BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENEITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Ekspektasi Teori ekspektasi / teori harapan mengasumsikan bahwa individu berniat memilih tindakan, tingkat usaha, dan pekerjaan yang memaksimalkan kesenangan yang mereka harapkan dan menyakitkan mereka (Binberg et al., 2007 : 120). Model teori harapan individu merupakan kekuatan motivasi sebagai fungsi dari harapan mereka (probabilitas subjektif bahwa usaha mereka akan memberikan hasil tingkat pertama seperti kinerja), perantaranya (subjektif probabilitas bahwa kinerja akan menghasilkan tingkat kedua). Individu diasumsikan menggabungkan harapan, sarana, dan konsisten dengan yang diharaapkan valensi perhitungan nilai untuk menentukan motivasi mereka terhadap setiap alternatif dan kemudian memilih alternatif dengan kekuatan motivasi tertinggi (Binberg et al., 2007 : 120). Teori Vroom (1964) dalam Binberg et al (2007) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu : ekspektasi, instrumentalis dan valensi.. Menurut Christiawan (2002), seseorang akuntan publik yang independen adalah akuntan publik yang tidak memihak siapapun, dan berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen / pemerinta, tetapi juga pihak lain pemakai laporan keuangan yang mempercayai hasil pekerjaannya. Dalam hal ini, publik beranggapan bahwa auditor harus dapat memberikan jaminan (absolute assurance) terhadap laporan
1
keuangan yang diaudit dan kemungkinan adanya kecurangan dan tindakan illegal harus dapat ditangkis dengan jaminan tersebut. Di lain pihak, secara logika auditor tidak dapat memberikan absolute assurance saja, dan hal ini belum dimengerti oleh publik, apalagi mengenai kecurangan dan tindakan ilegal, karena laporan keuangan dibuat oleh manajemen maka jaminan bahwa laporan keuangan bersih dari fraud belum dapat diberikan oelh audior sepenuhnya. Hal inilah yang menimbulkan expectation gap antara auditor dengan pengguna.
2.1.2 Laporan Keuangan Laporan keuangan disusun dengan maksud untuk menyediakan informasi keuangan suatu perusahaan kepada pihak - pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan di dalam mengambil keputusan. Menurut Munawir (2007:2) menyatakan pengertian laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak - pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut. Sedangkan menurut Sutrisno (2008:9) laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang meliputi dua laporan utama yakni neraca dan laporan laba rugi. Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa laporan keuangan adalah suatu laporan yang menggambarkan posisi keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang dilaksanakan secara konsisten serta dibuat dan disajikan dalam bentuk neraca dan laporan laba rugi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan yang berkualitas adalah laporan keuangan yang berisikan informasi mengenai aktivitas
2
perusahaan yang dapat dipahami, relevan, andal dan mempunyai daya banding. Namun untuk mewujudkan informasi laporan keuangan yang relevan dan andal terdapat beberapa kendala yang dihadapi. Kendala yang dimaksud adalah setiap keadaan yang tidak memungkinkan terwujudnya kondisi yang ideal dalam mewujudkan informasi akuntansi dan laporan keuangan yang relevan akibat keterbatasan (limitations) atau karena alasan-alasan kepraktisan.
2.1.3 Auditor dan Proses Audit 2.1.3.1 Pengertian Auditing Pengertian audit menurut Sukrisno (2004:1) adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Sedangkan pengertian audit menurut Arens et al., (2008:4) mengatakan bahwa “Auditing is accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person”. Berdasarkan definisi tersebut terlihat bahwa dalam melaksanakan audit harus dilakukan oleh orang yang independen dan kompeten. Auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan guna mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti itu. Auditor juga harus memiliki sikap mental independen dan kompetensi orang-orang yang melaksanakan audit tidak akan
3
ada nilainya jika mereka tidak independen dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti (Arens dkk, 2008). Tujuan auditing pada umumnya adalah memberikan suatu pernyataan pendapat mengenai apakah laporan keuangan klien telah disajikan secara wajar dalam segala hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum. Sedangkan auditor bekerja dengan cara menarik sebuah kesimpulan dari suatu proses auditing. Berkualitas atau tidaknya hasil pekerjaan auditor akan mempengaruhi kesimpulan akhir auditor dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi tepat atau tidaknya keputusan yang akan diambil oleh pihak perusahaan. Mautz and Sharaf (1993) menyatakan ada lima konsep dasar yang ada dalam auditing, yaitu: 1) Bukti (evidence), tujuannya adalah untuk memperoleh pengertian, sebagai dasar memberi kesimpulan yang dituangkan dalam pendapat auditor 2) Kehati-hatian dalam pemeriksaan, konsep ini berdasarkan issue yang pokok tingkat kehati-hatian yang diharapkan pada auditor yang bertanggungjawab. 3) Penyajian atau pengungkapan yang wajar, konsep ini menuntut adanya informasi laporan keungan yang bebas (tidak memihak), tidak bias dan mencerminkan posisi keuangan, hasil operasi dan aliran kas perusahaan yang wajar. 4) Independensi, yaitu suatu sikap yang dimiliki oleh auditor untuk tidak memihak dalam melakukan audit, masyarakat pengguna jasa audit memandang bahan auditor akan independen terhadap laporan keuangan yang diperiksanya dari pembuat dan pemakai laporan-laporan keuangan. 5) Etika perilaku, etika dalam auditing, berkaitan dengan konsep perilaku yang ideal dari seorang auditor profesional yang indepeden dalam melaksanakan audit.
