ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
BAB II FILOSOFI PENGATURAN TERKAIT ALTERNATIVE REMITTANCE SYSTEM
1.
Hakikat dan Karakteristik dari Alternative Remittance System
a.
Latar Belakang Timbulnya Alternative Remittance System Seiring dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada suatu
negara, terjadi pula peningkatan arus pengiriman uang. Kegiatan usaha pengiriman uang dapat dilakukan baik melalui lembaga bank maupun non-bank. Kegiatan usaha pengiriman uang melalui bank telah memiliki dasar hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 6 huruf e UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah dirubah sebagian dalam UU No. 10 Tahun 1998 yang selengkapnya menentukan : Usaha Bank Umum meliputi : a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan kredit; c. menerbitkan surat pengakuan hutang; d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya: 1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; 2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan suratsurat dimaksud; 3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah; 4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ; 5. obligasi; 6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; 7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya; g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga; h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; k. dihapus l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat; m. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Selain pengiriman uang melalui bank, juga terdapat kegiatan usaha pengiriman uang melalui non-bank. Kegiatan usaha pengiriman uang melalui nonbank dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu lembaga bukan bank (bersifat formal) dan Alternative Remittance System (bersifat informal). Alternative Remittance System yang banyak digunakan oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri untuk mengirimkan uangnya kepada keluarganya yang ada di Indonesia. Keberadaan Alternative Remittance System juga dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu yang terdaftar56 dan yang tidak terdaftar. Secara jelas bentuk-bentuk kegiatan usaha pengiriman uang dapat dibuat dalam tabel sebagai berikut:
56
Berdasarkan Daftar Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang dari Bank Indonesia per periode 16 Maret 2012, jumlah penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang non bank secara informal yang terdaftar berjumlah 88 penyelenggara baik berupa korporasi maupun perorangan sebagaimana dipaparkan dalam Lampiran V.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
Tabel 1. Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU)
KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG (KUPU)
Bank
Non Bank
Lembaga Non Bank
Terdaftar / Legal
- Western Union - Money Gram - PT. Shimacazh Exchange - PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir - PT. Telekomunikasi Indonesia - PT. Telekomunikasi Selular - PT. Indo Express Remittance Sumber : Daftar KUPU terdaftar di Bank Indonesia
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
Alternative Remittance System
Tidak Terdaftar / Illegal
- Kurir perorangan - Perush. Valuta Asing - PT. A.P.E. - SMS GR-ATM - GG Remittance IDRSGD - Deposit Taking Company - Money Changer Ch. - Ky. Remittance - Hawala Sumber: Berbagai artikel website
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative Remittance System dapat berbentuk korporasi (baik badan hukum dan bukan badan hukum) maupun perorangan. Di dalam hal ini terdapat pertentangan antara ketentuan hukum dalam pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2011 yang mensyaratkan penyelenggara wajib berbadan hukum Indonesia dan memperoleh izin dari Bank Indonesia. Sementara syarat dan tata cara perizinan penyelenggara yang diatur PBI Nomor 8/28/PBI/2006 dalam Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa penyelenggara pengiriman uang dapat berbentuk perorangan, badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum. Walaupun PBI Nomor 8/28/PBI/2006 tersebut dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannya lebih rendah dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011, akan tetapi Peraturan Bank Indonesia tersebut masih belum dicabut dan dinyatakan berlaku sampai saat ini sehingga masih menjadi hukum positif di Indonesia.57 Kegiatan usaha pengiriman uang yang telah diatur dalam PBI Nomor 8/28/PBI/2006 memberikan pengertian tentang Pengiriman Uang sebagai berikut: ”Pengiriman Uang adalah kegiatan yang dilakukan kegiatan yang dilakukan penyelenggara Pengiriman Uang untuk melaksanakan perintah tidak bersyarat dari pengirim kepada penyelenggara pengiriman uang untuk mengirim uang kepada penerima.” Di dalam kegiatan usaha pengiriman uang ini terdapat beberapa pihak yaitu:
57
Berdasarkan Daftar Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang di Bank Indonesia per 16 Maret 2012, dari 88 penyelenggara masih ada 15 penyelenggara yang berbentuk badan usaha bukan badan hukum dan 16 penyelenggara yang berbentuk perorangan.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.
41
Penyelenggara Pengiriman Uang adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum di Indonesia yang bertindak sebagai agen pengirim dan/atau agen penerima Pengiriman Uang (Pasal 1 angka 3 PBI Nomor 8/28/PBI/2006).
2.
Pengirim adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan usaha tidak berbadan hukum yang memberikan perintah Pengiriman Uang kepada Agen Pengirim (Pasal 1 angka 7 PBI Nomor 8/28/PBI/2006) Penerima adalah perorangan, badan usaha berbadan hukum atau badan
3.
usaha tidak berbadan hukum yang disebut dalam perintah Pengiriman Uang untuk menerima Uang hasil Pengiriman Uang (Pasal 1 angka 8 PBI Nomor 8/28/PBI/2006) Pasal 2 ayat (1) PBI Nomor 8/28/PBI/2006 telah menentukan bahwa cakupan kegiatan meliputi kegiatan usaha pengiriman uang yang dilakukan: a. kegiatan usaha dari luar wilayah Republik Indonesia ke dalam wilayah Republik Indonesia; b. dari dalam wilayah Republik Indonesia ke luar wilayah Republik Indonesia; dan/atau c. di dalam wilayah Republik Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan usaha pengiriman uang tidak hanya dilakukan oleh bank tetapi juga dapat dilakukan oleh non bank. Kegiatan usaha pengiriman uang yang dilakukan oleh non-bank dapat bersifat formal maupun informal. Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang secara
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
informal menggunakan system yang disebut dengan Alternative Remittance System. Sebelum dibahas lebih dalam tentang Alternative Remittance Systems, perlu dikemukakan pengertian tentang Alternative Remittance Systems dimana menurut beberapa pihak antara lain Financial Action Task Force (FATF) mendefinisikan Alternative Remittance Systems sebagai suatu sistem yang digunakan untuk melakukan pengiriman uang dari suatu lokasi ke lokasi yang lain, yang biasanya beroperasi diluar sistem perbankan. Lebih lengkapnya menurut definisi dari FATF adalah: “any system used for transferring money from one location to another, and generally operating outside the banking channels―.58 Lebih lanjut dijelaskan bahwa Alternative Remittance System yang juga disebut sebagai Informal Value Transfer Systems (IVTS) adalah: “… operators form a parallel, underground financial system aimed at rapidly and effectively moving value within or between jurisdictions, often without being detected by regulators and law enforcement, and usually without available transaction records.59 Sementara itu Charles B. Bowers juga menyinggung keberadaan Alternative Remittance System sebagai berikut: Prior to the September the 11th attacks the international community was well aware of the potential abuse of alternative remittance avenues in the context of money laundering. This is hardly a surprise given the sheer scale of laundered funds globally; according to International Monetary Fund (IMF) estimates, laundered funds account for as much as 5 percent of the global GDP, or $3.6
58
Matteo Vaccani, “Alternative Remittance Systems and Terrorism Financing – Issues in Risk Management, World Bank Working Paper No. 180‖, diakses dari http://siteresources.worldbank.org/FINANCIALSECTOR/Resources/Alternative_Remittances_Syste ms.Pdf, diunduh tanggal 23 Mei 2011, h.1. 59
Desertasi
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
trillion a year. In fact, ―every FATF typologies report since 1996 has noted the use of alternative remittance systems by criminal groups to launder money.‖ 60 Alternative Remittance System juga dapat diartikan sebagai Informal Value Transfer Systems (IVTS) sebagaimana dikemukakan oleh Niko Passas yang dikutip oleh Anand Ajay Shah sebagai berikut: For the purposes of this article, the term ‗Informal Value Transfer Systems,‘ coined by Professor Niko Passas in 1999, shall be used. Passas defines IVTS as ‗any system or network of people facilitating, on a full-time or part-time basis, the transfer of value domestically or internationally outside the conventional, regulated financial institutional systems‘. ‗Value‘ refers to something of ‗monetary or material worth‘. The ‗conventional or regulated financial sector,‘ includes banking networks, stock, commodities and bond markets, as well as official money service businesses like Western Union. Passas amended his definition in a 2003 report jointly commissioned by the US Departments of Justice and Treasury ‗to include any network or mechanism that can be used to transfer funds or value from place to place either without leaving a formal paper-trail of the entire transaction or without going through regulated financial institutions‘.61 Mengacu pada berbagai istilah dan pengertian di atas, pada intinya Alternative Remittance System merupakan pengiriman uang di luar lembaga keuangan resmi dan dilakukan tanpa adanya jejak kertas (formal paper trail) yang memungkinkan penelusuran uang dari pengirim sampai dengan penerima. A ‗formal paper trail‘ refers to standardised documentation that allows a transfer to be tracked from sender to recipient, such as is required for normal bank transfers, or formal fund transfer businesses like Western Union.62 Bahkan lebih lanjut, Niko Passas membedakan dua tipe‘value‘ sebagai berikut: (1) the ‗value‘ of funds (physical 60
Charles B. Bowers, “Hawala, Money Laundering, And Terrorism Finance: Micro-Lending As An End To Illicit Remittance‖, Denver Journal of International Law and Policy, 2009, h. 6. 61
Anand Ajay Shah, “The International Regulation Of Informal Value Transfer Systems‖, Utrecht Law Review, Volume 3, Issue 2 (December) 2007, h. 194. 62
Desertasi
Ibid., h. 195.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
currency), and (2) the ‗value‘ of non-specie items that hold or store monetary or material worth (gold, clothing, machinery, stock certificates, phone cards, etc.). ….. two types of value: (1) ‗funds,‘ and (2) ‗value,‘ with ‗value‘ denoting noncurrency items.63 Di dalam hal ini, Niko Passas memberikan pemahaman yang sangat luas mengenai cakupan value sebagai obyek pengiriman yaitu tidak hanya uang kartal melainkan juga barang-barang yang bernilai. Alternative Remittance System merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk masyarakat dari golongan bawah dan terpencil untuk mengirim dan menerima dana maka hal ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian. Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja secara illegal di luar negeri tentu tidak akan dapat mengirimkan uang bank karena mereka tidak memiliki rekening bank. Kondisi inilah yang menyebabkan semakin maraknya penggunaan pengiriman uang melalui Alternative Remittance System. Menurut Matteo Vaccani, Alternative Remittance System are frequently the only mechanism by which poor or isolated people can send and receive funds and therefore provide an essential service to facilitate economic activity.64 Oleh karena itu dijelaskan lebih lanjut bahwa dibutuhkan pengaturan hukum yang memadai bagi Alternative Remittance System. Policy makers are thus looking for ways to measure and mitigate among others the risks of terrorist financing that ARS pose while ensuring the economic development benefits they bring are not diminished in the process. The World Bank is committed to assist governments in expanding access to financial services in a safe and sound regulatory environment.65
Desertasi
63
Ibid.
64
Matteo Vaccani, loc.cit.
65
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
Keberadaan Alternative Remittance System disamping memiliki peran dalam perekonomian Negara tetapi juga dapat disalahgunakan dalam pendanaan terhadap terorisme. Oleh karena itu maka pemerintah harus meletakkan landasan yang kuat bagi Alternative Remittance System dengan tetap memperhatikan berbagai karakteristik dari Alternative Remittance System yaitu : (1) speed; (2) low cost; (3) reliability. Selengkapnya disampaikan: An essential point to be made is that while the provider of the service may be acting outside the regulated financial sector and thus regulatory oversight, the majority of funds traveling across this channel, as well as the needs met by the same system, are completely legitimate. Speed, low cost, and reliability of transactions are in fact the most appealing characteristics for users. These attributes are the foundation for the success of a circuit that, while originating in the Indian subcontinent and China, has been spreading out to include many economies and communities both within and outside Asia. Informal ARS can be found in major remittance recipients (India, Pakistan, the Philippines, Bangladesh, Sri Lanka, Somalia, Colombia), but also on the opposite end of major remittance corridors (the United States, the United Kingdom, Canada, and the EU).66 Keberadaan Alternative Remittance System yang sekilas tidak nampak di Indonesia, ternyata telah menjadi hal yang dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya jasa pengiriman uang ilegal yang tidak memiliki ijin dan beroperasi diluar sektor keuangan. Kepala Kantor Bank Indonesia Batam telah menyatakan dan mengingatkan kepada masyarakat untuk berhati-hati dan tidak menggunakan jasa pengiriman uang yang ilegal.67
66
Ibid., h. 1-2.
67
Hati-hati, Ratusan Perusahaan Jasa Pengiriman Uang Tak Punya Izin, diakses dari http://www.detikfinance.com/read/2010/05/14/190416/1357343/5/hati-hati-ratusan-perusahaanjasa-pengiriman-uang-tak-punya-izin?f9911023, diunduh tanggal 17 Februari 2011.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
Matteo Vaccani menjelaskan bahwa dasar pelaksanaan dari penyelenggara pengiriman uang dengan sistem Alternative Remittance System adalah berdasar pada 2 hal yaitu pertama adanya kerjasama atau hubungan baik antar pengguna jasa dan penyelenggara jasa dan sedangkan kedua adalah adanya kerjasama atau hubungan baik antar operator (penyelenggara jasa). Tabel 2. Ilustrasi Basic ARS Transaction Model68
Mengenai penanaman atau istilah dari Alternative Remittance System di tiaptiap negara berbeda-beda sebagaimana diungkapkan Matteo Vaccani sebagai berikut: Informal remittance systems exist through a plethora of specific models tailored to the communities of reference, hence the existence of multiple names used in their respective locations. Examples of informal ARS2 include Hawala (Arabic peninsula/Afghanistan), Hundi (India/ Pakistan), Fei ch‘ien, Hui k‘uan, Ch‘iao hui, Nging sing kek (China), Poey Kuan (Thailand), and Bangelap (Indonesia). One of the South American variants of ARS is the Black 68
Desertasi
Matteo Vaccani, op.cit., h.3.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
Market Peso Exchange (BMPE), well-known in connection to Colombian money laundering schemes.69 Penamaan yang berbeda-beda tersebut pada hakikatnya tetap merujuk pada kegiatan usaha pengiriman uang secara informal yang terjadi di berbagai negara termasuk juga di Indonesia. Latar belakang timbul dan berkembangnya Alternative Remittance System juga terpengaruh karena semakin ketatnya lembaga keuangan bank dalam melakukan kegiatan usahanya. Hal ini terbukti melalui adanya kewajiban bank untuk melaksanakan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle), Customer Due Diligence (CDD) bahkan Enhanced Due Diligence (EDD). Bank juga berkewajiban untuk melaporkan segala transaksi yang mencurigakan (Suspicious Transaction Report) serta transaksi tunai tertentu (Cash Transaction Report). Kewajiban ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang serta pendanaan terhadap terorisme. Selengkapnya menurut Elöd Takáts dari International Monetary Fund menjelaskan sebagai berikut: Money laundering gained notoriety: The FBI estimates money laundering volumes up to $1500 billion (Schroeder 2001). Furthermore, terrorists have joined the ranks of money launderers increasing national security concerns. Responding to that, law enforcement agencies paid increasing attention to money laundering offenses. Most importantly, they required banks to report and identify suspicious activities and threatened with fines if they fail to do so.70
69
Ibid., h.4.
70
Elöd Takáts, “A Theory Of ―Crying Wolf‖: The Economics Of Money Laundering, Enforcement‖, Journal of Law, Economics, & Organization, 2011, h. 1.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
Ketatnya dunia perbankan menyebabkan para pelaku kejahatan yang ingin melakukan berbagai kejahatan mencari jalan lain diantaranya melalui Alternative Remittance System. Menurut Mark Butler dan Rachelle Boyle yang turut menyikapi adanya Alternative Remittance System yaitu : Alternative remittance systems are financial services, traditionally operating outside the regulated financial sector, where value or funds are moved from one geographic location to another. There are several methods by which these systems operate and these are often referred to by different terms, including ‗hawala‘, ‗hundi‘, ‗fei-chien‘ and ‗the black market peso exchange‘. As ‗know your customer‘ and other anti-money laundering strategies have been introduced in the formal financial sector, they have had a deterrent effect, which has led to a shift in money laundering activities away to other sectors. Since 1996, jurisdictions have reported a shift in laundering activity from the formal banking sector to the non-bank sector and non-financial businesses. The lack of regulation and anti-money laundering practices makes alternative remittance systems increasingly attractive to money launderers and the financiers of terrorism.71 Pandangan di atas semakin mempertegas bahwa keberadaan Alternative Remittance System dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan lebih-lebih dalam sector keuangan formal telah memiliki prinsip KYC dan AML sehingga pelaku kejahatan beralih memanfaatkan keberadaan Alternative Remittance System. Penyalahgunaan alternative remittance system dalam berbagai kejahatan juga nampak dalam penjelasan yang disampaikan oleh Mark Butler dan Rachelle Boyle sebagai berikut: These systems are widely used by people and businesses for legitimate purposes to send money from one country to another. However, in addition to their use by legitimate clients, jurisdictions have noted alternative remittance systems being used by criminals to launder the proceeds of various criminal activities. From the information available to the Working Group, it is believed 71
Desertasi
Mark Butler dan Rachelle Boyle, op.cit., h.4.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
suspected that the principal source of criminal funds being sent through alternative remittance systems are drug trafficking and the evasion of government taxes and duties. Alternative remittance systems have also been connected with organised people smuggling…This underlines the appeal of alternative remittance systems to people committing serious criminal activity and also those involved in terrorism. The Asia/Pacific Group on Money Laundering (‗APG‘) Working Group on Alternative Remittance and Underground Banking Systems aims to enhance awareness of such systems and make a significant contribution towards reducing the abuse of the systems to facilitate serious criminal activity and terrorism.72 Penyalahgunaan alternative remittance system juga dijelaskan oleh Ross S. Delston dan Stephen C. Walls melalui artikel ilmiah “Reaching Beyond Banks: How To Target Trade-Based Money Laundering And Terrorist Financing Outside The Financial Sector” yaitu dimana terdapat pemindahan uang dengan memanfaatkan suatu perusahaan di Belgia kepada orang perorangan di Timur Tengah yang digunakan sebagai sumber pendanaan terhadap kegiatan terorisme.73 Sejumlah konferensi internasional juga telah dilakukan untuk membahas keberadaan Alternative Remittance System antara lain: International Conference on Hawala, hosted by the Central Bank of the United Arab Emirates, May 2002. Delegates to this conference produced the Abu Dhabi Declaration on Hawala (available via the APG website www.apgml.org). Joint Ministerial Statement from the 9th APEC Finance Ministers‘ Meeting, September 2002. The APEC Action Plan on Combating the Financing of Terrorism attached to that statement includes : i) A call on officials to explore the factors in the formal financial sector which encourage the use of alternative remittance systems. ii) Support for the recommendations made by the APG Working Group in its 2001 report. 72
Ibid., h. 4-5.
73
Ross S. Delston dan Stephen C. Walls, “Reaching Beyond Banks: How To Target TradeBased Money Laundering And Terrorist Financing Outside The Financial Sector‖, dimuat dalam Case Western Reserve Journal of International Law, 2009, h. 7.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
iii) Support the Abu Dhabi Declaration on Hawala. IMF paper Informal Fuinds Transfer Systems: An Analysis of the Hawala System, forthcoming 20035. World Bank Working Paper, The Money Exchange Dealers of Kabul: An Analysis of the Hawala System in Afghanistan, forthcoming 20036. U.S. Treasury (FinCen) report to Congress on Informal Value Transfer Systems, November 20027. 74 Menurut Mark Butler dan Rachelle Boyle, Alternative Remittance System digunakan oleh penyelenggara pengiriman uang untuk memindahkan dana dalam bentuk uang tunai mapun non-tunai antar negara dimana pengiriman tersebut dilakukan atas nama nasabah yang tidak ingin melakukan pengiriman uang melalui bank. Alternative Remittance Systems dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu underground banking dan alternative remittance yang selengkapnya dijelaskan sebagai berikut: Alternative Remittance Systems are operated by entities (‗alternative remittance operators‘) for moving money or other forms of stored value between countries on behalf of customers who do not wish to directly use the ‗formal‘ banking system. Alternative remittance systems can also be called Informal Value Transfer Systems. There are two general types of Alternative Remittance Systems - Underground Banking and Alternative Remittance: Underground Banking involves use of a variety of methods through which funds (or value) are made available at a partner service in the recipient country as a result of an advice sent between the alternative remittance operators. No remittance of money through the regulated financial sector is involved, rather the operators providing this service run ledgers which may at some stage be reconciled through movement of value between countries through a remittance, physical cash carrying, trade (including through invoice manipulation) or via commodities other than cash (eg. gold smuggling). The nature of these systems maintains the anonymity of their customers and the transactions and makes their operations difficult for regulatory authorities to monitor. Alternative Remittance is remittance by alternative remittance operators of funds from clients through the regulated financial sector. These remittances are coupled with techniques designed to conceal the nature of the 74
A Report to the Congress in Accordance with Section 359 of the Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001 (USA PATRIOT ACT), November 2002.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
transaction, such as ‗structuring‘, the use of false bank accounts and/or sender details and commingling of licit and illicit funds. Because these systems use the ‗formal‘ banking system in the process of funds transfer, some of these activities may come to the attention of regulatory authorities.75 Pandangan Mark Butler dan Rachelle Boyle memberikan catatan bahwa Alternative Remittance System digunakan para pengirim yang tidak dapat melakukan pengiriman melalui lembaga keuangan formal serta juga bagi pengirim yang tidak ingin melakukan pengiriman melalui lembaga keuangan formal. Perpindahan dana dalam Alternative Remittance System tidak hanya terjadi tanpa melalui bank melainkan juga dapat terjadi melalui bank. . Pada hakikatnya pengiriman uang yang dillakukan oleh pekerja migrant memiliki berbagai keuntungan dalam perekonomian suatu negara antara lain mengurangi kemiskinan, meningkatkan kewirausahaan serta investasi dibidang pendidikan dan kesehatan, meningkatkan devisa negara, dan lain-lain sebagaimana dipaparkan oleh World Bank : The World Bank listed the following economic advantages that financial remittances can have for the home country (World Bank 2006): • poverty reduction. Remittances led to about 5 to 20 percent of poverty reduction in diverse countries • increase in entrepreneurship and of investment in education and health • increase in the creditworthiness of a country • hence cheaper external borrowing and more access to capital • growth effects Whether remittances increase growth or not is unclear. Some argue that remittances increase growth because the increased inflow of money or capital into a developing country means additional funds available for investment in business and human capital. Others argue that the relationship between
75
Desertasi
Mark Butler dan Rachelle Boyle, op.cit., h. 10.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
remittances and growth is unclear, especially if remittances are not used for investment but are used for consumption and lead to higher inflation.76 Keberadaan pengiriman uang melalui Alternative Remittance System seringkali dilakukan dengan cara menggabungkan dengan usaha lain seperti: Gold / jewellery shops. Money changers. Unregulated financial houses. Foreign exchange and international fax facilities. Other small businesses such as clothing retail, travel agencies and guest houses. Trading companies. Some are conducted from private residences. Some operate with a presence at markets. A very small proportion of larger, more sophisticated alternative remittance enterprises have established websites. Some solicit business through open advertisements in telephone directories, local community press and radio. Generally however, alternative remittance operators advertise by word of mouth or use relatively inexpensive forms of advertising such as distribution of flyers/brochures or placing signs in shop windows.77
Di dalam Laporan APG juga dijelaskan tentang keberadaan Alternative Remittance System adalah di luar sektor keuangan secara formal. International efforts to control alternative remittance systems have until recently been haphazard and lacking in commitment. The approaches to dealing with these systems have differed from jurisdiction to jurisdiction. This can to some extent be attributed to differences in understanding of the nature alternative remittance systems and of the use of such remittance systems by criminal and terrorist groups. It may also be attributed to differences in attitude towards the legitimacy of alternative remittance systems which operate outside of the formal financial sector.78
76
Brigitte Unger dan Melissa Siegel, The Netherlands-Suriname Corridor for Workers‘ Remittances - Prospects for Remittances When Migration Ties Loosen, The World Bank, The Dutch Ministry of Finance, Utrecht School of Economics, 2006, h. 6.
Desertasi
77
Mark Butler dan Rachelle Boyle, op.cit., h. 13-14.
78
Ibid., h. 19.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
Laporan APG menjelaskan bahwa alasan-alasan yang membuat Alternative Remittance System diminati adalah karena kecepatan dalam transaksi, biaya murah, tersedia secara luas yang selengkapnya menjelaskan sebagai berikut: “While the various reasons which make alternative remittance systems attractive – speed of transactions, low cost, wide availability etc – remain, the demand for alternative remittance services will continue‖.79 Selain itu, di dalam APEC Seminar On Securing Remittance And Cross Border Payment From Terrorist Use80 juga dijelaskan berbagai perbedaan antara formal remitters dengan informal remitters (melalui Alternative Remittance System) sebagai berikut: Tabel 3. Perbedaan Formal Remitters dengan Informal Remitters Differences
Formal Remitters
Price Charged Area of Service Record-keeping Reporting duties Method of collection and delivery Speed Specialization v. Mixed business ID of recipient
10-20% Service to main cities Receipt to sender CTR, SAR, etc filed Collection and delivery at agency premises Transfer in days/weeks Orders sent to area serviced Agency specialized in money services Method of communicating Recipient present ID instructions of delivery Method of advertising Instructions by wire Settlement process
79
Conventional adverts
Informal Remitters 0-1,5% Service to remote areas No receipt to sender No reporting to authority At home pick up and delivery service Transfer in hours Order sent via UK, UAE, or Mumbai IVTS mixed with other business Recipient cities code Instructions by fax, telephone, e-mail Word of mouth or ethnic press
Ibid., h. 20.
