuguhkan kepada penonton, dan materi itu sekaligus mitos yang diberikan kepada penonton. Lebih jauh lagi Burton (2007: 72) menyatakan “istilah ideologi mendeskripsikan
suatu
perangkat
koheren
ide
dan
nilai
yang
mengungkapkan pandangan tentang dunia sosial, ekonomi, dan politik, yang mempertanyakan bagaimana keadaan dunia sekarang dan bagaimana dunia itu seharusnya. Istilah ini juga merepresentasikan ide tentang hubungan kekuasaan dalam masyarakat, siapa yang memiliki kekuasaan, macam apa kekuasaan itu, siapa seharusnya yang memiliki kekuasaan tersebut”.
46
Sebagai konsep ideologi telah digarap ulang dan diinterpretasikan oleh orang-orang yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Hal yang lazim untuk membicarakan ideologi dominan, atau pandangan yang dominan tentang nilai-nilai kunci dalam struktur sosial, nilai-nilai yang menguntungkan orangorang yang menjalankan sistem masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Marx bahwa “ide-ide tentang kelas yang berkuasa dalam setiap masa merupakan ide-ide yang berkuasa….” (Eriyanto, 2006: 17). Ideologi hadir dalam setiap pembicaraan kita, semua komunikasi kita, semua media. Makna-makna yang mungkin kita dapatkan dari analisis tentang teks-teks media cenderung ideologis. Argumen yang dibangun dari konsep ideologi yang sekaligus mitos dalam proses komunikasi di atas ialah bahwa kita menyadari atau tidak, kita menerima berbagai ketidaksetaraan sosial karena ideologi beroperasi sebagai sarana kontrol sosial. Ideologi dapat diungkapkan melalui melalui bentuk hiburan sperti film, secara individu atau perorangan atau secara instansi media itu sendiri. Hal ini memberikan ruang atas suara yang tidak didengarkan atau tidak terdengar guna menopangnya dalam suatu sistem kelas. Sementara hegemoni adalah “tentang cara menerapkan kekuasaan ideologi yang tidak terlihat. Hegemoni adalah tentang proses-proses yang melaluinya seperangkat ide milik satu kelompok sosial menjadi dominan dalam suatu masyarakat”. (Burton, 2007: 73). Hegemoni merupakan suatu
47
usaha tentang proses di mana terdapat perjuangan atau bentuk aksi untuk mencapai dominasi atau superioritas di antara kelompok-kelompok lainnya. Istilah
hegemoni
diperkenalkan
oleh
Gramci
untuk
mendeskripsikan
persoalan perjuangan kelas dan berkaitan dengan sistem budaya. Hegemoni adalah tentang perjuangan untuk mendapatkan dominasi di antara wacanawacana ini, untuk mendapatkan asumsi tentang kekuasaan. Hegemoni menurut Gramci (1986) dalam Barker (2007: 82-83) ialah proses penciptaan, perawatan, dan reproduksi perangkat makna dan praktik yang otoritatif. Hegemoni diperoleh lewat perebutan, bukan pemberian, hegemoni juga terus menerus diperjuangkan dan dinegoisasikan berulangulang. Hegemoni di media bukan dianggap sebagai hasil dari intervensi langsung pemilik, ideologi sebagai hasil dari sikap-sikap dan praktik kerja serta budaya. Maksudnya, ideologi adalah peta-peta makna yang meski seolah-olah tampak seperti kebenaran universal, ia merupakan pemahamanpemahaman yang secara hitoris bersifat spesipik, yang menyelubungi dan melanggengkan kekuasaan. Lebih jelasnya gagasan yang berkuasa adalah gagasan milik kelas penguasa. “Perhatian kalangan Marxis pada konsep ideologi berakar pada kegagalan terwujudnya revolusi proletariat dan ketidakmampuan materialism historis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai subjektivitas, makna dan politik kebudayaan”. (Barker, 2007: 72-73). Secara sederhana, perhatian terhadap ideologi bermula dari ekploitasi untuk menjawab teka-teki
48
mengapa kapitalisme, yang merupakan sistem relasi sosial dan ekonomi yang ekploitatif. Kapitalisme mengeksplotasi pada level produksi, yang terjadi melalui pengambilan nilai lebih dari kaum proletariat. Bagi Althuser (1971) dalam Barker (2007: 75-76), “ideologi adalah salah satu dari tiga momen atau level primer suatu formasi sosial. Sebagai sebuah level primer, ideologi relatif otonom terhadap level-level lain, misalnya ekonomi, meskipun ia, pada momen terakhir, tetap dideterminasi oleh ekonomi”. Di sini ideologi yang merupakan “suatu sistem representasi meliputi; citra, mitos, ide, gagasan-gagasan, atau konsep-konsep. Berikut ini empat aspek karya Althuser berkitan dengan ideologi antara lain: Fungsi umum ideologi adalah mengkonstitusi subjek, Ideologi sebagai sesuatu yang dialami tidaklah palsu, Ideologi sebagai pemahaman yang salah tentang kondisi-kondisi eksistensi yang sebenarnya adalah palsu, Ideologi berperan dalam
reproduksi
formasi-formasi
sosial
dan
reasi-relasinya
dengan
kekuasaan”. Konsep ideologi banyak dikemukakan oleh beberapa ahli dengan berbagai sudut pandang dan titik tekan yang berbeda. Hal ini karena pemakaian ideologi lebih bersifat simptomatis dari pada harfiah (definif) sehingga banyak rumusan tentang ideologi. ”Faham Marxis dalam dinamika pemikirannya terdapat perbedaan dalam merumuskan ideologi. Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Rumusan ini menilai ideologi sebagai suatu kehampaan, khayalan, ilusi yang mengabaikan bentuk
49
