36
BAB II FAKTOR YANG MENYEBABKAN PELAKU MELAKUKAN MUTILASI DI TINJAU DARI PSIKOLOGI KRIMINAL
A. Teori-Teori Penyebab Kejahatan menurut Kriminologi. Kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions). 35 Menurut Sue Titus Reid, bagi suatu perumusan hukum tentang kejahatan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu: 36 1. Kejahatan adalah sesuatu tindakan sengaja. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat jahat; 2. Merupakan pelanggaran hukum pidana; 3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum; 4. Yang diberi sanksi oleh Negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran. Ada beberapa pendapat mengenai sebab-sebab kejahatan diantaranya dikemukakan oleh W. A. Bonger, E. H. Sutherland dan Paul Moedikno
35 36
W.A.Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 25. Soerjono soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia, Jakarta, 1981, hal. 22.
36
Universitas Sumatera Utara
37
Moeliono.W.A. Bonger didalam bukunya pengantar “Tentang Kriminologi” membagi aliran-aliran tentang sebab-sebab kejahatan, sebagai berikut: 37 a. Mashab sosiologi menyelenggararakan statistik kriminil; b. Mashab anthropologi-mashab Italia; c. Mashab lingkungan-mashab Prancis; d. Mashab bio-sosiologi; e. Mashab agama. Mashab Sosiologi yang menyelenggarakan statistik kriminil ini muncul sekitar tahun 1830M yakni dengan ditandainya pengertian sosiologi. Pertumbuhan ini akibat perkembangan ilmu sosial di satu pihak, juga karena diadakannya statistik kriminil di lain pihak. Statistik adalah pernyataan-pernyataan kejadian yang di gambarkan dengan angka-angka, juga mendorong dengan keras majunya ilmu pengetahuan sosial. Ad. Quetelet (1796-1874) adalah ahli statistik kriminil yang pertama di Prancis yang pada tahun 1826 telah mulai mengadakan statistik kriminil. Beliau menggunakan statistik kriminil sebagai alat dalam sosiologi kriminil. Dan membuktikan untuk pertama kalinya bahwa kejahatan adalah suatu hal yang asalnya dari keadaan masyarakat. Adanya unsur dinamis dalam kejahatan oleh AD. Quetelet tidak diingkari, bahkan diakui dengan tegas. Memang kita akui bahwa penyelidikan yang berjalan dalam beberapa tahun saja dan dimana tidak ada perubahan besar di lapangan sosial, maka terlihatlah adanya unsur yang tetap. Tetapi jika kita bandingkan dengan beberapa Negara dalam beberapa tahun, maka
37
Chainur Arrasjid, Op Cit, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
38
ternyata adanya perubahan dalam kejahatan, dengan tidak melupakan bahwa sebagian besar masih dalam keadaan tetap. Antara lain tokohnya adalah L.M. Christone (1791-1848) yang mengatakan bahwa di inggris (1814-1848) ada hubungannya antara industri dengan pertambahan kemiskinan yang mengakibatkan naiknnya kejahatan. A. Von Oetingen (1827-1905) yang beraliran keagamaan menyatakan bahwa dalam waktu-waktu krisis, pencurian dan lain-lain akan meningkat, terutama dilakukan oleh wanita dan anak-anak, sedangkan kejahatan penyerangan akan bertambah pada keadaan makmur. Mazhab Anthropologi – Italia muncul disekitaran permulaan tahun 30 dan 70 abad ke 19. Antara lain pelopor mashab ini adalah ahli phrenologi Gali dan Spurzheim walaupun pelajarannya tidak berdasarkan ilmu
pengetahuan.
38
Pelanjut teori ini antara lain H.Lauvergne (1797-1859) disamping menguraikan pendapatnya yang bersifat phrenology yang kemudian tidak benar, tetapi terdapat juga hasil penelitian yang penting mengenai kejiwaan dan masyarakat. C.G. Carus (1789-1869) yang menyatakan adanya ciri-ciri pada tengkorak orang-orang jahat sebagai tanda-tanda yang menggambarkan jiwanya kurang sehat. P. Broca (1824-1880) mengatakan berdasarkan penyelidikan tentang tengkorak dari si penjahat, ternyata keadaannya yang tidak biasa mempunyai sifat pathologis. Pinel dan Esquirol menyatakan bahwa sakit gila dapat menyebabkan kejahatan. J.C. Pichard (1786-1848) sejalan dengan pemikiran Esquirol tentang pelajaran monomanien penjahat “moral insanity” yakni tidak dapat membedakan
38
Ibid, Hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
39
antara budi pekerti yang baik dan yang jelek dengan tidak ada gangguan jiwa lainya, dikemukakan pertama kali olehnya. 39 Salah seorang tokoh yang terkenal dari mashab ini adalah Cecare Lombroso (1835-1909). Lombroso berpendapat bahwa manusia yang pertama adalah penjahat sejak lahirnya (pencuri, suka memperkosa, pembunuh dan kalau perempuan adalah pelacur). Di samping itu beliau berpendapat bahwa para penjahat dipandang dari sudut anthropologi mempunyai tanda-tanda tertentu. Juga dikatakan bahwa penjahat umumnya dipandang dari sudut anthropologi merupakan suatu macam manusia tersendiri (genus homo deliquens) Untuk menerangkan bagaimana cara terjadinya mahluk yang abnormal (penjahat dari kelahiran) Lambroso memajukan hypotesa bahwa manusia yang masih rendah peradabannya sifatnya tidak susila, jadi seorang penjahat adalah suatu kejadian yang atavistis, artinya bahwa ia dengan sekonyong-konyong mendapat sifat yang dekat, tetapi didapatnya kembali dari yang lebih dahulu (yang dinamakan kemunduran dari keturunan). Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa penjahat adalah orang mempunyai penyakit sawan. Di sekitar tahun 1830 anthropologi kriminal di Negeri Belanda mendapat dan dipelajari dengan pesat. Dalam hal ini Winkler, Berends dan Aletrino mengukur tengkorak-tengkorak penjahat dan jenis orang lainnya. Dalam hal ini Berends dalam kesimpulannya menyatakan, bahwa pembunuh adalah orang sakit sawan babi dan orang imbesil adalah cabang-cabang dari suatu pokok, dan pokok itu adalah suatu kemunduran.
