BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi seiring dengan semakin
meningkatnya pertumbuhan penduduk pada akhirnya berimplikasi pada pembangunan sarana dan prasarana fisik kota yang semakin intensif. Pembangunan fisik yang dilakukan di perkotaan tentu saja memerlukan ruang yang memadai sedangkan kebutuhan lahan untuk peruntukan lain seperti permukiman maupun kegiatan ekonomi juga semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan terus berkurangnya luas lahan terbuka di wilayah perkotaan. Lahan terbuka yang semakin menyempit ini membawa akibat yang signifikan pada kondisi lingkungan perkotaan, salah satunya dari aspek hidrologi. Lahan terbangun pada perkotaan merupakan lahan yang bersifat kedap air sehingga diperlukan sistem buatan berupa saluran drainase untuk mengalirkan air hujan memasuki sistem sungai alami sebagai saluran primer. Saluran drainase ini pada awalnya dibangun dengan mempertimbangkan karakteristik fisik wilayah pada masa awal perencanaan. Perkembangan perkotaan yang pesat mengakibatkan perubahan karakteristik fisik tersebut, diantaranya semakin berkurangnya lahan untuk resapan air. Koefisien aliran yang semakin besar berakibat pada semakin besarnya debit air hujan yang menjadi limpasan permukaan, akibatnya saluran drainase tidak mampu lagi menampung volume air limpasan tersebut. Masalah penurunan kapasitas saluran ini seringkali menjadi semakin parah akibat terjadinya sedimentasi dan penggunaan saluran sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga. Volume limpasan yang sudah tidak mampu lagi ditampung oleh saluran akan meluap dan menggenangi wilayah sekitarnya seperti kasus Klitren yang dapat dilihat pada Gambar 1.1. Genangan air yang muncul pada suatu kejadian hujan (storm water) tidak berlangsung lama. Walaupun demikian, adanya genangan air pada bangunan jalan tentu saja sangat merugikan bagi pengguna jalan maupun warga sekitar. Dampak yang terjadi antara lain : 1) Menghambat arus transportasi perkotaan yang padat, 2) Mengurangi estetika bagi pengguna jalan, dan 3) Mengundang sumber penyakit akibat lingkungan yang kotor.
1
Gambar 1.1. Genangan Tahun 2008 di RT.30, RW 07, Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman (Foto : Dok. Bidang PLP, Dinas PUP-ESDM DIY 2009) Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta merupakan wilayah permukiman di perkotaan dengan kondisi bangunan yang sangat padat dan hampir seluruh wilayahnya merupakan lahan terbangun. Padatnya permukiman kota ini dicirikan pula dengan banyaknya bangunan rumah dan gedung bertingkat karena keterbatasan lahan yang tersedia. Sungai Belik yang melintasi kampung ini bahkan sudah mengalami penyempitan tubuh sungai akibat kebutuhan akan lahan tersebut. Banyak pula bangunan dibangun di atas sungai tersebut yang berarti menambah lahan kedap air di atas saluran. Saluran drainase yang menuju sungai ini juga banyak yang telah beralih fungsi sebagai pembuangan limbah berupa sampah. Kondisi yang demikian mengakibatkan timbulnya genangan air yang muncul ketika hujan, baik karena kapasitas drainase yang kurang memadai, maupun sebagai dampak luapan aliran sungai. Kondisi saluran drainase Kelurahan Klitren yang telah mengalami dinamika dan perubahan fungsi ini perlu dilakukan evaluasi berdasarkan analisis curah hujan, volume limpasan, debit rancangan, dan dimensi saluran menggunakan data yang terkini agar dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam pengambilan keputusan yang terkait pembangunan serta perbaikan fungsi lingkungan oleh instansi yang berwenang.
