BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan dunia, maka perkembangan berbagai bidang saat ini pun dapat dilihat semakin dinamis dan cepat. Tidak hanya pada bidang ekonomi, kondisi demikian juga terjadi pada bidang yang lain, seperti pendidikan, politik, dan budaya. Persoalannya, tidak semua masyarakat dapat menerima keadaan dunia yang semakin cepat berubah sehingga memicu berbagai reaksi sosial hampir di seluruh lapisan masyarakat. Terdapat masyarakat yang dapat menerima keadaan dan tetap menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan normal. Pada sisi lain, ada pula pihak-pihak yang berusaha memberontak atas kondisi perubahan tersebut yang terkadang pada akhirnya justru mengganggu kondisi mental orang tersebut. Dalam hal ini, tidak semua orang mampu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, sehingga kemudian justru dapat membuat yang bersangkutan jatuh sakit, atau mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri (adjustment disorder) (Hawari, 2001). Misalnya dapat dilihat dari krisis ekonomi yang tidak kunjung selesai di Indonesia. Fenomena tersebut memberikan dampak cukup serius di luar dampak bidang ekonomi, yaitu meningkatnya jumlah penderita gangguan mental, terutama jenis anxietas (gangguan kecemasan) dan hanya 8% saja dari penderitanya yang telah mendapatkan pengobatan memadai. Masalah gangguan mental ini ternyata terjadi di hampir seluruh negara di dunia. Saat ini sekitar 400 juta orang di dunia diperkirakan mengalami gangguan mental sehingga WHO sebagai organisasi kesehatan dunia memandang perlu
1
2
mengangkat masalah gangguan mental sebagai tema peringatan Hari Kesehatan Sedunia. Terdapat enam jenis gangguan mental yang diangkat sebagai isu global
oleh
WHO,
yaitu
epilepsi,
Depresi,
Skizofrenia,
Alzheimer,
Keterbelakangan Mental, dan Ketergantungan Alkohol (Pusat Data & InformasiPerhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia/PERSI, 2001). Penyebab depresi dan cemas yang dialami masyarakat sangat kompleks, mulai dari persoalan sosial ekonomi hingga kebijakan pemerintah yang menekan rakyat. Tekanan tersebut di antaranya berupa sulitnya mencari penghasilan memadai, kehidupan kota yang kian memberi tekanan akibat terbatasnya ruang publik, perubahan drastis nilai-nilai kehidupan di pedesaan, atau masuknya nilainilai baru yang mempengaruhi keluarga. Selain itu, kebijakan perburuhan pemerintah yang menggaji rendah buruh serta kebijakan pendidikan yang menekan siswa dan orang tua juga dinilai turut berkontribusi dalam penciptaan tekanan hidup bagi masyarakat (Anna, 2012). Saat ini terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderita gangguan mental. Menurut WHO, gangguan mental di seluruh dunia telah menjadi masalah yang sangat serius. Hal demikian dikarenakan setidaknya satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan mental dan terdapat sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan mental (WHO, 2011). Dengan mengacu pada data tersebut, maka diperkirakan jumlah penderita gangguan mental saat ini telah meningkat dan akan terus cenderung mengalami peningkatan. Tingginya masalah tersebut menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar. Salah satu jenis gangguan mental yang banyak dialami adalah Skizofrenia. Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi
3
Skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2% - 2% tergantung di daerah atau negara mana studi dilakukan. Selanjutnya dikemukakan bahwa life time prevalensi Skizofrenia diperkirakan antara 0,5%-1%. Angka tersebut cukup rendah mengingat Skizofrenia cenderung menjadi penyakit yang menahun (kronis) maka angka insiden penyakit ini dianggap lebih rendah dari angka prevalensi. Di Indonesia angka penderita Skizofrenia 25 tahun yang lalu (PJPT I) diperkirakan 1/1000 penduduk dan proyeksi 25 tahun mendatang mencapai 3/1000 penduduk. Pada tahun 2003 di ruang mental C RSU Dr Soetomo terdapat 351 pasien yang melakukan rawat inap dan 202 di antaranya menderita Skizofrenia di mana 70% berusia antara 15–24 tahun (Catatan Medik, 2003). Menkes dan Kesos Achmad Sujudi mengatakan bahwa di Indonesia diperkirakan 6 juta penduduknya mengalami anxietas dan 5,5 juta di antaranya tidak berobat atau tidak mendapat pengobatan yang memadai. Lebih lanjut, hasil penelitian yang dilakukan Direktorat Kesehatan Mental tahun 1996 menemukan setiap 20 orang per 1000 anggota keluarga menderita kecemasan (Pusat Data & Informasi- PERSI, 2001). Data-data tersebut menunjukkan bahwa jumlah penderita gangguan mental mengalami kecenderungan peningkatan. Sedikitnya 20% penduduk dewasa di Indonesia saat ini menderita gangguan mental, dengan empat jenis penyakit langsung yang ditimbulkannya yaitu depresi, penggunaan alkohol, gangguan bipolar, dan skizofrenia. Menurut Ketua Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Irmansyah, satu dari lima orang dewasa pernah mengalami gangguan mental dari jenis biasa sampai yang serius (Forum, 2009). Sementara berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, disebutkan bahwa rata-rata nasional gangguan mental berat adalah 0,5%, rata-rata nasional
4
gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Barat sebesar 20% dan angka terendah terjadi di Provinsi Kep. Riau yaitu 5,1%. Sedangkan
yang
mengalami gangguan
mental
berat,
seperti psikosis,
skizofrenia, dan gangguan depresi berat, sebesar 0,46%. Untuk gangguan mental ringan banyak diderita kaum perempuan, yaitu dua kali lebih banyak dibanding laki-laki, sedangkan gangguan mental berat pada perempuan lebih ringan dibanding laki-laki. Hasil penelitian tersebut menyebutkan gangguan mental ringan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi. Prevalensi gangguan mental emosional meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (33,7%). Kelompok yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%), kelompok yang memiliki pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah, yaitu 21,6%), kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di perdesaan (12,3%), serta pada kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah (12,1%). Survei Kesehatan Depkes RI menyatakan bahwa gangguan mental pada usia 55-64 tahun mencapai 7,9%, sedangkan yang berusia di atas 65 tahun 12,3%. Angka tersebut diperkirakan akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang. Riset Kesehatan Dasar (2007) menyebutkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6%. Jika jumlah penduduk pada kelompok umur tersebut tahun 2010 adalah 169 juta jiwa, maka jumlah penderita gangguan mental diperkirakan sekitar 19,6 juta orang. Jumlah tersebut lebih banyak dialami
5
masyarakat yang berpendidikan rendah, yaitu yang tidak tamat sekolah dasar (Naskah Akademik RUU Keswa, 2012). Data jumlah pasien gangguan mental di Indonesia juga terus bertambah. Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita gangguan mental berat mencapai 2,5 juta orang. Kenaikan jumlah penderita gangguan mental terjadi di sejumlah kota besar. Di RS Jiwa Pusat Jakarta, misalnya, tercatat 10.074 kunjungan pasien gangguan mental pada tahun 2006, meningkat menjadi 17.124 pasien pada 2007 (Harian Waspada, 11 Oktober 2009). Di RSJ Dadi Makassar, pada tahun 2006 paling tidak ada 563 pasien, kemudian tahun 2007 naik menjadi 592 orang. Pengelola RSJ Dadi, dr. Dwijoko Purnomo menjelaskan bahwa pasien terus bertambah, rata-rata per bulan terdapat 20 pasien baru, namun karena daya tampung rumah sakit terbatas maka yang tergolong parah saja yang ditampung. (Lintas Berita, 2011). Sementara itu, tingginya prevalensi gangguan mental pada kenyataannya tidak diikuti dengan ketersediaan fasilitas pengobatan medisnya. Saat ini belum semua provinsi di Indonesia memiliki rumah sakit jiwa. Selain itu, fasilitas dan tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat terbatas. Saat ini hanya terdapat 32 rumah sakit jiwa milik pemerintah dan 16 rumah sakit jiwa swasta. Dari 1.678 rumah sakit umum yang terdata, hanya sekitar 2% yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Sementara hanya 15 rumah sakit dari 441 rumah sakit umum daerah milik pemerintah kabupaten/kota yang memiliki layanan psikiatri. Kondisi yang sama terjadi pada puskesmas di Indonesia sebab hanya 1.235 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa dari sekitar 9.000 puskesmas (Anna, 2012).
