BAB II FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEREDARAN NARKOTIKA DI KOTA GUNUNGSITOLI
A. Tentang Peredaran narkotika di Gunungsitoli Seorang yang ada tanda – tanda menjadi pecandu narkoba, sebaiknya cepat – cepat dilakukan usaha- usaha yang maksimal, dengan kata lain deteksi dini sangatlah berguna. Makin cepat seseorang pecandu berobat, tentu makin cepat waktu pemulihannya. Kendalanya justru dekteksi dini. Ketika baru berkenalan dengan narkoba dan pasokannya cukup, gejala – gejala khasnya belum terlihat. Gejala- gejala tersebut baru kelihatan jika pemakai sudah lama menggunakan belum terjadi apa yang di sebut putus obat atau tersedatnya pasokan narkoba. Maka tak heran jika lingkugan keluarga baru mengetahui korban/pemakai narkoba sudah memakainya narkoba selama dua tahun. Deteksi dini untuk menolong pemakai narkoba untuk tidak sampai tahap yang lebih lanjut, yaitu tahap ketergantugan. Dari perubahan perilaku pemakai narkoba bisa dipakai sebagai alat deteksi secara dini. Misalnya prestasi belajar menurun, pola tidur berubah yakni pagi sulit dibangunkan, malam suka tidur malam secara malam, selera makan rendah, enggan kontak mata atau menghindari dari pertemuan dengan anggota keluarga lainnya sering bersikap kasar, suka berbohong, suka membantah, berani mencuri, berbicara pelo/kelat dan jalanya sempoyongan. Selain itu ada perubahan kebiasaan yang biasanya penuh perhatian terhadap orang tua atau orang dekatnya menjadi acuh tak acuh. Anak suka berlama – lama di WC atau kamar mandi. Karena pemakai narkoba membutuhkan tempat-tempat tersembuyi. Gejala spesifik baru kelihatan jika kelihatan jika mereka putus obat. Badanya akan terasa sakit, gelisah, kedinginan, menceret atau mual. Jika pasokan narkoba berjalan lancar,
Universitas Sumatera Utara
keanehan baru terlihat selama dua tahun. Efek setiap narkoba berbeda-beda. Seorang yang sudah terlanjur menjadi pecandu narkoba, akibat yang harus di tanggung olehnya sangat komplek. Penyembuhan terhadap dirinya tidak hanya sekedar menghentikan ketergantugan terhadap narkoba. Disamping meliputi terapi komplikasi medik, juga perlu dilakukan rehabilitasi sosial, mental dan emosional, endukasional, spiritual, intelektual dan survival skill yang dimiliki pecandu. Pendek kata untuk merehabilitasi seseorang yang terlajur menjadi pecandu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tahap ini merupakan pembinaan khusus setelah pemakai narkoba keluar dari panti rehabilitasi perawatan. Hal ini perlu kerja sama antara orang tua, perkerja sosial dan lingkugan dimana pemakai narkoba tinggal. Terapi terhadap kasus penyalagunaan narkoba, dalm kejahatan di bidang psikotropika ada persoalan siapa yang menjadi korban dari kejahatan tersebut. Masalah korban kejahatan dapat menjadi penting dalam suatu perkara pidana, karena korban dapat menjadi saksi didepan persidangan pengadilan, untuk memberi keterangan apa saja yang dialami sendiri, korban kejahatan adalah orang yang mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, karena ia yang memperoleh akibat langsung dari peristiwa tersebut berupa penderitaan fisik atau kerugiaan harta benda. Oleh karena itu pasal 160 ayat 1 huruf KUHAP menetapkan, yang pertama didengar keterangannya di persidagan adalah korban yang menjadi saksi. Meskipun demikian tidak semua korban melihat kejadiannya, ada kemungkinan pada waktu kejadian berlangsung korban berada di tempat lain, seperti dalam peristiwa pencurian pada waktu kejadian teryata korban tidak ada dirumahnya karena sedang pergi ke luar kota. Bagaimana halnya dengan korban kejahatan di bidang psikotropika ada sementara orang yang mengatakan korban kejahatan ini tidak ada. Apakah benar pendapat ini, karena masih perlu dicari adakah orang yang menderita atau pihak yang merasa dirugikan akibat kejahatan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu kiranya perlu diperhatikan kembali dari pembahasan yang lalu, bahwa di bidang psikotropika teerdapat kejahatan yang menyangkut produksi , peredaraan , ekspor dan impor, transito. Kejahatan – kejahatan seperti itu jelas ada pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah negara karena tidak membayar pajak, otomatis mengurangi pemasuakan keungan negara. Kemudian masih ada kejahatan di bidang psikotropika yang menyangkut label dan kemasan, pengobatan dan rehabilitasi, disini yang menjadi korban adalah pasien adapun kejahatan yang berbentuk penyalgunaan atau pemakain psikotropika adalah pelakunya sendiri. Pelaku sekaligus menjadi korban kejahatan. Oleh karena dalam pekara psikotropika yang kasusnya menyangkut persoalan pemilikan maupun penggunaan psikotropika, yang didengar keterangannya sebagai saksi pertama di persindangan buku korban, pada umumnya petugas yang melakukan penangkapan, karena korban adalah yang menjadi terdakwa. Salah satu perbuatan dalm tindak pidana di bidang psikotropika adalah kejahatan dilakukan