dasar materinya. Kedua, ideologi sebagai refleksi dari infrastruktur aktual, dan Ketiga, ideologi sebagai organik dan bagian dari seluruh masyarakat. Ideologi lebih dari sekedar ide-ide, tapi memiliki eksistensi materi dalam institusi-institusi sosial, seperti gereja, sekolah, keluarga dan partai politik Ideologi menetapkan sikap dan kebiasaan menjadi organik mengatasi manusia dan memproduksi hubungan-hubungan sosial”. (Yatim, 1996: 4). “Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesadaran
seseorang,
siapa
mereka
dan
bagaimana
mereka
menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu”. (Eriyanto, 2003: 92). Konsep ideologi sebagai sebuah kesadaran palsu, sangatlah penting dalam teori Marx, karena tampaknya hal ini menjelaskan mengapa mayoritas dalam masyarakat kapitalis menerima sebuah sistem sosial yang menguntungkan mereka. Berkaitan dengan ideologi dan media massa, pada dasarnya media adalah bagian dari kebudayaan. Artinya, teori Karl Marx mengatakan ideologi merupakan bagian dari lapisan atas (superstruktur) dari masyarakat, yang ditentukan perkembangannya oleh lapisan bawah (infrastruktur) yang terdiri dari alat produksi dan hubungan produksi dalam masyarakat. Infrastruktur
sebagai
penentu
superstruktur
tidak
lepas
dari
perkembangan industrialisasi media massa yang demikian hebatnya
50
sekarang. Dalam paradigma Marxis, media dipandang sebagai salah satu alat produksi dari kaum kapitalis atau golongan berkuasa. Mereka (kaum kapitalis) akan berusaha mengeksploitasi pekerja budaya atau konsumen dengan tujuan memperoleh keuntungan. Althusser (Barker, 2007: 75) mengatakan, “ideologi sebagai sekumpulan praktik yang terus berlangsung dan meresap yang dilakukan semua kelas, dan bukannya sekumpulan gagasan yang dipaksa oleh satu kelas pada kelas yang lain”. Pandangan Althusser, ideologi ada dalam struktur masyarakat itu sendiri
muncul dari praktik aktual yang dilakukan oleh institusi dalam
masyarakat. Kesimpulan logis dari teorinya adalah bahwa tidak ada cara untuk lari dari ideologi. Pengalaman selalu bermuatan ideologi (ideologically loaded), maka satu-satunya pemahaman yang bisa kita lakukan adalah memahami diri sendiri, relasi sosial dan pengalaman sosial kita yang di dalamnya dipraktekkan ideologi dominan (Fiske, 2004: 245). Penjelasanya ialah apa yang kemudian tampak terjadi di luar ideologi, kenyataannya terjadi di dalam ideologi. Jadi, apa yang benar-benar terjadi dalam ideologi, nampak terjadi di luar ideologi. Sebab itu, mereka yang berada dalam ideologi percaya bahwa diri mereka, menurut definisi, berada di luar ideologi. Salah satu efek ideologi adalah delegasi karakter ideologis atas ideologi melalui ideologi: ideologi tak pernah berujar „Saya ideologis‟. Dalam posisi ini, sama dikatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang berada di luar ideologi (bagi diri
51
sendiri), atau pada saat yang sama, tidak ada sesuatu pun yang tidak berada di luar ideologi (bagi ilmu dan realitas). Selain itu Althusser juga mengemukakan konsep lain tentang ideologi yaitu soal subjek. Seperti yang dinyatakan oleh Cahyadi (2000: 55-56) “ideologi
dalam pengertian Althusser selalu membutuhkan subjek, subjek
membutuhkan ideologi. Ideologi merupakan hasil rumusan dari subjek-subjek tertentu. Keberlakuan nilai ideologi menuntut adanya subjek-subjek pelaku. Selain membutuhkan subjek, ideologi juga menciptakan subjek. Usaha ini dinamakan interpelasi”. Konsep ideologi menurut Althusser dalam Eriyanto (2001: 98) “dilihat sebagai dialektika yang dicirikan dengan kekuasaan yang dominan. Ideologi dalam perspektif ini dilihat secara lebih jauh yaitu sebagai praksis sosial. Argumentasi ideologi dilihat sebagai praksis di dasarkan pada asumsi bahwa negara mempunyai dua hakiki yang tidak terpisahkan, yaitu represif (Represif State Aparatus/RSA)
dan ideologis (ideological State
Aparatus/ISA). Dua hakikat ini berkaitan erat dengan keberadaan negara sebagai alat perjuangan kelas”. Dari uraian konsep ideologi yang dikemukakan di atas penulis cenderung memilih konsep Althusser terkait masalah penelitian tentang produksi mitos. Dalam kerangka berpikir Althusser (Gurevitch, et.al, 1986: 24) ideologi beroperasi lewat media. Media adalah sebagai aparat ideologi yang berbeda dengan aparat represif. Media dimata Althusser bukan agen kesadaran palsu. Efektivitas media tidak bergantung pada kesadaran palsu
52
atau perubahan sikap tapi lebih hanya menggambarkan ada kepalsuakepalsuan apa di sana. Menurut Littlejohn (2002: 217), “teks pada titik tertentu sudah bersifat ideologis”. Eriyanto (2001: 98) mengatakan, bahwa “hubungan ideologi dan media massa mampu melakukan proses interpelasi
ideologi. Proses
interpelasi dalam dunia komunikasi menyatakan bahwa seluruh tindakan komunikasi adalah tindakan penyapaan. Praksis penyapaan mengandung usaha menempatkan individu dalam posisi dan relasi sosial tertentu. Hal ini juga termuat dan terintegrasi dalam seluruh proses ideologisasi”. Dalam teori isi media, ada berbagai faktor. Seperti perilaku dan orientasi
para
pekerja
media
tersebut,
profesionalisme,
kebijakan
perusahaan, pola kepemilikan saham, situasi dan lingkungan ekonomi, para pengiklan,
serta
pengaruh
ideologi.