80
The APEC Seminar On Securing Remittance And Cross Border Payment From Terrorist Use, Jakarta, 22-23 Oktober 2008
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
Berbagai perbedaan di atas telah mendorong maraknya penggunaan pengiriman uang melalui Alternative Remittance System sehingga banyak menyebabkan
terjadinya
penyalahgunaan
Alternative
Remittance
System
sebagaimana dikemukan oleh menurut Nikos Passas, yang dikutip oleh Anand Ajay Shah, sebagai berikut: Professor Passas, after surveying actual IVTS investigations across the globe in his 1999 Report, identified the following as some real world examples of illicit IVTS use: – Evasion of currency controls (capital flight, etc.); – Tax evasion; – The purchase of illegal arms, drugs, or other illegal/controlled commodities; – To make corrupt payments; – Intellectual property violations; – To receive ransom; – To make payments for the smuggling of illegal aliens; – To make payments for illegal trade in body parts; – To further the commission of financial fraud; – To finance illegal activities, such as terrorist attacks; – To launder the proceeds of criminal activities.81 Penyalahgunaan dalam kegiatan usaha pengiriman uang memang lebih mudah dilakukan melalui Alternative Remittance System dimana berbagai bentuk penyalahgunaannya adalah meliputi pelarian modal (capital flight), penyelundupan pajak, kejahatan dalam bidang lalu lintas devisa, pencucian uang, maupun pendanaan terhadap terorisme. Di dalam Laporan Asia Pacific Group juga dibahas tentang penggunaan Alternative Remittance System sebagai sarana bagi kelompok teroris untuk mengirimkan dana dalam rangka pendanaan bagi kegiatan terorisme. Di samping
81
Desertasi
Anand Ajay Shah, op.cit. h. 203.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
itu juga Alternative Remittance System juga terkait dengan perdagangan orang yang terorganisir (organized people smuggling).
b.
Pemaknaan tentang Alternative Remittance System dan Keberadaannya Dalam Sistem Keuangan Mengingat belum ada peristilahan yang baku dalam bahasa Indonesia
tentang Alternative Remittance System, maka dalam penulisan dalam penelitian ini masih digunakan istilah Alternative Remittance System. Pemaknaan istilah Alternative Remittance System dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk kegiatan usaha pengiriman uang secara informal. Namun hal tersebut tidak nampak secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah pengiriman uang mengandung inkonsistensi dalam memberikan pemahaman tentang pengiriman uang. Hal tersebut dalam dilihat dari beberapa istilah yang berbeda-beda untuk mengartikan kegiatan usaha pengiriman uang yaitu sebagai berikut: 1. Di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 memberikan istilah “lalu lintas devisa” untuk segala bentuk perpindahan atau pengiriman uang. 2. Di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 memberikan istilah “kegiatan usaha pengiriman uang” bagi penyelenggara pengiriman uang sebagai salah satu pihak pelapor dan penyedia jasa keuangan.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
3. Di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 memberikan istilah “transfer dana” bagi kegiatan kliring bank, transaksi dengan sistem Real Time Gross Settlement serta kegiatan usaha pengiriman uang. 4. Di dalam PBI No. 8/28/PBI/2006 memberikan istilah “kegiatan usaha pengiriman uang” bagi segala aktivitas pengiriman uang. Oleh karena itu maka dalam penelitian ini terminologi yang digunakan adalah Alternative Remittance System dengan merujuk pada berbagai pengertian yang diberikan berbagai lembaga internasional maupun nasional sebagai berikut : 1. Asia Pasific Group (APG) 1. Eliot Kennedy, Deputy Secretary Asia Pasific Group mendefinisikan Alternative Remittance System sebagai berikut: ―Alternative Remittance System = All forms of money/value transfer (MVT) systems particularly those operating outside of the conventional financial sector‖82 2. Mark Butler & Rachelle Boyle mendefinisikan Alternative Remittance System sebagai berikut: Alternative remittance systems are financial services, traditionally operating outside the regulated financial sector, where value or funds are moved from one geographic location to another. There are several methods by which these systems operate and these are often referred to by different terms, including ‗hawala‘, ‗hundi‘, ‗fei-chien‘ and ‗the black market peso exchange‘ ―From the information available to the Working Group, it is believed suspected that the principal source of criminal funds being sent through alternative remittance systems are drug trafficking and the evasion of government taxes and duties. Alternative remittance systems have also been connected with organized people smuggling. Recent reports indicate that alternative remittance systems have been used by terrorist 82
Elliot Kennedy, dalam The APEC Seminar On Securing Remittance And Cross Border Payment From Terrorist Use, Jakarta, 22-23 Oktober 2008.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
groups to transmit funds for the purpose of funding terrorist activities. Investigation of the September 11, 2001 terrorist attacks has found that both formal banking channels and alternative remittance systems were used to transfer money to the terrorists.‖ 83 2. World Bank Emiko Todoroki, Financial Sector Specialist in The Finance and Private Sector Development Vice Presidency of The World Bank juga menggunakan kata Alternative Remittance System sebagai terminologi salah satu bentuk kegiatan usaha pengiriman uang sebagai berikut: ―.... the World Bank to study global implications of remittance and the alternative value transfer systems, referred to as alternative remittance system (ARS).‖84 3. Financial Action Task Force (FATF) Di dalam FATF International Best Practices 20 Juni 2003 tentang Combating The Abuse Of Alternative Remittance Systems, FATF memberikan pengertian Alternative Remittance System sebagai berikut: ―Alternative remittance systems are financial services, traditionally operating outside the conventional financial sector, where value or funds are moved from one geographic location to another.‖85 4. Center for Microfinance Institutions & Overseas Workers Studies (CEMFIOWS) 83
Mark Butler dan Rachelle Boyle, op.cit., h. 1.
84
Emiko Todoroki dalam The APEC Seminar On Securing Remittance And Cross Border Payment From Terrorist Use, Jakarta, 22-23 Oktober 2008. 85
Financial Action Task Force, Combating The Abuse of Alternative Remittance Systems International Best Practices, 2003, h.1.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
Alternative Remittance System can be breakdown into three areas: 1. ARS operations in which the provider is fully involved in the ML/TF activity. 2. ARS operations in which the provider has some knowledge of the ML/TF or other criminal activities carried out by the customer. 3. ARS operations in which the provider has no knowledge of the ML/TF or other criminal activities carried out by the customer.86 5. AUSTRAC Menurut Stephen Evans, Director of Compliance AUSTRAC, alternative remittance system merupakan bagian dari kegiatan usaha pengiriman uang sebagaimana dikemukakannya: ―Money Service Businesses include money value transfer systems and alternative remittance services.‖87 6. PPATK Alternative Remittance System (ARS) dapat diartikan sebagai jasa pengiriman uang (transfer) yang dilakukan diluar jasa keuangan resmi seperti bank. Pada dasarnya ARS ini dapat membantu proses pengiriman uang antar negara yang dilakukan oleh orang yang mengalami kesulitan untuk memperoleh akses ke jasa keuangan resmi seperti bank.88 7. Patrick M. Jost dari United States Department of The Treasury Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) dan Harjit Singh Sandhu dari INTERPOL/FOPAC ―Hawala is an alternative or parallel remittance system. It exists and operates outside of, or parallel to ―traditional‖ banking or financial channels.‖89
86
Dipo Alam, loc.cit.
87
Steven Evans dalam The APEC Seminar On Securing Remittance And Cross Border Payment From Terrorist Use, Jakarta, 22-23 Oktober 2008. 88 89
Desertasi
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, loc. cit. Patrick M. Jost dan Harjit Sing Sandhu, loc. cit.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
8. Jude McCulloch dan Sharon Pickering menjelaskan pengertian Alternative Remittance System sebagai berikut: Alternative remittance systems are the norm in countries where formal banking is poorly established. Informal systems provide community-based, extremely cost-effective financial services based primarily on cooperation rather than competition and profit. These systems are informal and sometimes paperless because they function with a high level of trust.90 Berbagai terminologi tersebut memberikan pemaknaan tentang keberadaan Alternative Remittance System yang beroperasi di luar lembaga keuangan dan bergerak secara paralel dengan lembaga perbankan untuk melakukan kegiatan usaha pengiriman uang dengan berlandaskan pada kepercayaan. Oleh karenanya dalam istilah yuridis yang nantinya dapat digunakan dalam peraturan perundangundangan yaitu kegiatan usaha pengiriman uang secara informal. Namun mengingat pada saat dilakukannya penelitian ini istilah tersebut belum nampak dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia maka penggunaan istilah dalam penelitian ini tetap menggunakan terminologi Alternative Remittance System. Pengaturan tentang kegiatan usaha pengiriman uang di Indonesia yang terdapat pada PBI Nomor 8/28/PBI/2006 tentang Kegiatan Usaha Pengiriman Usaha jo Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/49/DASP tahun 2008 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang Bagi Perorangan Dan Badan Usaha Selain Bank menjelaskan adanya 2 (dua) kegiatan usaha pengiriman uang yaitu pengiriman bank melalui bank dan pengiriman uang melalui non bank. Kegiatan
90
Jude McCulloch dan Sharon Pickering, “Suppressing The Financing Of Terrorism”, dimuat dalam British Journal of Criminology, 45 Brit. J. Criminology 470, July, 2005, h. 8.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
usaha yang menyelenggarakan pengiriman uang melalui non bank inilah yang salah satunya dapat terjadi melalui Alternative Remittance System. Sehubungan dengan keberadaan Alternative Remittance System dalam sistem keuangan, perlu dipahami terlebih dahulu tentang perekonomian Indonesia yang menganut paham perekonomian terbuka mengakibatkan kontribusi negara atau kawasan lain secara tidak langsung juga berpengaruh pada perekonomian Indonesia.91 Fenomena lain adalah keluar masuknya arus modal asing di Indonesia. Terlebih dengan era devisa bebas, pasar modal dan pasar uang dengan mudah dimasuki dana asing. Begitu ada sentimen dengan cepat terjadi perpindahan dana dalam jumlah besar. Perpindahan dana adalah termasuk dalam sistem pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagai berikut: ”Sistem pembayaran adalah suatu sistem yang mencakup seperangkat
aturan,
lembaga,
dan
mekanisme,
yang
digunakan
untuk
melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.” Pembahasan mengenai sistem pembayaran tak lepas dari adanya payung hukum, mekanisme dan prosedur kebijakan, inovasi infrastruktur pembayaran, dan instrumen pembayaran serta kelembagaan. Seluruh komponen tersebut tak hanya saling berinteraksi namun juga saling melindungi dan melengkapi satu sama lain demi kelancaran sistem pembayaran. Sudah barang tentu hal-hal yang menjadi ruang lingkup sistem pembayaran menjadi concern bank sentral dalam mengambil setiap kebijakan dan menetapkan suatu ketentuan.
91
Desertasi
Bank Indonesia, Laporan Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang, 2010, h. 9.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
61
Di sisi legal, di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia mulai mengemban tugas yang salah satunya adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Pengawasan terhadap sistem pembayaran ini merupakan tugas dari Bank Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagai berikut: Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut: a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; c. mengatur dan mengawasi bank. Landasan hukum tersebut membuat bank sentral secara tegas mengatur dan memperhatikan perkembangan setiap lingkup dari segala sisi sistem pembayaran. Pengaturan sistem pembayaran dalam sistem keuangan dilakukan terhadap lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non-bank. Di dalam Laporan Bank Indonesia tentang Sistem Pembayaran dan Peredaran Uang 2010 dijelaskan bahwa Bank Indonesia juga memperkuat Bank Indonesia juga memperkuat kelembagaan industri pembayaran. Bank Indonesia telah memfasilitasi seluruh komponen industri pembayaran dengan mendirikan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dan Asosiasi Penyelenggara Pengiriman Uang (APPUI). ASPI dan APPUI diharapkan mampu menjadi mitra strategis Bank Indonesia dalam mendorong kondisi dan perilaku pasar yang kompetitif. 92
92
Desertasi
Ibid., h. 10-12.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
62
Sistem pembayaran, sebagai suatu infrastruktur sistem keuangan yang penting, merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung kegiatan perekonomian. Bahkan ukuran kemajuan ekonomi suatu negara sering diidentikkan dengan kemajuan infrastruktur sistem pembayarannya.93 Bahkan dengan pesatnya perkembangan industri keuangan masih menyisakan sebagian masyarakat yang belum dapat memperoleh layanan jasa dan produk keuangan yang paling dasar yang harus dimiliki setiap negara antara lain layanan simpanan, kredit, dan sistem pembayaran. Akses terhadap layanan jasa dan produk keuangan tersebut adalah salah satu persyaratan yang harus dimiliki masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan secara umum dan menjadi alat dalam menunjang kehidupan yang lebih baik. Untuk itu diperlukan peningkatan akses terhadap layanan jasa keuangan agar masyarakat dan pelaku ekonomi dapat melakukan berbagai kegiatan salah satunya akses kepada sistem pembayaran secara efisien, cepat, aman, handal dan melindungi kepentingan masyarakat. Penyelenggara layanan jasa keuangan dalam sistem pembayaran di luar Bank Indonesia saat ini adalah lembaga perbankan dan lembaga non bank, dimana perbankan masih memegang porsi penyelenggaraan terbesar. Meski demikian, akses masyarakat yang rendah terhadap lembaga perbankan yang terkorelasi terhadap rendahnya akses kepada layanan jasa keuangan sistem pembayaran merupakan salah satu hambatan terbesar untuk akses tersebut. Namun di satu sisi, penyelenggara non bank mempunyai akses yang lebih luas kepada masyarakat dibandingkan lembaga perbankan. Melihat potensi 93
Desertasi
Ibid., h. 16.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
63
penyelenggara sistem pembayaran non bank dirasa lebih luas, maka upaya peningkatan
akses
dapat
dilakukan
dengan
memperhatikan
keberadaan
penyelenggara non bank yang selama ini melayani kebutuhan masyarakat. 94 Berbeda dari penjelasan tentang penyelenggaraan kegiatan usaha pengiriman uang non-bank yang menjadi bagian dari sistem keuangan, keberadaan penyelenggaraan kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative Remittance System ternyata tidak menjadi bagian dari sistem keuangan. Keberadaan Alternative Remittance System adalah diluar sistem keuangan sebagaimana dijelaskan oleh Matteo Vaccani yaitu : An essential point to be made is that while the provider of the service may be acting outside the regulated financial sector and thus regulatory oversight, the majority of funds travelling across this channel, as well as the needs met by the same system, are completely legitimate.95 Demikian pula Lisa C. Carroll menjelaskan sebagai berikut : In contrast, alternative remittance systems are not regulated and can handle large cash transactions without leaving a paper trail. Ethnic banking systems are also popular because of their ability to serve remote Asian locations. Their ability to remitte back to isolated villages works to the advantage of drug producers wishing to transfer funds out of those same areas. Finally, the DEA (1994) reports that alternative remittance systems are proving to be faster, cheaper, and more secure than laundering through conventional banking or physical smuggling.96 Lebih lanjut dijelaskan oleh Lisa C. Carroll bahwa Alternative Remittance System merupakan sistem yang telah berjalan selama berabad-abad lamanya yang menyediakan jasa pengiriman uang secara legal. Akan tetapi walaupun sistem
94
Ibid., h. 13-14.
95
Matteo Vaccani, op.cit., h.4.
96
Desertasi
Lisa C. Carroll, op.cit., h. 4.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
64
tersebut adalah legal, dalam perkembangannya Alternative Remittance System kerapkali digunakan sebagai berbagai kejahatan. Hal ini dikemukakan oleh Lisa C. Carroll sebagai berikut : Alternative remittance systems function in an entirely legal capacity when they remit the legitimate earnings of immigrant communities. For centuries these systems have provided legitimate remittance and banking services for the peoples of the Asia/Pacific (Cassidy, 1990; Jost 1997). Whereas the systems themselves remain legal, they are increasingly being used in tax evasion and to provide growth capital and money laundering services for the criminal economy (Drug Enforcement Administration [DEA], 1994).97 Penggunaan Alternative Remittance System tersebut didasarkan salah satunya karena semakin sulitnya kejahatan yang dilakukan karena semakin ketatnya pengaturan hukum dalam sistem perbankan. Recent worldwide legislative efforts have made it slightly more difficult to launder large amounts of cash in the conventional banking system.98 Fungsi atau pemanfaatan Alternative Remittance System pada berbagai aktivitas kejahatan dapat dijelaskan sebagai berikut : It is apparent that alternative remittance systems are functioning on a grand scale to launder the proceeds from a wide range of criminal activities, facilitate tax evasion, and provide a conduit for flight capital. These systems remain untouched by legislation aimed at curbing such activities in a recorded banking sector, and therefore offer an escape from enforcement measures.99 Timbulnya berbagai kejahatan melalui Alternative Remittance System salah satunya juga nampak dalam tindak pidana pencucian uang, sebagaimana dijelaskan oleh Lisa C. Carroll :
97
Desertasi
Ibid., h. 3-4.
98
Ibid.
99
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
65
Money laundering through alternative remittance systems, in contrast, does not carry the risks associated with laundering through the financial sector. Interpol (1991) reports that ethnic banking is essentially no different than banking through conventional channels: in neither system is money actually transported, only debited and credited through the communication of data. The difference with ARSs is that little or no record of the communication remains, so the launderer leaves no trail. Furthermore, problems of risk, speed, and cumbersome sums of cash are not present in the ARS transaction. (Interpol 2000)…Alternative remittance systems function as dependable, efficient tools for laundering criminal proceeds in the Asia/Pacific region. In some ways they mirror the money laundering process in the conventional banking sector, and yet they function outside of the scope of law enforcement provisions designed to curb that process.100 Menurut pendapat Nove and The Commonwealth Secretariat sebagaimana dikutip oleh Lisa C. Carroll menjelaskan alternative remittance system yang banyak terdapat diberbagai Negara (antara lain chop shop di China dan "chiti", "hundi" dan "hawala" di India) merupakan suatu sistem yang terorganisir (organized system) yang tidak hanya beroperasi secara lokal melainkan mendunia (worldwide) dengan karakteristik yang sangat mendasar yaitu adanya trust atau kepercayaan.101 Lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut : In Asian money movement methods (1994), the DEA identifies the Chinese and the hawala or hundi underground banking systems as the two primary systems. These systems are "identical in their adherence to trust, confidentiality, and efficiency" but exhibit some characteristic differences which are recognized by movers of drug money within Asia. The Chinese system is based in Hong Kong and Thailand and known as fei ch‘ien, chop shop, hui kuan, and phoei kwan. It is based on ethnic trust, strengthened regionally and locally by bonds of ethnic subgroups, and as such, it is the preferred method for moving operating funds and profits within Asia. However, the DEA contends that the Chinese system is not as prominent internationally. As few Chinese systems exist in North America, remittances through the Chinese banking system lack convenience and the element of trust guaranteed by a large, interdependent network. They found that the hawala system, with its prevalence in North America, is regarded among the Chinese heroin traffickers as a more trusted network and
Desertasi
100
Ibid., h.8- 9.
101
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
66
therefore used as the primary overseas movement method for Chinese heroin profits. Quite the contrary, Willoughby (1990) acknowledges the presence of a large Vietnamese system within the United States that is used extensively by the Vietnamese community for both legal and illegal remittances. The DEA (1994) mentions the Vietnamese system in stating that "most ethnic groups worldwide have an underground banking system of some form", but does not mention whether these systems are thought to differ from the two main systems.102 Penjelasan ini semakin mempertegas keberadaan Alternative Remittance System pada berbagai negara bukan merupakan hal yang baru dan telah digunakan secara meluas bahkan mendunia. Keberadaan Alternative Remittance System yang juga sangat mempengaruhi Lalu Lintas Devisa juga disampaikan sebagai berikut : Profit in alternative remittance systems is generated either by charging a commission for remittance or by manipulation of official exchange rates. Many nations in the Asia/Pacific region employ exchange controls to regulate the flow of foreign and domestic currency across their borders. Exchange rates are set by the national central banks, and deviation from such rates is illegal. Ethnic bankers have lower business overhead than banks, enabling them to offer better rates of exchange than the official exchange rates and still profit from the transaction.103 Penyelenggara jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System memiliki keuntungan dari komisi yang cukup besar, terlebih lagi bila transaksi yang dilakukan adalah transaksi ilegal. Menurut Lisa C. Carroll sebagai berikut : Nove (1991) and the Commonwealth Secretariat (1998) both speak of one predominant hawala system, but differ on its method of generating profit. Nove says revenue is created through exchange rate differentials, whereas the Commonwealth Secretariat contends that all alternative remittance proceeds come from commissions. They quote a rate of 0.25% to 1.25% for legal remittances and 15% to 20% for illegal transactions. Saltmarsh (1988) sets the commission rate for hawala transactions between 0.25% and 0.65%.
Desertasi
102
Ibid., h. 9-10.
103
Ibid., h. 11.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
67
Concerning alternative remittance in Asian-oriental areas, FOPAC (1998) finds commissions of 0.5% in Japan, and the Commonwealth Secretariat cites 20% for Vietnam (1998). Transactions in Hong Kong profit from a set fee of HK$50 plus manipulation of exchange rates (Carroll, 1995).104 Keberadaan Alternative Remittance System bukan merupakan hal yang asing pada banyak negara. Tercatat sejumlah 21 negara yang di dalamnya terdapat Alternative Remittance System antara lain Australia, Bahrain, Hong Kong, China, India, Indonesia, Israel, Japan, Kuwait, Malaysia, Nepal, New Zealand, Oman, Pakistan, Korea, Filipina, Sri Lanka, Saudi Arabia, Thailand, Turki dan Vietnam. Hal ini dipaparkan oleh Lisa C. Carroll sebagai berikut : Response to the survey instruments provided a working sample of 25 Interpol member countries in the Asia/Pacific, 21 of which report some form of alternative remittance system operating within their borders. Countries in the region not reportedly experiencing ethnic banking systems are Brunei, Darussalam, Cyprus, and Jordan. The study finds that alternative remittance systems function within Australia, Bahrain, Hong Kong, China, India, Indonesia, Israel, Japan, Kuwait, Malaysia, Nepal, New Zealand, Oman, Pakistan, the People‘s Republic of China, the Republic of Korea, the Republic of the Philippines, Sri Lanka, Saudi Arabia, Thailand, Turkey, and Vietnam. The responses of these 21 countries that affirm the existence of ARSs within their national boundaries comprise the data set.105 Melalui pemaparan tersebut ditunjukkan bahwa Alternative Remittance System berfungsi diberbagai negara salah satunya adalah Indonesia. Walaupun penanaman pada Alternative Remittance System antara negara yang satu dapat berbeda dengan negara yang lain sebagaimana dideskripsikan sebagai berikut: Another eight countries, although each not specifically naming their system, report its interconnectedness with the currencies and peoples of the Asianoriental region. The Hong Kong, China "unregulated remittance centers" are reported to be Chinese in origin, serve the local Chinese, Vietnamese, Thais, Indians, Nepalese, and Filipinos, and deal in most South East Asian
Desertasi
104
Ibid., h. 11-12.
105
Ibid., h. 17-18.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
68
currencies. Similarly, the Japanese system has Chinese, Korean, Nepalese, Thai, Myanmarese, Iranian, and Filipino clientele, and is said to function identically to the systems existing in those nations. Korean alternative remittance has close connections with Japan, as does the Thai system phoe kwan. Ethnic banking in Thailand is also strongly linked to Taiwan and Saudi Arabia. Filipinos, as well as Chinese, patronize the system in the Philippines. Finally, although no specific ethnicity is attributed to the clientele of the Vietnamese system, the Indonesian "bangelap" (dark bank), or the Chinese "di xia qian zhuang" (underground money shop), these national systems appear in the majority of Interpol member countries in the Asian-oriental region.106 Pada hakikatnya, keberadaan Alternative Remittance System yang berada di luar sektor keuangan formal terus meningkat karena adanya berbagai faktor yaitu: ethnic bases, illegal activities, client, profits, trust and payment, receipts and paper trails, debt settling. Terkait dengan masalah pembayaran dijelaskan : Eight of the 21 countries reporting remittance systems in the Asia/Pacific request payment from the client before the transaction is carried out. Systems in Bahrain, Indonesia, the Republic of Korea, Malaysia, New Zealand, Oman, Pakistan, and Thailand require payment made to the banker or an account at the beginning of the remittance sequence.107 Hasil penelitian yang dilakukan tentang penyelenggara jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System memberikan hasil yang menunjukkan bahwa di dalam Alternative Remittance terdapat kepercayaan (trust) dan hubungan kesamaan etnik (ethnic networking) sebagaimana dikemukakan sebagai berikut : …indeed, each expert surveyed reiterated the foundation of trust and ethnic networking that underlies these systems. Hong Kong, China found that the element of trust was bolstered by some connection to triads. ….108 Systems in Interpol member countries of the Asian-oriental region--Hong Kong, China, Indonesia, Japan, People‘s Republic of China, the Republic of Korea, the Republic of the Philippines, Thailand, and Vietnam--evince a great deal of interconnectedness among them. They tend to launder the proceeds of 106
Desertasi
Ibid.
107
Ibid., h. 21.
