BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Ritual Dan Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat 2.1.1 Ritual Ritual dalam kehidupan masyarakat Desa Bongo berhubungan dengan kepercayaan atau agama. Masyarakat Desa Bongo yang mempunyai kepercayaan atau agama Islam, sangat menjujung tinggi nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari sampai pada ritual dan adat istiadat yang ada pada masyarakat. Sehingga, setiap ritual ataupun adat istiadat yang ada di Desa Bongo selalu berlandaskan nilai-nilai agama Islam. Dalam setiap agama yang ada dalam masyarakat tidak terlepas dengan ritual atau tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kepercayaan masyrakat itu sendiri. Durkheim mendefinisikan agama sebagai: “…suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaankepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan bendabenda suci … benda-benda khusus (set apart) atau terlarang kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam komunitas yang disebut umat (gereja), semuanya yang berhubungan dengan itu.” (dalam Johson, 1986: 196) Selanjutnya, Durkheim (dalam Baal, 1987:208) mendefiniskan gejala religi sebagai suatu sistem gagasan tentang kepercayaan dan praktek kepercayaan yang ada hubunganya dengan urusan sakral, artinya urusan yang dikhususkan dan terlarang. Selain itu sistem religi dan ritual keagamaan merupakan unsur kebudayaan yang
10
universal, sulit diubah dan sulit dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Koenjaraningrat, 2009:12-13). Dalam kehidupan keagamaan ritual menjadi salah satu unsur yang dipakai untuk mensosialisasikan nilai-nilai dari agama kepada masyarakat. Ritual lebih menunjukan perilaku tertentu yang bersifat formal yang dilakukan secara berskala, bukan sekedar rutinitas yang bersifat teknis namun disadari keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan mistis (Turner, 1967:19). Ritual selalu mengingatkan manusia tentang eksistensi dan hubungannya dengan lingkungan. Melalui ritual warga masyarakat dibiasakan untuk menggunakan simbol dari berbagai acara sosial dan kehidupan sehari-hari (Geertz, 1992:Xi-Xii). Ritual juga merupakan pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap gejala yang diperolehnya lewat proses dari generasi sebelumnya dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya (Eva, 2007:41). Gagasan religius yang sesungguhnya, menurut Durkheim, adalah milik seluruh persekutuan yang mempersekutukan para anggotanya dalam kenyataan bahwa mereka membayangkan yang sakral dan hubungan yang sakral dan yang profan itu dengan cara yang sama (dalam Baal, 1987:213). Dalam hal ini, masa sakral dan tempat sakral adalah masa dan tempat untuk mengadakan pertemuan. Kemudian orang kembali kepada kehidupan yang profan yang bagi orang-orang ini hidup dalam dalam keadaan tercerai-berai (Baal, 1987:215). Ritual yang hidup dalam masyarakat tidak terlepas dari konteks keagamaan dan budaya yang dianut oleh masyarakat itu tinggal. Suatu sistem religi dalam suatu 11
kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara sistem keagamaan yang dianut oleh sekelompok masyarakat pengikutnya (Hinta, 2011:66). Menurut Koentjaraningrat (dalam Hinta, 2011:66) ada empat aspek yang dianut oleh sistem ritual keagamaan yakni sebagai berikut; (a) tempat ritual keagamaan; (b) saat ritual keagamaan dijalankan; (c) benda-benda dan alat-alat ritual; dan (d) orang yang melakukan dan memimpin ritual. Tanpa sadar, masing-masing dari kita mengikuti warga lainnya dalam memberikan makna tertentu pada hal, lembaga, gagasan, atau orang, yakni realitas sosial budaya, disekitar kita. Inilah yang terjadi dalam kehidupan sosial kita seharihari dari zaman ke zaman. Gejala ini disebut dengan semiotik sosial, yakni makna yang terbentuk dalam masyarakat tentang berbagai realitas sosial budaya. Dalam kehidupan manusia terdapat banyak tanda, baik itu tanda dipandang sebagai suatu gejala sosial atau