BAB II KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO.35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN ANAK
A. Kejahatan Anak Kaitannya Kejahatan (Politik Kriminal)
Dengan
Kebijakan
Penanggulangan
Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usahausaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian dari perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan
yang
diterapkan
terhadap
orang
dewasa.
Di
dalam
upaya
penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti: 61 1. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial 2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal maupun non penal Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan cara/upaya untuk menanggulangi kejahatan baik dengan penerapan sistem pemidanaan (kebijakan pidana/penal) maupun tanpa sistem pidana (non penal). 61
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1997,
hal.75.
Universitas Sumatera Utara
Hawkins menyebutkan jalannya pembuatan kebijakan didasari oleh : 62 1. Ideologi: memilih pembuat kebijakan dengan hati-hati karena khawatir dalam menghukum terjadi kebijakan yang memberatkan atau terlalu meringankan. Oleh karena itu diperlukan panduan ideologi dalam sebuah kerangka (master frame) yang tepat sehingga melindungi keadilan masyarakat. 2. Pensimbolan: merupakan bentuk representatif dari harapan masyarakat bahwa kenetralan harus selalu ditegakkan oleh para pembuat kebijakan. 3. Sosial-politik: para pembuat kebijakan tidak dapat mengabaikan peningkatan sosial dan politik yang berkembang di masyarakat. Kesesuaian kebijakan harus dilandasi pada harapan masyarakat luas. 4. Ekonomi: memikirkan biaya yang dikeluarkan dalam menangani pelaku kriminal bagi operasional persidangan apabila harus dilanjutkan dan bila mereka berada di penjara. 5. Organisasi: keterpaduan pengelolaan lembaga pembuat kebijakan sehingga mempermudah proses. Ketidakjelasan fungsi masing-masing dalam proses akan membuat perbedaan pendapat setiap pembuat kebijakan atas suatu kasus. 6. Interaksi: merupakan hubungan dengan lembaga lain yang bekerja saling berhubungan. Setiap lembaga yang berhubungan dengan penegakan hukum harus saling berkomunikasi untuk mencapai kesamaan visi putusan. Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ialah merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio-political problems. 63 Kebutuhan untuk mengaitkan usahausaha penanggulangan kejahatan (yang nantinya terumuskan dalam suatu kebijakan Kriminal) dengan Politik Sosial adalah wajar karena pada hakikatnya
62
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010, hal.24. 63 Paulus Hadisuprapto,Op.Cit., hal.72.
Universitas Sumatera Utara
tujuan daripada Kebijakan Kriminal itu adalah Kesejahteraan Masyarakat, dengan kata lain, politik kriminal adalah merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, dan hukum perdata. Di Indonesia pembicaraan mengenai perlindungan hukum mulai Tahun 1977 dalam seminar perlindungan anak/remaja yang diadakan Prayuwana, menghasilkan dua hal penting yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak yaitu : 64 1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang ataupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya. 2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perseorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohani dan jasmani anak yang berusia 0-12 tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingan agar dapat mengembangkan hidupnya seoptimal mungkin. Diungkapkan secara tegas bahwa kepentingan anak dan kesejahteraan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat, ataupun kepentingan nasional, mengingat hal itu tidak lain justru akan dapat menimbulkan bentuk kesejahteraan lain atau korban lain. Dengan demikian terhadap anak delikuen yang terbukti melakukan kejahatan tetap harus mendapat
perlindungan dan
mendapatkan kesejahteraan, walaupun dalam kondisi anak delikuen sudah dijatuhi sanksi pidana. 65
64 65
Marlina, Peradilan Pidana .., Op.Cit.,hal.42. Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam… Op.Cit.,hal.56-57.
Universitas Sumatera Utara
Asas-asas yang mendasari kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda, termasuk perilaku kejahatan anak, itu berbeda dengan kejahatan orang dewasa, maka ada satu kebutuhan untuk sedikit melakukan modifikasi langkahlangkah penal maupun nonpenal dalam konteks politik kriminal bagi kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak. 66 Dalam kaitannya dengan kebutuhan akan keterpaduan (integritas) antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan politik sosial dan politik penegakan hukum, maka dalam konteks kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, hal ini perlu dimodifikasi, bukan hanya politik kesejahteraan masyarakat dan politik perlindungan masyarakat secara umum, melainkan diarahkan secara khusus pada politik kesejahteraan anak dan politik perlindungan hak-hak anak, baik anak pada umumnya maupun anak yang menjadi korban kejahatan orang dewasa atau anak pelaku kejahatan. Berikut skematis uraian dari paparan di atas:
66
Ibid.,hal.76.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan Politik Kriminal Dengan Politik Sosial dan Politik Kesejahteraan Anak 67 Kebijakan Kesejahteraan Anak Kebijakan Sosial Kebijakan Perlindungan Anak TUJUAN Sarana Penal Kebijakan Kriminal
Sarana Non Penal
Dari skema tersebut, maka terlihat bahwa penanggulanagn kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti: 68 a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penganggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non penal”. Dalam kaitan dengan pengguna sarana penal dan nonpenal, khusus untuk kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, kondisi tidak berbeda, hanya saja penggunaan sarana nonpenal seharusnya diberi porsi yang lebih besar daripada pengguna sarana penal. Bila saja hal ini 67 68
Paulus Hadisuprapto, Op.Cit., hal.73. Barda Nawawi Arief, Op.Cit.,hal.6.
Universitas Sumatera Utara
disepakati, maka berarti ada kebutuhan dalam konteks penaggulangan kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak, pemahaman-pemahaman yang berorientasi untuk mencari faktor-faktor kondusif yang menyebabkan timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak. Disinilah muncul peranan kriminologi dalam melakukan penelitian
baik yang bersifat klasik, positivis,
maupun interaksionis, kiranya memberikan sumbangan pemahaman tentang hakikat dan latar belakang timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku kejahatan anak. Di samping perannya di bidang penelusuran dan penemuan sarana-saran non-penal, pendekatan kriminologi ini diperlukan juga dalam konteks sarana penal. Sepert diketahui bahwa dalam konteks sarana penal, dikenal adanya permasalahan tentang hukum pidana dalam arti ius constitutum dan ius constituendum. Keduanya bersifat saling berkaitan dan menunjang dalam pembicaraan tentang penggunaan sarana penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya. Khusunya dalam kaitan dengan yang terakhir, tampaknya pemahaman terhadap dua masalah itu menjadi semakin penting saja, mengingat bahwa ketentuan yang tertuang dalam sistem hukum kita, masalah pidana anak dan peradilan anak masih merupakan persoalan yang cukup serius. Lingkup kajian menempatkan anak dalam 2 (dua) posisi, yakni sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan maka hal itu berarti bahwa ada permasalahan dalam perilaku anak tersebut, maka untuk mengatasinya adpat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu melalui Sarana Penal dan Sarana Non Penal. Penyelesaian dengan Sarana Penal berarti memberlakukan hukum positif dan tidak menutup
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan akan menciptakan suatu pembaharuan hukum di masa mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum), namun apabila sedelesaikan dengan Sarana Non Penal maka akan dilakukan pendekatan secara kriminologik terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan sekitarnya. Pendekatan kriminologi terhadap anak baik pelaku kejahatan juga berfungsi dalam konteks sarana penal, karena melalui pendekatan kriminologi maka akan mempengaruhi hukum pidana anak dalam arti ius constitutum dan ius constituendum. Lingkup Kajian mengenai kejahatan anak tersebut digambarkan dengan skema berikut: Lingkup Kajian Tentang Perilaku Kejahatan Anak 69
KORBAN ANAK PELAKU
ANAK BERMASALAH DALAM PERILAKUNYA
SARANA PENAL
IUS CONSTITUTUM IUS CONSTITUENDUM
69
SARANA NON PENAL
PENDEKATAN KRIMINOLOGIK
Paulus Hadisuprapto, Op.Cit.,hal.79.
Universitas Sumatera Utara
B. Faktor-faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Anak Penyalahgunaan narkotika kerap terjadi karena berbagai faktor yang melatarbelakangainya yang kemudian terjalin menjadi satu, diantaranya: 70 a. Faktor Individu Perkembangan jiwa manusia yang terdiri dari tiga aspek (kognisi-pikiran; afeksi-emosi;
dan
konasi-kehendak)
sangat
dipengaruhi
oleh
dinamika
perkembangan konsep dirinya, yang pastinya berbeda dari individu lainnya. Dalam
kaitannya
dengan
penyalahgunaan
narkotika
faktor-faktor
yang
menyebabkan seseorang dapat dengan mudah terjerumus, sedang yang lain tidak terjerumus, yakni: 71 1. Adanya ganguan kepribadian; 2. Faktor usia; 3. Pandangan dan keyakinann yang keliru; 4. Religiusitas yang rendah. b. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap jatuhnya seseorang ke dalam penyalahgunaan narkotika, terutama faktor keluarga, dimana keluarga merupakan wadah pembentukan karakter dan kepribadian, pertumbuhan dan perkembangan hidup seseorang tidak terlepas dari apa yang disediakan dan diberikan keluarganya. Faktor lingkungan sekitar juga merupakan sarana pembentuk kepribadian seseorang, misalnya seseorang yang tumbuh di 70
Dwy Yanny L., Narkoba Pencegahan dan Penanggulangannya, Jakarta :PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2001, hal.35. 71 Ibid.,hal.36.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan yang kurang baik akan tumbuh sebagai anak yang kurang baik pula, walaupun tidak menutup kemungkinan akan ada seseorang yang akan tumbuh menjadi baik di lingkungan yang kurang baik, ataupun seseorang tumbuh dengan tidak baik di lingkungan yang baik.Teman kelompok ataupun teman sepergaulan mempunyai pengaruh besar yang dapat menjadi pendorong ataupun pencetus seseorang menjadi penyalahguna narkotika. Pengaruh teman ini sangat besar karena menciptakan keterikatan dan kebersamaan. c. Faktor karena Terjadinya Tindak Pidana (kejahatan) lainnya di Bidang Narkotika Kejahatan
penyalahgunaan
narkotika
dapat
juga
terjadi
karena
dipicu/didorong oleh terjadinya kejahatan di bidang narkotika yang lainnya, misalnya menyangkut produksi narkotika, jual beli, dan menyangkut penguasaan narkotika. Tindak pidana tersebut akhirnya membuka kesempatan bagi peredaran narkotika secara ilegal yang akhirnya menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkotika. Faktor-faktor di atas merupakan faktor yang mendasari seseorang menyalahgunakan narkotika secara umum, namun faktor-faktor di atas juga dapat dikaitkan dengan anak sebagai pelaku penylahgunaan narkotika. Namun bila diidentifikasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab penyalahgunaan narkotika atau obat-obatan yang dilakukan oleh anak, terdapat beberapa teori yang dapat memberikan penjelasan tentang latar belakang mengapa anak berperilaku menyimpang, salah satunya dari persfektif kriminologi. Teori ini secara umum
Universitas Sumatera Utara
dapat dibagi menjadi dua yaitu, mempergunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis. 72 a. Pendekatan psikologis Pendekatan Psikologis mengkaji hanya sebatas keadaan psokologis anak pada saat melakukan tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Sehingga lebih banyak berkaitan dengan batas umur minimum dan maksimum seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan agar perkembangan dan pertumbuhan fisik dan jiwanya tidak terganggu. Aspek psikologis juga mempengaruhi penyalahgunaan narkoba pada anak, hal ini disebabkan karena pada umumnya anak mengalami ketidakstabilan emosional dan adanya perubahan kepribadian, dan ini merupakan faktor yang kondusif baggi tindak penyalahgunaan narkoba. Aspek intrapersonal yang diidentifikasi berperan penting dalam penyalahgunaan narkoba pada anak adalah rendahnya harga diri, mereka memilih menggunakan narkoba sebagai saranana untuk mengembalikan kestabilan emosinya, sehingga menimbulkan rasa aman pada diri mereka. Mencari tahu tentang faktor yang melatar belakangi anak melakukan kejahatan tidak terlepas dari dasar sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam pandangan kriminologi. Secara umum, ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu: 73 1. Faktor intern, adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu seperti umur, sex, kedudukan individu, pendidikan individu, masalah rekreasi/liburan individu, agama individu; 2. Faktor ekstern, adalah faktor-faktor yang berada di luar iindividu. Faktor ekstern ini berpokok pangkal pada lingkungan individu seperti waktu 72 73
Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif …Op.Cit.,hal.101. H.Hani Saherodji, Pokok-Pokok Kriminologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980, hal.35.
