BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, saat ini hampir setiap orang dalam satu ruang lingkup keluarga memiliki kendaraan bermotor, baik motor ataupun mobil, dari yang berharga murah dan terjangkau sampai dengan yang tergolong kendaraan mewah, hal ini terjadi dikarenakan mudahnya sesorang untuk memiliki kendaraan karena uang muka yang terjangkau, mekanisme kepemilikan kendaraan tersebut biasanya dengan cara kredit atau mencicil pada sebuah lembaga pembiayaan perbankan ataupu leasing, leasing pada umunya memberikan penawaran kredit yang menarik dengan harga yang kompetitif, seperti dengan cara memberikan discount/cashback yang besar, bonus barang tertentu ataupun dengan memotong biaya angsuran, hal ini terjadi karena persaingan antara lembaga keuangan satu dengan yang lainnya sangat ketat. Masyarakat mempunyai pilihan yang beragam untuk memilih mana yang akan dipilihnya berdasarkan apa yg dirasakan lebih menguntungkan bagi dirinya. Saat ini telah banyak lembaga pembiayaan yang meraup untung dari meningkatnya daya beli masyarakat dan tingginya minat masyarakat untuk memiliki kendaraan sendiri. Dari hal tersebut diatas, masyarakat setelah memiliki kendaraan memerlukan tempat untuk memarkirkan kendaraannya ditempat yang aman, apabila kendaraan
tersebut dibawa oleh pemiliknya ke suatu tempat maka pemilik tersebut mesti memarkirkan kendaraan ditempat yang telah disediakan, yaitu tempat parkir atau sarana Parkir. Parkir dalam hal ini diartikan sebagai “keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara” Tempat parkir, disediakan oleh pihak yang menyediakan lahan sebagai tempat untuk menitipkan kendaraan seseorang untuk sementara waktu, dengan tarif yang telah ditentukan sesuai dengan peraturan yang berlaku, hal tersebut dirasakan memberikan rasa aman terhadap kendaraan si pemilik, sehingga tidak ada keraguan lagi bagi pemilik kendaraan karena kendaraan tersebut dijaga dan dijamin oleh pengelola jasa parkir sampai si pemilik kendaraannya mengambil kendaraannya tersebut, tetapi baik disadari maupun tidak dasadari, bahwa pemilik kendaraan/konsumen jasa parkir kurang jeli dalam membaca ketentuan yang berlaku, yang tercantum dalam suatu klausula atau kesepakatan mengenai titip kendaraan tersebut, biasanya klausula mengenai titip kendaraan tersebut tercantum di struk/karcis parkir dan biasa disebut dengan klausula baku. Dalam
kegiatan
bisnis/usaha
harus
terdapat
hubungan
yang
saling
membutuhkan antara pelaku usaha dan konsumen itu sendiri. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh laba (profit) dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu.1 ____________________________________ 1
Absul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori& Contoh kasus, Cetakan Kedua, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006) hal. 219
Di era perdagangan bebas saat ini, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang perilaku bisnis pada umumnya, kebijakan ini dimaksud untuk menjaga agar persaingan antara kalangan usaha dilakukan secara jujur (fair competition) dengan syarat-syarat atau aturan-aturan yang diperlukan agar perilaku bisnis tidak merugikan konsumen, serta ketentuan atau peraturan tentang perlindungan konsumen dapat ditaati oleh para pihak. Di dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta nomor 5 Tahun 1999 pada pasal 36 ayat (1) disebutkan, Pengelola
dan Penyelenggaraan Perparkiran Wajib
memberikan Pelayanan sebaik-baiknya kepada pemakai tempat parkir dan menjaga ketertiban, keamanan, kelancaran lalu lintas serta kelestarian lingkungan. Selanjutnya dalam ayat (2) pasal 36 tersebut juga menentukan, atas hilangnya kendaraan dan/atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir. Dari pasal yang tersebut diatas, tak mengherankan apabila konsumen jasa parkir sampai saat ini masih merasa belum dilindungi oleh aturan hukum yang ada. Perlindungan hukum terhadap hak pengguna jasa parkir masih tersisihkan oleh pengelola jasa parkir maupun atas kebijakan Pemerintah Daerah. Sebagai contoh, apabila kendaraan konsumen yang sedang diparkirkan hilang ataupun rusak maka konsumen tidak bisa berbuat apa-apa, dalam hal ini konsumen berada di posisi yang lemah dibandingkan dengan si pengelola parkir, sedangkan di sisi lain konsumen telah memenuhi kewajibannya dengan membayar
