BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, perkembangan sektor publik dewasa ini adalah semakin menguatnya tuntutan pelaksanaan akuntabilitas publik yang dilaksanakan oleh organisasi sektor publik seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, unit-unit kerja pemerintah, departemen dan lembaga-lembaga negara (Sadjiarto, 2000; Riantiarno dan Azlina, 2011; Santoso dan Pambelum, 2008) Sektor publik mulai mengejar ketertinggalannya melalui reformasi pengelolaan sektor publik, dari administrasi tradisional menuju New Publik Management (NPM) yang menekankan pencapaian kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke dalam sektor publik. Penerapan NPM merupakan bentuk reformasi manajemen dan desentralisasi wewenang guna mendorong demokrasi (Pecar, 2002).
Polidano (1999) dan
Wallis dan Dolery (2001) menyatakan, bahwa NPM merupakan fenomena yang terjadi secara global namun tidak secara serentak dan penerapannya berbeda-beda, tergantung pada localized contigencies. Walupun dalam penerapannya berbeda, namun NPM mempunyai persamaan tujuan yaitu memperbaiki akuntabilitas manajerial, meningkatkan efektivitas, efisiensi dan responsivitas. Reformasi perubahan terjadi dalam wujud peran pemerintah, khususnya hubungan pemerintah dengan masyarakat (Mardiasmo, 2009; HO, 2002; Tan dan 2003;
1
2
Mwita, 2000). Perubahan juga dalam hal teoritis, berupa perubahan administrasi publik ke arah manajemen publik serta penyederhanaan birokrasi pemerintah. Hampir di semua negara, lebih menekankan untuk mengarah pada penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), serta penggunaan akuntansi akrual, walaupun tidak secara serentak. Akuntabilitas dan good governance akan tercapai apabila lembaga pemeriksa tertata dan berfungsi dengan baik. Selanjutnya perlu dilakukan pengembangan audit, salah satunya berupa perluasan cakupan audit, tidak hanya audit keuangan, tetapi juga value for money audit atau sering disebut performance audit/audit kinerja (Bayrakdaroglu et al., 2012). Audit kinerja merupakan penilaian secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta efektivitas pencapaian hasil
yang telah ditetapkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan,
peraturan dan hukum yang berlaku, serta menyesuaikan antara kinerja yang telah dicapai
dengan
kriteria
yang
telah
ditetapkan
mengkomunikasikan hasilnya kepada stakeholder
sebelumnya,
dan
(Johnsen et al., 2001; Larcker
et al., 2007; Mustikarini dan Fitriasari, 2012). Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban pihak pemegang amanah kepada pemberi amanah, untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan
sasaran
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya,
melalui
suatu
media
pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Mardiasmo, 2009). Tujuan Instansi Pemerintah biasanya ditetapkan dalam Rencana Strategis
3
(Renstra) dan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Kementrian Lembaga (K/L) atau Rencana Strategis Daerah (Renstrada) dan Rencana Kerja Daerah di Pemda (LAN,
2000).