Maksudnya,
isi
media
adalah
keseluruhan informasi verbal, baik secara kuantitatif (jumlah) maupun kualitatif (mutu), selanjutnya didistribusikan atau diedarkan oleh media massa. Isi media penting karena merupakan dasar dari efek media. Mempelajari isi media membantu kita untuk menyimpulkan berbagai fenomena yang kurang terlihat, yaitu orang-orang dan organisasi yang memproduksi isi media tersebut. Mengkaji isi media film ialah sebagai upaya membantu kita untuk memperkirakan efek yang dapat dimunculkan terhadap audiens. Anggapan bahwa media mempresentasikan seluruh realitas yang
53
berada di luar pengalaman pribadi orang, maka mempelajari isi media dapat membantu kita melihat realitas seperti apa yang dikomsumsi audiens. Dalam melihat dan mengkaji isi media, banyak penelitian telah dilakukan dengan menggunakan berbagai perspektif teoritis. Gans (1979) dan Gitlin (1980) mengelompokan
pendekatan ini ke dalam beberapa
kategori, yaitu: 1. Isi media merefleksikan realitas sosial dengan sedikit atau tanpa distorsi. Pendekatan “mirror” ini beranggapan bahwa apa yang disiarkan media merupakan refleksi akurat tentang kenyataan sosial kepada audiens. Pendekatan “null effects”, juga beranggapan bahwa isi media menggambarkan kenyataan, namun kenyataan di sini merupakan hasil kompromi antara yang menjual informasi ke media dan yang membeli. Realitas kompromi ini kemudian menjadi bagian refleksi atas realitas di luar dan menjadi bagian dari realitas media itu sendiri. 2. Isi media dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap para pekerja media. Pendekatan “communicator centered” ia mengatakan bahwa faktor psikologis pekerja media (seperti profesionalisme, sikap politik, dan lainnya) membuat mereka memproduksi realitas sosial dimana terdapat norma ikatan sosial, ide, atau perilaku yang “berbeda” diasingkan. Sosialisasi ini berhubungan erat dengan latarbelakang yang dimiliki oleh pelaku media. Dalam hal ini pelaku yang
54
dimaksudkan ialah para pembuat tema yang mempunyai kewenangan penuh atas suatu karya film. 3. Isi media dipengaruhi oleh rutinitas isi media. Pendekatan ini menyatakan bahwa isi media dipengaruhi oleh bagaimana para pekerja media dan perusahaan mengorganisasikan diri mereka. Misalnya, ketika mitos dijadikan sebagai isi dari media. 4. Isi media dipengaruhi oleh institusi sosial dan tekanan lainnya. Menurut pendekatan ini, faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, tekanan budaya dan audiens ikut menentukan isi. Dalam hal ini tema mitos banyak memberikan arahan tentang isi atau content (isi) cerita. 5. Isi merupakan fungsi dari posisi ideologi dan fungsi mempertahankan status quo. Pendekatan teori hegemoni mengatakan bahwa isi media dipengaruhi oleh ideologi para pemilik kekuasaan di masyarakat. Media massa membawa ideologi yang konsisten dengan kepentingan para penguasa ekonomi. Para pemilik kekuasaan dalam masyarakat produksi film ialah sutaradara yang mempunyai tanggungjawab moral, material dan lain-lain berkaitan dengan karya film yang dihasilkannya. Latarbelakang pendidikan, organisasi, institusi yang menaunginya membawa ideologi dalam setiap karyanya. Dalam hubungan media dengan ekonominya, Althschull (1984) mengatakan bahwa isi media secara langsung memiliki korelasi dengan berbagai kepentingan pihak-pihak yang membiayai media. Dalam buku
55
Mediating the message, ideologi adalah mekanisme simbolik yang berfungsi sebagai kekuatan kohesif dan itegratif dalam masyarakat (Eriyanto, 2001: 88) mendefinisikan
ideologi
sebagai
sebuah
sistem
makna,
nilai
dan
kepercayaan yang secara relatif formal dan terartikulasi, yang dapat dianggap sebagai sebuah pandangan atau outlook terhadap dunia. Ideologi bukanlah sebuah sistem kepercayaan pribadi melainkan mewakili fenomena di level sosial. Ideologi dalam praktek bahasa/teks terletak di beberapa lokasi yang potensial seperti dalam kode, struktur, sistem atau informasi bahasa. Ideologi juga bisa terdapat dalam peristiwa diskursif itu sendiri. Ideologi bukanlah sesuatu yang diarahkan seorang pembaca berita, seorang penerbit atau sekelompok direktur. Ideologi merupakan hasil alami dari sebuah kerja sistem. Bicara tentang ideologi yang terkait dengan konsep kekuasaan di masyarakat. Jhon Thompson (1990) dalam Eriyanto (2001: 91) mengatakan bahwa “konsep ideologi dapat merujuk pada cara dimana makna berfungsi untuk membentuk dan mempertahankan hubungan kekuasaan yang secara sistematis bersifat asimetris. Ideologi adalah makna di balik penggunaan kekuasaan. Kajian mengenai ideologi membutuhkan penyelidikan bagaimana makna distrukturisasi dan disampaikan melalui berbagai simbol”. Altschull (1984) berpendapat bahwa media merefleksikan ideologi pihak yang membiayai mereka. Ia menyatakan sebagai berikut:
56
a.