sebagai gejala budaya. Pada intinya tanda yang ada dalam kehidupan manusia merupakan hasil kesepakatan atau konvensi bersama oleh seluruh manusia. Karena, tanda adalah sesuatu yang terstruktur dalam kognisi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan penggunaan tanda didasari oleh adanya kaidah-kaidah yang mengatur (langue) praktik berbahasa (parole) dalam kehidupan bermasyarakat (Hoed, 2011:8). Catrine Bell (2003:15) mendefinisikan ritual sebagai ide untuk mengespresikan keyakinan/agama secara simbolik dengan tujuan berkelanjutan dan sebagai kontrol sosial. Dhavamony mengutip Susanne Langer bahwa ritual sebagai ungkapan yang bersifat logis daripada bersifat psikologis, yaitu pengobyekan simbol-simbol. Simbol12
simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi para pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing. Pengobyekan ini penting untuk kelanjutan dan kebersamaan dalam kelompok (Eva, 2007:42) Koentjaraningrat
(2009:67-68)
mengutip
pendapat
Robertson
Smith,
mengemukakan bahwa ada tiga gagasan penting tentang religi dan agama. Gagasan pertama selain sebagai sistem keyakinan, juga sebagai perwujudan religi atau agama, dia berpendapat bahwa dalam agama, ritual tetap ada sedangkan motivasi, keyakinan, maksud atau doktrin berubah. Gagasan kedua adalah ritual berfungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Motivasi mereka adalah berbakti kepada Tuhan sebagai suatu kewajiban sosial. Gagasan ketiga adalah fungsi ritual sesaji adalah aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas terhadap nenek moyang yang dianggap sebagai warga yang telah membangun tempat yang dulunya merupakan sawah/hutan menjadi tempat layak huni bagi masyarakat yang menempatinya. Tradisi Islam yang berkembang dan mewarnai tradisi-tradisi yang ada di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya tidak terlepas dari proses asal daerah penyebaran Islam. Banyak dijumpai kesamaan tradisi yang berkembang di Jawa khususnya, dengan tradisi asal kedatangan Islam. Azra (2002:24) mengemukakan Islam di Inndonesia berasal dari Gujarat yang terletak di India Selatan, dengan alasan adanya kesamaan Madzhab (Syafi’i) dan kesamaan arsitektur Masjid. Madzhab Syafi’iyah yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, membolehkan pembacaan doa untuk orang-orang yang sudah meninggal. Di Jawa khususnya, tradisi pembacaan doa ini kemudian dikembangkan oleh Walisongo dan 13
juru-juru dakwah Islam. Sehingga dalam melaksanakan beberapa ritual yang telah membudaya sebagai warisan dari adat istiadat agama Hindu, seperti acara slametan kemudian dibacakan doa-doa (sekarang dikenal dengan acara tahlilan). Dhavamony (dalam Eva, 2007:43) membedakan menjadi empat macam ritual, 1) ritual sebagai magis dalam segi penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya mistis, 2) ritual sebagai tindakan religius dalam segi mengkultuskan leluruh, 3) ritual konstruktif dengan mengungkap atau mengubah hubungan sosial yang menunjuk pada pengertian mistis, 4) ritual fiktif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan dan perlindungan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu kelompok. Turner (1967:50) memberikan penafsiran simbol dalam tiga penafsiran berdasarkan pada studinya tentang komunitas Ndembu: a) Exegetical Meaning yaitu makna yang diperoleh dari warga tentang ritual. b) Operational Meaning yaitu makna yang diperoleh tidak hanya pada perkataan tetapi juga pada tindakan yang dilakukan dalam ritual. c) Positional Meaning yaitu makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara totalitas. Ketiga penafsiran tersebut sebenarnya saling melengkapi dalam proses pemaknaan simbol ritual. Nomor (a) mendasarkan pada wawancara kepada informan setempat. Nomor (b) menekankan pada tindakan ritual dalam kaitannya dengan struktur dan dinamika sosial, dan nomor (c) mengarah pada hubungan kontekas antar simbol dan pemiliknya (Endaswara, 2003:175).