6
Indonesia pernah memiliki Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa, namun UU tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan hadirnya UU Nomor 23 Tahun 1992. Seiring berjalannya waktu UU Nomor 23 Tahun 1992 juga dicabut dengan adanya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengaturan mengenai kesehatan jiwa hanya diatur dengan tujuh pasal pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Bab IX. Salah satu kelemahannya adalah tidak idealnya proporsi perhatian yang yang diberikan antara kesehatan fisik dengan kesehatan psikis pada undang-undang tersebut. Pengaturan yang ada masih sangat berorientasi pada kesehatan fisik dan masih kurang memberikan porsi pada kesehatan psikis (Naskah Akademik RUU Keswa, 2012). Majalah Time edisi 10 November 2003 (dalam Naskah Akademik RUU Keswa, 2012) melaporkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki peringkat terendah dalam penyediaan layanan kesehatan mental di Asia. Hal ini diindikasikan oleh rendahnya rasio psikiater dibanding dengan jumlah penduduk Indonesia, yaitu sebesar 1:500.000. Rasio jumlah sarana perawatan terhadap jumlah penduduk bahkan lebih rendah, yaitu 1:30.000. Indikator lain adalah rendahnya jumlah pekerja kesehatan mental. Sementara berdasarkan data tahun 2011, jumlah psikiater yang ada hanya sekitar 600 orang. Dengan jumlah penduduk nasional mencapai 241 juta jiwa maka perbandingannya adalah 2,49 psikiater untuk 1 juta penduduk, sedangkan untuk tenaga psikolog klinis hanya berkisar 365 orang, yang berarti 1,51 psikolog klinis untuk satu juta penduduk. Gambaran mengenai meningkatnya gangguan mental terlihat dari fenomena calon legislatif (caleg) yang gagal pada pemilu 2009 yang berdampak pada terjadinya gangguan mental pada caleg tersebut. Ketua PDSKJI DKI Jakarta menyatakan bahwa dari sudut pandang kesehatan mental, sorotan
7
media massa terhadap caleg yang gagal dikaitkan dengan gangguan mental telah terjadi distorsi. Hal ini dapat memunculkan stigma terhadap individu yang menderita gangguan mental, dan memang salah satu masalah terbesar yang dihadapi dalam gangguan mental adalah masalah stigma. Stigma berarti suatu tanda atau identifikasi dari tanda yang terdiri dari rasa malu, noda atau kecemaran. Stigma erat kaitannya dengan ketidak-mengertian atau salah pengertian tentang gangguan mental termasuk pengobatannya dan profesi psikiater dan tenaga medis yang terlibat di dalamnya (Carol, Tummala dan Roberts, 2008). Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa individu yang mengalami gangguan mental adalah aib dan memalukan. Stigma ini sangat merugikan bagi individu dan institusi yang berwenang di dunia kesehatan mental. Oleh karena itu, tidak jarang hak asasi individu dengan gangguan mental juga terlanggar akibat stigma dan sikap diskriminatif tersebut. Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Mental Depkes mengakui bahwa media massa sangat berpengaruh terhadap sikap masyarakat atau opini tentang berbagai masalah kesehatan mental. Banyak liputan media yang disampaikan justru merupakan hal negatif dan memperkuat stigma terhadap masalah kesehatan mental. Media massa sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, pemikiran, dan pendapat tentang berbagai masalah psikososial di masyarakat seperti gangguan mental. Liputan media yang cenderung menampilkan hal-hal negatif akan memperkuat stigma terhadap permasalahan kesehatan mental dalam masyarakat. Pemberitaan caleg yang gagal menjadi terganggu mentalnya pada sisi lain juga mencerminkan bahwa seakan-akan orang Indonesia sangat rentan terhadap gangguan mental.
8
Secara epidemiologi, dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup penderita gangguan mental maka jumlah penderita gangguan mental yang berusia lanjut akan semakin meningkat. Di lain pihak, hal ini akan menimbulkan penderitaan yang semakin mendalam bagi individu dan menjadi beban yang semakin berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi produktif. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa prevalensi gangguan mental pada perempuan tiga kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup perempuan lebih lama dibandingkan laki-laki (Fratiglioni, 1992). Umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS 2004 adalah 63 tahun untuk laki-laki dan 67 tahun untuk perempuan. Menurut kajian WHO (1999), usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke 103 dunia. Menurut Ketua Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Irmansyah, masalah kesehatan mental tidak semata-mata berhubungan dengan aspek klinis, namun lebih banyak menyangkut masalah psikososial seperti stigma masyarakat, kekerasan, dan upaya bunuh diri. Selama ini penderita banyak yang menolak untuk dibawa ke Rumah Sakit Jiwa dengan berbagai alasan. Hal ini disebabkan banyak penderita yang mengganggap dirinya tidak “sakit” dan disertai pula dengan kesan Rumah Sakit Jiwa yang mempunyai konotasi negatif di masyarakat (Forum, 2009). Masyarakat
cenderung
untuk
mempersepsikan
dan
memandang
gangguan mental sebagai rasa takut; takut akan penyakitnya, takut dari ketidaktahuan, dan takut akan kekerasannya. Beberapa kultur masyarakat masih mempercayai bahwa gangguan mental adalah pekerjaan makhluk halus, darah yang kotor, racun, dan integritas moral yang rendah. Di dalam masyarakat sendiri
9
terdapat diskriminasi dalam bidang pekerjaan, pelayanan masyarakat, pelayanan asuransi, dan hak untuk menerima pendidikan pada individu yang mengalami gangguan mental (Andriyanti, 2004). Penelitian oleh Lai, Hong, dan Chee (2000) menemukan bahwa terdapat dampak stigma terhadap pasien psikiatri, yaitu percaya diri yang rendah, rasa malu akan penyakitnya, dan penolakan sosial yang disertai kesulitan mendapat pekerjaan dan hak atas layanan kesehatan. Bahkan seperti yang dinyatakan oleh Carol, Tummala, dan Roberts (2008), stigma dapat memengaruhi keluarga dari penderita, serta dapat memengaruhi secara psikologis pada kesehatan mental penderita. Pernyataan ini juga didukung oleh Corrigan dan Watson (2007) yang menyatakan bahwa stigma merupakan hambatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien gangguan mental. Menurut Corrigan dan Watson (2007) pendidikan psikiatri dan kepaniteraan klinik dapat menurunkan hambatan emosional terhadap pasien psikiatri, namun gagal dalam menghilangkan pandangan stereotip, kecuali mitos tentang penderita sakit mental yang berbahaya. Oleh karena itu, program edukasi kesehatan yang baik dengan memberikan informasi yang benar tentang gangguan mental, psikiatri, dan peran psikiater diharapkan dapat membantu penghilangan stigma. Penelitian Corrigan dan Watson (2007) menjelaskan bahwa demografi para perseptor mempengaruhi stigmanya terhadap gangguan mental atau ketergantungan obat. Sebuah sampel diminta untuk merespon sebuah gambaran singkat yang menggambarkan seseorang atau anggota keluarganya dengan sebuah kondisi kesehatan (Skizofrenia dan ketergantungan obat). Konsisten dengan hipotesis Corrigan dan Watson (2007), hasil penelitian tersebut
10
menunjukkan bahwa perempuan lebih sedikit mempunyai stigma daripada lakilaki. Para partisipan dengan pendidikan yang lebih tinggi juga memiliki stigma yang lebih rendah daripada para partisipan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Berbeda dari yang diharapkan sebelumnya, para partisipan penelitian yang berkulit gelap lebih memiliki stigma daripada partisipan kulit putih. Stigma yang terkait dengan gangguan mental telah diidentifikasi sebagai hambatan utama dalam pencegahan gangguan mental, pengobatan, dan penelitian.
