13
BAB II EMITEN DAN CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA
2.1. Emiten di Indonesia Emiten di Indonesia masih banyak yang menganggap penerapan corporate governance sebagai sebuah wacana konsep dan jauh dari esensinya, meskipun ada beberapa emiten yang telah mencoba menerapkan good corporate governance. Karakteristik emiten / perusahaan publik di Indonesia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu ketaatan, lemahnya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, dan rendahnya peranan dari stakeholder (Sodiq, 2002). 1) Ketaatan Gambaran rendahnya penerapan corporate governance di Indonesia sudah disampaikan oleh banyak pihak. Salah satunya hasil riset yang dilakukan oleh IICG (The Indonesian Institute for Corporate Governance) terhadap 52 emiten (yang masuk dalam LQ45 periode Juni s/d Juli 2001). Dalam riset tersebut IICG berusaha memetakan bagaimana CG (Corporate Governance) diterapkan oleh emiten dan kendala yang dihadapinya. Berdasarkan riset tersebut tampak beberapa hal menarik. Salah satunya adalah kesadaran akan arti pentingnya CG. Hampir seluruh responden menyatakan menyadari arti penting CG tersebut diterapkan. Namun bagaimana responden menerapkan, jawabannya beragam. Sekitar 65% responden menyatakan menerapkan CG karena memang regulasi mengharuskannya. Sedangkan 30% responden lainnya menyatakan sudah menerapkan CG sebagai budaya dari
14
perusahaannya. Artinya, sebagian besar responden melaksanakan CG karena dorongan regulasi dan takut terkena sanksi yang ada. Tentu saja untuk emiten yang mempunyai kedekatan dengan pemerintah pusat tidak perlu takut akan ancaman sanksi yang ada karena terlindungi. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep awal CG yang menghendaki perusahaan mampu lebih akuntabel dan transparan kepada stakeholder. Jadi, yang diharapkan dari CG adalah adanya proses dari dalam perusahaan untuk secara transparan dan bertanggung jawab merealisasikan tujuan perusahaan. Kunci utamanya adalah niat perusahaan untuk berubah. Pengalaman beberapa perusahaan yang sukses menerapkan CG kuncinya terletak pada keberanian dan kemauan untuk mengubah diri. Kepatuhan terhadap regulasi merupakan salah satu praktik yang diharapkan CG. Artinya, untuk dapat merasakan manfaat dari CG, perusahaan tidak hanya dituntut untuk menaati peraturan saja tetapi lebih dari itu bagaimana perusahaan bisa mentransformasikan konsep-konsep CG ke dalam operasional perusahaan sehari-hari. Transformasi harus dilakukan secara menyeluruh melalui pola kerja, sikap mentalitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di dalam perusahaan (corporate culture). Hal inilah yang belum terjadi pada sebagian besar emiten di Indonesia. Apabila tidak ada kewajiban untuk melaksanakan CG, maka manajemen perusahaan pun terkesan enggan melaksanakannya secara sungguh-sungguh. Penerapan GCG menyebabkan cost baru bagi perusahaan yang membebani perusahaan. Memang dalam jangka waktu pendek, hal ini secara ekonomis kurang
15
menguntungkan, tetapi hasil penerapan GCG baru dirasakan dalam jangka waktu panjang. Ketaatan sebagian besar emiten di Indonesia hanya didasarkan pada ketakutan sanksi yang dapat diberikan oleh pihak otoritas dan bukan didasarkan komitmen perusahaan untuk melaksanakannya sebagai bagian dari budaya perusahaan. Hal inilah yang menyebabkan adanya perhitungan ekonomi oleh pihak manajemen tentang keuntungan dan kerugian melanggar ketentuan yang ada. Apabila ada kesempatan untuk melanggar ketentuan peraturan dimana akan menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar, maka manajemen akan pasti akan melakukannya. Memang tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena pelaku usaha memang mencari keuntungan yang maksimal, tetapi cara-cara yang dilakukan untuk mencapai keuntungan maksimal harus sesuai dengan peraturan yang ada. Ketaatan terhadap peraturan saja tidak cukup untuk membuat emiten menjadi good corporate governance (GCG), karena ada sebagian besar pedoman GCG yang belum teradopsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dibutuhkan kemauan dan komitmen kuat dari emiten untuk menerapkan budaya tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan pedoman GCG yang ada dalam perusahaannya. 