14
Bagi Mead (dalam Raho, 2007:102) kemampuan untuk memberi jawaban kepada diri sendiri sebagaimana ia memberi jawaban terhadapa orang lain, merupakan kondisi-kondisi penting dalam rangka perkembangan akalbudi itu sendiri. Sehingga yang terpenting dalam perkembangan diri menurut Mead, adalah melalui proses sosialisasi diri dengan orang lain dan lingkungan. Setiap tindakan manusia mengandung makna bagi dirinya sendiri dan juga bagi orang lain, akan tetapi setiap pemaknaan tindakan tersebut bagi orang lain tergantung bagimana dia dapat memahami tentang simbol-simbol yang ada dalam proses pemaknaan atau sebuah ritual. Konsep ini dikemukakan untuk membedakan manusia dengan binatang, dimana dapat dilihat bahwa hanya manusia yang dapat memahami simbol secara signifikan.
2.1.2 Budaya Walima memang sudah menjadi warisan budaya yang turun-temurun pada massyarakat Gorontalo, khususnya pada masyarakat Desa Bongo. Entah mulai kapan awal walima di Bongo yang pasti ini adalah budaya turun temurun yang menjadi kebanggaan masyarakat Desa Bongo, karena bagi masyarakat Bongo, walima adalah sebuah warisan budaya yang tak ternilai harganya yang diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Sorokin (dalam Johnson, 1986:99-100) menyebutkan tiga mentalitas budaya, sebagai berikut:
15
1. Kebudayaan Ideasional, tipe ini mempunyai dasar berpikir (premis) bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril, transenden, dan tidak dapat ditangkap dengan indera. Dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, sementara, dan tergantung pada dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Kenyataan akhir merupakan dunia Allah atau Nirwana, atau suatu konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. 2. Kebudayaan Inderawi, tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Eksistensi kenyataan adi-inderawi atau yang transenden disangkal. 3. Kebudayaan Campuran, kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir (premis) mentalitas ideasional dan inderawi. Setiap kebudayaan yang ada dalam masyarakat tidak pernah lepas dengan namanya ideologi yang ada dalam masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Niode (2007:62) yakni : “berdasarkan ideologi, seseorang atau sekelompok orang tidak saja hanya mengetahui dan memahami tetapi pula mengambil sikap terhadap apa yang diketahui dan dipahaminya. Demikianlah, maka dunia kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang mengandung nilai-nilai dan peraturan-peraturan mengenai nilai-nilai itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada ini kebudayaan menjelma menjadi sistem tingkah laku, perbuatan dan tindaka atau sistem sosial”.
Bertolak dari permasalahan kebudayaan, maka yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sistem
budaya masyarakat. Koentjaraningrat (1997:25) memandang
sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi yang paling abstrak dari adat istiadat. 16
Sebabnya nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Max Weber (dalam Geertz, 1992:5) mengatakan bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunya sendiri, saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Niode (2007:62) mengungkapkan bahwa “masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu identitas bersama sebagai pandangan dunianya”. Sehingga setiap adat istiadat yang ada pada masyarakat tersimpan di dalam pengetahuan masyarakat itu sendiri. Cadangan pengetahuan (social stock of knowledge) yang tersedia dalam masyarakat itu didistribusikan setidaknya dalam garis besarnya, merupakan satu unsur penting dari cadangan pengetahuan itu (Beger, 2012). Suatu sistem nilai budaya seringkali merupakan suatu pandangan hidup. Konsep Koentjaraningrat terhadap pandangan hidup ini biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, dan telah dipilih secara selektif oleh individu-individu dan golongan-golong-an dalam masyarakat. Karena
suatu
pandangan hidup yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu tidak selamanya 17