Masyarakat
Afrika-Amerika
dipercaya
memegang
keyakinan
stigmatisasi tentang individu dengan gangguan mental dan stigma yang terkait dengan perawatan kesehatan mental dibandingkan dengan ras Kaukasia. Penelitian Barksdale dan Molock (2009) menunjukkan bahwa orang Amerika Afrika mempertimbangkan sebuah stigma penghalang untuk mencari pengobatan profesional pada gangguan mental. Kelompok ras Amerika-Afrika cenderung untuk menolak gangguan mental dan berusaha untuk mengatasi masalah kesehatan mental melalui kemandirian dan tekad. Barksdale dan Molock (2009) menambahkan bahwa mekanisme koping adalah metode budaya untuk menghindari peran stigma dalam masyarakat dan peran stigmatisasi dalam komunitas etnis, keluarga, dan di antara teman sebaya. Individu yang memperhatikan stigma mungkin tidak memiliki keinginan untuk mencari pertolongan secara terbuka. Individu tersebut cenderung menggunakan
strategi-strategi
tidak
langsung
dikarenakan
ketakutannya
terhadap terjadinya penolakan. Ironisnya, pencarian secara tidak langsung juga mengarah kepada respon-respon jaringan yang tidak mendukung seperti misalnya terjadi penolakan. Pada penelitian Williams dan Mickelson (2008) dengan sampel para perempuan miskin di Amerika menunjukkan bahwa
11
kemiskinan terkait stigma berhubungan dengan meningkatnya ketakutan terhadap penolakan yang menghubungkan stigma dengan pencarian pertolongan secara tidak langsung. Dengan menggunakan sampel perempuan yang dilecehkan terungkap bahwa pelecehan yang terkait dengan stigma dapat meningkatkan pencarian pertolongan secara langsung, juga untuk meningkatkan respon yang tidak mendukung. Sebaliknya, pencarian pertolongan secara langsung dapat meningkatkan respon yang mendukung dan menurunkan respon yang tidak mendukung (Williams dan Mickelson, 2008). Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk pencarian pertolongan (help seeking) dapat dijelaskan melalui proses yang mendasari profesional.
individu
mencari
Keputusan untuk
atau
tidak
pencarian
mencari
pertolongan
pertolongan
psikologis
lebih lanjut dapat
membedakan berbagai jenis layanan dan penyedia layanan yang lebih disukai. Sebagai contoh, terdapat literatur yang menjelaskan faktor-faktor sosiodemografis dan terkait dengan hambatan pencarian pertolongan pada kesehatan mental, termasuk jenis kelamin, status etnis minoritas, dan umur (Brinson dan Kottler, 1995; Swartz, Wagner dan Swanson, 1998; Addis dan Mahalik, 2003). Selain itu, hambatan sosial ekonomi seperti kurangnya asuransi kesehatan dapat menjelaskan untuk memahami pencarian pertolongan dan pemanfaatan pelayanan. Guna memahami kerumitan perilaku pencarian pertolongan pada gangguan mental penting untuk menerapkan model teoretis dari perubahan perilaku. Salah satu model tersebut adalah Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action). Teori ini telah banyak digunakan untuk memprediksi perilaku perlindungan kesehatan dalam populasi yang luas dan telah digunakan untuk
12
memprediksi niat mencari pengobatan dari layanan profesional kesehatan mental. Menurut teori tersebut, niat individu untuk terlibat dalam perilaku tertentu (misalnya, pencarian pertolongan gangguan mental) ditentukan oleh sikapnya terhadap hasil perilaku itu dan oleh pendapat dari setiap individu dalam lingkungan sosial seseorang (Bayer dan Peay, 1997). Terdapat banyak dukungan empiris untuk penggunaan Theory of Reasoned Action (TRA) dalam memprediksi perilaku perlindungan kesehatan, namun studi meta-analisis telah menyarankan bahwa identitas diri atau bagian menonjol dari diri seorang terkait dengan perilaku untuk memprediksi niat individu (Conner dan Armitage, 1998). Temuan tersebut menggambarkan pentingnya konteks budaya dalam proses pengambilan keputusan pencarian pertolongan. Setelah TRA tersebut direvisi beberapa kali dan diberi masukan baru, akhirnya muncul model yang diberi nama Theory of Planned Behavior (TPB). TPB atau Teori Perilaku Terencana (dalam bahasa Indonesia) juga merupakan model paling banyak diselidiki. TPB menunjukkan bahwa proksi penentu perilaku adalah niat untuk terlibat dalam perilaku. Tiga komponen kognitif, yaitu, sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku dirasakan penting dalam menjelaskan niat perilaku dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Menurut TPB, individu lebih cenderung terlibat dalam perilaku jika memiliki sikap yang menguntungkan ke arah tersebut. Selain itu, keterlibatan pada suatu perilaku juga terjadi apabila percaya bahwa orang-orang memiliki pandangan harus melakukan perilaku tersebut maupun jika merasa memiliki sumber daya yang diperlukan dan peluang untuk terlibat dalam perilaku tersebut (Mo dan Mak, 2009).
13
Banyak literatur menekankan kegunaan TPB dalam memahami berbagai perilaku kesehatan, termasuk penggunaan kondom (Albarracin, Johnson, Fishbein dan Muellerleile, 2001), latihan fisik (Hagger, Chatzisarantis, Barkoukis, Wang, Hein dan Pihu, 2007), deteksi gejala kanker (Hunter, Grunfeld, dan Ramirez, 2003), dan penghentian merokok (Higgins dan Conner, 2003). Beberapa penelitian telah menggunakan TPB untuk memprediksi niat pencarian pertolongan dari para profesional kesehatan mental di antara pasien umum praktek medis dan mahasiswa (Codd dan Cohen, 2003). Penelitian lain juga menggunakan
TPB
untuk
memprediksi
niat
narapidana
untuk
mencari
pertolongan untuk masalah pribadi-emosional. Hanya saja, masih diperlukan penelitian lebih mendalam untuk menerapkan TPB pada pencarian pertolongan terkait masalah gangguan mental di masyarakat umum. Untuk menguji faktor-faktor sosial-kognitif yang dapat mempengaruhi niat pencarian pertolongan, penelitian ini menggunakan kerangka berpikir menurut TPB untuk memahami perilaku pencarian pertolongan pada gangguan mental. Meskipun kebanyakan studi telah menguji faktor-faktor budaya mempengaruhi pencarian
pertolongan
untuk
masalah
gangguan
mental,
studi
yang
menggunakan model berbasis teori untuk menyelidiki subjek tetap langka. Penerapan model kesehatan dalam memahami pencarian pertolongan adalah penting bagi para peneliti untuk mengidentifikasi mekanisme yang mungkin melalui niat pencarian pertolongan. Status sosial ekonomi dalam penelitian Padgett, Patrick, dan Burns (1994) menunjukkan bahwa individu-individu dari latar belakang status sosial ekonomi rendah cenderung mencari dan menerima pertolongan gangguan mental. Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat status sosial ekonomi yang
14
berbeda menunjukkan tingkat penerimaan yang sama dalam hal perawatan kesehatan mental (Snowden dan Thomas, 2000). Selain faktor eksternal, terdapat lebih banyak faktor intrinsik lain yang mencegah orang untuk mencari bantuan psikologis, seperti kebutuhan untuk menyembunyikan informasi pribadi, ketakutan pengobatan, ketakutan mengungkapkan emosi, ketakutan mengakui kerentanan emosional, dan sikap yang kurang baik terhadap pemberi pertolongan (Komiya, Good, dan Sherrod, 2000). Pencarian pertolongan telah mendapat banyak perhatian dalam beberapa penelitian sebelumnya. Peneliti sebelumnya mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan tentang apa pengaruh pencarian pertolongan individu. Peneliti sebelumnya juga banyak meneliti hubungan antara jenis kelamin, kepribadian, keterbukaan, gangguan emosi, kerahasiaan diri, dan pengungkapan diri, perilaku dan sikap pencarian pertolongan (Kakhnovets, 2011). Hasil penelitian Nam et al. (2010) menunjukkan bahwa jenis kelamin adalah prediktor signifikan pada sikap terhadap pencarian pertolongan psikologis profesional. Selain itu, latar belakang budaya individu (etnis misalnya, Barat dibandingkan non-Barat) dimoderasi oleh perbedaan gender pada sikap terhadap pencarian pertolongan psikologis profesional. Penelitian Farooqi (2006) pula terkait dengan tipe praktek penyembuhan secara tradisional yang dicari para pasien muslim yang menderita masalah psikis dan dirawat di rumah sakit umum, di Lahore, Pakistan. Pasien penderita psikis yang dewasa telah mencari metode-metode pengobatan tradisional yang berbeda-beda, termasuk Homeopathy, Naturopathy (Tibb), Islamic Faith Healing (Penyembuhan secara Islami) dan Sorcery (ilmu sihir atau jampi-jampi). Penelitian tersebut mengidentifikasi gangguan psikis sebelum perawatan dari ahli