39
Ibid, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
40
Pertumbuhan dari tengkorak bagian otak dan kemajuan pertumbuhan dari tengkorak bagian muka. Winkler dalam hal ini lebih berhati-hati daripada Lombroso dalam mengeluarkan pendapatnya. Beliau tidak menyebutkan type penjahat, tetapi menyatakan hubungan dengan bahan-bahan tersebut diatas, maka dengan tidak insyaf hakim akan memilih orang-orang yang dahinya sempit dan tulang dagunya lebar. Enrico Ferri seorang murid dari Lombroso mengadakan beberapa perbaikan demi kelanjutan dari ajaran-ajaran gurunya tersebut. Hal ini disebabkan Ferri menyadari bahwa pelajaran-pelajaran Lombroso dalam bentuk aslinya tidak dapat dipertahankan. Karena itu tanpa mengobah intinya, Ferri mengubah bentuknya dengan mengatakan faktor lingkungan ada juga mempengaruhinya. Menurut Ferri
40
bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi
pengaruh-pengaruh interaktif diantara faktor-faktor fisik (seperti ras, geografis, serta temperature), dan faktor-faktor sosial (seperti umur, jenis kelamin, variablevariabel psikologis). Dia juga mengklasifikasi lima kelompok penjahat: a. The born criminal and instinctive criminals; b. The insane criminals (diidentifikasi sebagai sakit mental); c.
The passion criminals (melakukan kejahatan sebagai problem mental atau keadaan emosional yang panjang serta kronis);
d. The occasional criminals (merupakan produk dari kondisi-kondisi keluarga dan sosial lebih dari problem fisik atau mental yang abnormal); e. The habitual criminals (memperoleh kebiasaan dari lingkungan sosial).
40
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa. Op.Cit. hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
41
Didalam bukunya Sosiologi Criminelle ia memberikan rumusan tentang timbulnya kejahatan: 41 a. Setiap kejahatan adalah resultante dari keadaan individu, di satu pihak dan sosial. b. Keadaan sosial memberi bentuk pada kejahatan, tetapi berasal dari bakatnya yang biologis dalam arti sosial (organis dan psikhis). Jadi berarti unsur individu tetap paling penting , walaupun ada faktor lain yang juga turut mempengaruhinya. Demikianlah pendapat-pendapat Lombroso yang senantiasa berubah-berubah karena mendapat kritik sehat kemudian diselamatkan oleh Ferri. Mashab lingkungan Perancis, terdiri dari mashab Perancis khusus; mashab berdasarkan perekonomian lingkungan, hasil aetiologi dalam sosiologi kriminil dan sekelilingnya. Mashab Perancis khusus adalah mashab yang datang dari kalangan dokter Perancis yang mengajukan tantangan terhadap mashab anthropologi Lombroso. Para dokter Perancis ini menganut garis-garis yang diberikan oleh J. Lamarck, E. Geoffrey st Hileire, L. Pasteur yang menekan pada arti lingkungan sebagai sumber dari bermacam-macam dan sebab dari segala penyakit. Golongan ini tidak menggabung pada golongan ahli sosiologi statistik yang pada dasarnya termasuk golongan ahli teori keadaan sekeliling atau teori lingkungan dengan lingkaran pelajaran yang mengajarkan bahwa kejahatan berasal dari kelahiran. Mereka adalah dokter yang bukan ahli sosiologi, biarpun mereka mempunyai penglihatan yang tajam, tentang keadaan masyarakat.