108
Ibid., h. 22.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
69
the drug trade, gambling, and human traffic. Most of these systems do not operate under the umbrella of exchange controls, and, consequently, do not facilitate capital flight and are free to advertise their services. Remittance operations in Asian-oriental systems are conducted by telephone and facsimile machine, with written receipts likely not given….109 Pelaksanaan dari hawala di India yang merupakan bagian dari Alternative Remittance System dijelaskan oleh Charles B. Bowers sebagai berikut : Hawala, in its most basic delineation, is ―money transfer without money movement,‖ without movement in formal financial institutions that is. Upon customer request, a US-based hawaladar - a hawala operator - will call, fax, or email their hawaladar associate in Pakistan, for example, with the specifics of the transaction (i.e. amount and password only - no names are used). This Pakistan-based hawaladar will then pay the requested amount out of his/her own funds, and in local currency, upon receiving the agreed upon password from the recipient. The only paper trail might be a notation, often encoded or in a little-known dialect (e.g. Gujarati or Memoni), of the debt obligation in internal books. The funds are distributed, often delivered right to the door of the intended recipient, all within a course of minutes, without receipts or paperwork, and all outside of formal financial institutions.110 Padahal keberadaan jasa pengiriman uang/remitansi sangat meningkat dan berperan penting dalam perekonomian global. Charles B. Bowers menjelaskan sebagai berikut : “The money that migrant workers send back to their countries of origin - play a large and ever growing role in the global economy‖. Bahkan menurut Ezra Rosser dalam makalah yang berjudul “Immigrant Remittances‖, peningkatan dalam kegiatan pengiriman uang atau remitansi dari para pekerja di luar negeri merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kemiskinan. Selengkapnya dijelaskan sebagai berikut: It is probably not surprising that the impact of remittances on poverty and inequality is less than straightforward. After noting that ―very little attention has been paid to analyzing the poverty impact of these financial transfers on 109 110
Desertasi
Ibid., h. 24-25. Charles B. Bowers, op.cit., h. 1.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
70
developing countries,‖ a recent study on global migration and remittances tentatively concluded, ―on average, a 10% increase in per capita official remittances will lead to a 3.5% decline in the share of people living in poverty.‖ While ―[r]emittances are not a panacea for poverty reduction,‖ they do play an important role, albeit one that is highly contextual and varies across countries.111 Pada dasarnya Alternative Remittance System ini dapat membantu proses pengiriman uang antar negara yang dilakukan oleh orang yang mengalami kesulitan untuk memperoleh akses ke jasa keuangan resmi seperti bank.112 Bahkan menurut PPATK, walaupun perkembangan jasa layanan perbankan semakin pesat dan semakin mudah akan tetapi penggunaan Alternative Remittance System semakin banyak diminati oleh masyarakat. Dipilihnya pengiriman uang secara alternatif disebabkan oleh beberapa faktor antara lain relatif rendahnya biaya pengiriman dan relatif lebih cepatnya waktu penyampaian uang kepada penerima dibandingkan dengan jasa transfer yang disediakan secara resmi oleh industri keuangan.113 Berbagai penjelasan di atas semakin menunjukkan penyelenggara jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System yang walaupun berada di luar sektor keuangan formal namun pemanfaatannya semakin meningkat.
Prinsip-prinsip dalam Penyelenggaraan Alternative Remittance System
c.
111
Ezra Rosser, “Immigrant Remittances‖, dimuat dalam Connecticut Law Review, November, 2008, h.4-5.
Desertasi
112
Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan, loc.cit.
113
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
71
Matteo Vaccani menjelaskan bahwa dasar pelaksanaan dari penyelenggara pengiriman uang dengan sistem Alternative Remittance System adalah berdasar pada 2 hal yaitu pertama adanya kerjasama atau hubungan baik antar pengguna jasa dan penyelenggara jasa dan sedangkan kedua adalah adanya kerjasama atau hubungan baik antar operator (penyelenggara jasa).114 Elemen yang sangat penting dan mendasari dalam hubungan kerjasama dalam penyelenggaraan jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System adalah ―Trust‖ (kepercayaan). Para pengguna jasa menaruh kepercayaan terhadap penyelenggara jasa, sementara antara operator dalam penyelenggara jasa juga saling memiliki kepercayaan. Hal ini juga dikemukakan oleh Lisa C. Carroll sebagai berikut : The most basic, underlying characteristic common to the long-standing ethnic banking systems of the Asia/Pacific region is a strong cultural sense of honor and trust. A powerful sense of community and familial identity underscores many of the region‘s cultures, and translates to an ethnic sense of affiliation and obligation in both the home communities and in immigrant communities abroad. These cultural ties are the pillars of every transaction.115 Selain itu berbagai karakteristik yang menyebabkan para pengguna jasa memilih penyelenggara jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System yaitu karena adanya alasan-alasan : affordability, physical access dan eligibility. Affordability. Unregulated ARS are able to offer their transfer services at extremely competitive prices, often undercutting almost any formal competitor. Decisive in this case is the strong trust among operators and between providers and users, which helps limit transaction costs. Similarly, costs are contained by escaping regulatory burdens, by sharing fixed costs with an existing business in which the ARS is embedded, and avoiding rigid foreign exchange controls. 114 115
Desertasi
Matteo Vacani, op.cit., h.3. Lisa C. Carroll, op.cit., h. 2.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
72
Physical access. When facing embryonic or inexistent formal financial infrastructure, as in the case of many developing rural areas, ARS often provide a much needed alternative to cash smuggling. In general, the growth of ARS has been found to be negatively correlated to the level of development of local financial sectors. Eligibility. By avoiding AML/CFT requirements that are common in the formal sector, ARS operators can accept clients and establish a relationship with them more easily than their formal sector counterparts. This is particularly so in the case of customer due diligence (CDD) obligations. Typically, banks and other formal financial system operators are required by law to meet certain know-your-customer (KYC) rules which can sometimes work as a barrier to the business relationship and, ultimately, to providing access to financial services. Conversely, operators of informal ARS do not generally implement the same CDD procedures, allowing them to reach a wider range of clients, especially those who lack or are unwilling to provide identity documentation.116 Selain itu juga karakteristik tersebut dipengaruhi adanya unsur kesamaan etnis atau agama yang mendasari adanya kepercayaan dalam Alternative Remittance System. Extremely strong trust between clients and operators is equally of paramount importance. As the features described above, this characteristic suggests how informal ARS are essentially a grassroots channel, often created on the basis of pre-existing trust relationships, and molded to fit the needs of specific local communities.117 Hal lain yang membuat para pengguna jasa memilih menggunakan penyelenggara jasa pengiriman uang dengan Alternative Remittance System adalah karena tidak adanya kewajiban untuk memberitahukan hal ikhwal mengenai pengiriman uang tersebut serta tidak adanya penyimpanan dokumen. A further incentive to use informal ARS is the typical approach to record keeping adopted by the sector. In general, customer records referring to single transactions are destroyed after the completion of the operation, or kept in aggregate for settlement purposes. Therefore, in the absence of specific regulation and corresponding compliance, informal transactions do not leave audit trails, making subsequent investigations particularly challenging, and terrorists relatively safe from rapid tracing of disbursed funds. Even when an
Desertasi
116
Ibid.
117
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
73
IVTS operator is found to have connections to terrorist groups, the identification of actual individual transactions involved in TF remains a daunting task. Equally challenging in several cases has been the successful prosecution of individuals implicated in ARS-based TF cases.118 Senada dengan pandangan yang disampaikan oleh Matteo Vaccani bahwa menurut Mark Butler dan Rachelle Boyle, Alternative Remittance System digunakan karena adanya kesamaan kultur dan alasan-alasan lain. Alternative remittance systems are more entrenched in some regions than others for cultural and other reasons. Underground banking is a long-standing tradition in many countries in Asia and the Arabian Gulf, pre-dating the spread of Western banking systems in the 19th and 20th centuries. These services operate primarily to provide transfer facilities to neighbouring jurisdictions for expatriate workers repatriating funds. It is acknowledged that the majority of the funds which are transmitted through alternative remittance systems are from legitimate sources. Alternative remittance services provide a legitimate and efficient financial service in many jurisdictions. The principal threat posed by the existence of these services is the opportunity they present to unscrupulous individuals to transfer the proceeds of criminal activities. Notwithstanding the legitimacy of many AR & UBS transactions, the principal concern is its vulnerability to misuse by individuals and groups seeking to launder the proceeds of criminal activity. Not only do unregulated alternative remittance systems permit funds to be sent anonymously but few, if any, records are kept and the remittances are principally conducted outside of the regulated formal banking system. This facilitates the money launderer to be able to freely send funds without needing to identify himself and in a manner which means it is extremely difficult, if not impossible, to trace after the transaction has been completed.119 Penggunaan Alternative Remittance System dalam penyelenggaraan jasa pengiriman uang semakin lama semakin meningkat karena adanya alasan-alasan murahnya biaya, kecepatan pengiriman, efisiensi waktu, kesamaan kultur, kerahasiaan pengiriman, menghindarkan diri dari pembatasan valuta asing, daya
Desertasi
118
Ibid., h. 10.
119
Mark Butler dan Rachelle Boyle, loc.cit.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
74
jangkau pengiriman sampai ke pelosok. Selengkapnya alasan-alasan tersebut dikemukakan sebagai berikut: The alternative system can be cheaper, faster and more efficient than official channels. Alternative remittance providers are often available outside the normal banking business hours. Long established cultural practice. The identity of those moving money through these systems is hidden from governmental authorities. Little, if any, identification or completion of paperwork is required. Bank accounts do not need to be opened. Assets are protected against seizure by government. Foreign currency exchange restrictions are avoided. Money can be sent to / from locations where the formal banking system does not operate.120 Secara eksplisit dengan penjelasan di atas, di dalam penyelenggaraan Alternative Remittance System terdapat berbagai prinsip yaitu trust (kepercayaan), cultural familiarity (kesamaan etnis), serta anonymity yang menjadi kekuatan dan sekaligus menjadi daya tarik dalam pemanfaatan Alternative Remittance System. Berbagai prinsip tersebut harus dilandasi dengan Prinsip Non-Diskriminatif, Prinsip Kesimbangan Kepentingan dan Prinsip Integritas dalam pengaturannya.
d. Alternative Remittance System Dalam Berbagai Dimensi Hukum Pada hakikatnya kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative Remittance System sama halnya dengan kegiatan usaha pengiriman uang melalui bank yaitu merupakan suatu kegiatan bisnis yang memiliki dimensi hukum privat yaitu hukum perdata karena adanya berbagai kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam pengiriman uang tersebut antara lain: 120
Desertasi
Ibid., h. 10-11.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
1.
75
Kesepakatan antara pihak pengirim dengan pihak penyelenggara pengirim
2. Kesepakatan antara pihak penyelenggara pengirim dengan pihak penyelenggara penerus 3.
Kesepakatan antara pihak penyelenggara penerus dengan pihak penerima.
Proses pengiriman uang melalui Alternative Remittance System dalam dimensi hukum privat yang menekankan pada kesepakatan para pihak dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4. Proses Pengiriman Uang dalam Dimensi Hukum Perdata PROSES PENGIRIMAN UANG DALAM DIMENSI HUKUM PERDATA Pengirim Kesepakatan Pengirim vs Peny. Pengirim - Pengirim menyerahkan uang - Pengirim membayar fee - Penyelenggara Pengirim mengirimkan uang ke penerima sesuai jumlah dan secara tepat waktu
Penyelenggara Pengirim Prinsip-prinsip : - General Principles for International Remittance Services - Pasal 3 UU 3/2011 Th 2011
Penyelenggara Penerus
Penerima
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
Kesepakatan Peny. Pengirim vs Peny. Penerus - Penyelenggara Pengirim mengirimkan uang ke Penyelenggara Penerima sesuai instruksi Pengirim - Penyelenggara Penerus mengirimkan uang ke Penerima sesuai jumlah dan tepat waktu Kesepakatan Peny. Penerus vs Penerima Penyelenggara Penerus menyerahkan uang kepada Penerima sesuai jumlah dan tepat waktu Penerima menerima dengan baik uang kiriman
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
76
Berbagai kesepakatan tersebut di atas merupakan bagian dari hukum perdata yang berlandaskan pada Buku ke-3 Burgerlijk Wetboek dan kesepakatan tersebut dilandasi oleh prinsip-prinsip dalam General Principles for International Remittance Services yaitu maupun prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011. Berbagai prinsip dalam Transfer Dana merupakan landasan bagi kegiatan usaha pengiriman uang karena pengiriman uang merupakan bagian dari kegiatan transfer dana. Kegiatan transfer dana meliputi berbagai kegiatan yaitu kliring antar bank, Sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) dan kegiatan usaha pengiriman uang (Money Remittances)121 Kegiatan transfer dana di Indonesia menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media yang digunakan.122 Apabila dilihat dari aspek keperdataan, sebagaimana hukum perdata mengatur hubungan antar individu123, kegiatan usaha pengiriman uang dapat menimbulkan berbagai kerugian yang dialami oleh pengguna jasa karena berbagai alasan antara lain adanya kegagalan atau keterlambatan penerimaan uang karena ketidakmampuan kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative Remittance System dalam menyelesaikan proses pengiriman uang. Berbagai kerugian yang dialami tersebut akan menimbulkan tanggung gugat pada pihak-pihak yang terkait.
121
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Komunikasi Dan Informatika, Bank Indonesia, Rancangan Undang-Undang Transfer Dana-Urgensi Dan Manfaat, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, 2010, h. 6. 122
Konsiderans huruf a Undang-undang Nomor 3 Tahun 2011
123
Djasadin Saragih, Suatu Pengantar Asas-Asas Hukum Perdata Jilid Pertama (saduran dari karya A. Pitlo: ‖Het Systeem van het Nederlanse Privaatrecht‖), Alumni, Bandung, 1973, h. 8.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
77
UNCITRAL Legal Guide On Electronic Funds Transfers memberikan pengertian tentang Funds Transfer yaitu : ―Movement of funds between the transferor and the transferee‖. Berdasarkan pengertian dari UNCITRAL Legal Guide On Electronic Funds Transfers, UNCITRAL Model Law On International Credit Transfers dan Electronic Fund Transfers Act, USA, 1978 menyimpulkan pengertian dari transfer dana diartikan sebagai perpindahan dana antara pengirim dan penerima dalam bentuk transfer kredit maupun transfer debit yang dilakukan secara elektronik maupun non-elektronik. Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 2 PBI No. 8/28/PBI/2006 menentukan : “Pengiriman Uang adalah kegiatan yang dilakukan penyelenggara Pengiriman Uang untuk melaksanakan perintah tidak bersyarat dari pengirim kepada penyelenggara pengiriman uang untuk mengirim uang kepada penerima”. Kegiatan usaha pengiriman uang sebagai bagian dari transfer dana merupakan kegiatan bisnis yang membutuhkan pengawasan agar penyelenggaraan kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Pengawasan tersebut dapat ditinjau dari dimensi hukum publik dalam hukum administrasi. Pihak yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan transfer dana adalah Bank Indonesia. Hal ini karena Bank Indonesia memiliki berbagai tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UndangUndang No. 23 Tahun 1999 yaitu (a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; (c) mengatur dan mengawasi bank. Kewenangan dalam bidang transfer dana merupakan bagian dari sistem pembayaran. Kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
78
sistem pembayaran adalah berkaitan dengan penyelenggaraan transfer dana baik yang dilakukan oleh bank maupun non-bank termasuk diantaranya adalah penyelenggaraan pengiriman uang melalui Alternative Remittance System. Tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam sistem pembayaran tersebut adalah merupakan bagian dalam hukum administrasi. Penggunaan wewenang pemerintah dalam hal ini adalah Bank Indonesia selaku bank sentral adalah melaksanakan fungsi public service. Untuk dapat memahami bahwa kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran adalah bagian dari hukum administrasi, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu tentang definisi hukum administrasi. Menurut HB. Jacobini sebagaimana dikutip oleh Tatiek Sri Djatmiati dalam makalah ―Faute Personelle dan Faute De Service Dalam Tanggung Gugat Negara” menggunakan definisi hukum administrasi sebagai berikut : Definitions of administrasi law contain several or all of the following components : control of administration, the legal rules, both internal and external, emerging from administrative agencies, the concerns and procedures pertinent to remedying legal injury to individuals caused by government entities and their agents, and court decisions pertinent to all or to parts of these.124 Selain itu menurut Laubadere sebagaimana dikutip dalam bukunya Philipus M. Hadjon yaitu “Administrative law as the branch of public internal law which embraces the organization, and the activity which is currently called the
124
Tatiek Sri Djatmiati, “Faute Personelle Dan Faute De Service Dalam Tanggung Gugat Negara‖, makalah disampaikan dalam Mata Kuliah Pengembangan Keilmuan dan Keahlian Dalam Program Pascasarjana S3 Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 3 Agustus 2011, h.1.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
79
administration”.125 Pengertian hukum administrasi menurut Jennings yaitu administrative law is the law relating to the administration.126 Mengacu pada pengertian tersebut maka nampak secara eksplisit bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang memiliki otoritas di bidang keuangan merupakan bagian dari administrative agencies. Sebagai otoritas dibidang keuangan, Bank Indonesia tidak hanya berwenang untuk mengatur dan mengawasi perbankan nasional saja tetapi juga mengatur dan mengawasi sistem pembayaran nasional. Kewenangan Bank Indonesia tersebut diwujudkan dengan cara mengatur penyelenggara jasa transfer dana sebagai bagian dari hukum administrasi dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Terkait
dengan
tugas
mengatur
dan
menjaga
kelancaran
sistem
pembayaran, Bank Indonesia memiliki kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, yaitu: a. melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran; b. mewajibkan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya; c. menetapkan penggunaan alat pembayaran. Berbagai kewenangan yang diatur dalam pasal tersebut menunjukkan adanya kewenangan memberikan persetujuan dan izin untuk penyelenggara jasa sistem pembayaran menyelenggarakan kegiatan transfer dana atau kegiatan usaha pengiriman uang. Selain itu kewenangan Bank Indonesia juga dalam hal mewajibkan penyelenggara jasa transfer dana untuk menyampaikan laporan atas 125
Philipus M. Hadjon, et.al., Hukum Administrasi Dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, h. 7. 126
Desertasi
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
80
kegiatannya. Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia pada hakikatnya adalah untuk menjaga kelancaran dalam kegiatan usaha pengiriman uang agar tidak mengganggu sistem perekonomian khususnya dalam lalu lintas devisa. Pengawasan dalam bidang lalu lintas devisa bertujuan untuk mencegah timbulnya dampak negatif dalam perekonomian, memungkinkan otoritas moneter untuk memperoleh data yang akurat sebagai dasar untuk menentukan kebijakan moneter yang tepat, serta untuk menentukan posisi neraca pembayaran internasional. Kegiatan usaha pengiriman uang yang disatu sisi merupakan kegiatan bisnis yang lebih berapek keperdataan dan administrasi akan tetapi hukum pidana dapat ikut campur dalam kegiatan tersebut mengingat terjadinya penyalahgunaan di dalamnya. Penyalahgunaan dalam Alternative Remittance System antara lain dibidang lalu lintas devisa, transfer dana, pencucian uang, pendanaan terhadap terorisme, narkotika, sarana untuk capital flight, tax evasion, dan berbagai kejahatan ekonomi lainnya. Secara lebih jelas, potensi kejahatan dalam bidang pengiriman uang dapat digambarkan sebagai berikut:
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
81
Tabel 5. Proses Pengiriman Uang dalam Dimensi Hukum Pidana PROSES PENGIRIMAN UANG DALAM DIMENSI HUKUM PIDANA
Pengirim Kejahatan: Penempatan uang hasil kejahatan (placement) Pengiriman uang kejahatan kepada grupnya (cth: sindikat narkotika, perdagangan orang, perdagangan senjata dll) Pengiriman uang tanpa pelaporan kepada otoritas moneter Penyelenggaraan pengiriman uang secara ilegal - Pendanaan terhadap kegiatan terorisme
Penyelenggara Pengirim Kejahatan: Penggelapan uang pengirim Pelapisan uang hasil kejahatan (layering) Pengiriman uang tanpa money movement Pelanggaran ketentuan lalu lintas devisa - Penyelenggaraan pengiriman uang secara illegal (pelaku kejahatan yang berkedok sebagai penyelenggara pengiriman uang)
Kejahatan: - Tax avoiding - Capital Flight - Impor / ekspor fiktif
Penyelenggara Penerus Kejahatan: Penggelapan uang pengirim Pengintegrasian uang hasil kejahatan (integration) - Penyelenggaran uang tanpa pelaporan terhadap
otoritas moneter
Penerima Kejahatan Ekonomi
Perlu ikut campurnya hukum pidana
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
82
Penyalahgunaan kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative Remittance System sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru di dunia karena di berbagai negara telah menunjukkan aktivitas ilegal tersebut sebagaimana dipaparkan oleh Lisa C. Carroll sebagai berikut : The issue of illegality in alternative remittance systems arises in the generation of the fund surplus necessary to conduct remittances, as well as in the type of funds moving through the systems. Interpol (1991) lists several methods by which ethnic bankers illegally generate funds, although no method is attributed to a specific system of remittance. The illegality inherent in most of the methods is due to violation of exchange controls, and therefore only applies to components of the system operating under currency restrictions. …. Interpol (2000) points out that hawala itself is illegal in India and Pakistan, as currency speculation or dealings offering any rate other than the official exchange rate are prohibited. Moreover, India‘s Foreign Exchange Regulation Act of 1976 makes the invoice manipulation component of hawala a violation of customs regulations as well as exchange controls. Illegality in the hawala system also arises in the financing of gold and silver smuggling (Interpol, 1991; Mirza, 1996) and in the movement of profits from the sale of drugs and armaments (DEA, 1994; Nove, 1991).127 Selain itu, berbagai aktivitas kejahatan juga dijelaskan sebagai berikut : Criminal activity is also facilitated by Asian-oriental alternative remittance systems. Accounts of the Chinese banking system feature the laundering of heroin and other drug profits through the ethnic banking network (Cassidy, 1990; DEA, 1994). The Japanese system is highly involved in organized criminal activities, and has ties to alien smuggling networks in China (FOPAC, 1998). Finally, networks operating in the Philippines have become popular vehicles for laundering drug money and ransom (Dobson, 1993).128 Penjelasan Lisa Caroll tersebut menunjukkan bahwa berbagai penyalahgunaan dalam kegiatan usaha pengiriman uang yang terjadi di negara lain contohnya India berupa pelanggaran dibidang kepabeanan, lalu lintas devisa, pendanaan terhadap penyelundupan batu berharga, pergerakan hasil keuntungan perdagangan obat bius. 127 128
Desertasi
Lisa C. Carroll, op.cit., h. 14. Ibid., h. 14-15.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
83
Selain itu juga penyalahgunaan pengiriman uang melalui Alternative Remittance System yang terjadi di Asia berupa sebagai sarana perdagangan obat bius, penyelundupan, serta sebagai sarana dari pencucian uang. Kejahatan yang timbul dari keberadaan Alternative Remittance System salah satunya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dijelaskan sebagai berikut : Thirteen of the 21 Interpol countries experiencing alternative remittance systems find that they function as a money laundering tool. These countries, scattered throughout the region and displaying no apparent pattern, are Hong Kong, China, India, Indonesia, Japan, Nepal, Pakistan, People‘s Republic of China, the Republic of Korea, the Republic of the Philippines, Sri Lanka, Thailand, Turkey, and Vietnam. Money laundering through alternative remittance systems is considered a possibility in Australia. Two countries, Oman and Bahrain, report that laundering is not a function of ethnic banking. The five remaining respondents were unable to comment on a possible relationship.129 Laporan dari Interpol menjelaskan bahwa Alternative Remittance System yang menjadi sarana bagi pencucian uang juga dialami di negara negara termasuk Indonesia. Hal ini yang menyebabkan perlu turut campurnya hukum pidana dalam kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative Remittance System sebagaimana fungsi hukum pidana adalah melindungi kepentingan negara dan masyarakat (utilitarian approach). Selain pengguna Alternative Remittance System dalam tindak pidana pencucian uang, perbuatan jahat yang terjadi melalui penyelenggara Alternative Remittance System adalah adanya pelarian modal (capital flight). Hal ini juga terjadi di Indonesia sebagaimana dipaparkan : The illegality involved in obtaining foreign currency and transporting currency across borders is dependent upon the presence of exchange controls at the 129
Desertasi
Ibid., h. 19.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
84
national level. Therefore, alternative remittance is in itself criminal in countries where exchange controls exist to regulate the flow of currency across their borders. Exchange controls exist in 12 of the 21 Interpol countries reporting ARSs: Bahrain, India, Indonesia, Kuwait, Malaysia, Nepal, Oman, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, Turkey, and Vietnam. However, in many of these countries, the routine remittance activities of ethnic banking systems that predate state-imposed currency restrictions are not policed, but rather are accepted and embraced within society. Some countries on the Indian subcontinent even report that ARSs are used by certain government officials and by businessmen who travel abroad to augment the inadequate foreign currency released to them because of foreign exchange restrictions.130 Deskripsi ini tentu sangat menunjukkan kaitannya antara penyelenggara jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System dengan Lalu Lintas Devisa. Berbagai keuntungan dari perdagangan obat bius, penyelundupan senjata api, penyelundupan logal mulia, terorisme, korupsi, perjudian dan perdagangan orang akan disamarkan/disembunyikan melalui keberadaan Alternative Remittance System dinegara tersebut. Pandangan senada dikemukakan pula oleh J. Orlin Grabbe yang menjelaskan bahwa dalam proses pengiriman uang melalui hawala sebagai salah satu bentuk dari Alternative Remittance System, terjadi perpindahan dana terhadap exporters, drug traffickers, tax evaders, corrupt politicians dan bahkan terrorists.131 Menurut Lisa C. Carroll : Money associated with the drug trade is laundered through ARSs in Hong Kong, China, India, Indonesia, Nepal, Pakistan, the People‘s Republic of China, the Republic of the Philippines, Sri Lanka, Thailand, Turkey, and Vietnam. Remittance systems in India, Sri Lanka, and Turkey encounter profits from arms smuggling. The Indian system also launders funds from smuggled gold and precious stones, terrorism, and corruption. Similarly, hundi or hawala is used in Pakistan to move money from gold smuggling and corruption. Sri Lanka makes a distinction between the hundi 130
Ibid.