4
2.1.3.2
Kualitas Audit Kualitas audit didefinisikan sebagai probabilitas bahwa auditor akan baik dan benar dalam menemukan laporan kesalahan material, keliru atau kelalaian dalam laporan materi keuangan klien (De Angelo dalam Kushayanti 2003). Probabilitas auditor utuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien tergantung pada independensi auditor. Auditor dituntut untuk dapat menghasilkan kualitas pekerjaan yang tinggi karena auditor mempunyai tanggung jawab yang besar tehadap pihak - pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan termasuk masyarakat (Emayanti, 2009). Tetapi lebih lanjut dinyatakan bahwa tidak hanya bergantung pada klien saja, auditor merupakan pihak yang mempunyai kualifikasi untuk memeriksa dan menguji apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2.1.4 Peran Auditor Poerwadarminta (2002) mendefiniskan peran sebagai fungsi atau pengambil bagian dalam suatu kegiatan. Berdasarkan definisi tersebut, peran auditor berarti tugastugas atau jasa-jasa yang diberikan auditor dalam bidang-bidang yang diterjuninya. Prihanto dalam Dewi (2011) mengungkapkan bahwa auditor memiliki peran sebagai bussibess assurance (audit and review), consulting, financial advisory service (financial forecast and projections, merger and acquitition), human resource advisory (other employe benefit and recruitment) dan lain-lain (international service and letigation service). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka peran akuntan publik juga semakin luas. Auditor harus mampu berperan menjadi mediator bagi perbedaan-perbedaan kepentingan antar pelaku bisnis dan masyarakat. Auditor harus mampu menjaga mutu jasa yang diberikannya, serta menjaga independensi, integritas 5
dan objektifitas profesinya. Baneu dan Turley (1993) dalam Ramdhani (2012) mengungkapkan bahwa auditor harus mampu menjamin laporan keungan yang diauditnya tidak menyimpang dari Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), menjamin bahwa prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkannya konsisten dengan periode sebelumnya, dan melaporkan jika kelangsungan hidup perusahaan diragukan.
2.1.5 Kinerja Auditor Kinerja auditor merupakan persepsi dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawab auditor (Ermawan dalam Dewi 2011). Tugas auditor adalah melaksanakan tugasnya sesuai dengan SPAP yang berlaku. Standar auditing yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia adalah: 1) Standar Umum a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c. Dalam
pelaksanaan
audit
dan
penyusunan
laporannya,
auditor
wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2) Standar pekerjaan lapangan a.
Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b.
Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian internal harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
6
c.
Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3) Standar pelaporan a.
Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
b.
Laporan audit harus menunjukan keadaan yang didalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
c.
Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
d.
Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan ata suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang mana auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk dengan jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya. Tanggung jawab auditor menurut Arens dan Loebbecke (2003 : 5) hanya terbatas
pada pelaksanaan pemeriksaan audit dan melaporkan hasilnya sesuai dengan norma pemeriksaan akuntan, yang dengan norma tersebut pada umumnya dapat ditemukan kesalahan/kekeliruan dan penghilangan yang penting. Jika auditor diwajibkan untuk memastikan bahwa semua penyajian dalam laporan tersebut benar, berarti auditor menjadi penanggung jawab atau penjamin dari kebenaran dan keterandalan laporan keuangan. 7
2.1.6 Faktor–Faktor yang mempengaruhi Kinerja Auditor 2.1.6.1 Expectation Gap Ada perbedaan antara apa yang diharapkan masyarakat dan pemakai laporan keuangan dengan apa yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab auditor. Perbedaan ini sering disebut dengan expectation gap (Halim, 2003 : 20). Berikut ini adalah beberapa pengertian expectation gap menurut para ahli dalam Permatasari (2013): a) Menurut Liggio (1974) dalam Gramling & Wallace (1996) Expectation gap adalah perbedaan persepsi antara akuntan independen dengan pemakai laporan keuangan auditan mengenai tingkat kinerja yang diharapkan (expected performance) dari profesi akuntan. b) Menurut Komisi Cohen (AICPA 1978) Expectation gap adalah kesenjangan antara apa yang publik harapkan atau inginkan dengan apa yang auditor dapat dan harapkan layak diperoleh. c) Menurut Monroe & Woodliff (1993) Expectation gap adalah perbedaan tingkat keyakinan antara auditor dan masyarakat tentang tugas dan tanggung jawab yang diasumsikan oleh auditor dan gambaran yang disampaikan oleh laporan audit. d) Menurut Porter (1993) Expectation gap adalah kesenjangan antara harapan masyarakat pada auditor dan kinerja auditor yang dirasakan oleh masyarakat. Jadi, dari pengertian beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa expectation gap merupakan kesenjangan harapan antara masyarakat dan pemakai laporan keuangan
8
terhadap kinerja dan hal yang menjadi tanggung jawab auditor. (Porter, 1993:50) menyatakan bahwa expectation gap itu terdiri dari 2 bagian yaitu: (1) jarak antara apa yang diharapkan publik terhadap apa yang seharusnya para auditor peroleh atau kerjakan (the reasonableness gap). (2) apa yang publik harapkan secara masuk akal, apa yang auditor dapat lakukan dengan baik dan apa yang auditor bisa lakukan (the performance gap). Bidang-bidang dari fungsi attest yang dikutip sebagai bukti dari expectation gap, dengan pengecualian dari wewenang hak “pengawas publik” dari Mahkamah Agung, diperlukan dalam proses audit yang dikerjakan oleh authoritative guidance. Jadi, bisa ada kemungkinan publik mempunyai harapan yang tidak masuk akal tentang sifat dan lingkup dari fungsi attest. Langkah yang tepat untuk mengurangi harapan-harapan ini adalah lewat terekspos atau mengetahui secara luas standar-standar auditing. Jadi, publik bisa jadi tidak paham apa persepsi dan tanggung jawab dari profesi ini. Istilah kesenjangan harapan ini pertama kali muncul di Amerika, ketika masyarakat menilai kualitas kerja auditor tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan. Kegagalan atau memberikan tanda bahaya atas ketidakefisienan perusahaan publik menyebabkan auditor dianggap tidak lagi akomodatif dan kompeten. Hasil kaji ulang Cohen Commision ternyata membuktikan adanya perbedaan harapan antara kinerja aktual dengan harapan masyarakat keuangan di Amerika. Perbedaan ini muncul sebagai akibat terlambatnya organisasi profesi akuntan dan akuntan itu sendiri menyikapi perubahan fenomena dan tuntutan dunia bisnis secara cepat. Organisasi profesi akuntan cenderung bersikap pasif, tidak proaktif. Jika keterlambatan ini terjadi terus-menerus, maka sesungguhnya kesenjangan harapan tidak akan pernah terjembatani.
9
Menurut Humprey (1993) dalam Nasser & Ayuningtyas (2007), terdapat tiga hal yang biasanya menimbulkan kesenjangan harapan, yaitu: 1)
Audit Assurance Para pemakai laporan keuangan menghendaki batasan tanggung jawab auditor lebih dari sekedar memberikan keyakinan yang memadai atas kewajaran laporan keuangan yang diaudit. Investor dan bankir menghendaki auditor menjadi penjamin atas laporan keuangan yang diauditnya. Selain itu, para masyarakat keuangan menghendaki pergeseran tanggung jawab atas deteksi seluruh ketidakberesan dan kecurangan yang terjadi di perusahaan kliennya. Auditor juga diharapkan mampu memberikan tanda-tanda terjadinya ketidakefisienan atas perusahaan klien.