Mengingat
teroperasionalisasi
melalui
bahwa Unit
Renstra
dan
RKT
Organisasi
K/L
dan
tersebut Pemda
hanya
sehingga
pelaksanaannya konsisten dengan tujuan dalam Renstra dan RKT instansi pemerintah pusat dan daerah, maka tujuan dan sasaran instansi pemerintah dibagi menjadi tiga tingkatan sesuai dengan konteksnya yaitu konteks strategis, konteks organisasional, dan konteks operasional (BPKP, 2012). Suatu organisasi/instansi harus mempunyai pandangan dan sikap yang professional untuk memajukan dan meningkatkan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Pandangan dan sikap tersebut diatas dinyatakan dalam kegiatan manajemen untuk selalu melihat, meneliti, menganalisa dan mengambil keputusan atas laporan-laporan yang telah sampai ke atas meja mereka, digunakan sebagai dasar keputusan, baik untuk mengendalikan atau mengarahkan, biasanya berbentuk ringkasan kejadian yang paling terakhir terjadi dan kondisi organisasi. Unit/satuan pengukurannya tidak hanya menggunakan rupiah saja tetapi juga satuan jam kerja, satuan berat, penggunaan karyawan atau ukuran yang lain yang diperlyang ukannya (Tresnawati, 2012). Tresnawati juga meyampaikan bahwa acuan atau tolok ukur yang digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah kinerja, yang ditunjukkan dalam suatu periode tertentu. Selain sebagai tolok ukur keberhasilan, kinerja juga dapat digunakan pihak manajemen untuk mengevaluasi organisasi pada periode yang lalu. Pengukuran kinerja juga dapat
4
digunakan sebagai dasar untuk menentukan sistem imbalan dalam perusahaan, misalnya untuk menentukan tingkat gaji karyawan maupun reward yang layak (Wahyu dalam Artiningtyas, 2012; Anjarwati, 2012). Sistem kinerja yang baik dan sesuai dengan organisasi sangat diperlukan agar suatu organisasi dapat terus berkembang dan bersaing di dunia yang semakin kompetitif. Manajemen kinerja sektor publik (pemerintahan) telah dimulai sejak dicanangkan penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Sistem AKIP) melalui Instruksi Presiden nomor 7 tahun 1999. Sistem AKIP mewajibkan setiap instansi pemerintah menyusun rencana stratejik (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan dan sasaran serta strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Hasil dari pelaksanaan rencana stratejik, berupa keluaran (output) dan hasil (outcome) selanjutnya dilakukan pengukuran kinerja dan evaluasi kinerja, sehingga diperoleh informasi umpan balik sebagai perbaikan kinerja pada periode mendatang. Pelaksanaan sistem AKIP, selanjutnya disempurnakan dengan dukungan sistem lainnya yaitu Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU Nomor 25 Tahun 2004) dan Sistem penyusunan anggaran berbasis kinerja UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Secara umum pemerintahan bertujuan memberikan pelayanan publik yang optimal kepada masyarakat. Namun upaya tersebut bukanlah hal yang mudah. Dalam kenyataannya banyak ketidakpastian yang menyelimuti praktik pelayanan publik, baik ketidakpastian yang berasal dari lingkungan di luar pemerintahan
5
maupun di dalam pemerintahan. Ketidakpastian ini dapat memberi pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif dari ketidakpastian biasanya disebut peluang dan pengaruh negatif disebut risiko. Risiko, meskipun berkonotasi negatif, bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari tetapi harus dikelola melalui suatu mekanisme yang dinamakan “manajemen risiko”. Manajemen risiko yang baik akan menjadi kekuatan vital bagi corporate governance (BPKP, 2008; Kusumawati dan Riyanto, 2005). Pemerintahan yang mampu mengelola risiko dengan baik biasanya memiliki kemampuan sensitif untuk mendeteksi risiko, memiliki fleksibilitas untuk merespon risiko dan menjamin kapabilitas sumberdaya untuk melakukan tindakan guna mengurangi tingkat risiko. Proses manajemen risiko merupakan aplikasi yang sistematis atas kebijakan manajemen, prosedur dan praktik-praktik dalam menetapkan konteks, mengidentifikasi, menganalisis,
mengevaluasi,
memperlakukan,
memantau
dan
mengkomunikasikan peristiwa risiko (BPKP, 2012). Penilaian risiko merupakan salah satu unsur dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Pemerintah telah menetapkan aturan yang jelas mengenai pentingnya SPIP bagi instansi pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008. Berdasarkan peraturan tersebut, SPIP didefinisikan sebagai proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang
6
diselenggarakan secara menyeluruh pada lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berdasarkan definisi SPIP di atas, terdapat empat tujuan yang hendak dicapai oleh SPIP yaitu, (i) efisiensi dan keefektifan pencapaian tujuan negara, (ii) keandalan pelaporan keuangan, (iii) pengamanan aset negara dan (iv) ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan memperhatikan unsur-unsur pembentuk SPIP, yaitu (i) lingkungan pengendalian yang kondusif, (ii) penilaian risiko, (iii) aktivitas pengendalian, (iv) informasi dan komunikasi, dan (v) pemantauan. Penilaian Risiko pada dasarnya merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran instansi (D’arcy, 2001). Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara manajemen risiko dan kinerja perusahaan, (Jafari et al., 2011; Andersen, 2008). Pendapat lain terkait manajemen risiko yaitu, peningkatan kinerja perusahaan dapat tercapai melalui keunggulan bersaing perusahaan yang merupakan salah satu mediator dalam efektivitas manajemen risiko (Nachailit et al., 2011). Manajemen risiko dilakukan untuk meningkatkan kinerja organisasi atau perusahaan dalam hal ini dana pensiun dimana kesadaran akan risiko akan mempengaruhi profil risiko pasar modal yang rendah, serta menunjukkan kerangka kerja dari manajemen risiko (Collier, 2006; Stewart, 2010). Penelitian terkait risiko pada sektor publik juga
disampaikan, bahwa penilaian risiko akan memberikan informasi kepada pimpinan untuk meminimalisir dampak dari risiko (Istiningrum, 2011).