131
J. Orlin Grabbe, “In Praise of Hawala”, dimuat dalam The Laissez Faire Electronic Times, Vol 1, No 13, May 13, 2002, h.1.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
85
and hawala systems in that only the hawala system is used to launder the proceeds of illegal activities. Apart from monies derived from arms and drug smuggling, Sri Lanka hawala launders cash connected to terrorism and blackmail. The ethnic banking systems of Hong Kong, China, Indonesia, Japan, and the Republic of the Philippines are used to launder illegal gambling profits, and the proceeds of human traffic, including alien smuggling and ransom, are washed through alternative remittances in India, Japan, the People‘s Republic of China, the Republic of the Philippines, and Vietnam.132 Terkait dengan kejahatan yang terjadi atas keberadaan Alternative Remittance System di Indonesia bahkan telah diamati oleh dunia internasional sebagaimana dikemukakan oleh Lisa C. Carroll sebagai berikut : Similarly, of the four countries in the region known to advertise, only Indonesia has restrictions on currency movement. However, advertisement in Indonesia does not directly mention the underground banking system, but instead makes reference to "improving" money. The close association between the presence of exchange controls and the use of advertisement suggests that caution is required in inferences concerning systemic trends in this aspect of alternative remittance.133 Diharapkan dengan mengetahui berbagai bentuk kejahatan yang melibatkan penyelenggara jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System, maka dapat dilakukan berbagai upaya yang efektif untuk menanggulanginya. “Understanding the nature and operation of the alternative remittance systems in the Asia/Pacific region is a necessary step towards effective measures in an area where laundering has thus far escaped international enforcement efforts‖.134 Salah satu alasan yang menyebabkan maraknya pengiriman uang melalui Alternative Remittance System atau Informal Value Transfer System juga disampaikan oleh Dipo Alam: “The IVTS is flexible and is not bureaucratic. Legal 132
Lisa C. Caroll, op.cit., h. 20.
133
Ibid., h. 21.
134
Desertasi
Ibid., h. 25.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
86
and illegal (undocumented) MWs are not required to fill out application forms, as required by formal banking procedures. it is anonymous, there are not records, there is no need to adequate identification and it doesn‘t leave a paper trail.”135 Adanya fleksibilitas serta kemudahan untuk tidak mengisi formulir aplikasi, sebagaimana dilakukan dalam perbankan, sehingga tidak menimbulkan identitas serta jejak data menyebabkan semakin diminatinya penggunaan Alternative Remittance System . Berbagai kelebihan yang diberikan oleh Alternative Remittance System sebagai jasa pengiriman uang secara informal sebagaimana dipaparkan di atas menyebabkan semakin maraknya penggunaan Alternative Remittance System. Namun maraknya penggunaan Alternative Remittance System telah menyebabkan berbagai kelemahan yang berpotensi menimbulkan berbagai pelanggaran antara lain : 1. Penyelenggara Alternative Remittance System yang tidak memiliki ijin usaha sebagai Penyelenggara Pengiriman Uang. Bank Indonesia (BI) mencatat ada ratusan penyelenggara jasa Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) non bank di Indonesia tidak mempunyai izin. BI hanya mencatat sebanyak 60 penyelenggara KUPU yang mendapatkan izin resmi dari BI. 136 2. Penyelenggara Alternative Remittance System tidak memberikan laporan atau memberikan laporan yang tidak sesuai atas kegiatan usaha 135
Dipo Alam, loc. cit.
136
http://www.detikfinance.com/read/2010/05/14/190416/1357343/5/hati-hati-ratusanperusahaan-jasa-pengiriman-uang-tak-punya-izin?f9911023, loc. cit.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
87
pengiriman uang kepada Bank Indonesia sehingga tidak mencerminkan transaksi lalu lintas devisa yang terjadi sesungguhnya. 3. Penyelenggara Alternative Remittance System tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian dan customer due dilligence dalam melakukan kegiatan pengiriman uang sebagaimana dilakukan oleh penyelenggara pengiriman uang melalui bank. 4. Penyelenggara
Alternative
Remittance
System
yang
merupakan
pengembangan dari bisnis yang lain baik dalam bidang keuangan maupun bukan lembaga keuangan misalnya: gold shop, money changer, perusahaan telekomunikasi. Jika dahulu hanya perbankan dan perusahaan jasa keuangan yang mengurusi bisnis pengiriman uang. Kini tidak lagi, berbagai perusahaan tertarik pada bisnis yang lebih dikenal dengan sebutan remitansi ini. Termasuk perusahaan telekomunikasi, setelah koleganya PT Telkomsel, PT XL Axiata Tbk dan PT Indosat Tbk lebih dulu merambah bisnis remitansi.137 5. Penggunaan Alternative Remittance System untuk perusahaan-perusahaan melakukan upaya penggelapan pajak (tax avoiding) atau melakukan pelarian modal (capital flight).
137
http://arsipberita.com/show/telkom-rambah-bisnis-pengiriman-uang-149387.html., “Telkom Rambah Bisnis Pengiriman Uang”, diunduh tanggal 15 Juli 2011
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
88
Sebagaimana dikemukakan oleh Patrick M. Jost dari United States Departement of he Treasury Financial Crimes Enforcement Network (FinCEN) dan Harjit Singh Sandhu dari INTERPOL/FOPAC: Many people in these countries have money that they would like to move to another country due to concerns about stability, to pay for education or medical treatment. hawala provides a ready means of doing this, and its use as facilitator of ―capital flight‖ on both large and small scales is very common. 138 Kondisi ini menunjukkan penggunaan Alternative Remittance System untuk melakukan pelarian modal baik dalam skala yang besar maupun kecil. 6. Penyelenggara Alternative Remittance System tidak memberikan laporan tansaksi tunai (cash transaction report) atau laporan transaksi mencurigakan (suspicious transaction report) kepada PPATK. 7. Penggunaan Alternative Remittance System untuk memudahkan kegiatan tindak pidana pencucian uang maupun pendanaan kegiatan terorisme guna menghindari perbankan yang semakin ketat. Sebagaimana Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya disingkat PPATK) menyatakan: “Dalam perkembangannya, jasa ARS dapat disalahgunakan oleh sebagian orang untuk kegiatan pencucian uang atau pendanaan kegiatan terorisme, mengingat ARS tidak terdeteksi dalam sistem keuangan”.139
138 139
Desertasi
Patrick M. Jost dan Harjit Singh Sandhu, loc.cit. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan, loc.cit.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
8. Penyelenggara
Alternative
Remittance
System
89
tidak
melakukan
pengarsipan untuk dapat memberikan paper trail bagi setiap transaksi yang dilakukannya. 9. Penyelenggara Alternative Remittance System yang masih berbentuk perorangan (bukan badan hukum) menyebabkan tidak adanya pemisahan harta kekayaan pribadi dengan dana milik nasabahnya. Memang kasus-kasus kejahatan yang melibatkan penyelenggara pengiriman uang melalui Alternative Remittance System belum nampak di Indonesia mengingat di Indonesia belum terdapat ketentuan pidana yang secara eksplisit mengatur tentang Alternative Remittance System. Namun dalam hal ini dapat diketahui berbagai kasus kejahatan yang melibatkan penyelenggara pengiriman uang melalui Alternative Remittance System yang terjadi di luar negeri sebagaimana dirangkum dari paparan Patrick M. Jost dan Harjit Singh Sandhu140 sebagai berikut: 1. Perdagangan Narkotika Berbagai kasus perdagangan narkotika yang melibatkan penyelenggaraan pengiriman uang antara lain: a. Pada pertengahan tahun 1997, beberapa orang telah terbukti bersalah mempergunakan jasa pengiriman uang untuk melakukan persekongkolan pencucian uang atas hasil kejahatan perdagangan heroin dan opium di Pakistan. (yang dikutip dari Patricia Gonzalez (1997) “Ex-Corona Man Guilty of Laundering Drug Money; 68-year-old Aided International ‗Kingpin‘‖ The Press-Enterprise (Riverside, California), 4 Juli 1997)
140
Desertasi
Patrick M. Jost dan Harjit Singh Sandhu, loc.cit.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
90
b. Pada tahun 1985, pengadilan di Inggris menghukum Mr. Choraria karena dianggap mengetahui terjadinya pengiriman uang secara ilegal untuk keperluan perdagangan heroin dari India ke negara lain. Mr. Choraria memiliki 2 (dua) bisnis yang sah yaitu lembaga pendanaan ekspor impor dan bisnis pengiriman uang. Dalam kasus ini, Mr. Choraria dianggap telah memperantarai transfer dana antara para pihak yang ada di Karachi dan Mumbai sebagai bagian dari penyelundupan heroin. (R v. Choraria Court of Appeal (Criminal Division) 27 Maret 1985). 2. Terorisme Berbagai kasus terorisme yang melibatkan jasa pengiriman uang melalui Alternative Remittance System antara lain: a. Penyelidikan atas pembunuhan politisi India yang terungkap bahwa para pembunuh merupakan teroris yang mempergunakan jasa pengiriman uang dengan Alternative Remittance System (Hawala) untuk mentransfer hasilhasil perdagangan narkotika kepada pengedar senjata api untuk membeli peralatan militer. b. Rangkaian pengeboman di India yang didanai oleh pengiriman uang melalui hawala. Dari hasil penyelidikan diungkap bahwa dana-dana yang menopang kegiatan pengeboman (khususnya dana yang digunakan untuk membeli bahan peledak dan membayar pengebom) adalah ditangani oleh para operator hawala di Inggris, Dubai dan India. 3. Welfare Fraud
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
91
Berbagai imigran yang bekerja di USA dituduh melakukan kejahatan dengan cara mengirimkan sejumlah besar uang yang tidak sesuai dengan profil dan karakteristik pekerjaannya ke beberapa negara lain. 4. Pelanggaran Bea Cukai dan Pajak Warga negara Pakistan yang tinggal di Washington D.C. telah melakukan pengiriman uang dalam skala besar untuk kepentingan pihak-pihak lain dengan menggunakan Alternative Remittance System , dimana pengiriman uang tersebut digunakan untuk membayar import peralatan bedah yang dibuat di Pakistan dengan harga di atas harga yang tertera secara resmi pada invoice (over-invoicing). Tuduhan yang dijatuhkan kepada terdakwa dalam kasus tersebut adalah berupa pelanggaran bea cukai, pembuatan laporan palsu dan pelanggaran pajak.141 5. Perjudian Hawala tidak hanya digunakan sebagai Alternative Remittance System tetapi juga sebagai alternative banking system dalam transaksi perjudian. Hal ini dikemukakan oleh Patrick M. Jost dan Harjit Singh Sandhu sebagai berikut: Hawala has been used not only as an alternative remittance system but as an alternative banking system in a South Asian gambling operation. Currency control laws made it nearly impossible for citizens of one country to take money to gamble in another, and there are similar problems with bringing gambling winnings back into the country. The gambling operators have engaged hawaladars to accept money ―on deposit‖from gamblers, and pay winnings through them as well. this is something of a testimony to 141
United States of America, Plaintiff-Appelle, v. Ismail, Defendant-Appellant. United States of America, Plaintiff-Appelle, v. Shakeel Ahmad, a/k/a Javed Iqbal, Defendant-Appellant, United States of America, Plaintiff-Appelle, v. Mian Tauqir Ahmed, a/k/a Tauqir Ahmed, DefendantAppellant. United States of America, Plaintiff-Appelle, v. Mohammad Bashir, Defendant-Appellant. No. 95-5299, No. 95-5324, No. 95-5325. 97 F.3d 50; 1996 U.S. App. LEXIS 25229; 96-2 U.S. Tax Cas.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
92
the reliability of hawala. During a conversation with one of the authors of this paper, one of the principals in this gambling operation reported that this had been going on for nearly twenty years without any significant difficulties.142 Untuk mengetahui apakah keberadaan jasa pengiriman uang dapat mengancam keamanan negara, menurut Charles B. Bowers menjelaskan : There are many reasons, but two in particular, that suggest why these numbers should be viewed with a modicum of skepticism. Firstly, there is a lack of uniformity in remittance classification. In many countries, companies which would otherwise be classified as money transmitters are considered commercial entities rather than financial institutions, and are, therefore, exempt from many of the regulatory, oversight, and reporting requirements. In addition, remittances which are paid through post offices are seldom reported to financial authorities (as is the case in the US). As such, those transactions also escape inclusion in remittance data. Secondly, the levels of reporting, and thus the adequacy of the data collected, vary from country to country. For example, even where money transfer companies are required to register as financial institutions, they often fail to report both the number and value of remittance transactions. Another point that needs to be emphasized is that these figures represent only those flows passing through formal channels. While ―most countries do not measure remittances that occur through informal channels,‖ international bodies do, and their figures are in the tens of billions of dollars. Some commentators, like professor Roger Ballard, place international levels higher still: ―[u]nrecorded flows moving through informal channels . . . are conservatively estimated to amount to at least 50 percent of recorded flows.143 Salah satu hal yang sangat membuat Alternative Remittance System
menjadi
pilihan sarana untuk mengirimkan uang adalah karena kesamaan kultur atau sebagaimana disebut oleh Nikos Passas dari Northeastern University, yaitu “cultural inertia”. ….within many hawala networks, and other informal remittance systems, the core of trust among operators still consists of familial ties. Further,
Desertasi
142
Patrick M. Jost dan Harjit Singh Sandhu, loc. cit.
143
Charles B. Bowers, op.cit., h. 2-3.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
93
they continue to be ethnically exclusive in the services they provide (e.g. you must be Vietnamese to access the Vietnamese system).144 Berbagai bentuk penyalahgunaan yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa Alternative Remittance System yang sebenarnya merupakan suatu kegiatan bisnis dengan aspek keperdataan memerlukan hukum pidana untuk masuk dan turut campur mengatur. Penyalahgunaan dalam Alternative Remittance System termasuk sebagai kejahatan ekonomi yaitu regulatory crimes. Hukum pidana digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi berbagai penyalahgunaan dalam Alternative Remittance System baik dibidang lalu lintas devisa, transfer dana, pencucian uang, pendanaan terhadap terorisme, narkotika, sarana untuk capital flight, tax evasion, dan berbagai kejahatan ekonomi lainnya.
2.
Alternative Remittance System dalam Pengaturan Lalu Lintas Devisa
a.
Hakikat dan Tujuan Pengaturan Lalu Lintas Devisa di Indonesia Di dalam Pembukaan UUD RI 1945 alinea keempat menyatakan secara
tegas sebagai berikut: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
144
Desertasi
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
94
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Landasan filosofis sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 14945.145 Oleh karena itu kalimat “... memajukan kesejahteraan umum” dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan landasan filosofis bagi segala kegiatan perekonomian. Kesejahteraan umum merupakan landasan dari sistem perekonomian yang ada di Indonesia. Tugas pemerintah mengatur setiap kegiatan perekonomian merupakan upaya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Pada hakikatnya, perekonomian nasional juga merupakan sarana yang harus ikut menciptakan masyakarat yang adil dan makmur, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diatur dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Namun kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk melaksanakan ketertiban dunia khususnya terkait dengan perekonomian global. Perekonomian nasional harus turut serta melaksanakan ketertiban dunia. Oleh karenanya pengaturan terhadap lalu lintas devisa sebagai bagian dari perekonomian nasional harus juga tersinkronisasi dengan pelbagai instrumen internasional. Sila kelima Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber hukum, juga merupakan landasan filosofis dalam setiap kegiatan perekonomian. Oleh karenanya pengaturan terhadap segala kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative 145
Desertasi
Lampiran I Butir 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
95
Remittance System sebagai bagian dari sistem perkonomian memiliki landasan filosofis pada Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila yang pada hakikatnya bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum. Penjabaran Pembukaan UUD 1945 khususnya terkait dengan kegiatan perekonomian di Indonesia memiliki landasan konstitusional dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menentukan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.146 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang.147 Asas demokrasi ekonomi memiliki berbagai prinsip perekonomian dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia 1945: prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Berbagai prinsip ini merupakan landasan dalam setiap kegiatan perekonomian nasional. Berbagai prinsip tersebut merupakan hukum dasar yang menjadi dasardasar normatif sebagaimana dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut: UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai tahun 2002, merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia. Isinya mencakup dasar-dasar normatif yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political
Desertasi
146
Hasil Amandemen Keempat UUD Negara Republik Indonesia 1945
147
Hasil Amandemen Keempat UUD Negara Republik Indonesia 1945
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
96
control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform) serta sarana perekayasaan (tool of social and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa. Belajar dari kekurangan sistem demokratis politik diberbagai negara di dunia, yang menjadikan UUD hanya sebagai konstitusi politik, maka UUD ini juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Karena itu, UUD ini dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik di bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara tingkat abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee).148 Di dalam upaya mendorong pembangunan ekonomi nasional salah satu alat dan sumber pembiayaan yang sangat penting adalah Devisa. Keterkaitan antara devisa dengan perekonomian nasional nampak dalam bagian konsiderans UndangUndang No. 24 Tahun 1999 yang menjelaskan: a. bahwa kesinambungan pembangunan nasional harus dipelihara berdasarkan keadilan yang merata dan diarahkan untuk terwujudnya perekonomian nasional yang bernafaskan kerakyatan, mandiri, andal dan mampu bersaing dalam kancah perekonomian internasional yang ditunjang dengan sistem devisa dan sistem nilai tukar yang dapat mendukung tercapainya stabilitas moneter guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa devisa merupakan salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting bagi bangsa dan negara, oleh karena itu pemilikan dan penggunaan devisa serta sistem nilai tukar perlu diatur sebaik-baiknya untuk memperlancar lalu lintas perdagangan, investasi dan pembayaran dengan luar negeri; c. bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan keadaan, oleh karena itu perlu diadakan pembaruan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b dan huruf c perlu ditetapkan Undang-Undang baru tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar; Mengingat
makna
dari
kegiatan
usaha
pengiriman
uang
dapat
diidentifikasikan sebagai kegiatan perpindahan uang, maka pembahasan tentang 148
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, h. 27.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
97
lalu lintas devisa sangat penting untuk dikaji dalam korelasinya dengan kegiatan usaha pengiriman uang. Pada hakikatnya pengiriman uang merupakan perwujudan dari kegiatan lalu lintas devisa. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999, devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional. Di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 dijelaskan bahwa untuk meningkatkan penerimaan Devisa, sejak tahun 1970 Pemerintah telah menerapkan sistem Devisa Bebas. Sistem Devisa Bebas memberikan kebebasan untuk memiliki dan menggunakan Devisa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999: (1) Setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa. (2) Penggunaan Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk keperluan transaksi di dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Untuk memperjelas pemahaman tentang kebebasan memiliki dan menggunakan Devisa, penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 telah menjelaskan sebagai berikut : Yang dimaksud dengan bebas memiliki Devisa adalah bahwa penduduk yang memperoleh dan memiliki Devisa tidak wajib menjualnya kepada negara. Yang dimaksud dengan bebas menggunakan Devisa adalah bahwa penduduk dapat secara bebas melakukan kegiatan Devisa antara lain untuk perdagangan internasional, transaksi di pasar uang, dan transaksi pasar modal. Kebebasan untuk memiliki dan menggunakan Devisa tersebut menimbulkan terjadinya Lalu Lintas Devisa dimana menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 24 tahun 1999, Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
98
kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antarpenduduk. Mengacu pada definisi kegiatan Lalu Lintas Devisa ini jelas menunjukkan eratnya korelasi dengan kegiatan usaha pengiriman uang. Masyarakat selaku penduduk dapat dengan bebas memiliki devisa serta menggunakan devisa. Melalui pemberlakuan Sistem Devisa Bebas tersebut diharapkan oleh pemerintah akan meningkatkan minat dan keinginan dari masyarakat khususnya investor asing untuk masuk ke Indonesia dan menanamkan modalnya di Indonesia. Namun kebijakan Sistem Devisa Bebas yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia dapat menjadi penyebab terjadinya krisis moneter sebagaimana disampaikan oleh Kwik Kian Gie. Melalui Sistem Devisa Bebas terdapat banyaknya transaksi lalu lintas Devisa yang tidak terpantau dan terdeteksi dengan baik. Hal serupa juga dikemukakan oleh Anwar Nasution dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Sebagai berikut : Krisis keuangan di Asia yang terjadi pada dasarnya bersumber dari kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Reformasi keuangan yang terjadi pada awal tahun 1980-an ternyata hanya memberikan peningkatan kuantitas lembagalembaga keuangan dan kuantitas aliran modal yang masuk (capital inflow) ke suatu negara. 149 Peningkatan kuantitas pengiriman uang sebagai Lalu Lintas Devisa menimbulkan gejolak sebagaimana diungkapkan oleh Anwar Nasution sebagai berikut: “Terjadinya gejolak di pasar uang, pasar valas dan pasar modal serta
149
Anwar Nasution, Masalah-masalah Sistem Keuangan Dan Perbankan Indonesia, Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, Dan Agenda Kedepan, disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI tanggal 14-18 Juli di Denpasar, h. 350.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
meningkatnya
ketidakpastian
(uncertainty)
dapat
99
mengakibatkan
semakin
memburuknya adverse selection dan moral hazard yang pada gilirannya mengakibatkan runtuhnya kestabilan sektor keuangan.”
150
Lebih lanjut
dikemukakan pula bahwa untuk kasus Indonesia, gejolak nilai tukar negara-negara regional memiliki pengaruh paling utama yang menyebabkan terjadinya krisis yang berkepanjangan.
Kuatnya
tekanan
terhadap
rupiah
mengakibatkan
ketidakmampuan Bank Indonesia untuk menyangga pita intervensi (band intervention) yang ada sehingga sistem nilai tukar mengambang bebas (Free floating system) menjadi salah satu alternatif sistem nilai tukar yang akhirnya dipilih untuk tetap menjaga cadangan devisa.151 Pemerintah akhirnya menerapkan kewajiban untuk melakukan pemantauan Lalu Lintas Devisa. Hal ini dijelaskan sebagai eksplisit dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 sebagai berikut : Penerapan sistem Devisa bebas tanpa diikuti dengan kebijakan pemantauan Lalu Lintas Devisa dan penentuan Sistem Nilai Tukar dapat menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Untuk mencegah dampak negatif tersebut, Sistem Devisa Bebas perlu ditopang dengan Undang-Undang baru yang memadai, sekaligus menghapuskan ketidakpastian hukum yang telah berlangsung selama ini dengan mencabut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964. Pemantauan Lalu Lintas Devisa tersebut dimaksudkan: (1) mencegah timbulnya dampak negatif bagi perekonomian nasional; (2) memungkinkan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memperoleh data yang akurat, tepat dan efisien guna mengeluarkan kebijakan moneter; (3) memungkinkan mengetahui neraca pembayaran internasional Indonesia. Bilamana dilihat dari 3 (tiga) tujuan tersebut,
Desertasi
150
Ibid.
151
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
100
maka nampak bahwa pemantauan Lalu Lintas Devisa merupakan hal yang sangat krusial dan signifikan untuk menciptakan stabilitas keuangan. Berkaitan dengan stabilitas keuangan, menurut Anwar Nasution secara prinsipnya stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 (dua) elemen yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan. Selengkapnya menurut Anwar Nasution sebagai berikut : Pada prinsipnya, stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 elemen, yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuangan serta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan. Jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik, maka elemen lainnya akan berpengaruh.152 Stabilitas keuangan bergantung pada lima elemen terkait yakni : (i) lingkungan makro-ekonomi yang stabil; (ii) lembaga finansial yang dikelola baik; (iii) pasar finansial yang efisien; (iv) kerangka pengawasan prudensial yang sehat; dan (v) sistem pembayaran yang aman dan handal.153 Dari lima elemen tersebut di atas secara eksplisit telah terlihat bahwa sistem pembayaran yang aman dan handal merupakan salah satu elemen yang penting. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pembayaran juga memegang peranan penting dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Terkait dengan sistem pembayaran adalah peran serta dari kegiatan usaha pengiriman uang. Sistem pembayaran ini terkait dengan kegiatan usaha pengiriman uang dan lalu lintas devisa yang perlu dipantau dengan baik. Oleh karena itu, maka dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 dijelaskan :
Desertasi
152
Ibid., h. 353.