2
1.2
Perumusan Masalah Kondisi saluran drainase Kelurahan Klitren yang telah mengalami
dinamika dan perubahan fungsi ini menyebabkan terjadinya banjir genangan ketika hujan terjadi dengan intensitas tinggi. Masalah genangan ini harus diatasi untuk perbaikan kualitas lingkungan permukiman padat di perkotaan ini. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi kapasitas saluran drainase, dengan berdasarkan analisis curah hujan menggunakan data yang terkini (2002-2012), debit banjir maksimum, dan kapasitas maksimum saluran. Hujan rancangan digunakan dengan maksud membuat perencanaan perhitungan kapasitas agar mampu menampung kejadian hujan ekstrem. Hujan rancangan untuk luas Daerah Tangkapan Air yang kecil menggunakan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun, demikian pula perhitungan debit rancangan juga menyesuaikan kala ulang tersebut agar dapat dibandingkan besarnya. Dari beberapa masalah tersebut maka penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan berikut: 1. Berapa besar debit limpasan permukaan pada DTA Klitren berdasarkan perhitungan hujan dengan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun? 2. Berapa kapasitas maksimum saluran drainase DTA Klitren? 3. Bagaimana kapasitas saluran drainase tersebut dalam mengalirkan debit limpasan yang ada?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Menghitung besarnya debit limpasan (Qp) DTA Klitren dengan perhitungan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun. b) Menghitung besarnya kapasitas maksimum saluran drainase (Qc) DTA Klitren. c) Mengevaluasi kapasitas saluran drainase yang ada di DTA Klitren berdasarkan perhitungan banjir dengan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun.
3
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini mencoba menuangkan buah pemikiran untuk memecahkan
masalah nyata yang terjadi pada daerah penelitian berupa satu masalah hidrologis perkotaan, yaitu banjir genangan. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu upaya pengelolaan lingkungan perkotaan, terutama di wilayah DTA Klitren. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat berguna secara praktis bagi pemerintah daerah sebagai salah satu rujukan awal pertimbangan dalam melakukan kegiatan pembangunan permukiman perkotaan.
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1 Landasan Teori 1.5.1.1 Siklus Hidrologi Alami dan Siklus Hidrologi Perkotaan Siklus hidrologi menurut Asdak (2010) adalah perjalanan air dari permukaan laut, kemudian ke atmosfer, menuju ke permukaan, dan kembali lagi ke laut. Air dalam perjalanannya mengalami berbagai macam proses yang diiringi dengan perubahan fasa serta perubahan fungsi. Proses yang terjadi pada siklus hidrologi adalah: evaporasi, kondensasi, presipitasi, infiltrasi, perkolasi, dan runoff (Nagle & Spencer, 1997). Penguapan atau evaporasi pada permukaan laut dan tubuh air di daratan melibatkan air dalam fasa gas yaitu uap air. Presipitasi melalui hujan, kabut, dan salju melibatkan air dalam fasa cair dan padat. Wujud cair air yang terdapat pada sungai, danau, dan laut merupakan tahap perjalanan air yang paling nampak dan dapat dilihat sehari-hari. Siklus hidrologi yang terjadi pada perkotaan sudah mengalami perubahan sebagai akibat perlakuan terhadap lingkungan perkotaan oleh aktivitas manusia seperti pembangunan atau perubahan penggunaan lahan ke arah lahan terbangun yang kedap air. Perubahan tersebut akan membawa dampak yang signifikan bagi keberlangsungan siklus hidrologi. Hujan yang seharusnya berubah wujud menjadi limpasan permukaan, interflow, dan baseflow, karena lahan yang kedap dan tidak mau menyerap air, komponen interflow dan baseflow dapat berkurang atau habis. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.2.