Universitas Sumatera Utara
kejahatan, tempat kejahatan, keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan. b. Pendekatan Sosiologis Pada teori-teori yang mempergunakan pendekatan sosiologis maka JE. Sahetapy menyebutkan bahwa secara umum teori-teori sosiologis dapat dibagi berdasarkan pendekatan pada : 74 a. Aspek konflik kebudayaan yang terdapat dalam sistem sosial bersangkutan (terdapat konflik antara kebudayaan-kebudayaan dari berbagai kelompok masyarakat yang bersangkutan, yang menyebabkan dalam masyarakat tadi tidak terdapat pedoman yang jelas mengenai benar dan salah); b. Aspek disorganisasi sosial yang terdapat dalam daerah-daerah tertentu, di mana terdapat konflik kebudayaan tadi (karena heterogenitas penduduk, maka sebagian penduduk tidak dapat turut berpatisipasi dalam aktifitasaktifitas masyarakat setempat dan karena itu pula tidak dapat mengontrol anak-anaknya). Kedua-duanya juga disebut dengan teori kontrol, karena mencoba menerangkan gejala delikuensi anak berdasarkan ketiadaan kontrol (pengendalian) efektif dari orangtua dan masyarakat: a. Aspek ketiadaan norma (anomi) dalam sistem sosial dari masyarakat bersangkutan (disebabkan karena adanya jurang perbedaan yanglebar antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang diberikan sistem sosial bersangkutan kepada warga-warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut. b. Aspek subbudaya (sub culture) yang terdapat dalam kebudayaan induk (domain culture) masyarakat yang bersangkutan (dan subbudaya mana mempunyai nilai dan norma yang berbeda atau kadang-kadang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan induk). Adapun teori-teori tersebut diantaranya yaitu : a. Teori kontrol sosial Atau sering disebut dengan teori kontrol, berangkat dari asumsi dasar, bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya untuk menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya 74
Ibid.,hal.104.
Universitas Sumatera Utara
seseorang
tergantung
kepada
masyarakatnya.
Teori
kontrol
menggambarkan bahwa individu-individunya bebas melanggar hukum, karena mereka secara sosial tidak mampu menyesuaikan dirinya dalam masyarakat yang mematuhi norma-norma yang berlaku. Teori kontrol memandang bahwa penyebab kenakalan terletak pada kekuatan hubungan antara seorang anak dengan individu-individu kenfensional dan kelompok-kelompok. Oleh karena itu, penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial (social bond) seseorng dengan masyarakatnya
dipandang
sebagai
faktor
pencegah
timbulnya
penyimpangan. b. Teori Subbkultur Delikuen Di teori ini, memfokuskan perhatiannya kepada satu pemahaman bahwa perilaku delikuen di kalangan usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan terhadap norma-norma dan nilai-nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur masyarakat. Karena kondisi sosial yang ada dipandang sebagai kendala upaya mereka untuk mencapai kehidupan sesuai trend yang ada sehingga mendorong kelompok kelompok usia muda kelas bawah mengalami konflik budaya, yang disebut “status frustation” . Akibatnya meningkat keterlibatan anak-anak kelas bawah itu pada kegiatan geng-geng dan berperilaku menyimpang
yang
sifatnya
“nonutilitarian,
nonmaliciaous
dan
nonnegativistics”. Reaksi penolakan terhadap anak-anak kelas bawah, cenderung membawa anak-anak kelas bawah tidak punya pengakuan
Universitas Sumatera Utara
akan posisi kemasyarakatannya. Hal ini yang kemudian mendorong mereka kepada perilaku corner boy atau deliquent boy. Sementara itu latar belakang kondisi biologis yang berbeda-beda juga menyebabkan kemungkinan anak menjadi penyalahguna narkoba tidak sama. Sejumlah hal-hal yang terkait dengan faktor ini yaitu aspek organobiologis dan aspek psikologis. 75 Kepekaan remaja terhadap narkoba secara psikologis yang berbeda-beda diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor konstitusional dan genetik. Siregar (1995) menyatakan bahwa pendekatan biologis makin berkembang sejak ditemukannya reseptor opiat dalam tubuh manusia (terutama di otak) dan opiat endogen (endorfin,enkafalin), lalu disusul penemuan reseptor benzo diazepin. Secara biologis mekanisme respons terhadap narkoba, selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga ditentukan oleh mekanisme kerja zat reseptor, yaitu organ tubuh yang menangkap zat tersebut agar mempunyai khasiat. Selanjutnya Cohen membuat klasifikasi dari sub-sub budaya delikuen menjadi : 1. Sub-kultur orang tua- subkultur negativistic yang diidentifikasikan ada pada diri anak-anak nakal; 2. Sub-kultur berorientasi konflik-kultur suatu geng besar yang terlibat dalam kekerasan kolektif; 3. Sub kultur pecandu obat-obatan-kelompok anak-anak muda yang kehidupannya berputar pada pembelian, penjualan, dan penggunaan narkotika; dan
75
Tina, Op.Cit., hal.18.
Universitas Sumatera Utara
4. Sub-kultur kelas menengah-kelompok anak-anak nakal yang timbul karena tekanan-tekanan kehidupan dalam lingkungan kelompok kelas menengah. c. Teori Anomi Diajukan oleh Rober K.Merton, di mana melihat keterkaitan anara tahaptahap tertentu dari struktur sosial dengan perilaku delikuen, ia melihat bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi di mana pelanggaran terhadap norma-norma kemasyarakatan merupakan wujud reaksi “normal” (jadi seolah-olah terjadi keadaan tanpa norma/anomi). Secara garis besar ada tiga faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan narkoba pada anak, yakni faktor narkobanya sendiri, faktor individual dan faktor lingkungan. a. Faktor
narkobanya
sendiri
menjadi
faktor
penting
terjadinya
penyalahgunaan narkoba karena pemakaiannya menimbulkan efek atau sensasi tertentu sehingga pengguna terdorong untuk mencari dan menikmati sensasi-sensasi itu. 76 Seperti penjelasan sebelumnya, dengan munculnya narkoba itu sendiri, munculnya tindak pidana dibidang narkotika itu, membuka kesempatan menyalahgunakan narkotika, khususnya anak yang masih dalam tahap ingin tahu dan coba-coba yang besar, sehingga berdampak kepada pemakaian yang berkelanjutan.
76
Tina Afiatin. Op.Cit,, hal.16.
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor individual juga merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. Faktorfaktor individual tersebut diantaranya : 77 1. 2. 3. 4. 5.
Pribadi yang tertutup. Kepribadian yang rapuh. Pergolakan jiwa remaja. Sifat egoime yang lebih tinggi. Ketidaksadaran akan bahaya.
Faktor individu lainnya : 78 1. Mempunyai harapan yang besar bahwa apa yang di konsumsinya itu bisa memberikan kenikmatan yang tiada tara. 2. Sebagai cara menunjukan bahwa sipemakai itu sudah dewasa. 3. Hanya sekedar coba-cooba. 4. Mempunyai keyakinan bahwa apa yang di konsumsinya itu bisa menghilangkan semua permasalahn yang sedang dihadapi. 5. Kurang perhatian dari orang tua. 6. Sebagai cara untuk menghilangkan rasa sakit yang sedang dihadapi. 7. Merasakan tekanan dari kelompoknya, yang memang semua anggotanya adalah para pemakai. 8. Karena putus dengan pacar, keluarga yang tidak harmonis, orang tua yang tidak memenuhi keinginannya. c. Faktor lingkungan merupakan faktor pendukung yang paling kuat terjadi tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak, diantaranya : 1. Ketidakharmonisan keluarga. 2. Tekanan kelompok. 3. Pergaulan. Faktor lingkungan lainnya adalah :
77 78
Susi Adisti, Belenggu Hitam Pergaulan, Jakarta : Restu Agung, 2002,hal.38. Ibid., hal.42.
Universitas Sumatera Utara
1. Berteman dengan para pemakai dan pengedar narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. 2. Tempat tinggal yang berada pada lingkungan pengguna dan pengedar. 3. Lingkungan sekolah yang rawan pada peredaran dan pemakaian segala jenis narkoba dan zat adiktif lainnya. Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang dapat menjadi faktor pendukung seorang anak melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, antara lain : 79 1. Adanya anggapan bahwa coba-coba/ iseng-iseng penggunaan sekali tidak akan menimbulkan ketagihan. 2. Mudah mengikuti gaya hidup atau tern yang up to date. 3. Besarnya rasa ingin tahu tanpa menyadari akibat yang dada dibelakangnya. 4. Rasa penasaran yang mengarah pada keinginan untuk mencoba. 5. Tidak mempunyai rasa percaya diri di dalam menghadapi penderitaan dan cobaan dalam hidup. 6. Makin mudahnya mendapatkan narkoba (harga terjangkau dengan banyaknya pengedar disetiap sudut kota). 7. Rasa ingin bersenang-senang. 8. Agar diterima oleh masyarakat. 9. Ketidakmampuan mengatakan tidak/menolak narkoba secara tegas saat teman atau siapa saja yang ada di sampingnya menawarkan narkoba. 10. Kurangnya iman dan kekuatan mental. Dr.
