BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TAWURAN ANTAR PELAJAR A. Teori-teori Kriminologi Tentang Faktor Penyebab Kejahatan Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Mengapa kejahatan terjadi dan bagaimana memberantasnya, merupakan persoalan yang tiada hentinya diperdebatkan. Kejahatan merupakan problema manusia. Oleh karena itu dimana ada manusia disana pasti ada kejahatan. “Crime is eternal – as eternal as society”, demikian tulis Frank Tanembaum.54 Istilah kriminologi digunakan baik dalam pengertian umum maupun dalam pengertian khusus. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, kriminologi adalah studi yang meliputi segenap masalah yang perlu, bagi pengertian dan pencegahan kejahatan dan untuk mengembangkan ilmu hukum bersama dengan penghukuman dan perlakuan terhadap penjahat dan delinquent. Dalam pengertian yang lebih sempit, kriminologi adalah studi yang berusaha menerangkan kejahatan, mengetahui sebab mereka melakukan kejahatan serta bagaimana cara melakukan penanggulangan terhadap kejahatan.55 Masalah kejahatan bukanlah hal baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan, tetapi modusnya dinilai sama. Semakin lama, kejahatan di Ibu kota dan kota-kota besar lainnya semakin meningkat bahkan di beberapa daerah dan sampai ke kota-kota kecil. Dikhawatirkan kemungkinan akan menjalar lebih jauh
54 55
Made Darma Weda, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996, hal. 11. Abintoro Prakoso, Op. cit., hal, 93.
27 Universitas Sumatera Utara
28
lagi ke desa-desa. Desa adalah tumpuan harapan dan sumber budaya bangsa, disana terdapat gambaran kehidupan yang aman, tenteram lahir dan batin.56 Kemajuan dalam kehidupan di masyarakat modern pun menambah kemajemukan kepentingan dan memperbanyak kemungkinan timbulnya konflik kepentingan, serta tindak pelanggaran/kejahatan oleh warganya. 57 Edwin Lemert mengungkapkan aspek-aspek prosesual dari perilaku menyimpang (kejahatan), dengan menunujukan bahwa karier pelaku penyimpangan sering kali mengalami perubahan-perubahan penting sesuai dengan perjalanan waktu. Dalam teori Lemert, tindakan-tindakan pelaku penyimpangan sering kali merupakan langkah “ambil risiko”, yang memperlihatkan sifat coba-coba untuk melakukan pola-pola perilaku yang dilarang.58 Dalam kriminologi, dikenal sejumlah teori yang dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan atau penyebab kejahatan. Teori-teori ini pada hakekatnya berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat dan kejahatan. Dalam menjelaskan hal-hal tersebut masing-masing teori menyoroti dari berbagai perspektif yang berbeda-beda. Perbedaan bukan hanya terletak paa subyek penelitian, akan tetapi juga pada fokus (sasaran) penelitian. Setiap teori bagaimana pun bentuknya, selalu mempunyai kelemahan atau kekurangan. Munculnya suatu teori selalu „dipengaruhi‟ teori lain, dan teori yang muncul
56
Nin ik Widiyanti, Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 5. 57 Ibid., hal. 4. 58 Ibid., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
29
kemudian selalu bertujuan untuk melengkapi kekurangan dari teori yang terdahulu.59 Dalam perspektif kriminologi ada beberapa aliran Etiologi Kriminal mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan, antara lain: a. Mazhab Italia atau Mazhab Antropologi C. Lombroso (1835-1909) merupakan tokoh aliran ini dengan buah pekerjaannya yang paling penting ialah “L’uomo Delinquente” (1876). Menurut Lombroso manusia yang pertama adalah penjahat dari semenjak lahirnnya. Penjahat umunya dipandang dari segi antropologi merupakan suatu jenis manusia tersendiri (genus home delinguenes), seperti halnya dengan negro. Sifat batin sejak lahir dapat dikenal dari adanya stigma-stigma lahir, suatu tipe penjahat yang dapat dikenal. Ia juga berpendapat bahwa penjahat merupakan gejala atavistis, artinya ia dengan sekonyong-sekonyong dapat kembali menerima sifat-sifat yang sudah tidak dimiliki nenek moyangnya yang terdekat tapi dimiliki nenek moyangnya yang lebih jauh (yang dinamakan pewarisan sifat secara jauh kembali).60 Lambroso juga mengemukakan ciri-ciri yang terlihat pada penjahat, dipandang dari sudut antropologi mempunyai tanda-tanda tertentu, umpamanya isi tengkoraknya (pencuri) kurang bila dibandingkan dengan orang lain dan terdapat kelainan-kelainan pada tengkoraknya. Dalam otaknya terdapat keganjilan yang seakan-akan mengingatkan kepada otak-otak hewan, biar pun tidak dapat ditunjukkan adanya kelainan-kelainan penjahat yang khusus. Roman mukanya 59 60
Indah Sri Utari, Op. cit., hal. 87. H.M. Ridwan, Ediwarman, Azas-Azas Kriminologi, USU Press, Medan, 1994, hal.65.