15
psikis berlisensi dengan memastikan bahwa pasien telah mencari lebih dari satu praktek penyembuhan secara tradisional. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara proporsional lebih banyak pasien laki-laki daripada pasien perempuan yang menggunakan praktek penyembuhan secara tradisional. Pasien laki-laki menunjukkan jumlah kunjungan lebih banyak ke tabib tradisional daripada pasien perempuan. Perbedaan ini mungkin berdampak pada diskriminasi gender terkait mobilitas dan ketabuan bagi perempuan untuk berkonsultasi kepada para tabib tradisional laki-laki. Studi ini mendemonstrasikan tradisi religius secara Islami dan norma-norma budaya Pakistan yang berpengaruh terhadap pilihan pelayanan kesehatan pada para pasien penderita psikis di Pakistan. Penelitian lain yang menunjukkan bahwa cara orang melihat gangguan mental lebih besar dari sikap pencarian pertolongan yang dilakukan (Leong dan Zachar, 1999). Khususnya bagi yang memiliki pandangan lebih bersahabat dengan gangguan mental. Individu yang tidak melihat orang lain memiliki gangguan mental cenderung bersikap lebih positif terhadap bantuan psikologis profesional terkait dengan pencarian konseling (Vogel, Wade, dan Hackler, 2007). Individu yang memiliki banyak risiko terkait dengan pengungkapan diri memiliki hubungan lebih negatif dengan sikap pencarian pertolongan seorang konselor. Meskipun demikian, orang-orang yang memiliki pengalaman konseling sebelumnya juga cenderung memiliki sikap yang lebih positif terhadap pencarian pertolongan (Vogel dan Wester, 2003). Walaupun
gangguan mental
merupakan
masalah
serius,
namun
gangguan mental masih tidak diterima secara luas sebagai masalah kesehatan yang penting dan seringkali tidak didiagnosis dengan benar oleh para ahli
16
kesehatan. Asian Federal Psychiatrist and Mental Health (AFPMH) beranggapan bahwa fenomena ini sebagian besar terjadi karena dua faktor. Pertama, kurangnya pengetahuan atau pemahaman dalam mendiagnosis dan merawat penderitanya. Faktor kedua berhubungan dengan persepsi negatif atau stigma gangguan mental di masyarakat. Eisenberg, Downs, Golberstein, dan Zivin (2009) telah melaksanakan penelitian untuk melihat hubungan antara perilaku mendapatkan pertolongan dengan stigma masyarakat dan stigma pribadi. Penelitian tersebut menemukan bahwa stigma masyarakat lebih tinggi daripada stigma pribadi. Stigma pribadi lebih tinggi di kalangan mahasiswa dengan ciri-ciri demografi seperti lelaki, usia muda, dari negara Asia, religiusitas yang tinggi, dan dari keluarga miskin. Eisenberg, Downs, Golberstein dan Zivin (2009) juga menemukan bahwa stigma pribadi memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan usaha untuk mendapatkan pertolongan, yaitu persepsi terhadap kebutuhan dan penggunaan medikasi psikotropik, terapi dan pertolongan bukan klinis. Konsultan Psikiater di Departemen Pengobatan Psikologi, Pusat Pengobatan Universiti Malaya Malaysia, menambahkan bahwa diagnosis awal yang wajar mengharuskan pasien menerima perawatan yang sesuai (Hoe, 2011). Hal ini dapat mencegah gangguan mental ke tahap yang lebih buruk lagi sehingga pasien dapat meneruskan kehidupannya dengan normal bersama masyarakat. Menurut Hoe (2011), stigma dan perasaan malu adalah salah satu faktor penyebab terlambatnya pasien mendapat perawatan. Selain itu, dipercaya bahwa masyarakat di desa lebih mudah mengaitkan gangguan mental dengan masalah spiritual, dan memilih mendapatkan pertolongan dari dukun atau alim ulama daripada mengakuinya sebagai gangguan mental.
17
Selain masalah stigma, keyakinan masyarakat terhadap gangguan mental juga berbeda-beda. Terdapat masyarakat yang meyakini bahwa gangguan mental karena terkena guna-guna. Terdapat pula yang menganggap bahwa gangguan mental disebabkan mengabaikan pantangan dan larangan, dan adapula yang mengaitkannya dengan kemasukan jin. Masih banyak orang melihat gangguan mental bukan dari sudut ilmiah dan klinis serta masih banyak orang yang keliru dengan konsep gangguan mental. Sebagai contoh, terdapat orang yang menganggap gangguan mental sebagai sikap yang dibuat-buat, bukannya akibat dari gangguan mental (Matsumoto, 1994). Sistem keyakinan yang berbeda-beda akan membawa implikasi pada cara mendapatkan pertolongan untuk merawat penderitanya. Individu yang sehat biasanya dinilai dari struktur sistem keyakinan masyarakatnya. Sistem keyakinan sebagai salah satu manifestasi budaya inilah yang memainkan peran penting dalam menentukan apakah individu itu sehat atau sakit secara mental (Fromm, 1995; Hidajat, 2005). Persoalan budaya ini berdampak pada sulitnya upaya diagnosis dari aspek psikopatologi karena adanya fenomena perilaku tertentu yang dianggap bukan perilaku gangguan mental oleh masyarakat setempat (American Psychiatric Association, 2000). Terdapat gangguan mental khas terjadi pada orang Batak Tapanuli seperti hapintasan dan tarsapo. Sebagian besar gangguan mental ini dianggap berakibat dari pengaruh mistik atau alam ghaib (Hidajat, 2005). Berdasarkan jenis perilaku masyarakat dalam mendapatkan pertolongan berakibat pula pada perbedaan cara merawat gangguan mental tersebut. DSM IV-TR biasanya menggunakan pendekatan klinis dan medis untuk mendiagnosis sesuatu gangguan mental yang diderita pasien dan setelah itu pasien akan
18
dirawat dengan obat atau pendekatan psikoterapi dan konseling. Berdasarkan cara pengobatan alternatif atau tradisional, masyarakat dan pasien yang mempersepsikan gangguan mental sebagai gangguan makhluk gaib, hantu, pengaruh iblis dan lain-lain akan menggunakan pendekatan yang bukan klinis dan medis untuk merawatnya. Masyarakat berbudaya barat seperti Mexico juga meyakini adanya pengaruh alam ghaib dan ruh (Zacharias, 2006). Trend globalisasi, ideologi, konsep, dan pendapat yang beragam memungkinkan gabungan di antara sistem pengobatan tradisional dengan pendekatan ilmiah. Mayoritas masyarakat desa Mexico
menggunakan
penyembuhan
pendekatan
berdasarkan
yang
keyakinan
disebut
pada
Curanderismo,
spiritualitas
yaitu
nenek-moyang
(Zacharias, 2006). Pendekatan Curanderismo ini mengandung teknik terapeutik yang dilakukan oleh tabib-tabib atau ahli-ahli terapi yang mirip psikospiritual. Tabib-tabib disebut sebagai Curanderos. Selain itu, diagnosis gangguan mental pada orang Mexico dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan khusus seperti telur ayam dan lilin. Bahanbahan ini akan dijadikan alat pemujaan dan persembahan. Pasien dikatakan sakit jika diagnosis itu berhasil menunjukkan adanya kemasukan roh jahat atau jin ke dalam
tubuh pasien tersebut.
Proses
merawatnya nanti akan
menggunakan pengaruh spiritual dan hipnotisme. Ini termasuk pengadaan upacara penyembahan dan hipnosis pasien. Zacharias (2006) menyebutkan bahwa metode penyembuhan curanderismo biasanya sukses bagi sebagian kecil masyarakat Mexico yang benar-benar percaya dengan pengaruh alam ghaib tersebut.
