ISSN : 1907 - 0144 Lingkungan Sebagai Salah Satu Faktor yang Mempengaruhi Seseorang Melakukan Kejahatan Oleh : I Made Kastama* Abstrak Suatu kenyataan bahwa didalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap normanorma pergaulan hidupnya, terutama yang dikenal sebagai norma hukum. Dimana dalam pergaulan manusia, penyimpangan norma hukum ini disebut sebagai kejahatan. Sebagai salah satu perbuatan yang menyimpang dari norma pergaulan hidup manusia, kejahatan adalah merupakan masalah sosial, yaitu masalah di tengahtengah masyarakat, dimana si pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga. Penyebab kejahatan selain terletak pada pelakunya sendiri juga karena pengaruh lingkungan pergaulannya di tengah-tengah masyarakat. Naik turunnya kejahatan tergantung kepada keadaan masyarakat, pergaulan masyarakat begitu pula keadaan keluarga. Tumbuhnya seseorang dalam pergaulan kelompok yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, adalah karena individu yang bersangkutan menyetujui pola perilaku yang melanggar hukum, dibanding dari pola perilaku lainnya yang normal. Faktor pergaulan seseorang dengan lingkungan masyarakat di mana ia berada, turut berpengaruh terhadap seseorang dalam melakukan kejahatan dan hubungannya dengan kejahatan itu bersumber dari masyarakat dan masyarakat sendiri yang akan menanggung akibatnya, baik langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan ada di dalam masyarakat itu sendiri. Penguasa masyarakat saat ini tampaknya yang perlu dilakukan adalah bagaimana lingkungan itu dibuat sedemikian rupa agar orang tidak dapat dengan mudah melakukan kejahatan. Pemimpin merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya pergaulan hidup bermasyarakat, kualitas dan tingkah laku pemimpin sangat berpengaruh terhadap masyarakat.
Kata Kunci
: Lingkungan, hukum dan Kejahatan
* Penulis adalah Dosen pada Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya dan menyelesaikan program Magister Ilmu Hukum UNIBRAW Malang
Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
49
I.
PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, maka segala tingkah laku seseorang dalam masyarakat harus mendasarkan pada hukum yang berlaku, demi tercapainya keadilan serta masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa kita yaitu masyarakat adil dan makmur. Untuk tercapainya keadilan harus adanya keserasian antara kebebasan dan ketertiban. Di dalam membatasi kebebasan yang merupakan Hak Asasi Manusia ini, timbullah aturan-aturan hukum yang bertujuan untuk adanya ketertiban dan ketentraman. Salah satu dari hukum yang mengatur ketertiban masyarakat adalah hukum pidana yang merupakan hukum sanksi. Hukum pidana dapat membatasi kemerdekaan seseorang dengan menjatuhkan pidana penjara atau kurungan dan bahkan lebih dari itu karena hukum pidana dapat menghabiskan nyawa seseorang (pidana mati). Maka dari itu alat Negara penegak hukum harus berhati-hati dan benar-benar menjalankan tugasnya demi tercapainya keadilan. Sebagaimana kita telah ketahui bahwa kejahatan dipengaruhi oleh waktu dan tempat dimana masyarakat hidup dan berkembang dalam pergaulan hidup, misalnya beberapa jenis perbuatan yang di suatu Negara dianggap kejahatan tetapi belum tentu di Negara lain perbuatan itu termasuk kejahatan, begitu pula sebaliknya. Demikian juga karena perkembangan jaman pandangan masyarakat terhadap kejahatan berkembang pula, misalnya perbuatan yang sekarang ini dianggap jahat belum tentu untuk masa yang akan datang dianggap jahat demikian pula sebaliknya. Menurut W.A. Bonger “Kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan. B. Bosu (1982 : 21 ) Dengan demikian kejahatan merupakan perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan dengan demikian negara harus menindaknya melalui aparat penegak hukum sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menangani kejahatan tersebut. Suatu kenyataan bahwa didalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap normanorma pergaulan hidup, terutama yang dikenal sebagai norma hukum. Dimana dalam pergaulan manusia bersama, penyimpangan norma hukum ini disebut sebagai kejahatan. Sebagai salah satu perbuatan yang menyimpang dari norma pergaulan hidup manusia, kejahatan adalah merupakan masalah sosial, yaitu masalah di tengahtengah masyarakat, dimana si pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga. Pembahasan mengenai masalah-masalah kejahatan ini telah cukup banyak dikemukakan, baik di dalam forum-forum, pertemuan ilmiah, mass media maupun dalam beberapa buku yang khusus membahas masalah tersebut. Selanjutnya dalam tulisan ini membahas tumbuhnya kejahatan yang dihubungkan dengan pengaruh lingkungan dari masyarakat itu sendiri . Pemecahan masalah kejahatan, secara umum dapat diamati sejak beberapa lama di Indonesia, dilakukan dengan mencari sebab pada pelakunya. Lembaga Pemasyarakatan yang tujuannya untuk memasyarakatkan orang yang keluar dari aturan-aturan tidak lain dari suatu kesimpulan bahwa Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
50
“penyakitnya” ada pada pelaku itu sendiri perlu mendapatkan perawatan segera, sehingga yang paling utama adalah pelakunya harus diluruskan, diperbaiki (rehabilitasi) dan mengembalikan (integrasi) sebagai warga yang baik atau dengan singkat kata dimasyarakatkan kembali. Dengan demikian melalui Lembaga Pemasyarakatan tersebut dapat mencapai kemanfaatan terhadap orang yang bersalah menjadikan sebagai orang yang lebih baik setelah mengisolasi dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia menjadi tempat yang lebih baik. Muladi (1992 : 51) Usaha-usaha yang dilakukan untuk mempelajari dan meneliti sebab-sebab yang mempengaruhi pelakunya melakukan kejahatan menghadapi suatu kenyataan, bahwa sesuai dari sifat dan hakikat kejahatan yang dilakukan sukar sekali untuk menemukan factor-faktor yang pasti penyebab sesorang melakukan kejahatan. Malahan dari hasil-hasil penelitian para ahli muncul teori-teori yang berbeda-beda atau bahkan mashab yang satu berlawanan dengan mashab yang lain. Seperti misalnya mashab anthropologi menganggap seseorang itu melakukan kejahatan bersumber dari diri manusia itu sendiri sebagai bakatnya sejak lahir. Hal bertentangan dengan mashab lingkungan yang menganggap, bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang itu disebabkan oleh hasil tiru meniru dari lingkungan pergaulan manusia yang melakukan kejahatan bukan karena bakatnya demikian menurut Gabriel Tarde. Djoko Prakoso (1986 : 138) II.
Pergaulan Bisa Membuat Orang Menjadi Jahat Indonesia sebagai Negara yang tengah membangun, yang mengalami perubahan-perubahan sosial ekonomi, masalah kejahatan ini senantiasa harus memerlukan penanganan dengan mengacu pada kontaks sosial yang lebih luas dengan mempertimbangkan kenyataan pelaksanaan berfungsinya aparat kamtibmas dalam lingkungan sosial, ekonomi, politik, hukum dan teknologi yang semakin kompleks. Karena kejahatan tidak terlepas dari proses-proses dan struktur-struktur sosial ekonomi yang tengah berlangsung dan mengkordinasikan bentuk-bentuk sikap serta perilaku para warga masyarakat. Yang mana proses-proses sosial, ekonomi yang dialami oleh para warga masyarakat ini meliputi pula dinamika sosial yang melatarbelakangi perbuatan-perbuatan jahat. Penyebab kejahatan selain terletak pada pelakunya sendiri juga karena pengaruh lingkungan pergaulannya di tengah-tengah masyarakat. Naik turunnya kejahatan tergantung kepada keadaan masyarakat, pergaulan masyarakat begitu pula keadaan keluarga. Tumbuhnya seseorang dalam pergaulan kelompok yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, adalah karena individu yang bersangkutan menyetujui pola perilaku yang melanggar hukum, dibanding dari pola perilaku lainnya yang normal. Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita (1987 : 50) Di dalam masyarakat, seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang menghormati atau mentaati hukum dan pada waktu yang sama juga dikelilingi oleh mereka yang tidak menghormati hukum. Pergaulan dalam lingkungan sangat Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
51
mempengaruhi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat dalam pergaulan. Lebih lanjut Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey dalam bukunya Principles of Criminologi mengemukakan, bahwa proses dimana seseorang bertingkah laku tertentu berdasarkan pada : a. tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam suatu proses perhubungan (komunikasi). b. Bagian yang terpenting dari tingkah laku kriminal itu dipelajari dalam kelompok pergaulan yang intim. c. Bila tingkah laku kriminal itu dipelajari, maka pelajaran itu diliputi: cara melakukan kejahatan, baik yang sukar maupun yang sederhana; serta motif, pikiran-pikiran dan sikap-sikapuntuk melakukan kejahatan yang spesifik. d. Lingkungan pergaulan yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dapat bervariasi/berubah-ubah dan perubahan-perubahan tersebut tergantung pula pada frekuensi (keseringan), duration (suatu jangka waktu tertentu), priority (masa lampau) dan intensity (intensitas) e. Proses mempelajari tingkah laku kriminal secara bervariasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal meliputi di dalamnya sebagaimana kita mempelajari segala sesuatu. Djoko Prakoso (1986 :149). Dengan tanpa mengabaikan faktor-faktor lain ternyata faktor pergaulan seseorang dengan lingkungan masyarakat di mana ia berada, turut berpengaruh terhadap seseorang dalam melakukan kejahatan, atau dengan kata lain faktor pergaulan masyarakat sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam hubungannya dengan kejahatan itu bersumber dari masyarakat dan masyarakat sendiri yang akan menanggung akibatnya, baik langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan ada di dalam masyarakat juga. Penguasa masyarakat saat ini tampaknya yang perlu dilakukan adalah bagaimana lingkungan itu dibuat sedemikian rupa agar orang tidak dapat dengan mudah melakukan kejahatan. Sebagai contoh masyarakat melakukan penjagaan agar orang tidak mudah melakukan kejahatan, Jadi jelas upaya yang dilakukan adalah lingkungan yang dibuat sedemikian rupa agar orang yang punya niat jahat terdorong untuk tidak melakukannya. Yang tidak banyak dipersoalkan adalah apakah mungkin lingkungan yang justru membesarkan si penjahat sehingga tumbuh menjadi penjahat yang lebih jahat. Oleh karena itu kita sebagai anggota masyarakat harus bisa menepis dugaan negatif atas pertanyaan di atas. Masyarakat perlu menyelesaikan persoalan sesuai dengan nilai-nilai yang dihormati dapat mendukung agar kejahatan dapat ditekan ke tingkat yang paling rendah. Menyadari manusia adalah mahluk sosial sebagaimana Aristoteles menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi mahluk yang suka bermasyarakat. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil ( 2000 : 3) Manusia sebagai mahluk individu yang tidak bisa terlepas dari kehidupan bermasyarakat dan kita semua menginsyafi bahwa individu yang dipisahkan dari masyarakat adalah khayalan semata-mata, sebab manusia hanya bisa sungguhTampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
52
sungguh menjadi manusia bila ia sebagai anggota dari satu atau lebih persekutuan dan persekutuan itu tidak bisa di luar manusia yang menjadi anggotanya. Manusia dalam hukum bukan lagi Robinson atau Adam, bukan lagi individu yang terpisah, melainkan manusia dalam masyarakat atau manusia bermasyarakat. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka keadaan lingkungan atau masyarakat mempengaruhi tingkah laku seseorang sebagai anggota masyarakat karena baik buruknya lingkungan masyarakat merupakan salah satu faktor pencetak dari baik buruknya individu. Faktor lingkungan masyarakat yang sangat mempengaruhi tingkah laku manusia dalam masyarakat, jadi untuk menekan tingkat kejahatan dalam masyarakat diadakan suatu norma atau aturan yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Manusia pada umumnya mengetahui sebagai dasar dari orang taat kepada hukum yaitu apabila hukum yang ada sesuai dengan nilai-nilai yang dihormati oleh masyarakatnya. Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil ( 2000 : 14). Begitu pula pendapat Von Savigney bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat itu sendiri atau hukum yang mecerminkan perasaan hukum dari masyarakat itu sendiri. Disini lingkungan yang tumbuh cocok dan mendukung kultur masyarakat dan sebaliknya jika ada hukum yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dihormati, maka masyarakat akan cenderung untuk tidak mentaati hukum itu. III. PEMIMPIN SERING DIJADIKAN PANUTAN Pemuka-pemuka masyarakat dalam melaksanakan tugasnya diharapkan memberikan contoh yang baik karena masyarakat kita masih menganut sistem panutan, perkumpulan-perkumpulan yang menciptakan lingkungan religius agar orang-orang sadar bahwa berbuat jahat itu tidak baik. Pimpinan pada hakekatnya adalah orang yang mampu menumbuhkan situasi aman dan tentram untuk masyarakatnya. Jika pemimpin sama sekali buta dengan hukum, maka masyarakat yang dipimpin akan bisa tumbuh dengan nilai-nilai yang ada justru berlawanan dengan hukum. Hal ini sebagai salah satu pencegahan tingkah laku individu yang buruk yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, perlu dikembangkan situasi lingkungan yang sedemikian rupa misalnya dengan contohcontoh yang baik dan positif yang diberikan oleh penguasa atau perangkat desa yang akan diteladani oleh anggotanya karena masyarakat kita masih menganut sistem panutan tersebut. Pemimpin merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya pergaulan hidup bermasyarakat, kualitas dan tingkah laku pemimpin sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Ringkas kata pemimpin mempunyai kesempatan paling banyak merubah batu menjadi permata atau sebaliknya merubah istana Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
53
menjadi abu bila ia salah langkah atau tidak cakap. Oleh karena itu seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi masyarakatnya. Yang lebih penting adalah pemimpin dan anggota masyarakat harus mampu mempertahankan nilai-nilai positif yang hidup di dalam masyarakat dan yang sangat dihormati oleh masyarakat itu sendiri dan nilai-nilai yang baik adalah sesuai dengan perasaan hukum dari masyarakat itu sendiri. Salah satu cara untuk menertibkan masyarakat adalah dimana seharusnya anggota masyarakat mentaati hukum dan hukum supaya ditaati masyarakat harus mencerminkan nilai-nilai yang dihormati oleh masyarakat itu sendiri. Masyarakat pada umumnya tidak tahu tentang hukum, yang diketahui dan dilaksanakan adalah apa yang biasanya dilakukan oleh orang banyak. Jangankan masyarakat pejabatpun tidak jarang hanya mengumandangkan pegangan-pegangan moral pada umumnya. Walaupun tidak tahu hukum tidak boleh dijadikan alasan, lebih-lebih oleh penguasa masyarakat, sebab bagaimana jadinya jika masyarakat sudah tidak tahu hukum dan pimpinannya juga tidak tahu hukum. Untuk mengatasi hal ini maka penguasa/pemimpin harus lebih banyak tahu hukum dari masyarakat pada umumnya. Disamping hukum dan peraturan yang ada tingkah laku pemimpin bisa menjadi aturan artinya masyarakat akan mengikuti tingkah laku pemimpinnya berperan sekali dalam membina dan menyuburkan tumbuhnya nilai-nilai masyarakat yang positif dan inilah salah satu penunjang terciptanya ketaatan masyarakat kepada hukum, sehingga kecenderungan kejahatan bisa ditekan. IV. KEKERASAN JUGA SEBAGAI PENYEBAB KEJAHATAN Kejahatan akan selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri. Sejarah perkembangan manusia sebelum, selama dan sesudah abad pertengahan telah ditandai dengan berbagai upaya manusia untuk mempertahankan kehidupannya dan hampir sebagaian besar memiliki unsur kekerasan sebagai fenomena dalam dunia realita. Bahkan kehidupan umat manusia pada abad ke 21 ini masih ditandai pula oleh eksistensi kekerasan sebagai suatu fenomena yang tidak berkesudahan, apakah fenomena dalam usaha mencapai tujuan suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau tujuan yang bersifat perorangan. Perkembangan kejahatan dengan kekerasan oleh pihak-pihak tertentu dikaitkan dengan banyaknya adegan-adegan kekerasan yang ditayangkan dalam acara televisi daslam bentuk action, selalu menarik perhatian pemirsanya dan dalam acara tersebut selalu terdapat adegan yang mengarah kepada kekerasan, meskipun adegan kekerasan itu bermaksud untuk melindungi yang lemah dan membela kebenaran. Hal iniliah yang bias mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku anggota masyarakat. Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri, bahkan ia sudah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah studi tentang kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas frekwensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
54
maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini. Romli Atmasasmita (1992 : 52) Dilihat dari sudut pandangan kriminologi, kejahatan-kejahatan dengan kekerasan dapat dijelaskan dengan melihat pada kultur dan struktur-struktur yang ada dalam masyarakat. Sumber-sumber cultural dari kejahatan-kejahatan dengan kekerasan terletak pada berseminya sub kebudayaan kekerasan yang antara lain merupakan nilai-nilai dan norma yang mendukung pola prilaku kekerasan dimana respon-respon yang secara pisik agresif diharapkan, bahkan dibutuhkan oleh kelompok-kelompok social pendukung sub kebudayaan tersebut. Mulyana W. Kusumah ( 1982 : 53) Seringkali perkembangan sub kebudayaan kekerasan ini diperkuat oleh reaksi-reaksi terhadapnya, baik dari masyarakat maupun dari mereka yang mempunyai monopoli atas kekerasan yang sah seperti pelaksana penegak hukum. Dalam beberapa kasus misalnya : perampokan dan bentuk-bentuk kejahatan dengan kekerasan lain – tidak jarang terbetik berita mengenai mati tertembaknya pelaku kejahatan oleh pelaksana penegak hukum. Hal ini merupakan perwujudan reaksi kekerasan yang sah atas kekerasan illegal dan kekerasan kian dipandang sebagai bagian gaya hidup, pemecah masalah kolektif secara cepat. Mulyana W. Kusumah ( 1982 : 53) Mengenai pola-pola kekerasan, Martin R. Haskell dan Lewis Yablonsky mengemukakan adanya 4 (empat) katagori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan yakni : 1. Kekerasan legal Banyak tindakan-tindakan kekerasan yang didukung oleh hukum. Seorang anggota tentara memperoleh ganjaran sebagai pahlawan atas intensitas perilaku kerasnya dalam rangka menjalankan tugas. Termasuk ke dalamnya juga kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya : dalam sport-sport agressip tertentu (contoh tinju) serta tindakan-tindakan tertentu untuk mempertahankan diri; 2. kekerasan yang secara social memperoleh sanksi Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan terhadapnya atau sanksi social. Misalnya : tindakan kekerasan suami atas penzinah akan memperoleh dukungan social. 3. kekerasan rasional Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya : pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi. Mengutif Gilbert Geis tentang jenis kejahatan ini dikatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti perjudian, pelacuran Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
55
serta lalu lintas narkotika secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil lebih dari pada orang-orang yang ada di lingkungan tersebut. 4. “Illegal nonsanctioned, irrational violence” yakni kekerasan yang tidak berperasaan, yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dhulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal (dalam pembunuhan : oleh pembunuhnya). Dapat digolongkan kedalamnya adalah apa yang dinamakan “raw violence” yang merupakan ekspressi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya. Mulyana W. Kusumah ( 1981 : 122-123). Kejahatan dengan kekerasan selalu ada dan berkembang mengikuti perkembangan jaman dan masyarakat, sehingga dapat dikatakan Crime is a social phenomenen. Disamping itu kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan akan berpengaruh pula terhadap kualitas dan kuantitas kejahatan. Di wilayah perkotaan pertumbuhan dan perkembangan fungsi kota secara administratif maupun komersial serta keadaan kota yang semakin menjadi interaksi sosial budaya yang sangat mempengaruhi nilai, pandangan dan sikap prilaku warganya. Berbagai faktor penyebab timbulnya kejahatan ini mendapat perhatian dari semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Bahwa kejahatan adalah hasil dari faktorfaktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam. Dalam tulisan ini disajikan pula secara garis besar faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan terdiri dari dua bagian besar yaitu : faktor-faktor yang bersumber dari diri seseorang (faktor intern) dan faktor-faktor yang bersumber dari luar diri seseorang (faktor ekstern). Kedua faktor ini jelas tidak dapat dilepaskan satu sama lain dan bahkan faktor tersebut satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi. Ad. a. Faktor Intern (faktor-faktor yang bersumber pada diri individu). Faktor ini memiliki sifat khusus yang terkait dengan keadaan psikologi diri seseorang. Masalah kepribadian sering dapat menimbulkan kelakuan yang menyimpang, terlebih lagi jika terdapat tekanan-tekanan perasaan. Orang yang tertekan perasaannya mempunyai kecendrungan untuk melakukan penyimpangan, dan penyimpangan ini mungkin terhadap sistem sosial ataupun terhadap pola-pola kebudayaan dan adat istiadat. Keadaan ini juga dapat menimbulkan suatu perbuatan yang sebenarnya tidak disadari namun dapat membawa musibah bagi dirinya sendiri atau orang lain. Adapun beberapa faktor intern yang menimbulkan kejahatan antara lain : 1. Sakit Jiwa. Orang yang terkena sakit jiwa mempunyai kecendrungan untuk berbuat dan bersikap di luar dari biasanya selayaknya seseorang yang waras sebagai mahkluk sosial. Sakit jiwa dapat disebabkan adanya konflik mental yang berlebihan atau karena pernah mengalami suatu masalah yang melanggar normaTampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
56
norma sosial yang fatal sehingga hal ini mempengaruhi kejiwaannya. Oleh karena itu seseorang yang terkena sakit jiwa mempunyai kecendrungan untuk berbuat hal-hal yang menyimpang seperti mengambil milik orang lain. 2. Daya Emosional. Masalah emosional sangat erat hubungannya dengan masalah sosial dan berkaitan dengan kelakuan seseorang. Emosional dapat mendorong seseorang untuk berbuat penyimpangan dan penyimpangan itu tidak dapat dihindarkan dalam keadaan yang terdesak antara kehendak dan emosi atau tidak mampu untuk mencapai keseimbangan antara emosinya dengan kehendak masyarakat. 3. Rendahnya Mental. Rendahnya mental ada hubungannya dengan daya intelegensia seseorang. Jika seseorang mempunyai daya intelegensia yang tajam maka ia dapat menilai realitas atau kenyataan yang terjadi di sekelilingnya, sehingga semakin mudah untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya. Sebaliknya jika seseorang mempunyai daya intelegensia rendah, maka ia akan mempunyai kecendrungan yang lemah pula mentalnya, sehingga ia merasa tidak sanggup untuk berbuat sesuatu, takut kalah dan tidak dapat menyesuaikan diri dan dalam keadaan yang demikian ia akan tersisihkan dari lingkungannya. Semakin lama ia semakin tertekan dan untuk mencapai kehendaknya maka ia cendrung untuk mencari jalan sendiri yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kehendaknya. 4. Kebingungan (Anomi). Secara psikologi, kepribadian manusia itu dinamis, yang ditandai dengan adanya kehendak, berorganisasi, berbudaya dan sebagainya. Kehendak tersebut bersandar pada manusia sebagai mahluk sosial. Keadaan pribadi manusia inilah yang berhubungan dengan keadaan yang diterima sewaktu-waktu dan tidak luput dari keadaan ekonomi. Masa Anomi ini biasanya ditandai dengan ditinggalkannya keadaan yang lama dan mulai memasuki keadaan yang baru. Sebagai ukuran orang akan menjadi anomi (kebingungan) adalah pada saat ia berhadapan dengan suatu kejadian atau perubahan yang belum pernah dialaminya dan pada saat ia berhadapan dengan situasi baru, ketika harus menyesesuaikan diri dengan cara-caranya yang baru pula. Masa anomi akan terjadi jika seseorang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama, sementara hal-hal yang baru belum dikuasai atau didapatnya, sehingga orang akan kehilangan pegangan, maka saat itu pula ia akan merasakan suatu krisis, rawan dan mudah terpengaruh. Orang yang sedang dalam anomi sedikit banyak mempunyai kecendrungan untuk melakukan tindak kejahatan. Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
57
Ad. b. Faktor Ekstern (faktor-faktor yang bersumber dari luar individu). Faktor-faktor ini perpangkal pada lingkungan luar diri manusia, terutama hal-hal yang mempunyai kaitan dengan timbulnya kejahatan. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan dari luar idividu meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Faktor Ekonomi. Faktor ekonomi dapat pula mempengaruhi timbulnya kejahatan. Bahwa kejahatan hanyalah suatu produk dari suatu sistem ekonomi yang buruk terutama dalam sistem kapitalitas, maka tugas kriminologi adalah menunjukkan hubungan yang sesungguhnya antara bangunan ekonomi masyarakat dengan kejahatan. Sebagai lawan fungsi yang menyatakan bahwa sistem ekonomilah yang pertama-tama bertanggung jawab atas adanya kriminalitas, banyak terdapat pertentangan pendapat. Faktor ekonomi sebagai penyebab timbulnya kriminalitas dapat diuraikan seperti adanya perubahan-perubahan harga. Keadaan perubahan harga dan kriminalitas dapat dikatakan mempunyai hubungan yang langsung, terutama kejahatan mengenai hak milik orang lain atau pencurian. Dalam hal ini apabila suatu saat terjadi perubahan harga yang cendrung naik, maka terdapat kecendrungan angka kejahatan meningkat. Hal ini terjadi karena adanya daya beli yang sangat kurang dari kebutuhan yang harus dipenuhi. Secara teoritik, M. Harvey Brener mengidentifikasi bebrapa pandangan mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejahatan yakni : a. Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan-kegiatan industri illegal; b. Terdapatnya bentuk-bentuk “inovasi” sebagai akibat kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosio-struktural untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi, banyak warga masyarakat ysng kurang mempunyai kesempatan mencapai tujuan-tujuan social dan menjadi innovator, potensial yang cenderung mengambil bentuk pelanggaran hukum; c. Perkembangan karier kejahatan dapat terjadi sebagai akibat tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah; d. Pada beberapa tipe kepribadian tertentu, krisis ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap pencapaian cita-cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk perilaku delinquent; e. Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, sejumlah warga masyarakat yang menganggur dan kehilangan penghasilanya cendrug untuk menggabungkan diri dengan temanteman yang menjadi pengangguran pula dan lebih memungkinkan Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
58
2.
3.
5.
6.
dirancang dan dilakukannya suatu kejahatan. Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita ( 1987 : 78-79) Faktor agama. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh faktor agama terhadap timbulnya suatu kejahatan, akan tetapi nampaknya nilai agama dapat pula membuat orang untuk berbuat jahat. Norma-norma yang terkandung di dalam agama (semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan), mempunyai nilai-nilai yang tinggi dalam kehidupan manusia, sebab norma tersebut merupakan norma Ketuhanan dan segala sesuatu yang digariskan oleh agama itu senantiasa dalam membimbing manusia ke arah yang baik dan benar (perintah dan larangan). Sebaliknya jika agama itu tidak berfungsi atau manusia tidak melaksanakan ajaran agama dengan baik bisa menimbulkan iman yang lemah. Kalau demikian keadaanya maka seseorang dapat melakukan hal-hal yang buruk yang bertentangan dengan normanorma sosial dan agama. Faktor Bacaan. Buku-buku bacaan yang bermotif kejahatankejahatan dapat mempengaruhi jiwa seseorang yang sebenarnya belum boleh untuk dibacanya, karena faktor usia, pendidikan dan lain-lain. Buku bacaan ini dapat memberikan peluang untuk berbuat baik dan tidak baik, berbuat tidak baik karena bacaan seperti Koran ataupun roman-roman mempunyai pengaruh kriminilogis, terutama tentang ilustrasi-ilustrasi tertentu, yang secara teknis dapat dipraktekkan oleh mereka yang membacanya. Yang paling banyak kasus sekarang ini adalah kejahatan-kejahatan yang disebabkan oleh faktor bacaan yang bersifat porno dan kekerasan. Faktor Film. Pengaruh film dapat menimbulkan kejahatan hampir sama dengan pengaruh bacaan, hanya terdapat perbedaan pada khayalan si pembaca dengan si penonton. Bacaan dapat menimbulkan khayalan secara tidak langsung tentang kejadiankejadian yang dibacanya, sedangkan penonton dapat secara langsung menganalogi dirinya pada film yang ditonton. Kesan yang mendalam dari apa yang telah disaksikan atau didengar dalam film yang berbau negatif dapat memperjelas niatnya untuk mendatangkan khayalankhayalan baru tentang apa yang disaksikan lewat film tersebut. Faktor Pengangguran Bisa juga rendahnya tingkat pemilikan ekonomi disebabkan karena sempitnya lapangan kerja, pertambahan pendududk yang tidak berimbang dan lain-lainnya sehingga dapat menyebabkan semakin banyak pengangguran. Pengangguran dapat dikatakan sebagai penyebab timbulnya kejahatan pencurian, yang kesemuanya itu dilakatbelakangi oleh kondisi buruk faktor ekonomi.
Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
59
7.
Faktor Urbanisasi. Di negara yang sedang berkembang banyak terjadi perubahan dalam kehidupan mayarakat, salah satu perubahan itu adalah tempat tinggal atau urbanisasi. Urbanisasi dilakukan oleh banyak penduduk terutama di Indonesia dalam mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Hal ini dimaksudkan untuk merubah nasib penghidupannya agar lebih baik daripada sebelumnya yang pada dasarnya orang yang termasuk dalam arus urbanisasi adalah mereka yang perekonomiannya lemah.. Bayangan semacam itu tampaknya tidak semudah apa yang dikatakan orang, tetapi mereka yang telah turut dalam arus urbanisasi tidak sedikit yang mengalami kegagalan , frustasi dan sebagainya, yang kesemuanya itu banyak menimbulkan hal-hal negatif yang bisa mengarah kepada kejahatan pencurian dan sebaginya.
V.
PENUTUP Dari uraian tersebut di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan yaitu antara lain : 1. Bahwa manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat dalam prilakunya akan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dimana manusia tersebut berada dan hidup bermasyarakat. 2. Meningkatnya kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, ini akan tergantung dari situasi yang mendukung lingkungan masyarakat tersebut, misalnya lingkungan masyarakat selalu taat akan nilai-nilai atau selalu menghormati norma-norma dari masyarakat, maka setidak-tidaknya tingkat kejahatan akan dapat ditekan serendah mungkin. 3. Bahwa situasi lingkungan yang kurang menguntungkan akan menyebabkan manusia yang hidup dalam masyarakat yang demikian akan cenderung berbuat sesuai dengan lingkungannya. Dalam hal yang demikian diperlukan sekali pemimpin/pemuka masyarakat yang dapat merubah situasi yang demikian, karena masyarakat masih berorientasi ke atas artinya akan mencontoh tingkah laku pemimpinnya. 4. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki dengan demikian hukum itu akan selalu ditaati tanpa ada paksaan dari luar.
Daftar Pustaka Atmasasmita Romli 1992. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung, Bosu B. 1982. Sendi-Sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya. Kansil C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2000. Pengantar Ilmu Hukum, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta. Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
60
Kusumah Mulyana W. 1981. Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, Alumni, Bandung. ------------. 1982. Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Muladi, 1992. Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung. Prakoso Djoko, 1986. Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Widiyanti Ninik – Yulius Waskita, 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta.
Tampung Penyang : Volume V Nomor: 1 Januari 2008
61