Di dalam pola yang formal, media diatur oleh Negara (seperti di Negara-negara komunis).
b.
Di dalam pola komersial, media merefleksikan ideologi para pengiklan dan pemilik media.
c.
Di dalam pola kepentingan (interest), isi media merefleksikan ideologi pihak yang membiayai media seperti partai politik atau kelompok keagamaan.
d.
Di dalam pola yang informal, isi media merefleksikan tujuan para kontributor yang ingin mempromosikan pandangan mereka sendiri.
2.1.2.5. Teori Film Proses komunikasi massa pada intinya ialah proses penyampaian pesan dari komuikator kepada komunikan. Teori komunikasi massa merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas, yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusional. Pesan merupakan suatu produk dan komoditi yang mempunyai nilai tukar, hubungan pengirim dan penerima lebih banyak satu arah (Denis McQuail, 2008: 33). Film merupakan salah satu dari media massa, film berperan sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat.
57
Karakteristik film sebagai usaha bisnis pertunjukan dalam pasar sebenarnya belum mampu mencakup segenap permasalahannya. Dalam sejarahnya film mempunyai tiga elemen besar diantaranya: 1. Pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Film ialah sebagai upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas. Bauran pengembangan unsur pesan dengan hiburan sebenarnya sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama (teater) namun unsur film jauh lebih sempurna dibandingkan dengan teater dari segi jangkauan penonton tanpa harus kehilangan kredibilitasnya. 2. Munculnya beberapa aliran film diantaranya drama, dokumenter, dokudrama dan lain-lain. 3. Memunculkan aliran dokumentasi sosial. Di samping itu, terdapat unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terselubung dalam suatu film yang berasal dari fenomena yang tampaknya tidak tergantung pada ada atau tidaknya kebebasan masyarakat. Fenomena ini berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat. Adapun media film terdiri dari berbagai unsur di dalamnya, unsurunsur tersebut seperti: 1. Bentuk, konsep ini berlandaskan pada cara media film membentuk produk-produk genre (jenis bedasarkan tema dan ceritanya). Selain itu
58
juga film berpegang pada cara konstruksi berbagai kualitas seperti realism. 2. Narasi, konsep ini menempatkan diri pada aspek bentuk yang berkaitan dengan konstruksi cerita dan drama atau proses dramatisir. Narasi membentuk makna yang ada dalam suatu konflik yang dibangun atas tokoh-tokoh dan penokohan (perwatakan), adanya deprivasi sosial suatu rangkaian atau jalinan alur cerita dengan berbagai konflik yang menuju klimaks tanpa adanya pencopotan atas konflik yang terjadi. 3. Teks, konsep teks berhaluan pada semua produk media yang menenpatkan diri seakan-akan semua produk yang ada dalm frame kamera adalah sebuah buku yang sedang dibaca untuk dicari maknamaknanya. 4. Genre, genre termasuk konsep yang mengacu pada fakta atas sebagian besar produk media film yang terbagi ke dalam berbagai kategori atau tipenya. 5. Representasi, konsep media film untuk menunjukkan presentasi terhadap berbagai kelompok sosial yang dikategorikan dengan cara gender, umur, kelas sosial dan lain-lain. 6. Audience, konsep ini menaruh perhatian pada sejauh persepsi dan pengalaman sosial seseorang terhadap pembacaan materi yang
59
diusung di film tersebut bergantung dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masing-masing. 7. Efek, efek meproporsi tentang bagaimana dan mengapa produk media mempengaruhi para audience baik secara aktif maupun pasif. 8. Institusi, ialah pada organisasi yang menjalankan dan mengontrol media sehingga institusi bisa memelihara kepentingan pemodal. Heru Effendy (2005: 61) menyatakan “kerja sutradara dimulai dari membedah skenario ke dalam director‟s treatment, yaitu konsep kreatif sutradara tentang arahan gaya pengambilan gambar”. Selanjutnya kerja sutradara ialah mengurai setiap adegan dari scene ke dalam bentuk shot dan membuat shot list, yakni uraian detail tentang arah pengambilan gambar dari setiap adegan yang disesuaikan dengan naskah. Shot list tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam story board, rangkaian gambar layaknya sebuah komik. Story board memuat informasi tentang ruang dan blocking pemain yang diproyeksikan dalam bentuk audio-visual, sutradara harus berkoordinasi kepada seluruh crew untuk memmastikan persiapan, meliputi penata kamera, penata suara, penata artistik, dan editor. 2.1.2.6. Semiotika Roland Barthes Dalam semiotik, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat dapat teramati, mengacu pada hal yang dirujuknya, dan dapat diinterpretasikan adalah tanda. Benda, peristiwa atau kebiasaan yang dapat memberikan hubungan segitiga dengan sebuah ground, sebuah denotatum, dan dengan
60
sebuah interpretannya adalah tanda. Sebuah bendera kecil, isyarat mode, memerahnya wajah, suatu preferensi, letak tertentu bintang, sebuah sikap, perangko terbalik, setangkai bunga, rambut uban, diam membisu, gagap, meludah,
intensitas,
kecepatan,
kesabaran,
kegilaan,
kekhawatiran,
