6
BAB II LANDASAN TEORI
A.Corporate Governance 1. Definisi Corporate Governance Kata “governance” berasal dari bahasa Prancis “gubernance” yang berarti pengendalian. Selanjutnya kata tersebut dipergunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau jenis organisasi yang lain, menjadi corporate governance (Sutojo, 1: 2008). Dalam buku Siswanto Sutojo dan E John Aldridge (2008) terdapat tiga definisi corporate governance, yaitu 1. Definisi corporate governance menurut The Organization for Economic and Development (OECD) Corporate governance adalah “sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan.Corporate governance mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan, termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para manajer, dan semua anggota para pemegang saham dan non-pemegang saham.Corporate governance juga mengetengahkan ketentuan dan prosedur yang harus diperhatikan Dewan Pengurus-Board of Directors dan Direksi dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan kehidupan perusahaan” (Sutojo, 2008: 2).
2. Definisi corporate governance menurut Australian Stock Excange (ASX) Corporate governance adalah “sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengelola kegiatan perusahaan.Sistem tersebut mempunyai pengaruh besar dalam menentukan sasaran usaha maupun dalam upaya mencapai upaya tersebut. Corporate governance juga mempunyai pengaruh dalam upaya mencapai kinerja bisnis yang optimal serta dalam analisis dan
7
pengendalian resiko bisnis yang dihadapi perusahaan” (Sutojo, 2008: 3).
3. Definisi corporate governance menurut Jill Solomon dan Aris Solomon Definisi corporate governance yang ketiga diutarakan oleh dua orang pakar manajemen dalam buku mereka Corporate Governance and Accountability. Dalam buku tersebut corporate governance didefinisikan sebagai “Sistem yang mengatur hubungan antara perusahaan dengan pemegang saham.Corporate governance juga mengatur hubungan dan pertanggung jawaban atau akuntabilitas perusahaan kepada seluruh anggota pemegang saham dan nonpemegang saham” (Sutojo, 2008:4).
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam mendefinisikan corporate governancesebagai : “Seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,
pengurus,
pihak kreditur, pemerintah,
karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka”.
Definisi lain diungkapkan oleh Monks &Minow
dalam
(Wardhani, 2006), Corporate Governance (CG) merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring
8
kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Konsep corporate
governance
diajukan
demi
tercapainya
pengelolaan
perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangan. Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus menanjak seiring dengan transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan nantinya menguntungkan banyak pihak (Nasution, 2007).
2. Tujuan Corporate Governance Good corporate governance mempunyai lima macam tujuan utama (Sutojo, 2008: 5). Kelima tujuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham Melindungi hak dan kepentingan non-pemegang saham Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board of Director dan manajemen perusahaan 5. Meningkatkan mutu hubungan Dewan Pengurus dengan manajemen senior perusahaan. Sedangkan Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001 dalam Rachmawati, 2007) merumuskan tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Corporate governance yang mengandung empat unsur penting yaitu keadilan, transparansi, pertanggungjawaban dan akuntabilitas, diharapkan dapat menjadi suatu jalan dalam mengurangi konflik keagenan.
9
3.