2)
Audit Reporting Masyarakat keuangan menghendaki kehati-hatian auditor dalam menerbitkan opini atas laporan keuangan yang diauditnya. Pemberian opini wajar tanpa pengecualian seharusnya diberikan pada mereka yang sama sekali bersih dari skandal-skandal financial. Investor dan bankir juga menghendaki auditor juga bertanggung jawab tidak hanya kepada pihak manajemen perusahaan. Auditor harus mampu memberikan pertanggungjawaban atas hasil kerjanya kepada pihak - pihak ketiga ketika transaksi keuangan menjadi semakin kompleks dan melibatkan banyak pihak pendana. Dari aspek ini jelas terlihat bagaimana masyarakat keuangan mengharapkan auditor bertindak sebagai polisi yang akan mencegah, mendeteksi dan melaporkan seluruh aktivitas financial yang terjadi saat itu. Auditor, disisi lain bukanlah seorang polisi, tetapi bertindak sebagai konselor atas manajemen, jika memang dibutuhkan saran tersebut oleh manajemen. Selain itu, masyarakat
10
keuangan terlihat belum mengerti secara jelas lingkup pekerjaan auditor dan auditing itu sendiri. Karena alasan itulah, seringkali business failure dianggap sebagai audit failure dan auditor harus bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. 3)
Audit Independence Meningkatnya persaingan bisnis dalam kantor akuntan publik membuat organisasi
profesi
khawatir
akan
menyebabkan
auditor
kehilangan
independensinya. Upaya - upaya dilakukan Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk mempertahankan kliennya dengan cara menurunkan audit fee membuat margin biaya operasional juga harus diturunkan. Sebagai kompensasi penurunan biaya, biasanya prosedur standar juga harus dipenuhi menjadi sangat minimal. Selain itu, kompleksitas dunia usaha membuat jasa yang ditawarkan pihak KAP menjadi meluas, tidak hanya jasa pemeriksaan juga jasa konsultasi manajemen (jasa non atestasi) dan perpajakan. Pelaksanaan dua tugas atestasi dan non atestasi pada satu klien dianggap sangat mempengaruhi independensi auditor dan saat itu belum ada standar dari organisasi profesi atas pemberian jasa tersebut pada saat bersamaan. Kekhawatiran ini kemudian disikapi oleh organisasi profesi dengan dibentuknya aturan moral yang mengatur perilaku bisnis auditor, sehingga terjadi keseragaman perilaku antar profesional akuntan dan memelihara independensinya.
2.1.6.2 Integritas Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusannya. Integritas mengharuskan seorang auditor untuk bersikap jujur dan transparan, berani, bijaksana
11
dan bertanggung jawab dalam melaksanakan audit. Keempat unsur itu diperlukan untuk membangun kepercayaan dan memberikan dasar bagi pengambilan keputusan yang andal (Sukriah dalam Harjanto 2014). Kemudian Wibowo (2012 ; 4) menyebutkan integritas auditor internal menguatkan kepercayaan dan karenanya menjadi dasar bagi pengandalan judgment mereka. Mulyadi (2002 ; 87) menyatakan integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Dalam menghadapi aturan, standar, panduan khusus atau menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Dimana integritas mengharuskan anggotanya untuk menaati standar teknis dan etika. Selain itu juga mengharuskan anggota untuk mengkuti prinsip objektivitas dan kehati – hatian profesioal (Sari, 2011). Sunarto (2003 : 57) menyatakan bahwa integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan prinsip. Dengan integritas yang tinggi, maka auditor dapat meningkatkan kualitas hasil pemeriksaannya (Pusdiklatwas BPKB, 2005).