kelengahan, dapat dikatakan tanda asal memenuhi ciri-ciri untuk disebut tanda (Zoest, 1996: 18). Fungsi tanda (sign) adalah membangkitkan makna, karena tanda selalu dapat dipersepsi oleh perasaan (sense) dan pikiran (reason). Dengan menggunakan akal sehatnya, seseorang biasanya menghubungkan sebuah tanda pada rujukannya (reference) untuk menemukan makna tanda itu (Noth, 1990: 79-92). Tokoh yang dianggap melahirkan pendekatan ini adalah seorang ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de Saussure, serta seorang Filsuf Amerika, Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh tersebut memiliki istilah dan konsep yang berbeda dalam beberapa hal, namun sama-sama menaruh perhatian pada tanda-tanda. Saussure menggunakan istilah semiologi untuk ilmu tentang tanda-tanda, yang ditulis dalam bukunya Lourse de linguistique generale yang diterbitkan oleh para muridnya setelah ia meninggal pada tahun 1913. Sementara Pierce menggunakan istilah semiotik untuk ilmu tentang tanda tersebut. Menurut Saussure, semiologi merupakan ilmu yang mempelajari
kehidupan
tanda-tanda
dalam
masyarakat.
Semiologi
memberikan wawasan mengenai bagaimana tanda dibuat dan peraturan-
61
peraturan yang mengatur tanda-tanda tersebut. Dalam menguraikan sistem tanda ini, Saussure menggunakan bahasa sebagai obyek penelitiannya (Piliang, 2008: 158). Saussure
sebagai
seorang
ahli
bahasa
lebih
tertarik
untuk
mempelajari bahasa sehingga titik perhatiannya lebih kepada bagaimana cara tanda (dalam kasus ini adalah kata) berhubungan dengan tanda lainnya. Dengan demikian Saussure menitikberatkan perhatiannya pada tanda itu sendiri (Fiske, 2007: 47). Tanda menurut Saussure adalah satu obyek fisik yang sarat dengan berbagai makna. Realitas dari makna itu sendiri tidak menjadi titik perhatian pada model ini. Menurut Pierce tanda yang pertama kali diserap oleh manusia adalah representamen. Representamen adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Dalam proses semiosis, representamen menunjuk pada hal yang diwakilinya yang disebut obyek. Jika obyek suatu representamen sudah diketahui oleh penerima tanda, maka ia memberikan tafsirannya. Proses penafsiran ini disebut interpretant atau sama dengan istilah Pierce untuk makna (meaning) dari sebuah tanda setelah ditafsirkan. Pierce mendefinisikan interpretant sebagai signifince, signification, atau interpretation (Piliang, 2008: 266-267). Sekurang-kurangnya ada sembilan macam semiotik, salah satunya adalah semiotik yang dinyatakan oleh Roland Barthes. Menurut Roland Barthes dalam kajian semiotik dikenal istilah mitos. “Mitos secara etimologi adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Selanjutnya,
62
mitos adalah suatu memahami mitos sebagai suatu objek, konsep atau gagasan; mitos merupakan mode pertandaan (a mode of significantion), suatu bentuk (a form)”. (Barthes, 2007: 295). Pemahaman lain tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media ialah reprtesentasi. Hall
(1997)
dalam
Burton
(2007:
133)
mendeskripsikan
tiga
pendekatan terhadap representasi yang teringkas sebagai berikut: a. Reflektif,
berkaitan
dengan
pandangan
atau
makna
tentang
representasi yang entah di mana “di luar sana” dalam masyarakat sosial kita. b. Intensional, perhatian utamanya menaruh terhadap pandangan kreator (sutradara) atau produser reresentasi tersebut. c. Konstruksionis, perhatian pandangan ini ialah terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual. Dalam penelitian ini penulis mengunakan model semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes (Sobur, 203: 63) yang membagi lima kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Lima kode yang ditinjau Barthes, yaitu sebagai berikut: a. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu
63
kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. b. Kode semantik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa
konotasi
kata
atau
frase
tertentu
dalam
teks
dapat
dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”. c. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
struktural,
atau
tepatnya
menurut
konsep
Barthes,
pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem Barthes. d. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain,
64
semua teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteres dan Todorov hanya mencari adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoretis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, atau selalu mengharap lakuan di“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks (seperti pemilihan ala Todorov). e. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lecthe dalam Sobur (2003: 66) “bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling menyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata. Barthes”, seperti dipaparkan Cobley & Jansz dalam Alex Sobur (2003: 68), “seringkali membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Barthes menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa
65
konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat”. Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
Baginya,
konotasi
walaupun
merupakan
sifat
asli
tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Secara panjang lebar, Barthes mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra misalnya, merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan connotatif, yang di dalam Mythologiesnya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja Cobley & jansz (Sobur, 2003: 69).