41
Chainur Arrasjid, Op Cit, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
42
Pelopornya antara lain A.Lacassagne (1843-1924) guru besar dalam hukum kedokteran di perguruan tinggi Lyon. Juga G. Tarde (1843-1904) ahli hukum dan sosiologi yang menyatakan kejahatan bukan suatu hal yang anthropologis tetapi sosiologis seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya dikuasai oleh hasrat meniru. Antara lain bukunya “Les Dois de limitation”. Teori kesempatan Lacassagne menyatakan bahwa masyarakat yang member kesempatan untuk berbuat jahat. 42 Mashab berdasarkan perekonomian lingkungan mulai berkembang pada penghabisan abad ke 19 ketika timbul sistem baru dalam perekonomian dan kejahatan kelihatan bertambah.Teori baru dalam kemasyarakatan yang timbul pada pertengahan abad ke 19 yang pandangan masyarakat berdasarkan ekonomi (historis materialisme) akan mengarah kedalam kriminologi. Menurut teori ini unsur-unsur ekonomi dalam masyarakat dipandang dari sudut dinamis adalah primair dan dipandang dari sudut statis merupakan dasarnya. N. Colojanna (1847-1927) didalam bukunya: “sosiologia criminale” (1887) menyatakan juga adanya hubungan antara krisis dengan bertambahnya kejahatan dengan keadaan pathologis sosial, seperti pelacuran, yang juga berasal dari adanya perekonomian dan kejahatan politik karena ekonomi. Beliau juga menekankan adanya hubungan antara sistem ekonomi dan unsur-unsur umum dalam kejahatan, yakni hak milik mendorong untuk mementingkan diri sendiri, dan oleh karyawan yang mendekatkan pada kejahatan. Untuk mencegah kejahatan
42
Wahyu Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
43
adalah dengan suatu sistem ekonomi yang dapat mencapai perimbangan yang tetap dan pembagian kekayaan yang serata-ratanya. Menurut W.A. Bonger jasa dari pengarang ini ialah bahwa mereka dalam salah satu lapangan menyempurnakan teori lingkungan, yang oleh pengarang Perancis kebanyakan para dokter diterangkan dengan tidak jelas. Hasil aetiologi dalam sosiologi kriminal antara lain; terlantarnya anakanak dan sebagainya; kesengsaraan; nafsu ingin memiliki; kemerosotan kelamin; ketagihan minuman keras, kurangnya peradaban; perang. Keadaan sekelilingnya, dalam hal ini ada dua pengaruh atas manusia, yakni pengaruh langsung dari iklim dan pengaruh-pengaruh tidak langsung terutama
tanah
dengan
melalui
masyarakat,
misalnya
keharusan
menyelenggarakan pengairan didaerah tertentu di dunia timur mengakibatkan adanya pemerintahan diktatoris. W.A. Bonger menyatakan juga bahwa pengaruh langsung dari iklim dan lain-lain atas diri manusia dengan majunya ilmu teknik dan bertambahnya kuasanya manusia terhadap alam menjadi berkurang. Disamping itu beliau juga mengemukakan beberapa jenis kejahatan yang dapat timbul akibat pengaruh keadaan sekelilingnya ini, yaitu kejahatan ekonomi, kejahatan terhadap kelamin; keahatan kekerasan; dan kejahatan politik. Mashab bio-sosiologi seperti yang dikatakan oleh E. Ferri adalah sinthesa dari aliran anthropologi dan aliran keadaan lingkungan sebagai sebab kejahatan. Rumusnya setiap kejahatan adalah hasil dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik. Sedangkan unsur tetap yang penting menurutnya adalah individu. Pengertian individu ini adalah unsur seperti yang
Universitas Sumatera Utara
44
dikemukakan oleh Lombroso. Aliran ini mendapat penganut yang banyak serta berpengaruh lama, misalnya AD. Prins di Brussel, F.R. Von liszt di Berlin, G.A. Van Hamel di Amsterdam. Tetapi akhirnya Von Liszt pada saat menjelang tuanya cenderung ke aliran sosiologis. Sehubungan dengan mashab bio-sosiologi ini Ferri memberikan rumusan; Tiap kejahatan = (keadaan sekelilingnya + bakat) dengan keadaan sekelilingnya. Jadi berati keadaan sekelilingnya terhadap manusia selalu berpengaruh dua kali dilakukan, terdiri dua unsur khusus, yakni: Keadaan yang mempengaruhi individu dari lahirnya, sehingga pada saat melakukan perbuatan tersebut dan dengan bakatnya terdapat dalam individu. Dalam hal ini penting artinya keadaan sekelilingnya yang merupakan unsur menentukan. Dengan adanya perbaikan dari rumus Ferri ini, dalam arti yang terbatas, rumus ini dapat mengarah ke arah yang benar. Dalam hal ini Bonger memajukan beberapa contoh serta penjelasan: Dua orang yang benar-benar hidup dalam keadaan yang sama mempunyai hidup yang baik untuk melakukan kejahatan dan dua-duanya sama sekali tidak terhalang oleh rasa budi pekertinya. Pada saat harus berbuat sesuatu yang seorang berani bertindak, sedangkan seorang yang lain takut dan tidak jadi bertindak. Jadi apakah keberanian adalah suatu unsur kejahatan dan ketakutan adalah unsur kebaikan? Memang ini banyak terjadi, mungkin yang satu demikian licinnya hingga mengetahui bahwa besar kemungkinan diketahui lalu tidak berbuat. Apakah juga dapat dikatakan bahwa kepandaian adalah unsur kebaikan dan kebodohan adalah unsur kejahatan? Memang hal ini juga terjadi, tetapi juga sebaliknya tidak dapat terjadi. Dengan kata lain semua sifat-sifat manusia dapat