19
Gangguan mental seperti skizofrenia kurang berhasil jika dirawat dengan pendekatan ini. Mayoritas orang Mexico desa menggunakan bantuan tabib ini karena tidak mampu membayar biaya perawatan psikoterapi modern serta tidak banyak pula pelayanan psikoterapi modern disediakan di tempat tinggalnya (Zacharias, 2006). Selain itu, budaya juga merupakan faktor yang menghambat dalam mendapatkan perawatan modern itu. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa masih mempraktekkan nilai, adat, dan keyakinan tradisi orang Mexico (Ramos-Sánchez dan Atkinson, 2009). Berbeda dengan orang Mexico yang tinggal di kota, kelompok ini kurang meyakini keberhasilan curanderismo. Hal demikian cuma diakui sebagai warisan budaya nenek moyang sendiri (Zacharias, 2006). Selain Mexico, mayoritas masyarakat Afrika desa, khususnya di Afrika Selatan juga masih menggunakan pelayanan pengobatan tradisional untuk mengobati psikosis (tipe gangguan mental pada tahap akut). Sebanyak 80% dari masyarakat Afrika Selatan menggunakan pelayanan ini (Bodibe, 1993; Freeman, 1992; Mabunda, 2001; Mazimkulu dan Simbayi, 2006). Tabib-tabib percaya bahwa gangguan mental akut seperti psikosis disebabkan oleh kemasukan rohroh jahat nenek moyang pasien dan makhluk halus (Mazimkulu dan Simbayi, 2006). Faktor-faktor supernatural seperti sihir dan kemasukan roh dikatakan diundang masuk oleh saudara keluarga terdekat karena iri hati atau dendam. Gangguan mental juga dapat terjadi jika penjaga dari nenek-moyang marah pada keluarga tertentu akibat mengabaikan upacara persembahan atau berperilaku tidak bermoral. Jenis gangguan mental masing-masing mempunyai istilah tersendiri. Dalam bahasa Xhosa Afrika, misalnya gangguan skizofrenia disebut sebagai
20
amafufunyana
(maksudnya
semut-semut
di
dalam
kuburan).
Gangguan
somatoform disebut sebagai moriti wa le tswele (the shadow of the breast). Teknik perawatan yang dilakukan oleh tabib pada pasien dengan membersihkan kepala, perut, dan seluruh tubuh pasien atau kaum keluarganya dan diusahakan agar muntah lewat mulut dan hidung setelah diberi obat herbal (Mazimkulu dan Simbayi, 2006). Selanjutnya, sekelompok tabib akan melaksanakan upacara intlombe, yaitu menyanyi dan menari untuk mengusir roh-roh jahat dari rumah pasien dan keluarganya. Selain keyakinan aetiologi, terdapat juga penganut agama Kristen dan Islam di Afrika Selatan yang mempercayai gangguan mental karena pengaruh agama (Mazimkulu dan Simbayi, 2006). Orang Kristen Afrika percaya bahwa gangguan mental disebabkan oleh pengaruh iblis dan tugas uskup adalah untuk mengobatinya. Sementara itu, orang Islam meyakini bahwa gangguan mental disebabkan oleh makhluk jahat yang diutus Allah sebagai balasan atas orangorang yang tidak beriman. Negeri Brazil dan Puerto Rico juga melaksanakan pengobatan alternatif terhadap pasien-pasien yang menderita skizofrenia (Moreira-Almeida dan KossChioino, 2009). Tabibnya adalah orang yang ahli spritual. Masyarakat Brazil dan Puerto Rico menganut aliran filsafat spiritualisme, yaitu mempercayai bahwa orang yang masih hidup mampu berkomunikasi dengan alam ruh. Biasanya tabib spiritual ini akan pergi ke rumah pasien atau pasien akan ke tempat pengobatan mereka. Ketika seseorang mengalami gangguan mental, tabib spiritual menggelar upacara spiritualist yaitu upacara pemujaan ruh dan berkomunikasi dengan ruh untuk mendeteksi kemasukan ruh jahat dalam tubuh pasien. Kemudian, tabib akan berusaha mengeluarkan ruh jahat dari tubuh pasien
21
dengan teknik memegang tangan pasien untuk menarik keluar ruh jahat dari tubuh pasien di samping tabib membacakan doa-doa tertentu. Pengobatan alternatif ini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat desa dan kota Brazil serta Puerto Rico tanpa membedakan status kaya atau miskin (Almeida dan Chioino, 2009). Penelitian Almeida dan Chioino (2009) membahas perspektif psikososial pada simtom psikotis dan skizofrenia dengan mengeksplorasi bagaimana aliran mengenai spritisme, sebuah agama populer di Amerika Latin, menyediakan penyembuhan untuk orang yang mengalami sakit mental. Keyakinan dan perlakuan oleh para tabib spiritual pada orang yang mengalami gejala psikotis, dan beberapa yang didiagnosis mengidap skizofrenia dikaji dalam penelitian tersebut. Reaksi yang ditunjukkan oleh para profesional kesehatan mental (psikolog, ahli kesehatan mental dan psikiater) terhadap perlakuan ini juga dikaji dalam penelitian tersebut. Sebagian masyarakat Indonesia juga banyak menggunakan pengobatan alternatif yang bersifat non-profesional untuk mengobati gangguan mental. Misalnya, menurut Subandi (2006), sebagian masyarakat Jawa yang selalu mendapatkan pertolongan dari praktek pengobatan alternatif atau tradisional untuk menyembuhkan skizofrenia. Pihak yang mempunyai pengetahuan untuk mengobati masalah batin itu biasanya dikenal sebagai dukun. Dukun santet dan dukun prewangan dikatakan dapat memulihkan gangguan mental pasien yang dianggap terkena guna-guna atau kemasukan ruh jahat (Subandi, 2006). Dipojono (dalam Hidajat, 2005) menyatakan bahwa budaya pada tempat tertentu mendorong terbentuknya tipe-tipe personalitas yang lebih rentan terhadap gangguan-gangguan tertentu. Kesimpulan dari berbagai jenis pengobatan
22
terhadap gangguan mental tersebut adalah persepsi mengenai ciri-ciri dan sebab terjadinya gangguan mental dapat mempengaruhi cara individu dan masyarakat dalam mengobati gangguan mental. Kemiskinan dan himpitan ekonomi yang melanda menimbulkan banyak penderita gangguan kesehatan mental. Sekitar 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan mental ringan hingga berat. Minimnya kesadaran masyarakat mengobati anggota keluarganya yang menderita gangguan mental, juga membuat kasus gangguan mental tidak tercatat secara resmi dan makin menumpuk. Beberapa waktu terakhir ini sering diberitakan, baik di media cetak maupun elektronik mengenai pemasungan terhadap penderita gangguan mental. Hal demikian seharusnya tidak boleh terjadi mengingat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Mental menyatakan bahwa pasien dengan gangguan mental yang terlantar mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan. Ketentuan tersebut dikuatkan dengan Surat Menteri Dalam Negeri Nomer PEM.29/6/15, tertanggal 11 November 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia yang meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan mental dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerahnya (Depkes.go.id). Orang Dengan Masalah Kementalan (ODMK), terutama yang berat dan kronis seperti skizofrenia dan gangguan bipolar adalah termasuk kelompok yang rentan mengalami pengabaian hak-haknya. WHO dalam pernyataannya
23
mengenai
kesehatan
mental,
menyatakan
bahwa,
gangguan
mental
memengaruhi cara berpikir dan berperilaku, kemampuan untuk melindungi kepentingan diri, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Seseorang dengan gangguan mental berhadapan dengan stigma, diskriminasi, dan marginalisasi. Stigma menyebabkan terhambatnya pencarian pengobatan yang sangat dibutuhkan, atau hanya diperolehnya pelayanan yang bermutu rendah; marginalisasi dan diskriminasi juga meningkatkan risiko kekerasan pada hak-hak individu, hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Depkes.go.id). Jumlah
penderita
gangguan
mental
berat
di
Indonesia
sudah
memprihatinkan, yaitu enam juta orang atau sekitar 2,5 % dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut ternyata hanya 8,3% penderita yang bersedia berobat dan sebagian besar lainnya tidak bersedia atau tidak punya biaya. Sayangnya, pemerintah justru seolah tidak menaruh perhatian pada gangguan mental. Pemerintah seolah lepas tangan terhadap para penderita gangguan mental (Kompas, 19 April 2001). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan mental meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental, pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan gangguan mental, penyembuhan dan pemulihan penderita gangguan
mental.