Graham
Blaine
menambahkan
faktor
yang
mempengaruhi
penyalahgunaan narkotika di kalangan anak dapat terjadi karena : 80 1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya misalnya perkelahian. 2. Sebagai tindakan untuk memprotes suatu kekuasaan/kewenangan, misalnya terhadap orangtua atau generasi terdahulu termasuk pada norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Sebagai rasa setia kawan. 79 80
Ibid., hal.43. Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Menurut penelitian beberapa psikiater : 81 1. Sebagai tindakan untuk menunjukan protes dan melawan otoritas terhadap orangtua, guru, norma-norma dan sebagainya yang dianggap tidak cocok dengan cara hidup yang didambakannya. 2. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya. 3. Untuk mempermudah penyalur perbuatan sex. 4. Untuk menghilangkan rasa kesepian. 5. Untuk mencari arti hidup. 6. Untuk mengisi kekosongan dan perasaan bosan. 7. Untuk solidaritas. 8. Untuk menghilangkan rasa kecewa, gelisah dan beragam kesulitan yang sulit diatasi. 9. Sekedar didorong rasa ingin mengetahui saja. Faktor-faktor di atas cukup menjelasakan mengapa banyak anak yang akhirnya terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkotika. Namun para pemakai biasanya kurang mengetahui apa yang menjadi dampak serta gejala dari pemakaian/penyalahgunaan akan narkotika secara berlebihan. Bahaya yang terjadi kepada para penyalahguna narkotika yang bersifat pribadi adalah dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh si pemakai, gejala yang mungkin timbul adalah sebagai berikut : 82 1. Weakness yaitu kelemahan yang dialami fisik. 2. Dellirium yaitu suatu keadaan dimana pemakaian narkotika mengalami penurunan. 3. Euphoria yaitu suatu rangsangan kegembiraan yang bertolak belakang dengan kondisi badan si pemakai. 4. Drawsiness yaitu kesadaran merosot seperti orang mabuk, kacau ingatan, dan sering mengantuk. 5. Halusinasi yaitu suatu keadaan dimana si pemakai sering kali berkhayal atau timbulnya hayalan-hayalan. 6. Coma yaitu keadaan si pemakai pada puncak kemerosotan yang akhirnya dapat membawa pada kematian.
81 82
Ibid.,hal.39. Ibid., hal.43.
Universitas Sumatera Utara
C. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Anak Di bawah Umur Dari Perspektif Undang-Undang No.35 Tahun 2009 dan Undang-Undang N0.11 Tahun 2012 3.
Ruang lingkup tindak pidana narkotika Dalam sistem hukum, pidana hanya dapat dijatuhkan terhadap perbuatan –
perbuatan yang telah diatur ancaman pidananya terlebih dahulu. Jadi konsekuensinya adalah haruslah terlebih dahulu ada pengaturan terhadap suatu perbuatann pidana serta sanksinya yang dituangkan di dalam suatu peraturan perundang-undang yang berlaku, jika tidak ada Undang–undang yang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan. Pada bab I pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “ Nullum Delicttum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenale”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada sutau perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan Undang – undang yang mengatur sebelumnya. Penggunaan
hukum
pidana
sebagai
sarana
penanggulangan
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak hakikatnya merupakan pilihan yang bersifat dilematis dan sangat terbatas. Dalam kaitannya dengan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak dalam proses peradilan, agar kepentingan dan kesejahteraan anak tetap diperhatikan dan dapat diwujudkan, Sudarto mengatakan bahwa :83 “segala aktivitas yang dilakukan dalam rangka peradilan anak ini, apakah itu dilakukan oleh polisi, jaksa, ataukah pejabat-pejabat lainnya, harus didasarkan pada suatu prinsip, ialah demi kesejahteraan anak, demi kepentingan anak. Jadi apakah hakim akan menjatuhkan pidana ataukah tindakan harus didasarkan pada kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan, tentunya tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat.” 83
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam…Op.Cit.,hal.56-57. Dikutip dari buku Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1988, hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada hakekatnya merupakan reformasi hukum, aspek–aspek yang direformasi dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang–undang Nomor 5 Tahun 1997 yang dimaksud adalah : 1. Realitas gradasi karena variasi golongan dalam narkotika dengan ancaman hukuman yang berbeda dengan golongan 1 yang terberat disusul dengan golongan II dan III (tidak dipukul rata), suatu yang patut dipuji justru dalam pemberatan pidana penjara ada ketentuan hukum minimal (paling singkat). Hal ini adalah hal baru dalam kaedah hukum pidana. 2. Ketentuan pemberatan selain didasarkan penggolongan juga realitas bahwa dalam penyalahgunaan narkotika banyak dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan (konspirasi), maka bila penyalahgunaan beberapa orang dengan konspirasi sanksi hukumnya diperberat. 3. Demikian pula Penanggulangan dan Pemberantasan dilakukan bila pelaku penyalahgunaan
narkoba
terorganisasi.
Ini
menunjukkan
bahwa
penyalahgunaan narkotika telah ada sindikat – sindikat yang terorganisasi rapi dalam operasionalnya. 4. Demikian pula apabila koporasi yang terlibat maka pidana dendanya di perberat, tetapi pertanggung jawaban pidana korporasi belum tegas, apakah direkturnya dapat dikenakan hukum pidana penjara. Hal ini mungkin harus melalui yurisprudensi. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menentukan beberapa ruang lingkup tindak pidana narkotika, yakni dalam Pasal 111 sampai
Universitas Sumatera Utara
Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ruang lingkup tindak pidana narkotika di dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, terdapat di bab XV yang terdapat di Pasal 111 sampai dengan Pasal 148, berikut pengelompokkan tindak pidana kejahatan narkotika: a. Tindak Pidana Menyangkut Produksi Narkotika Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika diatur dalam Pasal 113 Undang-undang Narkotika, namun yang diatur dalam pasal tersebut bukan hanya produksi saja namun perbuatan sejenis dengan itu berupa mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, II dan III. Pasal 113 menyangkut setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, Pasal 118 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II dan Pasal 123 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. Unsur-unsur yang penting di dalam tindak pidana menyangkut pemproduksian ini atara lain: 84 a. Setiap orang Yang dimaksud dengan setiap orang di sini adalah subjek tindak pidana sebagai orang yang diajukan dipersidanagn adalah benar sebagaimana disebutkan identitasnya di dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya setiap
84
AR.Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal.247.
Universitas Sumatera Utara
orang adalah tanpa terkecuali dan oleh karena itu tentulah sejajar dengan yang dimaksudkan dengan istilah barangsiapa sebagaimana beberapa rumusan di dalam tindak pidana dalam KUHP. b. Tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, dan mengekspor, atau menyalurkan. Maksud dari unsur ini adalah harus adanya unsur tanpa hak dan melawan hukum, oleh karena itu bagi yang berhak atau tidak melawan hukum tentulah diperbolehkan. Memproduksi, merupakan kegiatan melakukan produksi, produksi sediri adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstasi atau nonekstasi dari sumber alami atau sintesis kimia dan gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk narkotika (Pasal 1 angka 4) Mengimpor adalah melakukan kegiatan impor, yang berarti memasukkan narkotika ataupun prekusornya kedalam daerah Pabean (Pasal 1 angka 5 ). Mengekspor berarti melakukan kegiatan ekspor yaitu mengeluarkan narkotika dan prekusor narkotika dari daerah Pabean. Menyalurkan merupakan bagian dari kegiatan peredaran narkotika dapat dalam rangka perdagangan atau bukan perdagangan. c. Narkotika Golongan I (Pasal 113) Narkotika Golongan II (Pasal 118) dan Narkotika Golongan III (Pasal 123) Bila dibeberapa pasal lainnya terdapat perbedaan yang secara tegas pengaturannya mengenai narkotika golongan I yang bukan tanaman dan yang tanaman namun di dalam pengaturan menyangkut kegiatan pemproduksian ini,
Universitas Sumatera Utara
Pasal 113 berlaku bagi Narkotika Golongan I baik tanaman maupun tidak tanaman, dan pengaturan untuk Golongan II dan III dibedakan pada pasal lainnya, yaitu Pasal 118 untuk Golongan II dan Pasal 123 untuk Golongan III. b. Tindak Pidana yang Menyangkut Jual Beli Narkotika Jual-beli di sini terlihat dari adanya pemakaian kata “menawarkan untuk dijual” berarti menunjukan sesuatu kepada orang lain dengan maksud agar orang lain membeli. Menjual disini bermaksud memberikan sesuatu kepada orang lain untuk meperoleh uang pembayaran, dan penjual menerima uang. Dalam hal ini berarti terjadi transaksi dan pertemuaan antara penjual dan pembeli. Kewajiban penjual adalah menyerahkan barang sedangkan kewajiban pembeli menyerahkan uang pembayaran. Setidaknya barang dikatakan sudah dijual apabila penguasaan barang sudah diberikan atau setidaknya kekuasaan barang sudah tidak ada lagi pada penjual. Membeli mempunyai makna memperoleh sesuatu melalui penukaran (pembayaran) dengan uang. 85 Di dalam pasal-pasal berikut bukan hanya menunjukan perbuatan melawan hukum untuk menjual dan membeli namun termasuk menerima, menjadi perantara, menukar Narkotika golongan I, II, dan III. Seperti Pasal 114 mengatur mengenai setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, Pasal 119 mengatur mengenai menawarkan untuk dijual, menjual, membeli menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dan Pasal 124 ketentuan untuk golongan III. 85
AR.Sujono dan Bony Daniel, Ibid., hal.256.
Universitas Sumatera Utara
Jadi adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal di atas kurang lebih sama dengan tindak pidana menyangkut pemproduksian, namun yang berbeda dalam pengklasifikasian tindak pidana ini adalah unsur “tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.” Rumusan menggunakan kata “atau” karena tidak diperlukan kedua rumusan (tanpa hak dan melawan hukum) terbukti unsur ini telah terpenuhi artinya dapat terjadi “tanpa hak” saja atau “melawan hukum” saja, atau bahkan kedua-duanya
terbukti.