Universitas Sumatera Utara
45
mengatakan bahwa penjahat dan bukan penjahat terletak pada sifat tertentu kepada kepribadian, yang mengakibatkan seseorang tertentu dalam suatu keadaan tertentu berbuat kejahatan dan seorang lain tidak berbuat. Kecendrungan berbuat jahat ini mungkin diturunkan dari orang tua atau merupakan ekspresi dari sifatsifat kepribadian dan keadaan sosial, dan proses-proses lain tak perlu diperhitungkan dalam menerangkan sifat-sifat kejahatan. Multiple Factor Theory mengatakan bahwa kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang beraneka ragam dan faktor-faktor itu dewasa ini (serta untuk selanjutnya) tidak dapat disusun menurut suatu skema tertentu. Atau dengan kata lain, untuk menerangkan kelakuan kriminil memang tidak ada teori ilmiah. Jadi multiple faktor approach ini, bukan suatu teori, tetapi terutama dipergunakan dalam diskusi kasus-kasus individuil, tetapi suatu bentuk dari approach ini juga dapat dipakai untuk analisa variasi dalam crime rates. Paul Moedikno Moeliono membagi mashab ini atas: 43 a. golongan salahmu sendiri; b. golongan tiada orang yang bersalah; c. golongan salah lingkungan; d. golongan kombinasi. Golongan salahmu sendiri berpendapat bahwa kejahatan adalah ekspresi (pernyataan) kemauan jahat dari diri si petindak sendiri. Jadi menurut golongan ini, sebab dari suatu kejahatan adalah timbul dari kemauan si petindak sendiri, karena itu konsekuensinya, bila kamu berbuat kejahatan salahmu
43
Chainur Arrasjid, Op Cit, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
46
sendirilah;
masyarakat
dan
pihak-pihak
lain
sama
sekali
lepas
dari
pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatan-kejahatan itu. Golongan ini mempunyai dua aliran, yakni: 44 a. aliran keagamaan. b. aliran sekularisasi. Aliran ini bersumberkan kitab-kitab suci agama masing-masing. Berpijak pada aliran keagamaan maka setiap manusia dalam hidupnya telah diberi pedoman berupa perintah-perintah dan larangan-larangan; yang mematuhi perintah-perintah dan larangan-larangan agama, akan memperoleh pahala dari Tuhannya dan sebaliknya yang melanggar akan berdosa. Juga dalam ajaran keagamaan dengan tegas ditentukan bahwa setiap orang harus berbuat baik dengan mematuhi pedoman-pedoman yang telah digariskan dalam Firman Tuhan melalui kitab-kitab suci dan Rasul-Nya, maka konsekuensinya barang siapa yang melanggar dan mengingkari perintah Tuhan (seperti membunuh, mencuri, berzinah, dan lain sebagainya) maka sendirilah yang harus bertanggung jawab. Di dalam abad pertengahan (abad ke 13 dan 16) di Eropa, raja-raja adalah wakil Tuhan di dunia. Jadi barang siapa melanggar perintah-perintah Tuhan, maka dia juga berdosa pada negara, karena salahnya pelanggar harus ditindak serta mendapat hukuman dari Negara. Termasuk dalam aliran sekularitas adalah hedonisme, utiliatrianisme, rationalisme. Hedonisme menyatakan bahwa kenikmatan (kesenangan) egoistis adalah tujuan terakhir manusia. Tokohnya yang terkenal adalah Beccaria. Menurutnya di dunia ini ada dua persamaan, yakni
44
Ibid, hal. 49
Universitas Sumatera Utara
47
kesenangan dan penderitaan. Menurut aliran ini bahwa manusia selalu ingin mendapatkan kebahagiaan dan menghindarkan kesengsaraan. Begitu juga tentang kejahatan jika dilaksanakan merupakan lust, dan apabila tertangkap akan diberikan pidana merupakan unlust-nya. Jadi jika dalam hal ini si petindak pidanalah yang harus dipidana, karena dialah yang memikirkan untuk melakukan perbuatan jahat, karena itulah si pembuat yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Di dalam aliran utilitarianisme kesenangan alturistis dalam menuju kebahagian terbesar dari sejumlah dari yang terbanyak dan mengukur moralitas menurut kegunaannya dalam memajukan kebaikan bersama. Tokohnya antara lain Bentham. Bentham berpendapat pada keinginan masyarakat terbesar, bahwa penghukuman terhadap si penjahat berarti masyarakat merasa puas. Aliran rationalisme berpendapat bahwa ratio manusia adalah sumber ekspresi atau manifestasi daripada jiwa manusia. Begitu juga kejahatan merupakan ekspresi jiwa yang baik yang bersumber pada ratio juga. Karena kejahatan merupakan ekspresi jiwa, maka ia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Tetapi karena adanya hak asasi manusia maka hukuman tidak boleh sewenang-wenang. Tentang golongan tiada orang salah, aliran ini menyatakan bahwa kejahatan adalah ekspresi manusia yang dilakukan tanpa ekspresi. Jadi golongan ini bertentangan dengan golongan salahmu sendiri. Karena golongan ini berpendapat bahwa orang itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dipidana.