Peta Barthes di atas terlihat menunjukkan bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas: penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan,
66
tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Jansz, dalam Sobur 2003: 69). Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Dengan model semiotika dari Roland Barthes di atas, penulis berusaha untuk menganalisis film “Jamila dan Sang Presiden” dan berusaha merebut makna yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh kemudian dilanjutkan dengan menganalisis tentang keadaan perempuan yang biasa disebut dengan mitos. “Mitos menurut substansinya merupakan hal yang menyesatkan; karena mistos adalah semacam wicara, segalanya dapat menjadi mitos hal itu dapat disampaikan lewat wacana (discourse)” (Barthes, 2007: 296). Artinya mitos tidak didefinisikan dan diklaim oleh objek pesannya melainkan didefinisikan oleh cara penyampaian pesan. Wicara dalam jenis ini adalah suatu pesan. Dengan demikian hal ini tidak terbatas pada wicara lisan. “wicara dapat merupakan bentuk-bentuk tulisan atau penggambaran (deskripsi); tidak hanya wacana tertulis, tetapi juga fotografi, film, laporan, olah raga, pertunjukan, publisitas” (Barthes,
67
2007: 297). Wicara mistis dibentuk dari suatu materi yang diolah sedemikian rupa untuk menjadikannya cocok bagi komunikasi; karena semua materi adalah mitos, baik gambar atau tulisan. Mitos sebagai sistem semiologi, Barthes menyatakan definisi semiologi sebagai “ilmu tentang bentuk-bentuk, karena hal itu mempelajari pertandaan terlepas dari kandungannya”. “Semiotika mempostulasikan suatu hubungan antara dua terma, penanda (signifier) dengan petanda (signified). Hubungan ini berkaitan dengan objekobjek yang termasuk kedalam kategori-kategori yang berbeda, dank arena itulah
hubungan
ini
tidak
bersifat
persamaan
(equality)
melainkan
kesepadanan (equivalence)”. (Barthes, 2007: 299-300). Dalam mitos, kita kembali menemukan pola tiga-dimesi yaitu; penanda, petanda dan tanda. Tetapi mitos adalah suatu sistem yang janggal, karena ia dibentuk dari rantau semiologis yang telah eksis sebelumnya; mitos merrupakan sistem semiologis tatanan-kedua (second-order semiological system). Apa yang merupakan tanda yaitu totalitas asosiatif antara konsep dan citra dalam sistem penanda.
68
Sebelum melakukan analisis terhadap masing-masing aspek dalam sistem mistis, kita harus sepakat dengan terminologinya, dalam mitos penanda dapat dilihat dari dua sudut pandang; sebagai terma terkahir sistem linguistik, atau sebagai terma pertama sistem mitos. Karena itu memerlukan dua nama. Pada bidang bahasa, yaitu sebagai terma terkahir dari sistem pertama (linguistik-penanda;makna). Pada bidang mitos (kedua) disebut forma (form) dalam hal ini petanda, tidak ada ambiguitas yang mungkin terjadi; kita akan mempertahankan nama konsep. Terma ketiga adalah korelasi antara kedua terma tersebut; dalam sistem linguistik, hal itu disebut tanda, artinya penanda telah dibentuk oleh tanda-tanda bahasa. Roland Barthes menamakan terma ketiga di atas sebagai pertandaan (signifikansi). Penanda mitos menampilkan diri secara ambigu; ia sekaligus merupakan makna dan bentuk, penuh pada satu sisi dan kosong pada sisi yang lainnya. Sebagai makna, penanda telah mempostulasikan adanya usaha pembacaan atau pemahaman (reading). Sebagai totalitas tanda-tanda linguistik, makna mitos memiliki nilai sendiiri, makna itu adalah milik sejarah. Ketika menjadi forma, makna itu meninggalkan kemungkinan di belakangnya, makna mengosongkan dirinya, menjadi miskin, sejarah menuap, hanya huruf yang tetap ada. Forma tidak menindas makna, forma hanya memiskinkan makna, forma menaruh makna dikejauhan, forma menyimpan makna demi kepentingan kata.