Universitas Sumatera Utara
30
juga lain daripada orang biasa, tulang rahang lebar, muka menceng, tulang dahi melengkung ke belakang, dll.61 b. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan Aliran ini semula berkembang di negara Perancis dengan tokohnya Lamark, Tarde, dan Manourier serta A. Lacassagne. Menurut aliran ini seseorang melakukan
kejahatan
karena
dipengaruhi
oleh
faktor
lingkungan
di
sekotarnya/lingkungan ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta kebudayaan termaksuk perkembangan dengan dunia luar serta penemuan-penemuan teknologi baru. Oleh karena itu, menurut aliran lingkungan perbaikan lingkungan sangatlah penting bila ingin mengurangi maupun memberanta timbulnya kejahatan di dalam masyarakat.62 c. Mazhab Biososiologi Aliran ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran Antropologi dan aliran Sosiologi, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap kejahatan itu timbul karena unsur individu + unsur lingkungan, diartikan menurut kata-katanya, adalah benar, bila ditekankan pada perkataan tiap-tiap. Suatu kejahatan tertentu, adalah hasil dari dua unsur tersebut. Baiknya ialah bahwa rumus tersebut berlaku untuk semua perbuatan manusia, jahat ataupun tidak. Pada dasarnya berarti tidak lain daripada bahwa manusia itu tidak ada yang sama, dalam hal apa saja. Oleh karena itu orang satu sama lain berbeda pula.63 d. Mazhab Spritualisme
61
Ibid., hal.66. Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, hal.26-27. 63 W.A.Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana, Jakarta, 1995, hal. 131. 62
Universitas Sumatera Utara
31
Tokoh dari aliran ini adalah F.A.K Krauss dan M. De. Baets. Menurut para tokoh aliran tersebut bahwa tidak beragamanya seseorang (tidak termaksuk sebuah agama) mengakibatkan salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan, dalam arti seseorang menjadi jahat karena tidak beragama, atau kurang beragama, jadi terdapat hukum sebab akibat dalam aliran ini.64 Frank P.Williams III dan marilyn McShane mengelompokkan teori kriminologi dalam tiga kelompok besar yaitu65: 1. Teori-teori yang bersifat abstrak dan disebut sebagai macrotheories. Macrotheories are broad in their scope and perhaps are best characterized are those which explain social structure and its effects. Termaksuk dalam kelompok teori ini adalah : teori anatomi dan konflik. 2. Teori yang bersifat lebih konkrit yang disebut sebagai microtheories. Microtheories ini berusaha menjelaskan bagaimana seseorang menjadi kriminal (etiology). Termaksuk dalam kategori ini adalah Teori sosial kontrol dan Teori “Social Learning”. 3. Yang terakhir adalah teori-teori yang tidak termaksuk dalam kedua kelompok tersebut di atas dan disebut sebagai Bridging theories. Bridging theories attempt to tell us both how social structure comes about and how people become criminal. Termaksuk dalm kelompok ini adalah teori subkultur dan “differential oppotunity theory”. Selain Pengelompokan tersebut, Frank P. Williams III dan Marilyn McShane mengklasifikasikan pula teori-teori kriminologi dalam tiga bagian yaitu66: 1. Teori-teori klasik dan positif Teori-teori klasik memfokus pada : a) Legal status b) Hak asasi c) Struktur yang sah Sedangkan teori-teori positif lebih memfokus pada : a) Patologi kriminal b) Pencegahan kejahatan 64
Ediwarman, Op. cit., hal.28. Made Darma Weda, Op. cit., hal 26 - 27 66 Indah Sri Utari, Op. cit., hal 88 – 90. 65
Universitas Sumatera Utara
32
c) Penanggulangan kejahatan 2. Teori-teori Struktur dan Proses Teori-teori struktural memfokus pada “the way society is organized and its effect on behavior” (atau Struktur-struktur sosial dan efeknya terhadap tingkah laku individu). Sedangkan teori-teori yang memfokus pada proses, berusaha menjelaskan bagaimana seseorang menjadi penjahat. 3. Teori-teori konsensus dan konflik Teori-teori konsensus berdasar pada asumsi bahwa dalam masyarakat terhadap konsensus atau persetujuan, misalnya nilai-nilai yang bersifat umum, yang telah disepakati bersama. Sedangkan teori-teori konflik berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat sedikit konsensus dan lebih banyak memancing konflik Selain itu, sebagai perbandingan John Hagan mengklasifikasikan teoriteori kriminologi menjadi67: 1.
2.
3.
Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan Teori Kontrol Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini mebahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian. Teori-teori Kultur, status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, Teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal/hidup. Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.
Selain itu terdapat berbagai perspektif yang berbeda-beda antara satu teori dengan teori yang lainnya sehingga sulit untuk membandingkan antara satu teori dengan yang lainnya. Teori-teori tersebut adalah: 1. Teori Asosiasi Differensial Teori assosiasi diferensial dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland, Sutherland mengemukakan teorinya dalam dua versi. Versi pertama, Sutherland memfokuskan pada konflik budaya dan disorganisasi serta asosiasi diferensial. Hal ini berarti bahwa hanya kelompok pergaulan dengan penjahat akan 67
Ibid., hal 88 – 90.
Universitas Sumatera Utara
33
menyebabkan perilaku kriminal. Tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dengan orang lain. Versi yang kedua, Sutherland menekankan bahwa semua tingkatan untuk dipelajari. Dengan demikian tidak ada tingkah laku yang diturunkannya berdasarkan pewarisan dari orangtuanya. Dengan kata lain, pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.68 2. Teori Anomi Istilah anomie dipergunakan oleh dua tokoh yaitu Emile Durkheim dan Robert K. Merton. Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau “suicide” berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu: (1) deregulasi kebutuhan atau anomi; (2) regulasi yang keterlaluan atau fatalisme; (3) kurangnya integrasi struktural atau egoisme. Yang menarik dari konsep ini adalah kegunaan konsep dimaksud lebih lanjut untuk menjelaskan penyimpangan tingkah laku yang disebabkan kondisi ekonomi dalam masyarakat. Konsep ini dikembangkan oleh Merton (1938) terhadap penyimpangan tingkah laku yang terjadi pada masyarakat Amerika. Merton menjelaskan untuk mengejar sukses semaksimal mungkin umumnya diukur dari harta kekayaan yang dimiliki seseorang. Untuk mencapai sukses yang dimaksud, masyarakat sudah menetapkan cara-cara (means) tertentu yang diakui dan dibenarkan yang harus ditempuh seseorang. Oleh karena itu, terdapat individu yang berusaha mencapai cita-cita yang dimaksud melalui cara yang melanggar undang-undang (illegitimate means). Pada
68
Yusrizal, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, PT.Sofmedia, Jakarta, 2012, hal.182-183
Universitas Sumatera Utara
34
umunya, mereka yang melakukan cara yang bertentangan dengan undang-undang tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah.69 Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Teori anomi diklasifikasikan sebagai teori positivis. Berbeda dengan teori positivis yang lain, yang mencari “penyakit” didalam diri individu, teori anomi mencari “penyakit” di dalam struktur sosial. Karena teori ini menjelaskan adanya tekanan-tekanan pada masyarakat yang mendorong terjadinya deviance dan karena ketidakmampuan masyarakat untuk mengadaptasi aspirasi sebaik-baiknya
walaupun kesempatan yang sangat
terbatas, maka teori ini dikenal sebagai strain theory. 3. Teori Subkultural Ada 2 (dua) teori yang paling menonjol dalam teori ini, yaitu: a. Teori Delinquent Sub-Culture Teori ini dikemukakan Albert K. Cohen, dimana Cohen berpendapat siapa yang merasa lebih banyak kehilangan akan menderita frustasi status (status Frustation) bahwa akan terjadi tindakan yang melampaui batas, dianggap bermusuhan terhadap nilai-nilai kelas menengah. Untuk mengatasi frustasi status yang dialami para remaja kelas bawah, para remaja melakukan berbagai adaptasi terhadap nilai-nilai kelas menengah. Penyesuaian terhadap ukuran-ukuran kelas menengah akan menghasilkan penyesuaian bersama terhadap problema status. 70 b. Teori Differential Opportunity
69
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 1992, hal.34-35. 70 Indah Sri Utari, Op. cit., hal 100 – 102.