dimiliki kelompok masyarakat lainnya. Sehubungan dengan hal ini, maka Koentjaraningrat (1997:25) memandang: “Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang baru mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia serta sistem-sistem, tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma yang juga berpedoman kepada sistem nilai budaya”. Menurut Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2009:154), tiap sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan mengandung lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah: 1) Masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH). 2) Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK). 3) Masalah hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (selanjutnya disingkat MW) 4) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya disingkat MA) 5) Masalah hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM). Niode (2007:51) mengungkapkan pada dasarnya nilai-nilai budaya tersebut terdiri dari: 1) Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu,
18
2) Nilai ekonomi yang berupa utilitas atau kegunaan, 3) Nilai agama yang berbentuk das heilege atau kedudukan, 4) Nilai seni yang menjelaskan expresiveness atau keekspresian, 5) Nilai kuasa atau politik, 6) Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong dan lain-lain. Sutan Takdir Alisyahbana (dalam Niode, 2007:51-52) mengkategorikan enam nilai tersebut ke dalam tiga aspek. Pertama, nilai kuasa dan solidaritas sebagai aspek organisasi masyarakat. Kedua, nilai ekonomi dan nilai teori sebagai aspek progresif. Ketiga, nilai agama dan seni sebagai aspek ekspresif. Dari penjabaran nilai-nilai budaya di atas dan pengkategorian nilai-nilai tersebut. Maka kehidupan semua masyarakat yang ada di muka bumi ini, tidak terlepas dari nilai-nilai tersebut. Sehingga hampir dapat dipastikan semua masyarakat yang ada di muka bumi memiliki kebudayaan masing-masing dan tidak terlepas dari nilai-nilai budaya itu sendiri. Kebudayaan menurut Geertz (1992:55) paling baik dilihat tidak sebagai kompleks-kompleks pola-pola tingkah laku konkret, misalnya, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, kumpulan kebiasaan-kebiasaan, seperti yang pada umunya dilakukan sampai hari ini, melainkan sebagai seperangkat mekanismemekanisme kontrol, yaitu: rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, untuk mengatur tingkah laku manusia.
19
Kebudayaan itu sendiri menurut Koentjaraningrat (2009:150) mempunyai tiga wujud, yang pertama; wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Wujud pertama ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan bersangkutan itu hidup. Wujud yang kedua; wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua dari kebudayaaan ini disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Dan yang terakhir, wujud yang ketiga; wujud kebudayaan sebagai bendabenda hasil karya manusia. Kebudayan ini disebut kebudayaan fisik, berupa seluruh hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Pemahaman terhadap sistem nilai budaya masyarakat mengacu pada masalah kebudayaan. Masalah kebudayaan banyak ahli yang membe-rikan pandangannya misalnya Tylor (dalam Soekanto, 1985) meman-dang kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota ma-syarakat. Masalah kebudayaan menurut Tylor mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat, karena kebudayaan mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir. Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat baik berwujud sebagai komunitas desa, kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang di luar warga 20
masyarakat bersangkutan. Corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk khusus; atau karena warganya menganut suatu tema budaya khusus. Koentjaraningrat (2009:165) berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Yaitu : 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi sosial, 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem religi, 7. Kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masing tentu juga mempunyai wujud fisik, walaupun tidak ada satu wujud fisik untuk keseluruhan dari satu unsur kebudayaan universal. Salah satu contoh dari wujud dari ketujuh unsur kebudayaan itu, seperti sistem religi yang mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai bendabenda suci dan benda-benda religius (Koentjaraningrat, 2009:165).