4
Gambar 1.2. Perbedaan Siklus Hidrologi pada DAS Alami dan Terbangun. (Sumber: http://www.blueplanet.nsw.edu.au/SiteFiles/blueplanetnsweduau/urbancycle.gif)
Air dari presipitasi terhalang oleh lahan kedap akan mengurangi jumlah air yang akan terinfiltrasi dan perkolasi. Air hujan sebagian besar akan bertransformasi menjadi limpasan permukaan runoff. Akibatnya permukaan lahan akan terlimpas oleh air ketika hujan serta dapat mengakibatkan genangan pada lahan yang datar. Sebagai akibat, aliran sungai yang melintasi perkotaan sangat bergantung pada terjadinya hujan. Apabila terjadi hujan deras, sungai akan mengalir pula dengan deras akibat runoff menuju sungai, sedangkan pada saat kemarau ketika tidak terjadi limpasan, sungai juga menjadi kering.
1.5.1.2
Analisis Curah Hujan Suripin (2004) menyatakan bahwa hujan merupakan faktor terpenting
dalam analisis hidrologi. Intensitas hujan yang tinggi pada suatu kawasan hunian yang kecil dapat mengakibatkan genangan pada jalan-jalan, tempat parkir, dan tempat-tempat lainnya karena fasilitas drainase tidak didesain untuk mengalirkan air akibat intensitas hujan yang tinggi. Karakteristik hujan yang perlu ditinjau dalam analisis dan perencanaan hidrologi menurut Suripin (2004), meliputi: 1. Intensitas hujan, yaitu laju hujan atau tinggi air persatuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam, atau mm/hari. 2. Durasi atau lama waktu, adalah panjang waktu di mana hujan turun dalam menit atau jam.
5
3. Tinggi hujan, yaitu jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi hujan dan dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm. 4. Frekuensi hujan yang dinyatakan dalam kala ulang (return period), misalnya sekali dalam 2 tahun. 5. Luas geografis daerah sebaran/distribusi hujan.
1.5.1.2.1
Hujan Rancangan
Perhitungan hidrologi untuk perencanaan bangunan air memerlukan data jangka panjang. Data ini nantinya diproyeksikan menjadi hujan rancangan atau hujan rencana. Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana (Sosrodarsono & Takeda, 1977). Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu distribusi normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Person III, dan distribusi Gumbel. Sebelum menghitung curah hujan wilayah dengan distribusi yang ada dilakukan terlebih dahulu pengukuran dispersi untuk mendapatkan parameterparameter yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rencana (Suripin, 2004).
1.5.1.2.2
Intensitas-Durasi-Frekuensi
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung, intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Hubungan antara intensitas, lama hujan, dan frekuensi hujan biasanya dinyatakan dalam lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF) (Suripin, 2004). Menurut Harto (1993) analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data hujan yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia cukup waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau tidak
6
tersedia alat, maka intensitas hujan dapat ditentukan menggunakan rumus-rumus empiris seperti rumus Talbot, Sherman, dan Ishiguro. Pembuatan lengkung IDF dengan rumus-rumus tersebut mempertimbangkan ketersediaan data intensitas dan lamanya hujan. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, digunakan data hujan harian yang dihitung dengan rumus Mononobe.
1.5.1.3
Koefisien Limpasan Permukaan (C) Koefisien limpasan permukaan adalah angka yang menunjukkan nilai
perbandingan antara air hujan yang jatuh pada suatu lahan terhadap air yang menjadi limpasan permukaan. Faktor ini merupakan variabel yang paling menentukan hasil perhitungan debit banjir (Suripin, 2004). Pemilihan harga C yang tepat memerlukan pengalaman hidrologi yang luas. Faktor utama yang mempengaruhi C adalah laju infiltrasi tanah atau persentase lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan. Permukaan kedap air, seperti perkerasan aspal dan atap bangunan, akan menghasilkan aliran hampir 100% setelah permukaan menjadi basah, seberapa pun kemiringannya. Koefisien limpasan juga tergantung pada sifat dan kondisi hidrologi tanah. Laju infiltrasi menurun pada hujan yang terus menerus dan juga dipengaruhi oleh kondisi kejenuhan air sebelumnya. Faktor lain yang mempengaruhi nilai C adalah airtanah, derajat kepadatan tanah, porositas tanah, dan simpanan depresi. Semakin besar nilai C artinya air yang menjadi limpasan semakin besar sehingga air yang menjadi cadangan airtanah berkurang dan memperbesar kemungkinan terjadinya banjir (Asdak, 2010).