153
Ibid., h. 357.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
101
Pelaksanaan kebijakan Sistem Devisa dan Sistem Nilai Tukar dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang bertanggung jawab dalam memelihara kestabilan nilai rupiah. Upaya itu perlu didukung oleh suatu sistem pemantauan Lalu Lintas Devisa yang efektif. Untuk itu, Bank Indonesia diberi wewenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa dan menetapkan ketentuan mengenai kegiatan Devisa yang didasarkan atas prinsip kehati-hatian. Di dalam melaksanakan Lalu Lintas Devisa, prinsip yang dianut adalah prinsip kehati-hatian (prudential principle) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 sebagai berikut : (1) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan ketentuan atas berbagai jenis transaksi Devisa yang dilakukan oleh bank. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Mengacu pada ketentuan Pasal 4 tersebut, dijelaskan tentang prinsip kehati-hatian dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 sebagai berikut : (1) Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah salah satu upaya untuk meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern bank yang bersangkutan. (2) Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia antara lain dapat berupa : a. Standar pedoman kebijakan dan prosedur kegiatan transaksi Devisa; b. Rasio posisi Devisa neto; c. Pembatasan kerugian potensial dan aktual terhadap modal. Ketentuan Pasal 4 beserta penjelasannya menimbulkan interpretasi bahwa prinisp kehati-hatian hanya dilakukan oleh bank. Hal ini nampak dari kalimat “ ….. atas berbagai jenis transaksi Devisa yang dilakukan oleh bank”. Padahal pengiriman uang sebagai transaksi Devisa tidak hanya dilakukan melalui bank melainkan juga melalui non-bank yang salah satunya dengan menggunakan Alternative Remittance System. Ketentuan Pasal 4 ini menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian hanya
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
102
diterapkan dengan perbankan sehingga pengiriman uang melalui Alternative Remittance System tidak mengenal dan menggunakan prinsip kehati-hatian. Selain itu mengacu pada pengertian prinsip kehati-hatian yang ada dalam penjelasan Pasal 4, wujud atau bentuk dari prinsip kehati-hatian adalah untuk kepentingan bank yang bersangkutan yaitu sebagai salah satu upaya meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan hukum yang dilindungi dalam prinsip kehati-hatian tersebut adalah semata-mata untuk kepentingan bank. Pemberlakuan prinsip kehati-hatian demi kepentingan masyarakat dan negara secara keseluruhan tidak terakomodir dan tidak nampak secara eksplisit. Padahal kewajiban pelaporan terhadap kegiatan Lalu Lintas Devisa tidak hanya semata-mata dilakukan oleh bank, tetapi juga oleh pihak lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 sebagai berikut : (1) Bank Indonesia berwenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan oleh penduduk. (2) Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Dimana ketentuan “pihak lain” dijelaskan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 yaitu pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan Lalu Lintas Devisa seperti bank, lembaga keuangan bukan bank, dan penyelenggara jasa transaksi internasional. Kewajiban pelaporan kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan oleh bank maupun non-bank diberikan kepada Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
103
memiliki tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999). Kewajiban pelaporan tersebut terkait dengan tugas Bank Indonesia untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 huruf b Undang-Undang No. 23 Tahun 1999. Berkaitan dengan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran tersebut Bank Indonesia berwenang : a. melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaran jasa sistem pembayaran; b. mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya; c. menetapkan penggunaan alat pembayaran. Bahkan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 ditentukan : sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, Bank Indonesia ditunjuk sebagai lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Berhubung kelancaran sistem pembayaran sangat penting bagi pelaksanaan kebijakan moneter, kepada Bank Indonesia diberikan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Agar tugas tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, kepada Bank Indonesia perlu diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang luas dalam mengatur dan melaksanakan kegiatan kliring dan jasa transfer dana serta penyelesaian akhir transaksi pembayaran antarbank. Di samping itu Bank Indonesia juga diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakat luas dapat memperolah jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman. Lebih lanjut juga dijelaskan dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a sebagai berikut : Jasa sistem pembayaran yang dapat dilaksanakan oleh Bank Indonesia antara lain adalah jasa transfer dana nilai besar. Adapun persetujuan terhadap penyelenggaraan jasa sistem pembayaran dimaksudkan agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran oleh pihak lain memenuhi persyaratan, khususnya persyaratan keamanan dan efisiensi. Demikian pula bilamana dilihat dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, prinsip kehati-hatian ditentukan bukan dalam kaitannya pada tugas mengatur dan menjaga
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
104
kelancaran sistem pembayaran, tetapi timbul pada tugas mengatur dan mengawasi bank yaitu dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 yang menentukan : (1) Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. (2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Hal ini semakin mempertegas bahwa prinsip kehati-hatian memang ditujukan kepada bank. Sementara pada pengiriman uang melalui Alternative Remittance System tidak mengenal prinsip kehati-hatian dan tidak mendapat perhatian yang serius. Padahal stabilitas sistem keuangan juga dipengaruhi oleh sistem pembayaran sebagaimana disampaikan oleh Anwar Nasution sebagai berikut: Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 peran Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan mencakup : a. Menciptakan kebijakan moneter yang kondusif; b. Melakukan pemantauan terhadap stabilitas sistem keuangan (financial system surveillance); c. Melakukan koordinasi dengan dan memberikan rekomendasi kebijakan stabilitas sistem keuangan pada otoritas lain, misalnya kepada pemerintah cq Departemen keuangan selaku otoritas fiskal, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK); d. Menciptakan efisiensi dalam sistem pembayaran dengan terselesaikannya transaksi secara aman dan tepat waktu (safe and robust payment system) antara lain melalui kegiatan design, operasional dan pengawasan system pembayaran; e. Menyediakan mekanisme LOLR dalam upaya menangkal terjadinya kegagalan bank karena liquidity mismatch.154 Salah satu tugas dari Bank Indonesia adalah menjaga kelancaran sistem pembayaran yang merupakan perwujudan dari Lalu Lintas Devisa. Oleh karenanya keberadaan kegiatan pengiriman uang baik melalui bank maupun non-bank menjadi hal yang sangat penting. Lebih-lebih kegiatan pengiriman uang semakin 154
Desertasi
Ibid., h. 362.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
105
meningkat dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini juga diungkapkan oleh David Rees sebagai berikut: People and businesses wishing to transfer money between themselves can do so in a variety of ways. In addition to using simple cash transactions, most money transfers in Western societies take place using conventional banks and other financial institutions. A part from ordinary banking, however, money and other forms of value can be transferred through the use of so-called ‗remittance services‘ which have operated for hundreds of years in non-Western societies. Originating in southeast Asia and India, users of these systems transfer funds thorough the use of agents who enter into agreements with each other to receive money from people I one country (such as overseas workers) and to pay money to specified relatives or friends in other countries without having to rely on conventional banking arrangements. Funds can be moved quickly, cheaply and securely between locations that often don‘t have established banking networks or modern forms of electronic funds transfers available.155 Oleh karenanya sangat penting memberikan pengaturan yang seimbang antara bank maupun lembaga non-bank yang melakukan kegiatan usaha pengiriman uang. Lebih lanjut dikatakan sebagai berikut : It is important to achieve a balance between regulating the remittance sector in an attempt to reduce the flow of illicit funds and permitting its continued use as a legitimate, alternative to the conventional banking system-especially for those in less-developed countries. Remittance systems provide many ethnic communities with the ability to send money and/or goods back to their country of origin, usually to their families who remain there, who may be dependent on receipt of such transfers. Remittance systems are also used for a variety of other commercial and social reasons.156 Pandangan tersebut menunjukkan perlu adanya keseimbangan pengaturan dalam bidang pengiriman uang baik melalui bank maupun non bank. Untuk mengatur tentang Lalu Lintas Devisa memang bukanlah hal yang mudah apalagi terdapat hubungan internasional dalam masalah tersebut. Kompleksitas tersebut semakin 155
David Rees, “Money Laundering And Terrorism Financing Risks Posed By Alternative Remittance In Australia‖, Australian Institute of Criminology - Report Research and Public Policy Series 106, diakses dari http://www.kyc360.com/article/show/145 diunduh 28 Mei 2011, h. iii. 156
Desertasi
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
106
ditambah dengan adanya perbedaan pengaturan sistem hukum dari masing-masing negara sebagaimana dikemukakan oleh David Rees sebagai berikut: The fact that the successful operation of the financial sector is crucial to society, performs many disparate functions (that are often regulated in different ways) and is made up of many different kinds of entities, makes the regulatory function more difficult. At an international level, there is the added complication that countries have different legal systems and traditions and may also have different expectations of their financial systems.157 Terkait dengan Lalu Lintas Devisa yang menjadi perwujudan dari sistem pembayaran, dari Laporan Perekonomian Indonesia 2009 yang dibuat oleh Bank Indonesia menjelaskan kebijakan sistem pembayaran sebagai berikut : Kebijakan sistem pembayaran nasional ke depan akan tetap diarahkan untuk mendukung ketahanan sistem keuangan dan mendorong efisiensi kegiatan ekonomi nasional, kebijakan tersebut ditempuh melalui tiga langkah utama, yaitu meningkatkan kehandalan dan kemampuan mitigasi risiko sistem pembayaran nilai besar, meningkatkan efisiensi di di sisi infrastruktur pembayaran retail, dan meningkatkan aspek keamanan pada industri Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK).158 Menilik pada Laporan Bank Indonesia tersebut, maka pemantauan Laporan kegiatan pengiriman uang tidak masuk dalam tiga langkah utama tersebut karena fokus dari Bank Indonesia adalah pada: 1. meningkatkan kehandalan dan kemampuan mitigasi risiko sistem pembayaran nilai besar, 2. meningkatkan efisiensi di di sisi infrastruktur pembayaran retail, dan 3. meningkatkan aspek keamanan pada industri Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK)
157
Ibid., h. 1.
158
Bank Indonesia, Memperkuat Ketahanan, Mendorong Momentum Pemulihan Ekonomi Nasional, Laporan Perekonomian Indonesia 2009, h. 194.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
107
Padahal keberadaan Lalu Lintas Devisa dengan Sistem Devisa Bebas membutuhkan pengaturan dan pemantauan yang sifatnya komprehensif sehingga tidak menimbulkan berbagai kejahatan dan pelanggaran yang dampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
b.
Berbagai Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan Lalu Lintas Devisa Bilamana dilihat dari sejarah perkembangan pengaturan tentang Lalu Lintas
Devisa, tercatat berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.
Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi159 Latar belakang pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Penggusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (selanjutnya disingkat Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955) nampak pada bagian konsideransnya yang menjelaskan sebagai berikut : a. Bahwa perlu diadakan peraturan yang efektif tentang pengusutan, penuntutan dan pengadilan perbuatan-perbuatan yang merugikan perekonomian. b. Bahwa berhubung dengan itu mempermudah penyelenggaraannya dianggap perlu diadakan kesatuan dalam perundang-undangan ekonomi.160 159
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1955 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 801. 160
Desertasi
K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUH PIDANA, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h. 37.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
108
Demikian pula dalam penjelasan umum angka 1 Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 menjelaskan bahwa agar dengan efektif dapat memberantas pelanggaran-pelanggaran ekonomi, maka perlu lebih dahulu diketahui apa yang dimaksudkan dengan pelanggaran-pelanggaran itu dan apakah sifat dari pelanggaran-pelanggaran itu.161 Diantara berbagai perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi, salah satunya yaitu perbuatan yang melanggar Diviezen Ordonnantie 1940 (Staasblad 1940 No. 205). Hal ini diatur dalam Pasal 1 yang menentukan : Yang disebut tindak pidana ekonomi ialah : 1e. pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan : a. “Ordonnantie Gecontrileerde Goederen 1948” (Staatsblad 1948 No. 144) sebagaimana diubah dan ditambah dengan Staatsblad 1949 No. 160; b. “Prijsbeheersing-ordonnantie 1948” (Staatsblad 1948 No. 259); c. “Undang-Undang Penimbunan Barang-barang 1951” (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 4); d. “Rijstordonnantie 1948” (Staatsblad 1948 No. 253); e. “Undang-Undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi” (Lembaran Negara Tahun 1952 No. 33); f. “Diviezen Ordonnantie 1940” (Staatsblad 1940 No. 205). 2e. tindak-tindak pidana tersebut dalam Pasal-pasal 26, 32, dan 33 Undang-Undang Darurat ini; 3e. pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar Undang-Undang lain, sekedar Undang-Undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.162 Di dalam penjelasan umum Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 juga dijelaskan sebagai berikut : Dalam Undang-Undang darurat ini yang dimaksud dengan tindaktindak ekonomi ialah pelanggaran suatu ketentuan dalam atau berdasarkan :
Desertasi
161
Ibid., h. 56.
162
Ibid., h. 37-38.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
109
a. “Ordonnantie Gecontrileerde Goederen 1948” (Staatsblad 1948 No. 144); b. “Prijsbeheersing-ordonnantie 1948” (Staatsblad 1948 No. 295); c. “Undang-Undang Penimbunan Barang-barang 1951” (Lembaran Negara Tahun 1953 No. 4); d. “Rijstordonnantie 1948” (Staatsblad 1948 No. 253); e. “Undang-Undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi” (Lembaran Negara Tahun 1952 No. 33); f. “Diviezen Ordonnantie 1940” (Staatsblad 1940 No. 205); (Pasal 1 sub 1e). Untuk sementara penunjukan pelanggaran-pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi dianggap cukup luas untuk mencapai maksud Pemerintah yang tersebut di atas itu. Apabila di kemudian hari dipandang perlu pelanggaran suatu ketentuan dalam atau berdasarkan Undang-Undang lain dikuasai oleh Undang-Undang darurat ini, maka hal itu dapat dicapai dengan menyebut dalam Undang-Undang yang bersangkutan pelanggaran-pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi (Pasal 1 sub 3e) atau dengan mencantuman pasal-pasal yang bersangkutan dalam Pasal 1 sub 2e.163 Adanya ketentuan Pasal 1 serta penjelasan umum di atas semakin memperjelas bahwa Lalu Lintas Devisa yang telah diatur sejak jaman kolonial Belanda mulai Divieezen Ordonnantie 1940 bukan merupakan hal yang baru melainkan telah menjadi salah satu bentuk tindak pidana ekonomi yang sangat merugikan perekonomian negara sehingga sangat penting untuk diberantas. Tindak pidana dalam Undang-Undang No. 7/Drt/1955 tersebut merupakan delik ekonomi. Menurut J.M. Van Bemmelen, delik ekonomi itu sendiri bukanlah delik terhadap harta kekayaan yang murni. Delik ini sebetulnya pertama-tama tidak merugikan harta kekayaan orang lain tertentu, akan tetapi lebih merugikan peraturan penghidupan sosial ekonomi.164 163
Ibid., h. 56.
164
J.M. van Bemmelen, diterjemahkan Hasnan, Hukum Pidana 3 – Bagian Khusus Delik-delik Khusus, Binacipta, Bandung, 1986, h. 130.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
110
Tindak pidana ekonomi yang ada dalam Undang-Undang No. 7/Drt/1955, walaupun termasuk dalam salah satu tindak pidana khusus diluar KUHP tetapi ketentuan Buku I KUHP tetap berlaku sesuai dengan adanya Pasal 103 KUHP yang menyatakan, bahwa “Ketentuan-ketentuan dari delapan bab pertama dalam BUKU I ini berlaku juga bagi perbuatanperbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali apabila Undang-Undang, peraturan umum pemerintah dan ordonansi menentukan sebaliknya‟.165 Hal tersebut juga disertai adanya 3 (tiga) macam sifat dalam tindak pidana ekonomi sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 : a.
b.
c.
Lahirnya tindak pidana ekonomi sebagai tindak pidana adalah belum lama berselang, yakni baru sejak tahun 1941, sehingga banyak pelanggar berpendapat bahwa pelanggaran tindak pidana ekonomi bukanlah suatu hal yang luar biasa dan bahwa penuntutan dan pengusutan itu adalah merupakan suatu “bedrijfsrisico” biasa saja dapat diperhitungkan dalam “calculatie”. Dalam kalangan perdagangan adalah banyak anasir-anasir yang tidak akan menghentikan praktek yang jahat itu selama mereka masih mempunyai kesempatan untuk berbuat demikian; Mengancam dan merugikan kepentingan-kepentingan yang sangat “gecompliceerd”, sehingga orang bisa sering pra-hakim dan Jaksa kadang-kadang tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya tentang kepentingan-kepentingan itu dan dengan demikian memberikan nilai kepadanya yang sangat berbeda yang satu daripada yang lain; Memberi keuntungan besar kepada sipelanggar yang senantiasa sangat menarik sipelanggar baik dengan maupun tiada dengan memperhitungkan laba dan rugi untuk melakukan perbuatan itu. Untuk menginsyafkan orang bahwa tindak pidana ekonomi itu adalah tindak pidana dan untuk pembasmi pendapat yang
165
Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1, Alumni, Bandung, 1982, h. 12.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
111
dimaksud sub a itu, maka dalam peradilan kriminil harus diadakan tindakan-tindakan “repressie” sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan 8 Undang-Undang Darurat ini. Agar supaya kesulitan termaksud sub b dapat diatasi, maka para Hakim dan Jaksa yang diberi tugas mengadili dan menuntut sitersangka harus orangorang yang ahli dalam soal perekonomian atau sekurangkurangnya harus orang-orang yang khusus diberi tugas mengadili (menuntut) perkara pidana ekonomi dan yang dapat mencurahkan segala pikiran dan tenaga kepada soal-soal itu (Pasal 35 dan 38, 41 dan 46). Untuk menjaga agar Hakim atau Jaksa selalu dapat bantuan dan pertimbangan dari seorang ahli baik di luar maupun di dalam persidangan, maka kepadanya diperbantukan pejabat-pejabat yang ahli dalam soal perekonomian (Pasal 49). Untuk memberantas perbuatan yang dimaksud sub c, maka ancaman hukuman harus berat, prosedur harus cepat berlangsug dan harus diadakan kemungkinan untuk meniadakan keuntungan yang telah diterima (Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, dan Bab III).166 Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 dikatakan sebagai payung hukum atas berbagai tindak pidana ekonomi karena aturan-aturan yang telah diatur secara fragmentasi telah disatukan dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955, semua perbuatan yang telah dilakukan bertentangan dengan semua tindakan tata tertib merupakan tindak pidana ekonomi, dan sifatnya adalah batal demi hukum.167 Di dalam perjalanannya, Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 yang mulai berlaku pada tanggal 13 Mei 1955 telah banyak sekali mengalami perubahan. Termasuk diantaranya dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun
1964
tentang
Peraturan
Lalu
Lintas
Devisa.
Sebagaimana
dikemukakan oleh K. Wantjik Saleh : 166
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 56-57.
167
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 227.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
112
Dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa, dinyatakan bahwa “Diviezen Ordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205), dicabut, dan Pasal 1 ayat 1e sub f dari UTPE dihapus dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut : ―Pasal 7, 8, dan 9 dari Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 tentang ―Peraturan Lalu Lintas Devisa 1964‖ terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaran ekspor‖.168 Lebih lanjut dijelaskan oleh K. Wantjik Saleh sebagai berikut : Jadi sebagai kesimpulan tentang Pasal 1 UTPE sampai sekarang ini, yang disebut Tindak Pidana Ekonomi ialah : 1. Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan : a. Rechten Ordonnantie (Stbld. 1882 No. 240) sebagaimana telah dirubah dan ditambah; b. Indische Scheepvaart Wet (Stbld. 1936 No. 700) dan Scheepvaart-Verordening (Stbld. 1936 No. 703) sebagai-mana telah dirubah dan ditambah. c. Bedrijfs – Reglementerings – Ordonnantie 1934 (Stbld. 1938 No. 86); d. Kapokbelangen Ordonnantie1935 (Stbld. 1935 No. 165); e. Ordonnantie Aetherische Olien 1937 (Stbld. 1937 No. 601); f. Ordonnantie Cassave Production 1937 (Stbld. 1937 No. 602); g. Krosok Ordonnantie 1937 (Stbld. 1937 No. 604); h. Pasal 7, 8, 9 Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa. 2. Tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 26, 32, dan 33 UTPE; 3. Pelanggaran-pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar Undang-Undang lain, sekedar Undang-Undang itu menyebut pelanggaran sebagai Tindak Pidana Ekonomi, a.1. : a. U.U. No. 8 Prp. 1962; b. U.U. No. 11 Tahun 1965;169 Walaupun pada saat ini banyak undang-undang yang termasuk sebagai tindak pidana ekonomi ternyata telah dinyatakan tidak berlaku akan tetapi melalui ketentuan di atas menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap devisa 168 169
Desertasi
K. Wantjik Saleh, op.cit., h. 13-14. Ibid., h. 14.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
113
merupakan bagian dari tindak pidana ekonomi yang mengganggu perekonomian. Tindak pidana tersebut dapat berbentuk kejahatan atau pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 yang menentukan : Tindak-tindak ekonomi tersebut dalam Pasal sub 1e adalah kajahatan atau pelanggaran, sekedar tindak itu menurut ketentuan dalam UndangUndang yang bersangkutan adalah kejahatan atau pelanggaran. Tindak pidana ekonomi yang lainnya, yang tersebut dalam Pasal 1 sub 1e adalah kejahatan, apabila tindak itu dilakukan dengan sengaja. Jika tindak itu tidak dilakukan dengan sengaja, maka tindak itu adalah pelanggaran. Di dalam Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 juga diatur tentang hukuman pidana dan tindakan tata tertib. Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana Ekonomi terdiri dari : (1) Pidana Pokok (Pasal 6); (2) Pidana Tambahan (Pasal 7); (3) Tindakan Tata-Tertib (Pasal 8). Sementara dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 7 /Drt/1955 menentukan sebagai berikut: ”Jika dengan Undang-Undang tidak ditentukan lain, maka tidak boleh diadakan lain ketentuan dalam arti hukuman pidana atau tindakan tata tertib daripada hukuman pidana atau tindakan tata tertib yang dapat diadakan sesuai dengan Undang-Undang darurat ini.” Sementara itu hukuman pidana yang dapat dikenakan diatur dalam Pasal 6 yang menentukan : (1)
Desertasi
Barangsiapa melakukan suatu tindak pidana ekonomi; a. Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 1e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu; b. Dalam hal kejahatan sekadar mengenai tindak pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 2e dihukum dengan hukuman
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
(2)
(3)
114
penjara selama-lamanya dua tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu. c. Dalam hal pelanggaran sekadar yang mengenai tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 1e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu. d. Dalam hal pelanggaran yang disebut berdasar Pasal 1 sub 3e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu. Jika harga barang dengan mana atau mengenai mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan atau yang diperoleh baik seluruhnya maupun sebagian karena tindak pidana ekonomi itu, lebih tinggi daripada seperempat bagian hukuman denda tertinggi yang disebut dalam ayat 1 sub a sampai dengan d, hukuman denda itu dapat ditentukan setinggi-tingginya empat kali harga barang itu. Lain daripada itu dapat dijatuhkan juga hukuman tambahan tersebut dalam Pasal 7 ayat 1 atau tindakan tata tertib tersebut, dalam Pasal 8, dengan tidak mengurangi dalam hal-hal yang memungkinkan dijatuhkannya tindak tata tertib yang ditentukan dalam peraturan lain.
Disamping itu juga terdapat hukuman tambahan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 7 sebagai berikut : (1)
Desertasi
Hukuman tambahan adalah : a. Pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 Kitab UndangUndang Hukum Pidana untuk waktu sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal dijatuhkan hukuman denda sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun; b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, di mana tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun; c. Perampasan barang-barang tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana ekonomi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang mengantikan barang-barang itu, tak peduli apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan siterhukum atau bukan;
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
(2) (3)
115
d. Perampasan barang-barang tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, yang termasuk perusahaan siterhukum, dimana tindak pidana ekonomi itu diakukan, begitu pula harga lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak peduli apakah barang-barang atau harga lawan itu, kepunyaan siterhukum atau bukan, akan tetapi hanya sekedar barangbarang itu sejenis dan mengeni tindak pidana bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c di atas. e. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada siterhukum oleh Pemerintah berhubung dengan perusahaannya untuk waktu selamalamanya dua tahun; f. Pengumuman putusan hakim. Perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan siterhukum tidak dijatuhkan, sekedar hak-hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Dalam hal perampasan barang-barang, maka hakim dapat memerintahkan bahwa hasilnya seluruhnya atau sebagian akan diberikan kepada siterhukum.
Selain hukuman tambahan, pada Undang-Undang ini mulai dikenalkan tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Pasal 8 yang menentukan : Tindakan tata tertib ialah: a. Penempatan perusahaan siterhukum, di mana dilakukan suatu tindak pidana ekonomi di bawah pengampunan untuk waktu selamalamanya tiga tahun dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah kejahatan dan dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah pelanggaran untuk waktu selama-lamanya dua tahun; b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebanyak-banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak pidana ekonomi adalah pelanggaran, maka uang jaminan itu adalah sebanyak-banyaknya lima puluh rupiah untuk waktu selamalamanya dua tahun; c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau tindak pidana - tindak pidana semacam itu, dalam hal cukup bukti-bukti bahwa tindak pidana itu dilakukan oleh siterhukum; d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya siterhukum sekadar hakim tidak menentukan lain.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
116
Pada Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 telah mengakui keberadaan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Hal ini telah diatur dalam Pasal 15 yang menentukan: (1) Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. (2) Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindakan itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut. (3) Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya orang pengurus menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa ke muka hakim. (4) Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. 2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa170 Pada tahun 1964, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 karena menyadari bahwa Devisa merupakan suatu alat
170
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2717
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
117
dan sumber pembiayaan yang penting bagi negara. Lalu Lintas Devisa harus diatur
sebaik-baiknya
untuk
memperlancar
lalu
lintas
perdagangan/pembayaran dengan luar negeri. Sementara aturan-aturan peninggalan jaman Kolonial Belanda dianggap telah tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia. Hal ini dijelaskan dalam bagian konsiderans Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 sebagai berikut : a. bahwa dalam rangka penyusunan perekonomian pada taraf Nasional Demokrasi menuju ke arah pembangunan Negara dan Masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagaimana digariskan dalam Manifesto Politik dan Deklarasi Ekonomi, perlu mengganti peraturan-peraturan/ketentuan-ketentuan yang diwariskan dari kekuasaan Kolonial; b. bahwa devisa merupakan suatu alat dan sumber pembiayaan yang penting untuk negara dan oleh karena itu persoalan Lalu-Lintas Devisa perlu diatur sebaik-baiknya untuk memperlancar lalu-lintas perdagangan/pembayaran dengan luar negeri dan untuk memperkuat kedudukan keuangan negara dalam bidang Devisa melalui pengerahan dana dan daya dari seluruh masyarakat; c. bahwa " Deviezen Ordonnantie 1940" dan " Deviezen Verordering 1940" menurut sifatnya dan maknanya bertentangan dengan peraturan devisa yang diperlukan pada tingkat Revolusi Indonesia dewasa ini, dan berhubung dengan itu perlu diganti dengan peraturan devisa baru untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas. Selain itu juga penjelasan umum Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 menjelaskan : 11.