21
2.2 Struktur dan Hubungan Sosial Masyarakat 2.2.1 Struktur sosial Durkheim (dalam Jones, 2010:44) mempunyai pandangan konsensus yang agak ortodoks mengenai struktur sosial. Cirinya yang sangat penting, katanya adalah bahwa struktur sosial itu terdiri dari norma-norma dan nilai-nilai. Durkheim beragumentasi bahwa paling tepat kalau kita memahami eksistensi dan karakter struktur sosial melalui pembandingan dengan asal-usul dan kerja organisme biologi. Sebagaimana tercermin pada namanya, suatu organisme adalah entitas hidup yang eksistensi dan kesehatannya tergantung pada semua organ-organ yang bekerja bersama dengan baik. Istilah struktur sosial sebagaimana ungkapan Redcliffe-Brown adalah sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan hubungan yang ditentukan atau dikendalikan oleh institusi, yakni norma atau pola perilaku yang dimapankan secara sosial (dalam Kaplan dan Menners, 2000:139). Dalam memberikan pengertiannya Redcliffe-Brown (dalam Garna, 1996:150) mengemukakan bahwa struktur sosial adalah suatu rangkaian kompleks dari relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat. Berbicara tentang struktur sosial, tidak terlepas dari teorinya Marx tentang kelas. Menurut Marx (dalam Raho, 2007:29) dalam masyarakat terdapat dua kelompok kelas. Kelompok pertama adalah kaum yang memiliki modal atau kekuasaan, disebut juga dengan kaum Borjuis. Kelompok kedua adalah kaum Proletariat. Mereka adalah orang yang bekerja atau pengikut dari kaum Borjuis. 22
Struktur sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Eratnya dua fenomena ini digambarkan bahwa antara kebudayaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan. Ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan dalam kebudayaan juga akan diikuti oleh perubahan dalam struktur masyarakat, demikian pula sebaliknya. Struktur sosial masyarakat Gorontalo dalam hal ini hubungan antara masyarakat dan pemimipin, telah ditetapkan melalui tujaqi atau syair-syair yang dibacakan pada saat pelantikan pemimpin daerah. Pernyataan atau syair-syair (tujaqi) berbunyi: Taluhu, taluhu lo ito Eeya; Tulu, tulu lo ito Eeya; Dupoto, dupoto lo ito Eeya; Huta, huta lo ito Eeya; Tawu, tawu lo ito Eeya; Bo diya poluliya hilawo, Tapulu (Air adalah kepunyaan tuanku; Api adalah kepunyaan tuanku; Angin adalah kepunyaan tuanku; Tanah adalah kepunyaan tuanku; Penduduk/orang adalah kepunyaan tuanku; Tetapi jangan diperlakukan sewenang-wenang – Tacco dalam Niode, 2007:115-116). Struktur sosial memang bersifat abstrak, karena hal tersebut merupakan suatu gagasan atau bentuk pikiran-pikiran dari agregat individu dalam suatu kesatuan sosial. Konsepsi atau pemikiran-pemikiran tersebut terbentuk atas dasar kepentingan bersama anggota masyarakat yang pada gilirannya terorganisir sebagai kesadaran kolektif. Martodirdjo (1991:23) menyatakan bahwa, struktur sosial itu bersifat abstrak, tetapi keberadaannya selalu dirasakan langsung atau tidak langsung oleh warga masyarakat yang bersangkutan, karena struktur sosial merupakan faktor pengarah dan pengendali seluruh kehidupan sutu masyarakat.
23
De Saussure memberikan contoh sebuah struktur dengan menggunakan konsep bahasa. Dalam memahami bahasa sebagai alat komunikasi dan sebagai gejala sosial, de Saussure melihat ada dua tataran yang berkaitan satu sama lain. Tataran pertama adalah yang disebutnya “langue”, yakni tataran konsep dan kaidah. Tataran dibawahnya adalah yang disebutnya “parole”, yakni tataran praktik berbahasa dalam masyarakat (dalam Hoed, 2012:56). Dalam kehidupan sehari-hari, konsep langue dan parole yang dikemukakan de Saussure bisa diibaratkan sebagai sebuah sistem dan struktur. Di mana keduanya selalu hadir secara bersama dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa (1) sturktur dan sistem selalu hadir bersama, (2) struktur dan sistem bersifat abstrak dan merupakan banguna (construct) yang adanya dalam kognisi manusia, bukan sesuatu yang konkret, dan (3) struktur dan sistem merupakan satuan yang tertutup dan memenuhi dirinya sendiri (Hoed, 2012:58). Menurut Garna (1996:151), dasar penting dalam struktur sosial adalah relasirelasi sosial yang apabila relasi-relasi tersebut tidak dilakukan maka masyarakat itu tidak akan berwujud lagi. Lebih lanjut Garna menyatakan bahwa struktur sosial juga dapat ditinjau dari segi status, peranan, nilai-nilai, norma-norma dan institusi sosial dalam suatu sistem relasi. Brown (dalam Baal, 1988:91) menyatakan bahwa struktur sosial adalah keseluruhan relasi sosial yang terwujud dalam suatu masyarakat. Durkheim (dalam Jones, 2010:47-48) mengatakan bahwa masyarakat yang stabil adalah masyarakat yang warganya saling tergantung dan para anggota masyarakat ini perlu diajar untuk berpikir dan berperilaku menurut cara-cara yang menjamin saling 24
ketergantungan
ini,
baik
untuk
kebaikannya
sendiri
dan
bagi
kebaikan
masyarakatnya. Hal ini mendorong argumennya Durkheim kepada tiga arah yang berbeda, namun terkait:
Pertama, hanya jika sosiologi adalah ilmu pengetahuan maka kita dapat memperoleh bukti yang kita perlukan untuk memahami tatanan sosial,
Kedua, menunjukan bagaimana masyarakat bekerja sebagai sisitem sosial yang saling tergantung mengikuti prinsip-prinsip fungsional.