1.5.1.4
Metode Rasional Model hujan-aliran yang sering digunakan untuk daerah perkotaan
adalah model Rasional. Model ini mempunyai asumsi-asumsi sebagai berikut: 1). Hujan merata di seluruh Daerah Tangkapan Hujan, 2). Lama hujan sama dengan waktu konsentrasi, 3). Timbunan permukaan diabaikan atau hujan yang jatuh di lahan menjadi aliran. Berdasarkan asumsi-asumsi yang digunakan, maka model ini cocok untuk daerah tangkapan hujan yang kecil dan wilayah sudah terbangun
7
(wilayah urban). Handayani et al. (2011) menggunakan persamaan rasional untuk mengukur debit pada wilayah kajian yang luasnya kurang lebih 80 ha: Qmaks = 0,278 C I A Q maks
= debit maksimum (m3/dt)
C
= koefisien limpasan
I
= intensitas hujan dengan durasi sama dengan waktu konsentrasi (mm/jam)
A
1.5.1.5
= luas DAS (km2)
Permasalahan Hidrologis Perkotaan
1.5.1.5.1
Banjir Perkotaan
Banjir merupakan masalah yang terjadi pada kota-kota besar di Indonesia, termasuk pada kota Yogyakarta. Permasalahan utamanya adalah pembangunan intensif yang dilakukan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Pembangunan ini seringkali tidak memerhatikan kaidah konservasi air, sehingga pada daerah tangkapan yang seharusnya dibiarkan alami juga dilakukan pembangunan pula, sehingga menghambat proses infiltrasi dan akhirnya memperbesar limpasan yang terjadi. O’Sullivan et al. (2002) menyatakan bahwa limpasan yang semakin besar akan memberikan tekanan pada saluran yang ada untuk membuang kelebihan air. Banjir terjadi akibat kelebihan air yang tidak tertampung oleh jaringan saluran buangan air hujan (drainase kota), sehingga menimbulkan genangan yang merugikan. Sebenarnya genangan dan banjir sangat erat kaitannya dengan saluran drainase, dengan mengetahui distribusi aliran air di saluran drainase saat terjadi hujan, maka potensi terjadinya genangan dan banjir dapat diprediksi.
1.5.1.5.2
Karakteristik Banjir
Upaya untuk mengatasi banjir memerlukan informasi tentang karakteristik banjir yang terjadi. Karakteristik banjir yang perlu diketahui adalah debit maksimum banjir, waktu mencapai puncak banjir, lama penggenangan, dan volume aliran. Informasi tersebut tidak mudah untuk diperoleh, terutama pada daerah-daerah yang tidak mempunyai stasiun pengamatan banjir. Untuk banjir kota yang disebabkan oleh luapan air hujan pada saluran buangan, lebih sulit lagi
8
untuk mendapatkan karakteristik banjir tersebut. Pada wilayah perkotaan pada umumnya merupakan banjir sesaat, yaitu banjir yang terjadi saat terjadi hujan lebat. O’Sullivan et al. (2002) menambahkan bahwa dengan adanya pembangunan saluran bawah tanah, parit dan gorong-gorong, nantinya semakin menambah volume yang melewati jaringan drainase, sehingga banjir menjadi semakin besar.