69
Roland Barthes (Sobur, 2003: 68) membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti di bawah ini:
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap kualitas eksternal. Barthes menyebutnya dengan dengan denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang dipergunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi reader serta nilainilai sosialnya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau intersubjektif. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
70
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Kita melihat keseluruhan tanda dalam sistem denotasi berfungsi menjadi penanda pada sistem konotasi atau sistem mitos (Berger, 2000: 15). “Dalam proses pemuatan kode dan makna ke dalam objek seni ada dua aspek seni yang perlu dipertimbangkan, yakni aspek denotasi dan penampakan objek, yang mengacu pada sifat-sifat gestalt dan keindraan yang melekat pada objek, aspek konotasi dan konsep objek, yang mengacu pada gagasan, citraan, pengalaman, dan nilai-nilai objek seni”. (Piliang, 2008: 223). Selanjutnya, aspek dalam proses seni pada dataran objektif dan subjektif. “aspek objektif berkaitan dengan pertimbangan berbagai faktor yang membatasi proses pengembangan seni, seperti teknologi, teknik, material, konvensi, kode bahasa. Aspek subjektif berkaitan dengan kemampuan artistik dan daya kreativitas seniman, yang dibentuk oleh kebudayaan, mitos, kepercayaan, ideologi atau ketidaksadaran seniman itu sendiri”. (Piliang, 2008: 223). Kode setiap aspek dalam film meliputi berbagai aspek keilmuan yang terkait, antara lain: skenario dengan semantik-luingistik, tata kamera dengan segi moving, shot size dan motivasinya, tata artistik yang menyangkut keberadaan kostum, benda dan korelasi antar benda lainnya, tata audio menyangkut emosi dan sound efek (SFX), musik, tata lighting (cahaya)
71
menyangkut pemakaian serta makna warna yang mendukung terekamnya objek gambar, produser menyangkut darimana asal dana produksi dan maksud
yang terkandung di dalamnya, serta
penyutradaraan
yang
menuangkan ide dan gagasan untuk sebuah karya seni, dimana sutradara menjadi komando atas semua elemen tersebut. Selanjutnya, analisis dilakukan berdasarkan atas teori semiotika Barthes secara holistik untuk bisa menemukan hubungan antara satu aspek, objek, dan makna yang terkandung dalam film. Analisis holistik memberikan berguna
untuk
bisa
menemukan
rentetan
(continuity)
atas
semua
permaslahan yang terkandung dalam film, baik melalui hubungan tokoh, benda, kata dan lain-lain dalam konteks semiotiknya. Pada dataran ini fokus utamanya ialah masalah gender dan feminisme yang melatarbelakangi film serta kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, agama dan lain-lain. Sehingga diharapkan
mampu
memberikan
bentuk
paparan
yang
kritis
atas
permasalahan tema perdagangan manusia dan sistem yang membentuknya. Barthes dalam Piliang (2008: 226) menyatakan bahwa “dalam proses pengodean makna ke dalam bahan estetika posmodernisme, idiom-idiom estetik itu juga (dalam berbagai kedalaman) mengandung kode-kode (parody, pastiche, kitsch, camp, skizofrenik)”. Lima kode yang berhubungan dengan makna dan eskpresi atau idiom-idiom digambarkan sebagai berikut: Matriks 1. Lima Kode Barthes
72
KODE Hermeneutika Semantik
Simbolik
Proairetik
Kultural
MAKNA - Efek provokatif - Enigma - Konotatif - Feminim/maskulin - Perversitas - Norma/abnormal - Fragmen-fragmen makna - Ketidakmungkinan makna - Makna kontradiktif - Naratif atau antinaratif - Linear/sirkular - Mitologis - Ideologis - Spiritual - Moral
EKSPRESI Parodi - Pastiche - Kitsch - Camp Skizofrenik
- Pastiche - Kitsch - Camp Pastiche
Sebagaimana yang dapat dilihat dari diagram di atas, kode yang lima (parody, pastiche, kitsch, camp, skizofrenik) dapat diekspresikan melalui berbagai konsep dan idiom estetik posmodernisme. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti, bahwa idiom tertentu, akan mengacu secara stabil pada satu kode tertentu, akan tetapi ia (kode) bisa mengandung beberapa kode sekaligus secara dinamis. Misalnya pastiche dapat mengandung kode semantik, proairetik dan kultural sekaligus, dan juga sebaliknya. Kelenturan relasi pertandaan dan kode semacam ini sekaligus menggambarkan seni sebagai suatu karya terbuka (open work) yang membuka pintu lebar bagi kombinasi dialog dan permainan tanda, kode dan idiom yang tidak terbatas. Pengertian pastiche didefinisikan sebagai “…. karya sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penulis lain atau
73