7
Konsepsi ini menuntut adanya pra kondisi agar proses identifikasi dan analisis risiko dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif sesuai karakteristik Penilaian Risiko menurut PP 60 Tahun 2008. Sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) PP 60/2008, Penilaian Risiko meliputi dua kegiatan pokok yaitu (1) identifikasi dan (2) analisis risiko. Proses penilaian risiko, sesuai ayat (3), didahului dengan penetapan tujuan baik tujuan di tingkat Instansi Pemerintah maupun tujuan di tingkat kegiatan. Pemisahan penetapan tujuan ini akan menjadi acuan atau kriteria dalam menilai risiko karena Penilaian Risiko adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran pemerintah. Instansi pemerintah perlu melaksanakan metode penilaian risiko (risk assessment) yang memadai sesuai dengan tujuan tingkat organisasi maupun tujuan tingkat kegiatan, serta penilaian risiko (risk assessment) yang memadai untuk menilai efektivitas kegiatan pengendalian. Banyaknya perubahan serta tuntutan yang tinggi akan kualitas pelayanan, instansi khususnya yang berada di bawah naungan pemerintah, maka perlu dilakukan penilaian risiko. Hal ini penting untuk dilakukan dengan segera karena penilaian risiko akan membantu instansi pemerintah untuk mengelola risiko tersebut dan meminimalisir dampak yang dapat menghambat pencapaian tujuan instansi pemerintah. Dengan adanya penilaian risiko, efisiensi dan efektivitas dalam memberikan pelayanan akan meningkat sehingga instansi pemerintah dapat memberikan pelayanan yang berkesinambungan kepada stakeholders. Penilaian risiko juga menjadi dasar bagi instansi pemerintah dalam menyusun rencana strategis dan membantu menghindari pemborosan APBN/ APBD karena seluruh
8
risiko yang mungkin terjadi telah diantisipasi dan dikendalikan oleh instansi tersebut (BPKP, 2008). Dinas kesehatan Kabupaten Gianyar merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disingkat SKPD, yang telah melakukan penilaian risiko atas tujuan strategis yang dilaksanakan di masing-masing bidang, yang bermuara pada peta risiko yang akan dihadapi oleh SKPD. Dinas kesehatan Kabupaten Gianyar, merupakan Piloting percepatan Implementasi SPIP yang difasilitasi oleh BPKP selaku pembina. Dengan dipetakannya risiko tersebut akan menuntun para pengambil kebijakan untuk dapat melaksanakan pengendalian guna tercapainya tujuan masing-masing bidan khususnya maupun tujuan organisasi secara umum. Kedepannya para pimpinan harus selalu memperhatikan perkembangan dan ketercapaian kinerja yang telah direncanakan, baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, apakah terdapat perbedaan kinerja pada dinas kesehatan Kabupaten Gianyar sebelum dan sesudah melakukan penilaian risiko? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar sebelum dan sesudah melakukan penilaian risiko.
9
1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a.
Manfaat Teoritis Memberikan tambahan pengetahuan mengenai kinerja SKPD yang telah melakukan penilaian risiko. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung teori regulasi yang berkaitan dengan kewajiban bagi SKPD melakukan penilaian risiko.
b.
Manfaat Praktis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dinas kesehatan kabupaten lain, khususnya dan bagi SKPD atau organisasi sektor publik pada umumnya.
c.
Manfaat Regulasi Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada regulator atas efektivitas pengukuran kinerja dan implementasi SPIP, khususnya pada dinas kesehatan serta di seluruh SKPD dan pemerintah daerah pada umumnya.