1.5.1.6
Sistem Drainase Perkotaan
Sistem drainase yang ada di perkotaan menurut Subarkah (1980) dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu sistem drainase untuk hujan permulaan dan sistem drainase pokok. Drainase hujan permulaan yang dimaksud ialah bangunanbangunan termasuk parit, saluran tepi jalan, dan gorong-gorong. Saluran ini melayani pengaliran air hujan pada unit terkecil suatu daerah tangkapan, dengan perencanaan menggunakan kala ulang 2 hingga 5 tahun. Sedangkan sistem drainase pokok merupakan muara dari sistem hujan permulaan. Sistem ini meliputi sungai, saluran alami, saluran pembuangan buatan, dataran penampung banjir, dan jalan besar. Sistem ini diharuskan mempunyai kapasitas yang lebih besar, dan direncanakan dengan kala ulang mencapai 100 tahun. Pembagian sistem drainase ini dalam sumber lain, Suripin (2004) biasanya disebut sebagai sistem drainase primer dan sekunder, dengan pengertian yang sama.
1.5.1.6.1
Kapasitas Saluran
Khair dan Terunajaya (2013) mengaplikasikan rumus Manning untuk menghitung dimensi saluran yang ada. Untuk debit maksimum dengan periode ulang tertentu (debit rancangan), maka diperlukan hujan rancangan berdasar data hujan seri. Evaluasi kemampuan saluran buangan permukaan dilakukan dengan cara menghitung kapasitas saluran, kemudian dibandingkan dengan
hasil
perhitungan debit rancangan. Apabila debit rancangan lebih besar dari kapasitas saluran buangan, berarti terjadi luapan atau banjir/genangan di sekitar saluran buangan. Dengan demikian akan dapat diketahui kapasitas maksimum saluran dapat menampung debit rancangan pada periode ulang tertentu.
9
1.5.1.6.2
Daerah Tangkapan Air
Daerah tangkapan air atau daerah pengaliran yaitu suatu daerah yang dialiri oleh sungai yang berhubungan sehingga aliran-aliran dari daerah tersebut keluar melalui sebuah outlet (Linsley, 1982). Konsepsi Daerah Tangkapan Air mirip dengan batasan DAS pada wilayah kajian yang belum terbangun. Perbedaan yang paling terlihat, pada DTA, topografi bukan merupakan faktor yang utama, melainkan pola sistem saluran drainase yang akan dijadikan dasar untuk menentukan batasnya. Hal ini mengingat wilayah perkotaan yang cenderung datar, sehingga batas topografi tidak dapat mencerminkan batas sistem pengaliran. Batas daerah tangkapan air ditentukan berdasarkan peta kontur dan peta jaringan drainase yang telah dilakukan observasi lapangan untuk memvalidasi datanya, kemudian dibatasi berdasarkan arah dan pola saluran yang menuju outlet yang sama. Setelah pola jaringan drainase ditentukan, maka pembagian sub-DTA masing-masing segmen saluran dapat digambarkan dalam peta, kemudian dihitung luas masing-masing sub-DTA. Tipe penggunaan lahan di tiap-tiap sub-DTA diidentifikasi untuk menentukan besarnya koefisien limpasan permukaan C.
1.5.1.6.3
Waktu Konsentrasi (Tc)
Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi (Suripin, 2004). Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol. Waktu konsentrasi merupakan elemen yang penting dalam perhitungan debit banjir menggunakan rumus rasional. Rumus rasional menggunakan intensitas hujan rata-rata selama waktu tiba banjir dalam perhitungan debit banjir. Kirpich (1940) dalam Suripin (2004) merumuskan formula untuk menghitung tc : Tc = 0,0195 𝐿0,77 S−0,385 Tc adalah waktu konsentrasi (menit), L adalah panjang maksimum aliran (meter), dan S adalah kemiringan rata-rata saluran.