Upaya
mencapai
kesehatan
mental
dilakukan
oleh
perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat, didukung sarana pelayanan kesehatan mental dan sarana lainnya. Pengobatan dan perawatan penderita gangguan mental dapat dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu
24
perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan mental. Hambatan intrinsik yang sangat menonjol dalam pencarian pertolongan di antaranya ketakutan dianggap negatif oleh teman-teman dan keluarga, ketakutan masuk
rumah
sakit
atau
klinik
kesehatan,
dan
terpengaruh
budaya
ketidakpercayaan terhadap bantuan ahli kesehatan mental (Nickerson, Helms, dan Terrell, 1994). Kurangnya penelitian yang berhubungan khusus untuk orang Indonesia membuat sulit untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang sama juga berkaitan pencarian pertolongan pada gangguan kesehatan mental pada umumnya. Penelitian yang telah dilakukan di daerah lain menunjukkan bahwa kesehatan mental membantu pencarian pertolongan akan dipengaruhi oleh hubungan yang kompleks antara individu, konteks budaya dan sosial misalnya, ras, latar belakang masyarakat dan etnis (Cauce, Domenech-Rodriguez dan Paradise, 2002). Namun sangat sedikit penelitian yang mengeksplorasi hubungan yang kompleks dan bagaimana faktor-faktor kontekstual berbeda dalam bentuk perilaku pencarian pertolongan di antara populasi tertentu. Masalah kesehatan mental menjadi penting untuk ditangani secara komprehensif karena diperkirakan satu dari empat orang Indonesia menderita gangguan mental. Itulah sebabnya terdapat paradigma baru yang menggeser pengobatan gangguan mental dari basis rumah sakit ke basis komunitas atau basis rawat inap menjadi rawat jalan. Dengan pergeseran paradigma dari basis rumah sakit ke basis komunitas, masyarakat diberdayakan untuk ikut mengobati penderita gangguan mental. Pelayanan kesehatan mental juga bukan hanya berada di rumah-rumah sakit namun disediakan pula di puskesmas. (Neraca, 10
25
April 2001). Peran puskesmas sangat besar dalam melakukan penapisan atau deteksi dini terhadap pasien gangguan mental sebelum dirujuk ke RSJ. Penelitian ini memilih Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lokasi penelitian. Jumlah penderita gangguan mental di Yogyakarta menunjukkan tren peningkatan selama tahun 2007-2009. Kecenderungan itu tampak dari banyaknya pasien yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di RS Grhasia Yogyakarta dan RS Sardjito Yogyakarta. Pada dua rumah sakit tersebut penderita gangguan mental terus bertambah sejak tahun 2002 lalu. Pada tahun 2003 saja jumlahnya mencapai 7.000 orang, sedangkan pada tahun 2004 naik menjadi 10.610 orang. Sebagian dari penderita menjalani rawat jalan dan penderita yang menjalani rawat inap mencapai 678 orang pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 1.314 orang pada tahun 2004. Pada tahun 2008 penderita gangguan mental tidak lagi didominasi kalangan bawah, tetapi kalangan mahasiswa, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan kalangan profesional. Kepala staf medik fungsional mental RS Sardjito Yogyakarta menjelaskan, pada tahun 2003 jumlah penderita gangguan mental yang dirawat inap sebanyak 371 pasien. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 433 pasien. Jumlah tersebut belum termasuk penderita rawat jalan di poliklinik yang sehari-hari rata-rata 25 pasien. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi salah satu penyebab bertambahnya penderita gangguan mental (www.warmasif.co.id). Peningkatan ini ditunjukkan dari peningkatan jumlah kunjungan penderita gangguan mental di Rumah Sakit Jiwa DIY, yaitu sebanyak 28.365 kunjungan pada tahun 2007, 53.794 kunjungan pada tahun 2008, dan 61.688 kunjungan pada tahun 2009 (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2010).
26
Fenomena penderita gangguan mental juga banyak terungkap di daerah pedesaan. Harian Kompas 22 Juli 2010 melaporkan bahwa dua desa di Kota Banjar, Jawa Barat memiliki warga dengan jumlah penderita gangguan mental yang cukup tinggi. Total jumlah penderita gangguan mental itu mencapai 67 orang. Kepala Puskesmas Langensari memperkirakan masih banyak orang yang mengidap gangguan mental di desa-desa lainnya. Dari jumlah tersebut baru delapan warga yang berhasil diketahui kondisinya mengalami gangguan mental berat. Fenomena gangguan mental juga banyak terlihat di masyarakat perkotaan seperti dilaporkan TEMPO 12 Mei 2007 bahwa di Yogyakarta lebih dari 10 orang pegawai negeri sipil (PNS) di Provinsi DIY dirawat di Rumah Sakit Khusus Grhasia Yogyakarta karena mengalami gangguan mental. PNS tersebut mengalami gangguan mental karena tidak mampu menanggung beban hidup yang berat dalam keluarganya. Perkembangan terakhir saat ini menunjukkan bahwa penderita gangguan mental mengalami peningkatan yang cukup tajam. Hal ini disebabkan karena adanya bencana erupsi Gunung Merapi. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman DIY mencatat sebanyak 756 korban bencana erupsi Gunung Merapi mengalami gangguan mental sehingga harus berkelanjutan mendapatkan pendampingan. Dari hasil pemeriksaan dan pendampingan gangguan mental yang dialami korban Merapi tidak semuanya merupakan gangguan mental berat. Sebagian besar gangguan mental yang menimpa korban Merapi adalah gangguan mental ringan namun cukup mengganggu. Jika tidak ditangani gangguan mental yang ringan dapat menumpuk dan menjadi berat. Dari 756 orang yang alami gangguan mental, 52 orang mengalami gangguan mental berat. Gangguan mental ringan yang dialami korban Merapi
27
tersebut seperti kecemasan, psycosomatic, depresi, dan post traumatic syndrom. Gangguan mental ringan dapat dilihat dari ciri-cirinya yaitu mengalami susah makan, susah tidur, atau selalu cemas. Gangguan mental rentan menyerang para korban Merapi karena banyak faktor yang menjadi pemicunya seperti hilangnya rumah dan harta benda yang habis akibat awan panas dan lahar Merapi. Kenyataan ini dapat membuat putus asa dalam memikirkan hidup ke depan yang harus dimulai dari awal lagi (www.arsipberita.com, diunduh tanggal 29 Januari 2011). Selain itu, berdasarkan profil kesehatan hasil Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, dapat diketahui bahwa secara nasional DIY termasuk salah satu provinsi yang memiliki prevalensi gangguan mental emosional tertinggi di Indonesia (Balitbangkes KemenkesRI, 2013). Hasil peneltiian tersebut bahkan menunjukkan bahwa wilayah DIY memiliki prevalensi gangguan jiwa berat 2,7 permil. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia, dan rata-rata prevalensi gangguan jiwa berat di tingkat nasional adalah 1,7 permil. Hal tersebut menunjukan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat di DIY bahkan lebih tinggi daripada rata-rata angka prevalensinya di tingkat nasional. Temuan tersebut sejalan dengan data yang dipublikasikan Dinas Kesehatan Provinsi DIY dalam profil kesehatan DIY tahun 2012. Berdasarkan data yang dipublikasikan dalam dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa gangguan mental termasuk dalam sepuluh besar kasus penyakit yang didiagnosis pada pasien rawat jalan Puskesmas (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa provinsi DIY merupakan salah
28
satu daerah di Indonesia yang tingkat kerentanan atas gangguan mentalnya cukup tinggi. Sebenarnya kondisi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia lebih menguntungkan dibandingkan negara maju karena dukungan keluarga (primary support groups) yang diperlukan dalam pengobatan gangguan mental berat lebih baik dibandingkan di negara maju (Priyanto, 2009). Stigma terhadap gangguan mental berat tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Penderita gangguan mental mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia (Priyanto, 2009). Banyaknya fenomena gangguan mental karena faktor lingkungan tersebut sesuai dengan pendapat sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor lingkunganlah yang menjadi penyebab utama skizofrenia bukan faktor genetik. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi atau menimbulkan ini antara lain kebudayaan, ekonomi, pendidikan, faktor sosial, penggunaan obat-obatan, stres karena pemerkosaan, penganiayaan, dan perceraian (Simanjuntak, 2008). Pendekatan tradisional terhadap penyakit umumnya lebih menekankan pada sumber-sumber penyakit yang perlu diatasi. Salah satu keyakinan masyarakat Yogyakarta yang masih ada pada sebagian masyarakat adalah keyakinan akan adanya makhluk halus. Salah satu di antaranya adalah lelembut yang dianggap sebagai penyebab penyakit gangguan mental. Masyarakat Yogyakarta
umumnya
percaya
bahwa
hanya
orang-orang
yang
lemah
mentalnya, atau orang-orang yang kosong pikirannya saja yang dapat dimasuki roh jahat. Menurut Dananjaya (1986) keyakinan seperti ini di Indonesia bukan hanya sekedar keyakinan tetapi sudah menjadi perilaku dan pengalaman hidup.