parkir atas kendaraannya. Selama ini, kenyataannya hampir semua pemasalahan yang timbul di lapangan tidak pernah direspon oleh pengelola/pelaku usaha perparkiran, maupun pemerintah daerah selaku pembuat kebijakan dan peraturan dalam bidang perparkiran. Para pengelola/pelaku usaha jasa parkir baik yang dikelola swata ataupun yang dikelola pemerintah daerah, semuanya bisa dikatakan cuci tangan atau tidak mau bertanggung jawab jika kendaraan konsumen hilang ataupun rusak sekalipun. Biasanya pelaku usaha atau pengelola berdalih bahwa didalam karcis parkir (biasanya tertera dibelakang kertas) sudah tercantum klausula yang menyebutkan bahwa : “Asuransi kendaraan dan barang-barang didalamnya serta semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang didalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun dari pengelola jasa parkir”2
Hal ini menjadi tameng para pelaku usaha atau pengelola jasa parkir dalam menghadapi complain dari konsumen pengguna jasa parkir yang hak atau barangnya rusak atau hilang, ironisnya selama ini klausula baku tersebut justru dilegalkan oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah DKI nomor 5 tahun 1999 Tentang Peparkiran.
_________________________ 2
Klausul yang terdapat didalam karcis parkir (Adi Parking), Rukan Permata Senayan, Jakarta
Sebelum membahas lebih jauh mengenai klausula tersebut ada baiknya kita meninjau apa sebenarnya yang dimaksud dengan Perjanjian. Istilah perjanjian di dalam hukum Perdata merupakanan kesepadanan dari istilah “overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau “Agreement” dalam bahasa Inggris. Sedangkan istilah Perjanjian berdasarkan pengertian yang terdapat didalam Apasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) ialah Suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam hal pengikatan ini, hal tersebut sudah diatur didalam BAB IV Buku III KUH-Perdata didalam pasal 1320, yang menyebutkan bahwa untuk sah nya suatu perjanjian diperlukan empat syarat diantaranya : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat diatas telah diatur oleh Undang-undang secara tegas dan jelas bagi setiap orang, untuk secara bebas membuat serta melaksanakan perjanjian selama keempat syarat diatas sudah terpenuhi. Pengaturannya oleh para pihak dapat dituangkan didalam perjanjian berdasarkan asas atau prinsip kebebasan berkontrak. Seajalan dengan apa yang tercantum didalam pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata ada disebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya, para pihak bisa mengatur apa saja yang mereka kehendaki didalam perjanjian tersebut sepanjang para pihak
tunduk dan tidak melanggar pada ketentuan mengenai sebab yang halal. Bahwa ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku secara umum di dalam masyarakat. Telah diuraikan diatas, bahwa pada dasarnya perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua belah pihak yang menurut hukum adalah untuk memenuhi syarat subjektif, ialah cakap untuk bertindak dan melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan syarat objektif, yaitu aturan hukum yang berlaku umum didalam masyarakat, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum dan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Namun, kadangkala kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang dan pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak begitu menguntungkan pada salah satu pihak. Dalam dunia usaha pada prakteknya juga menunjukkan bahwa “keuntungan” dalam kedudukannya sering diterjemahkan
atau diartikan dengan pembuatan
“klausula baku”atau “perjanjian baku” dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak yang lain. Dapat dikatakan bersifat “baku” dikarenakan baik perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Sebenarnya, dalam tahap transaksi konsumen, semua klausula baku yang ada pada saat ini sesuai dengan Undang-undang ialah batal demi hukum sejak lahirnya
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan pelaku usaha dinyatakan bersalah dan harus dihukum atas ketentuan Undangundang tersebut. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Kesalahan (liability based on fault). 2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability). 3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of non liability). 4. Tanggung jawab mutlak (strict liability). 5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).3 Adapun penjelasan dari apa yang tercantum diatas adalah : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku baik dalam hukum pidana maupun dalam hukum perdata. Dalam KUH-Perdata, khususnya pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara terguh. Prinsip
ini
menyatakan,
sesorang
baru
akan dapat
dimintakan
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH-Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang Perbuatan melawan Hukum (PMH), mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu : __________________________ 3
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : PT Grasindo, 2000, hal. 58 - 59
1.