10
1.5.2
Penelitian Sebelumnya Penelitian berupa evaluasi kapasitas saluran drainase di daerah perkotaan
telah beberapa kali dilakukan oleh peneliti berbeda dengan wilayah dan metode berbeda pula. Evaluasi kapasitas saluran dipicu adanya masalah lingkungan berupa banjir genangan pada jalan raya maupun lingkungan perkampungan. Metode yang seringkali digunakan dalam evaluasi seperti ini adalah slope area untuk menghitung kapasitas maksimum saluran yang nantinya dibandingkan dengan debit limpasan yang ada pada suatu wilayah. Apabila kapasitas saluran lebih kecil dari limpasan yang harus dilalukan, maka perlu dilakukan evaluasi pada saluran tersebut berupa usulan perubahan dimensi maupun penyelesaian masalah saluran terkait dengan sedimentasi serta penumpukan sampah. Adapun perbandingan penelitian dengan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan ditunjukkan oleh Tabel 1.1.
11
Tabel 1.1. Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya No. Peneliti (tahun) 1 Putra, Lisa Frediyatna (2010)
Judul Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase di Kelurahan Tahunan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta
Tujuan 1. Menghitung besarnya limpasan maksimum yang disebabkan oleh hujan dengan periode ulang 2, 5, dan 10 tahun
2
Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Jalan Arteri Utara Antara Jalan Kaliurang-Sungai Code
1. Menghitung besar 1. Analisis limpasan maksimum yang frekuensi IDF disebabkan hujan rancangan pada periode 2. Metode rasional ulang 1, 2, 5, dan 10
12
Puspitorukmi, Arum (2011)
Metode 1. Gumbel type I dan Log-Pearson III untuk menentukan curah hujan maksimum
Hasil Hampir seluruh saluran di Kelurahan Tahunan mampu mengalirkan air dengan periode ulang 5 tahun. Daerah yang sering mengalami genangan adalah: Sub drainase Kelurahan, Jalan Babaran, dan Jalan Batikan. 2. Mengetahui faktor- 2. Rumus Penyebabnya antara lain topografi faktor yang mempengaruhi Mononobe untuk yang relatif datar, kapasitas saluran limpasan pada daerah menentukan yang kecil, tanaman pengganggu, penelitian intensitas hujan kurang perawatan, dan penumpukan sampah. 3. Mengetahui 3. Rumus rasional kemampuan saluran drainase terhadap besarnya 4. Pembandingan limpasan maksimum limpasan dengan periode ulang 2, 5, dan 10 kapasitas saluran tahun drainase
Kapasitas maksimum saluran drainase tidak mampu menampung air hujan kala ulang 10 tahun dengan debit maksimum 2.042 m3/s (2 tahun), 2308 m3/s (5 tahun), dan 2.756 m3/s (10
3.
13
Hijayati, (2013)
tahun. 3. Mretode slope2. Mengetahui kapasitas area maksimum saluran drainase 4.Pembandingan limpasan 3. Mengetahui permukaan dan kemampuan saluran debit saluran drainase terhadap besarnya drainase limpasan maksimum pada hujan rancangan 1, 2, 5, dan 10 tahun 1. Mengetahui debit 1. Log-Pearson III rencana maksium beberapa penggal saluran 2. Rumus Talbot drainase dengan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun 3. Rumus rasional
tahun) dengan debit maksimum tampungan adalah 2.467 m3/s.
Yeni Evaluasi Kapasitas Saluran drainase 1 mampu Saluran Drainase di menampung debit limpasan kala Sebagian Daerah Antara ulang 5 dan 10 tahun. Saluran 2 tidak Jalan Kaliurang dan mampu menampung debit rencana Sungai Pelang, Kecamatan kala ulang 2, 5, 10 tahun. Saluran 3 Depok, Kabupaten hanya mampu menampung kala ulang Sleman, Yogyakarta 2. Mengetahui kapasitas 4. Metode slope 2 tahun. Pada kala ulang 10 tahun saluran drainase eksisting area hanya saluran primer yang mampu menampung debit saluran maksimum 3. Mengetahui 5. Perbandingan (16,21 m3/s) kemampuan saluran dimensi eksisting drainase dalam dan rencana. menampung besar debit rencana kala ulang 2, 5, dan 10 tahun
4.