Universitas Sumatera Utara
35
Teori perbedaan kesempatan (differential opportunity) dikemukakan Richard A. Cloward dan Leyod E. Ohlin ini mengetengahkan beberapa postulat yakni: 1) Delikuensi adalah suatu aktivitas dengan tujuan yang pasti; meraih kekayaan melalui cara-cara yang tidak sah. 2) Sub kebudayaan delikuensi terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan-tujuan yang dikehendaki secara kultural di antara kaum muda golongan (lapisan) bawah dengan kesempatan-kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini melalui cara-cara yang tidak sah.71 4. Teori Culture Conflict Teori ini dikemukakan Thorsten Sellin dalam bukunya Culture Conflict and Crime (1938). Thorsten Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer dapat terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki masing-masing ketika hukum dari kelompok lain muncul kepermukaan daerah atau teritorial lain atau ketika orang-orang satu kelompok pindah pada kultur yang lain. Konflik sekunder timbul ketika sebuah kultur mengalami diferensiasi struktural maupun fungsional. Tipe konflik ini terjadi ketika kesederhanaan kultur pada masyarakat yang homogen berubah menjadi masyarakat yang kompleks. 72 5. Teori Label Howard S. Becker dan Edwin Lemert merupakan tokoh-tokoh penting dalam pengembangan teori label. Labelling theory memandang para kriminal nukan sebagai orang yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatan71
Soerjono Soekamto, Hengkie Liklikuwata, Mulyana W Kusuma, Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1981, hal. 69. 72 Indah Sri Utari, Op. cit., hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
36
perbuatan bersifat salah tetapi mereka adalah indvidu-individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas. Dipandang dari perspektif ini, perbuatan kriminal tidak sendirinya signifikan, justru reaksi sosial atasnyalah yang signifikan. Jadi, penyimpangan dan kontrol atasnya terlibat dalam suatu proses definisi sosial di mana tanggapan dari pihak lain terhadap tingkah laku seorang indvidu merupakan pengaruh kunci terhadap tingkah laku berikutnya dan juga ada pandangan individu pada diri mereka sendiri.73 6. Teori Konflik Teori konflik pada hakikatnya merupakan cabang dari teori label. Pemikiran teori konflik berakar dari teori-teori sosial Jerman seperti Hegel, Simmel, dan Weber.74 Bentuk teori konflik terbagi atas dua bagian yaitu: a. Konflik Konservatif Teori Konflik Konservatif menekankan pada dua hal yaitu kekuasaan dan penggunaannya. Teori ini beranggapan bahwa konflik muncul di antara kelompok-kelompok yang mencoba untuk menggunakan kontrol atas situasi atau kejadian. Dalam kaitannya dengan kejahatan, McShane mengemukakan bahwa angka kejahatan akan lebih besar bila digunakannya kontrol yang bersifat halus. Demikian juga penggunaan kekuasaan oleh controlling group lebih besar maka angka kejahatan akan lebih meningkat dibandingkan dengan kurang digunakannya kekuasaan. b. Perspektif Radikal Konflik Teori radikal konflik menempatkan diri di antara anarkhi politik dan materialisme ekonomis. Mengenai radikal konflik, Richard Quinney (1977) Steven Spitzer (1975) membahas kelebihan jumlah buruh sebagai suatu permasalahan dalam masyarakat kapitalis. Kelebihan buruh akan menyebabkan gaji rendah, tetapi kelebihan jumlah buruh yang sangat besar menimbulkan permasalahan. Selanjutnya spitzer mengemukakan lah 5 tipe sebagai akibat kelebihan jumlah buruh yang dikatakan sebagai populations problem, yaitu : (1) orang miskin akan 73
74
Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 98. Made Darma Weda, Op. cit., hal. 46-50.
Universitas Sumatera Utara
37
mencuri dari orang yang kaya; (2) mereka akan menolak untuk bekerja; (3) mereka tetap menggunakan obat bius; (4) mereka menolak untuk sekolah atau tidak percaya terhadap keuntungan yang diperoleh dari kehidupan keluarga; (5) mereka aktif mengusulkan suatu masyarakat nonkapitalis. B. Teori-teori Kenakalan Remaja dari Aspek Kriminologi Remaja memiliki status dan peranan yang penting, dari kepentingan keluarga, remaja adalah generasi penerus yang siap tumbuh menjadi dewasa, sebagai pewaris dan penerus keluarga. Dipandang dari kepentingan negara, terutama bagi bangsa dan negara Indonesia, remaja dan pemuda umumnya mendapat predikat yang tidak dimiliki oleh generasi lainnya yaitu sebagai tulang punggung negara.