dari penulis tertentu di masa lalu”. Parody di definiskan Hutcheon sebagai “…satu bentuk imitasi, akan tetapi imitasi yang dicirikan oleh kecenderungan ironik (parodi adalah) pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik, yang mengungkapkan perbedaan daripada kesamaan”. Kitsch diistilahkan Jean baudrillard sebagai “…simulasi, kopi (an) atau stereotip sebagai pemiskinan kualitas pertandaan (signification) yang sesungguhnya, sebagai proses melimpah ruahnya tanda-tanda (sign), referensi alegorik, atau konotasikonotasi perbedaan. Istilah camp adalah “satu idiom estetik, yang meskipun sering diperbincangkan, namum masih menimbulkan pengertian yang kontradiktif, di satu pihak diasosiasikan dengan pembentukan makna, di pihak lain, ia justeru diasosiasikan dengan kemiskinan makna”. Skizofrenia adalah istilah “sebuah psikoanalisis untuk semua kata atau penenda dapat digunakan menyatakan satu konsep atau petanda. Dengan perkataan lain, konsep atau petanda tidak dikaitkan dengan satu penanda dengan cara yang stabil, dengan demikian, persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep dimungkinkan”. (Piliang, 2008: 187-204). Pertandaan dan pemaknaan dalam film atau sinematografi dalam konteks semiotic sebagaimana dinyatakan oleh Barthes dalam Stephen Heath (2010: 41-43) Dalam scene (fragmen/adegan) cerita film terdapat tiga lapisan makna, antara lain: 1. Lapisan informasional, yakni segala sesuatu yang bisa diserap dari latar (setting), kostum, tata letak, karakter, kontak atau relasi yang
74
terjadi antar pelaku (tokoh). Hal ini sebagai semiotika tingkat pertama. 2. Lapisan simbolis, yang meiputi simbolis refresensial (acuan), simbolis
diegetis
eisensteinian
(suatu
(pandangan analisis
tentang kritis
benda),
tentang
simbolis
pealihan
dan
pergantian), simbolis historis. 3. Pertandaan yang samar-samar dan tidak utuh sebagai makna yang eksistensi dari adegan yang ditampilkan (digambarkan). Makna ketiga
ini
merangsang
baca-tafsir
yang
bersifat
interogatif
(penandaan), penuntutan atas penserapan „puitis‟. Makna ini adalah bentuk signifikansi yang berada pada wilayah penanda.
2.2. Kerangka Pemikiran Alur berpikir dalam penelitian ini ialah bagaimana menemukan dan menetukan representasi, dimulai dari menentukan kategori perempuan, baik dari segi penampilan fisik, karakter dan sebagainya, dengan cara menganalisis keterlibatan pelaku penanda, petanda dan tanda yang digunakan oleh komunikator, yakni sutradara film. Kemudian tanda, penanda dan petanda yang terdapat dalam fim tersebut, baik yang berupa “teks” dialog maupun audio-visual dianalisis dengan pendekatan semiotika Barthes untuk mengkalsifikasi tanda konotatif atau denotatif.
75
Setelah pengelompokan denotatif dan konotatif tanda dan makna yang menyertainya
kemudian
dianalisis
untuk
menemukan
representasi
perempuan yang dilihat dari garis horizontal, berupa dialog komunikator (sutradara) dengan penikmat film potensional, pada garis vertikal berupa dialog antara teks itu sendiri dengan teks-teks yang lainnya, artinya teks itu terbangun atas keterkaitannya dengan latar sosial, budaya, agama (ideologi), ekonomi dan sebagainya.
Suatu petanda dapat memiliki beberapa penanda, dalam hal ini berlaku dalam linguistik dan psikoanalisis baik denotasi maupun konotasi. Hal ini juga berlaku dalam konsep mitos, petanda memiliki massa penanda yang tidak terbatas. Konsep merupakan unsur pembentuk mitos, konsep mitos dapat muncul, berubah, berdisintegrasi dan benar-benar menghilang. Dalam semiologi terma tanda sekaligus penanda merupakan keterkaitan antara kedua terma. Hubungan yang menyatukan konsep mitos dengan maknanya
76
secara hakiki merupakan hubungan yang deformasi. Hal yang harus diingat bahwa mitos adalah suatu sistem ganda, di dalamnya terdapat semacam keberadaannya
yang
senantiasa
hadir,
titik
tolaknya
dibentuk
oleh
kemunculan makna. Keberadaan ganda inilah (duplisitas) penanda yang menentukan karakter pertandaan. Jadi, mitos adalah seemacam wicara yang lebih banyak didefinisikan oleh maksudnya dari pada pengertian harfiahnya. Keberadaan ganda tanda sekaligus penanda (Barthes: 321-323) yang merupakan makna dan sekaligus bentuk menghasilkan tiga jenis pembacaan, diantaranya: 1. Pemfokusan yang dilakukan oleh pembentuk mitos bersifat sinis. Dalam penelitian ini pembentukan yang dilakukan oleh perempuan untuk suatu konsep dan mencari forma untuk konsep itu. 2. Pemfokusan yang dilakukan oleh ahli mitologi bersifat demistifikasi. Dalam penelitian ini menguraikan mitos dan dia memahami adanya distorsi, aplikasinya ialah bahwa teori tentang mitos dan konsep perempuan masih perlu kritik untuk menemukan formasi yang baru. 3. Pemfokusan bersifat dinamis, ia mengkonsummsi mitos menurut tujuan yang dibangun ke dalam strukturnya, pembaca menghidupkan mitos sebagai suatu cerita yang nyata sekaligus tidak nyata.
77