Ketiga, menunjukan peranan kritis dari agama dalam menghambat anomi dan menjamin terwujudnya solidaritas sosial dalam masyarakat.
Salah satu karya yang cukup terkenal dari fungsionalisme struktural ialah teorinya tentang stratifikasi sosial. Davis dan More (dalam Raho, 2007:49) menganggap stratifikasi sosial sebagai sutu kenyataan yang universal dan perlu untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Mereka berpendapat bahwa tidak ada masyarakat yang tidak punya sistem stratifikasi sosial. Tetapi mereka menambahkan bahwa stratifikasi yang mereka maksudkan bukannya individu-individu yang ada di dalam sistem stratifikasi itu melainkan sistem posisiposisi. Hasil analisa Levis Straus mengenai pola-pola umum tingkah laku suatu masyarakat menunjukkan bahwa sistem pertukaran merupakan unsur dasar terbentuknya struktur sosial. Dalam pertukaran ini setiap anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuatu yang berguna bagi mereka. Tujuan pertukaran itu
25
menurut Levis Straus bukanlah semata-mata memenuhi kebutuhan individualnya, tetapi pertukaran itu mengandung makna ungkapan komitmen moral individu terhadap kelompoknya (Johnson, 1986:57-58). Pada umumnya pertukaran timbal-balik mengambil bentuk yang bersifat umum dan seimbang. Morais (Kusnadi, 2000:23) mengatakan bahwa bentuk sumber daya yang selalu dipertukarkan dapat berupa uang, barang dan jasa, waktu keahlian atau dukungan emosional. Berkaitan dengan tukar-menukar sumber daya dan hubungan sosial, dalam kehidupan masyarakat tradisional dikenal tiga macam kewajiban yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima dan kewajiban membayar kembali. Ketiga macam kewajiban tersebut dilaksanakan berdasarkan norma-norma dan sanksi sosial budaya yang telah disepakati bersama (Mauss, 1992:56). Rangkaian pola-pola berpikir dan bertingkah laku suatu masyarakat seperti yang telah diuraikan di atas, merupakan suatu jaringan hubungan timbal-balik yang telah terinternalisasi dalam suatu struktur sosial. Bagi Durkheim (dalam Jones, 2010) pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat, yang ia sebut solidaritas sosial, dimantapkan oleh sosialisasi – yang melalui proses tersebut manusia secara kolektif belajar standar-standar atau aturan-aturan perilaku.