secara terorganisasi. Hal ini diatur dalam pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika yang merupakan unsur terpenting untuk dapat mengenakan hukuman terhadap dan terbatas kepada perbuatan – perbuatan menggunakan, memproduksi mengedarkan, maupun tanpa hak memiliki, menyimpan atau membawa psikotropika golongan I tersebut. Meskipun demikian untuk mengatakan bahwa kejahatan itu dilakukan secara terorganisasi tampaknya memang tidak mudah. Karena yang disebut terorganisasi ternyata di dalam undang – undang psikotropika tidak ada pengertian, sehingga mempengaruhi penerapan pasal 59 ayat 2 undang – undang tersebut. Undang – undang narkotika ternyata telah memberikan batasan terorganisasi, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 78 ayat 3 menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan dilakukan secara
Universitas Sumatera Utara
terorganisasi adalah Tindak Pidana Narkotika tersebut dilakukan oleh sekelompok orang, secara rapi, tertib, dan rahasia serta mempunyai jaringan nasional dan internasional. Pengertian terorganisasi sangat jelas dan mudah diterapkan dalam pelaksanaanya. Dengan adanya pengertian tersebut maka tidak akan kesulitan jika terjadi pelanggaran undang – undang narkotika untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan secara terorganisasi atau tidak, sehingga terdapat kepastian hukum. Undang – undang psikotropika lahirnya lebih dulu daripada undang – undang narkotika karena undang – undang psikotropika diundangkan pada tanggal 11 maret 1997 sedangkan undang – undang narkotika diundangkan pada tanggal 1 september 1997. Tetapi tampakanya para pembentuk undang – undang lupa memberi penjelasan tentang perbuatan terorganisasi dalam undang – undang psikotropika, padahal kedua undang – undang tersebut pembentuknya merupakan satu paket karena keduanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menanggulangi penyalahgunaan segala bentuk obat – obatan yang akan merusak diri seeorang. Untuk dapat menerapakan pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika memang perlu batasan yang jelas tentang perbuatan terorganisasi, supaya hakim tidak keliru menerapkan hukum adalah dalam menjalankan tugasnya ketika mengadili perkara kejahatan psikotropika. Perkara pidana pelanggaran undang – undang psikotropika yang pernah diadili di pengadilan negeri tangerang tahun 2003, antara lain perkara ang kim soei yang didakwa melakukan perbuatan memproduksi dan mengedarkan ekstasi secara terorganisasi. Perkara ini ternyata telah menggunakan batasan terorganisasi di dalam pertimbagan putusannya dengan meminjam batasan terorganisasi di dalam undang – undang narkotika, dengan alasan undang – undang psikotropika dan undang – undang narkotika mempunyai maksud dan tujuan yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga tidak alasan untuk tidak menghukum walaupun undang – undang psikotropika tidak memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan terorganisasi. Dalam tingkat banding maupun tingkat kasasi, ternyata masalah pertimbangan tentang batasan terorganisasi tidak dipersoalkan oleh pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Meskipun ini merupakan putusan pengadilan pengadilan, bukan berarti masalah batasan itu merupakan persoalan yang selesai begitu aja karena sudah ada didalam praktik. Hakim memang mempunyai kewenangan untuk mengisi kekosongan hukum apabila dalam undang – undang ketentuannya tidak jelas, tetapi putusan hakim hanya mengikat pihak yang diadili saja. Putusan hakim di negara kita tidak mengikat kepada hakim lain, karena walaupun kasusnya sama belum tentu mempunyai pertimbangan sama dengan putusan – putusan yang lebih dahulu dijatuhkan. Suatu saat, apabila undang – undang psikotropika ini mengalami perubahan atau diganti, kiranya pembentuk undang –undang dapat lebih teliti dalam memberikan pengertian terhadap istilah yang tergolong sangat penting dalam hubunganya dengan penjatuhan hukuman. Dalam KUHP penjatuhan dua hukuman pokok tidak dimungkinkan, sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda, atau pidana seumur hidup dan pidana penjara KUHP hanya menghendaki salah satu hukuman pokok saja. Berbeda dengan kejahatan – kejahatan di luar KUHP, sebagi tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya hukuman badan pidana denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuanya agar pemindanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana di luar KUHP sifatnya sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara. Undang – undang psikotropika memang mengatur hukuman kumulatif, sehingga hakim berwenang menjatuhkan dua hukuman pokok yang berupa hukuman
Universitas Sumatera Utara
pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara dan pidana denda. Sebagaimana telah diketahui dalam bab 1 diatas, bahwa penyalagunaan psikotropika berakibat rusak masyarakat, bangsa dan negara indonesia. Ketentuan yang menyangkut penjatuhan hukuman kumulatif tersebut terdapat pada pasal 59 ayat 2 undang – undang psikotropika dengan syarat kejahatan itu dilakukan secara terorganisasi pada perbuatan memproduksi, mengedarkan, menggunakan, mengimpor, maupun tanpa hak memiliki, menyimpan, membawa psikotropika golongan 1. Dalam pasal 59 ayat 2 tersebut telah ditentukan antara pidana badan dengan pidana denda terdapat kata dan sehingga bagi hakim tidak ada alasan untuk menjatuhkan salah satu hukuman saja, harus kedua – keduanya hakim terikat pada ketentuan tersebut untuk melasanakannya pada pekara yang ditanganinya. Permasalahnya apabila seorang terdakwa dalam perkara psikotropika dihukum dengan pidana mati, apakah masih mungkin dijatuhi pidana denda ada seorang jaksa penuntut umum pernah mempertanyakan, bagaimana eksekusi pidana denda kalau terdakwa telah di hukum mati. Dengan kata lain bagaimana mungkin terdakwa yang sudah mati harus ditagih untuk membayar denda untuk pemindanaanya tentu tidak ada masalah, berdasarkan pasal 59 ayat 2 tersebut hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana mati dan pidana denda. Sedangkan mengenai pelaksanaanya harus dipertimbangkan bahwa sebaiknya jangan dulu eksekusi pidana mati baru eksekusi pidana denda, akan tetapi eksekusi pidana denda kemudian eksekusi pidana mati, supaya pidana denda dapat dibayar oleh terpidana. Pada umunya pidana denda diberi alternatif oleh hakim sesuai KUHP, apabila pidana denda itu tidak dibayar oleh terpidana maka diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Dalam prkatiknya hal tersebut ternyata berpengaruh, kejaksaan selaku pelaksana putusan
Universitas Sumatera Utara
hakim dalam mengeksekusi pidana denda hanya bertanya kepada terpidana tentang kesanggupan memenuhi keputusan. Apabila tidak sanggup membayar atau menolak membayar, tinggal mengganti dengan memasukan terpidana kurungan. Kebanyakan para terpidana lebih memiliki pidana kurungan daripada membayar denda. Dengan memilih masuk kurungan, menganggap denda yang wajib dibayar sudah lunas, padahal besarnya denda puluhan juta, ratusan juta atau bahkana miliaran rupiah. Apabila dikaji kembali, maksud dan tujuan penjatuhan pidana denda adalah untuk bukan sekedar untuk dinganti dengan kurungan. Seharusnya pihak eksekutor dalam melakukan eksekusi pidana denda bersikap gigih agar terpidana bersedia membayar. Kejaksaan perlu menyelidiki harta kekayaan yang dimiliki oleh terpidana, kalau terpidana memang mempunyai harta untuk dapat digunakan sebagai pembayaran pidana denda, mengapa dengan menolak membayar harus dikurung, bukankah terpidana disuruh menjual dulu harta kekayaannya. Pidana denda bila dibayar merupakan pemasukan negara. Apabila para terpidana yang dihukum pidana denda mau membayar, akan banyak pemasukan negara dari hukuman pidana tersebut. Dalam hukuman acara pidana KUHP memang terdapat kelemahan dalam mengeksekusi pidana denda karena apabila terpidana menolak membayar pidana denda, kejaksanaan tidak dapat berbuat apa – apa kecuali mengganti dengan pidana kurungan. Kelemahan KUHP terletak pada tidak dikenalnya sita eksekusi dalam perkara pidana. Kejaksanaan tidak memiliki wewenang untuk melakukan sita meskipun hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa untuk membayar sejumlah uang. Sita setelah adanya putusan hakim tidak ada. Sita hanya dikenal pada waktu tingkat penyidikan, yang tujuanya untuk memperoleh barang bukti saja. Sedangkan sita tidak pernah diperhitungkan. Sebagai undangundang khusus, ternyata undang-undang psikotropika juga tidak mengenal sita eksekusi. Satu-
Universitas Sumatera Utara
satunya undang-undang tindak pidana korupsi yang baru. Hak oportunitas memang memiliki oleh jaksa agung, namun selama ini hanya untuk mendeponeer perkara saja karena adan hubungannya dengan kepetingan negera. Sebenarnya hak oportunitas tersebut di perluas bukan hanya deponeer perkara saja, melainkan wewenang pada saat selesai perkara atau setelah ada putusan hakim, misalnya hak oportunitas yang menyangkut pembayaran pidana denda. Karena undang-undang tidak mengatur sita eksekusi, berdasarkan hak oportunitas hemat kami jaksa agung dapat memerintah bawahanya untuk melakukan sita eksekusi guna pembayaran pidana denda. Tentu tindakan jaksa agung tersebut dapat dipertanggung jawabkan kepada hukum, karena untuk kepetingan negara. Kembali kepada masalah semula tentang hukuman kumulatif pidana mati dan pidana mati dan pidana denda. Dalam perkara pidana psikotropika dengan terdakwa hanya dijatuhi hukuman pidana mati saja tanpa pidana denda meskipun terbukti melakukan penggaran pasal 59 ayat 2 undang-undang psikotropika dengan pertimbagan karena sudah dipidana mati sehingga tidak perlu lagi ada hukuman denda. Di tingkat banding maupun tingkat kasasi terdakwa tersebut dihukum secara kumulatif, dengan pidana mati dan pidana denda sejalan dengan ketentuan pasal tersebut.
B.