2) Lemahnya Perlindungan terhadap Pemegang Saham Minoritas Emiten di Indonesia juga memiliki karakteristik konsentrasi kepemilikan dan pengendalian pada sekelompok grup usaha / keluarga. Konsentrasi kepemilikan menyebabkan banyak hal seperti lemahnya kontrol perusahaan, karena dominasi tersebut juga terjadi di jajaran direksi dan komisaris;
16
kecenderungan terjadinya conflict of interest antara fungsi kepemilikan dan pengendalian; rendahnya akuntabilitas dan perhatian terhadap pemegang saham minoritas. Konsentrasi kepemilikan bukan merupakan suatu hal yang dilarang, tetapi dapat mempengaruhi akuntabilitas, transparansi, dan seberapa besar perusahaan dapat mengakomodasi semua kepentingan yang terkait dengan perusahaan. Adanya konsentrasi kepemilikan pada sekelompok grup usaha / keluarga menyebabkan kekuatan pengendalian yang besar pada majority shareholder, ini yang akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan perlakuan antar pemegang saham. Pemegang saham yang umumnya dirugikan dengan kondisi seperti ini adalah pemegang saham minoritas. Lemahnya posisi pemegang saham minoritas ini terkait erat dengan fenomena sentralisasi kepemilikan di atas. Sebagai contoh lemahnya posisi pemegang saham minoritas adalah pada saat pemilihan anggota Dewan Komisaris / Direksi dan pelaksanaan RUPS. Emiten / perusahaan publik merupakan suatu legal entity yang berdiri sendiri. Seluruh pemegang saham berhak untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja perusahaan dengan menempatkan “wakilnya” dalam jajaran komisaris. Pada praktiknya, pengangkatan komisaris melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) masih sangat didominasi oleh kepentingan ataupun usulan pemegang saham mayoritas. Peraturan BEJ No.IA sebenarnya telah mengakomodasi ini, tetapi tetap saja tidak efektif. Peraturan ini mengatur adanya komisaris independen yang dipilih oleh pemegang saham bukan oleh pengendali dalam RUPS, tetapi
17
pada praktiknya usulan calon komisaris independen pun masih didominasi oleh usulan pemegang saham mayoritas. Contoh lain lemahnya posisi pemegang saham minoritas adalah kemudahan dan ketepatan pemegang saham minoritas memperoleh informasi yang aktual dan lengkap mengenai perusahaan. Sesuai dengan UU Perseroan, bahanbahan RUPS harus disediakan pada saat pemanggilan dilakukan yaitu 14 hari sebelum RUPS dilaksanakan. Biasanya dalam pengumuman pemanggilan tersebut dicantumkan pula tentang tersedianya bahan RUPS di kantor perusahaan. Praktik yang dijumpai dalam riset, dengan mengambil sampel RUPS tahunan, hanya 34% responden yang menyediakan bahan RUPS pada saat pemanggilan, sedangkan sisanya memberikan bahan pada saat RUPS. Hal ini tentu mengurangi hak pemegang saham untuk memperoleh informasi secara tepat waktu serta memberikan waktu yang cukup untuk mempelajari bahan-bahan RUPS. Akibatnya, RUPS hanya menjadi acara seremonial pengesahan agenda-agenda yang sudah disusun berdasarkan keinginan pemegang saham mayoritas. Secara umum dan dari beberapa contoh yang ada, emiten di Indonesia masih memberikan perlindungan yang rendah terhadap pemegang saham minoritas. 3) Rendahnya Peranan Stakeholder Secara umum stakeholder dapat diartikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dengan kegiatan perusahaan. Freeman (2004) mendefinisikan stakeholder sebagai individu-individu dan kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tujuan-tujuan tersebut.