Universitas Sumatera Utara
48
Maka ini berarti membebaskan si pembuat daripada pertanggungjawaban dan kesalahannya. Aliran ini juga menyatakan, sebenarnya dalam melakukan kejahatan itu ada yang bersalah, tetapi yang bersalah bukan manusia (orang). Pada abad ke 20 ini pendukung yang termasuk golongan tiada orang salah sering dikatakan dalam bentuk kata-kata gelap mata, kemasukan setan (iblis), sakit jiwa (ekspresi di luar kemauan manusia). Alasan yang demikian tidak ilmiah, sehingga sedikit sekali sumbangannya terhadap kriminologi. Di dalam perkembangannya terdapat 3 fase, yakni fase sebelum Lombroso, teori Lombroso, dan fase sesudah Lombroso. Fase sebelum Lombroso terkenal tokohnya seperti: Gall Spurzheim, F. Broca, Pinel, P.Lucas, dan A.B. Morel, sedangkan pada
Fase Lombroso telah dijelaskan
terdahulu. Mengenai fase sesudah Lombroso atau disebut juga aliran neoLombroso. Aliran ini berusaha untuk meyakinkan dunia ilmu pengetahuan dengan pendapat: 45 a. Aliran yang berpangkal kepada penyelidikan menurut sejarah daripada suatu keluarga. b. Aliran yang berpangkal pada penyelidikan otak terbelakang. c. Aliran yang berpangkal kepada penyelidikan anak kembar. d. Aliran yang berpangkal kepada penyelidikan melalui penyakit jiwa. Golongan salah lingkungan berpendapat bahwa yang menyebabkan kejahatan adalah lingkungan. Mereka bersemboyan: dunia adalah bertanggung
45
Ibid, hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
49
jawab terhadap bagaimana jadinya saya daripada diri saya sendiri. Maka berarti sebab musabab kejadian berasal dari lingkungan itu berbeda satu sama lainnya. Beberapa aliran yang agak penting adalah: 46 a. Lingkungan yang memberikan kesempatan: Tokohnya seperti A. Lacassagne (1843-1942) yang dipengaruhi oleh Louis Pasteur tentang bakteri dan penyakit. Lacassagne berpendapat bahwa yang terpenting adalah keadaan sosial sekeliling kita. Suatu perbandingan yang diambil dari teori modern. Yakni keadaan sekeliling kita adalah suatu pembinaan untuk kejahatan, kuman adalah penjahat, suatu unsur yang baru mempunyai arti apabila menemukan pembenihan yang membuatnya berkembang. b. Lingkungan yang memberikan teladan, antara lain teori ini berasal dari G.Tarde (1843-1904) yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan hasil peniruan alam lingkungan pergaulan hidup. c. Lingkungan ekonomi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan keadaan ekonomi, tetapi ada variasi-variasi berdasarkan penyelidikan masing-masing ahli. Pengikutnya antara lain F. Turati (1857-1932), N. Colayanni (18471921) dan G. von mayr (1841-1925). Mengenai golongan-golongan dari pada buku aliran-aliran terdahulu, misalnya “bio-sosiologi” dalam buku W.A. Bonger dan akal dan lingkungan didalam buku Noach yang telah dikemukakan tedahulu.
46
Ibid, hal.52
Universitas Sumatera Utara
50
B. Teori-Teori Psikologi Kriminal Penyebab Kejahatan. Menurut ahli-ahli ilmu jiwa dalam bahwa kejahatan yang merupakan salah satu tingkah laku manusia yang melanggar hukum ditentukan oleh instansiinstansi yang terdapat pada diri manusia itu sendiri. Maksudnya tingkah laku manusia pada dasarnya didasari oleh basic needs yang menentukan aktivitas manusia itu. 47 Dalam mengidentifikasi permasalahan mengenai adanya kecenderungan individu untuk berprilaku kriminal adalah dengan menggunakan teori-teori psikologi yang berpangkal pada pendekatan transorientasional mencakup proses penilaian sosial (social judgement), proses pemberian sifat (atribution), proses kelompok (group proses) serta teori peran. 48 Adapun mengenai teori-teori tersebut sebagai berikut: a. Teori Perbandingan Sosial. 49 Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa proses saling mempengaruhi dan prilaku saling bersaing dalam interaksi sosial ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri sendiri (self evaluation) dan kebutuhan ini dapat di penuhi dengan membandingkan diri orang lain;
47
Ibid, hal. 18.
48
Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 169. 49
Festinger, Comparative Social Phsychology Theorie, Gramedia, Jakarta, 2001, hal. 170.