Pengawasan harus dilakukan terhadap pengeluaran devisa untuk jasa atas beban Dana Devisa, karena lajak atau tidak lajaknya pengeluaran itu seperti juga hanya dengan impor barang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah dengan mengingat keperluan akan jasa itu dalam rangka kepentingan Negara dipelbagai bidang..
12.
Pengawasan terhadap lalu-lintas modal perlu diadakan untuk menghindari pemindahan(pelarian) modal keluar negeri. Pemindahan(pelarian) modal keluar negeri dapat dilakukan dalam bentuk investasi dana-dana diluar negeri oleh warganegara Indonesia. ........ .........
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16.
118
Perlu ditegaskan , bahwa peraturan ini mewujudkan struktur daripada lalu-lintas devisa antara Indonesia dengan luar negeri, yang merupakan suatu landasan untuk suatu politik devisa Pemerintah.
Keberadaan Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 mencabut Deviezen Ordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 205) dan Deviezen Verordering 1940 (Staatsblad 1940 No. 291). Pengertian Devisa dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 yang menentukan bahwa devisa adalah: a). saldo bank dalam valuta asing yang mempunyai cacatan kurs resmi dari Bank Indonesia; b). valuta asing lainnya, tidak termasuk uang logam, yang mempunyai catatan kurs dari Bank Indonesia. Walaupun di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 juga diakui kebebasan kepemilikan devisa, akan tetapi dana devisa hasil perdagangan internasional, contohnya ekspor harus dijual kepada Bank Devisa sebagaimana dalam Pasal 9 menentukan : (1)
(2)
Barang siapa telah mengekspor barang berkewajiban untuk : a. menyerahkan dokumen yang dapat diperdagangkan dan yang membuktikan hak sipemegangnya atas barang yang diekspor kepada suatu bank devisa. b. menjual jumlah valuta asing yang harus diserahkan kepada Dana Devisa kepada bank devisa, terkecuali yang mengekspor dapat membuktikan bahwa penjualan valuta asing termaksud belum atau tidak dapat dilakukan karena hal-hal diluar kekuasaannya. Bank devisa berkewajiban untuk membeli valuta asing itu yang diajukan kepadannya dengan membayar nilai lawan dalam Rupiah yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain itu dalam Pasal 11 menentukan :
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
119
(1) Bank Devisa yang telah membeli valuta asing seperti termaksud dalam pasal 9 ayat (2) dan pasal 10 ayat (3) berkewajiban untuk menyerahkannya kepada Bank Indonesia. (2) Penggantian nilai lawan dalam Rupiah untuk devisa yang diserahkan kepada Bank Indonesia ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pengenaan sanksi pidana dalam Undang-Undang tersebut dapat dibedakan sebagaimana dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 yang menentukan : (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (6) maka pelanggaran pasal 7, 8, 9, 10, 11, 16, dan 17 yang dibuat dengan sengaja dan dapat berakibat kerugian untuk negara yang meliputi yang besarnya lebih dari nilai lawan 88,8671 gram. emas murni dalam valuta asing untuk tiap perbuatan, dinyatakan sebagai pidana. (2) Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya tidak melebihi nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing , maka pelanggaran itu dikenakan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dan/ atau pidana setinggi-tingginya sepuluh juta rupiah. (3) Jika kerugian termaksud dalam ayat (1) besarnya melebihi nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing, maka pelanggaran itu dikenakan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun dan/atau pidana setinggi-tingginya seratus juta rupiah. (4) Barang terhadap mana perbuatan tersebut dalam ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dapat dirampas untuk negara. (5) Jika kerugian yang tersebut dalam ayat (1) tidak melebihi nilai lawan 88,8671 gram emas murni dalam valuta asing, maka pelanggaran itu dianggap pelanggaran administratif. (6) Jika pelanggaran pasal 7, 8 dan pasal 9 berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun bersifat tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor, maka pelanggaran itu dianggap pelanggaran administratif. (7) Jika tindak pidana dilakukan tidak dengan sengaja, maka pidana setinggi-tingginya ditetapkan sepertiga dari pidana tertinggi apabila dengan sengaja. Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 juga telah diakui keberadaan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dikenakan
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
120
pertanggungjawaban pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 sebagai berikut : (1) Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang lainnya atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidan serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu mereka yang memberikan perintah untuk tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. (2) Suatu tindak pidana dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut. (3) Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus, atau jika ada lebih dari seorang pengurus, oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa kemuka hakim. (4) Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan untuk menghadap dan segala penyerahan surat-surat panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu atau di tempat pengurus bersidang atau berkantor. Pencabutan Deviezen Ordonnantie dan Deviezen Verordering membawa perubahan dalam isi dari Pasal 1 ayat 1e sub f Undang-Undang
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
121
No. 7 Drt Tahun 1955 yang berubah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 sebagai berikut : (1) Pasal 1 ayat 1 e sub f dari Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang No. 7 Drt tahun 1955) dihapuskan dan diganti hingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 7, 8 dan 9 dari Undang-Undang No. 32 tahun 1964 tentang "Peraturan Lalu Lintas Devisa 1964", terkecuali jikalau pelanggaran itu berupa tidak melaksanakan ekspor sebagian atau seluruhnya ataupun tidak mentaati jangka waktu yang ditetapkan untuk suatu perbuatan dalam penyelenggaraan ekspor. (2) Undang-Undang No. 4 Prp tahun 1959 (Lembaran Negara tahun 1959 No. 91) dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1964 (Lembaran Negara tahun 1964 No. 2) ditarik kembali.
3.
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Setelah dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 1964, pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia kembali membuat dan memberlakukan UndangUndang No. 24 Tahun 1999. Pemerintah Indonesia menilai bahwa UndangUndang No. 32 Tahun 1964 sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan keadaan. Padahal devisa merupakan salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting bagi bangsa dan negara sehingga kepemilikan dan penggunaan devisa harus diatur sebaik-baiknya. Hal ini dijelaskan dalam konsiderans Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 sebagai berikut : a. bahwa kesinambungan pembangunan nasional harus dipelihara berdasarkan keadilan yang merata dan diarahkan untuk terwujudnya perekonomian nasional yang bernafaskan kerakyatan, mandiri, andal dan mampu bersaing dalam kancah perekonomian internasional yang ditunjang dengan sistem devisa dan sistem nilai tukar yang dapat mendukung tercapainya stabilitas moneter guna mewujudkan
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
122
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa devisa merupakan salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting bagi bangsa dan negara, oleh karena itu pemilikan dan penggunaan devisa serta sistem nilai tukar perlu diatur sebaikbaiknya untuk memperlancar lalu lintas perdagangan, investasi dan pembayaran dengan luar negeri; c. bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan keadaan, oleh karena itu perlu diadakan pembaruan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b dan huruf c perlu ditetapkan Undang-Undang baru tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Bagian konsiderans tersebut menunjukkan bahwa sistem devisa sangat mempengaruhi perekonomian nasional yang dibangun atas dasar keadilan yang merata sehingga Lalu Lintas Devisa menjadi hal yang sangat krusial untuk diatur. Di dalam hal ini pengertian Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Sejak tahun 1970 pemerintah telah memberlakukan Sistem Devisa Bebas. Oleh karenanya maka konsekuensi dari adanya sistem devisa bebas menyebabkan semakin dibutuhkan adanya pemantauan dan pelaporan atas setiap transaksi Lalu Lintas Devisa. Di dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan dan data yang dilaporkan untuk setiap transaksi Lalu Lintas Devisa adalah dilaporkan kepada Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Pelaporan yang dilakukan atas transaksi Lalu Lintas Devisa tidak hanya dilakukan oleh Bank, tetapi juga dapat dilakukan oleh lembaga non-
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
123
bank antara lain penyelenggaraan pengiriman uang melalui Alternative Remittance System. Namun di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 belum nampak secara jelas prinsip-prinsip dalam pemantauan dan pelaporan Lalu Lintas Devisa. Prinsip yang ada dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 adalah prinsip kehati-hatian yang hanya ditujukan kepada lembaga perbankan. Sementara bagi lembaga non-bank yang melakukan transaksi Lalu Lintas Devisa tidak memiliki prinsip-prinsip yang jelas. Atas berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 tersebut, maka Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 yang menentukan: “Dengan berlakunya Undang-Undangan ini, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2717) dinyatakan tidak berlaku.” Di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999, kegiatan lalu lintas devisa hanya diatur secara sumir yaitu hanya ada 9 pasal. Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang tersebut hanya ada pada Pasal 6 yang menentukan: ”Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diancam dengan pidana denda sekurang-kurangnya Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Selain adanya sanksi pidana, Bank Indonesia berwenang menetapkan sanksi administratif sesuai ketentuan Pasal 7 sebagai berikut:
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
124
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia berwenang menetapkan sanksi administratif terhadap penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. Teguran tertulis; atau b. Denda; atau c. Pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh instansi yang berwenang apabila pelanggaran dilakukan oleh badan usaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1999, Bank Indonesia selaku otoritas moneter yang memiliki tugas salah satunya adalah mengawasi sistem pembayaran, mengeluarkan sejumlah Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia yang diklarifikasikan sebagai berikut : 1.
Bagi Bank a. Peraturan Bank Indonesia No. 1/9/PBI/1999 tanggal 28 Oktober 1999171 b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1/9/DSM tanggal 28 Desember 1999. c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/13/DSM tanggal 13 Juni 2001. d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/15/DSM tanggal 30 Juni 2000.
171
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3915
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
125
e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/28/DSM tanggal 21 Desember 2000. 2.
Bagi Lembaga Keuangan non bank a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999. b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 2/23/DSM tanggal 10 November 2000. c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2001. d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/1/DSM tanggal 30 Januari 2003. e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/24/DSM tanggal 3 Oktober 2003. f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/9/DSM tanggal 9 April 2007. g. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/34/DSM tanggal 18 Desember 2007.
3.
Bagi Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002172 b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 4/5/DSM tanggal 28 Maret 2002.
172
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4178.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
126
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Juni 2000173 d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/3/DSM tanggal 10 Februari 2003. e.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/24/DSM tanggal 03 Oktober 2003.
Didalam Pasal 4 PBI No. 1/9/PBI/1999 ditentukan : (1) Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 meliputi : a. Perpindahan devisa melalui Bank baik untuk kepentingan Bank maupun nasabah, yaitu transaksi : 1. Penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; 2. Penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan penduduk di dalam negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; 3. Penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar penduduk dalam valuta asing. b. Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Bank. (2) Bank wajib meminta keterangan dan data kepada nasabah yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank dimaksud. (3) Nasabah yang melakukan kegiatan lalu lintas devisa melalui Bank wajib memberikan keterangan dan data kepada Bank yang bersangkutan. Sementara pelaporan oleh Lembaga Keuangan non bank ditentukan dalam Pasal 5 PBI No. 1/9/PBI/1999 sebagai berikut : Keterangan dan data yang wajib dilaporkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 meliputi : a. Perpindahan devisa dalam rangka transaksi; 1. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan Non Bank dengan bukan penduduk baik dalam Rupiah maupun valuta asing; 2. Penempatan, pembayaran serta penerimaan antara Lembaga Keuangan Non Bank dengan penduduk dalam valuta asing.
173
Desertasi
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 11
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
b.
127
Posisi aset dan kewajiban finansial luar negeri Lembaga Keuangan Non Bank.
Pasal 1 angka 5 PBI No. 1/9/PBI/1999 yang menentukan: ―Lembaga Keuangan Non Bank meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan
dana
masyarakat‖.
Ketentuan
ini
menimbulkan ketidakjelasan karena kegiatan usaha pengiriman uang (termasuk Alternative Remittance System) tidak menjadi bagian dari lembaga keuangan
non
bank.
Ketidakjelasan
tersebut
dapat
menimbulkan
multiinterpretasi apakah penyelenggara jasa pengiriman uang juga tunduk pada ketentuan Peraturan Bank Indonesia tersebut.
c.
Perbuatan Pidana dan Pemidanaan dalam Lalu Lintas Devisa Mengingat devisa sebagai salah satu alat dan sumber pembiayaan yang
penting bagi bangsa dan Negara sehingga perlu adanya pemantauan dan pelaporan terhadap pemilikan dan penggunaan devisa, maka selain terdapat ketentuan sanksi administratif, dalam Undang-Undang tersebut juga mengatur tentang ketentuan pidana dan ancaman pemidanaannya. Di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999, hanya diatur satu pasal tentang perbuatan pidana dan ancaman sanksi pidananya yaitu dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999. Pasal tersebut menentukan bahwa barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban pemberian keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung, diancam dengan pidana denda sekurang-kurangnnya
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
128
Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Dari adanya ketentuan Pasal 6 tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Subyek hukum
: barangsiapa
2.
Unsur-unsur
: a. dengan sengaja b. tidak memenuhi kewajiban pemberian keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya. Keterangan dan data yang harus dilaporkan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) sekurang - kurangnya meliputi : 1. nilai dan jenis transaksi; 2. tujuan atau maksud transaksi; 3. pelaku transaksi; 4. negara tujuan dan asal pelaku transaksi. c. Pemberian keterangan dilakukan secara langsung atau tidak langsung kepada Bank Indonesia.
Pemberian keterangan yang dilakukan secara langsung yaitu dilakukan oleh penduduk. Pengertian penduduk menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UndangUndang No. 24 Tahun 1999 adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan sifat diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. Sedangkan pemberian keterangan yang dilakukan secara tidak langsung yaitu
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
129
melalui pihak lain sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 meliputi pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan Lalu Lintas Devisa seperti Bank, lembaga keuangan bukan bank dan penyelenggara jasa transaksi internasional. Perbuatan yang dapat dikenakan ancaman pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 di atas adalah diterapkan perbuatan yang disebabkan pada adanya kesengajaan dan bukan pada kelalaian. Unsur kesengajaan merupakan bagian dari asas kesalahan (Schuld). Oleh karena itu akan dikupas terlebih dahulu tentang kesalahan dalam hukum pidana. Menurut Moeljatno asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Kesalahan adalah unsur bagi adanya pertanggungjawaban pidana (an act does not make a person guilty, unless his mind is guilty)174 Menurut Simons sebagaimana dikutip oleh Sianturi, dijelaskan bahwa sebagai dasar dari pertanggungan jawab adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya (kesalahan itu) dengan kelakuannya yang dapat dipidana, dan berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuan itu. Sehubungan dengan uraian tersebut untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku yaitu : 1)
Kemampuan bertanggungjawab (toerekenings-vatbaarheid);
174
Desertasi
Moeljatno, op.cit., h. 165.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
130
Hubungan kejiwaan (psichologische betrekking) antar pelaku, kelakuannya
2)
dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula kelakuan yang tidak bertentangan dengan hukum dalam penghidupan sehari-hari); Dolus atau culpa.175
3)
Demikian pula menurut Pompe yang dikutip oleh Sianturi, dalam pembahasannya mengenai kesalahan, mengatakan bahwa dilihat dari kehendak, kesalahan itu merupakan bagian dalam dari kehendak pelaku, sedangkan sifatmelawan-hukum (wederrechtelijkheid), merupakan bagian luar dari padanya. Artinya, kesalahan merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum yang (seharusnya) dapat dihindari (vermijdbare wederrechtelijke gedraging), yaitu penggangguan ketertiban hukum yang (seharusnya) dapat dihindarkan. Sedangkan sifat melawan hukum, merupakan kelakuan yang bertentangan dengan hukum, untuk kelakuan mana ia dicela. Sejalan dengan kelanjutan pembahasan Pompe, Schreuder mengatakan bahwa untuk pengertian kesalahan menurut hukum pidana, menuntut adanya 3 ciriciri atau unsur-unsur yaitu : 1)
Kelakuan yang bersifat melawan hukum,
2)
Dolus atau Culpa,
3)
Kemampuan bertanggung-jawab pelaku.176 Di dalam ketentuan pidana pada Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun
1999 dikatakan merupakan tindak pidana bilamana terdapat kesengajaan. 175
S.R. Sianturi., Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta , 1986, h. 162. 176
Desertasi
Ibid., h. 163
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
131
Sebaliknya bilamana tidak dilakukannya kewajiban memberi keterangan dan data tentang transaksi Lalu Lintas Devisa yang tidak disebabkan oleh kesengajaan (dilakukan karena kelalaian/Culpa) tidak menjadi tindak pidana. Kelalaian tidak melakukan kewajiban menyampaikan keterangan dan data dan transaksi Lalu Lintas Devisa merupakan pelanggaran yang hanya dikenakan sanksi administratif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 : (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia berwenang menetapkan sanksi administratif terhadap Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. teguran tertulis; atau b. denda; atau c. pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh instansi yang berwenang apabila pelanggaran dilakukan oleh badan usaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Ketentuan pasal ini diperjelas dengan penjelasan Pasal 7 ayat (2) yaitu yang dimaksud dengan denda adalah kewajiban untuk membayar uang dalam jumlah tertentu sebagai akibat tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang-Undang ini. Sanksi administratif berupa denda dapat dikenakan terhadap pelanggaran antara lain atas keterlambatan, ketidaklengkapan, atau kelalaian penyampaian laporan. Penjelasan Pasal 7 ayat (2) tersebut di atas menunjukkan bahwa sanksi denda administratif dapat dikenakan terhadap pelanggaran yang salah satunya adalah atas kelalaian peyampaian laporan. Mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) beserta penjelasannya semakin mempertegas kedudukan Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 sebagai hukum pidana administrasi yang menggunakan sanksi pidana sebagai upaya terakhir
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
132
(ultimum remedium). Sanksi pidana hanya diterapkan atas perbuatan pidana yang mengandung unsur kesengajaan. Menurut memori penjelasan (Memorie van Toelichting), yang dimaksudkan dengan kesengajaan adalah “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. (willens en wetens veroorzaken van een gevolg). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya.177 Simons sebagaimana dikutip oleh Sianturi menjelaskan bahwa kesengajaan itu adalah merupakan kehendak (de wil), ditujukan kepada perwujudan dari suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Ajaran ini disebut sebagai Teori Kehendak (wilstheorie). Teori kehendak ini disangkal oleh para sarjana lainnya dengan mengemukakan alasan, bahwa seseorang hanya dapat mengharapkan suatu wujud perbuatan tertentu. Untuk suatu akibat yang (akan) timbul dari perbuatan itu, tidak mungkin ia secara tepat menghendakinya. Paling banter ia bisa mengharapkan atau memperkirakannya. Teori ini disebut sebagai Teori perkiraan (voorstelingstheorie). Lebih lanjut menurut Sianturi, teori kehendak bilamana dibandingkan dengan teori perkiraan, akhirnya dalam kenyataan tidak jauh berbeda, walaupun tolak pangkalnya berbeda. Karena teori kehendak mengajarkan bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan, maka bukanlah hanya perbuatan itu saja yang dikehendakinya, tetapi juga akibat dari perbuatan itu. Sebab bilamana memang ia tidak menghendaki akibat dari perbuatan itu, tentunya tidak akan melakukannya. Justru akibat itulah yang dikehendakinya 177
Desertasi
Ibid., h. 167.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
133
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Jelaslah bahwa pada akhirnya tidak terdapat perbedaan yang prinsipal antara “menghendaki akibat” dan “memperkirakan akibat”. Kedua ajaran itu sama-sama menunjukkan hubungan yang erat sekali antara kejiwaan pelaku dengan akibat yang ditimbulkannya.178 Gradasi kesengajaan adalah sebagai berikut : 1.
Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk).
2.
Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (Opzet bij zekerheids of noodzakelijkheids bewustzijn). Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (dolus eventualis),179
3.
Pada rumusan delik Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 yang menentukan “Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban pemberian keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung, diancam dengan pidana denda sekurangkurangnnya Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu miliar rupiah)”. Disini unsur kesengajaan meliputi tindakan tidak memenuhi kewajiban Pasal 3 ayat (2) yaitu pemberian keterangan dan data mengenai transaksi Lalu Lintas Devisa baik secara langsung atau tidak langsung kepada Bank Indonesia harus dilaksanakan dengan sengaja. Kesengajaan untuk tidak memenuhi kewajiban pemberian keterangan dan data menimbulkan ketidakjelasan dan penafsiran yang berbeda-beda mengenai apakah kewajiban pemberian keterangan dan data mengenai transaksi Lalu Lintas
Desertasi
178
Ibid., h. 168-169.
179
Ibid., h. 172-181.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
134
Devisa tersebut adalah merupakan kewajiban yang bersifat formal legalistik atau bersifat materiil. Bilamana dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 hanya menganut kewajiban yang bersifat formal legalistik, maka dengan dilaksanakan kewajiban pelaporan telah dianggap memenuhi ketentuan Pasal 7 tersebut dan tidak dilihat apakah isi dari pelaporan tersebut mencerminkan transaksi yang sesungguhnya atau hanya bersifat proforma saja. Kewajiban pelaporan yang hanya bersifat formal legalistik inilah yang dapat menjadi celah bagi pelaku kejahatan untuk memberikan pelaporan yang tidak sesuai dengan transaksi sesungguhnya. Namun bilamana dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 mengenai kewajiban yang bersifat materiil, maka pemenuhan kewajiban pelaporan saja tidak cukup untuk membuktikan ketaatan seseorang terhadap Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999. Isi dari laporan harus diyakini kebenarannya. Segala bentuk kesalahan atau ketidaktepatan pelaporan akan menyebabkan tidak selesainya kewajiban pelaporan atau menyebabkan tidak dilaksanakan kewajiban pelaporan sehingga dapat dikenakan ancaman pidana dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999. Selain terkait dengan unsur kesalahan yang telah banyak dibahas sebelumnya, pertanggungjawaban pidana yang ada dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 tidak secara eksplisit menunjukkan adanya pertanggung-jawaban pidana korporasi. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 1964 yang telah secara tegas mengakui keberadaan dan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dikenakan pertangungjawaban pidana.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
135
Berbeda dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 1964, dalam UndangUndang No. 24 Tahun 1999 tidak menentukan tentang kedudukan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat dikenakan pertangungjawaban pidana. Padahal sebagaimana telah dijelaskan bahwa pihak yang berkewajiban untuk memberikan pelaporan Lalu Lintas Devisa tidak hanya orang perorangan melainkan juga korporasi baik yang berbentuk badan hukum maupun non badan hukum. Hanya sanksi administratif yang dapat diterapkan kepada korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 1999. Padahal menurut Sianturi, dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subjek hukum180 Lebih lanjut dijelaskan oleh Sianturi, bahwa dalam hal badan hukum dikenakan suatu pidana denda, ternyata pada akhirnya manusia-manusia para pesero atau anggota-anggota badan hukum itu yang dikurangi hak miliknya yang berupa uang saham/andeel dalam badan hukum itu. Demikian pula jika misalnya suatu perserikatan orang “dibubarkan”, pada akhirnya manusia-manusia anggota perserikatan orang itu dikurangi atau dihapuskan hak berkumpulnya dalam perserikatan tersebut. Namun demikian penentuan badan hukum sebagai subjek adalah perlu mengingat perkembangan perdagangan yang memungkinkan suatu badan hukum menjalankan usaha dagang secara luwes untuk mengimport atau eksport barang, seperti halnya yang sudah lazim dalam perekonomian/perdagangan internasional demikian juga peranan badan hukum dalam pertanahan/keamanan tidak dapat diabaikan.
180
Desertasi
Ibid., h. 218 – 219.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
136
Di dalam hal suatu peraturan berkenaan dengan perpajakan atau perekonomian yang diatur pada hakikatnya adalah mengenai soal-soal (hukum) administrasi,
yang
cara-cara
penyelesaiannya,
jika
terjadi
pelanggaran
terhadapnya, dilakukan secara administrasi (denda atau pidana administrasi lainnya Pasal 18 Undang-Undang No. 32 Tahun 1964). Tetapi untuk beberapa pelanggaran relatif berat, ditentukan penyelesaiannya secara hukum pidana. Peraturan ini dapat disebut sebagai hukum pidana administrasi dan tindakannya dapat disebut sebagai tindak pidana administrasi. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subjek tindak pidana, adalah karena sesuatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan
manusia.