14
Saputro, Rinaldy (2014) 5
Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Perkotaan (Studi Kasus : Kelurahan Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta)
1. Menghitung besarnya debit limpasan (Qp) DTA Klitren dengan perhitungan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun. 2. Menghitung besarnya kapasitas maksimum saluran drainase (Qc) DTA Klitren. 3. Mengevaluasi kapasitas saluran drainase yang ada di DTA Klitren berdasarkan perhitungan banjir dengan kala ulang 2, 5, dan 10 tahun.
1. Log Pearson Tipe III 2. Rumus Mononobe 3. Rumus Rasional 4. Metode Slope Area 5. Perbandingan Qp 2, 5, dan 10 tahun terhadap Qc
Saluran Jl. Klitren, Jl. Klitren Selatan, Jl. Tribrata, dan Jl. Langensari tidak mampu mengalirkan debit banjir maksimum Sub DTA 1, Sub DTA2, Sub DTA 4a, dan Sub DTA 4 secara berurutan, karena besar kapasitas saluran utama tiap-tiap Sub DTA tersebut lebih kecil dibandingkan dengan debit banjir maksimumnya pada kala ulang 2, 5, dan 10 tahun. Hanya Saluran Jl. Kusbini yang mampu mengalirkan debit banjir rancangan pada semua kala ulang.
1.5.3
Kerangka Pemikiran Perkotaan merupakan wilayah dengan dinamika yang sangat tinggi.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk, terjadi pula perubahan penggunaan lahan. Lahan kedap air membawa dampak buruk bagi lingkungan perkotaan karena dapat meningkatkan debit limpasan permukaan, sementara saluran drainase yang sudah dibangun telah direncanakan berdasarkan karakteristik penggunaan lahan yang lama. Saluran drainase yang kondisinya tidak bertambah kapasitasnya harus menampung air dari limpasan yang semakin besar debitnya. Akibatnya banjir perkotaan tidak dapat dihindarkan. Banjir yang terjadi di wilayah perkotaan dapat ditanggulangi dengan revitalisasi fungsi saluran drainase. Evaluasi kapasitas saluran merupakan salah satu pemecahan masalah tersebut. Secara kuantitas, apabila air limpasan dari lahan semakin besar, maka membutuhkan kapasitas saluran yang lebih besar pula agar seluruh limpasan mampu dialirkan melalui saluran drainase.
15
Perkotaan
Pertumbuhan Penduduk;
Saluran Drainase buatan; untuk membuang kelebihan air
Perubahan PL
Perubahan Koefisien Limpasan
Saluran tidak ditambah kapasitasnya
Peningkatan debit limpasan
Banjir Perkotaan, Genangan
Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase
Gambar 1.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
1.5.4
Batasan Istilah 1. Evaluasi :
Penilaian (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
2. Banjir
Debit / tinggi aliran air dalam suatu saluran, karena
:
berbagai sebab melebihi kapasitas maksimum secara normal (Foster, 1949) 3. Debit
:
Volume air yang mengalir melalui suatu penampang
melintang salutan per satuan waktu (Chow, 1964)
16
4. Debit Banjir Rencana: Debit yang disesuaikan dengan rencana suatu bangunan
air
setelah
memperhatikan
faktor
hidro-ekonomis
(Subarkah, 1980) 5. Analisis frekuensi adalah analisis yang didasarkan pada sifat statistik data yang tersedia untuk memperoleh probabilitas besaran data di waktu yang akan datang (Harto, 1993). 6. Saluran Drainase : Saluran untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun air irigasi dari suatu wilayah atau lahan sehingga fungsi lahan atau wilayah tersebut tidak terganggu (Suripin, 2004) 7. Koefisien Limpasan Permukaan : Nisbah antara puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan (Suripin, 2004) 8. Daerah Tangkapan Air (DTA) : Daerah Pengaliran. Daerah yang dialiri sungai yang berhubungan sehingga aliran-aliran dari daerah tersebut keluar melalui sebuah outlet (Linsley, 1982)
17