Universitas Sumatera Utara
51
b. Teori Inferensi. 50 Teori ini pada dasarnya mencoba untuk menerangkan kesimpulan pengamatan terhadap perilaku tertentu dari orang lain atau niat (jahat) dari orang lain tersebut; Berdasarkan penelaahan kedua teori diatas di ketahui bahwa pemahaman akan orientasi permasalahan psikologi kriminal adalah terhadap terjadinya persaingan dalam proses interaksi sosial dimana dilakukan dengan pengamatan yang diorientasikan terhadap adanya identifikasi unsur sikap jahat atau mens rea dari individu. Sigmund Freud mengungkapkan teori mengenai Structure personality sebagai berikut: 51 a. Das es atau id merupakan sumber gejala sesuatu yang terlupa dan unsurunsur kejiwaan yang dibawa sejak lahir adalah merupakan kekuatankekuatan hidup seperti nafsu dan instink yang terlupa. b. Das ich atau ego merupakan inti dari alam sadar, pelaksanaan dari segala dorongan yang dikehendaki dari Es, mempunyai prinsip realitas hubungan dengan dunia luar, bersifat objektif sebagian berfungsi sadar berusaha untuk menyusuaikan diri dengan keadaan. c. Das uber ich atau super ego berfungsi moral, segala norma dan tata kehidupan yang pernah mempengaruhi Das ich atau ego membekas. Das uber ich menjalankan kontrol terhadap das ich, bagian moral dari jiwa yang dibentuk oleh dunia luar seperti orang tua, lingkungan sekolah, sosial 50
Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit, hal.177.
51
Chainur Arrasjid, op.cit, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
52
budaya, agama dan sebagainya. Tegasnya berisi norma-norma etika, moral dan sosial. Penilaian yang dilakukan contohnya memberi teguran, jangan melakukan, izin untuk melakukan, memberi pujian atau mencela. Jika pujian yang diberikan gejala mukanya merah padam atau debaran jantung yang diikuti dengan senyuman sebagi tanda perasaan bangga, sebaliknya jika memberi celaan menimbulkan rasa penyesalan dengan gejala wajah pucat. Das es, das ich, das uber ich seharusnya berada dalam keadaan seimbang sehingga diperoleh pribadi kejiwaan yang mantap dan kuat. Das ich yang bijaksana dapat memadukan tuntutan das Es dan dengan kemauan das uber ich, das ich yang lemah yaitu selalu tunduk pada tuntutan das es, sedangkan das ich yang kaku selalu tunduk pada das uber ich. Setelah mempelajari unsur personality diatas diketahui bahwa seseorang yang melakukan prilaku terlarang karena hati nurani, atau superego begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego nya (yang berperan sebagai penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dan id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk di puaskan dan dipenuhi). Berkaitan dengan studi mengapa individu memiliki kecendrungan untuk berprilaku disasosiatif terhadap kondisi lingkungannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang diidentifikasikan sebagai perbuatan jahat, para tokoh psikologi mempertimbangkan suatu variasi dan kemungkinan cacat dalam
Universitas Sumatera Utara
53
kesadaran, ketidakmatangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai dimasa kecil, kehilangan hubungan dengan lingkungan, perkembangan moral yang lemah. 52 Kejahatan memiliki keterkaitan dengan kondisi individu penjahat, terdapat teori-teori yang mengemukakan variable mengapa individu berprilaku jahat sebagai berikut: 53 a. Teori psikis, berdasarkan teori ini dijelaskan bahwa sebab-sebab kejahatan dihubungkan dengan kondisi kejiwaan seseorang. b. Teori psikopati, berbeda dengan teori-teori yang menekankan pada intelegensia ataupun kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari sebabsebab kejahatan dari kondisi jiwa yang abnormal. Seseorang penjahat di sini terkadang tidak memiliki kesadaran atas kejahatan yang telah di perbuatnya sebagai akibat gangguan jiwanya. c. Teori kejahatan sebagai gangguan kepribadian digunakan untuk menjelaskan prilaku yang dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim). Sementara itu berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh ajaran klasik yang didasarkan pada orientasi Hedonistic psychology. menurut ajaran ini manusia mengatur tingkah lakunya atas dasar pertimbangan suka dan duka. Suka yang diperoleh dari tindakan tertentu dibandingkan dengan duka yang diperoleh dari tindakan yang sama. Si pelaku diperkirakan berkehendak bebas dan menentukan pilihannya berdasarkan perhitungan hedonistis saja. Hal ini dianggap
52
Topo Santoso, op.cit, hal. 36.
53
Ibid, hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
54
penjelasan final dan komplit dari sebab musabab terjadinya perbuatan menyimpang yang dikategorikan sebagai kejahatan. 54 Berdasarkan alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaanperbedaan antara struktur kepribadian (structure personality) dari penjahat dan bukan penjahat. Kedua, memprediksi tingkah laku. Ketiga, menguji tingkatan dimana dinamika-dinamika kepribadian moral beroperasi dalam diri penjahat dan kempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan. Pendekatan psychoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi normal maupun fungsi asosial, tiga prinsip dasar dari pendekatan ini menarik kalangan psikologis yang mempelajari kejahatan, yaitu tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa anak-anak mereka, tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalinan dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan, kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis dalam diri individu yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol. 55 C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Mutilasi Ditinjau Dari Psikologi Kriminal. Terjadinya suatu kejahatan atau pelanggaran tidak terlepas dari latarbelakang
atau
faktor-faktor
54
Ibid, hal. 28.