18
Gambaran emiten-emiten di Indonesia hanya menempatkan keuntungan sebagai tujuan perusahaan. Keberadaan stakeholder tidak pernah diperhitungkan oleh perusahaan, kalaupun diperhitungkan peranannya hanya sedikit. Sebenarnya, keberadaan stakeholder ini dapat menjadi alat untuk “self control” yang efektif. Kritik dan saran dari stakeholder misalnya merupakan sarana yang baik untuk mengevaluasi kelemahan sistem dan struktur perusahaan. Penempatan stakeholder pada posisi yang penting untuk mengawasi kinerja perusahaan, tentunya diisi oleh tenaga profesional, dapat memberikan dampak yang positif bagi perusahaan. Masyarakat luas, konsumen, pelanggan, asosiasi pekerja, lembaga kemasyarakatan dan lainnya dapat didorong untuk berperan serta melakukan control terhadap perusahaan yang akhirnya meningkatkan kualitas perusahaan. Bagi emiten, sudah saatnya perusahaan lebih terbuka untuk memberikan informasi dan terbuka untuk menerima masukan dari para stakeholder.
2.2. Corporate Governance di Indonesia Suatu survei penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) oleh Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) bekerja sama dengan majalah SWA pada perusahaan-perusahaan publik / emiten di Indonesia hanya direspon kurang dari 10 persen dari total 332 responden. Hanya 31 perusahaan yang mengikuti survei tersebut. Survei serupa yang dilakukan di negara-negara maju rata-rata diikuti lebih dari 70 persen responden. Hal ini mencerminkan masih rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia mengenai good corporate governance.
19
Selain itu, Bank Dunia dalam sebuah survei Governance Research Indicator Country Snapshot tahun 2002 memberi Indonesia skor rata-rata di bawah 25 dari kemungkinan 1-100 untuk enam kategori penilaian, jauh tertinggal dari negara-negara tetangga yang memperoleh skor rata-rata di atas 50. Bahkan untuk kategori pengendalian terhadap korupsi Indonesia hanya memperoleh skor 6,7 jauh tertinggal dari Malaysia, Thailand, dan Filipina yang masing-masing memperoleh nilai 68, 53,6, dan 37,6. Perusahaan di Indonesia memiliki karakteristik yang tidak berbeda dengan perusahaan di Asia pada umumnya. Perusahaan-perusahaan di Asia secara historis dan sosiologis adalah perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau dikontrol oleh keluarga. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut tumbuh dan menjadi perusahaan publik, namun kontrol tetap dipegang oleh keluarga masih begitu signifikan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Claessens, Stijn, Simeon Djankov dan Larry H.P., ditemukan bahwa dalam tahun 1996 kapitalisasi pasar dari saham yang dikuasai oleh 10 perusahaan keluarga di Indonesia mencapai 57,7%. Untuk Filipina dan Thailand mencapai 52,5% dan 46,2%. Sedangkan kapitalisasi pasar dari saham yang dikuasai oleh 15 perusahaan keluarga di Korea sebesar 38,4% dan Malaysia sebesar 28,3%. Sebuah riset yang dilakukan oleh ekonom Bank Dunia pada tahun 1998 juga mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 1993 sampai tahun 1997, lebih dari 60% saham perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hanya dikuasai oleh sepuluh keluarga terkaya di Indonesia. Dengan kepemilikan perusahaan Indonesia yang demikian kerap terjadi sengketa kepentingan antara pemegang saham mayoritas dengan
20
pemegang saham minoritas. Sengketa kepentingan pada perusahaan publik / emiten di Indonesia disebabkan pemegang saham mayoritas umumnya memiliki kontrol yang sangat besar terhadap perusahaan tersebut. Pemegang saham mayoritas ini umumnya pemegang saham awal (keluarga) di mana perusahaan publik / emiten di Indonesia pada mulanya merupakan perusahaan keluarga. Walaupun perusahaan telah menjadi perusahaan publik, kepemilikan keluarga masih sangat besar dibandingkan jumlah saham yang dilepas ke publik. Pemegang saham mayoritas ini kerap memanfaatkan kekuatannya pada perusahaan publik / emiten untuk kepentingannya yang