29
Maksudnya adalah bagaimanapun tingginya pendidikan seseorang tidak ada yang dapat melepaskan diri dari keyakinan rakyat ini. Faktor pengetahuan penting dalam hal pengobatan gangguan mental. Pendekatan tradisional yang selama ini digunakan masih dibutuhkan oleh masyarakat tertentu terutama masyarakat yang belum banyak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan modern. Hanya saja, pada beberapa kasus pendekatan ini tidak mendidik karena pandangannya lebih menekankan bahwa penyakit berasal dari luar individu. Konsekuensinya pemahaman ini cenderung membuat individu tidak bertanggungjawab. Keluarga dapat menghindar dari tanggung jawab jika ada anggota keluarganya yang mengalami gangguan mental dengan dalih hal tersebut karena gangguan roh jahat. Demikian pula keluarga dapat menghindar dari tanggung jawab moral dan hukum jika terjadi kejahatan akibat gangguan mental (Simanjuntak, 2008). Selain itu, ada hubungan yang nyata antara kondisi ekonomi keluarga, sikap keluarga terhadap pemeliharaan kesehatan, kekhawatiran terhadap penyakit, dukungan lingkungan sosial, dan umur penderita dengan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan. Pada sisi lain, tidak terdapat hubungan nyata antara pendidikan kepala keluarga, jenis kelamin penderita, jenis penyakit penderita dan kondisi daya tahan tubuh penderita dengan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan. Penentuan perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan, sebagian dari aspek keluarga cenderung mendominasi jika dibandingkan dengan aspek karakteristik individu penderita. Hal ini menunjukkan bahwa peran keluarga terutama dalam “kondisi berisiko” memberikan perlindungan dan upaya penyembuhan
bagi
anggota
keluarganya.
Perilaku
masyarakat
dalam
memanfaatkan fasilitas kesehatan ditunjukkan dengan adanya variasi perilaku.
30
Tidak ada pemanfaatan fasilitas kesehatan sendiri saja, medis saja atau non medis saja dalam upaya penyembuhan penderita. Perilaku masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan ditunjukkan dengan perilaku berganti atau terus menggunakan lebih dari satu fasilitas. Fasilitas kesehatan yang dimanfaatkan pertama kali pada umumnya dilakukan secara sendiri lebih dahulu (Redjeki, 2009). Mayoritas di Indonesia masyarakat masih memanfaatkan RS Pemerintah (3,1%), kemudian disusul RS Swasta (2,0%). Puskesmas secara nasional menempati urutan ketiga setelah RS Pemerintah dan RS Swasta. Pemanfaatan RS Swasta terbesar di Provinsi DI Yogyakarta yaitu sebesar 5,9%. Menurut tipe daerah, RS Pemerintah, RS Swasta, dan tempat praktek tenaga kesehatan lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat perkotaan, sedangkan puskesmas dan pengobatan tradisional lebih banyak dimanfaatkan masyarakat pedesaan. Menurut Menkes, terdapat hubungan timbal balik antara gangguan mental, gangguan fisik dengan kemiskinan. Adanya permasalahan kesenjangan pengobatan dalam penanggulangan masalah kesehatan mental, mengakibatkan banyak penderita yang tidak tertangani, sehingga menjadi kronik dan seringkali diobati
secara
tradisional
dipertanggungjawabkan,
atau
dengan
cara-cara
menggunakan
yang
pemasungan
kurang
dapat
(Depkes.go.id).
Berlanjutnya krisis ekonomi di Indonesia meningkatkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama pada fakir miskin. Berdasarkan data penduduk menurut status ekonomi dan tempat tinggal dari SUSENAS 2001, 32% dari penduduk berada di bawah garis kemiskinan dan 57% tinggal di daerah pedesaan. Sejak tahun 1998, jaringan pengaman sosial
31
(JPS) bagi kesehatan telah disiapkan untuk mengatasi masalah pelayanan kesehatan terutama bagi fakir miskin. Walaupun telah diperkenalkan jaringan pengaman sosial (JPS), sejak tahun 2001, pemanfaatan pelayanan kesehatan masih rendah, terutama di antara para fakir miskin di Indonesia (Prayoga, Senewe dan Cahyadi, 2002). Saat ini, kondisi dan penggunaan fasilitas kesehatan publik di Indonesia mengalami penurunan. Penyedia utama fasilitas kesehatan cenderung beralih ke pihak swasta. Di sebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan dan saat ini terhitung lebih dari dua pertiga fasilitas ambulans yang ada disediakan oleh pihak swasta. Juga lebih dari separuh jumlah rumah sakit yang tersedia merupakan rumah sakit swasta, dan sekitar 30-50% segala bentuk pelayanan kesehatan diberikan oleh pihak swasta (satu dekade yang lalu hanya sekitar 10%). Dalam masalah kesehatan, kaum miskin cenderung lebih banyak menggunakan staf kesehatan non-medis, sehingga angka pemanfaatan rumah sakit oleh kaum miskin masih amat rendah. Kelompok miskin di Indonesia mendapatkan akses kesehatan yang paling buruk. Sebanyak 20% penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang dari 10% total subsidi kesehatan pemerintah sementara 1/5 penduduk terkaya menikmati lebih dari 40%. Masyarakat perdesaan yang sering diidentikkan dengan kelompok miskin tidak memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan dengan alasan ‘letaknya jauh’, ‘jenis layanan tidak lengkap’, ‘tidak ada sarana pelayanan kesehatan di desa’. Jarak fasilitas pelayanan yang jauh disertai distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata dan pelayanan kesehatan yang mahal menyebabkan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (Sistem Kesehatan Nasional.com).
32
Saat ini, pemerintah daerah merupakan pihak utama dalam penyediaan fasilitas kesehatan. Hal ini dapat berdampak pada meningkatnya ketimpangan pembiayaan kesehatan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Daerah dengan pendapatan rendah akan mengalami kendala dalam alokasi pembiayaan untuk kesehatan. Hal ini mengakibatkan tersedianya fasilitasfasilitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut masih belum mencukupi (Imeinar Anggita, 2011). Selain itu, akses layanan dan sumber daya kesehatan juga masih kurang. Indonesia masih dihadapkan pada rendahnya rasio dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan. Dari sejumlah rumah sakit umum yang ada, baru sekitar 2% yang memiliki layanan psikiatri dan baru 10% dari seluruh puskesmas yang memiliki layanan kesehatan mental. Jumlah psikiater di seluruh Indonesia baru berjumlah 600 orang dan belum terdistribusi secara merata (Depkes.go.id). Sebagaimana telah dipaparkan di muka, jumlah penderita gangguan mental di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dan angkanya sudah cukup mengkhawatirkan. Dengan demikian, masalah gangguan mental menjadi penting untuk ditangani secara komprehensif. Di lain pihak, aksesibilitas masyarakat terhadap layanan kesehatan mental masih rendah dan ketersediaan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan mental masih belum mencukupi. Dari sini tampak adanya kesenjangan yang lebar antara jumlah penderita gangguan mental yang semakin meningkat dengan layanan pengobatan kesehatan mental yang belum memadai.