Adanya perbuatan melawan hukum;
2.
Adanya unsur kesalahan;
3.
Adanya kerugian yang diderita;
4.
Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena
adalah adil bagi orang yang melakukan kesalahan untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak bahwa asas ini cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha sebagai tergugat. Tergugat ini harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Dalam doktrin hukum pengangkutan yang barkaitan dengan prinsip tanggung jawab dikenal dengan empat variasi, yaitu : 1.
Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya.
2.
Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.
3.
Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang ditimbulkan bukan karena kesalahannya.
4.
Pengangkut tidak bertanggung jawab jika, kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.4
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi atau kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. 4. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati ada pula ahli yang ______________________ 4
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lin dalam Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976, hal. 18
membedakan terminologi diatas, namun perbedaannya tidak akan dipertentangkan secara detail dalam bahasan ini. Ada pendapat yang mengatakan strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produk-produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat lazim dipakai oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan, bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak, termasuk akibat kesalahan petugas, maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang
merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang jelas.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan diusulkan untuk diteliti yaitu: 1.
Apakah Peraturan Daerah DKI Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Perparkiran sudah benar-benar melindungi konsumen secara menyeluruh sesuai dengan Perkara Perdata Nomor 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst ?
2.
Bagaimana penyelesaian sengketa terhadap konsumen yang kehilangan kendaraan dalam wilayah parkir tersebut sesuai Perkara Perdata Nomor 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst ?
3.
Kendala-kendala apa saja yang terjadi saat klaim kendaraan yang hilang dalam wilayah
parkir
tersebut
sesuai
Perkara
Perdata
Nomor
551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban atas beberapa permasalahan yang telah penulis rumuskan sebelumnya, yakni:
1.
Untuk mengetahui apakah Peraturan Daerah DKI nomor 5 tahun 1999 tentang perparkiran telah benar mengatur perlindungan konsumen sesuai dengan Perkara Perdata Nomor 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst ?
2.
Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa terhadap kosnumen parkir yang hilang kendaraannya sesuai dengan Perkara Perdata Nomor 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst ?
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi saat klaim kendaraan konsumen
yang
hilangsesuai
dengan
Perkara
Perdata
Nomor
551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst ? D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para pembaca baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam rangka pengembangan hukum khususnya dalam hal penegakan hukum (law enforcement) pada pelaku usaha dan konsumen dalam sistem perlindungan konsumen dan kaitannya dengan klausula baku dan kebebasan berkontrak di Indonesia. 2. Manfaat secara praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pelaku usaha dan konsumen khususnya bagi konsumen
yang hak-hak nya dilanggar oleh pelaku usaha, dan agar para pihak memahami kedudukannya masing-masing sebagai pelaku usaha dan sebagai konsumen, sehingga terhindar dari kerugian dan pelanggaran hukum yang akhirnya akan mengancam rasa keadilan bagi konsumen dan pelaku usaha. E. Keaslian Penelitian Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen jasa parkir di Jakarta dalam kaitannya dengan Peraturan Daerah DKI nomor 5 tahun 1999 tentang perparkiran dalam Study Kasus Perkara Perdata Nomor 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst. Menurut penulis hal ini cukup penting untuk diangkat dalam sebuah penelitian, dikarenakan adanya hak konsumen yang dilanggar didalam Peraturan Daerah dan oleh pelaku usaha jasa parkir tersebut dan tentunya diperlukan sebuah penelitian apakah benar adanya pelanggaran tersebut terjadi seperti misalnya, pelanggaran terhadap Undang-Undang Konsumen. Mengenai keaslian penelitian ini, sepengetahuan penulis belum pernah ada penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai permasalahan yang penulis angkat ke dalam tesis ini.