Menawarkan
untuk
dijual
mempunyai
makna
mengunjukkan sesuatu agar yang diunjukan mengambil. Jadi disini barangnya telah ada walaupun status barang tersebut miliknya atau tidak, ataupun status barang tersebut secara fisik sedang bersama yang menwarkan ataupun tidak. Menjadi perantara dalam jual beli adalah sebagai penghubung antara penjual dan pembeli dan atas tindakan tersebut mendapatkan jasa/ keuntungan. Menukar adalah menyerahkan barang dan atas tindakannya tersebut mendapat pengganti baik sejenis maupun tidak sejenis sesuai dengan kesepakatan. 86 c. Tindak Pidana Menyangkut Pengangkutan Narkotika Kejahatan narkotika dalam arti luas termasuk perbuatan membawa, mengirim, dan mentransito narkotika Golongan I, II, dan III. 87 Membawa mempunyai makna memegang atau mengangkat barang sambil berjalan atau bergerak dari suatu tempat ketempat lain. Makna mengirim dalam di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan sebagai menyampaikan, mengantarkan 86 87
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit.,hal.257. Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2004, hal.204.
Universitas Sumatera Utara
dengan perantaraan, mengangkut berarti mengangkat dan membawa, memuat dan membawa atau mengirim kesuatu tempat. Sedangkan pengertian mentransito di sini adalah menempatkan barang ditempat singgah kemudian
dibawa untuk
dilanjutkan sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Pasal 115 mengatur tentang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, Golongan II diatur dalam Pasal 120 dan Golongan III ketentuannya diatur dalam Pasal 125. Karena membawa, mengirim, mengangkut, atau mentrasito merupakan bagian dari peredaran, sementara Pasal 38 menentukan setiap kegiatan peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah, maka dikatakan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito yang dilakukan secara melawan hukum apabila dokumen yang sah yang merupakan kelengkapan peredaran tidak dipenuhi. 88 Pasal 139 Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pengangkutan di laut merupakan tanggung jawab nahkoda sedangkan pengangkutan di udara menjadi tanggung jawab penerbang. Ketentuan yang berlaku terhadap kapten penerbang untuk pengangkutan udara dan nahkoda kapal untuk pengkutan laut sama yaitu berlaku ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28. Oleh karena itu, dikatakan nahkoda atau kapten penerbang telah bertindak secara 88
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit.,hal.263.
Universitas Sumatera Utara
melawan hukum adalah karena tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. d. Tindak Pidana yang Menyangkut Penguasaan Narkotika Undang-undang membedakan secara tegas tindak pidana penguasaan narkotika ini berdasarkan golongannya, hal ini dikarenakan narkotika itu memiliki fungsi dan akibat yang berbeda. 89 Di dalam pasal ini terdapat unsur tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan. Dimana pengertian menanam di sini adalah berarti menaruh bibit, benih, setek dan sebagainya di dalam tanah supaya tumbuh, dan sesuai pasal 13 (1) yang dapat melakukan penanaman adalah Lembaga Pendidikan dan Pelatihan serta Penelitian dan Pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta 90. Selanjutnya
sebagaimana
dengan
memelihara
adalah
merupakan
kelanjutan dan proses menanam yang berarti menjaga dan merawat baik-baik apa yang sudah ditanam. Memiliki berati mempunyai, untuk itu maksud dari rumusan memiliki di sini haruslah benar-benar sebagai pemilik, tidak peduli apakah secara fisik barang di tangan ada atau tidak. Menyimpan berarti menaruh ditempat yang aman supaya jangan rusak, hilang, ada perlakuan khusus terhadap barang sehingga harus diperlakukan dengan cara meletakkan di tempat yang disediakan dan aman. Menguasai berarti berkuasa atas sesuatu; memegang kekuasaan atas sesuatu. Seseorang dikatakan menguasai barang apabila dia dapat berkuasa atas
89
Gatot Supramono, Op.Cit,hal.206. Swasta di sini adalah Lembaga Ilmu pengetahuan yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan penelitian dan pengembangan. 90
Universitas Sumatera Utara
apa yang dikuasai, ia dapat mengendalikan sesuatu yang ada dalam kekuasaannya. Menyediakan, berarti menyiapkan; mempersiapkan, mengadakan sesuatu untuk orang lain. Maksudnya barang itu ada bukan untuk digunakan sendiri. 91 Berikut beberapa pasal yang mengatur mengenai penguasaan narkotika Golongan I baik tanaman maupun bukan tanaman, Golongan II dan III. Pasal 111 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan dalam Pasal 112 pengklasifikasiannya untuk yang bukan tanaman. Pasal 117 mengatur mengenai kegiatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, Pasal 122 mengatur tentang Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. Tujuan peredaran narkotika berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah hanya untuk kepentingan pelayanan kesehatan serta pengembanggan ilmu pengetahuan dan tegnologi. Hanya ke dua kepentingan itulah yang dapat dijadikan tujuan peredaran narkotika. Karen itu untuk kepentingan kesehatanlah, dalam bentuk obat, berhak memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan. Oleh karena itu berkaitan dengan peredaran secara kontrario dikatakan “tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan untuk kepentingan kesehatan dalam bentuk obat: 92
91 92
AR. Sujono dan Bony Daniel. Op.Cit.hal.225-232. Ibid.,hal.271.
Universitas Sumatera Utara
a. Tidak memenuhi syarat dan tata cara pendaftaran sesuai Peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan b. Tidak terdaftar pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan c. Tidak memenuhi syarat dan tata cara perizinan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri d. Tidak mendapatkan izin menteri. e. Tindak Pidana yang Menyangkut Penyalahgunaan Narkotika Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi dua macam yaitu perbuatannya untuk orang lain dan untuk diri sendiri. Pasal 127 1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. 3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Arti penyalah guna sendiri telah ditentukan oleh Pasal 1 angka 15 yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahguna di sini diawali dengan kata “setiap”, maka semua orang tanpa terkecuali sebagai pengguna narkotika termasuk pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika. Ketentuan pemakaian bagi diri sendiri di sini adalah
Universitas Sumatera Utara
untuk konsumsi pribadi pelaku dalam keadaan ketergantungan terhadap narkotika, baik secara psikis maupun fisik. 93 Pada Pasal 116 mengatur mengenai Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, Pada Pasal 121 menyangkut Golongan II dan Pasal 126 mengatur tentang Golongan III. Penggunaan narkotika untuk orang lain di sini dapat terjadi penggunaan narkotika langsung dilakukan terhadap orang lain, misalnya seperti menginjeksi narkotika, atau dengan sengaja mencampurkan adonan kemudian dihidagkan kepada orang lain tersebut menggunakannya. Dapat dikatakan menggunakan Narkotika Golongan I, II, dan III terhadap orang lain merupakan tindakan yang langsung dilakukan terhadap orang yang dituju.Memeberikan narkotika untuk orang lain berarti penggunaan narkotika tidak langsung kepada orang lain, ada pihak ketiiga yang menjadi antara, sehingga orang lain menggunakannya, namun demikian orang yag menjadi tujuan diberi narkotika jelas, jika si yang dituju mengkehendaki penggunaan atas dirinya maka ia dapatdijerat dengan pasal 127 sedangkan jika penggunaan atas dirinya sama sekali tidak dikehendakinya maka atas dirinya tentulah dapat digolongkan sebagai korban penyalahgunaan narkotika. f. Tindak Pidana yang Menyangkut Tidak Melaporkan Pecandu Narkotika Pasal 128 1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
93
Ibid., hal.289.
Universitas Sumatera Utara
bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana. 3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. 4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 134 1. Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah). 2. Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Orang tua yang dimaksudkan di sini adalah orang tua kandung maupun orang tua angkat, orang tua kandung terjadi karena adanya hubungan darah sedangkan orang tua angkat terjadi karena adanya hubungan hukum. Sedangkan wali adalah orang yang secara resmi menjalani kekusasaan orang tua. Belum cukup umur di sini dapat dilihat melalui Pasal 55 ayat (1) yang menyebutkan yang dimaksud belum cukup umur dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapau umur 18 (delapan belas) tahun. Sehingga dengan demikian yang dimaksudkan pecandu yang belum cukup umur adalah pecandu yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan yang telah cukup umur adalah mereka yang telah berumur di atas 18 (delapan belas) tahun. Pasal 131
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sengaja tidak melapor merupakan sikap batin yang mendasari perbuatan. Tidak melapor berarti tidak melaksanakan kewajiban memberitahukan hal-hal yang diketahui. Tidak melaporkan dapat dilakukan dengan diam-diam artinya mengacuhkan saja apa yang diketahuinya seolah-seolah tidak terjadi apa-apa, atau bahkan menyembunyikan hal-hal yang diketahui. 94 g. Tindak Pidana yang Menyangkut Label dan Publikasi Pabrik obat diwajibkan mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika. Untuk dipublikasikan Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. 95 Pasal 135 Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
h. Tindak Pidana yang Menyangkut Jalannya Peradilan Pasal 138 Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana
94 95
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit.,hal.304-305. Gatot Supramono.,Op.cit., hal.212
Universitas Sumatera Utara
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Menghalang-halangi dengan mempersulit merupakan dua perbuatan yang berbeda, akan tetapi tujuannya sama yaitu menghendaki supaya jalannya proses peradilan tidak lancar atau tidak jadi sama sekali. Menghalang-halangi dengan mempersulit merupakan dua perbuatan yang berbeda, akan tetapi tujuannya sama yaitu menghendaki supaya jalannya proses peradilan tidak lancar atau tidak jadi sama sekali. Perbuatan mengahalang-halangi dilakukan sebelum pemerusakan, dan dapan dilakukan oleh siapa saja, sedang perbuatan mempersulit dilakukan ketika pemeriksaan perlara sedang berlangsung dan pelakunya adalah orang yang sedang diperiksa oleh petugas atau pejabat pemeriksa. 96 i. Tindak Pidana Menyangkut Penyitaan dan Pemusnahan Narkotika Pasal 140 1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penyidik berkewajiban melaksanakan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 89, jika tidak melakukan sesuai dengan ketentuan pasal tersebut, maka penyidik tersebut dianggap telah melakukan secara melawan hukum. Sesuai rumusan Pasal 88, tindakan Penyidik Pegawai Negeri sipil berhubungan dengan penyitaan atas
96
Ibid.,hal.213.