sebenarnya merugikan pemegang saham minoritas. Hal-hal seperti inilah yang menjadi penyebab sengketa antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Belajar dari perilaku usaha di Indonesia selama kurun waktu yang sangat panjang telah tercemar dengan berbagai tindakan, kegiatan, dan modus usaha yang tidak sehat, karena pola dan kepemilikan usaha yang hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok dan secara sistematis menerapkan strategi usahanya dengan bertumpu pada praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Produk hukum dan lembaga finansial milik pemerintah dijadikan alat untuk menumpuk dan mengembangkan usaha tanpa harus peduli dengan sejumlah tanggung jawab kepada publik. Kedekatan kelompok usaha dengan pusat kekuasaan membuat ancaman hukuman yang ada di dalam ketentuan hukum tidak berarti. Anggaran Dasar perseroan hanya menjadi pajangan formal, karena tidak berkutik dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
21
Oleh karena itulah, sebuah komite khusus menyusun Indonesian Code of Good Corporate Governance yang menjadi prinsip-prinsip tentang pengelolaan perusahaan yang baik. Sebagai sebuah pedoman, maka materi yang termuat di dalam pedoman pengelolaan tersebut dapat dijadikan tolok ukur untuk memformulasikan ketentuan hukum yang mengandung pelaksanaan dari prinsip tersebut. Sayangnya, keberadaan pedoman ini ternyata belum banyak membawa perubahan yang signifikan pada perusahaan publik di Indonesia. Di sisi lain, penegakan hukum untuk berbagai kasus yang menyangkut praktik bad corporate governance juga belum tampak. Hal ini membuat skeptisisme kian menebal terhadap corporate governance sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan kinerja perusahaan dan menciptakan iklim usaha yang kompetitif. Krisis moneter dan ekonomi menjadi bukti betapa perilaku-perilaku negatif
tersebut
malah
menjerumuskan
perusahaan
ke
dalam
berbagai
permasalahan yang kian rumit dan berat. Krisis yang melanda Indonesia ini tidak lepas dari pengaruh lemahnya penerapan good corporate governance. Hal ini ditandai dengan kurang transparannya pengelolaan perusahaan sehingga kontrol publik menjadi sangat lemah dan konsentrasi kepemilikan saham pada beberapa kelompok. Minimnya perlindungan
pada
pemegang
saham
minoritas
menyebabkan
hilangnya
kepercayaan investor, terutama investor asing, untuk tetap memegang sahamsaham perusahaan publik / emiten di Indonesia. Pada pertengahan tahun 1998, bursa ditinggalkan hampir seluruh investor asing, hanya pemain domestik dan spekulan yang bertahan di bursa. Tidaklah
22
mengagetkan kalau di tahun 1998, bursa Indonesia mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir bursa beroperasi. Rendahnya stabilitas keamanan dalam negeri dan tidak berfungsinya aparat penegak hukum menjadikan investasi jangka panjang yang ikut menggerakkan sektor riil mulai meninggalkan Indonesia dan memindahkan perusahaannya ke beberapa negara tetangga. Indonesia sudah dianggap sebagai negara yang tidak kompetitif untuk investasi jangka panjang. Kebangkrutan sektor keuangan dalam negeri ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank oleh Bank Indonesia pada tanggal 1 November 1998 dan menyebabkan kepanikan pada masyarakat sehingga masyarakat menarik dana simpanannya dari bank. Ini hanya sebagian akibat dari lemahnya penerapan good corporate governance yang mengakibatkan tingginya risiko berinvestasi di Indonesia. Sampai tahun 2003 arus investasi langsung ke Indonesia masih negatif, artinya arus modal keluar lebih tinggi daripada modal masuk. Berdasarkan uraian tersebut sebenarnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan corporate governance di Indonesia saat ini baru sebatas wacana konsep dan jauh dari esensinya, walaupun ada beberapa perusahaan publik yang telah menerapkan good corporate governance. Namun jumlahnya belum signifikan dibandingkan perusahaan yang masih tergolong bad corporate governance.