Teori-teori penyebab terjadinya Kejahatan Pertama kali psikotropika diatur dalam staatsblad 1949 nomor 419 tanggal 22 Desember
1949 tentang sterkwerkendegeneesmiddelen ordonantien yang kemudian diterjemahkan dengan ordonans obat keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur tersendiri tetapi masih disatuhkan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras.
Universitas Sumatera Utara
Pada tanggal 2 april 1985 keluar peraturan menteri kesehatan RI nomor 213/Men.kes/per.IV/1985 tentang obat keras tertentu. Peraturan menteri kesehatan RI nomor 983/A/SK/1971 dan keputusan menteri kesehatan RI nomor 10381/A/SK/1972. Dalam peraturan yang mengenai obat kerasME tertentu tersebut, terdapat obat –obat yang disebutkan dalam lampiran I antara lain ETISIKLIDIA, FENMETRAZIN, LISERGIDA dan PSILOSIBIN yang dilarang untuk di impor, diproduksi, didistribusikan, menyimpan dan mengunakan. Sedangkan dalam lampiran II terdapat antara lain phenobarbital dan benzodieazepin serta turunannya yang didalamya hal mengimpor, memproduksi serta mendistribusikan diatur secara ketat, diawasi serta harus dilaporkan. Kemudian pada tanggal 8 feburuai 1993 dikeluarkan lagi peraturan menteri kesehatan RI nomor 124/Men.Kes/per/II/1993 tentang obat keras tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan peraturan menteri kesehatan RI terdahulu. Dalam peraturan tersebut juga dilampiri lampiran I dan II, tetapi belum mencamtumkan ketentuan pidana. Baru kemudian pada tanggal 11 maret 1997, UU No. 5/Th. 1997 tentang psikotropika diundangkan. Sebelum kelahiran UU No. 5/Th. 1997 tidak ada ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika. Pada waktu itu putusan-putusan badan peradilan terhadap kasus-kasus psikotropika berdasarkan peraturan menteri kesehatan dianggap kurang kuat, sebagai dasar hukum dari sisi hukum pidana. Hal tersebut sangat disayangkan, mengapa UU No. 5/Th. 1997 tentang psikotropika sangat lambat untuk dibuat. Padahal dunia internasional telah lama mengambil langkah mengawasi psikotropika dengan dua konversi tersebut sebenarnya telah terbuka bagi indonesia untuk mengakui dan merativikasi konversi tersebut serta melakukan kerjasama penanggulangan, penyalagunaan dan pemberantasan peredaran gelap psikotropika baik secara bilateral maupun multilateral.
Universitas Sumatera Utara
Dalam undang- undang psikotropika juga mengatur secara khusus ketentuan pidana sebagaimana ditetapakan pada XIV pasal 59 sampai pasal 72. Ketentuan tersebut merupakan lex specialis derogat lex generalis dari kitab undang- undang hukum pidana oleh terhadap kejadian – kejadian yang menyangkut tindak pidana di bidang psikoropika harus ditetapakan ketentuan – ketetuan pidana dalam undang –undang no 5 tahun 1997 dengan mengesampingkan KUHP, kecuali yang belum ada aturanya. Perbuatan- perbuatan yang diancama dengan hukuman pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 66, seluruhnya merupakan delik kejahatan psikoropika adalah obat yang mempegaruhi susunan saraf pusat yang menyebabakan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku, dan berpotensi mengakibatkan sindroma ketergantugan. Penggunaan psikotropika harus dilakukan secara benar dalam rangka pengobatan, sehingga apabila dipakai secara bebas mengakibatkan penderitaan suatu penyakit dan ketagihan ingin selalu menggunakan psikotropika. Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa perbuatan – perbuatan seperti memproduksi, atau mengedasarkan secara gelap, maupun penyalgunaan psikotropika, merupakan perbuatan yang merugikan masyrakat dan negara. pemproduksi dan mengedarkan secara liar psikotropika pada akhirnya akan dikonsumsi oleh orang lain. Orang yang mengkonsumsi dengan bebas akan menjadi sakit. Kalau yang memakai psikotropika yang demikian ini jumlahnya banyak, maka masyrakat menjadi tidak sehat karena penyakitan. Kemudian produksi dan peredaraannya menyangkut transaksi jual beli yang mendatangkan keuntugan, akan tetapi karena transaksinya gelap tidak ada penarikan pajakanya, sehingga negara dirugikan. Di situlah letak persoalanaya mengapa tindak pidana di pidana psikotropika digolongkan sebagai delik kejahatan. Dilihat dari akibat kejahatan tersebut,
Universitas Sumatera Utara
pengaruhnya sangat merugikan bagi bangsa dan negara, dapat menggoyahkan ketahanan nasional, karena itu terhadap pelakunya diacam dengan pidana yang tinggi dan berat, yaitu maksimal pidana mati dan ditambah pidana denda paling banyak Rp 5 M tujuanya agar orang akan melakukan perbuatan pidana di bidang psikotropika mengurungkan niatnya, sebab mereka akan menderita kalau benar – benar terkena hukuman tersebut. Sudah masuk penjara, masih wajib membayar denda yang mahal lagi. Akan tetapi masalahnya apakah cukup efektif ancaman pidana yang sifatnya menakutkan mampu menekan jumlah kejahatan psikotropika. Dalam melakukan suatu kejahatan terkadang pelakunya tidak sendirian akan tetapi melibatkan orang lain dengan cara berkerjasama yang perananaya, karena dalam rangka melaksanakan kejahatan, ada yang bertindak sebagai pelaku dan ada yang bertindak sebagai pembantu masing – masing dengan perkejaan yang tidak sama. Sebagai orang yang membantu kejahatan tidak bertindak langsung melakukan kejahatan, akan tetapi. Psikotropika yang dapat diproduksi oleh pabrik obat dapat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketetuan perundaganundangan yang berlaku pasal 5. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk psikotropika. Sedangkan pengertian pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika. Di dalam dunia farmasi, sewaktu memproduksi obat harus memenuhi standar teknis tertentu yang diharuskan oleh buku farmakope. Setiap negara biasanya mempunyai farmakope sendiri yang dikeluarkan oleh departemen yang mengurusi bidang kesehatan. Demikian juga di indonesia, saat ini sudah mengeluarkan buku farmakope Indonesia farmakope indonesia pertama kali di keluarkan pada tahun 1962 dan tahun 1972 , pada tahun 1979 dan kemudian tahun 1996 telah diterbitkan edisi IV. Disamping itu pada tahun 1974 telah diterbitkan
Universitas Sumatera Utara
ekstra farmakope 1974. Di dalam dunia internasional world health organization pada tahun 1956 telah mengeluarkan farmakope internasional. Farmakope yang terkenal adalah farmakope negara inggris, yang sering juga diacu oleh indonesia. Farmakope tersebut disebut dengan british phamacopoeia. Jika tidak ada di dalam farmakope indonesia dipakai standar teknis farmakope tersebut. Ancaman terhadap barang siapa yang memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam pasal 5 diancam dengan ketentuan pidana pasal 60 ayat 1 huruf a UU No. 5/Th. 1997. Untuk mengedarkan psikotropika yang telah diproduksi berupa obat, harus memenuhi standar dan/atau peryaratan farmakope indonesia atau buku standart lainnya pasal 7. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana yang diatur dalam pasal 60 ayat 1 huruf b UU No. 5/Th. 1997. Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Pengertian peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkain kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemidahan tanganan pasal 1 angka 5. Sedangkan perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkain kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran atau untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahan tanganan psikotropika dengan memperoleh imbalan pasal 1 angka 6. Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar terlebih dahulu pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dalam hal ini departemen kesehatan pasal 9. Untuk itu menteri menetapkan syarat-syarat dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat. Terhadap psikotropika yang tidak didaftarkan terlebih dahulu, lalu diedarkan diancam dengan ketentuan pasal 60 ayat 1 UU No. 5 T/h. 199. Demikian juga terhadap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika wajib dilengkapi dengan dokumen
Universitas Sumatera Utara
pengangkutan psikotropika. Pengertian pengangkutan adalah setiap atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, modal, atau sarana angkutan apapun, dalam rangka produksi dan peredaran pasal 1 angka 8. Sedangkan pergertian dokumen pengangkutan adalah surat jalan dan/atau faktur yang memuat keterangan tentang indentitas pengirim, dan penerima, bentuk, jenis, dan jumlah psikotropika yang diangkut.dokumen tersebut dibuat oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah atau apotik yang mengirimkan psikotropika tersebut pasal 10. Jika ketentuan yang diatur dalam pasal 10 tersebut dilanggar, maka pelakunya diancam dengan ketentuan pasal 63 ayat1 UU No.5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur dalam pasal 12 dan 13 UU No. 5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Pengertian pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan pasal 1 angka 7 . Sedangkan pengertian lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan menggunakan psikotropika dalam penelitian, pengembagan, pendidikan, atau pengajaran dan telah mendapat persetujuan dari menteri dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan pasal 1 angka 12. Pola –pola penyaluran tersebut terdapat di polapola tersebut sudah dibakukan seperti yang ditentukan di atas. Apabila pola-pola penyaluran tersebut disampingi, bagi penyalur diancam pidana menurut pasal 60 ayat 2 UU No. 5/Th. 1997, pasal 60 ayat 3 UU No. 5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur dalam pasal 14 dan 15. Penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
rumah sakit, apotik, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter pasal 14 ayat 1.
Di dalam
pelaksanaan eksepor dan impor psikotropika tunduk pada UU No. 10/Th. 1995 tentang kepabeanan dan perundang-undang lainnya. Pada dasarnya ekspor dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar faramsi, yang telah memiliki izin. Sedangkan untuk impor psikotropika disamping oleh pabrik obat dan PBF, juga dapat dilakukan oleh lembaga penelitian atau lembaga pendidikan. Hanya saja untuk lembaga penelitian atau lembaga pendidikan dilarang mengedarkan psikotropika yang di impor pasal 16. Penyimpangan terhadap ekspor dan impor dari ketentuan tersebut, merupakan tindak pidana yang diancam dalam pasal 61 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997. Para eksportirdan importir psikotropika, setiap kali melakukan kegiatan ekspor atau impor psikotropika, harus memiliki surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor pasal 17 dari menteri kesehatan pasal 18. Baik eksportir maupun importir yang melalaikan kewajiban tersebut dapat dikenai pidana berdasarkan pasal 61 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997. Dalam hal pengangkutan dalam rangka ekspor dan impor wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan dari pemerintah negara pengekspor pasal 21. Untuk selanjutnya orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor tersebut wajib memberikan kedua surat tersebut kepada penanggung jawab pengangkut pasal 22 ayat 2. Penyimpangan terhadap kewajiban yang telah ditentukan oleh pasal 22 ayat 1 dan ayat 2 diancam pidana seperti yang ditentukan dalam pasal 61 ayat 2 UU No. 5/Th. 1997. Kemudian penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib memberi dan bertanggung jawab atas kelengkapan suratsurat persetujuan ekspor dan menteri, surat persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor pasal 22 ayat 3.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga kewajiban pengangkutan impor psikotropika yang memasuki wilayah republik indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan jika ketentuan pasal 22 ayat 3 dan 4 dilanggar, diancam dengan ketentuan pasal 61 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997. Di dalam hal mengangkut psikotropika ada kalanya harus dilakukan transito di negara lain. Pengertian transito adalah pengangkutan psikotropika di wilayah republik indonesia dengan atau tanpa berganti sarana angkutan antara dua negara lintas pasal 1 angka 10. Setiap transito psikotropika harus dilengkapi surat persetujuan ekspor psikotropika yang terlebih dahulu telah mendapat persetujuan dari dan dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor psikotropika. Setiap perubahan negara tujuan ekspor psikotropika pada transito psikotropika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari: a. Pemerintah negara pengekspor psikotropika. b. Pemerintah negara pengimpor psikotropika atau tujuan semula ekspor psikotropika c. Pemerintah negara tujuan perubahan ekspor psikotropika pasal 24. Ancaman terhadap ketentuan tersebut diatur dalam gudang penyimpanan atau sarana angkutan pada transito psikotropika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli psikotropika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah pengawasan dari pejabat yang berwenang pasal 25. Pengertian kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau peyerahan psikotropika, baik yang bersentuhan langsung maupaun tidak pasal 1 angka 4. Pengemasan kembali yang dilakukan harus dibuatkan secara berita acara. Yang dimaksud dengan pejabat kesehatan. Penyimpanan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal 25, diancam dengan ketentuan pasal 63 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997. Yang dimaskud pengguna
Universitas Sumatera Utara
disini adalah pasien yang menggunakan psikotropika, untuk pengobatan sesuai dengna jumlah psikotropika yang diberikan oleh dokter. Jadi yang dimaksud dengan pengguna adalah juga meliputi pecandu yang sudah berada dalam pengawasan dokter. Hal ini berbeda dengan penyalahguna psikotropika. Disini dimaksud adalah menyalahgunakan atau penggunaan psikotropika secara merugikan adalah penggunaan psikotropika tanpa pengawasan dokter pasal 3. Seorang pengguna karena sudah dalam pengawasan dokter yakni dalam rangka pengobatan dan perawatan, sehingga diperbolehkan memiliki, menyimpan, menyimpan, dan/atau membawa untuk digunakan dalam rangka pengobatan atau perawatan pasal 36 ayat 1. Seseorang yang memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika tidak untuk pengobatan atau perawatan diancam dengan pasal 62 UU No. 5/Th. 1997 bagi psikotropika golongan II, III dan IV. Sedangkan bagi golongan I diancam dengan pasal 59 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997. Maupun sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melasanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi bagi pengguna pikotropika yang menderita sindroma ketergantugan dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan baik oleh pemerintah atau masyrakat. Fasilitas rehabilitas antara lain rumah sakit, lembaga ketergantugan obat dan praktik dokter. Fasilitas tersebut adalah fasilitas yang resmi. Namun dalam perkembagannya masalahnya rehabilitasi tersebut sudah melibatkan peranan masyarakat. Sehingga ada yang terdapat dalam pondok pesantren yang tidak bersifat medis semata, tetapi melalui cara – cara pendekatan, pengobatan trandisional dan pendekatan keagamaan. Fasilitas rehabilitas medis yang resmi hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari menteri pasal 39 ayat 3, dan untuk selanjutnya mengenai penyelenggaraan rehabilitas dan perizinan ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Ancaman bagi penyelenggara fasilitas rehabilitas medis yang tidak dengan izin menteri diancam dengan ketentuan pasal 64 UU No. 5/Th. 1997. Dari ancaman pidana yang terdapat dalam UU No.5/Th. 1997 terdapat beberapa kejanggalan, antara lain : -
Menyamakan seorang pencandu dengan penjahat karena semua tindak pidana yang menyangkut psikotropika dikualifikasi sebagai tindak pidana kejahatan pasal 68 UU No. 5/Th. 1997;
-
Tidak ada pidana tersendiri bagi seorang pecandu, praktik ancaman pidana yang dikenakan kepada pemakai psikotropika golongan II, III dan IV diancam dengan pasal psikotropika golongan I memang sudah diatur tersendiri pasal 59 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997, dan tidak dikualifikasi secara tanpa memiliki, menyimpan dan atau membawa psikotropika.
Banyak tindak pidana yang saat ini pemberantasnya melibatkan masyarakat banyak, karena sangat membahayakan masyarakat. Misalnya Tindak Pidana Narkotika dan tindak pidana korusi, disamping tindak pidana psikotropika. Oleh karena itu masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalagunaan psikotropika. Masyarakat dalam hal ini wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang, bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan atau dimiliki secara tidak sah pasal 54 ayat 2. Bagi masyarakat yang tidak melapor kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan, atau dimiliki secara tidak sah, diancam dengan pidana dalam pasal 65 UU No.5/Th. 1997. Hal ini sebenarnya sejalan dengan ketentuan pasal 108 ayat 1 KUHP yang menyatakan setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana, berhak untuk mengajukan laporan kepada penyelidik atau penyidik baik secara lisan maupun tertulis. Seorang pelapor,
Universitas Sumatera Utara
dalam tindak pidana psikotropika peerlu mendapatkan jaminan keamanan dan perlindugan dari pihak yang berwenang pasal 54 ayat 3. Jaminan tersebut terdapat dalam pasal 57 yang berbunyi: 1. Di depan pengadilan, saksi dan/atau orang lain dalam perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau hal – hal yang memberikan kemungkinan dapat terungkapnya identitas pelapor. 2. Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi peringatan terlebih dahulu kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana psikotrpika untuk tidak menyebut identitas pelapor. Pengertian orang lain adalah jaksa, pengacara, panitera dan lain – lain. Ancaman bagi saksi atau orang lain yang menyebut nama, alamat atau identitas pelapor, terdapat dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 66 UU No. 5/Th. 1997. Seperti yang dikemukakan dalam penggolongan narkotika, zat atau obat golongan 1 mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu dalam penggunaan hanya dipergunakan untuk tujuan pengembagan ilmu pengetahuan dan tidak dipergunakan dalam terapi. Karena potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantugan, maka khusus narkotika golongan 1 diatur tersendiri, hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan serta dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya. Pengertian pengembagan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, keterampilan dan penelitian dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat terbatas. Penggunaan narkotika golongan 1 di luar ilmu pengetahuan adalah merupakan tindak pidana, misalnya: -
Tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan dan mengusai narkotika golongan 1;
Universitas Sumatera Utara
-
Tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan 1.
C.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Peredaran Narkotika Di Gunungsitoli
Narkotika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat tertentu yang telah memperoleh izin khusus dari menteri kesehatan. Pengertian produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas dan/atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstrasi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat. Yang berkaitan erat dengan produksi adalah mengolah, mengekstrasi, mengkonversi, merakit atau menyediakan. Sedangkan pergertian pabrik obat adalah perusahaan yang berbenruk badan hukum yang dimiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika pasal 1 angka 10. Untuk memproduksi narkotika dibuka kemungkinan untuk memberi izin kepada lebih dari satu pabrik obat dalam hal – hal tertentu pasal 8 ayat 1. Dalam rangka pengawasan terhadap proses produksi, mentri kesehatan melakukan pengedalian tersendiri. Pengertian pengendalian tersendiri adalah pengedalian yang lain, yakni dikaitkan dengan rencana kebutuhan tahunan narkotika, baik kebutuhan dalam wujud bahan baku narkotika maupun dalam wujud obat sebagai hasil akhir proses produksi pasal 8 ayat 2. Ancaman pidana bagi mereka yang memproduksi narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum diatur dalam pasal 80 ayat 1 UU No. 22/Th. 1997. Lembaga ilmu pengetahuan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta yang kegiatannya secara khusus atau salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian, dan pengembangan dapat memperoleh , menanam, menyimpan dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan. Akan tetapi harus mendapat ijin terlebih dahulu dari menteri kesehatan pasal 10. Pengertian lembaga
Universitas Sumatera Utara
ilmu pengetahuan tersebut termasuk juga intansi pemerintah yang karena tugas dan fungsinya berwenang melakukan pengawasan, penyidikan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. Terhadap pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepetingan pengembagan ilmu pengetahuan diancam dengan ketentuan pasal 99 UU No. 22/Th. 1997. Bagi pimpinan pedagang basar farmasi yang melakukan kegiatan-kegiatan seperti tersebut di atas, yang dilakukan bukan oleh lembaga ilmu pengetahuan diancam dengan pasal 99 UU No. 22/Th. 1997. Di dalam UU No. 5/Th. 1997 pengertian psikotropika terdapat dalam ketetuan umum, yaitu : psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perusahaan khas pada aktivitas mental dan perilaku pasal 1 angka 1 UU No. 5/Th. 1997. Dari pengertian tersebut, pada saat ini sudah dibedakan secara jelas antara narkotika dan psikotropika. Seperti uraian dalam bab III tentang penggolongan obat-obat berbahaya, menurut SMITH, KLINE dan FRENCH CLINICAL STAFF membuat definisi yang mencampur adukkan keduanya. Dari pengertian pasal 1 angka 1 tersebut diatas, maka pengertian psikotropika adalah : 1. Zat atau obat baik alamiah maupun sintetis yang bukan termasuk narkotika; 2. Berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat ( SSP); 3. Menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sebelum UU No. 5/Th. 1997 ada, masalah zat adiktif diatur dalam UU No. 23/Th. 1992 tentang kesehatan dalam pasal 44. Pada pokoknya disebutkan pengamanan, penggunaan bahan yang mengadung zat adiktif diarahkan agar tidak menggangu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Untuk itu baik produksi, peredaran dan penggunaan bahan yang mengadung zat adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan
Universitas Sumatera Utara
yang ditentukan. Di dalam UU No. 5/Th. 1997 disebutkan lebih lanjut, bahwa tujuan pengaturan psikotropika. Penggolongan psikotropika didasarkan sindrom ketergantugan, untuk pertama kali ditetapakan dan dilampirkan dalam undang-undang ini. Untuk selanjutkan apabila ada perubahan atau penetapan baru mengenai jenis-jenis psikotropika akan diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan pasal 2 UU No. 5/Th. 1997. Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Pengertian peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka perdangan. Bukan perdangan maupaun pemindahan tangan pasal 1 angka 5. Sedangkan perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran atau untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindah tangan psikotropika dengan memperoleh imbalan. Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar terlebih dahulu pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dalam hal ini departemen kesehatan pasal 9. Untuk itu menteri menetapakan syaratsyarat dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat. Terhadap psikotropika yang tidak didaftarkan terlebih dahulu, lalu diedarkan diancam dengan ketentuan pasal 60 ayat UU No. 5/Th. 199. Demikian juga terhadap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika wajib dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika. Pengertian pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkain kegiatan dalam rangka memindahkan psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, modal, atau sarana angkutan apapun, dalam rangka produksi dan peredaran pasal 1 angka 8. Sedangkan pengertian dokumen pengangkutan adalah surat jalan dan faktur yang memuat keterangan identitas pengirim, dan penerima, bentuk jenis, dan jumlah psikotropika yang diangkut. Dokumen tersebut dibuat oleh pabrik, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan faramasi pemerintah atau apotik yang mengirimkan psikotropika
Universitas Sumatera Utara
tersebut pasal 10. Jika ketentuan yang diatur dalam pasal 10 tersebut dilanggar, maka pelakunya diancam dengan ketentuan pasal 63 ayat 1 UU No. 5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur di dalam pasal 12 dan 13 UU No. 5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan faramasi pemerintah. Pegertian pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dan menteri untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan. Sedangkan pengertian lembaga penelitian dan lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan menggunakan psikotropika dalam penelitian, pengembagan, pendidikan, atau penganjaran dan telah mendapat persetujuan dari menteri dalam rangka kepentigan ilmu pengetahuan pasal 12. Pola- pola penyaluran tersebut terdapat di dalam pasal 12 ayat 2. Pola-pola penyaluran tersebut sudah dibakukan seperti ditentukan diatas, apabila polapola penyaluran tersebut disimpangi, bagi penyalur diancam pidana menurut pasal 60 ayat ayat 2 UU No. 5/Th. 1997, dan bagi peneriman penyaluran diancam pidana dalam pasal 60 ayat 3 UU No. 5/Th. 1997. Penyerahan psikotropika diatur dalam pasal 14 dan 15. Penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan , dan dokter pasal 14 ayat 1. Di dalam pelaksanaan ekspor dan impor Psikotropika tunduk pada UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dan perundang- undangan lainnya. Pada dasarnya ekspor dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi PBF, yang telah memiliki izin. Sedangkan untuk impor Psikotropika disamping oleh pabrik obat dan PBF, juga dapat dilakukan oleh lembaga penelitian atau lembaga pendidikan. Hanya saja untuk lembaga penelitian atau lembaga pendidikan dilarang mengedarkan Psikotropika yang di Impornya pasal 16. Penyimpangan terhadap ekspor dan impor dari ketentuan tersebut, merupakan Tindak Pidana yang diancam pasal 61 ayat 1 UU
Universitas Sumatera Utara
No. 5 tahun 1997. Para eksportir atau importir psikotropika, setiap kali melakukan kegiatan ekspor atau impor Psikotropika, harus memiliki surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor pasal 17 dari menteri kesehatan pasal 18. Baik eksportir maupun importir yang melalaikan kewajiban tersebut dikenai pidana berdasarkan pasal 61 ayat 1 UU No. 5 tahun 1997. Dalam hal pengangkutan dalam rangka ekspor dan impor wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor sekurang-kurangnya memuat: a. Nama dan alamat pengekspor dan mengimpor Psikotropika; b. Jenis, bentuk dan jumlah Psikotropika; dan c. Negara tujaun ekspor Psikotropika Pasal 23 ayat 2. Demikian juga dalam hal impor psiotropika, wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor Psikotropika yang dikeluarkan dari pemerintah negara pengekspor pasal 21. Dalam rangka pengangkutan ekspor pihak ekspor Psikotropika wajib memberikan : -
Surat persetujuan ekspor Psikotropika dari Menteri Kesehatan ;
-
Surat persetujuan impor Psikotropika dari Pemerintah Negara pengimpor;
Kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkut ekspor pasal 22 ayat 1. Untuk selanjutnya orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor tersebut wajib memberikan kedua surat tersebut kepada penanggung jawab pengangkutan pasal 22 ayat 2.
Universitas Sumatera Utara