55
Festinger, op.cit, hal. 51.
melakukannya,
sisi-sisi
kejahatan
dan
Universitas Sumatera Utara
55
pelanggaran tersebut tidak dapat dipisahkan baik sebelum terjadinya maupun setelah terjadinya kejahatan. Alasan-alasan dilakukannya tindakan mutilasi oleh pelaku terhadap korban tentunya dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu pula. Pelaku menderita gangguan jiwa, sejenis sadism. Pelaku terpuaskan bila orang lain menderita, terbunuh, terpotong-potong. Ini bisa diketahui dengan hanya melihat potonganpotongan tubuh tersebut. Pada umumnya kalau motif yang dilatarbelakangi oleh motif cinta, potongannnya adalah di bagian-bagian genetalia seperti payudara, penis, dan yang lain. Namun kalau motifnya dendam, umumnya yang dimutilasi adalah bagian kepala. Kedua motif ini biasanya dilakukan dengan sengaja dan terencana yang disebabkan oleh rasa tidak puas pelaku mutilasi terhadap korban, Namun, terlepas dari semua hal itu, kejahatan mutilasi sering sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang memang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya, pelaku sering sekali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya. Hal ini biasanya dilakukan oleh pelaku secara sengaja dan terencana. Adapun motif utama pembunuhan mutilasi adalah menghilangkan identitas korban sehingga identitas korban sulit dilacak, apalagi pelakunya. Dengan menghilangkan identitas korban si pelaku berpikir penyidik akan sulit melakukan penyelidikan. Usai melakukan pembunuhan, pelaku biasanya panik dan mencari
Universitas Sumatera Utara
56
jalan pintas untuk menyelamatkan diri. Ada dua kemungkinan orang melakukan mutilasi. yaitu: 56 Pertama, pelaku resah bila meninggalkan korbannya dalam keadaan utuh pencarian jejak akan dengan mudah. Kedua, terlalu rapatnya beberapa kasus mutilasi yang terjadi akhir-akhir ini membuat para pelaku mengadopsi tayangan televisi atau media lainnya. Maraknya kasus mutilasi membuat Indonesia Police Watch (IPW) mengungkapkan ada tiga penyebab pelaku kriminal melakukan mutilasi terhadap korbannya. Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane menyatakan tingkat kesadisan tersangka dalam memutilasi korbannya disebabkan tiga hal yaitu: 57 Pertama,
tersangka begitu
sakit
hati
pada korban,
sehingga
menyebabkan cara pembunuhannya berbeda. Ada yang harus pelaku kerjakan setelah membunuh, yaitu memutilasi. Dengan cara membunuh saja belum cukup meredakan sakit hatinya. Kedua, tersangka mendadak panik setelah mengetahui korban sudah tewas. Akibat dari kepanikan, pelaku berusaha menghilangkan jejak dengan memutilasi korban. Kepanikan tersebut lekat dengan ketakutan.Terakhir, pelaku memang memiliki kondisi kejiwaan yang tidak sehat alias kejiwaannya terganggu. Pelaku yang seperti ini, baru merasakan membunuh ketika memotong korbannya. Mereka tidak memiliki rasa bersalah.
56
http://www.kompasiana.com/bagooor/kenapa-mutilasi-sekarangmewabah_55003531813311491bfa73c0, diakses pada tanggal 6 November 2015, jam 14.30 WIB. 57
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/03/14/mjmxb6-tiga-alasan-inibikin-pembunuh-lakukan-mutilasi, diakses pada tanggal 6 November 2015, jam 15.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
57
Neta mengatakan, ada tren untuk mengikuti kasus sebelumnya pada deretan kasus mutilasi yang terjadi. Oleh karena itu, tuturnya, kemunculan dua kasus mutilasi yang berdekatan pada satu bulan terakhir diperkirakan karena faktor tren hendak mengikuti yang ada. Jika polisi bisa dengan cepat mengungkap kenapa pelaku memutilasi, tren ini tidak akan berkembang. Dia melanjutkan, memang agak sulit untuk mengantisipasi peristiwa mutilasi karena kerap terjadi dengan spontan. Antisipasi hanya bisa dilakukan korban dan orang-orang di sekitarnya. Dalam kasus ini terdakwa merasa korban memarahi terdakwa dan juga tujuh bulan terakhir sebelumnya, terdakwa merasa korban sering memarahi terdakwa. Terdakwa mengambil kunci inggris yang semulanya kunci inggris untuk membuka baut pompa air, karena terdakwa berkeringat dan tangan terdakwa merah-merah, terdakwa merasa emosi tidak tersalurkan atas kata-kata korban, ketika terdakwa memegang kunci inggris di halaman rumah, timbul niat pada diri terdakwa untuk memukul korban dengan kunci inggris 58. Yochelson dan Samenow, berpendapat bahwa para penjahat adalah orang yang “marah”, yang merasa suatu sense superioritas, menyangka tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka ambil, dan mempunyai harga diri yang sangat melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan terhadap harga dirinya, ia akan memberi reaksi yang sangat kuat,sering berupa kekerasan. 59 Setelah mempelajari unsur personality diatas diketahui bahwa seseorang yang melakukan prilaku terlarang karena hati nurani, atau superego 58 59