Namun
pada
hakikatnya,
manusia
yang
merasakan/menderita pemidanaan itu.181 Barangsiapa yang ada dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 menimbulkan ketidakjelasan penafsiran mengingat tidak adanya penjelasan apakah barangsiapa hanya meliputi orang-perorangan saja atau kata barangsiapa dapat disamakan dengan pengertian “penduduk” yang ada dalam Pasal 1 angka 3 sehingga ruang lingkupnya tidak hanya orang perorangan melainkan juga termasuk korporasi. Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 yang pada hakikatnya merupakan aturan hukum yang sangat penting bagi perekonomian nasional ternyata masih memiliki
181
Desertasi
Ibid., h. 221-222.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
137
beberapa kelemahan dalam perspektif hukum pidana yang terkait dengan kegiatan usaha pengiriman uang non bank antara lain : 1.
Tidak adanya pengaturan yang memadai terhadap lalu lintas devisa yang dilakukan oleh lembaga keuangan non bank. Pengaturan dalam UndangUndang No. 24 Tahun 1999 lebih menitikberatkan pada kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukan oleh bank.
2.
Tidak adanya prinsip kehati-hatian yang diterapkan kepada lembaga keuangan non bank yang terlibat dalam kegiatan Lalu Lintas Devisa.
3.
Pengaturan ketentuan pidana yang sangat sumir yang hanya diterapkan atas perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan.
4.
Pengaturan ketentuan pidana yang hanya bersifat formal legalistik yang menyebabkan kewajiban pelaporan transaksi Lalu Lintas Devisa hanya menjadi formalitas belaka dan tidak mencerminkan transaksi yang sesungguhnya.
5.
Tidak adanya ketentuan pidana yang bersifat komprehensif terhadap pelanggaran-pelanggaran atas kesalahan pelaporan-pelaporan yang tidak sesuai dengan transaksi yang sesungguhnya dan pemanfaatan transaksi Lalu Lintas Devisa untuk perbuatan-perbuatan yang melawan hukum contohnya tax evasion.
6.
Tidak jelas pengaturan tentang korporasi sebagai subyek hukum pidana dan pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan kepada korporasi.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
3.
Alternative Remittance System dalam pengaturan Transfer Dana
a.
Hakikat dan Tujuan dari Transfer Dana
138
Setelah dibahas tentang Lalu Lintas Devisa yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional, salah satu transaksi Lalu Lintas Devisa adalah melalui transfer dana. Oleh karenanya maka akan dikemukakan terlebih dahulu pengaturan transfer dana di Indonesia. Pada hakikatnya, transfer dana merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dimulai yang bertujuan memindahkan sejumlah Dana dari Pengirim kepada Penerima. Transfer dana sebagai satu kegiatan dalam bidang perekonomian nasional juga merupakan sarana yang harus ikut menciptakan masyakarat yang adil dan makmur, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diatur dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Mengingat Alternative Remittance System merupakan bagian dari transfer dana maka landasan filosofis pengaturan terhadap Alternative Remittance System juga terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 khususnya terkait dengan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Pengaturan terhadap Alternative Remittance System merupakan bagian dari tugas pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan umum. Di dalam kegiatan transfer dana harus juga berlandaskan pada asas demokrasi ekonomi yang memiliki berbagai prinsip perekonomian dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia 1945: prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
139
Berbagai prinsip ini merupakan landasan dalam setiap kegiatan perekonomian nasional termasuk juga dalam kegiatan transfer dana. Kegiatan transfer dana yang merupakan kegiatan usaha pada hakikatnya juga berlandaskan pada etika dimana etika sebagai cabang filsafat, etika dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus dapat hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.182 Menurut O.P. Simorangkir sebagaimana dikutip oleh Bambang Eko Turisno, etika bisnis merupakan cabang dari etika umum dan diartikan sebagai moral bisnis.183 Kegiatan bisnis dilakukan dalam suatu sistem ekonomi maka etika bisnis menyoroti moralitas, sistem ekonomi umumnya serta sistem ekonomi suatu negara pada khususnya. 184 Etika bisnis Etika bisnis Indonesia harus bersumber pada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945 karena Pancasila dengan penempatan Pancasila dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, ia merupakan grundnorm tidak hanya dari norma-norma hukum, tetapi juga seluruh norma-norma kehidupan bangsa Indonesia (etika, moral dan sebagainya).185
Apalagi sistem ekonomi
Indonesia merupakan sistem ekonomi yang dijiwai oleh Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan 182
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis – Tuntutan Dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, h.
183
Bambang Eko Turisno, Etika Bisnis, Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 19.
184
F. Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, Gramedia, Jakarta, 1991, h. 167.
15.
185
Desertasi
Bambang Eko Turisno, op.cit., h. 25.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
140
kegotongroyongan nasional.186 Menurut Sri Edi Swasono sebagaimana dikutip oleh bambang Eko Turisno, Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berorientasi kepada KeTuhanan Yang maha Esa (mengenal etik dan moral, agama, nukan materialisme);
Kemanusiaan
pemerasan/eksploitasi
yang
manusia);
adil
dan
Persatuan
beradab
(tidak
(kekeluargaan,
mengenal
kebersamaan,
nasionalisme dan patriotisme ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan ekonomi rakyat); serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama).187 Oleh karenanya di dalam kegiatan usaha pengiriman uang yang menjadi bagian dari kegiatan transfer dana juga berlandaskan pada etika bisnis yang berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Istilah Transfer Dana telah dikenal secara luas dalam kehidupan masyarakat umum. Hal ini terlihat dari praktek pelaksanaan Transfer Dana yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat melalui berbagai lembaga baik berupa bank maupun lembaga bukan bank seperti kantor pos dan jasa titipan kilat serta berbagai media baik secara lisan, tertulis maupun elektronik. Bahkan penyelenggaran Transfer Dana juga sudah melibatkan transaksi Transfer Dana yang bersifat cross border sebagai bagian dari adanya era globalisasi dan meningkatnya perekonomian antar negara. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menjelaskan: Globalisasi yang ditandai oleh pergerakan yang cepat dari manusia, informasi, perdagangan dan modal, di samping menimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia juga harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yakni globalisasi kejahatan dan meningkatnya kuantitas dan kualitas kejahatan di
Desertasi
186
Mubyarto, Moral Ekonomi Pancasila, Idayu, Jakarta, 1982, h. 32.
187
Bambang Eko Turisno, op.cit., h. 45.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
141
berbagai negara dan antar negara. Modernisasi dan globalisasi yang melanda dunia karena kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informatika nampaknya tidak hanya membawa manfaat dalam kehidupan umat manusia, tetapi sebaliknya juga menimbulkan mudarat yang cukup memprihatinkan. Hal ini diakibatkan oleh ulah manusia yang seringkali memanfaatkan perkembangan tersebut untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak dikendalikan akal sehat dan hati nurani dan sebaliknya justru menggunakan alat-alat teknologi modern tersebut untuk melakukan kejahatan, tidak jarang disertai dengan kekerasan (”violence”) yang bertentangan dengan peradaban manusia.188 Menilik pada penjelasan tersebut nampak bahwa globalisasi dalam bidang perekonomian yang membawa pengaruh dalam transaksi transfer dana tidak hanya membawa pengaruh positif akan tetapi juga membawa dampak negatif. Oleh karenanya perlu diatur secara memadai. Terlebih pula terjadinya peningkatan jumlah pengiriman uang juga dikemukakan dalam Suara Merdeka sebagaimana dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya sebagai berikut: Kiriman uang dari luar negeri ke Indonesia khususnya oleh TKI seperti salah satu harian di Jawa Tengah menunjukkan angka yang cukup menakjubkan. Kiriman uang atau remitansi TKI dari luar negeri ke Tanah Air hingga Oktober 2011 mencapai 5,6 milyar dollar AS atau sekitar 55,4 triliun rupiah yang berasal dari Timur Tengah, Asia Pasifik, AS, Eropa, dan Australia. Uang tersebut dikirim melalui jasa perbankan. Perinciannya, dari TKI di Timur Tengah 2,2 milyar dollar AS, Asia Pasifik 3,2 dollar AS, AS 111,7 juta dollar AS, serta Eropa dan Australia 19,5 dollar AS (Suara Merdeka, 10-12-2011:4). Pengiriman uang atau remitansi oleh TKI ada yang dikirim melalui kurir khusus di samping menggunakan jasa keuangan non perbankan.189 Secara sekilas terlihat proses Transfer Dana merupakan suatu proses yang sangat simple, karena dalam proses tersebut yang diperhatikan hanya pada proses
188
Nyoman Serikat Putra Jaya (selanjutnya disingkat dengan Nyoman Serikat Putra Jaya I), “Politik Hukum Disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Sosialisasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Surabaya dan Bank Indonesia, Surabaya 19 Desember 2011, h. 2 189
Desertasi
Ibid., h. 3.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
142
akhir yaitu bagaimana suatu dana yang dikirim dapat sampai dengan selamat ke tempat yang dituju. Namun apabila diurai satu persatu mulai dari latar belakang munculnya Transfer Dana tersebut, para pihak yang terlibat didalamnya, serta mekanisme pelaksanaan Transfer Dana, baru akan terlihat betapa rumitnya proses Transfer Dana tersebut yang dapat mengakibatkan munculnya berbagai risiko.190 Sebelum diuraikan tentang berbagai kompleksitas permasalahan dalam Transfer Dana, maka perlu diketengahkan terlebih dulu tentang hakikat, pengertian serta tujuan dari Transfer Dana. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 2011, Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal yang bertujuan memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima. Sementara itu, pengertian dana juga dapat diketahui dari Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 yang menentukan : Dana adalah : a. Uang tunai yang diserahkan oleh Pengirim kepada Penyelenggara Penerima; b. Uang yang tersimpan dalam Rekening Pengirim dan Penyelenggara Penerima; c. Uang yang tersimpan dalam Rekening Penyelenggara Penerima pada Penyelenggara Penerima lain; d. Uang yang tersimpan dalam Rekening Penerima pada Penyelenggara Penerima Akhir; e. Uang yang tersimpan dalam Rekening Penyelenggara Penerima yang dialokasikan untuk kepentingan Penerima yang tidak mempunyai Rekening pada Penyelenggara tersebut; dan/atau. f. Fasilitas cerukan (overdraft) atau fasilitas kredit yang diberikan Penyelenggara kepda Pengirim.
190
3.
Desertasi
Tim Pengkajian Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, op.cit., h. 2-
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
143
Pada hakikatnya, keberadaan transfer dana yang semakin meningkat tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi telah menjadi fenomena dunia sebagaimana diungkapkan Committee on Payment and Settlement Systems dan The World Bank, sebagai berikut : The total value of remittance has been increasing steadily over the past decade and it is estimated that in 2005 the total value worldwide was over USD 230 billion equivalent, involving some 175 million migrants. Remittances are now probably the largest source of external financing in developing countries and for some countries they can account for as much as a third of GDP; moreover, the flow of remittances seems to be significantly more stable than that of other forms of external finance.191 Bahkan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 dijelaskan bahwa meningkatnya kegiatan ekonomi perekonomian nasional merupakan salah satu faktor utama dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap iklim usaha di Indonesia. Meningkatnya kepercayaan masyarakat tersebut antara lain tercermin dari arus transaksi perpindahan dana yang terus menunjukkan peningkatan tidak saja dari sisi jumlah transaksi, tetapi juga dari sisi nilai nominal transaksinya. Oleh karena itu, maka dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 dijelaskan bahwa selain faktor kelancaran dan kenyataan dalam pelaksanaan Transfer Dana, faktor kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak terkait juga merupakan faktor utama dalam Transfer Dana. Sementara itu menurut 191
Bank For International Settlements dan The World Bank, “General Principles For International Remittance Services”, diakses dari http://sitesources.worldbank.org/ INTPAYMENTREMMITTANCE/Recources/New_Remittance_Report.pdf, diunduh tanggal 21 April 2011, h.1. Di dalam tulisan tersebut yang bersumber pada World Bank and Inter-American Development Bank juga mencatat secara resmi aliran transfer dana mencapai USD 232 billion pada tahun 2005, dimana sejumlah USD 167 billion mengalir kepada berbagai Negara berkembang, serta diperkirakan bahwa jumlah pengiriman uang yang tidak tercatat mencapai lebih dari 50% dari total nominal. (Global economic prospects for development, World Bank, 2006).
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
144
menurut Committee on Payment and Settlement Systems Bank For International Settlements dan The World Bank menjelaskan: Remittance can be analysed for various reasons – for example, because of their impact on development, because of the close relationship with often politically sensitive migration issues or because of the need to monitor the flows for balance of payments purposes. All these aspects of remittances are interrelated and so cannot be ignored.192 Pendapat di atas menunjukkan bahwa pada hakikatnya, terdapat setidaknya 3 alasan pentingnya memantau pengiriman uang (remitansi) yaitu: 1. Pentingnya dampak pengiriman uang terhadap pembangunan; 2. Karena hubungan yang erat dengan permasalahan pekerja migran; 3. Karena adanya kebutuhan untuk memantau sistem pembayaran Bilamana alasan-alasan tersebut dikomparasikan dengan alasan pembentukan Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 yaitu nampak dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2011, telah ditegaskan tentang perlu adanya peraturan yang komprehensif tentang Transfer Dana sebagaimana dijelaskan : Untuk mewujudkan upaya tersebut dan dalam rangka mencapai tujuan akhir untuk menjaga keamanan dan kelancaran sistem pembayaran, perlu adanya peraturan yang komprehensif tentang kegiatan Transfer Dana. Belum adanya peraturan yang komprehensif dalam bentuk undang- undang yang mengatur kegiatan Transfer Dana mengakibatkan permasalahan yang timbul dalam kegiatan Transfer Dana pada saat ini terkendali dalam penyelesaiannya. Di sisi lain, perkembangan perekonomian internasional sudah semakin terintegrasi dengan pasar keuangan global. Pergerakan Dana secara lintas batas (cross border) telah menjadi kebutuhan para pelaku ekonomi dunia dan menuntut adanya pemanfaatan yang optimal atas kondisi tersebut dari pemerintah dan otoritas yang berwenang sebagai salah satu upaya dalam memajukan perekonomian nasional. Sebagai suatu transaksi yang bersifat universal, kegiatan Transfer Dana semakin melibatkan banyak pihak, baik pihak dalam negeri maupun luar negeri. Pihak luar negeri sebagai mitra pelaku usaha dalam negeri perlu mendapat keyakinan terkait dengan kelancaran dan keamanan pelaksanaan Transfer Dana di Indonesia. Jaminan tersedianya peraturan 192
Desertasi
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
145
perundang-undangan yang memadai tentang kegiatan Transfer Dana sangat diperlukan tidak hanya untuk pihak di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Jika melihat kompleksitas permasalahan dan luasnya materi yang diatur, pengaturan kegiatan Transfer dana tidak cukup hanya dituangkan dalam ketentuan yang lebih rendah dari Undang-Undang. Selain itu, pengaturan tentang alat bukti dan aspek pemidanaan dalam kegiatan Transfer Dana menuntut kepastian agar hal tersebut dapat diterapkan secara tegas oleh seluruh pihak otoritas terkait, baik dalam penyelesaian perselisihan maupun tidak pidana dalam kegiatan Transfer Dana. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 19 yang menentukan : “Sistem Transfer Dana adalah sistem terpadu untuk memproses perintah Transfer Dana dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana lain sesuai dengan peraturan.” Sistem transfer dana (atau sistem pemindahan/pengiriman/pembayaran uang melalui bank) ini merupakan suatu “kepentingan hukum” yang sepatutnya mendapat pengamanan/perlindungan. Perlindungan ini diperlukan baik terhadap integritas sistemnya maupun terhadap informasi dan aktivitas/kegiatannya, termasuk perlindungan hukum pidana untuk menanggulangi terjadinya kejahatan dibidang transfer dana.193 Hal ini semakin memperkuat alasan perlunya memberikan landasan hukum yang kuat bagi sistem transfer dana yang ada di Indonesia. Urgensi pengaturan terhadap transfer dana yang dari bagian konsiderans Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 menunjukkan bahwa pengaturan atas Transfer Dana dimaksudkan atau bertujuan untuk menyelenggarakan transfer dana yang aman, lancar dan memberikan kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat mewujudkan kelancaran sistem pembayaran nasional.
193
Desertasi
Tim Pengkajian Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, op.cit., h. 11.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
146
Ruang lingkup berlakunya ketentuan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 yang menentukan : a. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara dalam rupiah atau valuta asing yang Penyelenggara Pengirim dan Penyelenggara Penerima seluruhnya berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b. Transfer Dana antar-Penyelenggara atau intra-Penyelenggara ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melibatkan Penyelenggara di Indonesia, baik sebagai Penyelenggara Pengirim Asal, Penyelenggara Penerus, maupun Penyelenggara Penerima Akhir, sepanjang Perintah Transfer Dana telah atau masih berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini berarti penyelenggara jasa transfer dan tidak hanya bank melainkan juga lembaga keuangan non bank dengan transaksi yang dapat bersifat domestik (lokal) maupun internasional. Pandangan serupa disampaikan oleh Committee on Payment and Settlement Systems Bank For International Settlements dan The World Bank sebagai berikut : Remittance transfer may be domestic or international. Domestic remittances occur, for example, when there is migration from rural to urban areas within a country. To a large extent, similar issues arise regardless of the type of remittance. However, the focus of this report is on international remittance transfers, which, for the purposes of the roport, are defined as cross-border person-to-person payments of relatively low value. In practice, the transfers are typically recurrent payments by migrant workers (eg who send money to their families in their home country every month). For simplicity, in this report such payments are usually referred to just as ―remittance transfers‖ ie it is assumed they are international. The definition is designed to reflect the payment system aspects of remittances. The emphasis is on person-to-person payments rather than payments to purchase goods and services or business-to-bussiness payments. These personto person payments are typically relatively low-value compared to, for example, wholesale bank-to-bank transfers. Often the flows are between relatively low-income individuals, and the senders, if they are migrants, may not always be well integrated into all aspects of the host country‘s society and economy. In addition, although remittance transfers are typically recurrent, in
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
147
practice they are usually made as a series of individual instructions rather than by standing order.194 Pengamatan terhadap pengiriman uang yang dilakukan di luar bank seringkali dilakukan oleh orang perorangan (termasuk pekerja migran) yang walaupun tergolong jumlahnya kecil dibanding dengan transfer via bank, akan tetapi akumulasi dari jumlah tersebut merupakan nominal yang dapat mempengaruhi sistem pembayaran dan perekonomian suatu negara.
b.
Prinsip-prinsip dalam Transfer Dana Menurut laporan dari Committee on Payment and Settlement Systems Bank
For International Settlements dan The World Bank menjelaskan bahwa prinsipprinsip yang harus ada dalam penyelenggaraan pengiriman uang secara internasional (cross border transaction) adalah sebagai berikut : Transparency and consumer protection General Principle 1. The market for remittance services should be transparent and have adequate consumer protection. Payment system infrastructure General Principle 2. Improvements to payment system infrastructure that have the potential to increase the efficiency of remittance services should be encouraged. Legal and regulatory environment General Principle 3. Remittance services should be supported by a sound, predictable, nondiscriminatory and proportionate legal and regulatory framework in relevant jurisdictions. Market structure and competition
194
Bank For International Settlements dan The World Bank, op.cit., h.6. Dijelaskan pula tetang Standing Order sebagai berikut: “A standing order is where a payer gives an instruction to a bank or other payment service provider to make a reguler payment of a fixed amount to a specified payee. The fact that standing orders are little used in practice to make remittances may be because remitters vary the amounts that they send, because the RSP does not accept standing orders or because remitters do not have access to RSPs such as banks and other deposit-takers who do provide standing order services‖.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
148
General Principle 4. Competitive market conditions, including appropriate access to domestic payment infrastructures, should be fostered in the remittance industry. Governance and risk management General Principle 5. Remittance services should be supported by appropriate governance and risk management practices. Roles of remittance service providers and public authorities A. Role of remittance service providers. Remittance service providers should participate actively in the implementation of the General Principles. B. Role of public authorities. Public authorities should evaluate what action to take to achieve the public policy objectives through implementation of the General Principles.195 Prinsip-prinsip umum tersebut dapat dijabarkan satu per satu sebagai berikut : 1. Prinsip keterbukaan dan perlindungan konsumen. Di dalam prinsip ini, penyelenggara pengiriman uang atau transfer dana harus melakukan keterbukaan dan harus memperhatikan perlindungan konsumen. Keterbukaan ini sangat penting karena akan membantu masyarakat atau pengguna untuk memutuskan layanan jasa pengiriman uang yang mana yang akan mereka pilih. Di dalam hal ini dijelaskan lebih rinci sebagai berikut: In any market, full information - ie transparency - is important because it enables individuals to make informed decisions about which services to use and helps to make the market as a whole more efficient. Transparency in the market for remittances is arguably particularly important because the price to the consumer depends on two elements, the exchange rate used and any fees charged, and combining these to calculate which service is cheapest is difficult for most consumers. Transparency, as well as adequate consumer protection, is also important because, as low-income migrants in a foreign country, many senders may have difficulties in understanding the local language or in providing adequate identification to open a bank account, or lack the time and financial literacy to search out and compare different remittance services. General Principle 1 is therefore that the market for remittance services should be transparent and have adequate consumer protection… RSPs should therefore be encouraged to provide relevant information about their own services in easily accessible and understandable forms. Authorities or other organisations may want to 195
Desertasi
Ibid., h. 4.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
149
provide comparative price information. They may also wish to undertake educational campaigns to give senders and receivers sufficient background knowledge to be able to understand the information provided.196 2. Prinsip peningkatan infrastruktur bagi sistem pembayaran. Di dalam prinsip ini diharapkan adanya peningkatan infrastruktur bagi sistem pembayaran
yang
dapat
mendorong
peningkatan
efisiensi
bagi
penyelenggaraan jasa pengiriman uang. Prinsip ini diberikan karena seringkali infrastruktur yang diperlukan untuk membantu penyelenggara jasa pengiriman uang tidak seimbang. The infrastructure needed to support remittance services is sometimes inadequate. Many services require RSPs to cooperate to create a network of access points and it may not always be easy for potential RSPs to identify suitable partners to do this, particularly in other countries. Moreover, underdevelopment of the domestic financial infrastructure, particularly in receiving countries, may mean that transferring funds to the access points is slow and unreliable; in some cases non-cash payment services may only be available in urban locations. Another important aspect of the infrastructure is correspondent banking, which is widely used for cross-border transfers of funds but which can be expensive for small-value payments such as remittances. General Principle 2 is therefore that improvements to payment system infrastructure that have the potential to increase the efficiency of remittance services should be encouraged. The safety and efficiency of remittance services can be affected by payment systems in the relevant markets and the way that these systems are accessed and used by RSPs or by banks acting for RSPs. Remittance services may be improved by initiatives aimed at facilitating greater interoperability of systems and straight through processing. In many receiving countries, expanding the payment system infrastructure in under-served areas and improving access to‖ it, although a huge task, could be of benefit for delivering financial services of all kinds, including remittances.197 3.
Desertasi
Prinsip aturan hukum yang memadai.
196
Ibid., h. 3.
197
Ibid., h. 3-4.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
150
Di dalam jasa pengiriman uang harus didukung oleh aturan hukum yang memadai, tepat, tidak diskriminasi dan proporsional yang sesuai dengan yurisdiksinya.
Mengingat
sangat
rentannya
penyalahgunaan
dalam
penyelengaraan jasa pengiriman uang sebagai kejahatan maka perlu adanya pengaturan hukum yang tepat dan tidak hanya diterapkan terhadap bank saja melainkan juga terhadap non-bank
yang menyelenggarakan kegiatan
pengiriman uang. Hal ini dijelaskan lebih rinci sebagai berikut: The remittance industry is likely to flourish best under appropriate laws and regulations. As already noted, remittances may be regulated for various reasons including, perhaps most importantly, prevention of their misuse for purposes such as money laundering or terrorist financing. However, as with all laws and regulations, there is the possibility that those for remittances are badly designed with unintended side effects, that they are disproportionate to the problem they are designed to tackle, or that they continue to be applied even when no longer useful. Moreover, regulating remittances solely by type of entity, as is sometimes the case (eg when the regulations are applied only to the services provided by licensed institutions such as banks), may make regulation less effective (by creating loopholes which can be exploited for illegal activities) and distort markets (by enabling some RSPs to inappropriately avoid the costs of regulation and thus offer artificially cheaper services). National regulations should aim to create a level playing field between equivalent remittance services. General Principle 3 is therefore that remittance services should be supported by a sound, predictable, nondiscriminatory and proportionate legal and regulatory framework in relevant jurisdictions.198 4.
Prinsip persaingan usaha untuk meningkatkan efisiensi penyelenggara pengiriman uang. Menurut Committee on Payment and Settlement System Bank For International Settlements dan The World Bank :
198
Desertasi
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
151
The efficiency of remittance services depends on there being a competitive business environment. General Principle 4 is therefore that competitive market conditions, including appropriate access to domestic payment infrastructures, should be fostered in the remittance industry. Competition can be assisted by various steps such as discouraging exclusivity conditions, whereby an RSP allows its agents or other RSPs to offer its remittance service only on condition that they do not offer any other remittance service. And it is important that RSPs without direct access to the domestic payment infrastructure needed to provide remittance services should be able to use, on an equitable basis, the payment services provided by institutions that do have direct access.199 Diakui bahwa keberadaan persaingan usaha dan akses dalam sistem pembayaran domestik merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dalam bisnis pengiriman uang. 5. Prinsip pengelolaan dan manajemen risiko. Walaupun di dalam penyelenggaraan jasa pengiriman uang tidak memiliki risiko sistemik (sebagaimana dihadapi oleh bank) akan tetapi penyelenggara jasa pengiriman uang juga menghadapi berbagai masalah keuangan, hukum, operasional,
kejahatan
dan
risiko
reputasi.