2.2.2 Hubungan sosial Durkheim (dalam Raho, 2007:27) mengatakan bahwa, dalam masyarakat primitif ikatan sosial itu adalah moralitas bersama atau kesadaran kolektif yang disebut 26
solidaritas mekanik. Sedangkan dalam masyarakat modern yang ditandai oleh patologi akibat pembagiaan kerja yang sangat ketat hampir tidak ditemukan kesadaran kolektif seperti pada masyarakat primitf. Solidaritas ini disebut solidaritas organik. Max Weber (dalam Soekanto, 1985:53) mengemukakan bahwa pengertian hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam mana dua orang atau lebih terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitung-kan perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan sosial berisikan kemungkinan bahwa para pribadi yang terlihat dalamnya akan berprilaku dengan cara yang mengandung arti serta ditetapkan terlebih dahulu. Suatu hubungan sosial mempunyai derajat keteraturan yang berbeda-beda artinya, mungkin terdapat pengulangan perilaku yang terkait dengan arti subyektifnya sehingga memang diharapkan. Di lain pihak, hubungan sosial berisi tentang kemungkinan menyangkut pemenuhan suatu kebutuhan, pengelakan terhadap kewajiban, ketegasan agar mentaati perjanjian dan seterusnya. Menurut Weber (dalam Soekanto, 1985:54) bahwa batasan hubungan sosial tidak berisikan informasi mengenai taraf solidaritas (atau gejala yang merupakan lawannya) yang menjadi ciri pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku tertentu. Secara obyektif dapatlah dikatakan bahwa suatu hubungan hanya ada kalau dalam pengharapan-pengharapan terhadap hubungan tersebut ada persamaan 27
pengertian mengenai sifat hubungan tersebut, misalnya sikap aktual seorang anak terhadap ayahnya mungkin adalah sesuai dengan apa yang diharapkan sang ayah. Suatu hubungan sosial dapat disepakati atas dasar persetujuan mutual. Artinya, para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan membuat perjanjian mengenai perilaku di masa depan. Selanjutnya, Soekanto (1985:61) mengemukakan bahwa hubungan sosial mengandung faktor-faktor komunalisasi dan agregasi. Komunalisasi hubungan sosial terjadi, apabila proses sosial itu didasarkan pada rasa solidaritas yang merupakan hasil keterikatan secara emosional atau tradisional. Agregasi hubungan sosial merupakan hasil rekonsiliasi dan keseimbangan kepentingan-kepentingan yang dimotivasikan oleh penilaian secara rasional atau kebiasaan. Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan sehari-hari terlibat langsung dengan berbagai kegiatan interaksi. Mereka melakukan interaksi sosial antara individu dengan individu lain, maupun anatara individu dengan kelompok dalam upaya menciptakan hubungan yang baik diantara mereka. Hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam mana dua orang atau lebih terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing. Durkheim melihat masyarakat sebagai keseluruhan organisme yang memiliki realitas tersendiri. Artinya, keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan dan fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggota28
anggotanya agar keadaan tetap normal. Apabila fungsi itu tidak dipenuhi maka akan berkembang keadaan patologis. Mauss dan Beuchat mengembangkan konsep ini berdasarkan deskripsi atas gejala-gejala pengelompokkan dan pola aktivitas sosial yang menyertainya dalam masyarkat Eskimo dalam rangka mengikuti siklus dan ritme alam. Pandangan akhir mereka tentang morfologi sosial (pembentukan kelompok dan pola-pola aktivitas secara kebudayaan dalam konteks tuntutan lingkungan alam), adalah pasangan antara alam dan kebudayaan ternyata tidak selamanya berada dalam ritme yang konsisten. Tidak selamanya perubahan dalam usur-unsur alam atau unsur-unsur yang berkaitan dengan
alam
mengakibatkan
perubahan
yang
sama
pada
bentuk-bentuk
pengelompokkan (morfologi sosial) serta pola-pola aktivitasnya (Martodirdjo, 1991: 41). Setiap tradisi yang ada pada masyarakat berkaitan dengan kebudayaan yang ada masyarakat. Dimana dalam pelaksanaan tradisi tersebut selalu berhubungan dengan ritual atau praktek-praktek pemujaan terhadap kekuatan mistis. Dalam pelaksanaan setiap tradisi peran masyarakat sangat berpengaruh baik masyarakat biasa sampai pemerintah yang mengatur masyarakat. Sehingga tradisi membuat hubungan masyarakat menjadi lebih erat.
29