33
B. Rumusan Permasalahan Seseorang yang telah diberi label sebagai penderita sakit mental atau pernah dirawat inap di rumah sakit jiwa, bukan saja mendapat malu, tetapi juga berisiko tinggi untuk dipecat dari pekerjaannya dan disingkirkan oleh temanteman dan masyarakat. Individu-individu tersebut dianggap sudah tidak berguna lagi karena hak dan keistimewaan yang pernah dimiliki itu sudah hilang. Misalnya yaitu hilang status kerjanya dan sudah tidak punya uang. Oleh karena itu, akan dicemooh dan dihina oleh teman-teman sekerja, tetangga serta masyarakat lingkungan. Stigma terhadap masalah itu masih terjadi dalam masyarakat, terutama golongan yang tinggal di desa (Lee Lam Thye, 2009). Selain itu, faktor lingkungan dan perspektif budaya yang negatif terhadap gangguan mental telah membatasi banyak pasien dari mendapatkan pertolongan yang sewajarnya. Konsep gangguan mental dan cara mengobatinya sangat terkait dengan keyakinan serta stigma yang ada dalam masyarakat. Perasaan negatif atas antara keluarga pasien dengan psikiater atau ahli psikologi dan akan menyebabkan terputusnya intervensi klinis dan rangkaian terapeutik (Sciortino dalam Hidajat, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya peneltiian ini berusaha untuk mencari jawaban atas berbagai faktor yang mempengaruhi niat pencarian pertolongan pada gangguan mental secara langsung maupun melalui variabel intervening. Faktor-faktor tersebut didasarkan pada kerangka teori TPB (Theory of Planned Behavior). Penggunaan TPB dalam hal ini didasarkan oleh alasan bahwa TPB memiliki keunggulan dibandingkan teori keperilakuan yang lain, karena TPB merupakan teori perilaku yang dapat
34
mengidentifikasikan keyakinan seseorang terhadap pengendalian atas sesuatu yang akan terjadi dari hasil perilaku, sehingga membedakan antara perilaku seseorang yang berkehendak dan yang tidak berkehendak (Ajzen dan Fishbein (1975). TPB menunjukkan bahwa proksi penentu perilaku adalah niat untuk terlibat dalam perilaku, sesuai dengan fokus kajian ini yaitu niat keluarga dalam mencari pertolongan untuk anggota keluarga yang rentan mengalami gangguan mental di Yogyakarta. Selain itu, teori tersebut juga merupakan pengembangan dari teori-teori sebelumnya sehingga menjadi suatu teori yang lebih komprehensif dalam menjelaskan suatu perilaku tertentu. Pada TRA (Ajzen, 1991) misalnya, tidak dikaji pengaruh keyakinan kontrol dan kontrol perilaku dalam memprediksi intensi maupun suatu tindakan tertentu. Hanya saja, dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penggunaan TPB untuk memprediksi
perilaku
yang
satu
dengan
lainnya
masih
menunjukkan
ketidakkonsistenan hasil. Dengan demikian dirumuskan pertanyaan bahwa Mengapa penggunaan TPB untuk memprediksi perilaku tidak menunjukkan hasil yang konsisten untuk satu kasus dengan kasus lainnya? Apakah terdapat suatu model hubungan yang dapat digeneralisasikan sehingga dapat menjelaskan perilaku secara umum? Secara khususnya, perumusan masalah dirincikan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental melalui variabel intervening sikap pada pencarian pertolongan, pengaruh keyakinan normatif melalui variabel intervening norma subjektif, dan pengaruh keyakinan kontrol melalui variabel intervening kontrol perilaku terhadap niat pencarian pertolongan?
35
2. Bagaimana pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental, keyakinan normatif, dan keyakinan kontrol secara langsung terhadap niat pencarian pertolongan? 3. Apakah
terdapat
perbedaan
niat
untuk
pencarian
pertolongan
jika
menggunakan pertolongan psikiater, kiai, dan dukun? 4. Apakah terdapat perbedaan niat untuk pencarian pertolongan pada masyarakat desa dengan kota?
C. Tujuan dan Manfaat 1.
Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menganalisis pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental melalui variabel intervening sikap pada pencarian pertolongan, pengaruh keyakinan normatif melalui variabel intervening norma subjektif, dan pengaruh keyakinan kontrol melalui variabel intervening kontrol perilaku terhadap niat pencarian pertolongan. b. Menganalisis pengaruh keyakinan penyebab gangguan mental, keyakinan normatif, dan keyakinan kontrol secara langsung terhadap niat pencarian pertolongan. c. Menganalisis perbedaan niat untuk pencarian pertolongan jika menggunakan pertolongan psikiater, kiai, dan dukun. d. Menganalisis perbedaan niat pencarian pertolongan pada masyarakat desa dengan kota.
36
2.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat menolong banyak pihak seperti dinas kesehatan,
pembuat hukum, pihak penelitian lanjutan, pengamal pengobatan modern, praktek pengobatan tradisional, kepala desa atau kepala rukun warga, masyarakat, diri pasien dan keluarga mereka dalam usaha menyelesaikan isu dan masalah gangguan mental dengan lebih baik. Model penelitian yang memuat faktor-faktor yang memengaruhi sikap dan niat masyarakat dalam pencarian pertolongan pada gangguan mental dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan yang optimal dalam penanganan kasus gangguan mental. Dengan diketahuinya faktor-faktor yang memengaruhi sikap, keyakinan, dan niat masyarakat dalam pencarian pertolongan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk kebijakan, program, ataupun perlakuan.
D. Keaslian Dari sudut perkembangan penelitian, fenomena ini memang sudah banyak dilakukan penelitian untuk meneliti stigma, sistem keyakinan masyarakat desa terhadap gangguan mental, dan perilaku mereka untuk mendapatkan pertolongan.
Misalnya,
penelitian
terhadap
masyarakat
desa
Mexico
menggunakan pendekatan alternatif untuk merawat gangguan mental yang disebut Curanderismo, yaitu penyembuhan yang berdasarkan keyakinan pada semangat nenek-moyang atau spiritual (Zacharias, 2006). Selain Zacharias (2006); Mazimkulu dan Simbayi (2006) yang meneliti perspektif masyarakat pengobatan tradisional dari Afrika dalam merawat psikosis; Ramos-Sánchez dan Atkinson (2009) yang mengkaji perbedaan jenis kelamin dan nilai keyakinan masyarakat Mexico Amerika terhadap gangguan
37
mental. Selain itu, terdapat peneliti yang meneliti cara merawat gangguan mental dengan menggunakan pendekatan agama (Farooqi, 2006) dan ada pula yang membuat perbandingan implikasi pengaruh pendekatan spriritual ini dengan pendekatan tradisional yang menggunakan jampi (Moreira-Almeida dan KossChioino, 2009). Meskipun demikian, penelitian-penelitian di atas tidak membahas dari sudut niat keluarga pasien mencari pertolongan, aspek geografi masyarakat desa dan kota yang mengalami permasalahan gangguan mental. Persoalan niat keluarga ini sangat penting dalam menentukan cara penyembuhannya. Persoalan ini juga penting dari perspektif silang budaya dan relevan untuk dikaji karena persepsi orang yang tinggal di desa tidak sama dengan persepsi orang kota dalam menghadapi penderita gangguan mental. Penelitian dari perspektif ini dapat ditinjau secara lebih rinci, berawal dengan stigma masyarakat di kota dan di desa terhadap gangguan mental dan pengaruhnya; selain keterkaitan di antara sistem keyakinan penduduk; atau budaya mereka terhadap sebab gangguan mental dan cara mengobatinya. Bagi keluarga pasien di Indonesia misalnya, aspek nilai mereka yang memberi makna sehat, sakit dan gangguan mental memang berbeda dengan konsep yang berlaku di barat. Ada fenomena yang dianggap sakit oleh masyarakat barat tidak pula dianggap demikian oleh masyarakat Indonesia. Misalnya latah tidak dianggap penyakit oleh sebagian orang Indonesia. Di samping itu, ada keluarga yang masih
berpegang
dengan
amalan
nenek
moyang
dan
tradisi
akan
menyembuhkan pasien dengan jampi dan mentera untuk mengusir makhluk halus dari tubuh pasien (Subandi, 2006).
38
Penelitian ini didasarkan pada topik-topik pembahasan penelitian sebelumnya.
Secara
operasional
pengembangan
dalam
penelitian
ini
disesuaikan dengan keadaan pada wilayah penelitian (Yogyakarta) dengan melakukan studi kasus. Hasil studi kasus ini kemudian dikembangkan untuk survei. Selanjutnya, hasil survei dikembangkan untuk pengujian model penelitian. Dengan demikian, keaslian penelitian ini dapat dijamin.