Universitas Sumatera Utara
barang bukti narkotika dan prekusor narkotika. Beberapa hal yang harus dilaksanakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai Pasal 88 adalah: a. Penyidik PNS tertentu yang melakukan penyitaan terhadap narkotika dan Prekusor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan. b. Penyidik PNS tertentu melakukan penyitaan terhadap narkotika dan Prekusor Narkotika wajib menyerahkan barang sitaan tersebut beserta acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolosian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 x 24 jam sejak dilakukannya penyitaan. c. Penyidik PNS tertentu yang melakukan penyitaan terhadap narkotika dan Prekusor Narkotika wajib melakukan tembusan berita acara penyitaan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri Setempat, Menteri dan Kepala badan Pengawasan Obat dan Makanan. Berdasarkan Pasal 89 dapat ditentukan juga kewajiban penyidik PNS, oleh karena itu kewajiban Penyidik PNS selanjutnya adalah : Bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengamanan barang sitaan yang berada di bawah penguasaannya, yang mana mengenai syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan narkotika dan precursor narkotika yang disita diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 141 Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Universitas Sumatera Utara
Pasal 91 menentukan Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuaan tentang penyitaan barang narkotika dan prekursor narkotika dari penyidik Kepolisian Republik Indonesia atau penyidik BNN berkewajiban dalam waktu paling lama 7 hari (tujuh) menetapkan status barang sitaan narkotika dan prekursornya apakah akan ditetapkan untuk: a. Kepentingan pembuktian perkara; b. Kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan tegnologi; c. Kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau d. Dimusnahkan. Karena yang menetapkan adalah kepala negeri setempat, untuk itu yang dimaksudkan “setempat” tentulah yang berhak mengeluarkan penetapan adalah kejaksaan negeri yang meliputi wilayah hukum narkotika dan prekursornya di mana barang disita. Tindakan kepala kejaksaan negeri dikatakan dilakukan secara melawan hukum apabila tidak menerbitkan penetapan penetapan status barang sitaan narkotika dan prekursonya setelah menerima pemberitahuaan tentang penyitaannya, atau dapat pula terdapat menerbitkan penetapan lebih dari 7 hari setelah menerima pemberitahuaan, di samping isi penetapan harus sesuai dengan kenyataannya. 97 j. Tindak Pidana Menyangkut Keterangan Palsu Pasal 143 Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
97
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit.,hal.339-340.
Universitas Sumatera Utara
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Apabila saksi mengucapkan sumpah, maka keterangan yang diberikan ternyata tidak benar maka saksi melanggar sumpahnya sendiri. Keterangan saksi sangat terikat dengan sumpah yang telah diucapkan. Sedangkan keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah tidak merupakan alat bukti, walaupun keterangan berhubungan atau bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain. 98 k. Tindak Pidana yang Menyangkut Penyimpangan Fungsi Lembaga Lembaga-lembaga yang diberi wewenang oleh Undang-undang Narkotika untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan narkotika yang ternyata melakukan kegiatan narkotika tidak sesuai dengan tujuan penggunaan narkotia sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang, maka pimpinan lembaga yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana. Pasal 147 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi: a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan 98
Gatot Supramono, Op.Cit.,hal.216.
Universitas Sumatera Utara
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Pasal 142 Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Rumusan ketentuan pasal ini dapat diurai sebagai berikut : a. petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian; b. petugas laboratorium yang secara melawanhukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiaanya kepada penyidik`atau penuntut umum. Tidaklah merupakan keharusan petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau petugas laboratorium yang secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiaanya kepada penyidik atau penuntut umum telah terbukti semua, tetapi dengan terbuktinya salah satu dari 2 (dua) alternatif di atas sudah cukup terpenuhi unsur dalam Pasal 142. l. Tindak Pidana yang Menyangkut Pemanfaatan Anak di Bawah Umur Pasal 133 1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). 2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan
Universitas Sumatera Utara
tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal ini hanya dikenakan terhadap orang yang memanfaatkan anak yang belum dewasa saja. Sedangkan anak yang belum dewasa saja. Sedangkan anak yang bersangkutan tetap dapat dipidana berdasarkan Undang-undang Narkotika sesuai dengan perbuatannya sesuai dengan ketentuan yang disebutkan. Berhubungan anak di bawah umur berlaku Undang-undang Pengadilan Anak, maka berkasnya harus terpisah, kecuali pelaku pelanggaran adalah anak yang belum dewasa juga, berkas perkaranya dapat dijadikan satu, hanya peran perbuatannya yang berbeda. 99 m. Tindak Pidana yang Menyangkut Prekusor Narkotika Pasal 129 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Prekursor sendiri merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Meskipun lampiran Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, menentukan golongan dan jenis prekusor narkotika,
99
Ibid.,hal.217.
Universitas Sumatera Utara
namun pembentuk undang-undang tidak membedakan ancaman berdasarkan golongan maupun jenis prekusor narkotika. 100 Pasal 145 Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan juga ketentuan Undang-Undang ini. Ketentuan
di
dalam
Undang-undang
Narkotika
ini
sendiri
mengklasifikasikan kejahatan yang menyangkut tindak pidana prekusor narkotika antara Warga Negara Indonesia sebagai pelakunya ataupun Warga Negara Asing sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan golongan maupun jenis prekusor narkotika. Terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana Prekusor Narkotika pengaturannya terdapat di dalam Pasal 146 di bawah ini: Pasal 146 1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia. 2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. 3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.
100
AR. Sujono dan Bony Daniel,Op.Cit.,hal.308-309.
Universitas Sumatera Utara
n. Tindak Pidana yang dilakukan Oleh Korporasi Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 21), sehingga yang dimaksud dengan koorporasi dapat berupa: a. Kumpulan terorganisasi dari orang merupakan badan hukm; b. Kumpulan terorganisasi dari orang yang bukan badan hukum; c. Kumpulan terorganisasi dari kekayaan yang merupakan badan hukum; d. Kumpulan terorganisasi dari kekayaan yang bukan badan hukum; e. Kumpulan terorganisasi dari orang dan kekayaan yang merupakan badan hukum; f. Kumpulan terorganisasi dari orang dan kekayaan yang bukan badan hukum. Ciri khusus koorporasi disini adalah adanya kumpulan terorganisasi, terorganisasi artinya adanya struktur organisasi yang jelas, ada rantai atau garis komando yang mampu menggerakkan sistem yang telah dibangun. Pasal 130 1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. 2. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. o. Tindak Pidana Percobaan, Permufakatan, Pengulangan Tindak Pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika
Universitas Sumatera Utara
Pasal 132 1. Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. 2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga). 3. Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Unsur pertama di sini adanya ancaman percobaan atau permufakatan jahat melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika sebagaimana telah ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya, para pelakunya dihukum sama seperti dipasal pokoknya. Pasal 144 1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan 1/3 (sepertiga). 2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. Ancaman pidana diperberat adanya pengulangan tindak pidana dalam jangka waktu 3(tiga) tahun. Ancaman pidana yang diperberat adalah ancaman pidana maksimumnya, karena yang ditambah 1/3 (sepertiga) tidak ditentukan apakah pidana penjara dan denda, oleh karena itu yang dimaksud tentulah
Universitas Sumatera Utara
tambahan ancaman maksimum 1/3 (sepertiga) baik dari pidana penjara maupun denda. 101 p. Tindak Pidana yang Berhubungan Dengan Hasil Tindak Pidana Narkotika Pasal 137 Setiap orang yang: a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); b. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Menempatkan berarti menaruh, meletakkan atau menentukan tempat, membayarkan, bermakna memberikan uang sebagai ganti atas barang yang diterima. Membelanjakan berarti uang yang dikeluarkan untuk suatu keperluan, menitipkan berati menaruh barang dan sebagainya supaya disimpan. Menukarkan berarti memberikan sesuatu supaya diganti dengan yang lain. Menyembunyikan berarti menyimpan supaya jangan terlihat atau sengaja tidak memperlihatkan atau merahasiakan. Menyamarkan artinya menjadikan (menyebabkan, dsb) samar,
101
Ibid.,hal.347.
Universitas Sumatera Utara
mengelirukan, menyesatkan. Menginvestasikan berati menanam uang atau modal disuatu perusahaan atau proyek dengan tujuan memperoleh keuntungan, menyimpan artinya menaruh ditempat yang aman supaya jangan rusak atau hilang, menghibahkan artinya memberikan sesuatu sebagai hibah kepada seseorang, hibah berati pemberian dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain, mewariskn, memberikan harta warisan kepada. Mentransfer artinya memindahkan sesuatu dari suatu tempat ketempat lain atau dari seseoramg keorang lain, menyerahkan atau mengalihkan (uang, dsb) serta mengirim. 102 4.
Kebijakan Penal dan Non Penal Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Menurut Perspektif UU No.35 Tahun 200 Upaya penanggulangan tindak pidana atau yang biasa dikenal dengan
politik “Politik Kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas yakni penerapan hukum pidana, pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kesejahteraan dan pidana lewat media massa. Dalam hal tersebut dapat dipahami upaya untuk mencapai kesejahteraan melalui aspek penanggulangan secara garis besarnya dapat dibagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu : lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “ non penal ” (bukan / di luar hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitik beratkan pada sifat “represif” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventif” (pencegahan / penangkalan / pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan
102
Ibid.,hal.329.
Universitas Sumatera Utara
refresif pada hakekatnya Undang-undang dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 103 Dalam konteks sarana penal, dikenal adanya permasalahan tentang hukum pidana dalam arti ius constitutum dan ius constituendum. Keduanya bersifat saling berkaitan dan menunjang dalam pembicaraan tentang penggunaan sarana penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan yang terakhir, tampaknya pemahaman terhadap dua masalah itu menjadi semakin penting, mengingat masalah pidana hak dan peradilan anak masih merupakan persoalan yang cukup serius. 104 Dua masalah sentral dalam kebijakan tindak pidana dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) adalah masalah: 105 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya di gunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Untuk menanggulangi masalah tindak pidana narkotika diperlukan kebijakan hukum pidana (penal policy). Akan tetapi, kebijakan hukum pidana tersebut harus dikonsentrasikan pada: 106 1. Mengarah kepada kebijakan aplikatif yaitu kebijakan tentang bagaimana menerapkan peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berlaku pada saat ini dalam rangka menangani masalah narkotika dan obat-obatan terlarang; 103
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung :Alumni, 1981, hal. 118. Paulus Hadisuprapto, Op.Cit., hal.78. 105 Mardjono Reksodiputra, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan dan Pengendalian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI,1995, hal 23. 106 AR.Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit., hal.44. 104
Universitas Sumatera Utara
2. Mengarah kepada pembaharuan hukum pidana (penal law reform) yaitu kebijakan bagaimana merumuskan peraturan perundangundangan hukumpidana yang berkaitan pula dengan konsep KUHP baru khususnya dalam rangka menanggulangi tindak pidana narkotika dimasa yang akan datang. Apabila dicermati terdapat beberapa pasal di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang berhubungan dengan anak baik sebagai pelaku maupun dianggap sebagai korban. Pasal-pasal tersebut bila dikaji lebih dalam lagi melalui perspektif politik kriminal maka dapat ditemui bahwa pasal-pasal tersebut mengandung upaya penanggulangan kejahatan baik secara penal maupun non penal. Upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal adalah penanganan melalui jalur hukum pidana. Secara kasar dapatlah dikatakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “repressive”
(penindasan/pemberantasan/penumpasan)
sesudah
terjadi
kejahatan. 107 Kebijakan Penal yang terdapat di dalam Undang-undang Narkotika ini dimulai dari proses penyelidikan dan penyidikannya baik dari pihak kepolisian ataupun diluar kepolisian. Kajian kebijakan kriminal terhadap penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak melalui sarana penal akan difokuskan pada dua hal pokok yaitu kajian melalui sara penal akan difokuskan pada dua hal pokok yaitu kajian terhadap 107
berbagai
perangkat
hukum
pidana
yang
berkaitan
dengan
Barda Nawawi Arief,Op.Cit.,hal.40.
