BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,
sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama-sama dalam menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiologi melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objek, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu menurut, Damono 1978 (dalam Ratna, 2003: 4), mengatakan bahwa : “Apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektivitas, sedangkan hakikat karya sastra adalah subjektivitas dan kreativitas, sesuai dengan pandangan masing-masing pengarang”. Sastra merupakan pengungkapan ekspresi jiwa yang paling individual oleh seorang pengarang serta tinggi nilainya. Karya sastra bersifat khusus yang menggambarkan individu atau wakil yang tertentu pula, dengan kata lain sastra merupakan ungkapan pemikiran seseorang tentang suatu hal yang dituang dalam bentuk karya sastra. Rene Wellek dan Austin Warren (1986: 3) mengatakan bahwa : “Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni, maksudnya manusia menggunakan seni sebagai pengungkap segi-segi kehidupan, ini merupakan suatu kreatifitas bagi manusia yang mampu menyajikan pemikiran dan pengalaman hidup dalam bentuk karya sastra”.
Universitas Sumatera Utara
Sastra begitu dekat dengan manusia, sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat, sebagai suatu yang perlu dipahami, karya sastra memendan kompleksitas yang hanya dapat dimengerti dengan usaha yang sungguh-sungguh dan diteliti oleh masyarakat pembacanya. Dengan demikian, untuk mengungkapkan kandungan karya sastra dibutuhkan kepekaan luar biasa. Sebagai suatu yang perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia. Dari aspek kulturnya, satra sebagai hasil cipta berupa “pikiran” dan “rasa” dalam bentuk artefak tulisan merupakan perwujudan budaya. Wujud budaya yang merupakan sistem nilai, sistem pikiran, dan sistem tindakan ada dalam sastra, Sastra sebagai artefak budaya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Kurniawan (2012: 2-3) bahwa : “Sastra secara kolektif adalah hasil budaya manusia yang secara umum diwujudkan melalui sistem bahasa, dan bahasa sendiri adalah unsur kebudayaan. Hubungan sastra dengan budaya yang dimediasi dengan bahasa menunjukkan kekhasan sastra dibandingkan dengan seni-seni lainnya, bahasa sebagai produk budaya relatif bersifat dinamis, sehingga ketika sastra dimediakan oleh bahasa menunjukkan perkembangan dinamis, baik dalam diri bahasa atau pemikirannya itu sendiri. Itulah kenapa sastra menjadi disiplin objek kajian budaya karena sastra adalah sistem budaya sebagai representasi pikiran manusia yang mewakili kolektivitasnya dalam kehidupan sosial masyarakat”. Sastra adalah ungkapan ekspresi jiwa yang dimuat dalam bentuk buku yang didalamnya mengungkapkan tentang perasaan manusia yang mendalam dan kebenaran moral, keluasan pandangan yang mempesona, ekspresi atau ungkapan manusia adalah upaya untuk mengeluarkan suatu bakat yang tertanam didalam dirinya bisa berupa luapan emosi yang tiba-tiba atau spontan. Bentuk dari diri manusia dapat diekspresikan dalam bentuk karena tanpa bentuk tidak akan mungkin isi dari ungkapan tersebut disampaikan kepada orang lain, misalnya dalam bentuk bahasa, bahasa merupakan bahan utama untuk mengungkapkan karya yang indah seperti apa yang dinyatakan oleh :
Universitas Sumatera Utara
Fananie (2000: 6) menyatakan bahwa : “Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetika baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna”. Karena sastra memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial, dan budaya sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat, dan masyarakat sebagai objek kajian sosiologi menegaskan adanya hubungan antara sastra sebagai disiplin ilmu dengan sosiologi sebagai disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan relasi sosiologi dengan sastra, yang kemudian berdisiplin menjadi sosiologi sastra. Damono (2002: 8) menyatakan bahwa : “Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dalam proses sosial”. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial, kita mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing”. Sosiologi merupakan disiplin ilmu tentang kehidupan masyarakat yang objek kajiannya mencakup fakta sosial, defenisi sosial, fakta sosial dan perilaku sosial yang menunjukkan hubungan interaksi sosial dalam suatu masyarakat. Sedangkan masyarakat sendiri adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi, memiliki adat-istiadat, norma-norma, hukum, serta aturan yang mengatur semua pola tingkah laku, terjadinya kontiunitas dalam waktu, dan diikat dengan rasa identitas yang kuat mengikat warganya dan mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia, sifatnya umum, rasional, dan empiris.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Ratna (2003: 1) bahwa : “ Sosiologi berasal dari kata sosio yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman dan logi berarti, sabda, perkataan, perumpamaan. Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris”. 2.1.1
Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra Hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh kenyataan. Secara lebih spesifik relasi
ini yang menganalisis objek karya sastra dengan hukum dan teori sosiologi untuk merelasikan hubungan sosiologi antara karya sastra dengan masyarakat. Abram 1960 (dalam kurniawan, 2012: 9) menyatakan bahwa : “Dalam klasifikasi pendekatan terhadap karya sastra mengungkapkan pendekatan mimetik, yaitu suatu pendekatan yang menganggap bahwa sastra adalah cerminan kenyataan”. yaitu sosiologi sastra pada sastra sebagai cermin masyarakat, yaitu sejauh mana sastra mencerminkan keadaan masyarakat. Serta selalu menggambarkan dunia yang menggambarkan dunia yang sebenarnya. Oleh karena itu, kenyataan sosial imajiner sastra juga merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya. Dari konsep inilah hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh kenyataan sosial yang sebenarnya. Hubungan sosiologi dan sastra dimediasi oleh fakta sastra. Sastra adalah dunia yang disusun dalam deskripsi kata-kata, atau ada yang menyebut “sastra sebagai dunia kata”, artinya, dunia yang mempresentasikan kehidupan dibangun dan disusun dalam kata. Oleh karena itu, dunia sebagai peristiwa dalam sastra memiliki relasi dengan kondisi sosial masyarakat yang diacu. Hal ini sebagai mana diungkapkan oleh:
Universitas Sumatera Utara
Teeuw (1980:7) yang menyatakan bahwa : “Sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Artinya, konteks peristiwa yang dibangun dan disusun dalam sastra jelas berkaitan dengan budaya dan kondisi sosial yang menginternal dalam diri penulis.” Berbagai cara dapat dilakukan untuk mendekatkan sebuah karya sastra, misalnya melalui apresiasi. Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas hasil seni atau budaya. Natawijaya (1990: 3) mengatakan : Membuat tingkat apresiasi dalam sosiologi sebagai pendekatan sastra, tingkat apresiasi dalam sosiologi sebagai pendekatan sastra. Tingkat apresiasi sastra itu dibagi lima yaitu : “Tingkat penikmat, tingkat penghargaan, tingkat pemahaman, tingkat penghayatan dan tingkat implikasi. Tingkat penikmat dan penghargaan berdasarkan tingkat operasionalnya masih bersifat monoton atau merasa senang serta bersifat pemilikan atau merasa kagum. Sedangkan tingkat pemahaman, tingkat penghayatan dan implikasi berdasarkan tindakan operasional telah bersifat studi dan meyakini akan karya sastra yang diapresiasikan. Selain itu, pendekatan sastra dapat juga dilakukan melalui kritik, kritik adalah upaya menentukan nilai hakiki pada sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberikan pertimbangan melalui pemahaman dan penafsiran yang tepat”. Disamping tingkat apresiasi, ada pula cara lain yang dilakukan dalam upaya mendekati sebuah karya sastra, karya sastra terbagi atas dua yakni berdasarkan bentuk dan isi. Maka cara lain yang penulis maksud adalah berdasarkan isi karya, yang misalnya mengandung nilai agama, psikologi, filsafat dan lain-lain. Meskipun bentuk pendekatan melalui salah satu tingkat apresiasi atau melalui satu jenis kritik, akan tetapi terkandung pendekatan tetap mengutamakan isi karya sastra tersebut. Artinya, mendekati karya sastra itu melalui isi yang dalam hal ini adalah sosiologi.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Teori yang Digunakan Penulis membahas penelitian ini berdasarkan dua teori yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini yaitu, teori struktur dari segi intrinsik dan teori sosiologi sastra yang sesuai sehingga tidak menyimpang dari apa yang diharapkan. 2.2.1
Teori Struktural Untuk melihat unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra diterapkan teori
struktural. Teori struktural diharapkan mendapatkan suatu hasil yang optimal dari karya sastra yang akan dianalisis. Dalam pendekatan struktural dibicarakan unsur-unsur pembentuk cerita yang berkaitan erat dengan pendekatan diluar karya sastra. Fananie (2000: 116) mengatakan bahwa : “Strukturalisme tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya, seperti tema, plot, karakter, setting. Untuk mengetahui keseluruhan makna maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain”. Dari pendapat diatas, analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersamasama menghasilkan makna yang menyeluruh. pendekatan yang bertujuan untuk menganalisis karya sastra berdasarkan unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut dalam suatu hubungan antar unsur pembentuknya. Pada dasarnya penelitian struktur, yaitu suatu penelitian yang membahas unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud adalah, tema, alur, latar dan penokohan.