Oleh
karena
itu
untuk
meminimalisasi risiko-risiko tersebut maka perlu adanya prinsip bagi pengelolaan dan manajemen risiko yang baik sehingga dapat meningkatkan keamanan dalam penyelenggaraan jasa pengiriman uang dan dapat membantu melindungi konsumen. The relatively small values involved in remittance transfers mean that it is unlikely that there will be systemic risk involved. However, RSPs do face financial, legal, operational, fraud and reputational risks. General Principle 5 is therefore that remittance services should be supported by appropriate governance and risk management practices. Governance and risk management practices that are appropriate for the size and type of an
199
Desertasi
Ibid., h. 4-5.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
152
RSP‘s business and the level of risks can improve the safety and soundness of remittance services and help protect consumers.200 6.
Prinsip peran serta bagi penyelenggara jasa pengiriman uang dan pemerintah. Menurut Committee on Payment and Settlement System Bank For International Settlements dan The World Bank : The importance of remittance flows varies from country to country so, although these principles are designed to be generally applicable, some countries may decide that the size of the remittance market does not justify significant action or that there is no need for any action. In addition, the principles are in most cases likely to be applied in sending countries regardless of the destination of the funds and in receiving countries regardless of their origin. However, in applying some aspects of the principles (such as the education programmes discussed under General Principle 1), authorities may want to prioritise their efforts in the most important bilateral corridors or corridors where they believe their efforts will be most productive. Authorities in sending countries should also bear in mind that, even if remittances are not a priority for them, they may be important for the receiving countries and the latter may be unable to implement the principles effectively without the cooperation of the sending countries.201 Hal ini berarti baik negara pengirim maupun penerima harus benar-benar menyadari peranan mereka dalam jasa pengiriman uang sehingga mereka perlu menerapkan prinsip-prinsip dalam pengiriman uang secara baik. Where it is decided that action should be taken to implement the principles, both RSPs and public authorities will need to be involved. Authorities should evaluate what action to take to achieve the public policy objectives through implementation of the principles, and the implementation itself will also need the active participation of RSPs. Because of the links between remittances, access to financial services and poverty alleviation, and thus the relevance of remittances to the implementation of the Millennium Development Goals, international financial institutions (such as the World Bank, regional development banks and the International Monetary Fund)
Desertasi
200
Ibid., h. 5.
201
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
153
have a role to play in supporting both authorities and market participants in the application of the principles.202 Setelah dijabarkan berbagai General Principles of International Remittances dari Bank for International Settlement (BIS) dan The World Bank, maka perlu dijabarkan pula berbagai prinsip umum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UndangUndang No. 3 Tahun 2011 yang menentukan : a. setiap kantor Penyelenggara, baik Penyelenggara yang sama maupun Penyelenggara yang berbeda, dianggap sebagai pihak yang berbeda dalam proses Transfer Dana; b. tidak diberlakukannya prinsip berlaku surut sejak pukul 00.00 (zero hour rules); c. prinsip pembayaran atau penyelesaian pembayaran yang telah memenuhi persyaratan bersifat final (finality of payment/finality of settlement); d. diberlakukannya prinsip penyerahan terhadap pembayaran (delivery versus payment); dan e. diakuinya mekanisme netting dalam suatu Sistem Transfer Dana yang efisien Mengacu pada ketentuan Pasal 3 di atas maka terdapat beberapa prinsip yang dapat dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 3 tersebut sebagai berikut : 1. Prinsip setiap kantor penyelenggara dianggap sebagai pihak yang berbeda. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 2011, Penyelenggara Transfer Dana, yang selanjutnya disebut penyelenggara, adalah bank dan badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank yang menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana. Ketentuan ini memperjelas pemahaman bahwa penyelenggara Transfer Dana tidak hanya bank saja tetapi juga
badan
usaha
berbadan
hukum
Indonesia
bukan
bank
yang
menyelenggarakan kegiatan Tranfer Dana.
202
Desertasi
Ibid.
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
154
Di dalam proses penyelenggara Transfer Dana, setiap kantor penyelenggara, bank penyelenggara yang sama maupun penyelenggara yang berbeda, dianggap sebagai pihak yang berbeda. Prinsip ini diterapkan guna memberikan penegasan pelaksanaan kewajiban dari setiap kantor penyelenggara dalam melaksanakan perintah Transfer Dana. Namun, prinsip tersebut tidak berlaku dalam kaitannya dengan tanggung jawab penyelenggara sebagai korporasi. 2. Tidak berlakunya prinsip zero hour rules. Prinsip zero hour rules adalah suatu prinsip dalam hukum kepailitan yang menetapkan bahwa transaksi yang dilakukan oleh Penyelenggara setelah pukul 00.00 pada tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha Bank, atau diucapkannya pernyataan pailit badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank tersebut dianggap batal atau tidak berlaku. Dengan tidak berlakunya prinsip zero hour rules, seluruh Transfer Dana yang telah dilaksanakan setelah pukul 00.00 pada hari itu sampai dengan saat ditutupnya sistem operasional Bank atau diucapkannya putusan pernyataan pailit badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan Bank tidak menjadi batal dan wajib diselesaikan. Sehingga dana yang telah ditransfer kepada Penyelenggara Penerima tidak dapat ditarik kembali. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kepastian dalam kelancaran sistem pembayaran dan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Dengan tidak berlakunya prinsip zero hour rules, dalam hal terjadi kondisi: 1) Pengirim Asal dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit, Dana tetap diteruskan kepada Penerima. Dengan
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
155
adanya kondisi tersebut, tim likuidasi atau kurator dari Pengirim Asal berhak menilai transaksi atau motif yang mendasari pelaksanaan Transfer
Dana.
Dalam
hal
terdapat
ketidakbenaran
atau
ketidakabsahan transaksi atau motif tersebut, tim likuidasi atau kurator dapat mengajukan permintaan pembatalan transaksi dan meminta Dana yang telah ditransfer oleh Pengirim Asal untuk dikembalikan
sebagai
budel
likuidasi
atau
budel
pailit.
Dalam hal Penyelenggara berupa Bank, tim likuidasi berhak menilai motif pelaksanaan transfer dan meminta pembatalan Transfer Dana jika terbukti pelaksanaan transfer dilakukan dengan maksud untuk merugikan Bank. 2) Penyelenggara Pengirim dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit, Perintah Transfer Dana yang telah dilaksanakan mulai pukul 00.00 sampai dengan: a. saat dilakukannya penutupan sistem operasional Penyelenggara Pengirim yang dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha; atau b. saat diucapkannya putusan pernyataan pailit Penyelenggara Pengirim, wajib diselesaikan. 3) Penyelenggara Penerima dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit, Dana dari Perintah Transfer Dana yang telah diterima oleh Penyelenggara Penerima menjadi hak Penerima yang penyelesaiannya dilakukan oleh tim likuidasi atau kurator
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Penyelenggara
Penerima
sesuai
dengan
156
ketentuan
peraturan
perundang-undangan. 3. Prinsip finality of payment/finality of settlement. Prinsip ini menjelaskan bahwa dana yang telah berpindah dari satu Penyelenggara ke Penyelenggara lain bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh Penyelenggara Pengirim, kecuali terdapat permintaan pembatalan dari Penyelenggara Pengirim dengan mekanisme pembatalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini 4. Prinsip delivery versus payment. Prinsip ini mengandung makna bahwa suatu kewajiban yang timbul dari perjanjian lain antara Pengirim dan Penerima pada saat Penyelenggara Penerima Akhir telah melakukan Pengaksepan Perintah Transfer Dana, kewajiban Pengirim untuk melakukan pembayaran kepada Penerima telah selesai dan Pengirim berhak atas objek yang diperjanjikan. Dalam hal ini berarti bahwa dengan adanya akseptasi dari Penyelenggara Penerima Akhir maka berarti kewajiban pengirim telah selesai. 5. Prinsip mekanisme netting. Yang dimaksud dengan "mekanisme netting" adalah suatu proses perhitungan hak dan kewajiban antara 2 (dua) pihak atau lebih yang dilakukan oleh penyelenggara Sistem Transfer Dana dengan memperhitungkan secara langsung hasil akhir hak dan kewajiban yang dimiliki para pihak tersebut (offsetting). Penyelenggara Sistem Transfer Dana yang menggunakan mekanisme perhitungan secara netting harus melaksanakan setiap Perintah
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
157
Transfer Dana yang telah diterima oleh penyelenggara Sistem Transfer Dana tersebut dan Perintah Transfer Dana tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh pihak Pengirim. Dalam hal terdapat keputusan pembekuan kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha Bank atau keputusan pernyataan pailit badan usaha bukan Bank berbadan hukum merupakan peserta suatu Sistem Transfer Dana yang menggunakan mekanisme netting, penyelenggara Sistem Transfer Dana tersebut tetap melaksanakan proses perhitungan atas Perintah Transfer Dana yang telah diterima untuk atau dari peserta yang bersangkutan pada tanggal diberlakukannya keputusan likuidasi atau pailit tersebut. Seluruh transaksi yang telah dilakukan oleh peserta yang dikenai pembekuan kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha atau pailit pada tanggal diterbitkannya keputusan pembekuan kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha atau diucapkannya putusan pernyataan pailit tetap diperhitungkan dan dilakukan penyelesaian akhirnya sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai Sistem Transfer Dana tersebut. Contoh: Putusan pailit diucapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2010 pukul 13.00 WIB maka seluruh Perintah Transfer Dana yang telah diterima oleh penyelenggara Sistem Transfer Dana pada tanggal 30 November 2010 pukul 00.00 WIB sampai dengan sebelum pukul 13.00 WIB tetap diperhitungkan dan dilakukan penyelesaian akhirnya. Dalam hal hasil netting menunjukkan bahwa peserta yang dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit memiliki kewajiban kepada
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
158
penyelenggara atau peserta lain, peserta yang dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit harus memenuhi kewajiban pembayaran tersebut sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan mengenai Sistem Transfer Dana dimaksud. Dalam hal hasil netting menunjukkan bahwa peserta yang dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit memiliki hak untuk memperoleh pembayaran dari penyelenggara atau peserta lain, peserta yang dibekukan kegiatan usaha atau dicabut izin usaha atau dinyatakan pailit harus memperoleh pembayaran tersebut sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan mengenai Sistem Transfer Dana dimaksud. Pengesahan Undang-Undang No. 3 tahun 2011 menyebabkan peralihan rezim transfer dana Indonesia dari kategori general law jurisdictions menjadi special statute jurisdictions sebagaimana dikemukakan oleh Safari Kasiyanto sebagai berikut: ... dengan disahkannya RUU tentang Transfer Dana menjadi Undang-Undang, rezim transfer dana Indonesia akan beralih dari kategori general law jurisdictions menjadi special statute jurisdictions sebagaimana Amerika memiliki Article 4A UCC. Meskipun demikian, secara substansi, materi pengaturan dalam UU tentang Transfer Dana ternyata tidak sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip special statute jurisdictions sebagaimana Article 4A UCC dan UNCITRAL Model Law on International Credit Transfers. Beberapa substansi justru diambil dari doktrin yang dianut oleh general law jurisdictions dengan beberapa penyesuaian. Di satu sisi, kombinasi ini bagus karena disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia, namun disisi lain harus dilandasi dengan argumentasi yang kuat khususnya dari aspek filosofi hukumnya serta didukung dengan peraturan pelaksanaan yang jelas agar tidak membingungkan di lapangan.203 203
Safari Kasiyanto, “Era Baru Transfer Dana Di Indonesia Shifting Ke Special Statute Jurisdiction?”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Sosialisasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Surabaya dan Bank Indonesia, Surabaya 19 Desember 2011, h. 7-8.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
159
Pandangan ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No 3 Tahun 2011 sebagai special statute jurisdictions harus memiliki landasan filosofi hukum yang jelas dan didukung oleh peraturan pelaksanaan yang memadai agar dapat terimplementasikan dengan baik. Kegiatan usaha pengiriman uang harus memiliki prinsip-prinsip dalam etika bisnis yaitu : (1) Prinsip Otonomi sebagai sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya; (2) Prinsip Kejujuran dalam melakukan kegiatan usaha; (3) Prinsip Tidak Berbuat Jahat, berintikan prinsip moral sikap baik kepada orang lain dengan tidak hanya mementingkan keuntungan semata; (4) Prinsip Keadilan untuk memperlakukan orang lain sesuai dengan haknya; (5) Prinsip Hormat pada diri sendiri. 204 Berbagai prinsip ini menjadi hakikat dari adanya Prinsip Integritas yang harus ada dalam penyelenggaraan kegiatan transfer dana khususnya yang terkait dengan kegiatan usaha pengiriman uang melalui Alternative Remittance System.
c.
Perbuatan Pidana dan Pemidanaan dalam Transfer Dana Di dalam upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan dalam bidang
transfer dana, di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 diatur pada Bab XII mengenai ketentuan Pidana mulai Pasal 79 – 88. Dari perumusan delik pada Bab XII Undang-Undang No. 3 Tahun 2011, nampak perbuatan-perbuatan pidana sebagai berikut :
204
Desertasi
A. Sonny keraf, op.cit., h. 70-75
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
160
1. Pasal 79 Melakukan kegiatan penyelenggara transfer dana tanpa izin sesuai ketentuan Pasal 69 ayat (1). Di dalam Pasal 69 ayat (1) menentukan bahwa Badan Usaha bukan bank yang melakukan kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana wajib berbadan hukum Indonesia dan memperoleh izin dari Bank Indonesia. Ketentuan pidana ini ditujukan bukan kepada bank melainkan kepada Badan Usaha bukan bank yang menyelenggarakan kegiatan Transfer Dana. Sanksi pidana yang dapat dikenakan atas pasal ini adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000.000,(tiga miliar rupiah). Sanksi pidana bersifat alternatif. Selain sanksi pidana tersebut, juga penyelengara Transfer Dana tanpa izin wajib menghentikan seluruh kegiatan penyelenggaraan Transfer Dananya. 2. Pasal 80 (3) Secara melawan hukum membuat atau menyimpan sarana Perintah Transfer Dana dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang lain untuk menggunakannya. Sanksi pidana : Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
161
(4) Menggunakan dan/atau menyerahkan sarana Perintah Transfer Dana. Sanksi pidana : Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah). 3. Pasal 81 Secara melawan hukum mengambil atau memindahkan sebagian atau seluruh dana milik orang lain melalui Perintah Transfer Dana Palsu. Sanksi pidana : Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). 4. Pasal 82 Dengan sengaja menerima atau menampung, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, suatu dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari Perintah Transfer Dana yang dibuat secara melawan hukum. Sanksi pidana : Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). 5. Pasal 83 Secara melawan hukum mengubah, menghilangkan, atau menghapus sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana dengah maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
162
Sanksi pidana : - Pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). (5)Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua) miliar rupiah. (bilamana tindak pidana mengakibatkan kerugian pengirim dan/atau penerima) 6. Pasal 84 Secara melawan hukum merusak Sistem Transfer Dana. Sanksi pidana : Pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah). 7. Pasal 85 Dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya. Sanksi pidana : Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Guna memperjelas penjabaran berbagai perbuatan pidana beserta sanksi pemidanaan dalam bidang transfer dana maka dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
163
Tabel 6. Perbuatan Pidana dalam Transfer Dana Pasal 79
Subyek hukum Setiap orang
Unsur-unsur Perbuatan Pidana
Sanksi Pidana
Melakukan kegiatan penyelenggara transfer dana tanpa izin
80 (1)
80(2)
Setiap orang
Setiap orang
Secara melawan hukum Membuat atau menyimpan sarana Perintah Dana Tujuan : menggunakannya atau menyuruh orang lain untuk menggunakannya Menggunakan dan / atau menyerahkan sarana Perintah Transfer Dana
81
Setiap orang
82
Penerima
83 (1)
Setiap orang
83 (2)
Desertasi
Setiap
Secara melawan hukum Mengambil atau Memindahkan sebagian atau seluruh Dana milik orang lain melalui Perintah Transfer Dana Sengaja Menerima atau menampung, baik untuk diri sendiri atau untuk orang lain Obyek: Dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari Perintah Transfer Dana yang dibuat secara melawan hukum Secara melawan hukum Mengubah, menghilangkan, atau menghapus sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain Secara melawan hukum
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
pidana penjara max 3 tahun atau pidana denda max Rp.3.000.000.000,pidana tambahan menghentikan seluruh kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana-nya. Pidana penjara max 2 tahun atau pidana denda max Rp. 2.000.000.000,Pidana penjara max 4 tahun atau Pidana denda max Rp. 4.000.000.000,Pidana penjara max 5 tahun atau Pidana denda max Rp. 5.000.000.000,Pidana penjara max 4 tahun dan/atau Pidana denda max Rp. 1.000.000.000,-
Pidana penjara max 2 tahun atau Pidana denda max Rp. 1.000.000.000,-
Pidana penjara max 4 tahun
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
orang
84
Setiap orang
85
Setiap orang
Mengubah, menghilangkan, atau menghapus sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain Perbuatannya mengakibatkan kerugian pengirim dan/atau penerima Secara melawan hukum Merusak Sistem Transfer Dana Secara melawan hukum Menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya
164
atau Pidana denda 2.000.000.000,-
max
Pidana penjara max 20 tahun dan Pidana denda max Rp. 20.000.000.000,Pidana penjara max 5 tahun atau Pidana denda max Rp. 5.000.000.000,-
Uraian di dalam tabel menunjukkan berbagai karakteristik dalam perbuatanperbuatan pidana beserta sanksi pemidanaan dalam Transfer Dana yaitu sebagai berikut : 1. Adanya ketentuan pidana yang berupa delik commisionis (aktif) yaitu dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 83, Pasal 84 dan ada yang berupa delik omisionis (pasif) yaitu dalam Pasal 82 dan Pasal 85. 2. Adanya beberapa pasal yang menyebutkan secara eksplisit tentang unsur melawan hukum yaitu dalam Pasal 80 (1), Pasal 81, Pasal 83, Pasal 84. 3. Ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 termasuk dalam delik formal yang menekankan pada perbuatannya.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
Rp.
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
165
4. Adanya sanksi pemidanaan yang bersifat alternatif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79, Pasal 80 (1), Pasal 80 (2), Pasal 81, Pasal 83, Pasal 85, selain itu juga ada sanksi pemidanaan yang bersifat kumulatif dalam Pasal 82 dan Pasal 84. 5. Adanya pemberatan pidana yaitu pidana pokok maksimum ditambah 1/3 bagi perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh pengurus, pejabat dan/atau pegawai penyelenggara. Hal ini ditentukan dalam Pasal 86. 6. Diakuinya korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam Pasal 80 – Pasal 85 serta dapat dikenakannya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Hal ini diatur dalam Pasal 87 ayat (1). 7. Diakuinya asas ultra vires dimana pertanggungjawaban pidana korporasi dikenakan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 87 ayat (2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi jika tindak pidana : a. dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. 8.
Adanya pemberatan pidana maksimum yaitu pidana pokok ditambah 2/3 bagi perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
9.
166
Tidak adanya ancaman pidana minimum (straf minima) bagi perbuatanperbuatan pidana yang ada dalam Transfer Dana. Di dalam ketentuan Pasal 80 – 85 hanya ada ancaman pidana maksimum (straf maximum).
11. Disamping adanya pidana pokok, bagi tindak pidana yang ada dalam Pasal 80 ayat (2), Pasal 81, Pasal 83 ayat (2), atau Pasal 85 juga dapat dikenai kewajiban pengembalian dana hasil tindak pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 88. Kewajiban pengembalian Dana tersebut tidak menghapuskan pidana pokok. Mengacu pada ketentuan perbuatan pidana dan pemidanaan yang ada dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 nampak bahwa belum diaturnya ketentuan pidana bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Alternative Remittance System antara lain: 1. Tidak diaturnya prinsip-prinsip pidana yang tepat bagi penyelenggara Alternative Remittance System. Berbagai prinsip umum yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tidak sesuai dengan karakteristik dari Alternative Remittance System. 2. Tidak diaturnya perbuatan pidana bagi penyelenggara Alternative Remittance System yang telah memperoleh izin akan tetapi dalam pelaksanaan tidak memberikan pelaporan atas kegiatan Transfer Dana atau memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. 3. Tidak diaturnya ketentuan pidana bagi Penyelenggara dan/atau pengguna jasa dalam yang memanfaatkan Alternative Remittance System bagi
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
167
kepentingan kejahatan seperti tax avoiding atau pelarian modal (capital flight). 4. Tidak diaturnya ketentuan pidana bagi Penyelenggara dan pengguna jasa yang memanfaatkan Alternative Remittance System untuk memudahkan kegiatan tindak pidana pencucian uang maupun pendanaan kegiatan terorisme guna menghindari perbankan yang semakin ketat. 5. Tidak diaturnya ketentuan pidana bagi Penyelenggara Alternative Remittance System yang tidak memberikan laporan transaksi tunai (cash transaction report) atau laporan transaksi mencurigakan (suspicious transaction report). 6. Tidak diaturnya ketentuan pidana Penyelenggara Alternative Remittance System yang tidak melakukan pengarsipan yang dapat memberikan paper trail bagi setiap transaksi yang dilakukannya. 7. Tidak adanya ketentuan pidana terhadap penyelenggara Alternative Remittance System yang tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian dan customer due diligence dalam melakukan kegiatan usaha pengiriman uang sebagaimana dilakukan oleh penyelenggara pengiriman uang melalui bank. 8. Tidak adanya kewajiban hukum bagi Penyelenggara Alternative Remittance System untuk memiliki rekening bank tersendiri untuk menampung dana nasabah 9. Tidak diaturnya ketentuan pidana bagi pihak-pihak penyelenggara Alternative Remittance System yang tidak melaksanakan kepatuhannya kepada lembaga pengawas. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
168
Perbankan yang secara eksplisit menentukan bahwa bank harus tunduk patuh terhadap ketentuan-ketentuan Bank Indonesia. Ancaman pidana pada pasal 49 ayat (2) huruf b dan pasal 50A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dikenakan bilamana pemegang saham, anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank tidak melaksanakan kepatuhan terhadap Bank Indonesia. Kurang memadai dan komprehensif pengaturan terhadap penyelenggara transfer dana non bank khususnya Alternative Remittance System menyebabkan timbulnya kerugian baik bagi negara (dalam hal ini adalah sistem keuangan dan perekonomian negara) maupun bagi masyarakat sebagai akibat dari adanya kejahatan ekonomi. Walaupun pada hakikatnya kegiatan transfer dana merupakan kegiatan dalam bidang hukum perdata, akan tetapi mengingat adanya fungsi hukum pidana yang tidak hanya melindungi kepentingan orang perorangan melainkan juga melindungi kepentingan negara dan masyarakat (ultilitarian approach) menyebabkan hukum pidana dapat ikut campur dalam kegiatan transfer dana bilamana sanksi administratif atau sanksi perdata tidak mampu menyelesaikannya. Menurut Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Hakim dalam buku Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab menjelaskan: Dihadirkannya Hukum Pidana dalam kehidupan masyarakat didasarkan atas pertimbangan : a. Peraturan – peraturan dan norma-norma kehidupan, baik yang berasal dari masyarakat (misalkan adat kebiasaan) maupun dari negara belum cukup menjamin atau belum cukup kuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban yang langgeng dan merata. Hal ini disebabkan peraturanperaturan dan norma-norma kehidupan yang sudah ada dan tempat di mana ada kesempatan, sedangkan penindakannya sering kali tidak
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
169
mempan (tidak berdaya guna), seperti ganti rugi dalam Hukum Perdata atau pemecatan dalam Hukum Administrasi Negara. Karena itu diperlukan lagi suatu hukum yang khusus mengatur mengenai penghukuman orang-orang yang melanggar peraturan –peraturan tersebut. Hukum inilah yang akhirnya tampil sebagai Hukum Pidana b. Demi tercapainya kepastian hukum yang menjamin bahwa hukum tidak diterapkan secara sewenang-wenang, diperlukan adanya Hukum Pidana yang khusus mengatur masaah pengganjaran terhadap siapa saja yang bertanggung jawab terhadap suatu peristiwa pidana. Hal ini amat penting untuk mencegah timbulnya tindakan main hakim sendiri dalam masyarakat di mana korban atau pihak korban secara langsung membalas sendiri pelaku suatu tindak pidana itu sebagai pengganjarannya, bila seandainya tidak ada Hukum Pidana yang menjamin bahwa pelaku tersebut pasti akan ditindak. c. Dalam hal-hal tertentu, seringkali dirasakan bahwa norma-norma kehidupan itu banyak yang kurang memadai atau banyak yang kurang praktis atau terlampau kaku untuk dipakai sebagai pedoman orang dalam bersikap tindak.205 Bahkan
hukum
pidana
dapat
menjadi
ultimum
remedium
bilamana
penyalahgunaan dalam Alternative Remittance System menimbulkan berbagai kejahatan ekonomi antara lain membahayakan sistem perekonomian negara khususnya dalam system pembayaran. Oleh karenanya membutuhkan adanya kriminalisasi bagi perbuatan-perbuatan pidana dalam Alternative Remittance System.
205
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Hakim, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Rajawali, Jakarta, h. 36 – 37.
Desertasi
ALTERNATIVE REMITTANCE .....
SUHARTATI