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan narkotika oleh anak yang sedang berlaku (ius constitutum) seperti KUHP, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sementara kajian terhadap ketentuan proseduralnya didasarkan baik terhadap KUHAP, maupun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan pelaksanaan putusan hakim sebagai ius operatum menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kajian terhadap ius operatum ini diharapkan menjadi umpan balik dalam upaya membentuk perangkat hukum pidana yang ideal di masa yang akan datang (ius contituendum) khususnya dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. 108 Yang menjadi perangakat dalam asas Ius contituendum
yang berhubungan
dengan anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika ini adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tidak ada undang-undang khusus yang mengatur tentang tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak, ataupun pasal yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur, khususnya terkait undang-undang Narkotika ini. Ketentuan di dalam undang-undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 ini, lebih menekankan anak sebagai korban tindak pidana narkotika bukan sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini dapat terlihat dari uraian beberapa pasal di bawah ini:
108
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam…Op.Cit.,hal.117.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 55 1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkgan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah Pasal di atas menunjukkan kebijakan yang diambil berkaitan dengan penanganan pecandu narkotika terhadap anak dibawah umur yang mewajibkan rehabilitasi medis ataupun rehabilitasi sosial. Namun terkait dengan pasal di atas lebih menekankan kepada orang tua ataupun wali si pecandu narkotika, bukan si anak yang menjadi pecandu narkotika, karena si anak masih dianggap masih kurang cakap hukum dan mengerti akan tanggung jawab dari perbuatannya. Ketentuan akan pelaporan terhadap pecandu yang belum cukup umur ini di pertegas dalam Pasal 128. Pasal 128 1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). 2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana. 3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 128 adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur Yang dimaksud orang tua adalah orang tua kandung maupun orang tua angkat, orang tua kandung terjadi karena hubungan darah sedangkan orang tua angkat terjadi karena hubungan hukum. Sedangkan wali merupakan orang yang resmi menjalani kekuasaan sebagai orang tua. Pecandu merupakan orang yang menggunakan
atau
menyalahgunakan
narkotika
dan
dalam
keadaan
ketergantungan narkotika merupakan kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi secara tiba-tiba menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Belum cukup umur dapat diliat pada penjelasan Pasal 55 yaitu seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun. b. Sengaja tidak melapor Merupakan sikap batin yang mendasari perbuatan. Tidak melapor berarti tidak melaksanakan kewajiban memberitahukan hal-hal yang diketahui. Tindakan tidak melapor ini dapat dilakukan dengan diam-diam artinya mengacuhkan apa saja yang diketahuinya seolah-olah tidak terjadi apa-apa, atau bahkan menyembunyikan hal-hal yang diketahui. Oleh karena itu, sengaja tidak melapor berarti suatu kesadaran yang diwujudkan dalam tindakan untuk tidak memberitahu hal-hal yang diketahui padahal pemberitahuan tersebut merupakan kewajiban baik
Universitas Sumatera Utara
dengan secara diam-diam atau mengacuhkan apa saja yang diketahui atau menyembunyikan informasi. 109 Pasal 133 1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah dan paling banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). 2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal di atas juga merupakan pasal yang mencantumkan anak sebagai korban tindak pidana penyalahgunaan narkotika, namun tidak menempatkan anak sebagai pelaku namun sebagai korban. Unsur menyurh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan acaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur. Menyuruh bermakna memerintah (supaya melakukan sesuatu), memberi berarti menyerahkan (membagikan, menyampakan) sesuatu, menjanjikan sesuatu berarti menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu kepada orang lain. Memberikan kemudahan 109
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op.Cit.,hal.305.
Universitas Sumatera Utara
dapat berupa sarana, fasilitas maupun kesempatan, sehingga dalam kemudahan yang diberikan perbuatan menjadi terlaksana, memaksa dengan ancaman dan memaksa dengan kekerasan menyangkut pemaksaan ancaman fisik maupun psikis, melakukan tipu muslihat. 110 Sanksi yang mungkin timbul untuk tindak pidana di atas terdapat dalam pasal-pasal di bawah ini: Pasal 103 1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. 2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Pasal 127 1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. 3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
110
Ibid.,hal.317-318.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan penal yang diterapkan kepada anak pelaku tindak pidana narkotika terlihat dari adanya upaya punishment dari pemerintah melalui undangundang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini guna melakukan treatment terhadap para pelaku tindak pidana narkotika, ini terlihat dari adanya penjatuhan sanksi pidana, denda dan rehabilitasi yang diberikan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika. Proses peradilan pidana ini merupakan solusi terakhir apabila tidak dapat terelakkan lagi. 111 Dengan demikian upaya hukum yang bersifat penal itu menitikberatkan kepada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, memiliki keterbatasan dalam membatasi masalah-masalah sosial. Upaya ini merupakan suatu usaha yang paling tepat karena memuat suatu peraturan yang mencantumkan pemidanaan. Hukum sebagaimana ini dikatakan perlu karena: 112 a. Sanksi pidana merupakan suatu sanksi yang dibutuhkan b. Sanksi pidana merupakan sarana yang terbaik atau merupakan alat yang terbaik dalam menghadapi kejahatan (ultimatum remedium) c. Walaupun di suatu sisi sanksi pidana merupakan penjamin yang terbaik, di sisi lain merupakan pengancam utama kebebasan manusia.
111 112
Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif…Op.Cit.,hal.64. M. Hamdan, Politik Hukum Pidana., Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hal.49-
50.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1 Perumusan Pidana dan Jenis Pidana dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 113 Perbuatan Melawan Hukum Jenis
Kategori
Kategori
Kategori
Kategori
I
II
III
IV
4-12 tahun
4-12 tahun
5-15 tahun
5-15 tahun
5-20 tahun
5-20 tahun
5-20 tahun
5-20 tahun
X
3-10 tahun
4-12 tahun
4-12 tahun
5-15 tahun
5-20 tahun
5-15 tahun
2-7 tahun
3-10 tahun
3-10 tahun
5-20 tahun
5-15 tahun
5-15 tahun
Berat lebih 1 kg/ lbih 5 btg pohon
Berat melebihi
Mengakibat kan org lain mati/cacat permanen
Mengakibat kan orang mati/cacat permanen
X
X
Berat melebihi 5 gram
X
X
X
X
X
Pidana Pidana Penjara Golongan I
Golongan II
Golongan III
Penjara Seumur Hidup/mati Narkotika Gol.I
X
5 gr
Narkotika Gol.II Narkotika Gol.III
Pidana Denda Narkotika Gol.I
Denda 800 Jt-8 M
113
Denda 800- Denda 1M- Denda 1M8M 10M denda 10M denda max+1/3 Max+1/3 Denda
H. Siswanto S, Op.Cit.,hal.259.
Universitas Sumatera Utara
Narkotika Gol.II
max+1/3 X
Denda 600JT- 5M denda max+1/3
Denda 800JT 8M dendamax+ 1/3
Denda 800JT- 6M
X
Denda 400JT- 3M denda max+1/3
Denda 600JT- 5M denda max+1/3
Denda 600JT- 5M denda max+1/3
Narkotika Gol.III
Ketentuan sanksi pidana di atas juga berlaku untuk anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, karena tidak ada pengaturan yang secara khusus mengatur mengenai anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Bila merujuk pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka ketentuan di atas akan dikurangi setengahnya sebagai penerapan sanksi untuk anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Ketentuan ini terlihat dari Pasal 26 ayat (1) undang-undang tersebut yang menyatakan pidana penjara yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (satu per dua) dari maksumum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Bila melihat sedikit ke belakang sebelum munculnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ini, Indonesia juga telah mengaturnya di dalam aturan umum (KUHP) Kitab Undang-undang Hukum Pidana tepatnya di Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 yang di dalam KUHP ini sendiri pengaturannya berbeda dengan undang-undang Pengadilan Anak. Ketentuan di dalam KUHP sendiri mengkategorikan anak adalah mereka yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun dan anak yang melakukan tindak pidana dikurangi 1/3 (sepertiga) dari pidana pokoknya (Pasal 47). Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ini, yang dikategorikan anak adalah
Universitas Sumatera Utara
mereka yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan pidana penjara yang dijatuhkan terhadap anak anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Kebijakan penal lebih mengutamakan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, tabel sebelumnya menggambarkan bahwa perumusan pidana atau perbuatan pidana atau perbuatan tanpa hak melawan hukum, berkaitan dengan penggolongan narkotikanya, yang berdampak kepada sanksi yang diterima pelaku. 114 Di dalam undang-undang 35 Tahun 2009 ini, terdapat 3 pasal yang berkaitan dengan anak, diantaranya terdapat di dalam Pasal 55 menyangkut Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan pecandu yang belum cukup umur kepada yang berwenang, dan di dalam Pasal 128 pengaturan tentang tindak pidananya. Dan Pasal 133 menyangkut orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika. Di dalam pasal-pasal di atas tidak ada yang mengaikan anak sebagai pelaku namun sebagai korban di dalam tindak pidana narkotika. Karena usia anak masih dianggap belum matang dalam berfikir dan bertanggung jawab untuk melakukan suatu tindakan, ini terlihat di dalam Pasal 55 yang menekankan kepada orang tua si pecandulah tanggung jawab harus melapor tesebut, walaupun anak di bawah umur tersebutlah
114
Ibid.,,hal.260.