Kenakalan
Remaja
dapat
menghambat
dan
bahkan
menggagalkan upaya mewujudkan remaja dan generasi yang berkualitas. Oleh karena itu, harus diupayakan dengan serius untuk mencegah timbulnya kenakalan remaja yang dapat merusak citra dan masa depan remaja itu sendiri dan bahkan citra dan masa depan bangsa.75 Kenakalan remaja sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan. Kebanyakan penjahat yang sudah dewasa, umumnya sudah sejak mudanya menjadi penjahat, sudah merosot kesusilaannya sejak kecil. Menyelidiki sebab-sebab kenakalan remaja dapat mencari tindakan-tindakan pencegahan kenakalan remaja itu sendiri, yang kemudian akan berpengaruh pula terhadap pencegahan kejahatan orang dewasa.76 W.A. Bonger dalam kitab kecilnya Inleiding tot de Criminologie antara lain mengemukakan:77 “Kejahatan anak-anak dan pemuda-pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan, lagi pula kebanyakan penjahat yang sudah dewasa 75
Abintoro Prakoso, Op. cit, hal. 175. Ibid, hal. 177. 77 Ninik Widayanti, Yulius Waskita, Op. cit., hal. 115. 76
Universitas Sumatera Utara
38
umumnya sudah sejak kecil. Siapa menyelidiki sebab-sebab kejahatan anak-anak dapat mencari tindakatindakan pencegahan kejahatan anak-anak yang dapat mencari tindakantindakan pencegahan kejahatan anak-anak yang kemudian akan berpengaruh baik pula terhadap pencegahan kejahatan orang dewasa”. Donald R. Taft dalam bukunya Criminology menyatakan mencegah Kenakalan Remaja merupakan salah satu sarana mutlak dalam pencegahan kejahatan pada umumnya.78 Remaja yang mempunyai perilaku delinquent, memang sangat merisaukan dan memprihatinkan, namun remaja tidak bisa diabaikan begitu saja, justru sebaliknya mereka harus diberi perhatian yang khusus, karena bagaimanapun dia adalah manusia, yang sebenarnya dapat dididik untuk menjadi baik. Agar dapat bertindak tepat terhadap maka perlu mengenal “dunia remaja”, badannya, komunikasinya, sejarah dan cita-citanya. Membina generasi muda tidak lain adalah lebih dulu memahami cara bereksistensinya remaja. Mengenai Kenakalan Remaja ada beberapa teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Teori ini diantaranya:79 1.
Teori Differential Association Teori yang dikemukakan oleh E. Sutherland ini pada dasarnya
melandaskan diri pada proses belajar. Kejahatan seperti juga perilaku pada umumnya merupakan sesuatu yang dipelajari. Asumsi yang melandasi teori ini ialah : a criminal act occurs when a situation appropriate for it, as defines by the person, is present. Sutherland dalam menjelaskan proses terjadinya perilaku
78 79
Ibid. Paulus Hadisuprapto, Op. cit., hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
39
kejahatan termaksuk perilaku delikuensi tentunya, mengajukan 9 proposisi yaitu:80 a. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negatif berarti perilaku itu tidak diwarisi. b. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat. c. Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negatif ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam hal terjadinya kejahatan. d. Apabila perilaku kejahatan dipelajari maka yang dipelajari meliputi: a) Teknik melakukan kejahatan; b) Motif-motif tertentu, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar termaksuk sikap-sikap. e. Arah dari motif dan dorongan itu dipelajari melalui defenisi-defenisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat kadang seseorang dikelilingi ileh orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi oleh orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberi peluang dilakukannya kejahatan.
80
Ibid, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
40
f. Seseorang menjadi delinkuen karena ekses dari pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya kejahatan daripada yang melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. g. Differential Association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas serta intensitasnya. h. Proses mempelajari perilaku kejahatan yang diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan yang menyangkut seluruh mekanisme yang lazimnya terjadi dalam setiap proses pada umumnya. i. Sementara perilaku kejahatan merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum, akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilainilai umum itu, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga merupakan pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. 2. Teori Anomie Istilah anomie sendiri sebenarnya berasal dari ahli sosiologi Perancis, Emile Durkheim, yang berarti suatu keadaan tanpa norma. Konsep ini kemudian diformulasikan oleh Merton dalam rangka menjelaskan keterkaitan antara kelaskelas sosial dengan kecenderungan pengadaptasiannya dalam sikap dan perilaku kelompok.81 Merton dalam teorinya mencoba melihat keterkaitan antara tahap-tahap dari struktur sosial dengan perilaku delinkuen. Dia melihat bahwa tahapan tertentu dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu kondisi dimana pelanggaran 81
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
41
terhadap norma-norma kemasyarakatan merupakan wujud reaksi normal. Dua unsur yang dianggap pantas untuk diperhatikan dalam mempelajari bentuk perilaku delinkuen ialah unsur-unsur dari struktur sosial dan kultural. Unsur kultural melahirkan apa yang disebut dengan goals, sementara unsur struktur sosial memunculkan apa yang disebut dengan means.82 Goals, diartikan sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yang sudah membudaya, meliputi kerangka aspirasi dasar manusia, seperti dorongan untuk hidup. Tujuan tersebut sedikit banyak merupakan kesatuan dan didasari oleh urutan nilai, dalam berbagai tingkat perasaan dan makna. Means ialah aturanaturan dan cara-cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai saran untuk mencapai tujuan yang membudaya tersebut.83 Setiap kelompok masyarakat selalu mengaitkan tujuan atau kepentingan tersebut dengan moral atau aturan-aturan kelembagaan dan cara-cara mencapai tujuan. Penitikberatan pada tujuan-tujuan tertentu mungkin dapat mengurangi makna dan perhatian terhadap cara-cara yang sudah melembaga, sehingga kecenderungan timbulnya bentuk-bentuk ekstrim dimaksudkan di sini ialah:84 a. Berkembangnya situasi ketidakseimbangan sebagai akibat penekanan atas nilai-nilai suatu tujuan tertentu secara relatif akan berpengaruh pada caracara untuk mencapai tujuan tersebut. Khususnya apabila keterbatasan pilihan cara-cara tersebut hanya dipandang sebagai suatu yang bersifat teknis daripada sesuatu yang melembaga. Atau
82
Ibid, Ibid, hal. 49. 84 Ibid, hal. 50. 83
Universitas Sumatera Utara
42
b. Sebaliknya bentuk lain dapat timbul apabila aktivitas yang dilakukan kelompok sebetulnya secara hakiki hanya alat saja, namun kemudian dipersepsi sebagai tujuan yang harus dicapai. Akibat yang timbul, tujuan yang hakiki dilupakan dan ketaatan pada tata cara perilaku yang ditetapkan dan bersifat kelembagaan itu menjadi yang dinomorsatukan. 3. Teori Kontrol Sosial Teori kontrol atau sering juga disebut teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa individu dimasyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi baik atau jahat seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau saja masyarakatnya membuatnya demikian, dan menjadi jahat apabila masyarakatnya membuatya demikian. Teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum85 Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr, menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan penelitian dari aliran Chicago dan menghasilkan teori kontrol sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu:86 a. A lack of proper internal controls developed during child hood (kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anak-anak). b. A breakdown of those internal controls (hilangnya kontrol internal).
85 86
Paulus Hadisuprapto, Op. cit, hal. 31. Yusrizal, Op. cit., hal. 195.
Universitas Sumatera Utara
43
c. An absence of or conflict in social rules provided by important social group (the family, close other, the school) (tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah) Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial (social bound) seseorang dengan masyarakatnya dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku penyimpangan. Seseorang yang lemah atau terputusnya ikatan sosialnya dengan masyarakatnya bebas melakukan penyimpangan. Seseorang dapat melemah atau terputus ikatan sosial dengan masyarakatnya, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga kontrol sosial baik formal maupun informalnya. Dengan demikian berarti bahwa manakala di suatu masyarakat, dimana kondisi lingkungannya tidak menunjang berfungsinya dengan baik lembaga kontrol sosial tersebut, sedikit banyak akan mengakibatkan melemah atau terputusnya ikatan sosial atau masyarakat dengan masyarakatnya, dan pada gilirannya akan memberi kebebasan kepada mereka untuk berperilaku menyimpang. 87 4. Teori Belajar Teori Belajar dikembangkan oleh Ronald Akkers. Secara umum, teori ini berpadangan bahwa anak-anak akan mempergakan perilaku atas dasar: a. Reaksi yang diterimanya dari pihak lain (positif atau negatif), b. Perilaku orang dewasa yang mempunyai hubungan dekat dengan mereka (utamanya orang tua), dan c. Perilaku yang mereka lihat di TV maupun bioskop. Apabila anak melihat bahwa
87
Paulus Hadisuprapto, Op. cit, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
44
perilaku agresif diperbolehkan atau mendatangkan hadiah (pujian) , akan terjadi kecenderungan anak akan bereaksi dengan cara kekerasan selama ia mengalami kejadian serupa.88 Akhirnya, anak pun akan mengikutinya dan meyakini bahwa penggunaan kekerasan itu akan mendatangkan hadiah (pujian). Dampaknya, pengikut teori ini menyatakan apabila seorang anak yang tumbuh kembang dalam lingkungan rumah di mana kekerasan menjadi kebiasaan, maka anak pun akan belajar untuk meyakini bahwa perilaku seperti itu dapat diterima dan mendatangkan hadiah atau pujian.89 5. Teori Kesempatan Teori kesempatan ini berangkat dari asumsi dasar Cloward dan Ohlin. Cloward dan Ohlin berpendapat bahwa munculnya subcultural delinkuen dan bentuk-bentuk perilaku yang muncul dari itu, tergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma maupun kesempatan penyimpangan norma. Secara singkat Cloward dan Ohlin memandangan delikuensi wilayah perkotaan, merupakan fungsi dari perbedaan kesempatan kelompok anak untuk memperoleh tujuan baik yang patuh norma maupun yang menyimpang. Bilamana kesempatan patuh hukum terblokir , kecenderungan munculnya perilaku delikuensi pun besar.90 C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tawuran Antar Pelajar
88
Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hal. 27. 89 Paulus Hadi Suprapto, Pengadilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Undip Press, Semarang, 2006, hal. 78. 90 Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, Op. cit., hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
45
Tawuran antar pelajar merupakan bagian dari kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang sering terjadi di dalam masyarakat bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. Kenakalan remaja tersebut timbul karena adanya beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan cara-cara tertentu.91 Tawuran antar pelajar di kota-kota besar, khususnya di Jakarta disebabkan oleh dua faktor yaitu: 1. Faktor Internal a. Reaksi Frustasi Negatif Dengan semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi, urbanisasi dan industrialisasi yang berakibat semakin kompleksnya masyarakat sekarang, semakin banyak pula anak remaja yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan sosial itu. Mereka lalu mengalami banyak kejutan, frustasi, konflik terbuka baik eksternal maupun internal, ketegangan batin dan gangguan kejiwaan. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota besar yang serba tergesa-gesa dan banyak menuntut anak muda harus ikut berpacu dan bersaing dalam perlombaan hidup.92 Suasana kompetitif di kota-kota besar dipenuhi oleh kegiatan formal yang baik-baik, juga ada diwarnai dengan tingkah laku orang dewasa yang kriminal, manipulatif, korup, licik, intrik politik, kemunafikan dan ancaman-ancaman lahir batin. Semua kejadian itu ikut dihayati oleh anak-anak remaja, yang sering seringkali menimbulkan rasa dendam, marah, cemas, dan ketegangan batin pada 91 92
Sudarsono, Op. cit, hal. 124. Kartini Kartono, Patologi Sosial II : Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 2002,
hal.110.
Universitas Sumatera Utara
46
diri mereka. Di mata anak-anak muda, masyarakat dewasa tidak mau tahu akan kesulitan para remaja dan juga tidak sudi menolong mereka. Sebagai penyaluran bagi
kecemasan dan ketegangan batin tersebut anak-anak muda
lalu
mengembangkan pola tingkah laku agresif dan eksplosif. Kemudian terjadilah aksi-aksi bersama dalam kelompok-kelompok, saling baku hantam dan perkelahian antar sekolah dengan menampilkan inti permasalahan batin sendiri. 93 Beberapa reaksi frustasi negatif yang bisa menyebabkan anak remaja salah-ulah ialah:94 1)
2)
3)
4)
5)
6)
93 94
Agresi, yaitu reaksi primitif dalam bentuk kemarahan hebat dan ledakan emosi tanpa kendali, serangan, kekerasan, tingkah-laku kegila-gilaan dan sadistis. Kemarahan hebat tersebut sering mengganggu intelegensi dan kepribadian anak, sehingga kalut batinnya, lalu melakukan perkelahian, kekerasan, kekejaman, teror terhadap dan tindak agresi lainnya. Regresi, yaitu reaksi primitif, kekanak-kanakan, infantil, tidak sesuai dengan tingkat usia anak, yang semuanya akan mengganggu kemampuan adaptasi anak terhadap kondisi lingkungannnya. Fiksasi, yaitu pelekatan pada satu pola tingkah laku yang kaku, stereotipis dan tidak wajar. Misalnya mau hidup santai, berlaku keras dan kasar, suka mendendam, suka berkelahi, dan lain-lain. Rasionalisasi, cara menolong diri yang tidak wajar, dengan membuat sesuatu yang tidak rasional menjadi rasional. Sedangkan sebabmusabab kegagalan dan kelemahan sendiri selalu dicari pada orang lain, guna menghibur diri-sendiri dan membela harga diri. Dengan demikian tingkah laku anak, khususnya reaksi adaptasinya menjadi salah kaprah dan salah bentuk. Pebenaran diri, yaitu cara pembenaran diri sendiri dengan dalih yang tidak rasional. Sebagai akibatnya, perilaku anak menjadi tidak terkendali. Proyeksi, yaitu melemparkan atau memproyeksikan isi pikiran, perasaan, harapan yang negatif, kekerdilan dan kesalahan sendiri kepada orang lain. Anak mencoba mengingkari kelemahan sendiri, lalu memproyeksikan isi kehidupan psikis yang negatif kepada orang lain; khususnya dipakai untuk membela harga diri sendiri.
Ibid, hal.111. Ibid, hal.113.
Universitas Sumatera Utara
47
7)
Teknik anggur masa (sour grape technique) yaitu usaha memberikan sifat buruk kepada objek-objek yang itdak bisa dicapai, sungguhpun objek ini sangat diinginkannya. Jadi, mendiskreditkan onjek yang tidak bisa dicapainya dan memuaskan diri sendiri. 8) Teknik jerus manis (sweet orange technique) yaitu memberikan atribut unggul dan baik, pada semua kegagalan, kesalahan dan kelemahan sendiri, lewat alasan-alasan yang bisa mengelus-elus serta menyenangkan hati sendiri. Tindak kekerasan dan keliarannya disebut sebagai keberanian. 9) Indetifikasi, yaitu menyamakan diri sendiri yang selalu gagal dan tidak mampu mereaksi dengan tepat terhadap leingkungan dengan tokoh-tokoh yang dianggap sukses; antara lain mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh mafia dan dunia kelam lain. 10) Narsisme, yaitu mengaggap diri sendiri superior, paling penting, maha bisa, paling kuasa dan segala paling lainnya. Anak remaja menjadi sangat egosentris dan egoistis, dan dipenuhi cinta diri berlebihlebihan. Mereka menjadi sangat kebal terhadap nasihat baik, sulit mendengarkan argumentasi orang lain, senang meledak-ledak dan berkelahi, dan bertingkah laku semau sendiri. 11) Autisme, kecenderungan menutup diri secara total terhadap dunia luar; dunia sekitar dianggap kotor, jahat dan palsu. Hanya diri sendirilah dianggap benar; sedang segala sesuatu diluar dirinya perlu dihindari dan dicurgai. Jelaslah bahwa dengan menggunakan semua mekanisme pertahanan dan pelarian diri itu sangan tidak sehat. Dampaknya mengganggu ketenangan batin, mendisorganisir, semua fungsi kejiwaan, dan mengembangkan reaksi-reaksi tingkah-laku yang salah atau tidak baik. Anak menjadi salah bentuk dan salah tingkah, bahkan menjadi agresif serta eksplosif, ugal-ugalan, liar dan menggunakan jalan-jalan keras atau perkelahian guna memecahkan kesulitan batin sendiri.95 b. Gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak-anak remaja Tanggapan anak tidak merupakan pencerminan realitas lingkungan yang nyata, tetapi berupa pengolahan batin yang keliru, sehingga timbul interpretasi dan pengertian yang salah sama sekali. Sebabnya ialah semua itu diwarnai 95
Ibid, hal.115.
Universitas Sumatera Utara
48
harapan yang terlalu muluk, dan kecemasan yang berlebihan; dunia dan masyarakat tampak mengerikan dan mengandung bahaya laten di mata anak. Anak-anak remaja berubah menjadi agresif dan eksplosif menghadapi segala macam tekanan bahaya dari luar. Karena itu reaksinya berupa: cepat naik darah, cepat bertindak menyerang dan berkelahi.96 c. Gangguan berpikir dan intelegensi pada diri remaja Berpikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat dan adaptasi wajar terhadap tuntutan lingkungan dan juga upaya memecahkan kesulitan dan permasalahan hidup sehar-hari. Jika anak remaja tidak mampu mengoreksi pikiran-pikirannya yang salah dan tidak sesuai dengan realita yang ada. Anak yang sehat pasti mampu membetulkan kekeliruan sendiri dengan jalan: berpikir logis, dan mampu membedakan fantasi dengan kenyataan. Sebaliknya, orang yang terganggu
jiwanya
akan
memperalat
pikirannya
untuk
membela
dan
membenarkan gambaran-gambaran semu dan tanggapan salah. Akibatnya reaksi dan tingkah laku anak menjadi salah kaprah.97 Inteligensia adalah kecerdasan seeorang atau kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak yang berperilaku nakal ini pada umumnya mempunya inteligensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik. Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk melakukan perilaku jahat seperti melakukan perkelahian.98 d. Gangguan perasaan/emosional pada anak-anak remaja 96
Ibid. Ibid, hal.116. 98 Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, Op. cit., hal.19. 97
Universitas Sumatera Utara
49
Perasaan memberikan nilai pada situasi kehidupan , dan menentukan sekali besar kecilnya kebahagiaan serta rasa kepuasan. Jika perasaan tadi tidak terpuaskan, orang merasa senang dan bahagia; sebaliknya jika keinginan dan kebutuhannya tidak terpenuhi, ia mengalami kekecewaan dan banyak frustasi. Perasaan memegang peranan penting, bahkan primer. Karena itu memperhatikan perasaan anak remaja yang tengah berkembang juga perasaan orang lain adalah sama dengan memperhatikan kebutuhan serta keinginan manusiawi mereka.99 2. Faktor Eksternal a. Faktor keluarga Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu keluarga memiliki peranan penting dalam perkembangan anak, sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga.100 Keluarga memberikan pengaruh menentukan pada pembentukan watak dan kepribadian anak; dan menjadi unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Baik buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau buruknya perkembangan jiwa dan jasmani anak.101 1) Rumah tangga berantakan atau (Broken Home)
99
Kartini Kartono, Op. cit., hal.117. Sudarsono, Op. cit, hal.125. 101 Kartini Kartono, Op. cit, hal.120. 100
Universitas Sumatera Utara
50
Bila rumah tangga terus menerus dipenuhi konflik yang serius, menjadi retak, dan akhirnya mengalami perceraian, maka mulailah serentetan kesulitan bagi semua anggota keluarga, terutama anak-anak. Muncullah kemudian banyak konflik dan kegalauan jiwani anak. Anak tidak bisa tenang belajar, tidak betah tinggal di rumah, selalu merasa pedih risau dan malu. Untuk melupakan semua derita batin itu anak lalu melampiaskan kemarahan dan agresivitasnya keluar. Mereka menjadi anak nakal, urakan, berandalan , tidak mau mengenal lagi aturan dan norma sosial, bertingkah laku semau sendiri, membuat onar di luar dan suka berkelahi. Jadi, kesukaan berkelahi para remaja bisa distimulir oleh kondisi rumah tangga yang berantakan.102 2) Adanya kedudukan anak dalam keluarga Kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut kelahiran dapat memicu anak mendapatkan perilaku yang berbeda dari orangtua. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat di manjakan secara berlebihan dan segala permintaan anak dikabulkan. Perlakuan orangtua terhadap anak akan menyulitkan anak itu sendiri dalam bergaul dengan masyarakat. Akhirnya mengakibatkan frustasi dan kecenderungan mudah berbuat jahat.103 3) Pengaruh buruk dari orang tua Tingkah laku kriminal dari orangtua atau salah seorang anggota keluarga bisa memberikan pengaruh menular atau infeksi kepada anak. Anak jadi ikutikutan kriminal dan asusila atau menjadi antisosial. Anak secara otomatis dan tidak sadar akan mengoper adat kebiasaan dan tingkah laku buruk orangtua serta 102 103
Ibid, hal.121. Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, Op. cit., hal.20.
Universitas Sumatera Utara
51
orang dewasa yang ada di dekatnya. Sehingga anak ikut-ikutan menjadi sewenang-wenang, liar buas, agresif, suka menggunakan kekerasan dan perkelahian sebagai senjata penyelesaian.104 4) Penolakan orang tua Bimo Walgito menjabarkan lebih jelas tentang faktor ini. Bahwa tidak jarang orangtua tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Ketika orangtua kembali dari tempat bekerja anak-anak sudah di luar, anak-anak pulang oragtua sudah pergi lagi, dan seterusnya. Keadaan semacam ini membuat Mereka banyak mengalami ketegangan batin, konflik yang terbuka maupun tertutup, kekisruhan jiwa, dan kecemasan. Semua pengaruh buruk tersebut sangat menghambat perkembangan jiwa raga anak. Keadaan keluarga sedemikian ini sangat mengacaukan perkembangan pribadi anak. Dalam situasi keputusasaan ini ada diantara mereka yang melakukan usaha bunuh diri atau justru kebalikannya menjadi beringas agresif penuh dendam dan kemarahan, eksplosif, berandalan, ekstrim tingkah lakunya, suka ngambek dan suka berkelahi tanpa satu motivasi apapun juga, untuk melampiaskan kerisauan batin sendiri dan membuang segala kesebalan.105 b. Faktor lingkungan sekolah Di sekolah anak-anak berjam-jam lamanya setiap hari harus melakukan kegiatan yang tertekan, duduk, dan pasif mendengarkan sehingga mereka menjadi jemu, jengkel dan apatis. Dewasa ini sekolah masih banyak berfungsi sebagai „sekolah dengar‟ daripada memberikan kesempatan luas untuk membangun 104 105
Kartini Kartono, Op. cit., hal.123. Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, Op. cit., hal.21.
Universitas Sumatera Utara
52
aktivitas, kreativitas dan intentivitas anak. Sehingga sekolah tidak membangun dinamisme anak dan tidak merangsang kegairahan belajar anak. Kurikulum selalu berubah tidak menentu, sangat membingungkan para pengajar dan murid sendiri, serta jelas mengganggu proses belajar anak. Akibatnya anak menjadi jemu belajar, menjadi cepat jenuh, dan lelas secara psikis.106 Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anakanak, atau dengan kata lain sekolah itu bertanggung jawab atas pendidikan anakanak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak-anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah107 Ketika pelajar di kelas sering mengalami frustasi dan tekanan batin karena merasa dikekang ketat oleh disiplin mati disekolah. anak-anak harus patuh terhadap perintah orangtua agar bersekolah secara teratur dan berdisiplin. Akan tetapi, anak tidak menemukan kesenangan dan kegairahan belajar di kelas. Apabila jika mereka banyak melihat ketidakadilan peraturan (misalnya anak dilarang merokok, tetapi guru boleh merokok di kelas, murid dilarang bertanya dan memrotes, dan sebagainya). Sebagai akibatnya, anak jadi ikut-ikutan tidak mematuhi semua aturan, ingin jadi bebas liar, mau berbuat semau sendiri, mejadi agresif, juga suka melakukan perkelahian di luar sekolah untuk melampiaskan kedongkolan dan frustasinya.108 c. Faktor milieu
106
Kartini Kartono, Op. cit., hal.124. Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, Op. cit., hal.22. 108 Kartini Kartono, Op. cit., hal.126. 107
Universitas Sumatera Utara
53
Milieu atau lingkungan sekitar tidak selalu baik menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan anak. Lingkungan sehari-hari menambah pengaruh perkembangan jiwa si anak serta kepribadiannya. Karena memang sudah merupakan naluri manusia untuk berkumpul dengan teman-teman untuk bergaul. Tapi pergaulan akan menimbulkan efek yang baik dan tidak baik pula. Yang tidak baik akan mendorong si anak terperosok kepada anak yang tidak mendapat bimbingan orangtua atau tidak memperdulikan orangtuanya sama sekali.109 Jiwa para remaja itu amat labil. Jika mereka mendapatkan pengaruh buruk, maka mereka dengan mudah terpengaruh perilaku buruk tadi. Lalu terbentuklah gang-gang remaja berandalan dengan jalan menyebar teror di tengah lingkungan, selalu membuat onar dan berkelahi sepanjang hari. Dan juga untuk memenuhi segala ambisi dan kebutuhan itu mereka tidak segan-segan melakukan pencurian, penodongan,
perkelahian,
penggarongan,
pengeroyokan,
perkosaan
dan
pembunuhan.110 Apabila kita melihat Putusan Nomor: 601/Pid.SusAnak/2014/PN.Cbi, Putusan
Nomor:
851/Pid.B/2014/PN.Bks,
dan
Putusan
Nomor
1371/Pid.B/2012/PN.JKT.TIM maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja dalam kasus ini merupakan tawuran adalah sebagai berikut: 1. Faktor Internal a. adanya gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak-anak remaja
109 110
Ninik Widiyanti, Yulius Waskita, Op. cit, hal.128. Kartini Kartono, Op. cit, hal.127.
Universitas Sumatera Utara
54
Faktor
ini
dapat
dilihat
didalam
Putusan
Nomor
601/Pid.SusAnak/2014/PN.Cbi dan Putusan Nomor 851/Pid.B/2014/PN.Bks, dimana terdakwa dan teman-temannya awalnya mendapatkan sms dari temannya untuk melakukan tawuran dengan sekolah lain. Dengan adanya gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak-anak remaja membuat reaksinya berupa cepat naik darah, cepat bertindak dan berkelahi. Sehingga tanggapan anak tida merupakan perncerminan realitas lingkungan yang nyata, tetapi berupa pengolahan batin yang keliru. b. adanya gangguan berpikir dan intelegensi pada diri remaja faktor ini dapat dilihat dalam ketiga putasan dalam skripsi ini khususnya pada bagian keterangan saksi, dimana penyebab-penyebab tawuran yaitu kebiasaan dari dulu dan merayakan ulangtahun sekolah dengan cara mencari sekolah lain untuk berkelahi. Penyebab-penyebab tawuran tersebut jika dikaitkan dalam faktor ini maka para pelajar tidak mampu mengoreksi pikiran-pikirannya yang salah. Para pelajar pun menjadi liar tidak terkendali, dan selalu memakai cara-cara yang keras dan perkelahian dalam menanggapi segala kejadian sehingga para pelajar menjadikan cara-cara tersebut menjadi kebiasaan. c. Reaksi Frustasi negatif adanya faktor frustasi negatif sering sekali membuat perilaku para pelajar menjadi menjurus pada kriminalitas. Didalam ketiga putusan ini ada beberapa hal yang dapat dikaitkan dalam faktor ini yaitu bahwa para terdakwa dan temantemannya sudah menganggap beberapa sekolah lain merupakan musuhnya, menantang sekolah lain untuk berkelahi dikarenakan sekolah lain tersebut sedang
Universitas Sumatera Utara
55
merayakan ulang tahun sekolahnya, adanya kelompok-kelompok di dalam masing-masing sekolah. Dari beberapa hal tesebut disebabkan oleh kehidupan di kota yang serba individualistis, materialistis, kontak-kontak sosial yang longgar termaksuk dengan orangtua dan saudara-saudara sendiri. Sehingga hal tersebut mendorong para pelajar melakukan perkelahian antar sekolah bersama kelompoknya untuk bersaing dan diakui. Timbullah beberapa reaksi dari frustasi negatif tersebut yaitu, menjadi agresif, cara pembenaran diri sendiri yang tidak rasional, narsisme yaitu menganggap dirinya paling kuat dan paling bisa, serta reaksi-reaksi negatif lainnya. 2. Faktor Eksternal a. faktor keluarga Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan para pelajar tetapi dalam ketiga putusan ini tidak adanya pengawasan dan ketidakpedulian orangtua dapat terlihat yaitu bahwa keluarga tidak tahu kalau anak-anak pergi nongkrong pada pukul jam 23.30 yang sudah menunjukkan tengah malam, lalu orangtua tidak mengetahui anaknya pergi kemana setelah pulang sekolah. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor tidak adanya pengawasan dan ketidakpedulian orang tua, membuat anak melampiaskan kemarahan anaknya dan agrsivitasnya. Sehingga anak menjadi anak nakal, berandalan, dan tidak lagi mengenal norma sosial. b. Faktor mileu atau lingkungan masyarakat Tidak Pedulinya lingkungan masyarakat sekitar terhadap tawuran antar pelajar yang terjadi. Membuat semakin maraknya tawuran pelajar. Hal ini dapat
Universitas Sumatera Utara
56
dilihat di dalam ketiga putusan yaitu lingkungan masyarakat memilih diam dan masuk kerumah dan juga hanya menonton tawuran tersebut dari kejauhan. Dalam keterangan saksi, beberapa masyarakat hanya mengetahui pada saat kapan tawuran pelajar itu terjadi dan berapa jumlah korbannya. Tetapi, tidak ada masyarakat yang berinisiatif untuk membubarkan para pelajar yang sedang tawuran itu. Bahkan didalam kronologis ada masyarakat yang bersedia mengantar para pelajar yang melakukan tawuran menggunakan truknya dan ada juga masyarakat yang menabrak salah satu pelajar dan tidak menolongnya melainkan meninggalkan pelajar tersebut sehingga pelajar yang ditabrak menjadi sasaran kekerasan oleh para pelajar lain.
Universitas Sumatera Utara