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Expectation Gap pada Kinerja Auditor Profesi akuntan publik semakin berkembang seiring dengan berkembangnya perusahaan - perusahaan yang semakin membutuhkan jasa akuntan publik untuk menghasilkan suatu informasi keuangan yang relevan dan dapat diandalkan. Namun, dalam kenyataannya seringkali terjadi benturan kepentingan antara pihak pemakai laporan keuangan, auditor ataupun masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan
12
munculnya expectation gap, yaitu adanya kesenjangan harapan antara masyarakat dan pemakai laporan keuangan terhadap kinerja dan hal yang menjadi tanggung jawab auditor. Menurut Boynton et al., dalam Ramdhani (2012), selama pelaksanaan audit terdapat interaksi yang luas antara auditor dengan manajemen. Terhadap laporan keuangan yang telah disusun manajemen, auditor menggunakan pendekatan keraguan profesional (professional skeppticism). Hal ini berarti auditor tidak boleh untuk tidak mempercayai laporan keuangan manajemen, akan tetapi tidak boleh begitu saja menerimanya tanpa memperhatikan kebenaraannya. Selama proses audit berlangsung, manajemen berharap laporan keuangan yang telah disusunnya tersebut dapat diterima oleh auditor dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian. Alasan lainnya seperti yang dinyatakan oleh (Guy (1987) bahwa manajemen membutuhkan informasi keuangan yang handal untuk membuat keputusan. Biasanya ada tujuan tertentu yang dinginkan oleh manajemen yaitu untuk mendapatkan unqualified opinion, sehingga kinerja dari perusahaan yang dikendalikannya dapat dikatakan baik, dan bagi perusahaan yang go public hal itu dapat meningkatkan nilai sahamnya di pasar modal. Lee et al. dalam Nassrullah (2007) melakukan penelitian di Malaysia. Tujuan penelitiannya adalah untuk meneliti apakah terdapat audit expectation gap antara auditor, auditee dan penerimaan manfaat audit. Hasilnya menunjukkan bahwa auditee dan penerima manfaat audit memiliki harapan yang jauh lebih tinggi dibanding auditor itu sendiri. Pemberian kepercayaan kepada auditor dengan memberi peran yang lebih besar untuk memeriksa laporan keuangan perusahaan, telah menjadi bagian penting dalam proses terciptanya akuntabilitas publik. Sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan dalam rangka memberantas praktik kecurangan, kolusi
13
dan nepoteisme. Setiap pemakai laporan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda - beda terhadap informasi keuangan yang diberikan perusahaan. Bahkan diantara kelompok pemakai laporan keuangan tersebut dapat timbul konflik kepentingan (Rahmdhani, 2012). Di Indonesia pemakai laporan keuangan menuntut laporan keuangan auditan yang dapat dipercaya dan menyediakan informasi yang lebih lengkap dan benar sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan. Harapan para pemakai laporan keuangan terhadap laporan keuangan auditan terkadang melebihi apa yang menjadi peran dan tanggung jawab auditor sebenarnya. Semakin banyak tuntutan masyarakat mengenai profesionalisme auditor menunjukkan besarnya expectation gap (Yeni, 2000). Expectation gap terjadi ketika terdapat perbedaan antara apa yang masyarakat atau pemakai laporan keuangan harapkan dari auditor dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh auditor sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya (Yuliati dkk, 2007). Dengan demikian, hipotesis yang didapatkan adalah: H1 : Expectation gap berpengaruh positif terhadap kinerja auditor. 2.2.2 Integritas Memoderasi Pengaruh Expectation Gap pada Kinerja Auditor Auditor merupakan ujung tombak pelaksanaan tugas audit harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki agar penerapan pengetahuan dapat maksimal dalam praktiknya. Mabruri dan Winarna (2010) menyataan bahwa kualitas dari kinerja auditor dapat dicapai jika auditor memiliki integritas yang baik dan hasil penelitiannya menemukan bahwa integritas berpengarh terhadap kualitas kinerja auditor. Integritas juga dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dilakukan dan perbedaan pendapat yang jujur tapi tidak dapat menerima kecurangan prinsip Sukriah dan Harjanto (2014). Sehingga auditor menguatkan kepercayaan dan karenanya menjadi dasar bagi pengandalan atas keputusan mereka. (Wibowo, 2012 : 4) 14
mengemukakan integritas auditor menguatkan kepercayaan dan karenanya menjadi dasar bagi pengandalan atas keputusan mereka. Integritas merupakan kualitas yang menjadikan timbulnya kepercayaan masyarakat dan tatanan nilai tertinggi dari anggota profesi dalam menguji semua keputusannya. Integritas mengharuskan auditor dalam segala hal dapat jujur dan berterus terang dalam batasan objek pemeriksaan. Pelayanan kepada masyarakat dan kepercayaan dari masyarakat tidak dapat dikalahkan demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Semakin baik penerapan prinsip integritas oleh auditor akan cenderung meminimalkan terjadinya expectation gap. Pengaruh expectation gap akan semakin diperlemah dengan prinsip integritas auditor karena prinsip ini akan meningkatkan profesionalnya dalam melaksanakan penugasan auditnya, dengan demikian hipotesis yang didapatkan adalah: H2 : Integritas mampu memoderasi pengaruh expectation gap pada kinerja auditor.
15