Universitas Sumatera Utara
yang
menjadi
pelaku
tindak
pidana
penyalahgunaan
narkotika
yang
sesungguhnya. Apabila dengan sengaja tidak melaporkannya maka sanksi yang dikenakan juga kepada orang tua si pecandu narkotika. Pasal 133 lebih menekankan anak sebagai korban. Selain kebijakan Penal, dikenal pula kebijakan melalui jalur non penal dalam
upaya
penanggulangan
tindak
pidana
narkotika
dengan
lebih
menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Maka syarat-syarat utama dalam melakukan tindakan pencegahan terhadap tindak pidana narkotika ini adalah dalam hal menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, yang antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung yang dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kajahatan Maka untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika tersebut dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut: a. Penanggulangan oleh Diri Korban Sendiri Diri sendiri merupakan pihak yang paling penting terhada upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika, karena yang paling bisa mengenali diri sendiri adalah diri pribadi, dan dapat mengawasi diri sendirinya tersebut. Seseorang harus dapat mengendalikan keinginannya untuk melakukan suatu kejahatan termasuk penyalahgunanan narkotika. Lagipula yang menderi kerugian paling tinggi adalah diri sendiri terhadap penyalahgunaan narkotika ini. b. Penanggulangan oleh Pihak Keluarga
Universitas Sumatera Utara
Keluarga memegang peranan penting di dalam pembentukan kepribadian seorang anak, sejak lahir dan tumbuh berkembang menjadi remaja, kehidupan keluarga itulah yang memberikan pola dan corak dasar pendidikan dan dalam pembentukan kepribadiaannya. Keluarga sangat berperan penting Dallam membimbing ataupun membina seoranga nak agar tidak terjerumus ke dalam halhal yang negative, termasuk penyalahgunaan narkotika, dan bagi keluarga tang salah
satu
anggota
keluarganya
sudah
terlanjur
terjerumus
kedalam
penyalahgunaan narkotika, dan baru saja pulih, harus memberikan dukungan moril agar tidak terjerumus kembali kedalam penyalahgunaan narkotika. Khusu bagi orang tua memegang peranan dalam menjauhkan anaknya dari narkotika sebagi orang tua tentunya harus selalu waspada, akrena situasi dan kondisi anak remaja berada di persimpangan jalan, jalan mana yang akan mereka tempuh. Di sinilah peranan orang tua mengarahkan perjalanan hidup anaknya. Pada pokoknya orang tua harus menempuh langkah-langkah seperti membantu anak untuk selalu berfikir posisitf tentang dirinya, menjelasakan kepada anak tentang fakta narkotika. 115 c. Penanggulangan Melalui Nilai-nilai Agama Kembali kepada pemahaman nilai-nilai agama dapat mencegah terjadinya tindak pidana penyalahgunaann narkotika, karena pemahaman agama yang benar akan membentuk suatu kepribadian yang baik, dapat membendakan mana yang baik dan yang buruk. Seseorang yang telah mengecam pendidikan agama dengan baik, maka tidak akan mau terjerumus untuk melakukan hal-hal yang negatif yang 115
Edy Karsono, Mengenal Kecanduan Narkotika dan Minuman Keras, Bandung: Yrama Widya, 2004, hal.40-42
Universitas Sumatera Utara
dapat menimbulkan dosa, salah satunya adalah penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika adalah perbuatan dosa yang dilarang agama, sehingga dia takut untuk melakukannya, karena menurut agama apapun setiap dosa pasti akan ada hukumannya dari Tuhan yang maha esa. d. Penanggulangan oleh Pemerintah Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika, pemerintah dapat melakukan beberapa upaya yaitu: 1. Merumuskan kebijakan tentang tindak pidana di bidang narkotika 2. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, edukasi dan sosialisasi tentang penyalahgunaan narkotika dan bahayanya, misalnya melalui pembentukan Badan Narkotika Nasional yang memiliki visi untuk menentukan kebijakan nasional dalam membangun komitmen bersama memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 3. Menyelenggarakan pelayanan dan perawatan/pengobatan para korban pecandu narkotika, melalui rumah sakit yang ditunjuk, seperti pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit juwa dan ketergantungan narkoba. e. Penanggulangan oleh masyarakat Supaya mencapai sukses dalam penanggulangan penyalahgunaan tindak pidana
narkotika
masyarakat
dapat
berperan
aktif
misalnya
dengan
mengadakan/membentuk suatu gerakan-gerakan yang memiliki agenda dan mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang bahaya penyalahgunaan narkotika. Masyarakat juga dapat membentuk/mendirikan suatu lembaga yang bergerak di
Universitas Sumatera Utara
bidang pelayanan perawatan/pengobatan terhadap pecandu narkotika. Khususnya secara langsung berhubungan dengan kaum muda dan golongan/kelompok yang rawan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penanggulangan yang dapat dilakukan oleh masyarakat lainnya adalah seperti memberitahukan ataupun melaporkan adanya penyalahgunaan narkotika yang tengah terjadi di masayarakat terutama di kalangan anak-anak yang di bawah umur. Hal-hal di atas dapat digunakan pula sebagai upaya penanggulangan secara non-penal terhadap anak sebagai pelaku penyalahgunaann narkotika. Kebijakan kriminal terhadap penyalahgunaan narkotika oleh anak dapat dikaji /dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yaitu melalui pendekatan kriminologis, utamanya dalam perspektif perlindungan anak pelaku tindak pidana narkotika. Secara krimonologis akan dilihat faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya peyalahgunaan narkotika oleh anak dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat proses penegakan hukum terhadap anak. 116 Pasal 60 1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika. 2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya: a. memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah penyalahgunaan Narkotika; c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas; d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika, baik yang 116
Kusno Adi, Op.Cit.,hal.117.
Universitas Sumatera Utara
3) diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Di dalam penjelasan undang-undang ini sendiri terkait dengan Pasal 60 ayat 2 huruf c ini adalah bahwa ketentuan ini tidak mengurangi upaya pencegahan melalui kegiatan ektrakurikuler pada perguruan tinggi. Di sini terlihat bahwa adanya pencegahan ataupun upaya prefentif yang dilakukan oleh pemerintah terhadap anak mengingat anak mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Upaya untuk mengalihkan penanganan anak dari jalur yustisial menuju jalur non-yustisial (diversi) dianggap penting. Di dalam kasus tindak pidana narkotika ini, khususnya bagi pelaku tingkat pemula, diversi merupakan langkah kebijakan non-penal penanganan anak pelaku kejahatan, karena penanganan dialihkan di luar jalur system peradilan anak, melalui cara-cara pembinaan jangka pendek atau cara-cara lain bersifat keperdataan atau administrative. Diversi berangkat dari asumsi bahwa proses penanganan anak lewat sistem peradilan lebih besar kemungkinan negatifnya, daripada positifnya bagi perkembangan anak. Selain itu ternyata paya untuk menghindarkan anak dari sistem peradilan ternyata tidak hanya melalui upaya diversi saja namun terdapat pula upaya diskresi. 117 Selain dari penanggulangan tindak pidana narkotika yang dilakukan melalui langkah non-yudisial, dalam undang-undang narkotika juga diberikan upaya non-penal lainnya yaitu pelaksanaan rehabilitasi yang diberikan kepada pecandu narkotika. Pasal 1 angka 16-17 menyatakan bahwa rehabilitasi terbagi atas 2 yaitu Rehabilitasi Medis yang adalah suatu proses kegiatan pengobatan 117
Ibid.,hal.63.
Universitas Sumatera Utara
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika dan Rehabilitasi Sosial yang adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dala kehidupan masyarakat. Pada penjelasan pasal 58 menegaskan Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternatif lainnya. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan Pecandu Narkotika” adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap Narkotika secara fisik dan psikis. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga rehabilitasi sosial” adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. 5. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Anak Di bawah Umur dari Perspektif Dari UndangUndang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagaimana di muka telah dikemukakan, bahwa pemikiran untuk memperlakukan anak pelaku tindak pidana berbeda dengan pelaku dewasa dan ini telah berkembang sejak abad ke-19. Kekhususannya bukan saja terkait dengan pertanggungjawabannya namun juga stigma yang ingin dibagunnya. Hakikat yang mendasari peradilan anak adalah adanya perlindungan hak-hak anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Dalam penanganan anak pelaku tindak pidana diperlukan pendekatan khusus yang berbeda dengan pelaku dewasa. Perlunya
Universitas Sumatera Utara
penanganan yang berbeda terhadap anak pelaku tindak pidana, menurut Hasel dan Yoblonsky didasarkan kepada faktor-faktor: 118 1. Dibedakan oleh umur, sebelum umur 18 tahun; 2. Anak deliquen dipertimbangkan sebagai tidak dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya; 3. Dalam menangani anak deliquen, titik beratnya pada kepribadian anak dan faktor yang merupakan motivasi terhadap tindakan pelanggaran; 4. Tindakan atau pembinaan terhadap anak deliquen lebih diarahkan kepada program yang bersifat terapi daripada penghukuman; 5. Meskipun sudah terdapat perubahan, tetapi proses peradilan anak mempunyai kecenderungan untuk tidak menitikberatkan pada aspek hukumnya, namun prosedurnya dalam pengadilan lebih bersifat informal dan individual (informal dan personalized procedure). Latar belakang lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 sendiri adalah karena mengingat anak merupakan amanah dan karunia yang memiliki harkat dan martabat seutuhnya, oleh karena itu anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan. Selain itu Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, oleh karena itu perlu membentuk undangundang Sistem Peradilan Pidana Anak. 119 Dahulu Indonesia sendiri telah memiliki instrument nasional yang mengatur tentang perlindungan hak anak, diantaranya: 120 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 34 tentang “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”; 2. Undang-undang RI No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 118
Kusno Adi, Op.Cit., hal.39. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bagian menimbang. 120 Marlina, Peradilan Pidana .., Op.Cit.,hal.52-57. 119
Universitas Sumatera Utara
3. 4. 5. 6.
Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian; Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Namun, kini Indonesia telah memiliki instrument baru yang akan mengatur
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang hadir untuk menggantikan Undangundang sebelumnya tentang pengadilan anak yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undangundang yang baru. 121 Adapun Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana dan Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sedang Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak, yang adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana dan Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
121
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, di bagian menimbang.
Universitas Sumatera Utara
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. 122 Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan beberapa asas yang tertuang di dalam Pasal 2 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, diantaranya: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
perlindungan; keadilan; nondiskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat anak; kelangsungan hidup dan perkembangan anak pembinaan dan pembimbingan anak proporsional perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan
Ditentukan bahwa “hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang Pengadilan Anak”, jadi dapatlah dikonklusikan redaksional “hukum acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak”, maka asumsi dasarnya oleh karena pada saat ini sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) adalah kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka dapatlah dikatakan Hukum Acara Pidana/Hukum Pidana Formal pada pengadilan anak adalah mengacu kepada UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kecuali, ditentukan lain oleh undang-undang sistem peradilan pidana anak. 123
122
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1. 123 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2005, hal.25.
Universitas Sumatera Utara
Pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi dari adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi dimulai dengan memperhatikan aspek-aspek mental, fisik, sosial, ekonomi secara dimensional, dan terpadu. Sebab pengembangan hakhak anak dalam proses peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi dari adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Wujud dari suatu keadilan adalah dimana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang. Pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi. Perlu kiranya kewajiban bagi anak harus diperlakukan dengan situasi, kondisi mental, fisik, keadaan sosial dan kemampuannya pada usia tertentu. Proses peradilan pidana adalah merupakan suaptu proses yuridis, dimana hukum ditegakkan dengan tidak mengsampingkan kebebasan mengeluarkan pendapat dan pembelaan dimana putusannya diambil dengan mempunyai motivasi tertentu. Beberapa faktor pendukung dalam usaha pengembangan hak-hak anak dalam peradilan pidana adalah: 124 1. Dasar pemikiran yang mendukung pancasila, UUD 1945, GBHN (Garisgaris Besar Haluan Negara), ajaran agama, nilai-nilai sosial yang positif mengenai anak, norma-norma (Deklarasi Hak-Hak Anak, Undang-undang Kesejahteraan Anak). 2. Berkembangnya kesadaran bahwa permasalahan anak adalah permasalahan nasional yang harus ditangani sedini mungkin secara bersama-sama, intersektorat, interdisipliner, interdepartemental. 3. Penyuluhan, pembinaan, pendidikan, dan pengajaran mengenai Hukum perlindungan anak, sebagai usaha perlindungan anak, meningkatkakn perhatian terhadap kepentingan anak. 4. Pemerintah bersama-sama masyarakat memperluasa usaha-usaha nyata dalam menyediakan fasilitas bagi perlindungan anak. 124
Wagita Soetodjo,Hukum Pidana Anak.Bandung :Refika Aditama, 2005, hal.71
Universitas Sumatera Utara
Beberapa faktor penghambat dalam usaha pengembangan hak-hak anak dalam peradilan pidana adalah : a. Kurang adanya pengertian yang tepat menegenai usaha pembinaaan, pengawasan, dan pencegahan hyangmerupakan perwujudan usahausaha perlindungan anak; b. Kurangnya keyakinan hukum bahwa permasalahan anak merupakan suatu permasalahan nasional yang harus ditangani bersama karena merupakan tanggungjawab nasional Adapun kebijakan-kebijakan terhadap anak sebagai pelaku penyalahguna narkotika berdasarkan perspektif Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak, terlihat dari proses peradilannya. Berikut tata cara peradilan yang diterapkan dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak di bawah umur berdasarkan perspektif Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada Pasal 17 ayat 1 dikatakan, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi Anak yang diperiksa karena tindak pidana
yang
dilakukannya
dalam
situasi
darurat.
Penyidik
yang
diperbolehkan,melakukan penyidikan untuk anak pelaku tindak pidana adalah meraka yang telah mendapatkan pelatihan khusus tentang Peradilan Pidana Anak (Pasal 26 ayat 3 huruf (c)). Penangkapan yang dilakukan terhadap anak guna proses penyidikan dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak.(Pasal 30)
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan yang harus dipenuhi dalam proses penahanan terhadap anak adalah terbagi atas di tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipengadilan, pemeriksaan di tingkat banding, dan kasasi (penahanan terpaksa), proses ini di atur didalam Pasal 32-38 terkait syarat penahanan dan lamanya waktu penahanan yang dapat dilakukan terhadap anak pelaku tindak pidana. Dalam proses penuntutan kebijakan yang tertuang dalam undang-undang ini adalah Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.(Pasal 42) Diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Bila Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan dan bila gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Pasal 41). Dalam Proses Putusan dan Pemeriksaan di Pengadilan hakim yang menangani kasus anak adalah hakim yang juga telah mendapat pelaktihan teknis tentang peradilan anak dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak (Pasal 43 ayat 2). Hakim yang menangani perkara anak di dalam undang-undang ini sendiri dibagi berdasarkan tingkatan pengadilannya, diantaranya hakim tingkat pertama, hakim banding, dan hakim kasasi. Namun adapun syarat yang harus dipenuhi untuk setiap tingkatannya adalah sama antara lain : (Pasal 43- Pasal 50) 1) Hakim memeriksa dan memutus perkara Anak dengan hakim tunggal.
Universitas Sumatera Utara
2) Ketua pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih atau sulit pembuktiannya. 3) Dalam setiap persidangan Hakim dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti. Adapun kekhususan yang diperoleh oleh anak pada pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 52), sebagai pelaku tindak pidana termasuk anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika adalah: 1) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim yang dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri, bila diversi tidak berhasil maka perkara dilanjutkan ke tahap persidangan 2) Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak dan ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa. (Pasal 52) 3) Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. 4) Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.(Pasal 54) 5) Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak.(Pasal 55)
Universitas Sumatera Utara
6) Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak dan Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar. (Pasal 61) Pelaksanaan hukuman berdasarkan undang-undang ini dilakukan oleh beberapa lembaga terkait, misalnya Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sebagai tempat penahanan selama anak pelaku tindak pidana menjalani masa penahanan sampai proses peradilan pidana yang dijalani anak selesai, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah lembaga yang akan menangani anak yang telah dijatuhkan hukuman pidana yaitu pidana penjara dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak. Hamel menyatakan pemidanaan (menjatuhkan pidana) itu dibenarkan, sepanjang tujuannya untuk menertibkan hukum, diputuskan dalam batas-batas yang dibutuhkan, dalam rangka sebagai upaya menginsyafkan terpidana, dilakukan melalui penelitian yang matang tanpa melanggar hak asasi manusia yang hakiki. 125 Namun di dalam pasal 70 undang-undang sistem peradilan pidana anak menunjukkan betapa anak harus di hindari dari pada pemidanaan. Dan anak yang dapat dapat dikenai pidana hanya anak yang telah berumur 14 tahun, anak yang melakukan tindak pidana sebelum berusia 14 hanya dikenakan sanksi berupa tindakan (Pasal 69).
125
Waluyadi, Op.Cit.,hal.178.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 70 Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Adapun jenis pidana yang diberikan kepada anak pelaku tindak pidana antara lain terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan.
1)
2)
3) 4)
Pasal 71 Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1. pembinaan di luar lembaga; 2. pelayanan masyarakat; atau 3. pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak. Selain itu undang-undang sistem peradilan pidana anak menyajikan adanya
upaya pidana diluar lembaga peradilan, diantaranya: (Pasal 75) 1. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; 2. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau 3. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pasal 75 ini menekankan adanya upaya pidana yang tidak mempidana anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika guna pemakaian
Universitas Sumatera Utara
untuk diri sendiri (ayat 3). Karena pada realitasnya peradilan pidana sebagai sarana penaggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak seringkali menampilkan diriya sebagai “mesin” hukum yang hanya akan menghasilkan “keadilan prosedural”. 126 Pengaturan penjara bagi anak sebagai pelaku tindak pidana ataupun yang disebut sebagai anak nakal dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diatur khusus juga di dalam Pasal 79. Pasal 79 1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. 2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Pada Pasal 79 ayat (1) menyatakan
Pidana pembatasan kebebasan
diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. Pasal ini memberikan persyaratan anak seperti apakah yang dapat dijatuhkan pidana pembatasan kebebasan. Di ayat (2) Pasal 79 ini menekankan kekhususan yang diberikan kepada anak pelaku tindak pidana, yaitu anak yang melakukan tindak pidana, pidana pembatasan kebebasannya di kurangi ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Selain adanya pidana yang akan dilakukan kepada anak pelaku tindak pidana narkotika, ada pula sanksi berupa tindakan kepada Anak yang meliputi pengembalian kepada orang tua/Wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal 126
Kusno Adi,Op.Cit.,hal.56.
Universitas Sumatera Utara
dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi, dan/atau perbaikan akibat tindak pidana, untuk perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi dikenakan paling lama 1 (satu) tahun (Pasal 82). Pada Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud meliputi: penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan Diversi. 127 Adapun tujuan diadakannya diversi menurut undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 6 adalah : a. b. c. d. e.
mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Pasal 8 undang-undang ini sendiri menyatakan bahwa Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif yang melibatkan
127
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 5
Universitas Sumatera Utara
Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. Pada pelaksanaan proses Diversi wajib memperhatikan: a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Di dalam undang-undang ini menekankan bahwa diversi adalah wajib diupayakan oleh para penegak hukum, ini terlihat dari Pasal 7 ayat (1) yang mengatakan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. Dari uraian pasal tersebut, terllihat bahwa dari tingkat kepolisian sudah diterapkan kebijakan yang bersifat non-penal terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Merujuk pada ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (2) Undangundang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan kriteria sebagai berikut : a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Melalui ketentuan di atas maka dapat dilihat bahwa tindak pidana penyalahgunaan narkotika khususnya yang dilakukan oleh anak memenuhi kriteria di atas, karena berdasarkan ketentuan Pasal 127 Undang-undang Narkotika, ancaman tertinggi untuk pelaku tindak pidananya (dewasa) adalah 4 Tahun, dan bila ancaman pidana tersebut dikaitkan dengan Anak sebagai pelaku tindak pidananya, berdasarkan ketentuan Pasal 79 Undang-undang Sistem
Universitas Sumatera Utara
Peradilan Pidana Anak, maka Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Hal ini mengakibatkan ancaman hukuman maksimal yang diberikan terhadap anak pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah 2 tahun. Berdasarkan penjelasan ketentuan pasal diatas maka sebenarnya setiap tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bukan merupakan tindak pidana pengulangan, haruslah diselesaikan dengan melalui cara diversi berdasarkan undang-undang ini. Karena diversi ini lebih menekankan kepada mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali kepada
keadaan semula, dan bukan pembalasan. Dan keberadaan diversi ini
bukan bertujuan untuk mengabaikan hukum dan keadilan, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk membuat orang menaati hukum. 128 Dengan adanya ketentuan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini (mulai efektif digunakan juli 2014) khususnya tetang pelaksanaan wajib diversi (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.11 Tahun 2012), maka memberikan peluang lebih besar kepada para penegak hukum untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak melalui proses peradilan pidana namun memberikan kesempatan lebih besar untuk memperhatikan kesejahteraan anak melalui pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
128
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan..Op.Cit,hal.11.
Universitas Sumatera Utara