2.3. Implementasi Good Corporate Governance di Pasar Modal Peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal juga sangat terkait dengan implementasi prinsip-prinsip GCG, selain hukum perusahaan. Bila UUPT
23
berlaku terhadap seluruh perseroan terbatas yang didirikan menurut hukum Indonesia, maka terhadap perusahaan publik, selain UUPT, berlaku juga peraturan di pasar modal yang mencakup kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh perusahaan terbuka. UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) juga memuat peraturan yang berkaitan dengan GCG, terutama dalam kaitannya dengan prinsip disclosure (keterbukaan). Pengaturan tersebut terutama termuat dalam Bagian Kelima, Pasal 82-84, yakni mengenai Hak memesan efek terlebih dahulu, Benturan kepentingan, Penawaran tender, Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan. Bapepam selaku otoritas pasar modal Indonesia telah menerbitkan serangkaian peraturan yang memiliki korelasi yang kuat dengan corporate governance. Usaha yang telah dilakukan Bapepam dalam rangka meningkatkan corporate governance antara lain pembuatan dan perbaikan peraturan yang berupa : 1) Peraturan yang mensyaratkan perusahaan publik untuk mempunyai direktur independen dan komisaris independen 2) Pengaturan mengenai metode pemungutan suara di antara para pemegang saham perusahaan publik pada saat melaksanakan RUPS 3) Pengaturan komprehensif tentang pertanggungjawaban direksi dan komite audit independen berkaitan dengan laporan keuangan dan pengenaan sanksi bagi yang melanggarnya
24
4) Pengaturan mengenai disclosure atau keterbukaan terhadap transaksi pihakpihak yang berkaitan. Bapepam merespons ide untuk melembagakan komisaris independen maupun komite audit pada perusahaan-perusahaan pubik (emiten) dengan mengeluarkan Surat Edaran Ketua BAPEPAM No.SE-03/PM/2000 tanggal 5 Mei 2000. Ketentuan tersebut mengharuskan perusahaan publik untuk memiliki komisaris independen maupun komite audit. Ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran BEJ No.SE-005/BEJ/09-2001 jo. Surat Direksi BEJ No. Kep. 339/BEJ/07-2001, Peraturan I-A yang mengatur tata cara pemilihan, syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh para calon komisaris independen, tugas, dan tanggung jawabnya dalam perusahaan publik. Sementara dalam Peraturan Bapepam No.IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, mewajibkan emiten untuk memiliki komite audit. Keberadaan organ tambahan dalam perusahaan publik merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan prinsip keterbukaan. Fungsi utama dari komite audit membantu dewan komisaris untuk melaksanakan pengawasan yang intensif terhadap kinerja perusahaan. Auditing yang dilakukan komite audit meliputi tidak hanya laporan keuangan perusahaan, melainkan segala aspek yang berkaitan dengan perusahaan, termasuk memeriksa ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan, risiko-risiko yang dialami perusahaan dalam manajemen, menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi perusahaan, dan sebagainya. Untuk menindaklanjuti peraturan IX.I.5 ini, Bapepam mengeluarkan Surat Edaran Nomor : SE-07/PM/2004 tentang Pelaksanaan Peraturan Bapepam Nomor: IX.I.5
25
tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit. Disebutkan bahwa emiten atau perusahaan publik wajib membentuk komite audit selambatlambatnya pada tanggal 31 Desember 2004.