Putusan MA nomor 1549K/PID/2009. Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Op.Cit. hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
58
begitu lemah atau tidak sempurna sehingga ego nya (yang berperan sebagai penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan dan id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi). Dimana si terdakwa tidak mampu mengontrol emosinya sehingga Terdakwa melakukan pembunuhan tersebut. Dimana Das uber ich atau super ego dari Terdakwa begitu lemah sehingga tidak mampu menjadi penengah dari dorongan-dorongan yang ada. Usia Terdakwa yang sudah 23 tahun termasuk ke dalam masa stabil. Masa stabil, adalah karena masa ini tidak dapat lagi perubahan-perubahan besar baik fisik maupun psikhis. Dimasa ini adalah merupakan pengkukuhan dan pemantapan pada masa-masa sebelumnya. Masa stabil ini dimulai lebih kurang sejak usia 20 tahun sampai 40 tahun. Dimana terdakwa harusnya sudah matang baik fisik maupun psikhis. Dalam kasus kedua Terdakwa merasa keadaan hubungan terdakwa dengan istrinya yang memanas dan terdakwa ingin hidup tenang bersama istri dan anaknya, dimana “pacar” terdakwa bertekad untuk membunuh istrinya, sehingga membuat terdakwa memutuskan untuk menghabisi korban terlebih dahulu, dan untuk itu ia terdakwa telah menyiapkan 1 (satu) buah pisau ukuran lebih kurang 50 cm bersarung besi bulat. Dimana si terdakwa tidak mampu mengontrol emosinya sehingga Terdakwa melakukan pembunuhan tersebut. 60 Fakta diatas menunjukan bahwa pelaku berada dalam tekanan dan kegelisahan serta keresahan, sehingga ia tidak mampu menyesuaikan diri dan mengontrol diri dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya, yang dimaksud
60
Putusan Pengadilan Negeri Semarapura nomor 44/PID.B/2014/PN.Srp.
Universitas Sumatera Utara
59
dengan keadaan dan kondisi dalam kasus ini adalah konflik antara korban dengan pelaku. Upaya untuk keluar dari permasalahan yang dihadapi membuat pelaku tidak bisa mencari solusi/ pemecahan masalahnya, sehingga jalan satu-satunya ia harus membunuh (menghabisi) korban, sehingga semua persoalan menjadi selesai, akan tetapi jelaslah keputusan yang dibuat oleh pelaku merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang. Menurut Samuel Yochelson dan Stanton Samenow, dalam bukunya The Criminal Personality (Kepribadian Kriminal), Yochelson (seorang psikiater) dan Samenow (seorang psikolog) menolak klaim para psikoanalis bahwa kejahatan disebabkan oleh konflik internal. Tetapi yang sebenarnya para penjahat itu samasama memiliki pola berpikir yang abnormal yang membawa mereka memutuskan untuk melakukan kejahatan. 61 Keadaan dan kondisi sosial pelaku yang abnormal diatas dapat dibenarkan sebagai penyebab terjadinya pembunuhan kepada korban, sebab dari sudut kejiwaan, dikatakan bahwa kejahatan merupakan perbuatan yang tidak normal (tidak selaras dengan norma) atau abnormal, yang jika dilihat dari sudut pandang pelaku, maka penampilan prilakunya yang abnormal tersebut dapat terjadi karena beberapa kemungkinan, yakni: a. Faktor kegiatan kejiwaan yang wajar, namun terdorong menyetujui perbuatan melanggar undang-undang, yaitu yang
61
Ibid. hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
60
dilaukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan melanggar hukum secara professional. b. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi individu atau kelompok sehingga yang bersangkutan mengalami kesulitan kejiwaan, yaitu yang
dilakukan
oleh
orang-orang
yang
tidak
mampu
menyusuaikan diri dengan situasi dan kondisi sosial yang dihadapinya. 62 Modus kejahatan dengan mutilasi memang merupakan tindakan yang sangat kejam dan biadab serta sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kesusilaan yang berlaku dimasyarakat, akan tetapi bagaimanapun juga kondisi dan latarbelakang dari kejahatan tersebut dilakukan, dapat saja terjadi karena kesengajaan maupun dorongan emosional serta adanya konflik antara pelaku dengan korban. Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa faktor psikologis yang menjadi latarbelakang terjadinya pembunuhan dengan cara mutilasi karena emosi yang tidak terkendali ditambah dorongan diri atau jiwa dari pelaku yang tidak mampu menghadapi permasalahan yang di hadapi dengan korban sehingga memaksa ia untuk melakukan perbuatan yang secara sadar ia ketahui melanggar hukum. Selanjutnya secara psikologis pembunuhan itu terjadi karena tidak adanya rasa penghormatan dalam diri mereka (pelaku) terhadap hakhak dari korban dan meletakkan kebutuhan dan kepentingan pelaku diatas kepentingan korban. 62
Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara