BAB II KONSEP KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN PERJUDIAN DARI SUDUT PANDANG CRIMINAL POLICY
A. Kejahatan Perjudian 1. Kejahatan Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. 193 Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.194 193
Syahruddin Husein, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, (Medan: FH USU, 2003), hal. 1 194 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1994), hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat. 195 J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam Kriminologi
menyatakan
bahwa,
kejahatan
mengandung
konotasi
tertentu,
merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu. 196 Edwin H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah : 197 a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian. b. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana
195
Syahruddin Husein, Opcit, hal. 1. J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, (Jakarta : Rajawali, 1982), hal. 53. 197 Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, (Bandung : Alumni, 1969), hal. 62. 196
Universitas Sumatera Utara
c. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan d. Harus ada maksud jahat (mens rea) e. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan f. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri g. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang. Selanjutnya
dapat
diuraikan
tentang
pengertian
kejahatan
menurut
penggunaannya masing-masing: 198 a. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan. b. Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap dosa diancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa
198
Ibid, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
c. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda. Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten
(delik
hukum)
dan
wetsdelicten
(delik
undang-undang).
Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang. Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai perbuatan yang terlarang. Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang. Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan. Marshall B. Clinard dan Richard Quinney, memberikan 8 tipe kejahatan yang didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu : 199
199
Syahruddin Husein, Opcit, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
1. Karir penjahat dari si pelanggar hukum 2. Sejauhmana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok 3. Hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah 4. Reaksi sosial terhadap kejahatan. Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut : 200 1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminal seperti pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan seringkali belum pernah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadaan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya. 2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk Ke dalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya. 3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari. 4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegal itu
200
Ibid, hal. 4-5.
Universitas Sumatera Utara
sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat. 5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas. 6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time-career dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar. 7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal di lingkunganlingkungan pemukiman yang baik. 8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahatpenjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering
Universitas Sumatera Utara
juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras. Berdasarkan tipologi kejahatan tersebut di atas, maka perjudian termasuk dalam kejahatan konvensional dan kejahatan terorganisasi. Dalam kejahatan konvensional, penjudi melakukan kejahatan untuk menambah penghasilan dan tujuan-tujuan ekonomi, sedangkan dalam kejahatan terorganisasi, penjudi melakukan tindak kejahatan perjudian secara terorganisasi yang melibatkan banyak pihak. Mahmud Mulyadi membagi faktor korelatif kriminogen terjadinya kejahatan yaitu 1)faktor biologis dan psikologis; 2)faktor lingkungan sosial. 201 a. Faktor biologis dan psikologis Freda Adler et. al. dalam bukunya Criminology, yang dikutip Mahmud Mulyadi 202 menjelaskan bahwa para tokoh aliran positif yaitu Cesare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1982-1934) menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter perilaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran ini beralasan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan.
201 202
Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 101. Ibid, hal. 101-102.
Universitas Sumatera Utara
Basis utama aliran ini adalah konsepsinya bahwa kejahatan disebabkan oleh multi faktor yang menyangkut kehidupan natural manusia di dunia ini, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan sosial. Oleh karena itu, aliran positif bersandarkan pada paham indeterminisme yang mengakui bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will) karena dibatasi oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Dalam hal penjatuhan pidana, aliran ini menganut sistem “indefinite sentence” yaitu pidana yang dijatuhkan tidak ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lombroso, bahwa penerapan pidana yang sama pada semua pelaku kejahatan merupakan suatu kebodohan karena setiap pelaku mempunyai kebutuhan yang berbeda. 203 Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Konsep tersebut melahirkan aliran Pemikiran Antropologis dan Aliran Sosiologis. Aliran antropologis berkembang di Italia dipelopori oleh Caesare Lombroso, sedangkan aliran sosiologis berkembang di Perancis dipelopori oleh Lacassagne, Manouvrier, dan lain-lain. 204
203 204
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 34. Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 102.
Universitas Sumatera Utara
Kedua aliran ini sama dihadapkan pada keprihatinan terhadap rentannya masyarakat akan ancaman kejahatan, sehingga kedua aliran ini berusaha membongkar sebab awal kejahatan dengan tujuan menemukan alat-alat penangkal yang paling ampuh yang pada gilirannya mendorong terwujudnya etiologi kriminal: hasil telaahan yang diperoleh semakin berpengaruh terhadap pembentukan dan perumusan kebijakan penanggulangan kejahatan dan dengan cara ini, dapat membongkar dominasi pandangan pidana sebagai derita yang sengaja dikenakan kepada pelaku kejahatan. 205 Lombroso
memberikan
perhatian
pada
perilaku
individu
yang
menyimpang. Menurut Lombroso ada satu tipe orang yang ditakdirkan melakukan kejahatan, yang tidak dapat tidak, suatu saat akan melakukan kejahatan. Orangorang yang terlahirkan sebagai kriminal (Reo nato). Tipe manusia ini merupakan 40% dari populasi kriminal. Pandangan ini ditentang keras oleh aliran sosiologis, mereka sebaliknya menekankan peran penting faktor eksogen. Menurut mereka, penjahat merupakan hasil bentukan atau ciptaan lingkungan arti seluas-luasnya. Mereka memfokuskan pada lingkungan rumah tangga yang buruk, kurangnya pendidikan dan pengajaran, kelahiran sebagai anak di luar nikah, kemiskinan, ketergantungan pada minuman keras, penderitaan akibat perang, godaan kehidupan perkotaan. Singkatnya pada semua hal yang secara eksternal berpengaruh terhadap manusia. Mereka juga yang memberikan landasan bagi
205
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
pemikiran aliran Marxis yang menambahkan nuansa pemikiran bahwa penyebab kejahatan dapat ditemukan dalam (bagaimana) sistem ekonomi disusun dalam mekanisme produksi kapitalis. 206 Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun mempunyai pandangan yang kontras, kedua aliran ini semakin mendekati satu sama lain. Diakui bahwa tanpa adanya kecenderungan lahiriah tertentu, kejahatan tidak akan muncul. Pada saat yang sama diterima pula bahwa tanpa adanya situasi kondisi yang memungkinkan, kecenderungan asosial tidak mungkin berkembang menjadi suatu perbuatan. Faktor-faktor sosial antropologis mempengaruhi perilaku dan juga saling mempengaruhi. Pandangan ini dinamakan pendekatan “bio-sosiologis” yang dipelopori oleh Enrico Ferri (1856-1929). Pendekatan bio-sosiologis menjelaskan terjadinya kejahatan melalui kajian pengaruh-pengaruh interaktif diantara faktor-faktor yang bersifat fisik (seperti ras, geografis, dan temperatur) dengan faktor-faktor individu (seperti umur, jenis kelamin, dan variabel-variabel psikologis), dan faktor-faktor sosial (seperti populasi penduduk, agama dan budaya). Enrico Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol atau diatasi melalui berbagai perubahan sosial. Ferri mewujudkannya dengan mendukung subsidi perumahan, pengendalian angka kelahiran, kebebasan menikah dan bercerai, dan fasilitas umum untuk rekreasi. Kondisi ini merupakan tanggungjawab negara untuk mewujudkan kondisi kehidupan yang lebih baik. 206
Ibid, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
Frank E. Hagan dalam bukunya Introduction to Criminology, Theories, Methods, and Criminal Behaviour menyebutkan bahwa penerus lainnya teori Lombroso adalah Rafaele Gorofallo (1982-1934). Teori yang dikemukakan Gorofallo dipengaruhi oleh teori Lombroso tentang atavistic stigmata, namun Gorofallo menelusuri faktor korelatif kejahatan bukan kepada bentuk-bentuk fisik. Kajiannya cenderung melihat kesamaan-kesamaan psikologis yang dinamakannya sebagai moral anomalies (kekacauan-kekacauan moral). 207 Teori moral anomalies ini mengungkap bahwa secara alamiah kejahatankejahatan ditemukan pada diri manusia, tidak terkecuali siapapun. Kejahatankejahatan ini mengganggu nilai-nilai moral dasar berupa kejujuran dan menghargai hak milik orang lain sehingga kejahatan-kejahatan yang dilakukan bisa mendatangkan penderitaan pada orang lain. Seorang individu yang memiliki kelemahan organik dalam sentiment moral ini, tidak menjadikan moral dasar sebagai halangan untuk melakukan kejahatan. Seorang penjahat sungguhan memiliki anomali moral yang ditransmisikan melalui keturunan.208 Teori lainnya adalah Sigmund Freud (1856-1939) dengan teori terkenalnya psikoanalisa. Frued menyatakan bahwa kejahatan dihasilkan dari suatu kesadaran yang berlebihan atas perasaan bersalah pada diri seseorang. Terdapat tiga prinsip dasar teori psikoanalisa ini dalam hubungannya dengan terjadinya kejahatan, yaitu: (1) Tindakan orang dewasa dapat dipahami dari
207 208
Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 104. Ibid, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
perkembangan masa kanak-kanaknya; (2) Tindakan dan motif bahwa sadar merupakan sesuatu interaksi yang saling berhubungan sehingga harus diuraikan untuk memahami kejahatan, dan (3) kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis. 209 b. Faktor lingkungan sosial Terjadinya kejahatan tidak semata dipandang sebagai bagian dari pembawaan sifat manusia secara alami. Kejahatan dari sudut pandang sosiologis disebabkan oleh adanya pengaruh eksternal dari lingkungan sosial. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang melegitimasi pengaruh lingkungan sosial terhadap terjadinya kejahatan. 1) Teori Anomi Teori Anomi dikemukakan oleh Emile Durkheim (1958-1917) sebelum akhir abad ke-19. Menurut Durkheim, untuk menjelaskan tingkah laku manusia yang salah maupun yang benar, maka tidak bisa hanya dilihat dari
pribadi
seseorang,
melainkan
harus
dilihat
pada
kelompok
masyarakatnya. Pada konteks inilah, Durkheim mengenalkan istilah “anomi”, yang diterjemahkannya sebagai “tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai dan standarstandar yang mengatur kehidupan. 210
209 210
Ibid, hal. 105. Ibid, hal. 108
Universitas Sumatera Utara
Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan sosial yang cepat mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan kabur atau hilangnya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dianut dan diterima masyarakat. Kondisi ini memunculkan kehidupan sosial yang tanpa norma (anomie). Tahun 1983, Robert K. Merton mengambil konsep teori anomi Emile Durkheim untuk menjelaskan tingkah laku kejahatan di Amerika, namun konsepnya berbeda dengan konsep Durkheim. Menurut Merton, permasalahan yang utama kejahatan adalah tidak diciptakan oleh perubahan yang mendadak dalam masyarakat, melainkan oleh adanya struktur sosial yang masing-masing bertahan untuk mencapai tujuan yang sama bagi semua anggotanya tanpa memberikan sarana (alat) yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menyebabkan tidak adanya kesesuaian antara apa yang diminta oleh kultur dengan apa yang dibolehkan dalam struktur. Hal ini dapat mengakibatkan hancurnya norma-norma sosial karena tidak adanya patokan untuk berperilaku. 211 Merton menekankan pengaruh struktur sosial sebagai faktor korelatif terjadinya kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini akhirnya menjadikan ketegangan (strain)
211
Ibid, hal. 111.
Universitas Sumatera Utara
pada seseorang, sehingga mengambil jalan pintas berupa kejahatan untuk mencapai tujuannya. 2) Teori Differential Association Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Menurutnya, perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial dan tidak diwariskan dari orang tua. Ada sembilan pernyataan Sutherland mengenai bagaimana proses seseorang dapat terlibat dalam perilaku kriminal, yaitu : 212 1. Criminal behavior is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not inherited; 2. Criminal behavior is learned in interaction with other persons in a process of communications. This communications is verbal in many respects but include also “the communication of gestured” 3. The principle part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups. Negatively, this means that the impersonal agencies of communication, such as movies and news papers, play a relatively unimportant part in the genesis of criminal behavior; 4. When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple; b)the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes. 5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of legal codes as favorable and unfavorable. In some societies and individual is surrounded by person who invariably define by legal codes as rules to be observed, while in other he is surrounded by person whose definitions are favorable to the violation of the legal codes. 6. A person becomes delinquent because of an access of definition favorable to violations of law over definitions unfavorable to violation of law;
212
Edwin H. Sutherland and Donald R. Cressey, Asas-Asas Kriminologi, (Bandung: Alumni, 1969), hal. 77-78.
Universitas Sumatera Utara
7. Differential associations may very in frequency, duration, priority, and intensity; 8. The process of learning criminal behavior by association with criminal and anti criminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning; 9. While criminal behavior in an expression of general needs and values, it is not explained by those general need and values. Menurut Sutherland bahwa perilaku kriminal itu dipelajari, hal ini berarti bahwa perilaku kriminal tersebut tidak diwariskan. Bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi dalam kelompok-kelompok yang intim atau dekat. Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh yang paling besar dalam mempelajari tingkah laku yang menyimpang ini. Ketika tingkah laku kriminal ini dipelajari, pembelajaran itu termasuk: (a)teknik-teknik melakukan kejahatan; (b)arah khusus dari motifmotif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap. Pelaku bukan saja belajar bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci, dan sebagainya, tetapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan membela tindakan-tindakan mereka. 213 Asosiasi diferensial itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola tingkah laku kriminal dan anti kriminal melibatkan setiap mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain. Walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-
213
Topo Santoso dan Eva Achjany Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku bukan kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. 214 3) Teori Konflik budaya (Culture Conflict) Teori ini dikemukakan oleh Thorstein Sellin yang mengemukakan bahwa terdapat suatu conduct norm (norma tingkah laku) yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Norma tingkah laku ini bertujuan untuk mendefenisikan tingkah laku apa yang dianggap pantas (normal) dan apa yang dianggap tidak pantas (abnormal). Setiap kelompok mempunyai conduct norms sendiri-sendiri dan bisa saja conduct norms kelompok yang satu bertentangan dengan kelompok yang lainnya. 215 Sellin mengungkapkan bahwa di kalangan pakar sosiologi belum punya formula yang tepat untuk memberi arti konflik budaya ini. Konflik budaya ini bisa saja dihasilkan proses perkembangan suatu budaya, bisa juga karena perkembangan masyarakat, atau bisa juga dihasilkan dari hasil migrasi conduct norms dari suatu budaya yang kompleks ke wilayah budaya lainnya. 216
214
Ibid, hal. 77. Edwin H. Sutherland and Donald R. Cressey, Opcit, hal. 79-80. 216 Ibid, hal. 81. 215
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Sellin menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para imigran disebabkan oleh: (1)adanya konflik antara norma perilaku yang lama dan norma perilaku yang baru; (2)perpindahan situasi dan kondisi lingkungan dewasa ke lingkungan perkotaan; dan (3)transisi dari kehidupan masyarakat homogen yang terorganisir kepada masyarakat heterogen yang tidak terorganisir. Topo Santoso mengemukakan bahwa konflik budaya dapat dibedakan menjadi konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer terjadi pada saat terjadinya pertentangan antara norma-norma dari dua budaya. Konflik primer ini bisa terjadi pada batas-batas wilayah budaya yang berdekatan, misalnya apabila norma dari suatu kelompok budaya meluas dan melintasi wilayah kelompok budaya lainnya. Konflik ini bisa juga terjadi karena perpindahan anggota kelompok budaya yang satu ke kelompok budaya lainnya. Sedangkan konflik sekunder terjadi bila suatu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-beda. Masing-masing budaya ini mempunyai conduct norm sendirisendiri. Konflik sekunder ini hanya terjadi pada saat satu masyarakat homogen (sederhana) menjadi masyarakat yang kompleks (heterogen), dimana terjadi perkembangan yang dinamis pada kelompok-kelompok sosial, namun conduct norm seringkali ditinggalkan. 217 4) Teori Sub Budaya (Sub Culture)
217
Topo Santoso dan Eva Achjany Zulfa, Opcit, hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
Teori ini dikemukakan oleh Albert K. Cohen yang digunakan dalam menjelaskan terjadinya penyimpangan perilaku di kalangan remaja Amerika, yang bercirikan geng-geng jalanan. Cohen belajar dari Edwin H. Sutherland tentang differential association dan transmisi budaya dari norma-norma kriminal yang membawa tingkah laku kriminal. Sedangkan dari
Merton,
Cohen belajar tentang ketegangan (strain) yang disebabkan oleh faktor struktural. Teori yang dikemukakan Cohen ini lebih spesifik dari teori anomi dari Merton. Teori yang dikemukakan Cohen terbatas pada perilaku menyimpang yang dilakukan dalam satu ikatan kelompok (geng). 218 Cohen menyatakan bahwa perilaku kejahatan di kalangan remaja usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan mereka terhadap norma-norma dan nilai-nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi budaya Amerika. Para remaja berlomba mencari status sosialnya, akan tetapi bagi remaja kalangan bawah akan mengalami hambatan bersaing dengan kalangan atas karena mereka cenderung tidak memiliki materi dan keuntungan simbolis. Hal ini mengakibatkan kelompok usia muda kelas bawah mengalami konflik budaya yang disebut “status frustration”. Akhirnya para pemuda kalangan bawah
melibatkan diri dalam geng-geng dan berperilaku
menyimpang yang sifatnya tidak bermanfaat, dengki, dan jahat. 219 5) Teori Differential Opportunity Structure
218 219
Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 111. Ibid, hal. 111.
Universitas Sumatera Utara
Teori ini dikemukakan oleh Cloward dan Ohlin yang dibangun atas dua asumsi, yaitu : 220 a) bahwa terhalangnya aspirasi di bidang perekonomian yang disebabkan oleh kemiskinan sehingga secara umum menjadikan perasaan frustrasi; b) Bahwa frustrasi ini mendorong ke arah terjadinya kenakalan dalam konteks geng khusus, yang sifat kejahatannya secara alami bervariasi sesuai dengan struktur dan nilai konvensional dalam lingkungan pemuda. Berbeda dengan Cohen, menurut Cloward dan Ohlin, kenakalan pemuda kelas bawah adalah berorientasi pada pencapaian kebutuhan hidup mereka, yang secara
rasional
dapat
menilai
situasi
perekonomiannya
dan
untuk
merencanakan masa depannya. Cloward dan Ohlin memadukan dua elemen penting dari teori anomi dari K. Merton dan teori Differential Association dari Sutherland untuk mengajukan asumsi bahwa kenakalan geng-geng pemuda kelas bawah disebabkan oleh adanya blok dalam memperoleh kesempatan di bidang perekonomian dan sifat alami kenakalan ini sesuai dengan lingkungan masing-masing. Kenakalan terjadi karena tidak seimbangnya distribusi sarana, baik legal maupun illegal untuk mencapai keberhasilan perekonomian dalam masyarakat, terutama sekali kesempatan (sarana) ini tidak merata terbagi dalam posisi kelas sosial, sehingga menghasilkan yang disebut “differential opportunity structure”. 221
220 221
Ibid, hal. 112. Ibid, hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
Cloward and Ohlin mengemukakan ada tiga tipe kenakalan geng ini, yaitu : 222 a) Criminal subculture Tipe ini terjadi pada masyarakat yang terintegrasi. Geng-geng berlaku sebagai kelompok remaja yang belajar dari orang dewasa. Aktivitas geng lebih menekankan pada aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi dan berusaha untuk menghindari kekerasan. b) A Retreats subculture Pada tipe ini, remaja tidak memiliki struktur kesempatan sehingga mereka cenderung melakukan mabuk-mabukan. Aktivitas mencari uang dalam geng ini untuk tujuan mabuk-mabukan. c) Conflict subculture Tipe ini terjadi dalam masyarakat yang tidak terintegrasi, sehingga geng-geng mempunyai perilaku yang bebas, berupa melakukan kekerasan dan perampasan hak milik orang lain. Berdasarkan teori faktor korelatif kriminogen di atas, maka tindak perjudian termasuk dalam faktor lingkungan sosial. Kejahatan perjudian termasuk dalam teori differential association menurut Pandangan Edwin H. Sutherland bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial dan tidak diwariskan dari orang tua. 2. Asal Usul Perjudian
222
Ibid, hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
Judi atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah “Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan”. 223 Berjudi ialah “Mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula”. 224 Kejahatan perjudian sudah ada sejak jaman prasejarah. Perjudian bahkan seringkali dianggap sesuai dengan peradaban manusia. Dalam cerita Mahabarata dapat diketahui bahwa Pandawa menjadi kehilangan kerajaan dan dibuang ke hutan selama 13 tahun karena kalah dalam permainan judi melawan Kurawa. Jaman Yunani kuno juga telah dikenal judi, dimana para penjudi primitif dipahami sebagai para dukun yang membuat ramalan ke masa depan dengan menggunakan batu, tongkat atau tulang hewan yang dilempar ke udara dan jatuh di tanah. Menurut Alice Hewing (dalam Stanford & Susan, 1996), orang Mesir kuno memiliki kebiasaan menebak jumlah jari-jari dua orang berdasarkan angka ganjil atau genap. Mereka melempar koin dan lotere, yang dipelajari dari Cina. Para Raja seperti Nero dan Claudine menganggap permainan dadu sebagai bagian penting dalam acara kerajaan. Pada abad ke 14, permainan kartu berisi 78 gambar hasil lukisan yang sangat indah. Pada abad 15, Perancis mengurangi jumlah kartu menjadi 56 gambar. 225 Dari studi dokumen dan modifikasi dari berbagai sumber, tindakan judi di Indonesia terlihat kental dengan dunia olahraga dan sosial. Bukti dokumentatif tindakan judi di Indonesia ternyata ada relevansinya dengan sejarah tindakan judi 223
419.
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal.
224
Ibid, hal. 419. Johanes Papu, Sejarah dan Jenis Perjudian, 2002. psikologi.com/epsi/Sosial_ detail.asp?279. Diunduh pada tanggal 15 April 2011. 225
http://www.e-
Universitas Sumatera Utara
yang ada di dunia. Sejarah judi di Indonesia dimulai pada tahun 1960 yang disebut lotere yang diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin dan pada tahun 1965 lotere dibubarkan. Pada tahun 1968 Undian PON di Surabaya diberi nama Toto KONI, dan pada tahun 1974 Toto KONI dibubarkan. Pada tahun 1974 Menteri Sosial mengizinkan penyelenggaraan Forecast, di masyarakat umum disebut sebagai PORKAS. Tahun 1985 diselenggarakan kupon berhadiah Forecast sepakbola dengan hadiah undian sebesar 1 milyar. Pada tahun 1987 Forecast berubah menjadi KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah), tahun 1988 berganti nama menjadi TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah). Pada tahun 1988 TSSB berubah nama menjadi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah). Karena kontroversi yang terus muncul di masyarakat maka pada tahun 1993 SDSB ditutup. Tahun 2003, kembali diselenggarakan Kupon Asuransi Berhadiah yang disetujui oleh Menteri Sosial.226 Seorang antropolog Denmark Sven Cederroth (1995) yang meneliti di sebuah desa di Jawa Timur, menemukan bahwa akar dari ‘kebiasaan buruk’ berjudi ini dekat ke persoalan ‘siasat-siasat untuk bertahan hidup’ (strategies for survival) yang menunjukkan betapa beratnya persaingan memasuki saluran-saluran sempit penghidupan ‘halal’ yang disesaki para pencari nafkah pedesaan. Andrianto dalam Tesisnya yang berjudul Perjudian Sabung Ayam di Bali, menemukan tindakan perjudian sabung ayam di Bali semata-mata terjadi profanisasi nilai-nilai sakral prosesi keagamaan tajen tabuh rah menjadi bentuk perjudian sabung ayam oleh para penjudi. Profanisasi nilai-nilai sakral oleh para penjudi, yang berbentuk perjudian sabung ayam, telah menjadi lahan oknum polisi untuk mengutip 226
Analisis Berita Dari Porkas sampai SDSB. Dalam Suara Merdeka; Senin, 19 Januari 2004
Universitas Sumatera Utara
uang sehingga menjadi hubungan patron klien antara oknum polisi dengan penyelenggara perjudian sabung ayam. Judi sabung ayam di Bali merupakan realitas sosial yang amat rumit, sebab ia menggambarkan ekspresi simbolik yang mencerminkan kebudayaan masyarakatnya. 227 Menurut Mulyanto dan Putut, etnis Jawa telah memiliki tradisi perjudian yang kuat. Dalam penelitian di Banyumas Jawa Tengah, permainan judi di pedesaan Jawa diantaranya; taruhan pada pertandingan olahraga, balap merpati, sabung ayam, judi dadu, main kartu. Dalam alam pikiran Jawa, bermain judi (main), merupakan salah satu dari lima kegiatan haram (molimo). Selain bermain judi, kegiatan haram lainnya adalah maleng (mencuri), madat (menyandu), dan mabok (minum-minuman) dan madon (melacur). Molimo merupakan kegiatan rekreatif yang terlarang sekaligus sumber-sumber penghidupan ‘tidak wajar’ yang lama dikenal dalam masyarakat Jawa. Dalam hasil penyelidikan sejarahnya tentang para buruh tambang di Sawahlunto, Erwiza Erman (2002) menemukan bahwa berjudi, gamelan, dan opium merupakan tiga serangkai hiburan utama di kalangan buruh tambang (laki-laki) asal Jawa.
3. Jenis-Jenis Perjudian Perjudian dalam segala bentuknya telah dinyatakan dilarang oleh undangundang, namun sama dengan kejahatan lainnya, yaitu sangat sulit untuk memberantasnya secara keseluruhan di dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut 227
Andrianto, Hendrik. Perjudian Sabung Ayam di Bali. Tesis. Dalam www.digilib.ui.ac.id/ opac/themes/libri2/detail.jsp?id=73405&lokasi=lokal. Diakses pada tanggal 12 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
terbukti dengan masih sering dijumpai permainan-permainan yang mengandung unsur perjudian di dalam masyarakat seperti sabung ayam, main kartu, toto gelap (togel), serta perjudian-perjudian yang dilakukan di tempat tertentu. Di samping perjudian yang bersifat langsung tersebut juga masih ada bentuk perjudian yang dilakukan dengan cara taruhan, yang menjadi obyek dari taruhan adalah cabang olah raga yang disiarkan di televisi seperti, sepak bola, dan lain sebagainya. Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Pasal 1 ayat (1), disebutkan beberapa macam perjudian yaitu: 1. Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari : a. Roulette; b. Blackjack; c. Bacarat; d. Creps; e. Keno; f.
Tombala;
g. Super Ping-Pong; h. Lotto Fair; i.
Satan;
j.
Paykyu;
k. Slot Machine (Jackpot); l.
Ji Si Kie;
Universitas Sumatera Utara
m. Big Six Wheel; n. Chuck a Cluck; o. Lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan; p. Yang berputar (Paseran); q. Pachinko; r. Poker; s. Twenty One; t.
Hwa-Hwe;
u. Kiu-Kiu 2. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari perjudian dengan: a. Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak; b. Lempar gelang; c. Lempar uang (coin); d. Koin; e. Pancingan; f. Menebak sasaran yang tidak berputar; g. Lempar bola; h. Adu ayam; i.
Adu kerbau;
j.
Adu kambing atau domba;
k. Pacu kuda; l.
Kerapan sapi;
m. Pacu anjing; n. Hailai;
Universitas Sumatera Utara
o. Mayong/Macak; p. Erek-erek. 3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan-kebiasaan: a. Adu ayam; b. Adu sapi; c. Adu kerbau; d. Pacu kuda; e. Karapan sapi; f. Adu domba atau kambing; g. Adu burung merpati; Dalam penjelasan di atas, dikatakan bahwa bentuk perjudian yang terdapat dalam angka 3, seperti adu ayam, karapan sapi dan sebagainya itu tidak termasuk perjudian apabila kebiasaan-kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan dan sepanjang kebiasaan itu tidak merupakan perjudian. Ketentuan Pasal ini mencakup pula bentuk dan jenis perjudian yang mungkin timbul di masa yang akan datang sepanjang termasuk kategori perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP.
4. Perjudian Dipandang Dari Perspektif Hukum Pidana Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik yang diatur dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP seperti dalam UU No. 7 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
tentang Penertiban Perjudian dan PP No.9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1974, kesemuanya menetapkan perjudian itu sebagai kejahatan sehingga praktiknya perlu untuk dicegah dan ditanggulangi. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dimaksud perjudian adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapatkan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. 228 Dalam Pasal 303 Ayat (3) Kolonial 732, permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lainlainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. 229 Tindak pidana perjudian adalah barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303 dan atau barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat
228
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal. 112 Kolonial 732, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Diubah dan ditambah dengan UU No. 1 dan 20 tahun 1946, UU No. 8 tahun 1951, UU Darurat No. 8 tahun 1955, UU No.73 tahun 1958, UU No.1 tahun 1960, Perpu No. 16, 18 tahun 1960, Penpres No.1 tahun 1965, Penpres No. 7 tahun 1974, Penpres No. 4 tahun 1976) 229
Universitas Sumatera Utara
dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu (Pasal 303 bis Kolonial 732). Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, memandang bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian perlu diadakan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia. 230 Tindak pidana perjudian adalah tanpa mendapat izin dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu, dan atau dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara (Pasal 303 ayat (1) angka 1 dan angka 2 Kolonial 732). Dalam rumusan kejahatan Pasal 303 tersebut, ada lima macam kejahatan mengenai hal perjudian, dimuat dalam ayat (1) : 231 1. huruf a ada dua macam kejahatan; 2. huruf b ada dua macam kejahatan; dan 230
UU RI No. 7 Tahun 1981 tentang Penertiban Perjudian. Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 158 231
Universitas Sumatera Utara
3. huruf c ada satu macam kejahatan. Sedangkan ayat (2) memuat tentang dasar pemberatan pidana, dan ayat (3) menerangkan tentang pengertian permainan judi yang dimaksudkan oleh ayat (1). Lima macam kejahatan mengenai perjudian tersebut dalam Pasal 303 KUHP di atas mengandung unsur tanpa izin. Pada unsur tanpa izin inilah melekat sifat melawan hukum dari semua perbuatan dalam lima macam kejahatan mengenai perjudian itu. Artinya tidak adanya unsur tanpa izin, atau jika telah ada izin dari pejabat atau instansi yang berhak memberi izin, semua perbuatan dalam rumusan tersebut hapus sifat melawan hukumnya, sehingga tidak dipidana. Untuk itu dimaksudkan agar pemerintah atau pejabat pemerintah tetap melakukan pengawasan dan pengaturan tentang perjudian. 232 1. Kejahatan Pertama Kejahatan bentuk pertama ini dimuat dalam huruf a yaitu : Menuntut pencaharian dengan jalan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan main judi. Unsur-unsur kejahatan ini adalah sebagai berikut : Unsur-unsur Obyektif : a. Perbuatannya : 1) Menawarkan kesempatan; 2) Memberikan kesempatan; b. Obyek : untuk bermain judi tanpa izin; c. Dijadikannya sebagai mata pencaharian. 232
Adami Chazawi, Ibid, hal. 160.
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur Subyektif : d. Dengan sengaja. Dalam kejahatan yang pertama ini, pembuat tidak melakukan bermain judi, serta tidak ada larangan berjudi. Tetapi perbuatan yang dilarang adalah menawarkan kesempatan bermain judi dan memberikan kesempatan bermain judi. Menawarkan kesempatan bermain judi maksudnya adalah si pembuat melakukan perbuatan dengan cara apapun untuk mengundang atau mengajak orang-orang untuk bermain judi dengan menyediakan tempat dan waktu tertentu. Dalam perbuatan ini mengandung pengertian belum ada yang bermain judi, hanya sekedar
perbuatan
permulaan
pelaksanaan
dari
perbuatan
memberikan
kesempatan untuk bermain judi. Sedangkan memberi kesempatan bermain judi, maksudnya adalah pembuat menyediakan peluang yang sebaik-baiknya dengan menyediakan tempat tertentu untuk bermain judi. Jadi, sebelumnya telah ada yang bermain judi. Perbuatan menawarkan bermain judi dan atau memberi kesempatan bermain judi harus dijadikan sebagai pencaharian. Maksudnya, perbuatan tersebut sudah berlangsung lama dan si pembuat mendapatkan uang yang dijadikannya sebagai pendapatan untuk kehidupannya. Perbuatan itu dikatakan melawan hukum apabila tidak mendapatkan izin terlebih dulu dari Instansi atau Pejabat Pemerintah yang berwenang. Sedangkan maksud dari unsur kesengajaan adalah apabila pembuat memang menghendaki untuk
melakukan
perbuatan
menawarkan
kesempatan
dan
memberikan
kesempatan untuk bermain judi, dan disadarinya perbuatannya itu sebagai mata
Universitas Sumatera Utara
pencaharian agar mendapat uang untuk biaya hidupnya. Namun kesengajaan pembuat tidak perlu ditujukan pada unsur tanpa izin, karena unsur tanpa izin dalam rumusan letaknya sebelum unsur kesengajaan. Maksudnya pembuat tidak perlu menyadari bahwa di dalam melakukan perbuatan menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan itu tidak mendapatkan izin dari instansi yang berwenang. 233 2. Kejahatan Kedua Kejahatan kedua yang dimuat dalam butir 1, adalah melarang orang yang tanpa izin dengan sengaja turut serta dalam suatu kegiatan usaha permainan judi. Adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : Unsur Objektif :
a. perbuatannya: turut serta; b. objek: dalam suatu kegiatan usaha permainan judi tanpa izin
Unsur Subjektif : c. dengan sengaja. Dalam kejahatan jenis kedua ini, perbuatannya adalah turut serta. Maksudnya, pembuat ikut terlibat dalam permainan judi, bisa sebagai pembuat peserta (medepleger), juga termasuk pembuat pembantu (medeplichtige). Sedangkan unsur kesengajaan pada bentuk kedua harus ditujukan pada unsur perbuatan turut serta dalam kegiatan usaha permainan judi. Maksudnya, pembuat
233
Ibid, hal. 161.
Universitas Sumatera Utara
menghendaki untuk melakukan perbuatan turut serta dan disadarinya bahwa keikutsertaannya itu dalam kegiatan permainan judi. 234 3. Bentuk Ketiga Kejahatan bentuk ketiga adalah melarang orang yang tanpa izin dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi. Adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : Unsur-unsur Objektif :
a. perbuatan : 1) Menawarkan; 2) Memberi kesempatan; b. objek : kepada khalayak umum; c. untuk bermain judi tanpa izin;
Unsur Subjektif :
d. dengan sengaja.
Kejahatan perjudian bentuk ketiga ini hampir sama dengan kejahatan perjudian bentuk pertama, yakni pada perbuatan menawarkan kesempatan dan perbuatan memberikan kesempatan. Sedangkan perbedaannya, meliputi : a. pada bentuk pertama, perbuatan menawarkan kesempatan dan perbuatan memberikan kesempatan tidak disebutkan kepada siapa, oleh karena itu bisa termasuk seseorang atau beberapa orang tertentu. Tetapi bentuk ketiga, disebutkan ditujukan pada khalayak umum. Oleh karena itu bentuk ketiga
234
Ibid, hal. 161-162.
Universitas Sumatera Utara
tidak berlaku, jika kedua perbuatan itu hanya ditujukan pada satu orang tertentu. b. pada bentuk pertama secara tegas disebutkan bahwa kedua perbuatan itu dijadikan sebagai mata pencaharian. Sedangkan pada bentuk ketiga, tidak disebutkan unsur dijadikan sebagai mata pencaharian. Unsur kesengajaan pada bentuk ketiga ini maksudnya pembuat menghendaki untuk mewujudkan kedua perbuatan itu, dan sadar bahwa perbuatan dilakukan di depan khalayak umum adalah untuk bermain judi. Akan tetapi unsur kesengajaan ini tidak perlu ditujukan pada unsur tanpa izin. 235 4. Bentuk Keempat Kejahatan perjudian bentuk keempat dalam ayat (1) Pasal 303, adalah larangan dengan sengaja turut serta dalam menjalankan kegiatan perjudian tanpa izin. Adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : Unsur-unsur Objektif :
a. perbuatannya : turut serta; b. objek : dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin;
Unsur Subjektif :
c. dengan sengaja.
Kejahatan bentuk keempat ini hampir sama dengan kejahatan bentuk kedua. Perbedaannya hanyalah pada bentuk kedua, perbuatan turut sertanya itu ada kegiatan usaha perjudian yang dijadikan sebagai mata pencaharian, sehingga kesengajaannya juga ditujukan pada mata pencaharian itu. Namun, pada bentuk 235
Ibid, hal. 163.
Universitas Sumatera Utara
keempat ini, perbuatan turut sertanya ditujukan pada kegiatan usaha perjudian yang bukan sebagai mata pencaharian. Demikian juga kesengajaan pembuat dalam melakukan turut sertanya ditujukan pada kegiatan usaha bukan sebagai mata pencaharian. 236 5. Bentuk Kelima Kejahatan bentuk kelima ini adalah melarang orang yang melakukan perbuatan turut serta dalam permainan judi tanpa izin yang dijadikannya sebagai mata pencaharian. Adapun unsur-unsur adalah sebagai berikut : a. Perbuatannya : turut serta; b. Objek : dalam permainan judi tanpa izin; c. Sebagai mata pencaharian. Pengertian perbuatan turut serta sama dengan kejahatan bentuk kedua, yakni pembuat ikut terlibat dalam permainan judi bersama orang lain, dan bukan terlibat bersama pembuat yang melakukan kegiatan usaha perjudian yang orang ini tidak ikut bermain judi. Pembuat dalam bermain judi tanpa izin haruslah dijadikannya sebagai mata pencaharian. Yang artinya dari permainan judi ini dia mendapatkan penghasilan yang untuk keperluan hidupnya. Jadi tidak dipidana apabila bermain judi hanya sebagai hiburan belaka. 237
236 237
Ibid, hal. 164. Ibid, hal. 165.
Universitas Sumatera Utara
Kejahatan mengenai perjudian yang kedua dirumuskan dalam Pasal 303 bis yang rumusannya sebagai berikut: 238 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah; a. barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303; b. barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali jika ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. 2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima juta rupiah. Semula rumusan kejahatan Pasal 303 bis berupa pelanggaran dan dirumuskan dalam Pasal 542. Namun melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 diubah menjadi kejahatan dan diletakkan pada Pasal 303 bis KUHP. Mengenai kejahatan perjudian dimuat dalam ayat (1), sedangkan pada ayat (2) pengulangannya yang merupakan dasar pemberatan pidana. Kejahatan dalam ayat (1) ada dua bentuk, yaitu: 1. Bentuk Pertama
238
R. Soesilo, 1994, Op Cit., hal 123.
Universitas Sumatera Utara
Pada bentuk pertama terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 239 a. Perbuatannya: bermain judi; b. Dengan menggunakan kesempatan yang diadakan dengan melanggar Pasal 303. Kejahatan Pasal 303 bis KUHP ini tidak berdiri sendiri, melainkan bergantung pada terwujudnya kejahatan Pasal 303 KUHP. Tanpa terjadinya kejahatan Pasal 303 KUHP (perbuatan menawarkan dan memberikan kesempatan), kejahatan Pasal 303 bis (KUHP) ini tidak mungkin terjadi. Dengan telah dilakukannya perbuatan menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan untuk bermain judi bagi siapa saja, maka terbukalah kesempatan untuk bermain judi. Oleh sebab itu, barang siapa yang menggunakan kesempatan itu untuk bermain judi, dia telah melakukan kejahatan Pasal 303 bis (KUHP) yang pertama ini. 2. Bentuk Kedua Pada bentuk kedua ini terdapat unsur-unsur: a. Perbuatannya: ikut serta bermain judi b. Tempatnya : 1) Di jalan umum 2) Di pinggir jalan umum 3) Di tempat yang banyak dikunjungi umum.
239
Adami Chazawi, 2002. Opcit, hal. 169.
Universitas Sumatera Utara
c. Perjudian itu tanpa izin dari penguasa yang berwenang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Pasal 303 bis KUHP yaitu Pasal 303 KUHP mengatur tentang orang sebagai perusahaan membuka perjudian atau yang biasa disebut dengan bandar dan orang yang turut serta dalam perusahaan judi, serta orang yang menjadikan permainan judi sebagai pencaharian, sedangkan dalam Pasal 303 bis KUHP mengatur tentang orang yang mempergunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan melanggar Pasal 303 KUHP. 240 5. Perjudian Dipandang Dari Aspek Kriminologi Aspek kriminologi perjudian merupakan wujud dari permainan atau kesibukan pengisi waktu senggang guna menghibur hati, yang bersifat rekreatif dan netral yang meningkatkan keinginan bermain serta pengharapan untuk mendapatkan kemenangan. 241 Pada mulanya perjudian hanya sebagai suatu permainan yang disertai taruhantaruhan biasa, dimana pelaku perjudian menyadari bahwa mereka melakukan perjudian. Perjudian itu hanya untuk mengisi waktu senggang mereka saja, misalnya pada acara pernikahan dan khitanan, lama kelamaan berubah menjadi kebiasaan, dan bertambah ke bentuk-bentuk perjudian yang lain. Bagaimanapun bentuk perjudian adalah tetap sebagai suatu kejahatan. Kejahatan tersebut melibatkan berbagai orang atau kelompok yang beraneka ragam. 240
R. Soesilo, Op Cit, hal. 223 Mulyana Kusuma, Kejahatan dan Penyimpangan Suatu Perspektif Kriminologi, (Jakarta: LBH, 1988), hal. 55. 241
Universitas Sumatera Utara
Menurut Paul Moedikdo Moeliono yang dikutip Syahruddin Husein 242 kejahatan merupakan perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak). Dalam mempersoalkan patut tidaknya tingkah laku masyarakat penjudi dapat dilihat dari dua sudut pandangan, yaitu subyektif dan obyektif. Subyektif apabila dilihat dari sudut orangnya, adalah perbuatan yang merugikan perasaan kesusilaan orang perorangan, dan obyektif, jika dipandang dari sudut masyarakat, adalah perbuatan yang merugikan masyarakat umumnya. Oleh karena itu perjudian merupakan tingkah laku manusia yang harus diberantas, karena menimbulkan dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Namun tanggapan masyarakat berbeda-beda. Ada yang menerima dan ada yang menentang perjudian. Hal ini dikarenakan: 243 1. Sebagian masyarakat sudah kecanduan perjudian, taruhan dan lotre, yang semuanya bersifat untung-untungan. Mereka mengharapkan keuntungan besar dalam waktu singkat dengan cara mudah, untuk kemudian dapat merebut status yang tinggi. 2. Perjudian dianggap sebagai peristiwa biasa, sehingga orang berperilaku acuh tak acuh terhadapnya.
242 243
Syahruddin Husein, Op.Cit. hal. 1 Kartini Kartono, Op Cit., hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian Reckless mengemukakan buah pikiran Greenson yang membagi para penjudi ke dalam tiga jenis tipe, yaitu : 244 1. Normal person, atau orang normal (biasa) adalah orang yang berjudi sebagai hiburan atau iseng, tetapi mampu menghentikannya bila ia menghendaki demikian; 2. Professional gamblers, atau penjudi profesional adalah orang yang memilih perjudian sebagai mata pencahariannya. 3.
Neurotic gamblers, atau penjudi yang neurotis adalah orang melakukan perjudian karena dorongan alam bawah sadar atau karena dorongan kebutuhan yang tidak disadari, sehingga mengalami kesulitan untuk menghentikan kebiasaan berjudi.
B. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy) Memahami kebijakan kriminal dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pemahaman sistem peradilan yang berkaitan dengan sistem penegakan hukum. Maksudnya, bahwa penegakan hukum pidana antara lain dapat diwujudkan melalui sistem peradilan pidana yang sesuai dengan kebijakan kriminal. 245 Kebijakan kriminal (criminal policy) dapat diartikan sebagai upaya penanggulangan kejahatan dalam arti luas yang mencakup Sistem Peradilan Pidana. Sedangkan dalam arti yang sempit, penanggulangan kejahatan hanya sebagai usaha-
244
hal. 31
245
B. W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1991), Muladi, Opcit, hal. 150.
Universitas Sumatera Utara
usaha pencegahan kejahatan tanpa menggunakan Hukum Pidana. Kegiatan tersebut dapat dicontohkan dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan sekitar warga, misalnya kegiatan yang mengatasnamakan kegiatan sadar hukum yang ditujukan bagi para kaum muda agar tidak terjerumus ke dalam lingkungan dan kelakuan yang melanggar hukum. Sistem Peradilan Pidana mencakup kegiatan bahkan sebelum suatu kejahatan terjadi. Dengan demikian, kebijakan kriminal yang dimaksud tersebut memusatkan diri pada kegiatan pencegahan (preventie) kejahatan dan pada kegiatan penegakan hukum. 246 Sementara itu, Soedarto mengemukakan tiga arti kebijakan kriminal (criminal policy), yaitu: (a) dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; (b) dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; (c) dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. (d) Pada kesempatan yang lain beliau mengemukakan definisi singkat, bahwa kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. 247
246 247
Ibid, hal. 152 Barda Nawawi Arief. Opcit, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam kategori berikut: 248 1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan, dengan target masyarakat umum. 2. Secondary prevention; targetnya adalah calon-calon pelaku. 3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan yang integral, dalam arti: (a) Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; (b) Ada keterpaduan (integralitas) antar penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non-penal” 249 . Penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” tentu saja dilakukan melalui serangkaian kebijakan hukum pidana (penal policy). Dengan demikian usaha dan kebijakan untuk membuat hokum pidana yang baik dan berdayaguna atau politik hukum pidana (penal policy) merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy). Penanggulangan kejahatan (criminal policy), menurut G. Peter Hoefnagels, dapat ditempuh dengan beberapa metode: penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Dari
248 249
Muladi, Op.Cit, hal. 156. Ibid, hal. 23-24.
Universitas Sumatera Utara
ketiga jenis penanggulangan di atas, yang pertama dikategorikan dalam jalur penal (hukum pidana), sedangkan dua jenis terakhir dapat dikelompokkan dalam jalur non penal (non pidana). 250 Terhadap ke-2 (dua) sarana tersebut, Muladi berpendapat: 251 Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal di samping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan sarana “non penal” melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi, dan sebagainya.
1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Berbicara tentang kebijakan kriminal (criminal policy) yang mencakup pendekatan penal melalui sistem peradilan pidana, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). 252 Sarana kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka ”kebijakan hukum pidana” (”penal policy”) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa social welfare dan social defence. 253
250
Mahmud Mulyadi, Op.Cit. hal. 105. Muladi, Opcit. hal. 182. 252 Ibid, hal. 201 253 Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 77. 251
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan hukum pidana, adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undangundang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Lebih lanjut dikatakan, di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat. 254 Perumusan kebijakan kriminal tidak boleh lepas dari kebijakan sosial, perlu diperhatikan juga kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana, sekaligus sebagai tolok ukur efektivitas Sistem Peradilan Pidana itu sendiri, yang terdiri dari: 255 a. Perundang-undangan pidana yang lemah dan belum tunduk pada suatu pola perencanaan
yang
baku,
baik
dalam
perumusan
tindak
pidana,
pertanggungjawaban pidana maupun sanksi yang diancamkan. Kelemahan
254
Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 4. Muladi, Opcit, hal. 98-99.
255
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan tersebut disamping mempersulit penegakan hukum juga dapat menimbulkan kesan adanya kriminalisasi yang berlebihan. Sifat Sistem Peradilan Pidana sebagai sistem yang tertib menjadi terganggu, baik dalam kaitannya dengan para penegak hukum maupun pelaku tindak pidana serta calon pelaku tindak pidana. b. Clearance rate, yang sering terganggu dengan masih banyaknya kejahatan yang tidak dilaporkan dengan berbagai macam alasan. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, pelaku kejahatan yang berada di luar Sistem Peradilan Pidana (pelaku kejahatan yang tidak dilaporkan) lebih banyak daripada yang dilaporkan. c. Conviction rate, tingkat keberhasilan penuntutan masih rendah walaupun menyangkut perkara yang meresahkan masyarakat. Hal ini dapat mengurangi kewibawaan penegakan hukum. d. Speedy trial, kecepatan menangani perkara sering dikatakan mempengaruhi efektivitas tujuan pemidanaan. Dari segi tujuan pemidanaan, penyelesaian kasus yang cepat akan membawa efek pencegahan yang lebih baik. Selain kendala-kendala yang disebutkan di atas, lemahnya penegakan hukum yang diawali dari lemahnya kebijakan kriminal juga disebabkan oleh kinerja aparat penegak hukum, seperti kepolisian yang belum menunjukkan sikap yang profesional, dan integritas moral yang tinggi. Kondisi sarana dan prasarana hukum yang sangat diperlukan oleh aparat penegak hukum juga masih jauh dari memadai sehingga sangat mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum untuk berperan secara optimal dan sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Politik kriminal yang dilakukan dengan menggunakan sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan pelaksanaan pidana. Pendekatan dengan sarana penal harus terus menerus dilakukan melalui pelbagai usaha untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana, baik dari aspek legislasi (kriminalisasi, dekriminalisasi dan depenalisasi), perbaikan saranaprasarana sistem, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Secara sistemik, sistem peradilan pidana ini mencakup suatu jaringan sistem peradilan (dengan sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan) yang mendayagunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya. Hukum pidana dalam hal ini mencakup hukum pidana materiil, formil dan hukum pelaksanaan pidana. 256 Membicarakan masalah hukum pidana tidak lepas kaitannya dengan subjek yang dibicarakan oleh hukum pidana itu. Adapun yang menjadi subjek dari hukum pidana itu adalah manusia selaku anggota masyarakat. Manusia selaku subjek hukum yang pendukung hak dan kewajiban di dalam menjalankan aktivitas yang berhubungan dengan masyarakat tidak jarang menyimpang dari norma yang ada. Adapun penyimpangan itu berupa tingkah laku yang dapat digolongkan dalam pelanggaran dan kejahatan yang sebetulnya dapat membahayakan keselamatan diri sendiri, masyarakat menjadi resah, aktivitas hubungannya menjadi terganggu, yang
256
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002) hal. 156 dan hal. 182.
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan di dalam masyarakat tersebut sudah tidak terdapat lagi ketertiban dan ketentraman. Hukum pidana dalam usahanya untuk mencapai tujuannya itu tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (straaft) tetapi disamping itu juga menggunakan tindakan-tindakan (maatregel). Jadi disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan ini pun merupakan suatu sanksi juga, walaupun tidak ada pembalasan padanya. Tujuan pemidanaan pada umumnya adalah : 257 1. Mempengaruhi perikelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi, biasanya disebut prevensi spesial. 2. Mempengaruhi perikelakuan anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum. 3. Mendatangkan suasana damai atau penyelesaian konflik. 4.
Pembalasan atau pengimbalan dari kesalahan si pembuat. Sementara, menurut Barda Nawawi Arief, tujuan pemidanaan berupa
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat merupakan induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori mengenai tujuan pidana (pemidanaan). Lebih lanjut Arief mengemukakan secara ringkas tujuan pemidanaan yang mengandung dua aspek pokok, yaitu : aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana, dan aspek perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. Aspek pokok pertama meliputi tujuan-tujuan: mencegah, mengurangi/mengendalikan tindak 257
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hal. 187.
Universitas Sumatera Utara
pidana, dan memulihkan keseimbangan masyarakat yang perwujudannya antara lain: menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau kerusakan yang timbul, memperkuat nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aspek pokok yang kedua bertujuan memperbaiki si pelaku, seperti: melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku, mempengaruhi tingkah laku si pelaku untuk tertib dan patuh pada hukum, melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang di luar hukum. 258 Masih berkaitan dengan tujuan pemidanaan berupa perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, Roeslan Saleh mengemukakan ada tiga tujuan yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana, yaitu koreksi, resosialisasi, dan pengayoman kehidupan masyarakat. Koreksi artinya bahwa terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan ini sebagai peringatan bahwa perbuatan seperti itu tidak boleh terulang lagi. Resosialisasi adalah usaha yang bertujuan untuk menjadikan terpidana dapat hidup
dalam masyarakat tanpa
melakukan kejahatan lagi ketika ia telah selesai menjalani hukumannya. Dengan demikian tujuan pemidanaan di sini adalah pengayoman kehidupan masyarakat berupa pengenaan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan kejahatan.259 Kebijakan hukum dengan sarana ”penal” (pidana) merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahap yakni: 260 a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif; 258
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 167. Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia. (Bandung: Sinar Grafika Baru, 1984), hal. 5. 260 Barda Nawawi Arief, Opcit, hal.78-79. 259
Universitas Sumatera Utara
b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif; c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif. Tahapan formulasi dalam proses penanggulangan kejahatan memberikan tanggung jawab kepada aparat pembuat hukum (aparat legislatif) menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana disusun dalam satu kesatuan sistem hukum pidana (kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu. Walaupun ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasi/legislasi (legislative policy khususnya penal policy) dengan law enforcement policy dan criminal policy, namun dilihat secara konseptual/teoritis dan dari sudut realitas, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan memperbaiki/memperbaharui sarana undang-undang (law reform termasuk criminal law/penal reform). Namun evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perundang-undangan yang ada. Evaluasi terhadap kebijakan formulasi mencakup tiga masalah pokok dalam hukum pidana yaitu masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan. 261 2. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) Pendekatan dengan cara non penal mencakup area pencegahan kejahatan (crime prevention) yang sangat luas dan mencakup baik kebijakan maupun praktek. Sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan
261
Ibid, hal. 214.-215.
Universitas Sumatera Utara
kode etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi. Kebijakan tersebut bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain sesuai dengan latar belakang kultural, politik dan intelektual yang ada pada masing-masing masyarakat. Penanggulangan non-penal, baik dengan pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) maupun mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media) sebenarnya mempunyai peranan strategis sebagai preventif untuk mencegah orang berbuat judi. Karena sifatnya yang mencegah, maka penanggulangan non-penal mesti memperhatikan berbagai aspek sosial-psikologis yang menjadi faktor kondusif penyebab orang melakukan judi. Kongres ke-8 PP tahun 1990 di Havana, Cuba, mengidentifikasikan penyebab kejahatan ini lebih pada faktor yang tidak bisa diatasi semata-mata oleh tindakan penal (pidana). Dalam kongres tersebut dinyatakan: “Convinced that crime prevention and criminal justice in the context of development should be oriented towards the observance of the principles contained in the Caracas declaration, the Milan Plan of Action, The Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order and other relevan resolutions and recommendations of Seventh United Nations congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.” 262 Kongres PBB ke-8 menekankan pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu faktor penting dalam pencapaian strategi 262
Eight United Nations Congress (1991). On The Prevention of Crime and The Treatment of offenders. (New York: Department of Economic and Social Affairs, UN), hal. 9, seperti yang dkutip oleh Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 53
Universitas Sumatera Utara
pencegahan kejahatan dan peradilan pidana. Oleh karena aspek-aspek sosial dalam konteks pembangunan ini harus mendapat prioritas yang utama. Kongres ke-8 juga berhasil mengidentifikasi berbagai aspek sosial yang diperkirakan sebagai faktorfaktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan yaitu: 263 1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok; 2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial; 3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; 6. Menurunnya atau mundurnya kaul lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga; 7. Kesulitan-kesulitan
bagi
orang-orang
dalam
masyarakat
modern
untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya; 263
Ibid, hal. 56-57.
Universitas Sumatera Utara
8. Penyalahgunaan alkohol, obat bisu dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas; 9. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 10. Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikapsikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikapsikap tidak toleran. Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itu, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat. 264 Salah satu bentuk pencegahan non-penal adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat akan kejahatan perjudian, akibat-akibat dan konsekuensinya. Sampai di sini, kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan masyarakat beragama (religious society) bisa menjadi alat yang tepat, dan dalam keberagamaan, seseorang cenderung memasuki kelompok, organisasi dan tarikat tertentu, meskipun tidak selalu mereka terikat secara ketat dan aktif. Namun, secara umum setiap orang mempunyai anutan akan pandangan keagamaan kepada kelompok tertentu. Loyalitas pada kelompok sosial-keagamaan bahkan tidak jarang lebih kuat dan besar dari pada kepada institusi struktural lain 264
Ibid, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
(semisal negara), inilah yang bisa dijadikan media pemberian pemahaman tentang perjudian. 265 Umumnya strategi preventif terdiri atas tiga kategori yang mendasarkan diri pada “public health model” yakni; (a) pencegahan kejahatan primer (primary prevention); (b) pencegahan sekunder (secondary prevention); dan (c) dan pencegahan tersier (tertiary prevention). 266 Pencegahan primer adalah strategi yang dilakukan melalui kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain yang diorientasikan untuk mempengaruhi situasi kriminogenik dan akar kejahatan (pre-offence intervention), seperti kebijakan di bidang pendidikan, perumahan, lapangan kerja, rekreasi, dan sebagainya. Sasaran utama dari model kebijakan ini adalah masyarakat luas. Pencegahan sekunder dapat ditemukan di dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya bersifat praktis, seperti yang biasa dapat disaksikan pada peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Sasarannya ditujukan kepada mereka yang dianggap cenderung melanggar. Sedangkan pencegahan tersier terutama diarahkan pada residivisme (oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana) dan sasaran utamanya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan. 267 Menurut Neil C. Chamelin dalam Mahmud Mulyadi 268
bahwa kejahatan
berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu
265
Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 65. Muladi, 2002. Opcit, hal. 184. 267 Ibid, hal. 185. 268 Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 58. 266
Universitas Sumatera Utara
sendiri. Oleh karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat (community crime prevention). Program-program yang dapat dilakukan oleh community crime prevention antara lain 1) pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, (2) pembinaan tenaga kerja, 3) pendidikan; 4) rekreasi; 5) pembinaan mental melalui agama, dan 6) desain tata ruang fisik kota. Di lain pihak dibedakan pula antara “pencegahan sosial” (social crime prevention) yang diarahkan pada akar kejahatan, “pencegahan situasional” (situational crime prevention), yang diarahkan pada pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan, dan “pencegahan masyarakat” (community based prevention), yakni tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan cara meningkatkan kemampuan mereka untuk menggunakan kontrol sosial. Pelbagai pendekatan tersebut bukan merupakan pemisahan yang tegas, namun saling mengisi dan berkaitan satu sama lain. 269 C. Kepolisian dalam Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Berdasarkan waktu dan tempat melihat perkembangan istilah “polisi” mempunyai arti yang berbeda-beda yang cenderung dipengaruhi oleh penggunaan bahasa dan kebiasaan dari suatu negara, seperti di Inggris menggunakan istilah “police”, di Jerman “polizei”, di Belanda “politie” dan di Amerika Serikat dipakai istilah “sheriff”. Istilah “Sheriff” ini sebenarnya merupakan bangunan sosial Inggris,
269
Muladi, 2002. Opcit, hal. 184.
Universitas Sumatera Utara
selain itu di Inggris sendiri dikenal adanya istilah “constable” yang mengandung arti tertentu bagi pengertian “polisi”, yaitu : pertama, sebutan untuk pangkat terendah di kalangan kepolisian (police constable); dan kedua, berarti Kantor Polisi (police constable). Di Inggris
polisi merupakan pemeliharaan ketertiban umum dan
perlindungan orang-orang serta miliknya dari keadaan yang menurut perkiraan dapat merupakan suatu bahaya atau gangguan umum dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. 270 Pada awalnya istilah polisi berasal dari bahasa Yunani yaitu “politeia” yang berarti seluruh pemerintah negara kota. Seperti diketahui bahwa pada abad sebelum Masehi negara Yunani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “polis” dimana pada jaman itu istilah “polis” memiliki arti yang sangat luas, yakni pemerintahan yang meliputi seluruh pemerintahan kota termasuk urusan keagamaan atau penyembuhan terhadap dewa-dewa. Baru kemudian setelah lahirnya agama Nasrani urusan keagamaan dipisahkan, sehingga arti “polis” menjadi seluruh pemerintah kota dikurangi agama 271 Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya “Politie Overzee” istilah “politie” didefenisikan, meliputi organ-organ pemerintah yang berwenang dan berkewajiban untuk mengusahakan pengawasan dan pemaksaan jika diperlukan, agar yang diperintah untuk berbuat atau tidak berbuat menurut kewajiban masing-masing, yang selengkapnya sebagai berikut :
270 271
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta : PTIK/Gramedia, 1994), hal. 15. Ibid, hal. 15-16.
Universitas Sumatera Utara
Onder politie vallen de regeneeringorganen, diew bevoegd en gehouden zijn om door toexicht of zo nodig door dwang the bewerken, dat de geregeerden hunnerzijds doen of laten wat hun pliicht is te doen of te laten en welke bestaat uit: a. het afwerend toexien op naleving door de geregeerden van hun publieken plicht;. b. het actieve speuren naar niet naleving door de geregeerden van hun publieken plich;. c. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plicht krachtens rechtelijke tusschenkomst; d. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plichthetwelk kan gechieden zonder rechterlijke tusschenkomst (gereede dwang). 272 Definisi “politie” menurut Van Vollenhoven tersebut dapat dipahami, bahwa “politie” mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan perintah. Fungsi dijalankan atas kewenangan dan kewajiban untuk mengadakan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara memerintah untuk melaksanakan kewajiban umum, mencari secara aktif perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban umum, memaksa yang diperintah untuk melakukan kewajiban umum dengan perantara pengadilan, dan memaksa yang diperintah untuk melaksanakan kewajiban umum tanpa perantaraan pengadilan. 273 Van Vollenhoven memasukkan “polisi” (politie) ke dalam salah satu unsur pemerintahan dalam arti luas, yakni badan pelaksana (executive-bestuur), badan perundang-undangan, badan peradilan dan badan kepolisian. Badan pemerintahan
272 273
Van Vollenhoven dalam Memet Tanumidjaja dikutip Momo Kelana, Op.Cit, hal. 17. Sadjijono, Opcit¸ hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
termasuk di dalamnya kepolisian bertugas membuat dan mempertahankan hukum, dengan kata lain menjaga ketertiban dan ketentraman (orde en rust) dan menyelenggarakan kepentingan umum. Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa “Police is a branch of the government which is charged with the preservation of public order and tranquility, the promotion of the public health, safety and morals and the prevention, detection, and punishment of crimes”. 274 Arti kepolisian di sini ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai bagian dari pemerintahan, yakni memelihara keamanan, ketertiban, ketentraman masyarakat, mencegah dan menindak pelaku kejahatan. Sesuai dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia, bahwa Polisi diartikan: 1)Sebagai badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (seperti menangkap orang yang melanggar Undang-Undang, dan sebagainya), dan 2)Anggota dari badan pemerintahan tersebut di atas (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dan sebagainya). 275 Berdasarkan pengertian dari Kamus Umum Bahasa Indonesia tersebut ditegaskan bahwa kepolisian sebagai badan pemerintah yang diberi tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian fungsi kepolisian tetap ditonjolkan apa yang harus dijalankan oleh suatu lembaga pemerintah. Terjemahan Momo Kelana yang diambil dari Polizeirecht dikatakan bahwa istilah polisi mempunyai dua arti, yakni polisi dalam arti formal yang mencakup
274 275
Ibid, hal. 80 W.J.S. Poerwadarminta, Opcit, hal. 763.
Universitas Sumatera Utara
penjelasan tentang organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian, dan kedua dalam arti materiil, yakni memberikan jawaban-jawaban terhadap persoalanpersoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan keamanan dan ketertiban, baik dalam rangka kewenangan kepolisian umum melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 276 Di Indonesia, polisi merupakan badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang-orang yang melanggar undangundang) atau dapat pula diartikan sebagai anggota dari badan pemerintahan (pegawai negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum). Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002, disebutkan tentang pengertian polisi yaitu kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 277 Istilah kepolisian di dalam Undang-Undang tersebut mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi. Fungsi kepolisian adalah sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan 276
Momo Kelana, Hukum Kepolisian (Perkembangan di Indonesia) Suatu Studi Histories Komparatif), (Jakarta: PTIK, 1972), hal. 22. 277 UU RI No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, (Bandung, Citra Umbara, 2010. hal. 3, 5.
Universitas Sumatera Utara
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberi kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat ditarik pemahaman, bahwa berbicara kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan lembaga kepolisian. Pemberian makna dari kepolisian ini dipengaruhi dari konsep fungsi kepolisian yang diembannya dan dirumuskan dalam tugas dan wewenangnya. 278 Berdasarkan uraian di atas, maka istilah “polisi” dan “kepolisian” dapat dimaknai sebagai berikut : Istilah “polisi” adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara. Sedangkan istilah “kepolisian” sebagai organ dan fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam ketatanegaraan yang oleh Undang-Undang diberi tugas dan wewenang dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan kepolisian. Sebagai fungsi menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang, yakni fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif melalui pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan fungsi represif dalam rangka penegakan hukum. Dikaitkan dengan “tugas” intinya menunjuk kepada tugas yang secara universal untuk menjamin ditaatinya norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Semua itu dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat menjamin kelangsungan, kelestarian masyarakat itu sendiri. 279
278 279
Sadjijono, Opcit, 83. Ibid, hal. 83-84.
Universitas Sumatera Utara
Kepolisian menjalankan tugasnya harus mengacu kepada tugas pokok yang telah ditetapkan. Mengenai tugas pokok Polri menurut Pasal 13 dan 14 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002. Pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan tugas pokok Polri adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b.menegakkan hukum; c. memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 280 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut: 281 Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. Memelihara ketertiban dan f. Menjamin keamanan umum; g. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; h. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; i. Menyelenggarakan identifikasi Kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; j. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
280 281
UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Opcit, hal. 8 Ibid, hal. 8-9
Universitas Sumatera Utara
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; k. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; l. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian; serta m. Melakukan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sikap
utama
mengembangkan
yang
individu
perlu dan
ditonjolkan
membangun
untuk
melaksanakan
kelompok
adalah
tugas,
keteladanan.
Keteladanan Polri dalam kinerjanya mencakup: keteladanan dalam melaksanakan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keteladanan dalam memberikan semangat dalam melaksanakan sistem keamanan swakarsa, keteladanan dalam memberikan dorongan kerja, keteladanan dalam kewaspadaan terhadap lingkungan, keteladanan dalam “Ambeg Parama Arta”, keteladanan dalam kesetiaan pada negara, pimpinan dan tugas, keteladanan dalam berhemat, keteladanan dalam keterusterangan dan keteladanan dalam meregenerasi dan menyiapkan anggota maju. 282 Upaya pengembangan individu anggota Polri dapat ditempuh dengan jalan : memberikan pemahaman mengenai pentingnya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas, menjelaskan sasaran yang hendak dicapai serta harapan atau peran serta Polri dalam mensukseskan sasaran yang hendak dicapai, memahamkan arti penting nilai keadilan, melaksanakan pengawasan, berperan serta dalam memecahkan masalah. Dalam membangun kelompok mencakup hal-hal : peran serta Polri mengatasi perpecahan kelompok, perhatian pada kesejahteraan anggota, perhatian pada kelakuan anggota, memperhatikan sarana membangun. Akhirnya, 282
Djunaidi Maskat H, Kepemimpinan Efektif di lingkungan Polri pada tingkat Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, (Bandung: Sanyata Sumanasa Wira Sespin Polri, 1993), hal. 252.
Universitas Sumatera Utara
secara garis besar pelaksanaan tugas mencakup : bertanggung jawab pada pelaksanaan tugasnya, menetapkan sasaran secara jelas, memastikan tugas yang diberikan dan akhirnya mengevaluasi hasil kinerja Polri. 283 Hasil kerja polisi dapat dinilai dari kebijakan yang dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana, yang merupakan salah satu tugas pokok polisi yaitu menjaga keamanan dan ketertiban. Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan sub sistem dari sistem Kebijakan Sosial (Social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat” (social defence). Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain dengan “Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence. Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy). 284
283 284
Ibid, hal. 254-258. Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut. 285 Social Welfare Policy
GOAL SW/SD
Social Policy
Social Defence Policy
Penal
-Formulasi -Aplikasi -Eksekusi
Criminal Policy Non Penal Bagan 1. Bagan Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana 286 Tujuan social welfare (SW) dan social defence (SD) oleh Barda Nawawi Arief merupakan aspek immateriil terutama nilai kepercayaan, kebenaran atau kejujuran atau keadilan. Dalam pelaksanaan tugas Polri dalam masyarakat terutama 285
Ibid, hal. 78. Edi Suroso, Membangun Citra Polisi Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu – Lintas Di Polres Batang. (Semarang : Universitas Diponegoro, 2008), hal. 35. 286
Universitas Sumatera Utara
sebagai penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka skema yang dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated approach) dengan memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan antara penal policy dan non penal policy. Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan masyarakat, Soedarto menegaskan bahwa upaya “minta bantuan” kepada hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya atau harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi subsider artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Akan tetapi kalau toh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan masyarakat” (sebagai planning for social defence). Rencana perlindungan masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for national development (rencana pembangunan nasional). 287 Dalam upaya kebijakan penal ini, polisi mempunyai wewenang sebagai penyelidik dan penyidik. Kewenangan Polri sebagai penyelidik dan penyidik, telah diatur sebagaimana terperinci dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
287
Soedarto, Opcit, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
1. Penyelidikan Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini”. 288 Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan adalah berdasarkan Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. 289 Sebagai penyelidik, maka berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Polri berwenang: 290 1. Karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Mencari keterangan dan barang bukti; c. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; d. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; 288
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Dan Komentar, Politeia, Bogor, 1997, hal. 4. 289 Ibid, hal. 4. 290 Ibid, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat; c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. 2. Penyidikan Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa: Penyidik adalah Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 291 Pengertian penyidikan diatur dalam Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. 292 Penyidikan merupakan tindak lanjut dari penyelidikan. Sebagai penyidik, pejabat Polri memiliki beberapa kewenangan yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan sebagai berikut: 293 Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
291
R. Soesilo, Opcit, hal. 3. Ibid, hal. 3 293 Ibid, hal. 3 292
Universitas Sumatera Utara
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret surat; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Meskipun hukum pidana digunakan sebagai ultimum remidium atau alat terakhir apabila bidang hukum yang lain tidak dapat mengatasinya, tetapi harus disadari
bahwa
hukum
pidana
memiliki
keterbatasan
kemampuan
dalam
menanggulangi kejahatan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut: 294 1. sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana; 2. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosiopsikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya); 3. penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif”; 294
Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 46-47.
Universitas Sumatera Utara
4. sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif; sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional; 5. keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif; 6. bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan memerlukan “biaya tinggi”. Keterbatasan-keterbatasan hukum pidana inilah yang tampaknya dialami oleh Polri yang menggunakan hukum pidana sebagai landasan kerjanya. Sebab kejahatan yang kompleks ini terlambat diantisipasi oleh Polri sehingga ketika terjadi kasus yang berdimensi baru mereka tidak secara tanggap menanganinya. Untuk itu, pencegahan kejahatan tidak melulu harus menggunakan hukum pidana. Agar penegakan hukum kejahatan perjudian ini dapat dilakukan secara menyeluruh maka tidak hanya pendekatan yuridis atau penal yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan non-penal. Upaya penanggulangan kejahatan perjudian selama ini telah dilakukan oleh Polri melalui pendekatan non penal. Pendekatan ini dilakukan mengingat faktor korelatif terjadinya kejahatan perjudian erat kaitannya dengan persoalan kehidupan sosial dan budaya. Faktor korelatif kejahatan perjudian ini berada di luar wilayah kajian hukum pidana. Langkah non penal policy yang dilakukan Polri adalah melakukan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan perjudian. 295
295
Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 138.
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan terjadinya kejahatan sebagai pola penanggulangan kejahatan kekerasan pada dasarnya adalah upaya untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum. Pola pencegahan ini di kepolisian menyangkut dua fungsi utamanya, yaitu fungsi preventif dan fungsi pre-emtif. Fungsi preventif dilakukan dengan upaya polisi untuk mencegah bertemunya unsur niat (N) dan unsur kesempatan (K) sebagai rumus terjadinya kejahatan (N+K). Dengan melakukan kegiatan-kegiatan berupa mengatur, menjaga, mengawal dan patroli (Turjawali) serta razia-razia. Usaha preventif ini dilaksanakan oleh fungsi samapta. Fungsi pre-emtif bersifat bimbingan, penyuluhan dan pembinaan yang mengarah pada pembentukan masyarakat yang patuh dan taat hukum, serta mampu menolak setiap bentuk kejahatan khususnya perjudian. Dengan kata lain menciptakan kondisi masyarakat yang mempunyai daya tangkal tinggi terhadap semua jenis kejahatan. Pre-emtif dilaksanakan oleh fungsi bimbingan masyarakat. 296
296
Ibid, hal. 138-139.
Universitas Sumatera Utara