Universitas Sumatera Utara
1.
Tema Fananie (2000: 84) mengatakan bahwa : “Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah Kebudayaan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul”. Dari pendapat diatas, jelas terungkap bahwa tema adalah suatu hal yang penting dalam
sebuah karya sastra. Tema adalah apa yang ingin diungkapkan pengarang. 2.
Alur atau Plot Siswanto (2008: 159) mengatakan bahwa : “Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesai”. Dari pendapat diatas, menyimpulkan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk
oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Dalam pengertian ini, elemen plot hanyalah didasarkan pada paparan mulainya peristiwa, berkembangnya peristiwa yang mengarah pada : 1. Situation (mulai melukiskan suatu keadaan) 2. Generating circumstances (peristiwa mulai bergerak) 3. Rising action (keadaan mulai memuncak) 4. Climax (puncak cerita) 5. Ending (penyelesaian terhadap konflik)
Universitas Sumatera Utara
3.
Latar atau Setting Fananie (2000: 97-98) mengatakan bahwa : “Setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan dimana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis”. Dari kajian setting akan dapat diketahui sejauh mana kesesuaian dan kolerasi antara
perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan pandangan masyarakatnya. Disamping itu kondisi wilayah, letak geografi, struktur sosial juga akan menentukan watak-watak atau karakter tokoh-tokoh tertentu. Karena itu, fungsi setting dalam sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari masalah yang lain seperti tema, tokoh, bahasa, medium sastra yang dipakai, dan persoalan-persoalan yang muncul yang kesemuanya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. 4.
Perwatakan atau Penokohan Aminuddin (2000: 79-80) mengatakan bahwa : “Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalani suatu cerita disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”. Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita,
selalu memiliki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak ini ada yang disebut dengan pelaku protagonis, yaitu pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca,
Universitas Sumatera Utara
dan pelaku antagonis, yakni pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca. 2.2.2
Teori Sosiologi Sastra Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan sosiologi sastra sebagai landasan teori
dalam menganalisis cerita rakyat Pulau Si Kantan. Menurut teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dan kenyataan, dimana karya sastra itu mencerminkan kenyatan-kenyataan yang mengandung arti luas, yakni segala sesuatu yang berada diluar karya sastra dan yang diacu oleh sosiologi sastra. Kurniawan (2012: 5) mengatakan bahwa : “Sosiologi sastra adalah analisis teks sastra untuk mengetahui strukturnya, dan kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada dalam sastra. Dengan demikian, sosiologi sastra objek kajian utamanya adalah sastra, yang berupa karya sastra sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun pembaca dalam relasi dialektikalnya dengan kondisi masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca sebagai individu kolektif yang menghidupi masyarakat”. Dengan relasi dialektis ini, yang memahami hubungan sastra dengan masyarakat dengan analisis sosiologi, maka peran, pengaruh, dan keadaan masyarakat yang digambarkan. Oleh karena itu, analisis sosiologi sastra berkaitan dengan analisis sosial terhadap karya sastra, baik ideologi sosial pengarang, pandangan dunia pengarang, pengaruh strukturasi masyarakat terhadap karya sastra atau sebaliknya, dan fungsi sosial sastra. Ratna (2003: 2) mengatakan bahwa : “Sosiologi sastra ialah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan seberapa jauh peranannya dalam mengubah struktur kemasyarakatan”.
Universitas Sumatera Utara
Endraswara (2003: 79) mengatakan bahwa : “Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra”. Dengan demikian, sosiologi sastra disini objek kajian utamanya adalah sastra, yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, Maupun pembaca dalam relasi dialektikal dengan kondisi masyarakat yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca sebagai individu kolektif yang menghidupi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara