1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Pendidikan
merupakan
proses
belajar
mengajar
yang
dapat
menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan.1 Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku adalah lingkungan sekolah.2 Prinsip dasar umum perilaku adalah dalam arti yang luas pendidikan dapat mencakup proses hidup dan segenap interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, nonformal maupun informal. Dalam rangka mewujudkan dirinya sesuai dengan tahapan tugas perkembangannya secara optimal sehingga ia mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu.3 Barangkali ada orang yang sering berbicara tentang pendidikan, sedangkan pandangannya tertuju secara khusus kepada sekolah.4 Lingkungan sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.5 Keberhasilan
1
Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 120. 2 Mustofa A, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 93. 3 Abin Syamsyudin Makmun, Psikologi Kependidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), 18. 4 Hery Noer Aly & Munzier, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani 2000), 201. 5 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 152-153.
2
orang tua dan guru dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan akan terwujud pada tingkah laku.6 Mendidik berdasarkan hasil penyelidikan (teori) dan berdasarkan pengalaman-pengalaman (praktis) lebih banyak dan baik hasilnya daripada hanya berdasarkan pengalaman dan inisiatif belaka.7 Maka tidak diragukan lagi bahwa tanggung jawab pendidikan sosial masyarakat merupakan salah satu tanggung jawab bagi para pendidik dan orang tua dalam rangka mempersiapkan anak didik mampu tampil bergaul di tengah-tengah masyarakat dan mampu menunaikan kewajiban, sopan santun, bersikap cakap, matang dalam berfikir dan berlaku bijak dalam berinteraksi dan bergaul dengan orang lain.8 Untuk mencapai tujuan pendidikan di atas, pendidikan tidak diukur dari hasilnya saja, tetapi juga dari proses, hubungan dan interaksinya.9 Perilaku operan merupakan perilaku yang dibentuk, diperoleh dan dipelajari serta dikendalikan melalui proses belajar.10
Adapun istilah yang sering
digunakan adalah “houding” atau “sikap”. Jika memahami sikap seseorang mungkin kita dapat mengerti/memahami perilaku apa yang ditampilkan seseorang.11 Selain itu bisa dilakukan dengan memberdayakan lembaga
6
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi aksara, 2000), 65. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakaraya, 1995), 4. 8 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), 1. 9 Heri Noer Aly & Munzier, Ilmu Pendidikan Islam, 202. 10 Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Yogyakarata: Andi Ofset, 1991), 17. 11 Samsunuwiyati Mar’at, & Lieke Indieningsih Kartono, Perilaku Manusia Pengantar Singkat Psikologis (Bandung: Refika Aditama, 2006), 102. 7
3
pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan.12 Berdasarkan penjajagan langsung pada tanggal 1 sampai 30 Nopember 2007 di SMK Negeri 2 Ponorogo siswa tingkat IIC bahwa masih terdapat siswa yang ramai di dalam kelas, siswa yang mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di dalam kelas, siswa terlambat masuk, dan siswa yang bermain handphone saat kegiatan belajar mengajar. Semua permasalahan di atas menitik beratkan pada perilaku siswa. Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungan dan dengan demikian akan dapat menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan
untuk
berfungsi
secara
adekuat
dalam
kehidupan
masyarakat.13 Tujuan pendidikan diartikan sebagai suatu usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari siswa atau subyek belajar, setelah menyelesaikan atau telah memperoleh pengalaman belajar.14 Alat untuk mencapai ilmu dengan pendidikan, sedangkan alat pembentukan perilaku melalui pergaulan dan interaksi sosial dengan lingkungan. Tingkah laku manusia merupakan produk interaksi antara tabiat individu dengan lingkungan sosial.15 Maka konsekwensi pendidikan yang merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah perlu
12
Hujair A.H Sanaki, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), 147. 13 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 79. 14 Mustakim, Psikologi Pendidikan (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 57. 15 Hery Noer Aly & Munzier, Ilmu Pendidikan Islam, 175.
4
adanya hubungan yang harmonis dan selaras yang saling mengisi dan menerima (take and give).16 Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, menunjukkan bahwa peran sekolah sangat penting dalam pembentukan perilaku belajar siswa. Mengingat pentingnya peran sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian di tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo yang berjudul “PERAN SEKOLAH DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU BELAJAR SISWA TINGKAT IIC SMK NEGERI 2 PONOROGO”
B.
Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada peran sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa yang meliputi perilaku belajar siswa, upaya sekolah dalam pembentukan prilaku belajar siswa, dan faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam pembentukan perilaku belajar siswa.
C.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo?
16
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, 34.
5
2.
Apakah upaya yang dilakukan sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo?
3.
Apakah faktor-faktor pendorong dan penghambat sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo?
D.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah: 1.
Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo.
2.
Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan upaya yang dilakukan sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo.
3.
Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan faktor-faktor pendorong dan penghambat sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo.
E.
Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis a.
Dengan diadakannya penelitian ini maka akan ditemukan model baru pembentukan perilaku belajar siswa.
6
b.
Untuk kepentingan studi ilmiah dan sebagai bahan informasi serta acuan bagi peneliti lain yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut.
2.
Secara Praktis Hasil penelitian ini supaya dapat dijadikan model pembelajaran baru dalam membentuk perilaku belajar siswa sehingga siswa memperoleh prestasi belajar yang baik dan berperilaku yang baik pula di dalam lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
F.
Telaah Pustaka 1. Menurut Dewi Imma Magfiroh dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Agama Islam Terhadap Ketaatan Beribadah Siswi Tingkat III SMKN 2 Ponorogo” tahun 2005, bahwa hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: a. Pembelajaran Pendidikan Agma Islam di SMK Negeri 2 Ponorogo pada kategori sedang. b. Ketaatan beribadah siswi tingkat III SMK Negeri 2 Ponorogo pada kategori sedang. c. Ada pengaruh yang signifikan antara pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan ketaatan beribadah siswi tingkat III SMK Negeri 2 Ponorogo, karena pelaksanaan pembelajaran PAI selain berdasarkan kurikulum
yang ditetapkan juga
berdasarkan
keagamaan yang bersifat non kurikulum.
kegiatan-kegiatan
7
2. Menurut Yuyun Inderita Puji Wahyu Ningtyas dalam skripsinya yang berjudul
“Peranan
pendidikan
Menengah
Islam
Terpadu
Dalam
Membentuk Perilaku Anak Didik (Studi Kasus Di Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Asy-Syukriyyah Cipondoh Tangerang” tahun 2005, bahwa hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: a. Program Menengah Islam Terpadu di Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Asy-Syukriyyah Cipondoh
Tangerang mulai
diterapkan sejak tahun 2003. Kurikulum pendidikan yang diberlakukan dalam 2 bagian, yaitu kurikulum umum dan kurikulum khusus. yang mana telah banyak berimplikasi baik pada perilaku dan prestasi anak didik. Disamping itu telah menggunakan berbagai media dan teknik mengajar terbaru yang mampu membuat anak didik betah, tertarik dan tertantang sehingga mampu menaikkan semangat dan prestasi belajar siswa. Pelaksnaan Pendidikan Menengah Islam Terpadu di Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Asy-Syukriyyah Cipondoh Tangerang juga mengacu pada 3 komponen utama yang meliputi keterpaduan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, keterpaduan antara walimurid dan sekolah, dan keterpaduan sikap tenaga didik (guru) dalam mengoptimalkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik anak didik. b. Setelah diterapkan sistem pendidikan menengah Islam terpadu di sekolah menengah pertama Islam terpadu (SMPIT) Asy-Syukriyyah Cipondoh Tangerang perilaku anak didik yang mencakup kedisiplinan,
8
pengamalan agama Islam dan prestasi anak didik bisa dilihat dari berkurangnya siswa yang sering absent, berkurangnya tingkat pelanggaran tata tertib sekolah, semakin besar tingkat kesadaran siswa untuk mengikuti sholat berjama’ah dan prestasi atau nilai anak didik yang semakin meningkat atau di atas standar rata-rata.
G.
Metode Penelitian 1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.17 Sehubungan dengan hal tersebut, maka ciri-ciri penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen sebagaimana dikutip oleh Lexy Moleong
adalah:
(1)
Situasi-situasi
alamiah
(natural
setting)
sebagaimana adanya sebagai sumber data langsung dan peneliti adalah alat (instrument) utamanya; (2) Bersifat deskriptif, dalam arti yang dikumpulkan lebih banyak kata-kata atau gambar-gambar daripada angka-angka; (3) Lebih mementingkan proses daripada hasilnya. (4) Cenderung menghendaki analisis data secara induktif; dan (5) Penelitian bersifat menyeluruh (holistik).
17
2000), 3.
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
9
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu peneliti ikut serta atau langsung terjun ke lapangan untuk mendapatkan data. Peneliti langsung mengamati fenomena yang ada di lapangan kemudian diambil data yang berkaitan dengan peran sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo. Dengan field research ini peneliti dapat langsung mendapatkan data secara akurat. 2.
Kehadiran Peneliti Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta. Sebab peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya. Yang dimaksud pengamatan berperan serta adalah penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu yang cukup lama antara peneliti dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpukan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan.18 Dalam penelitian ini peneliti bertindak
sebagai
instrumen
kunci,
partisipan
penuh
sekaligus
pengumpul data, sedangkan instrumen yang lain sebagai penunjang. 3.
Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di SMK Negeri 2 Ponorogo jalan Laks. Yos. Sudarso No 21 A telp (0352) 481922 Kec. Ponorogo, Kode Pos 63416.
18
Ibid., 117.
10
4.
Sumber Data Sumber data adalah subjek darimana data dapat diperoleh.19 Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lainnya. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini maka peneliti memanfaatkan dua sumber data yaitu: a.
Sumber data orang, meliputi kepala sekolah, guru, dan siswa SMK Negeri 2 Ponorogo.
b.
Sumber data non orang, berupa buku-buku dan dokumen-dokumen yang
diperlukan
maupun
artikel
yang
berkaitan
dengan
permasalahan. 5.
Prosedur Pengumpulan Data Teknik pengumpuan data pada penelitian ini adalah meliputi wawancara, observasi dan dokumentasi. Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan diobservasi pada latar, dimana fenomena tersebut berlangsung dan disamping itu untuk melengkapi data, diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subyek). a. Teknik Observasi Metode observasi adalah metode pengumpulan data dengan mengadakan pengawasan atau pengamatan serta pencatatan secara 19
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 107.
11
sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diteliti.20 Dalam arti luas observasi sebenarnya tidak terbatas pada pengawasan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Metode ini digunakan untuk mengetahui: 1) Kondisi geografis sekolah. 2) Pelaksanaan pembentukan perilaku belajar siswa, serta seluruh kegiatan siswa yang menunjang pada penelitian ini. Dalam penelitian kualitatif, bahwa pengamat bertindak sebagai partisipan. Dalam penelitian ini tingkat partisipasi dalam observasi yang akan dilaksanakan adalah keterlibatan tinggi yaitu partisipasi aktif. Pada observasi partisipan ini, peneliti mengamati aktifitas. Aktifitas sehari-hari objek penelitian, karakteristik fisik situasi sosial dan bagaimana perasaan pada waktu menjadi bagian dari situasi tersebut. Selama penelitian di lapangan, jenis observasinya tidak tetap. Dalam hal ini peneliti mulai dari observasi deskriptif secara luas yaitu berusaha melukiskan secara umum situasi sosial dan apa yang terjadi di sana, kemudian peneliti menyempitkan pengumpulan datanya dan mulai melakukan observasi terfokus, setelah itu peneliti dapat menyempitkan lagi penelitiannya dengan melakukan observasi selektif.
20
Sutrisno Hadi, Metodologi Research 2 (Yogyakarta: Andi Offset, 1993), 151.
12
Hasil observasi dalam penelitian ini, dicatat dalam catatan lapangan, sebab catatan lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti mengandalkan pengamatan dan wawancara dalam pengumpulan data di lapangan. Pada waktu di lapangan dia membuat catatan, setelah pulang ke rumah atau tempat tinggal barulah menyusun catatan lapangan.21 b. Teknik Wawancara (Interview) Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer).22 Wawancara tersebut dikerjakan
secara
sistematis
dan
berlandaskan
pada
tujuan
gunakan
untuk
penelitian.23 Dalam
metode
interview
ini
penulis
mendapatkan data-data lapangan yang menyangkut kegiatan yang diselenggarakan oleh SMK Negeri 2 Ponorogo, kondisi pelaku pendidikan (guru dan peserta didik) dan siswa, serta pelaksanaan pembentukan perilaku siswa. Teknik wawancara ini ada beberapa macam yaitu: 1) Wawancara terstruktur, yaitu bila peneliti telah mengetahui dengan pasti informasi apa yang akan diperoleh.
21 22 23
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 153-157. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, 132. Sutrisno Hadi, Metodologi Research 2, 218.
13
2) Wawancara semi terstruktur, yaitu wawancara yang bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara dimintai pendapat dan ide-idenya. 3) Wawancara tak berstruktur, yaitu wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.24 Sedangkan dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara tak terstruktur, yaitu wawancara bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Tujuannya untuk memperoleh data yang berhubungan dengan peran sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa. Sedangkan informan yang peneliti ambil adalah kepala sekolah, Waka Kurikulum, BP, guru, dan siswa SMK Negeri 2 Ponorogo. Peneliti memilih sekelompok subjek dalam purposive sampling, didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya.25
c. Teknik Dokumentasi 24 25
Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2005), 197. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 128.
14
Adalah suatu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa: catatan, transkip, buku, surat kabar, prasasti, notulen, rapat, lengger, agenda dan sebagainya.26 Adapun fungsi dari metode dokumentasi yang penulis gunakan adalah untuk memperoleh data tentang sejarah berdirinya SMK Negeri 2 Ponorogo, visi, misi dan tujuan sekolah, keadaan siswa, guru, karyawan, keadaan sarana dan prasarana, dan struktur organisasi sekolah di SMK Negeri 2 Ponorogo. 6.
Analisis Data Teknik analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif. Miles dan Huberman, mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data, meliputi data reduction, data display, dan conclution/ drawing/ verification.27 Langkah-langkah analisis ditunjukkan pada gambar berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Keterangan: 26 27
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, 206. Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan, 337.
Penyajian Data
KesimpulanKesimpulan/ Verivikasi
15
a.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami dan temuannya dapat diinfomasikan kepada orang lain.
b.
Mereduksi
adalah
merangkum,
memilih
hal-hal
pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, membuat katagori. Dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih
jelas
dan
mempermudah
peneliti
untuk
melakukan
pengumpulan data selanjutnya. c.
Mendisplay data adalah menyajikan data ke dalam pola yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, grafik, matrik, network, dan chart.
d.
Langkah yang terakhir dalam penelitian ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi
7.
Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (realibitas).28 Derajat kepercayaan keabsahan data (kredebilitas data) dapat diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun, dan triangulasi. a. Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menentukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan
28
Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 171.
16
atau isu yang sedang dicari. Ketekunan pengamatan ini dilaksanakan peneliti dengan cara: 1) Mengadakan
pengamatan
dengan
teliti
dan
rinci
secara
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol yang ada hubungannya dengan peranan keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembentukan perilaku siswa. 2) Menelaahnya secara terperinci sampai pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah difahami dengan cara yang biasa. b. Teknik triangulasi, adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori. Dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal itu dapat dicapai peneliti dengan jalan: 1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. 2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
17
3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. 4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendidikan dan pandangan orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan. 5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. 29 8.
Tahapan-Tahapan Penelitian Tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini ada tiga tahapan dan ditambah dengan tahap terakhir dari penelitian, yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah: a.
Tahap pralapangan, yang meliputi menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan
perlengkapan
penelitian
dan
yang
menyangkut
persoalan etika penelitian. b.
Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi memahami latar penelitian dan persiapan diri memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data.
c.
Tahap analisis data, yang meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data.
d. 29 30
Tahap penulisan hasil laporan penelitian. 30 Ibid., 178. Ibid., 85.
18
H.
Sistematika Pembahasan Dalam ruang lingkup penelitian, dipandang sangat perlu bila di dalam skripsi ini dikemukakan adanya sistematika pembahasan. Kemudian yang dimaksud penulis dalam sistematika pembahasan ini adalah cara penulis pakai dalam menempuh penyusunan skripsi ini sehingga terwujud dengan uraian yang teratur serta mempermudah cara untuk mengikuti jalannya pembahasan dan memudahkan pemahaman skripsi ini. Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari 5 Bab dan masingmasing Bab mempunyai Sub Bab, antara Bab I sampai Bab V mempunyai korelasi dan keterkaitan erat yang merupakan satu pembahasan utuh yaitu sebagai berikut: BAB I :
PENDAHULUAN Bab ini merupakan awal pembahasan skripsi yang terdiri dari: latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : SEKOLAH DAN PERILAKU BELAJAR SISWA Dalam bab ini landasan teori membahas tentang peran sekolah yang meliputi: peran sekolah. Di samping itu juga membahas tentang pembentukan perilaku belajar siswa yang meliputi: pengertian perilaku belajar siswa, jenis perilaku, faktor-faktor pembentukan perilaku belajar siswa, karakter perilaku belajar
19
siswa, manifestasi atau perwujudan perilaku belajar siswa dan sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa. BAB III : PERAN SEKOLAH DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU BELAJAR SISWA TINGKAT IIC SMK NEGERI 2 PONOROGO Dalam bab ini penulis akan memaparkan gambaran umum lokasi penelitian tentang: sejarah singkat berdirinya SMK Negeri 2 Ponorogo, letak SMK Negeri 2 Ponorogo, visi misi dan tujuan SMK Negeri 2 Ponorogo, struktur organisasi SMK Negeri 2 Ponorogo, keadaan guru, siswa dan karyawan SMK Negeri 2 Ponorogo, sarana dan prasarana SMK Negeri 2 Ponorogo. Di samping itu juga memaparkan deskripsi data yang meliputi: perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo, dan upaya sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo. BAB IV : ANALISIS PERAN SEKOLAH DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU BELAJAR SISWA TINGKAT IIC SMK NEGERI 2 PONOROGO Bab ini meliputi analisis tentang perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo, upaya sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo, dan faktor-faktor
pendorong
dan
penghambat
sekolah
dalam
pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo.
20
BAB V : PENUTUP Bab ini meliputi kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah dan saran-saran.
21
BAB II SEKOLAH DAN PERILAKU BELAJAR SISWA
B. Peran Sekolah Pendidikan merupakan proses yang amat penting di dalam kehidupan individu dan masyarakat. pemahaman terhadap hakikatnya memerlukan pemahaman terhadap segala dimensinya. Sebagian ahli berpendapat bahwa sekolah merupakan satu-satunya pusat pendidikan. Pada kenyatannya, terdapat banyak pusat pendidikan, seperti keluarga, tetangga, kampung halaman, lingkungan, sekolah, dan lain-lain yang berpengaruh secara
langsung
maupun
tidak
langsung
terhadap
pendidikan
dan
pembentukan kepribadian individu.31 Sekolah sebagai pusat pendidikan formal, ia lahir dan berkembang dari pemikiran efisiensi dan efektivitas di dalam pemberian pendidikan kepada warga masyarakat. Lembaga pendidikan atau persekolahan, kelahiran dan pertumbuhannya dari dan untuk masyarakat bersangkutan. Artinya, sekolah sebagai pusat pendidikan formal merupakan perangkat yang diserahi kewajiban pemberian pendidikan. Perangkat ini ditata dan dikelola secara formal, mengikuti haluan yang pasti dan diberlakukan di masyarakat bersangkutan. Haluan tersebut tercermin di dalam falsafah dan tujuan, perjenjangan, kurikulum pengadministrasian serta pengelolaannya.
31
Hery Noer Aly & Munzier, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani 2000), 197.
22
Fungsi pemberian pendidikan memang bukan sepenuhnya dan tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada lembaga persekolahan. Sebab pengalaman belajar, pada dasarnya bisa diperoleh di sepanjang hidup manusia, kapanpun dan dimanapun, termasuk juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Peranan sekolah dituntut untuk tanggap dan fungsional terhadap kelangsungan dan perkembangan masyarakat lingkungannya. Kelangsungan dan perkembangan masyarakat tersebut, jelas dipengaruhi oleh pranatapranata sosial di dalamnya, termasuk pendidikan, ekonomi, politik, teknologi serta moral atau etika. Atas dasar itu, peranan yang dimainkan oleh lembaga pendidikan formal, juga seharusnya fungsional terhadap eksistensi dan pengembangan pranata-pranata sosial lainnya (ekonomi, politik, teknologi serta moral atau etika). Hal ini menggambarkan bidang sasaran yang menjadi muara dari fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah atau lembaga pendidikan formal. Sekolah menanggung kewajiban fungsional terhadap kelangsungan dan perkembangan hidup masyarakat, yaitu dengan jalan penyiapan dan pembinaan warga masyarakat, sehingga memiliki kemampuan dan pribadi yang diharapkan.32 Ada tiga variable yang saling berkaitan dalam strategi pelaksanaan pendidikan di sekolah. Ketiga variabel tersebut adalah kurikulum, guru, dan pengajaran atau proses belajar dan mengajar.
32
Tim FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 146-147.
23
1. Kurikulum Kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa/murid untuk mencapai ijazah. Ilmu pengetahuan selalu berubah dan berkembang, demikian juga bidang pendidikan. Perubahan dalam bidang pendidikan membawa pengaruh terhadap perubahan pandangan mengenai kurikulum. Isi kurikulum bukan hanya sejumlah mata pelajaran, tetapi juga semua kegiatan siswa dan semua pengalaman belajar siswa di sekolah, yang mempengaruhi pribadi siswa sepanjang menjadi tanggung jawab sekolah. Kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi semua aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Program belajar masih bersifat umum yang memerlukan penjabaran lebih lanjut oleh guru sebelum diberikan kepada siswa melalui proses pengajaran. Kurikulum sebagai program belajar bagi siswa harus memiliki tujuan yang ingin dicapai, isi program yang harus diberikan dan strategi/cara bagaimana melaksanakan program tersebut. a. Tujuan Program Tujuan program dinyatakan dalam suatu rumusan mengenai tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa setelah menerima program tersebut. Secara hirarkhis tujuan program dibedakan menjadi beberapa kategori, mulai dari tujuan yang bersifat umum sampai kepada tujuan yang bersifat khusus.
24
Kategori yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan atau tujuan Institusional. Tujuan lembaga tujuan Institusional tidak lain adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa, setelah ia menyelesaikan program pendidikan di lembaga pendidikan tersebut. Tujuan umum di atas kemudian dijabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus. Tujuan khusus tersebut dibagi ke dalam tiga bidang tujuan yakni pengetahuan, bidang keterampilan, serta bidang nilai dan sikap. Kategori kedua adalah tujuan kurikuler atau tujuan kurikulum, yakni tujuan dari setiap
bidang studi atau mata pelajaran yang
diberikan atau diprogramkan setiap lembaga pendidikan tersebut. Seperti halnya tujuan Institusional, tujuan kurikulum berisikan rumusan tingkah laku yang diharapkan dikuasai siswa. Rumusan tingkah laku tersebut, diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan bidang studi yang dipelajarinya. Kategori
yang
ketiga
ialah
tujuan
Instruksional
(tujuan
pengajaran). Bila tujuan kurikuler adalah tujuan bidang studi, maka tujuan instruksional adalah tujuan dari setiap bahan yang dijabarkan dari setiap bidang studi. Oleh sebab itu dapat dirumuskan bahwa tujuan instruksional adalah rumusan kemampuan atau tingkah laku yang diharapkan dikuasai oleh siswa setelah ia menyelesaikan suatu program pengajaran.33
33
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995), 3-5.
25
Dari setiap rumusan tujuan yang telah dikemukakan di atas terdapat istilah tingkah laku atau kemampuan. Maksud kata tingkah laku dalam rumusan tujuan, mengandung tiga aspek yakni, aspek pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Tingkah laku inilah (pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan) pada hakikatnya adalah hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa.34 Tingkah laku atau perilaku ada juga yang menyebutnya sebagai tindakan, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “perbuatan atau perilaku yang di perbuat”.35 Untuk studi terhadapnya diperlukan suatu sitematika pengelompokan tertentu yang bisa disebut dengan empat kategori yaitu tingkah laku kognitif, motoris, konatif, dan afektif. Ki Hajar Dewantara menggunakan istilah cipta, rasa, karsa.36 Hasil belajar bidang afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Para guru lebih banyak memberi tekanan pada bidang kognitif semata-mata. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti atensi/perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan lain-lain. Sekalipun bahan pelajaran berisikan bidang kognitif, namun bidang
34
Ibid., 1. Akhyar Azhari, Psikologi Pendidikan, (Semarang: Toha Putra, 1996), 8. 36 Abin Syamsyudin Makmun, Psikologi Kependidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), 20. 35
26
afektif harus menjadi bagian integral dari bahan tersebut, dan harus nampak pada proses belajar dan hasil belajar yang dicapai siswa.37 b. Materi atau Isi Program Isi atau materi program tidak lain ialah bidang studi atau mata pelajaran yang telah terpilih berdasarkan criteria keilmuan dan kegunaannya yang dapat menunjang tercapainya tujuan.38 Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajarmengajar. Tanpa bahan pelajaran proses belajar-mengajar tidak akan berjalan. Karena itu, guru yang akan mengajar pasti akan memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikannya pada anak didik.39 c. Strategi Pelaksanaan Kurikulum Strategi
pelaksanaan
kurikulum
ialah
cara
bagaimana
melaksanakan kurikulum sebagai program belajar. Ada empat komponen yang menunjang operasionalisasi kurikulum di sekolah yakni: 1) Kegiatan pengajaran Kegiatan pengajaran ialah proses menterjemahkan dan menstranformasikan nilai-nilai yang terdapat pada kurikulum (program belajar) kepada para siswa, melalui interaksi belajar mengajar di sekolah.
37
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 53. Ibid., 2-6. 39 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 50. 38
27
2) Kegiatan administrasi supervisi Kegiatan administrasi berkenaan dengan mendayagunakan semua sumber baik personal maupun material secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Tugas guru sehubungan dengan administrasi yang dilaksanakan di sekolah antara lain meliputi administrasi pengajaran, kesiswaan, keuangan, dan hubungan sekolah dengan masyarakat. supervisi berkenaan dengan bantuan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih efektif. 3) Bimbingan penyuluhan Bimbingan penyuluhan adalah upaya memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, agar para siswa dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya. 4) Penilaian Adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan apakah tujuan pendidikan dan tujuan pengajaran telah tercapai atau tidak. Upaya ini dilakukan dengan membandingkan tingkah laku nyata dengan suatu standar tingah laku yang diharapkan.40 2. Guru Dalam pengertian yang sederhana guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat
40
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 7-8.
28
tertentu, tidak mesti di lembaga formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau/mushola, rumah, dan sebagainya.41 Menurut Ngalim Purwanto, guru/pendidik adalah semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang. Tugas guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik.42 Guru menempati kedudukan sentral, sebab peranannya sangat menentukan. Ia harus mampu menterjemahkan dan menjabarkan nilai-nilai yang terdapat pada kurikulum, kemudian mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada siswa melalui proses pengajaran di sekolah. Guru tidak membuat/menyusun
kurikulum,
tapi
ia
menggunakan
kurikulum,
menjabarkannya serta melaksanakannya melalui suatu proses pengajaran. Kurikulum diuntukkan bagi siswa, melalui guru yang secara nyata memberikan pengaruh kepada siswa pada saat terjadinya proses pengajaran.43 Tugas guru adalah sebagai pengubah perilaku peserta didik. Berkenaan dengan pengertian atau konsep dasar ini, terdapat beberapa aliran pandangan (paham), antara lain yang dikenal sebagai paham holism dan behaviorisme. Paham Holistik menekankan bahwa perilaku itu bertujuan (purposif), yang berarti aspek intrinsik (niat, tekad, azam) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu yang penting untuk 41
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 31. 42 Ngalim Purwanto, Ilmu pendidikan Teoritis dan Praktis (bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 138-139. 43 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 1.
29
melahirkan perilaku tertentu meskipun tanpa adanya perangsang (stimulus) yang dating dari lingkungan (naturalistik). Sedangkan pandangan dari behavioristik menekankan bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan (reinforcement) dengan mengkondisikan
stimulus
(conditioning)
dalam
lingkungan
(environmentalistik). Dengan demikian, perubahan perilaku (behavior change) sangat mungkin terjadi. Untuk konteks pendidikan, seyogyanya kedua dasar pandangan tersebut dipertimbangkan sebagai hal yang komplementer (saling mengisi dan melengkapi karena keduanya sama penting peranannya).44 Peranan dan kedudukan guru yang tepat dalam proses interaksi belajar mengajar, akan menjamin tercapainya tujuan interaksi belajar mengajar. Adapun peranan guru dalam interaksi belajar mengajar, yaitu: a. Guru sebagai pengajar Yaitu guru lebih menekankan tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan. b. Guru sebagai pembimbing Yaitu guru memberi penekanan kepada tugas, membantu siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek mendidik, sebab tidak hanya berkenaan dengan penyampaian
44
Abin Syamsyudin Makmun, Psikologi Kependidikan, 23-24.
30
ilmu pengetahuan tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa.45 c. Guru sebagai mediator dan fasilitator Guru sebagai mediator dapat diartikan sebagai penengah dalam kegiatan belajar siwa. Mediator juga diartikan sebagai penyedia media yaitu bagaimana cara memakai dan mengorganisasikan penggunaan media. Guru sebagai fasilitator, dalam hal ini guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar, misalnya saja dengan
menciptakan
suasana
kegiatan
belajar-mengajar
yang
sedemikian rupa, serasi dengan perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar-mengajar akan berlangsung secara efektif.46 d. Guru sebagai evaluator Yaitu guru dituntut untuk menjadi evaluator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik. e. Guru sebagai motivator Peranan guru sebagai motivator ini penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan
45
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 23. Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 146. 46
31
swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreatifitas), sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar. 3. Pengajaran Pengajaran adalah operasionalisasi dari kurikulum. Pengajaran atau proses belajar mengajar disebut juga interaksi antara pendidik dan terdidik, yaitu merupakan kegiatan yang menentukan keberhasilan pendidikan. Proses belajar megajar merupakan sub sistem dari suatu proses pendidikan. Apabila proses belajar mengajar dipandang sebagai suatu proses maka paling tidak ada empat komponen yang membentuk terjadinya kegiatan pengajaran tersebut, yaitu: tujuan, bahan, metode dan alat untuk media, serta penilaian.47 Salah satu keberhasilan interaksi guru dan siswa adalah bentuk komunikasi
yang
digunakannya.
Dengan
demikian
keberhasilan
pengelolaan proses belajar-mengajar tergantung pada kemampuan guru sebagai tenaga profesional. Guru seakan dituntut untuk mengetahui cara yang tepat, apa yang akan disampaikan, tujuan yang sebagaimana diharapkan, alat apa yang akan digunakan dan sebagainya.
C. Pembentukan Perilaku Belajar Siswa 1. Pengertian Perilaku Belajar Siswa Secara eksplisit pengertian tentang perilaku tidak bisa digambarkan secara rinci dan jelas, karena bisa jadi setiap orang memiliki cara dan 47
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aaktif Dalam Proses Belajar-Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1989), 9.
32
standar yang berbeda-beda dalam mengartikulasikan perilaku tersebut, tergantung bagaimana mengartikannya dan dari sudut pandang mana mendeskripsikannya. Namun demikian, siapapun yang memberikan pendeskripsian tentang perilaku tersebut setidaknya harus memiliki kesamaan maksud. Sehingga diharapkan substansi dari makna perilaku tidak jauh berbeda atau sama. Tingkah laku atau perilaku, ada juga yang menyebutnya sebagai tindakan, dalam Kamus Indonesia diartikan sebagai “perbuatan atau sesuatu yang dilakukan”.48 Pengertian perilaku menurut beberapa pakar adalah sebagai berikut: a. J.B Watson (1919) dalam Hasan Langgulung: Tingkah laku adalah suatu reaksi organisme hidup terhadap perangsang-perangsang eksternal dari luar. b. Sigmund Freud: Tingkah laku manusia adalah interaksi antara tiga alat-alat dalam pribadi, yaitu ide, ego dan super ego.49 c. Kartini Kartono: Tingkah laku adalah segala aktivitas, penampilan diri dan perbuatan individu dalam relasinya dengan lingkungannya.50 Untuk melengkapi pengertian perilaku belajar siswa maka perlu dikemukakan pengertian belajar dan siswa. Belajar adalah suatu proses
48
Akyar Azhari, Psikologi Pendidikan, 8. Hasan Lalunggung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: AlMa’arif, 1980), 137. 50 Kartini Kartono, Psikologi Umum (Bandung: Mandarmaju, 1996), 3. 49
33
dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Siswa adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang
atau
sekelompok
orang
yang
menjalankan
kegiatan
pendidikan.51 Maka dengan demikian pengertian perilaku belajar siswa adalah tindakan atau perbuatan suatu proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan dan pengalaman yang dilakukan oleh setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.
2. Jenis Perilaku Skinner (1976) membedakan bahwa perilaku pada diri manusia dibedakan menjadi dua bagian yaitu perilaku yang alami (innate behavior), dan perilaku operan (operant behavior). a. Perilaku yang Alami (Innate Behavior) Perilaku yang alami yaitu perilakui yang dibawa organisme sejak dilahirkan, yaitu yang berupa reflek-reflek dan insting-insting. Perilaku yang reflektif merupakan perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan
terhadap
stimulus
yang
mengenai
organisme
yang
bersangkutan. Misal, reaksi kedip mata bila mata kena sinar yang kuat, gerak lutut bila lutut terkena palu. Reaksi atau perilaku ini terjadi secara
51
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 12.
34
dengan sendirinya, secara otomatis tidak diperintah oleh pusat susunan syaraf atau otak. b. Perilaku Non-reflektif (Operan Behavior) Yaitu perilaku yang ditimbulkan akibat proses belajar. Perilaku operan merupakan perilaku yang dibentuk, diperoleh, dan dipelajari serta dikendalikan melalui proses belajar.52
3. Ciri-Ciri dan Bentuk Perilaku Belajar Siswa Dari pengertian di atas tampak, bahwa salah satu ciri perbuatan belajar adalah tercapainya perubahan perilaku baru. Perlu diingat, tidak semua perubahan perilaku itu hasil belajar, demikian pula tidak semua pengalaman individu merupakan proses belajar. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar ciri-cirinya adalah: 1) Perubahan yang disadari. 2) Perubahan yang bersifat kontinu dan fungsional. 3) Perubahan yang bersifat positif dan aktif. 4) Perubahan yang bersifat temporer, dan bukan karena proses kematangan, pertumbuhan dan perkembangan. 5) Hasil belajar ditandai dengan perubahan seluruh aspek pribadi. 6) Belajar merupakan proses yang disengaja. 7) Belajar terjadi karena adanya dorongan dan tujuan yang ingin dicapai.
52
Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Yogyakarta: Andi Ofset, 1991), 17-18.
35
8) Belajar merupakan suatu bentuk pengalaman yang dibentuk secara sengaja, sistematis dan terarah. Perilaku belajar yang terjadi pada para peserta didik dapat dikenal baik dalam proses maupun hasilnya. Dalam mengubah perialakunya, individu melakukan berbagai perbuatan mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Menurut Robert Gagne bentuk perilaku dari yang sederhana hingga yang kompleks adalah: a. Mengenal tanda isyarat. b. Menghubungkan stimulus dengan respon. c. Merangkaikan dua respon atau lebih. d. Asosiasi verbal, yaitu menghubungkan sebuah label kepada suatu stimulus. e. Diskriminasi, yaitu menghubungkan suatu respon yang berbeda kepada stimulus yang sama. f. Mengenal konsep, yaitu menempatkan beberapa stimulus yang tidak sama dalam kelas yang sama. g. Mengenal prinsib, yaitu membuat hubungan antara dua konsep atau lebih. h. Pemecahan
masalah,
yaitu
menggunakan
prinsip-prinsip
untuk
merancang suatu respon.53
53
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 80-81.
36
4. Karakteristik Perubahan Perilaku Belajar Siswa Setiap perilaku belajar selalu ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesifik. Karakteristik perubahan perilaku belajar ini dalam beberapa pustaka rujukan, antara lain Psikologi Pendidikan oleh Surya (1982), disebut juga sebagai prinsip-prinsip belajar. Di antara ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar yang terpenting adalah: a. Perubahan Intensional Perubahan yang terjadi dalam proses belajar adalah berkat pengalaman atau praktek yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain bukan kebetulan. Karakteristik ini mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan, sikap dan pandangan tertentu, keterampilan dan seterusnya. b. Perubahan Positif-Aktif Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik, bermanfaat, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan,
yakni
diperolehnya
sesuatu
yang
baru
(seperti
pemahaman dan keterampilan baru) yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan sendirinya seperti karena proses kematangan (misalnya, bayi
37
bisa merangkak setelah bisa duduk), tetapi karena usaha siswa itu sendiri. c. Perubahan Efektif-Fungsional Perubahan yang timbuk karena proses belajar bersifat efektif, yakni berdaya guna. Artinya perubahan tersebut membawa pengaruh, makna, dan manfaat tertentu bagi siswa. Selain itu perubahan dalam proses belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberikan manfaat yang luas, misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sehari-hari dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Perilaku belajar yang efektif disertai proses mengajar yang tepat, maka proses pembelajaran diharapkan mampu menghasilkan manusiamanusia yang mempunyai karakteristik pribadi yang mandiri, pelajar yang efektif, dan pekerja yang produktif. Guna mewujudkan kualitas manusia yang seperti itu sekurang-kurangnya ada tiga kualitas belajar yang harus dikembangkan dalam diri siswa, yaitu: a. Belajar untuk Menjadi (Learning to Be) Belajar untuk menjadi adalah kegiatan belajar yang dilakukan siswa sehingga pada gilirannya akan menghasilkan pribadi-pribadi yang mandiri, yaitu pribadi yang mampu mengenal dirinya, mengarahkan
38
dirinya, merencanakan dan membuat keputusan bagi masa depannya, untuk kemudian mewujudkan dirinya secara optimal. b. Belajar untuk Belajar (Learning to Learn) Belajar untuk belajar maknanya adalah apa yang dicapai dari suatu peristiwa belajar hendaknya mendorong siswa untuk belajar lebih lanjut baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, artinya upaya perluasan kegiatan belajar ke arah yang lebih luas terutama dalam kaitannya dengan bidang lain atau berbagai aspek kehidupan. Secara vertikal, artinya upaya kegiatan belajar untuk mencapai hasil yang lebih tinggi. c. Belajar untuk Bekerja (Learning to Work) Kegiatan belajar pada dasarnya merupakan proses memperoleh bekal untuk dapat melakukan pekerjaan secara produktif dan efektif. Oleh karena itu, seyogyanya apa yang dipelajari hendaknya menjadi modal bagi keefektifan dan produktivitas bekerja. Hasil belajar tidak hanya berupa tambahan ilmu pengetahuan saja, tetapi menghasikan penguasaan keterampilan untuk siap memasuki lapangan kerja.54
5. Cara-Cara Pembentukan Perilaku Belajar Siswa Adapun pembentukan perilaku belajar siswa dengan beberapa cara sebagai berikut:
54
Tohirin, Psikologi Pembelajaran, 83-85.
39
a. Conditioning (pembentukan perilaku dengan pembiasaan) Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. Misal, dibiasakan bangun pagi, atau menggosok gigi sebelum tidur, membiasakan diri untuk datang tidak terlambat ke kantor dan sebagainya. Cara ini didasarkan atas teori belajar kondisioning yang dikemukakan oleh Pavlov maupun yang dikemukakan oleh Thorndike dan Skinner. b. Insight (pembentukan perilaku dengan pengertian) Pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight. Misal, datang kuliah jangan terlambat karena hal tersebut dapat mengganggu teman-teman yang lain. Bila naik motor harus pakai helm, karena helm tersebut untuk keamanan diri. Teori ini didasarkan atas teori belajar kognitif yang disertai dengan pengertian. Menurut Thorndike dalam belajar yang dipentingkan adalah soal latihan. c. Model (pembentukan perilaku dengan contoh) Di samping cara-cara pembentukan perilaku seperti tersebut di atas,
pembentukan
perilaku
masih
dapat
ditempuh
dengan
menggunakan model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang dipimpinnya, hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku dengan
40
cara model. Pemimpin dijadikan model atau contoh oleh yang dipimpinnya.55
6. Manifestasi atau Perwujudan Perilaku Belajar Manifestasi atau perwujudan perilaku belajar biasanya lebih sering nampak dalam perubahan-perubahan sebagai berikut: a. Manifestasi Kebiasaan Setiap siswa yang telah mengalami proses belajar, kebiasaankebiasaannya akan nampak berubah. Menurut Burghardt (1993), kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respon dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis. b. Manifestasi Keterampilan Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya nampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga dan sebagainya. Disamping itu menurut Reber (1988), keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.
55
Bimo Walgito, Psikologi Sosial, 18-19.
41
c. Manifestasi Pengamatan Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga. Berkat pengalaman belajar seorang siswa akan mampu mencapai pengamatan yang benar obyektif sebelum mencapai pengertian. Pengamatan yang salah akan mengakibatkan timbulnya pengertian yang salah pula. Contoh, seorang anak yang baru pertama mendengarkan radio akan mengira penyiar benar-benar berada dalam kotak bersuara itu. Namun melalui proses belajar, lambat laun akan diketahuinya yang ada dalam radio itu hanya suaranya. d. Manifestasi Berfikir Asosiatif dan Daya Ingat Secara sederhana berfikir asosiatif adalah berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya.dalam hal ini perlu dicatat bahwa kemampuan siswa untuk melakukan hubungan asosiatif yang benar amat dipengaruhi oleh tingkat pengertian atau pengetahuan yang diperoleh dari belajar. Di samping itu, daya ingat pun merupakan perwujudan belajar. Siswa yang mengalami proses belajar akan ditandai bertambahnya simpanan materi (pengetahuan dan pengertian) dalam memori. e. Manifestasi Berfikir Rasional dan Kritis Berfikir rasional dan kritis adalah perwujudan perilaku belajar terutama yang bertalian dengan pemecahan masalah. Dalam berfikir rasional, siswa dituntut menggunakan logika (akal sehat) untuk
42
menentukan sebab akibat, menganalisis, mengambil kesimpulan dan bahkan menciptakan hukum-hukum (kaidah teoritis) dan ramalanramalan. Dalam berfikir kritis siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan atau kekurangan. f. Manifestasi Sikap Dalam
arti
yang
sempit
sikap
adalah
pandangan
atau
kecenderungan mental. Menurut Bruno (1987), sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dalam hal ini perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu obyek, tata nilai, peristiwa, dan sebagainya. g. Manifestasi Inhibisi Adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu respons tertentu karena adanya proses respon lain yang sedang berlangsung (Rebber 1988). Dalam hal ini belajar yang dimaksud dengan inhibisi ialah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lainnya yang lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.
43
h. Manifestasi apresiasi Pada dasarnya apresiasi berarti suatu pertimbangan (judgment) mengenai arti penting atau nilai sesuatu. Pada dasarnya seorang siswa baru akan memiliki apresiasi yang memadai terhadap objek tertentu apabila sebelumnya ia telah mempelajari materi yang berkaitan dengan objek yang dianggap mengandung nilai penting dan indah tersebut.56
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Belajar Siswa Faktor yang mempengaruhi proses perkembangan perilaku belajar yaitu: a. Insting Menurut James, insting ialah suatu alat yang menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir dahulu kearah tujuan itu dan tiada dengan didahului latihan perbuatan itu. Pengertian insting lebih lanjut adalah sifat jiwa yang pertama yang membentuk akhlak, akan tetapi sifat yang masih primitif, yang tidak dapat dilenghkan dan dibiarkan begitu saja, bahkan wajib dididik dan diasuh.57 b. Pola dasar bawaan (turunan) Pada awal perkembangan kejiwaan primitif, bahwa ada pendapat yang mengatakan kelahiran manusia itu sama, dan yang membedakan adalah faktor pendidikan. Tetapi pendapat baru mengatakan tidak ada 56 57
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 120-125. Mustofa A, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 82.
44
dua orang yang keluar di dalam keujudan sama dalam tubuh dan akhlaknya. Yang dimaksud dengan faktor pembawaan atau hereditas ialah sifat-sifat kecenderungan yang dimiliki oleh setiap manusia sejak masih dalam kandungan sampai lahir. Sehubungan dengan masalah ini, kenyataan telah membuktikan bahwa sejak manusia lahir telah memiliki sifat-sifat yang berkaitan dengan jasmaniyah seperti sifat-sifat yang ada pada kedua orang tuanya.58 c. Lingkungan atau milliu Lingkungan adalah sesuatu melingkungi tubuh yang hidup, macam-macam lingkungan: 1) Lingkungan alam. Yaitu lingkungan yang ada di sekitar anak, misalnya: tumbuhan, hewan dan sebagainya. 2) Lingkungan sepergaulan Yaitu yang mengandung susunan pergaulan yang meliputi manusia, sekolah, pekerjaan, pemerintah, syiar agama, ideal, keyakinan, pikiran-pikiran, adat istiadat, pendapat umum, bahasa, kesusastraan, kesenian, pengetahuan dan akhlak.
58
Sarjoe, Psikologi Umum (Pasuruan: GBI, 1994), 72.
45
d. Kebiasaan Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah dikerjakan bagi seseorang, Seperti kebuiasaan berjalan, berpakaian, berbicara dan lain-lain. e. Kehendak Kehendak adalah suatu kekuatan dari beberapa kekuatan. Kehendak yang kuat adalah melakukan apa yang ia maksudkan walaupun menghadapi segala kesulitan, tidak akan mundur setapakpun dihadapan rintangan-rintangan yang menghalanginya, akan tetapi usaha sekuat mungkin untuk menundukkannya. f. Pendidikan Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlak seseorang. Berbagai ilmu diperkenalkan, agar siswa memahaminya dan dapat melakukan suatu perubahan pada dirinya.59
59
Mustofa A, Akhlak Tasawuf, 91-109.
46
BAB III PERAN SEKOLAH DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU BELAJAR SISWA TINGKAT IIC SMK NEGERI 2 PONOROGO
A. Data Umum 1. Sejarah Berdirinya SMK Negeri 2 Ponorogo Keberadaan SMK Negeri 2 Ponorogo awal berdirinya diprakarsai oleh ibu-ibu Darma Wanita unit kantor Depdikbud kabupaten Ponorogo dengan mendirikan SMKK Dharma Wanita di Ponorogo tanggal 2 februari 1978 dengan jurusan boga, dan jumlah siswa angkatan pertama 36 orang. Mengingat semakin banyaknya peminat dan sambutan masyarakat yang begitu besar maka pada tanggal 25 juli 1981 mendapat status sekolah negeri dari pemerintah dengan SK nomer: 0236/C/1981. SMKN 2 Ponorogo mempersiapkan siswa menjadi tenaga pelaksanaan tingkat menengah yang terampil, terlatih sesuai dengan progam studi yang dipilihnya serta dapat menerapkan kemampuannya untuk berwiraswasta atau bekerja mandiri. 60
2. Kondisi Geografis Keberadaan lembaga pendidikan pada suatu tempat yang menguntungkan adalah merupakan salah satu faktor yang mendukung bagi
60
Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 01/D/F-1/24.III/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
47
kelancaran proses pendidikan dan pengajaran. Hal ini diantaranya dapat diperoleh dari letak geografis gedung sekolah yang menguntungkan. Secara geografis SMK Negeri 2 Ponorogo terletak di kelurahan Kepatihan kecamatan Ponorogo tepatnya di jalan Laks. Yos. Sudarso No 21 A telp (0352) 481922 Kec. Ponorogo, Kode Pos 63416, dengan batas: Sebelah barat
: Jalan Raya Ponorogo - Pacitan
Sebelah utara
: Kelurahan Kepatihan Kota
Sebelah timur
: Kelurahan Purbosuman
Sebelah selatan
: Kelurahan Paju
Dilihat dari letak geografisnya, SMK Negeri 2 Ponorogo berada di daerah yang sangat strategis, karena sekolah SMK Negeri 2 Ponorogo ini tempatnya dekat jalan raya. Lingkungan sekitarnya cukup mendukung kegiatan belajar mengajar, di sekolah SMK Negeri 2 Ponorogo, juga didukung dengan adanya transportasi yang memadai sehingga mudah bagi guru, karyawan, dan siswa menuju SMK Negeri 2 Ponorogo. SMK Negeri 2 Ponorogo berjarak ± 1,5 KM dari Alun-alun dan Kantor Pemerintah Kabupaten Ponorogo, ± 3 KM dari Kantor Kecamatan Ponorogo.61
3. Visi, Misi dan Tujuan Sekolah Sebagai suatu lembaga pendidikan yang mampu menjawab tantangan kperubahan dan perkembangan dalam upaya mewujudkan
61
Lihat Transkrip Observasi nomor: 01/O/F-1/24-III/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
48
kemandirian sekolah SMKN 2 Ponorogo secara umum merumuskan “visi, misi dan tujuan sekolah” sebagai berikut: a.
Visi “Menjadi pusat pendidikan dan pelatihan
bidang
keahlian,
pariwisata, tata busana dan tata kecantikan yang menghasilkan tamatan professional, berprestasi nasional”. b. Misi 1) Meningkatkan proses pembelajaran, progam keahlian dengan pedoman standar kompetensi nasional 2) Meningkatkan pembelajaran bahasa inggris, matematika dan bahasa Indonesia sesuai dengan standar SMK nasional. 3) Memberdayakan bursa kerja khusus dalam rangka pemasaran tamatan sesuai dengan pangsa pasar. c.
Tujuan Sekolah Adapun tujuan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo adalah sebagai berikut: 1)
Menghasilkan tamatan yang professional di bidangnya.
2)
Menghasilkan tamatan yang memiliki keunggulan, komperatif dan kompetitif di bidangnya.
3)
Menghasilkan tamatan yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dan inovatif.
4)
Menjadikan sekolah menjadi pusat informasi dan layanan masyarakat dibidang pendidikan dan pelatihan.
49
5)
Meningkatkan peran serta stake holder dalam pengembangan program sekolah.
6)
Terbentuknya SDM di bidang Tata Boga, Tata Busana, Tata Kecantikan yang professional yang memiliki kemampuan komunitas dan teknologi informasi.62
4. Stuktur Organisasi Struktur organisasi merupakan suatu bagan, tatanan dalam suatu lembaga, badan atau perkumpulan tertentu yang menjalankan roda organisasi.
Struktur
organisasi
dalam
lembaga
sangat
penting
keberadaannya karena dengan melihat dan membaca struktur organisasi orang akan dengan mudah mengetahui sejumlah personil yang menduduki jabatan tertentu dalam lembaga tersebut. Demikian halnya SMK Negeri 2 Ponorogo, dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan juga memiliki struktur organisasi sebagaimana terlampir.63
5. Keadaan Guru, Siswa, dan Karyawan Guru, siswa, dan karyawan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pendidikan, maka dari itu keadaan guru harus diperhatikan.
62 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 02/D/F-2/24.III/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 63 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 03/D/F-3/24.III/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
50
Jumlah guru, siswa, dan karyawan SMK Negeri 2 Ponorogo adalah sebagai berikut: Jumlah guru SMK Negeri 2 Ponorogo No 1. 2.
Guru Guru Tetap Guru Tidak Tetap Jumlah
Pria 10 10
Wanita 43 1 44
Dari 54 guru di atas dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya mengajar satu mata pelajaran saja akan tetapi ada sebagian guru yang mengajar lebih dari satu mata pelajaran. Mata pelajaran di SMK Negeri 2 Ponorogo dibagi menjadi tiga yaitu, adaptif, normatif, dan produktif. Jumlah siswa SMK Negeri 2 Ponorogo SISWA TINGKAT I L P JUMLAH 5 234 239
SISWA TINGKAT II L P JUMLAH - 219 219
SISWA TINGKAT III L P JUMLAH - 217 217
SMK Negeri 2 Ponorogo dibagi menjadi tiga jurusan yaitu, Tata Boga (kelas A), Tata Busana (kelas B), dan Tata Kecantikan (kelas C). jumlah keseluruhan siswa dari tingkat I sampai dengan tingkat III adalah 675 siswa. Sedangkan jumlah siswa kelas IIC adalah 31 siswa. Jumlah karyawan SMK Negeri 2 Ponorogo No 1.
Karyawan Pria 11
Karyawan Wanita 9
Dari 20 karyawan di atas mempunyai tugas masing-masing. Mulai dari Tata Usaha, sampai ke pembantu umum sekolah.
51
Untuk mengetahui keadaan guru, siswa dan karyawan lebih jelas dapat dilihat pada lampiran.64
6. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan suatu perlengkapan yang harus dimiliki oleh lemabaga formal, karena sarana dan prasarana suatu yang urgent bagi kelancaran kegiatan belajar mengajar. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki SMK Negeri 2 Ponorogo adalah sebagai berikut: a. Gedung baru yang bernilai 1.75 milyar, yang memiliki fasilitas untuk pertemuan dan olah raga. b. Ruang kelas sebanyak 22 ruangan. c. Perpustakaan yang representative untuk menunjang wawasan ilmiah siswa. d. Alat-alat praktek tata boga, tata busana, kecantikan yang canggih dan modern yang sangat bermanfaat bagi siswa untuk memasuki era industri menyongsong AFTA 2003. e. Peralatan tata boga bantuan soof loan Austria senilai 2 milyar. f. Mempunyai fasilitas, faximile. g. Laboratorium IPA. h. Laboratorium computer. i. TOEIC (Test of English or international communication).65
64 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 04/D/F-4/24.III/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 65 Lihat Transkrip Dokumentasi nomor: 05/D/F-5/24.III/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
52
B.
Data Khusus 1.
Data
Perilaku
Belajar
Siswa
Tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa perilaku belajar siswa adalah tindakan atau perbuatan suatu proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan dan pengalaman yang dilakukan oleh setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam hal ini setelah peneliti melakukan wawancara dengan beberapa guru tentang bagaimanakah perilaku belajar siswa tingkat IIC yang berjumlah 31 siswa, maka terdapat beberapa pendapat yang mengemukakan perilaku belajar siswa tingkat IIC, Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Nurhadi selaku guru Pendidikan Agama Islam (guru normatif) sebagai berikut: Siswa tingkat IIC jurusannya adalah tata kecantikan, dimana siswa tingkat IIC ini banyak mendapat sorotan dari guru-guru yang mengajar di kelas tersebut dikarenakan perilaku siswa tingkat IIC berbeda dengan kelas dan jurusan yang lainnya. Perbedaan tersebut tampak pada perilaku siswa yang kurang baik, baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun di luar kegiatan belajar mengajar. Misalkan, siswa ramai, dan rendahnya tingkat kedisiplinan siswa.66 Siswa tingkat IIC bidang kejuruannya adalah tata kecantikan, dimana siswa dituntut untuk senantiasa bereksperimen dalam rangka menumbuhkan kreatifitas belajar siswa sesuai dengan jurusannya
66
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 01/1-W/F-1/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
53
tersebut.67 Dalam hal ini siswa seakan tampak mempunyai perilaku belajar yang kurang baik apabila dilihat dari cara mereka berdandan dan berpakaian.68 Untuk itu sekolah mempunyai tantangan yaitu bagaimana cara memupuk kreatifitas dan profersionalisme siswa tanpa menimbulkan persepsi yang negatif dari lingkungan luar sekolah. Dengan demikian apa yang diharapkan sekolah yaitu ingin menjadikan SMK Negeri 2 Ponorogo sebagai sekolah unggulan dan keinginan mempersiapkan anak didik yang profesional pada bidangnya masing-masing serta siap kerja di dunia wirausaha dapat terwujud.69 Adapun yang dijadikan patokan sebagian guru dalam menilai perilaku belajar siswa tingkat IIC adalah nilai yang didapatkan oleh siswa dan bukan berdasarkan penilaian perilaku belajar siswa ketika mengikuti pelajaran di dalam kelas maupun perilaku belajar siswa di luar kegiatan belajar mengajar di kelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Sirmat (guru mata pelajaran Matematika sekaligus wali kelas) sebagai berikut: Untuk siswa tingkat IIC bila dibandingkan dengan tingkat II lainnya dapat dikatakan baik, semua itu dapat dilihat dari nilai siswa yang berada di atas rata-rata. Dan ketika saya memasukkan nilai pada rapot tidak ditemukan siswa yang tidak lulus.70 Siswa mendapatkan nilai yang baik karena adanya faktor pendorong dari sekolah, yaitu: 67
Lihat Transkrip Wawancara hasil penelitian ini. 68 Lihat Transkrip Wawancara hasil penelitian ini. 69 Lihat Transkrip Wawancara hasil penelitian ini. 70 Lihat Transkrip Wawancara hasil penelitian ini.
nomor: 16/3-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan nomor: 02/2-W/F-1/11-IV/2008 dalam lampiran laporan
54
a. Agar dapat tercapainya sasaran mutu sekolah yang meliputi: 1) Menaikkan nilai rata-rata Ujian Nasional untuk mata diklat Produktif dari 8,08 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 8,20 pada tahun pemelajaran 2007/2008. 2) Manaikkan nilai rata-rata Ujian Akhir Sekolah untuk mata diklat Normatif dan Adaptif dari 7,46 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 7,04 pada tahun pemelajaran 2007/2008. 3) Menaikkan nilai rata-rata Ujian Nasional: a) Untuk mata diklat bahasa indonesia dari 7,81 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 7,93 pada tahun pemelajaran 2007/2008. b) Untuk mata diklat Bahasa Inggris dari 6,60 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 6,70 pada tahun pemelajaran 2007/2008. c) Untuk mata diklat Matematika dari 7,74 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 7,86 pada tahun pemelajaran 2007/2008. 4) Meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia sebesar 20%.71 Dalam kegiatan belajar mengajar mata pelajaran Produktif siswa sangat antusias dikarenakan tujuan awal siswa sekolah di sekolah kejuruan adalah untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan khusus yang ada pada mata pelajaran tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibu Sumarmidayani (guru produktif mata pelajaran Penataan dan Perawatan Rambut) sebagai berikut:
71
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
55
Untuk siswa tingkat IIC masih dalam tahap wajar, karena dalam masa perkembangan seperti mereka ya wajarlah kalau ada sebagian siswa yang melakukan penyimpangan-penyimpangan, asalkan penyimpangan tersebut masih pada tahap ringan. 72 Penyimpangan perilaku belajar yang sering dilakukan siswa disaat mengikuti mata pelajaran Produktif adalah bermain handphone saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Semakin berkembangnya zaman maka tidak terelakkan bahwa seseorang yang hidup di masyarakat dituntut untuk memiliki teknologi komunikasi yang canggih. Maka dari itu peran masyarakat di sini juga sangat menetukan perilaku belajar siswa tingkat IIC Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo. Siswa yang hidup di lingkungan masyarakat yang berperilaku baik maka siswa juga akan termotivasi untuk berperilaku yang baik pula, begitu juga sebaliknya.73 Untuk mengetahui perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo maka dapat dilihat dari beberapa penilaian sebagai berikut: a. Tingkat kedisiplinan siswa Guru dalam mengetahui tingkat kedisiplinan siswa memakai beberapa panilaian, yaitu: 1) Tingkat kehadiran siswa Dalam proses belajar mengajar di kelas masih ditemukan siswa yang
mempunyai
tingkat
kehadiran
yang
rendah
sehingga
mengakibatkan siswa tertinggal materi yang telah diajarkan oleh 72 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 03/3-W/F-1/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 73 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 14/1-W/F-3/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
56
guru.74 Standar kelulusan tingkat kehadiran adalah minimal 90%. Dari 31 siswa Tingkat IIC terdapat 7 siswa yang memiliki tingkat kehadiran rendah yaitu di bawah 90%. Tingkat kehadiran siswa sangat ditentukan oleh jarak tempuh yang jauh antara rumah siswa dengan sekolah. Siswa yang rumahnya jauh dari sekolah biasanya mempunyai
rasa
malas
untuk
pergi
ke
sekolah
sehingga
mengakibatkan tingkat kehadiran siswa rendah. 75 2) Pengerjaan tugas (PR) Kedisiplinan siswa dalam mengerjakan tugas (PR) dapat dikatakan kurang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya siswa yang belum mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru bidang studi dan mereka mengerjakan tugas di dalam kelas pada waktu guru menjelaskan materi pelajaran.76 Prosentase siswa yang mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) pada saat kegiatan belajar mengajar adalah 70%. Kurangnya kesadaran belajar siswa tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor keluarga. Dalam hal ini peran keluarga sangat penting. Upaya yang harus dilakukan oleh orang tua adalah selalu memberikan motivasi dan perhatiannya dalam hal belajar. Orang tua siswa SMK Negeri 2 Ponorogo 90% adalah TKI, dengan demikian siswa jarang mendapatkan motivasi dan perhatian
74
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 01/1-W/F-1/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 75 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 13/5-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 76 Lihat Transkrip Observasi nomor: 02/O/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
57
orang tua dalam hal belajar.77 Selain faktor keluarga, faktor teman sepergaulan juga sangat menentukan perilaku belajar siswa. Siswa yang
bergaul
dengan
teman
yang
berperilaku
baik
maka
kemungkinan besar siswa tersebut juga akan mempunyai perilaku yang baik, sebaliknya siswa yang bergaul dengan teman yang berperilaku buruk maka besar kemungkinan anak tersebut akan terpengaruh untuk berperilaku yang buruk pula. Misalkan ada seorang teman yang mengerjakan pekerjaan rumah pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung maka akan ditirukan atau diikuti oleh teman yang lain. b. Ketaatan terhadap tata tertib sekolah Untuk siswa tingkat IIC masih ditemukan siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Misalkan, bermain handphone saat kegiatan belajar mengajar berlagsung, baju yang tidak dimasukkan, pemakaian sepatu yang tidak sesuai dengan jadwal dan siswa yang terlambat masuk kelas.78 c. Prestasi belajar siswa Nilai standar kelulusan untuk tiap mata pelajaran adalah 6,00. Dan prestasi belajar yang didapatkan siswa tingkat IIC secara keseluruhan adalah berada di atas rata-rata.79 Hal tersebut dikarenakan
77
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 16/3-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 78 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 05/5-W/F-2/10-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 79 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 02/2-W/F-1/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
58
adanya kesadaran dan semangat yang tinggi oleh siswa untuk belajar.80 Dan adanya keberanian serta kesempatan siswa untuk berkreatifitas dalam mengembangkan keterampilannya.81
2.
Data
Upaya
Sekolah
dalam
Pembentukan Perilaku Belajar Siswa Kelas XIC SMK Negeri 2 Ponorogo Sekolah Menengah Kejuruan adalah sebuah lembaga pendidikan yang
bertujuan
mengembangkan
keterampilan
siswa.
Konsep
pendidikannya lebih difokuskan pada penguasaan pada bidang tertentu dengan harapan dapat menghasilkan siswa yang siap kerja setelah menyelesaikan jenjang pendidikan tersebut. Dalam menghadapi tantangan masa depan sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan perilaku belajar siswa, karena sekolah adalah tempat siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dalam rangka pembentukan pribadi yang seutuhnya. Sebagaimana diketahui perilaku belajar siswa tidak timbul dengan sendirinya, akan tetapi terjadi karena adanya pengaruh baik dari diri siswa maupun dari lingkungan sekitar siswa. Untuk itu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Ponorogo mengupayakan berbagai programprogram pendidikan yang diharapkan dapat menciptakan lulusan yang
80 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 17/7-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 81 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 16/3-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
59
handal, mempunyai kepribadian atau perilaku yang baik, dan profesional pada bidangnya masing-masing. Keberhasilan semua tujuan di atas tidak akan dapat terwujud tanpa adanya kerjasama dari pihak sekolah dan pihak siswa. Untuk itu hal yang perlu diperhatikan oleh lembaga sekolah adalah bagaimana cara membentuk perilaku belajar siswa yang baik. Sekolah
Menengah
Kejuruan
(SMK)
Negeri
2
Ponorogo
melakukan upaya-upaya pembentukan perilaku belajar siswa dengan jalan sebagai berikut: Pertama, pembentukan perilaku belajar siswa yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar. Tercapainya tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh kegiatan belajar mengajar, baik di dalam kelas, di luar kelas, bahkan di luar sekolah. Akan tetapi kegiatan belajar mengajar yang paling banyak didapatkan siswa adalah di dalam kelas, untuk itu upaya yang dilakukan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam membentuk perilaku belajar siswa melalui kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah dengan jalan sebagai berikut: a.
Memberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo menerapkan KBK pada tingkat II. KBK merupakan kurikulum yang dikembangkan untuk mengeksplor sumber daya dan kekuatan yang ada
60
pada sekolah lebih optimal. Pada KBK, anak didik dan pendidik adalah mitra yang saling membutuhkan. Anak didik tidak hanya sebagai objek namun juga subjek, dengan demikian proses belajar mengajar senantiasa melibatkan keaktifan anak didik. Mereka diberi kesempatan untuk berfikir sendiri dan kemudian bisa mengambil keputusan berdasarkan informasi yang mereka serap. Apabila nantinya ada kesalahan, pendidik akan membetulkan dan menjelaskan bagaimana yang sebenarnya. KBK diharapkan mampu membentuk perilaku belajar siswa yang aktif, cerdas dan mempu bersikap.82 KBK
memberikan
wewenang
kepada
pendidik
untuk
mengajarkan pelajaran dengan sekreatif mungkin. Pelajaran boleh dilakukan di luar kelas bila perlu atau menggunakan media pembantu yang disediakan sekolah atau membuat sendiri. b.
Penggunaan metode belajar mengajar yang tepat Pendidikan dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang tepat untuk mengantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan yang dicita-citakan.
Bagaimana
baik
dan
sempurnanya
kurikulum
pendidikan, ia tidak akan berarti apa-apa, manakala tidak memilki metode atau cara yang tepat dalam mentransformasikan kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam penetapan metode secara praktis akan
82
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 06/6-W/F-2/31-III/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
61
menghambat proses belajar mengajar yang akan mengakibatkan membuang waktu dan tenaga. Dapat tercapainya tujuan pendidikan tidak akan dapat berhasil tanpa adanya perilaku belajar yang baik pada diri siswa. Untuk itu penggunaan metode yang tepat adalah salah satu tantangan bagi seorang guru yang mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam rangka mengantarkan peserta didik yang berilmu, berakhlak mulia, handal dan profesional pada bidang masing-masing. Adapun metode yang digunakan para guru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam mendidik dan membentuk perilaku belajar siswa adalah sebagai berikut: 1) Metode ceramah Adalah cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai. Dan metode ini paling sering diberikan siswa. Seorang siswa tidak akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk tatkala seorang guru belum menyampaikan pesan dan nasehatnya kepada siswa, dan metode ceramah adalah salah satu cara yang tepat untuk menyampaikan cara berperilaku yang baik kepada siswa. 2) Metode keteladanan Seorang guru merupakan sosok yang menjadi sorotan bagi muridnya, baik dan buruknya perilaku guru maka akan menjadi
62
catatan tersendiri bagi siswa bahkan akan ditirukan oleh siswa. Menurut Bapak Nurhadi selaku guru PAI mengatakan bahwa: Sebelum membentuk perilaku siswa seorang guru harus bisa memberikan contoh yang baik bagi siswanya, seorang guru harus senantiasa menjaga wibawanya, karena dengan demikian siswa akan senantiasa menghormati dan akan meniru perilaku yang baik dari gurunya.83 Tidak akan ada artinya seorang guru memberikan nasihatnasihat kepada siswanya apabila guru tidak dapat memberikan contoh yang baik pula bagi siswa-siswanya. Untuk itu seorang guru harus mampu memberikan keteladanan atau contoh berperilaku yang baik bagi siswanya dengan harapan siswa tersebut akan meniru perilaku tersebut. 3) Metode pembiasaan Adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan normanorma yang berlaku di sekolah maupun masyarakat. Siswa harus dibiasakan berperilaku yang baik dalam belajar misalkan, tidak bermain HP pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung dan mengerjakan PR di rumah. Dalam menggunakan metode ini peran guru sangat diperlukan. Seorang guru harus senantiasa menekankan kepada siswa untuk terbiasa berperilaku yang baik dan guru harus dapat mengontrol apakah kebiasaan tersebut sudah dimiliki siswa atau belum. 4) Metode diskusi 83
Lihat Transkrip Wawancara laporan hasil penelitian ini.
nomor:
07/1-W/F-2/08-III/2008 dalam
lampiran
63
Adalah sebuah cara yang dilakukan di dalam mempelajari bahasan atau menyampaikan materi dengan jalan diskusi dengan tujuan dapat menimbulkan pengertian serta perubahan tingkah laku para siswa. Diharapkan dengan berdiskusi siswa akan terbiasa menjalin kerja sama yang baik dengan teman dan akan saling menghargai pendapat orang lain.84 5) Metode pemberian hukuman/hadiah (reward) Metode ini merupakan imbalan dari perbuatan yang tidak baik dari peserta didik, prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman yaitu bahwa hukuman adalah jalan yang terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak didik. Tujuan utama dari metode ini adalah untuk menyadarkan dan memberikan efek jera kepada peserta didik dari kesalahan yang ia lakukan. Sedangkan metode pemberian hadiah (reward) adalah imbalan dari perbuatan baik dari peserta didik. Imbalan tidak harus berarti materi akan tetapi dapat dilakukan dengan memberikan nilai yang baik dan lain-lain. 6) Metode pemberian tugas Adalah metode dimana murid diberi tugas khusus di luar jam pelajaran. Biasanya tugas yang diberikan ini dalam bentuk pekerjaan rumah (PR). Tugas ini berbentuk memperbaiki, memperdalam, mengecek, mencari informasi, atau menghafal pelajaran akhirnya 84
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 07/1-W/F-2/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
64
membuat kesimpulan tertentu. Biasanya metode ini digunakan guru untuk menilai kedisiplinan siswa.85 Salah satu faktor penghambat dalam pembentukan perilaku belajar siswa adalah ketidak tepatan seorang guru dalam menerapkan metode yang diberikan kepada siswanya. Apabila metode yang digunakan guru disukai siswa maka siswa akan menimbulkan perilaku belajar yang baik, akan tetapi jika guru menerapkan metode yang tidak disukai siswanya maka antusias belajar siswa akan hilang dan mengakibatkan
munculnya
penyimpangan-penyimpangan
perilaku
siswa.86 c.
Melakukan
pendekatan-
pendekatan Yang paling berpengaruh dalam pembentukan perilaku belajar siswa selain menggunakan metode pembelajaran yang tepat dapat juga dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang diterapkan oleh guru. Pendekatan-pendekatan yang digunakan pembentukan perilaku yang baik siswa tingkat IIC adalah sebagaiberikut: 1) Pendekatan kelompok
85 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 08/2-W/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 86 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
65
Pendekatan kelompok adalah salah satu upaya guru dalam rangka membentuk perilaku belajar siswa yang baik secara bersamasama disampaikan kepada seluruh siswa dalam satu kelas.87 2) Pendekatan individu Selain pendekatan kelompok yang digunakan guru di SMK Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa adalah dengan menggunakan pendekatan individu. Pendekatan ini sangat tepat dan mengena dalam rangka membentuk perilaku belajar siswa tingkat IIC karena karakter siswa berbeda-beda,
88
biasanya
terdapat beberapa siswa yang malu untuk mengungkapkan perasaan dan permasalannya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikatakan oleh Bapak Sirmat selaku guru Matematika sekaligus wali kelas sebagai berikut: Jika pendekatan kelompok belum bisa merubah perilaku siswa maka saya gunakan pendekatan individu, karena biasanya siswa itu ada yang tidak mau mengungkapkan masalahnya apalagi di depan temannya, maka pada selang-selang kegiatan mengajar saya gunakan untuk berkomunikasi dengan siswa secara individu. Dengan pendekatan individu ini diharapkan siswa mau terbuka mengutarakan semua perasaan dan permasalahan yang dihadapi siswa kepada guru dan diharapkan guru dapat membantu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi siswa.89 Permasalahan yang dihadapi siswa selain dipengaruhi oleh lingkungan 87
sekolah, biasanya
adalah
masalah-masalah yang
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 09/3-W/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 88 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 16/3-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 89 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 08/2-W/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
66
didapatkan dari rumah atau keluarga siswa seperti tingkat finansial keluarga yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya, kurangnya
motivasi belajar dari keluarga
siswa,
dan lain
sebagainya.90 Dari permasalahan di atas maka akan dapat berpengaruh pada perilaku belajar yang dilakukan oleh siswa.
d.
Memberikan
penekanan
kedisiplinan Kedisiplinan adalah faktor dominan yang mempengaruhi perilaku siswa. Disiplin akan menyebabkan berakarnya nilai yang diajarkan oleh sekolah. Di sisi lain kedisiplinan adalah faktor langsung yang dapat dilihat dan dinilai. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam menilai kedisiplinan siswa dilihat dari dua cara yaitu: 1) Tingkat kehadiran. 2) Mengerjakan tugas (PR).91 e.
Melaksanakan
pembinaan
prestasi Prestasi merupakan tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar penguasan dan pemahaman materi. Prestasi siswa selain dipengaruhi oleh faktor individu juga dipengaruhi oleh ketepatan suatu metode
90 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 91 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 08/2-W/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
67
pengajaran. Untuk melihat prestasi siswa dapat dilihat dari keaktifan anak didik yaitu keaktifan dan keberanian tampil di dalam kelas maupun di lur kelas, selain itu juga dapat dinilai dari nilai hasil evaluasi anak didik. Untuk pembinaan prestasi belajar siswa di SMK Negeri 2 Ponorogo diadakan berbagai macam instrumen pembinaan, diantaranya adalah: 1) Pengajaran remedial untuk memenuhi standar kelulusan minimal dalam pembelajaran. Upaya ini dilaksanakan karena adanya tingkat kemampuan individu yang berbeda. 2) Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu sebuah penelitian terapan untuk menyelesaikan persoalan kelas. 3) Program bimbingan penyuluhan untuk menangani permasalahan siswa.92 Untuk menjalankan semua program di atas tidak akan dapat berhasil tanpa adanya kerjasama antara pihak-pihak terkait misalkan guru karena yang dapat memantau perilaku belajar siswa di dalam kegiatan belajar mengajar adalah guru. Adanya penyimpangan perilaku belajar siswa dikarenakan adanya ketidakseriusan guru (malas) dalam membentuk perilaku belajar siswa. Faktor tersebut biasanya terjadi apabila guru memikul lebih dari satu tanggung jawab. Selain itu bisa disebabkan karena adanya guru yang mempunyai anggapan bahwa 92
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 07/1-W/F-2/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
68
tugas seorang guru hanyalah mengajarkan materi pelajaran kepada peserta didiknya dan tanpa memperhatikan bagaimana perilaku belajar siswa.93
Kedua, Pembentukan perilaku belajar siswa yang dilaksanakan di luar kegiatan belajar mengajar a. Pembentukan perilaku belajar melalui upacara rutin Upaya pembentukan perilaku belajar siswa tidak hanya dapat ditempuh dengan jalan proses belajar mengajar di dalam kelas, akan tetapi dapat juga dilakukan di luar kelas. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bapak Udi tyas Arianto selaku Kepala sekolah sebagai berikut: cara yang kedua adalah melalui upacara rutin setiap hari senin, dalam upacara tersebut pembina selalu memberikan sambutan mengenai hal-hal yang penting yang harus diketahui siswa dan pembina upacara juga memberikan nasihat dan motivasinya agar siswa senantiasa berperilaku yang baik, tidak melanggar tata tertib sekolah dan mampunyai prestasi belajar yang baik. Pembentukan perilaku siswa yang di lakukan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo di luar kelas adalah melalui upacara rutin diadakan setiap hari senin pagi sebelum siswa memulai kegiatan proses belajar mengajar. 93
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
69
Kegiatan
upacara
rutin
ini
selain
bertujuan
membentuk
kedisiplinan siswa jaga diharapkan dapat membentuk perilaku belajar siswa yang baik. Pembentukan perilaku belajar siswa melalui upacara adalah dengan cara memberikan pesan-pesan atau nasihat-nasihat yang dilakukan oleh pembina upara.94 Dalam memberikan nasihatnya pembina upacara senantiasa mengingatkan para siswanya untuk rajin belajar agar mendapatkan prestasi belajar yang baik dan selalu mentaati tata tertib sekolah. b.
Pembentukan perilaku belajar siswa melalui Bimbingan Konseling (BP) Pembentukan perilaku belajar siswa yang dilaksanakan melalui Bimbingan Konseling (BP) ini adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk menangani para siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Siswa yang ditangani oleh BP adalah mereka yang tidak mentaati tata tertib sekolah. Adapun sangsi-sangsi yang diberikan kepada siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah adalah sebagai berikut: 1) Untuk siswa yang melanggar tata tertib sekolah tahap ringan sangsi yang diberlakukan adalah memberikan hukuman dan efek jera. Misalkan, anak yang tidak memakai seragam tepat pada waktunya maka anak tersebut tidak boleh masuk kelas sebelum ia menggunakan baju seragam yang benar, anak yang memakai sepatu
94
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 04/4-W/F-2/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
70
tidak sesuai dengan ketentuan maka pihak BP akan menyita sepatu tersebut dan tidak akan dikembalikan sebelum siswa tersebut memakai dan menunjukkan sepatu yang sesuai dengan ketentuan, dan lain sebagainya. 2) Untuk pelanggaran tata tertib tahap berat sangsi yang diberikan adalah dikeluarkan dari sekolah. Misalkan, siswa yang sering tidak masuk dan sudah melebihi batas ketentuan. Dalam menangani masalah tersebut pihak BP bekerjasama dengan wali kelas guna mempertimbangkan apakah anak tersebut layak dipertahankan atau tidak.95 Semua langkah di atas dilakukan untuk memberikan hukuman dan efek jera bagi siswa yang melanggar tata tertib sekolah dan sebagai peringatan bagi siswa yang lainnya. Dengan demikian siswa akan lebih berhati-hati dan selalu berusaha berperilaku yang baik dalam hal belajar baik di kelas maupun lingkungan sekolah. Ketiga, Pembentukan perilaku belajar siswa dengan memberlakukan sistem poin. Sistem poin adalah salah satu upaya sekolah dalam mengurangi pelanggaran tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa. Untuk setiap pelanggaran akan diberikan poin dan apabila poin siswa sudah melebihi batas maka akan diadakan tindak lanjut dari pihak sekolah, baik itu tidak dinaikkan kelasnya bahkan dikeluarkan dari sekolah. Pembentukan 95
Lihat Transkrip Wawancara laporan hasil penelitian ini.
nomor:
05/5-W/F-2/10-IV/2008 dalam lampiran
71
perilaku belajar siswa dengan memberlakukan sistem poin tujuannya adalah agar siswa dapat memiliki perilaku yang baik dalam hal belajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Selain itu juga dapat memberikan efek jera bagi mereka yang pernah melanggar tata tertib sekolah sehingga tidak akan mengulanginya lagi.96 Yang menjadi persoalan dalam memberlakukan sistem poin adalah belum disosialisasikannya peraturan baru ini kepada guru dan siswa. Untuk menerapkan peraturan baru ini maka sekolah harus mengadakan sosialisasi kepada para guru, selanjutnya diteruskan kepada OSIS. Jika guru dan OSIS setuju maka peraturan peraturan baru tersebut baru dapat diterapkan. 97 Dalam menjalankan berbagai kegiatannya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo memiliki faktor pendorong dan penghambat. Dari adanya faktor pendorong dalam berbagai kegiatan di atas maka keberhasilan sekolah dalam pembentukan perilaku belajar siswa akan
dapat
tercapai.
Dalam
menjalankan
kegiatannya
sekolah
mendapatkan banyak penghambat baik dari segi lembaga, guru dan siswa. Maka dari itu harus adanya kerjasama yang baik antara ketiga pihak tersebut demi tercapainya tujuan yang telah dirumuskan yaitu mencipkan lulusan yang berkualitas dan berbudi pekerti yang baik.
96 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 07/1-W/F-2/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 97 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 15/2-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
72
BAB IV ANALISIS PERAN SEKOLAH DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU BELAJAR SISWA TINGKAT IIC SMK NEGERI 2 PONOROGO
A. Analisis Perilaku Belajar Siswa Tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo Setelah peneliti melakukan wawancara dengan beberapa guru tentang perilaku belajar siswa tingkat IIC, maka terdapat beberapa pendapat yang mengemukakan perilaku belajar siswa tingkat IIC. Pendapat tersebut bermacam-macam, antara lain kurang baik,98 baik,99 dan tahap wajar.100 Hasil belajar bidang afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Para guru lebih banyak memberi tekanan pada bidang kognitif semata-mata. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti atensi/perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan lain-lain. Sekalipun bahan pelajaran berisikan bidang kognitif, namun bidang afektif harus menjadi bagian integral dari bahan tersebut, dan harus Nampak pada proses belajar dan hasil belajar yang dicapai siswa.101 Dalam mendidik siswanya seorang
98
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 01/1-W/F-1/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 99
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 02/2-W/F-1/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 100 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 03/3-W/F-1/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 101 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995), 53.
73
guru harus memperhatikan tiga kawasan daerah binaan, (domain), yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Perwujudan perilaku belajar siswa nampak pada perubahan-perubahan yang di antaranya adalah perwujudan keterampilan dan sikap.102 Perilaku belajar siswa siswa tingkat IIC jurusan Tata Kecantikan dikatakan kurang baik karena siswa dituntut untuk berkreatifitas guna mendapatkan keterampilan sesuai dengan bidang kejuruannya. Perilaku belajar siswa tersebut mendapat sorotan dari beberapa guru dikarenakan dalam berkreatifitas siswa terkadang menimbulkan perilaku-perilaku yang kurang baik dalam belajar, khususnya pada mata pelajaran selain produktif. Perilaku yang kurang baik tersebut berupa penyimpangan-penyimpangan atau pelanggaran-pelanggaran terhadap tata tertib sekolah seperti, siswa ramai, tingkat kedisipinan siswa rendah, dan ditemukannya siswa yang bermain handphone saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Perilaku belajar siswa dapat dikatakan baik dikarenakan penilaian hanya berdasarkan prestasi belajar siswa dan bukan berdasarkan perilaku yang dilakukan siswa baik dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas maupun perilaku yang dilakukan siswa di luar kelas. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar ciri-cirinya adalah belajar terjadi karena adanya dorongan dan tujuan yang ingin dicapai.103 Maka hal tersebut sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan. Akan tetapi penulis memahami bahwa tujuan pendidikan tersebut belum tercapai secara maksimal 102
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 125. Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 80-81. 103
74
dikarenakan prestasi di dalam tujuan pembelajaran bukan hanya penguasaan materi atau pencapaian prestasi yang baik saja, akan tetapi terhimpunnya sejumlah norma yang harus ditanamkan ke dalam diri setiap anak didik. Perilaku belajar siswa dikatakan wajar dikarenakan siswa tingkat IIC dalam masa perkembangan, dengan demikian akan menampakkan sedikit perilaku belajar siswa yang menyimpang. Akan tetapi penyimpangan perilaku belajar yang ditimbulkan oleh siswa tingkat IIC masih dalam tahap wajar yaitu pelanggaran-pelanggaran ringan. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar ciri-cirinya adalah hasil belajar ditandai dengan perubahan seluruh aspek pribadi.104 Dengan demikian perubahan yang diharapkan oleh siswa tidak terbatas pada hasil belajar yang di dapatkannya akan tetapi harus adanya perubahan pada aspek pribadi siswa tersebut yang tercermin pada perilaku-perilaku yang ditimbulkannya. Perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo selain masih ditemukan beberapa
pelanggaran-pelanggaran
atau
penyimpangan-penyimpangan
perilaku belajar yaitu masih ditemukannya sebagian siswa yang ramai, bermain handphone dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, pemakaian sepatu yang tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan, pemakaian baju yang tidak dimasukkan, tingkat kehadiran siswa yang rendah, dan terlambat masuk kelas, siswa juga mempunyai kreatifitas yang tinggi dalam mempelajari keterampilan dan
104
Ibid, 80-81.
75
prestasi hasil belajar yang baik dalam berbagai mata pelajaran yaitu di atas 6.00. B. Analisis Upaya Sekolah dalam Pembentukan Perilaku Belajar Siswa Tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo Sebagian perilaku seseorang dapat dibentuk melalui proses belajar. Bimo Walgito mengatakan bahwa, “Perilaku operan merupakan perilaku yang dibentuk, diperoleh, dan dipelajari serta dikendalikan melalui proses belajar”.105 Perilaku belajar siswa tidak hanya ditentukan oleh faktor pembawaan dan faktor diri saja, akan tetapi dapat dibentuk melalui proses belajar. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku adalah lingkungan sekolah.106
Dengan
demikian
sekolah
yang
merupakan
tempat
berlangsungnya pembentukan perilaku belajar siswa melalui proses belajar. Dalam melaksanakan pembentukan perilaku belajar siswa, sekolah memiliki tanggung jawab yang besar. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo
melakukan upaya-upaya pembentukan perilaku belajar siswa
tingkat IIC dengan jalan sebagai berikut: 1. Pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar Sebagai institusi formal di dalam sekolah terdapat kurikulum, guru dan murid. Melalui kurikulum yang berisi materi pengajaran, sikap dan keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antar teman di sekolah
105 106
Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Yogyakarta: andi Ofset, 1991), 17-18. Mustofa A, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 93.
76
dinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik.107 Di lingkungan sekolah waktu siswa banyak dihabiskan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, maka dari itu salah satu upaya yang dilaksanakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa yang baik adalah melalui kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di dalam kelas dengan upaya yaitu memberlakukan kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),108 penggunaan metode belajar mengajar yang tepat,109 melakukan pendekatan-pendekatan, memberikan penekanan kedisiplinan, dan melaksanakan pembinaan prestasi.110 Kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi semua aspek yang mempengaruhi pribadi siswa.111 KBK memberikan wewenang kepada pendidik untuk mengajarkan pelajaran dengan sekreatif mungkin. Pelajaran boleh dilakukan di luar kelas bila perlu atau menggunakan media pembantu yang disediakan sekolah atau membuat sendiri. Penerapan KBK diharapkan dapat memupuk kreatifitas belajar siswa, karena anak didik tidak hanya sebagai objek namun juga subjek, dengan demikian proses belajar mengajar senantiasa melibatkan keaktifan anak didik. Mereka
107
Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 50. 108 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 06/6-W/F-2/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 109 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 07/1-W/F-2/08-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 110 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 08/2-W/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini 111 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 2.
77
diberi kesempatan untuk berfikir sendiri dan kemudian bisa mengambil keputusan berdasarkan informasi yang mereka serap. Metode adalah cara yang digunakan guru dalam
proses
pembelajaran. Dalam kegiatan belajar-mengajar, metode diperlukan oleh guru guna kepentingan pembelajaran. Ada tiga cara pembentukan perilaku belajar yaitu Conditioning (pembiasaan), Insight (pengertian), dan Model (contoh).112 Cara pembentukan perilaku belajar dengan tiga cara tersebut dilakukan melalui metode yang diterapkan oleh seorang guru. Dalam melaksanakan tugas, guru di SMK Negeri 2 ponorogo
tidak hanya
menggunakan satu metode. Karena karakteristik metode memiliki kelebihan dan kelemahan yang menuntut guru untuk menggunakan metode yang bervariasi dengan harapan kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan lancar dan dapat tercapainya tujuan pendidikan. Keberhasilan pembentukan perlaku belajar siswa sangat ditentukan oleh interaksi yang dilakukan oleh guru dengan siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Peranan dan kedudukan guru yang tepat dalam proses interaksi belajar mengajar, akan menjamin tercapainya tujuan interaksi belajar mengajar.113 Dalam membentuk perilaku belajar siswa yang baik maka guru melakukan interaksi yang berupa pendekatan terhadap siswa, baik pendekatan kelompok maupun pendekatan individu. Dengan penuh perhatian, sabar, ulet, tekun dan berusaha secara terus menerus, guru hendaknya melakukan pendekatan pesikologis. 112 113
Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1991),18-19. Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 23.
78
Penekanan kedisiplinan adalah salah satu upaya yang dilakukan SMK Negeri 2 Ponorogo dalam membentuk perilaku belajar siswa. Disiplin akan menyebabkan berakarnya nilai yang diajarkan oleh sekolah. Dalam belajar di sekolah, kedisiplinan siswa dapat dilihat dari tingkat kehadiran siswa, kedisiplinan siswa dalam mengerjakan tugas,114 dan ketaatan terhadap tata tertib sekolah.115 Prestasi merupakan tolak ukur untuk mengetahui seberapa besar penguasan dan pemahaman materi. Untuk mendapatkan prestasi yang baik perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah dan pihak siswa. Pihak sekolah dalam membina prestasi siswa melakukan langkahlangkah yaitu, mengadakan pengajaran remedial bagi siswa yang mempunyai standar kelulusan di bawah standar, Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu sebuah penelitian terapan yang dilakukan guru untuk menyelesaikan persoalan kelas, dan program bimbingan penyuluhan untuk menangani permasalahan belajar siswa. 2. Pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC yang dilaksanakan di luar kegiatan belajar mengajar Upaya pembentukan perilaku belajar siswa tidak hanya dapat ditempuh dengan jalan proses belajar mengajar, akan tetapi dapat juga dilakukan di luar kegiatan belajar mengajar. Pembentukan perilaku siswa yang di lakukan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo
114 Lihat Transkrip Wawancara laporan hasil penelitian ini. 115 Lihat Transkrip Wawancara laporan hasil penelitian ini.
nomor:
08/2-W/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran
nomor:
04/4-W/F-2/07-IV/2008 dalam lampiran
79
di luar kegiatan belajar mengajar adalah melalui beberapa cara yaitu, melalui upacara rutin yang diadakan setiap hari senin pagi sebelum siswa memulai kegiatan proses belajar mengajar, dan melalui Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Pembentukan perilaku belajar siswa melalui upacara adalah dengan cara memberikan pesan-pesan atau nasihat-nasihat yang dilakukan oleh pembina upara.116 Pesan dan nasihat tersebut berupa nilai-nilai yang harus ditanamkan pada siswa dalam melakukan kegiatan belajar seperti rajin belajar, dan mentaati tata tertib sekolah. Pembentukan perilaku belajar siswa yang dilakukan di luar kelas lainnya adalah melalui Bimbingan Konseling (BP). Bimbingan penyuluhan adalah upaya memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, agar para siswa dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya.117 Siswa yang ditangani oleh BP adalah mereka yang tidak mentaati tata tertib sekolah.118 Seorang konselor dituntut dapat memberikan bimbingan dan jalan keluar yang dapat membantu permasalahan yang dihadapi siswa tersebut. 3.
Pembentukan perilaku belajar siswa dengan memberlakukan sistem poin
116
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 04/4-W/F-2/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 117 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 8. 118 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 05/5-W/F-2/10-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
80
Upaya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC tidak berhenti pada dua jalan di atas akan tetapi ada upaya lain yang dirasa diperlukan yaitu dengan jalan memberlakukan sistem poin. Sistem poin adalah salah satu upaya sekolah dalam mengurangi pelanggaran tata tertib sekolah yang dilakukan oleh siswa. Untuk setiap pelanggaran akan diberikan poin dan apabila poin siswa sudah melebihi batas maka akan diadakan tindak lanjut dari pihak sekolah.119 Sistim poin dapat diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar dan di luar kegiatan belajar mengajar. Sistem poin dalam kegiatan belajar mengajar diterapkan oleh seorang guru yang mengajar di kelas tersebut misalkan
pemberian
poin
untuk
pelanggaran
tingkat
kehadiran,
pelanggaran cara berpakaian, pelanggaran masuk kelas. Sedangkan sistim poin di luar kegiatan belajar mengajar diterapkan oleh seorang guru piket dan Bimbingan Konseling, misalkan pemberian poin untuk pelanggaran terlambat masuk sekolah, pelanggaran tidak mengikuti upacara, dan pelanggaran tata tertib sekolah lainnya. Ada tiga variable yang saling berkaitan dalam strategi pelaksanaan pendidikan di sekolah. Ketiga variabel tersebut adalah kurikulum, guru, dan pengajaran atau proses belajar dan mengajar. Guru menempati kedudukan sentral,
sebab
peranannya
sangat
menentukan.
Ia
harus
mampu
menterjemahkan dan menjabarkan nilai-nilai yang terdapat pada kurikulum, 119
Lihat Transkrip Wawancara laporan hasil penelitian ini.
nomor:
09/3-W/F-2/11-IV/2008 dalam lampiran
81
kemudian mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada siswa melalui proses pengajaran di sekolah. Guru tidak membuat/menyusun kurikulum, tapi ia menggunakan kurikulum, menjabarkannya serta melaksanakannya melalui suatu proses pengajaran. Kurikulum diuntukkan bagi siswa, melalui guru yang secara nyata memberikan pengaruh kepada siswa pada saat terjadinya proses pengajaran.120 Dari ketiga cara pembentukan perilaku belajar siswa di atas 50% keefektifan dan keberhasilan pembentukan perilaku siswa adalah cara yang dilaksanakan di dalam kegiatan belajar mengajar, karena sebagian waktu siswa di sekolah banyak dihabiskan dalam kegiatan tersebut. Dalam hal ini peranan guru sangat penting. Pembentukan perilaku belajar siswa melalui kegiatan belajar mengajar pada hakikatnya adalah pelaksanaan kurikulum oleh guru, dalam ruang lingkup yang lebih khusus dan terbatas. 20% keberhasilan pembentukan perilaku siswa ditentukan oleh kegiatan di luar kegiatan belajar mengajar yaitu melalui upacara rutin dan Bimbingan Konseling. Dan 30% keberhasilan lainnya adalah melalui diberlakukannya sistem poin. Salah satu perwujudan perilaku belajar adalah inhibisi. Dalam hal ini belajar yang dimaksud dengan inhibisi ialah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lainnya yang lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.121 Dengan diberlakukannya sistem poin maka siswa akan
120 121
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 1. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, 125.
82
senantiasa mempertimbangkan konskwensi-konskwensi atas perilaku yang dilakukannya.
C. Analisis
Faktor
Pendorong
dan
Penghambat
Pembentukan Perilaku Belajar Siswa Tingkat IIC
Sekolah
dalam
SMK Negeri 2
Ponorogo Setiap upaya atau usaha pasti terdapat faktor pendorong yang melatar belakangi dilaksanaknnya upaya tersebut, dan untuk melaksanakan upaya tersebut sudah barang tentu tidak akan mudah dan begitu saja dan sudah tentu akan mendapatkan kendala-kendala. Demikian pula yang dialami Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam melaksanakan upaya pembentukan perilaku belajar siswa. Adapun faktor-faktor pendorong dan penghambat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Faktor Pendorong Adapun faktor pendorong Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam mengupayakan pembentukan perilaku belajar siswa adalah agar dapat tercapainya sasaran mutu sekolah, adanya kesadaran dan semangat siswa untuk belajar,122 adanya keinginan dan keberanian
serta
kesempatan
siswa
untuk
berpartisipasi
dalam
mengembangkan kreatifitas belajar mereka,123 dan Ingin menjadikan SMK Negeri
2
Ponorogo
sebagai
sekolah
unggulan
dan
keinginan
122 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 17/7-W/F-3/12-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 123 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 16/3-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
83
mempersiapkan anak didik yang profesional pada bidangnya masingmasing serta siap kerja di dunia wirausaha.124 Adapun sasaran mutu sekolah SMK Negeri 2 Ponorogo adalah sebagai berikut: 5) Menaikkan nilai rata-rata Ujian Nasional untuk mata diklat Produktif dari 8,08 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 8,20 pada tahun pemelajaran 2007/2008. 6) Manaikkan nilai rata-rata Ujian Akhir Sekolah untuk mata diklat Normatif dan Adaptif dari 7,46 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 7,04 pada tahun pemelajaran 2007/2008. 7) Menaikkan nilai rata-rata Ujian Nasional: d) Untuk mata diklat bahasa indonesia dari 7,81 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 7,93 pada tahun pemelajaran 2007/2008. e) Untuk mata diklat Bahasa Inggris dari 6,60 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 6,70 pada tahun pemelajaran 2007/2008. f) Untuk mata diklat Matematika dari 7,74 tahun pemelajaran 2005/2006 menjadi 7,86 pada tahun pemelajaran 2007/2008. 8) Meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia sebesar 20%.125 Kesadaran dan semangat siswa dilatar belakangi oleh adanya tujuan awal masuk ke sekolah kejuruan yaitu untuk mendapatkan keterampilan. Dengan didapatkannya keterampilan diharapkan setelah keluar dari
124 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 125 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
84
jenjang pendidikan tersebut akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan di dunia perindustrian dan wiraswasta. Keinginan, keberanian, dan kesempatan siswa untuk berpartisipasi dalam mengembangkan kreatifitas belajar siswa merupakan tuntutan dari jurusan yang mereka pilih. Sehingga nantinya siswa akan menjadi seseorang yang terampil dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Output yang dihasilkan dalam pendidikan dapat dilihat dari segi hasil akhir. Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, hasil akhir yang diharapkan adalah Ingin menjadikan SMK Negeri 2 Ponorogo sebagai sekolah unggulan dan keinginan mempersiapkan anak didik yang profesional pada bidangnya masing-masing serta siap kerja di dunia wirausaha. Dari beberapa faktor pendorong di atas, yang paling berpengaruh terhadap pembentukan perilaku belajar siswa yang baik adalah adanya keadaran dan semagat belajar siswa yang tinggi dan adanya tujuan dari sekolah atau tujuan Institusional. Tujuan Institusional tidak lain adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa, setelah ia menyelesaikan program pendidikan di lembaga pendidikan tersebut. Tujuan umum di atas kemudian dijabarkan menjadi tujuan yang lebih khusus. Tujuan khusus tersebut dibagi ke dalam tiga bidang tujuan yakni pengetahuan, bidang keterampilan, serta bidang nilai dan sikap.126 Kesadaran dan semangat belajar siswa adalah faktor utama yang dapat
126
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, 3.
85
membentuk perilaku belajar siswa yang baik. Siswa yang memiliki kesadaan dan semangat belajar yang tinggi akan menimbulkan perilakuperilaku yang bersifat positif. Hal itu harus dibarengi dengan adanya tujuan Institusional yang harus dilaksanakan oleh pihak sekolah. Dengan adanya kerjasama yang baik antara pihak siswa dan pihak sekolah maka apa yang menjadi tujuan pendidikan akan dapat tercapai. 2. Faktor Penghambat Faktor penghambat adalah kendala yang didapatkan dalam suatu penyelenggaraan kegiatan. Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam mengupayakan pembentukan perilaku belajar siswa mendapatkan kendala atau penghambat yang di antaranya adalah sebagai berikut: a. Faktor lembaga 1) Adanya tuntutan jurusan bidang kejuruan. Untuk siswa tingkat IIC bidang kejuruannya adalah tata kecantikan. Realita tersebut jika didekati dengan menggunakan teori yang penulis paparkan pada bab II yaitu “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu”,127 maka sekolah mempunyai tantangan
yaitu
bagaimana
cara
memupuk
kreatifitas
dan
profersionalisme siswa tanpa menimbulkan persepsi yang negatif dari lingkungan luar sekolah.
127
Soeparman, Pendidikan Nasional (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 11.
86
2) Sulitnya mensosialisasikan peraturan baru Yang menjadi persoalan dalam memberlakukan sistem poin adalah belum disosialisasikannya peraturan baru ini kepada guru dan siswa. Untuk menerapkan peraturan baru ini maka sekolah harus mengadakan sosialisasi kepada para guru, selanjutnya diteruskan kepada OSIS. Jika guru dan OSIS setuju maka peraturan peraturan baru tersebut baru dapat diterapkan. b. Faktor guru a) Adanya ketidakseriusan guru (malas) dalam membentuk perilaku belajar siswa. Hal tersebut disebabkan karena adanya guru yang mempunyai anggapan bahwa tugas seorang guru hanyalah mengajarkan materi pelajaran kepada peserta didiknya dan tanpa memperhatikan bagaimana perilaku belajar siswa. Guru/pendidik adalah semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang. Tugas guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik.128 Dengan demikian tugas seorang tidak hanya berkenaan dengan penyampaian ilmu pengetahuan tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa yang berpijak pada tujuan pendididikan 128
Ngalim Purwanto, Ilmu pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), 138-139.
87
nasional
yaitu
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
mengembangkan menusia seutuhnya yakni manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian yang mantab, serta bertanggung jawab kemasyarakatan serta kebangsaan. b) Ketidaktepatan guru dalam menggunakan metode belajar mengajar Salah satu faktor penghambat dalam pembentukan perilaku belajar siswa adalah ketidaktepatan seorang guru dalam menerapkan metode yang diberikan kepada siswanya. Dalam hal ini Abu Hamid al-Ghazali menyarankan agar metode pendidikan yang digunakan oleh pendidik adalah berprinsip pada child centered, yaitu pengajaran yang berpusat pada anak yang mementingkan atau melihat kondisi anak didik.129 Penulis pahami bahwa metode akan sangat menentukan pembentukan perilaku belajar siswa. Apabila metode yang digunakan guru disukai siswa maka siswa akan menimbulkan perilaku belajar yang baik, akan tetapi jika guru menerapkan metode yang tidak disukai siswanya maka antusias belajar
siswa
akan
hilang
dan
mengakibatkan
munculnya
penyimpangan-penyimpangan perilaku siswa. c. Faktor siswa 1) Faktor intern Faktor intern siswa yang menghambat Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa
129
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1987), 21.
88
yaitu, karakter siswa yang berbeda,130 kurangnya kesadaran belajar
siswa, tingkat kemampuan individu yang berbeda. 131 Dunia anak sangat perlu diperhatikan karena setiap anak yang dilahirkan di dunia mempunyai karakter yang berbeda-beda. Apabila seorang pendidik keliru dalam mendidik, maka anak akan menimbulkan perilaku-perilaku yang buruk dalam kehidupannya, baik di rumah, sekolah maupun di masyarakat. Kurangnya kesadaran dalam belajar siswa yaitu hanya cukup menerima apa yang disampaikan guru sehingga pengetahuan yang didapat tidak dapat berkembang apabila tidak ada perintah untuk belajar maka siswa tidak mau belajar. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan siswa tidak menyukai mata pelajaran yang mereka pelajari, metode yang digunakan guru tidak sesuai dengan keadaan siswanya, sealain itu dapat terjadi karena kurangnya dorongan untuk belajar baik dari keluarga maupun guru yang mengajar. Bagi siswa yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda dengan teman-temannya akan menimbulkan rasa minder yang berakibat pada kurang baiknya perilaku yang ditimbulkan dalam belajar. Siswa yang memiliki tingkat kemampuan yang tinggi biasanya akan memilki motivasi belajar yang tinggi pula dan akan dengan demikian perilaku belajar yang ditimbulkan lebih cenderung
130 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 16/3-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 131 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 18/7-W/F-3/12-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
89
pada hal-hal yang baik. Sebaliknya, siswa yang memiliki tingkat kemampuan yang rendah biasanya cenderung mudah putus asa dan akan menimbulkan perilaku yang buruk. 2) Faktor ekstern Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku belajar adalah lingkungan sepergaulan, yaitu yang mengandung susunan pergaulan yang meliputi manusia, sekolah, pekerjaan, pemerintah, syiar agama, ideal, keyakinan, pikiran-pikiran, adat istiadat, pendapat umum, bahasa,
kesusastraan,
kesenian,
pengetahuan
dan
akhlak.132
Demikian halnya Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC juga mendapatkan faktor penghambat yang berasal dari lingkungan tersebut yaitu, latar belakang keluarga yang berbeda, kurangnya motivasi dan perhatian keluarga dalam hal belajar, pengaruh teman sepergaulan, pengaruh dari masyarakat, dan jarak tempuh yang jauh antara rumah siswa dengan sekolah. Di Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo latar belakang keluarga sangat menentukan pembentukan perilaku belajar siswa. misalkan tingkat finansial keluarga yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya, kurangnya motivasi belajar dari keluarga siswa, dan lain sebagainya. 133
132
A, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 93. Lihat Transkrip Wawancara nomor: 12/4-W/F-3/07-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 133
90
Peran keluarga dalam pembentukan perilaku belajar siswa sangat besar. Orang tua siswa SMK Negeri 2 Ponorogo 90% adalah TKI, dengan demikian siswa jarang mendapatkan motivasi dan perhatian orang tua dalam hal belajar.134 Tingkah laku dalam hubungan antara sesama orang tua, antara orang tua dengan anaknya, antara sesama anak dan lain sebagainya, adalah mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan emosi anak. Minat dan sikap terhadap sekolah secara umum dan terhadap berbagai kegiatan sekolah sangat diarahkan oleh teman sebaya. Untuk diterima oleh kelompok teman sebayanya, anak belajar bahwa ia harus menerima minat dan nilai kelompok.135 Dalam hal ini penulis pahami bahwa teman sangat mempengaruhi pembentukan perilaku belajar siswa. Siswa yang bergaul dengan teman yang berperilaku baik maka kemungkinan besar siswa tersebut juga akan mempunyai perilaku yang baik, sebaliknya siswa yang bergaul dengan
teman
yang
berperilaku
yang
buruk
maka
besar
kemungkinan anak tersebut akan terpengaruh untuk berperilaku yang buruk pula. Baik dan buruknya perilaku belajar siswa di Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo juga sangat ditentukan oleh pengaruh masyarakat. Siswa yang hidup di
134
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 16/3-W/F-3/11-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini. 135 Elizabet B. Hurlock, Perkembangan Anak (Jakarta: Erlangga, 1999), 139.
91
lingkungan masyarakat yang berperilaku baik maka siswa juga akan termotivasi untuk berperilaku yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Faktor penghambat yang terakhir adalah jarak tempuh yang jauh antara rumah siswa dengan sekolah. Siswa yang rumahnya jauh dari sekolah biasanya mempunyai rasa malas untuk pergi ke sekolah sehingga mengakibatkan tingkat kehadiran siswa yang kurang memenuhi standar, selain itu siswa yang rumahnya jauh kebanyakan pergi sekolah menggunakan angkutan umum sehingga ketepatan waktu tidak dapat ditentukan, hal ini menyebabkan banyaknya siswa yang terlambat masuk sekolah.136 Ketiga faktor penghambat di atas sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku belajar siswa. Pihak lembaga, guru, dan siswa harus menjalin kerjasama yang baik. Tidak akan ada artinya upaya yang dilakukan oleh sekolah tanpa adanya dukungan dari guru dan siswa. Karena, tiga pihak tersebut adalah element sekolah yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
136
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 13/5-W/F-3/10-IV/2008 dalam lampiran laporan hasil penelitian ini.
92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perilaku belajar siswa tingkat IIC SMK Negeri 2 Ponorogo yang mencakup kedisiplinan siswa dapat dilihat dari tingkat kehadiran siswa yang rendah, masih banyaknya siswa yang mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di kelas saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Dari segi ketaatan terhadap tata tertib sekolah masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh siswa, seperti bermain handphone saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, baju yang tidak dimasukkan, pemakaian sepatu yang tidak sesuai dengan jadwal dan siswa yang terlambat masuk kelas. Di samping adanya penyimpangan perilaku belajar, siswa juga memiliki kreatifitas belajar yang tinggi dan mendapatkan prestasi hasil belajar di atas rata-rata nilai standar yaitu di atas 6.00. 2. Upaya yang dilakukan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC menggunakan tiga cara. Pertama, adalah pembentukan perilaku belajar siswa yang dilakukan di dalam proses belajar mengajar yaitu dengan penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi, penggunaan metode belajar
93
mengajar yang tepat, melakukan pendekatan-pendekatan, memberikan penekanan kedisiplinan, dan melaksanakan pembinaan prestasi. Kedua, pembentukan perilaku belajar siswa yang dilaksanakan di luar kegiatan belajar mengajar yaitu melalui upacara rutin dan Bimbingan dan Konseling. Ketiga, memberlakukan sistem poin untuk siswa yang melanggar tata tertib sekolah. Dari ketiga cara pembentukan perilaku belajar siswa di atas keefektifan dan keberhasilan pembentukan perilaku belajar siswa adalah cara yang dilaksanakan di dalam kegiatan belajar mengajar, karena kegiatan siswa banyak dihabiskan di dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan siswa. 3. Faktor pendorong Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC. Pertama, agar dapat tercapainya sasaran mutu sekolah. Kedua, adanya kesadaran dan semangat siswa untuk belajar. Ketiga, adanya keinginan dan keberanian serta kesempatan siswa untuk berpartisipasi dalam mengembangkan kreatifitas belajar mereka. Keempat, meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia sebesar 20%. Kelima, ingin menjadikan SMK Negeri 2 Ponorogo sebagai sekolah unggulan dan keinginan mempersiapkan anak didik yang profesional pada bidangnya masing-masing serta siap kerja di dunia wirausaha. Faktor penghambat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Ponorogo dalam pembentukan perilaku belajar siswa tingkat IIC dari pihak lembaga adalah adanya tuntutan jurusan bidang kejuruan dan sulitnya mensosialisasikan peraturan baru. Dari pihak guru adalah adanya
94
ketidak seriusan guru (malas) dalam membentuk perilaku belajar siswa, dan ketidak tepatan guru dalam menggunakan metode belajar mengajar. Dari pihak siswa faktor yang berasal dari intern dan ekstern siswa.
B. Saran Sekolah sebagai sarana pengembangan kepribadian dan intelektual peserta didik berkewajiban mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan untuk meneruskan dan meningkatkan pembangunan bangsa. Kepala sekolah, para guru dan seluruh karyawan yang terlibat di dalam suatu lembaga pendidikan hendaknya mempunyai satu tujuan yang sama yang utuh dalam pencapaian tujuan pendidikan di sekolah tersebut. Berdasarkan penelitian ini maka dapat diketahui bahwa upaya pembentukan perilaku belajar siswa di SMK Negeri 2 Ponorogo harus ditingkatkan lagi, untuk itu ada beberapa saran antara lain: 1. Kepala sekolah hedaknya mengadakan kegiatan-kegiatan extra yang sifatnya dapat membentuk perilaku belajar siswa yang baik. 2. Guru mata pelajaran hendaknya selalu memperhatikan perilaku belajar siswa dan menggunakan berbagai cara yang tepat dengan keadaan siswa dalam rangka pembentukan perilaku belajar siswa yang baik. 3. Siswa
dalam
memupuk
keterampilan
dan
kreatifitas
hendaknya
mengimbangi dengan perilaku-perilaku belajar yang baik dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
95
DAFTAR RUJUKAN
Aly, Hery Noer & Munzier. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani 2000. A, Mustofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Arifin, H.M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Azhari, Akyar. Psikologi Pendidikan. Semarang: Toha Putra, 1996. Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi aksara, 2000. Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. --------. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Djamarah, Syaiful Bahri & Zain, Aswan. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research 2. Yogyakarta: Andi Offset, 1993. Hamalik, Oemar. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Hurlock, Elizabet B. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 1997. Kartono, Kartini. Psikologi Umum. Bandung: Mandamaju, 1996. Lalunggung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Isalm. Bandung: Al-Ma’arif, 1980. Makmun, Abin Syamsyudin. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998. Mar’at, Samsunuwiyati & Kartono, Lieke Indieningsih. Perilaku Manusia Pengantar Singkat Psikologis. Bandung: Refika Aditama, 2006.
96
Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Mustakim. Psikologi Pendidikan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Moleong, Lexi. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. M, Sardiman A. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakaraya, 1995. Sanaki, Hujair A.H. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003. Sarjoe. Psikologi Umum. Pasuruan: GBI, 1994. Soeparman. Pendidikan Nasional. Surabaya: Bina Ilmu, 1995. Sudjana, Nana. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995. --------. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar-Mengajar. Bandung: Sinar Baru, 1989. Sugiyono. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2005. Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Tim Dosen FIP-IKIP Malang. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1981. Tohirin. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Ulwan, Abdullah Nasih. Pendidikan Sosial Anak. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992. Walgito, Bimo. Psikologi Sosial. Yogyakarata: Andi Ofset, 1991.