Prinsip-Prinsip Corporate Governance Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menciptakan prinsip-prinsip corporate governance dengan harapan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan internasional (international benchmark) bagi para penguasa negara, investor, perusahaan dan para pemegang saham, baik di negara- negara anggota OECD maupun bagi negara non anggota. The OECD Principles of Corporate Governance yang berisi tentang prinsip-prinsip corporate governance yang mencakup hal berikut (Sutojo, 2008: 9-12) : 1) Landasan hukum yang diperlukan untuk menjamin penerapan good corporate governance secara efektif. Menurut OECD apabila pemerintah suatu negara menginginkan prinsip-prinsip corporate governance diterapkan secara efektif di negaranya, mereka wajib membangun landasan hukum yang memungkinkan hal itu terjadi. Tanpa landasan hukum yang kuat salah satu tujuan utama corporate governance, yaitu melindungi hak dan kepentingan para pemegang saham dan stakeholders yang lain sulit dilaksanakan. Landasan hukum tersebut antara lain berupa penciptaan: Undang-undang tentang perseroan terbatas (corporation laws), Undang-undang perburuhan, Undang-undang tentang kredit perbankan, Undang-undang tentang standar akuntansi keuangan dan standar audit, syarat dan prosedur pendaftaran saham perusahaan di bursa efek. 2) Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan Pemegang saham mempunyai hak-hak tertentu.OECD menyarankan hak-hak tersebut dilindungi, baik secara hukum maupun oleh masing-masing perusahaan. 3) Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham Perusahaan wajib menjamin perlakuan yang adil terhadap semua pemegang saham perusahaan, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Perlakuan yang adil tersebut adalah sebelum membeli saham yang diperdagangkan di bursa
10
efek, setiap investor berhak mendapat informasi tentang hak dan perlindungan terhadap saham yang akan mereka beli. 4) Peran pemegang saham dalam corporate governance OECD juga menyarankan adanya perlindungan hak dan kepentingan para pemegang saham dan non pemegang saham. Hal itu disebabkan karena keberhasilan operasi bisnis perusahaan ditentukan oleh hasil kerjasama para pemegang saham, termasuk karyawan, kreditur, pelanggan dan para pemasok layanan jasa, bahan baku dan bahan pembantu. 5) Prinsip pengungkapan informasi perusahaan secara transparan Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan berkaitan dengan perusahaan. Informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit, dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi. Manajemen juga diharuskan untuk meminta auditor eksternal (kantor akuntan publik) melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan. 6) Tanggung jawab dewan pengurus atau direksi Kerangka yang dibangun dalam corporate governance harus menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh dewan komisaris, dan pertanggungjawaban dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.Prinsip ini juga memuat kewenangankewenangan serta kewajiban-kewajiban professional dewan komisaris kepada pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya.
The Australian Stock Exchange (ASX) merupakan organisasi yang beranggotakan perusahaan dan organisasi lain dari berbagai sektor usaha bisnis di Australia memiliki suatu misi organisasi yaitu menciptakan kerangka dasar good corporate governance yang dapat dipergunakan sebagai bahan acuan bagi perusahaan publik, para investor, dan meraka yang bergerak dalam bidang pasar uang dan pasar
11
modal serta masyarakat bisnis Australia pada umumnya (Sutojo, 2008: 13). ASX Corporate Governance Concil menciptakan sepuluh prinsip good corporate governance yang mereka sebut “The Principles of Good Corporate Governance and Best Practice Recommendations. Kesepuluh prinsip tersebut adalah (Sutojo, 2008: 14-15) : 1)
Membangun landasan kerja yang kuat bagi manajemen perusahaan dan dewan pengurus (establish solid foundation for management and oversight by the board). 2) Menyusun struktur organisasi dewan pengurus yang dapat menjamin efektifitas kerja dan meningkatkan nilai perusahaan (structure the Board to add value). 3) Mengembangkan kebiasaan mengambil keputusan yang etis dan dapat dipertanggungjawabkan (promoto ethicaland responsibledecision making). Kebiasaan tersebut wajib dimulai dari tingkat atas dalam organisasi perusahaan 4) Menjaga integritas laporan keuangan (safeguard integrity in financial reporting) 5) Mengungkapkan semua informasi tentang kondisi dan perkembangan perusahaan kepada pemegang saham secara tepat waktu dan seimbang (make timely and balanced disclosure) 6) Menghormati hak dan kepentingan para pemegang saham (respect the right of shareholders) 7) Menyadari adanya resiko bisnis dan mengelolanya secara professional (recognize and manage risk) 8) Mendorong peningkatan kinerja dewan pengurus dan manajemen perusahaan (encourage enhaced performance) 9) Menjamin pemberian balas jasa pimpinan dan karyawan perusahaan yang adil dan dapat dipertanggung jawabkan (remunerate fairly and responsibility) 10) Memahami hak dan kepentingan para pemegang saham yang syah (recognize the legitimate interests of stakeholders).
Selain prinsip yang dikembangkan oleh OECD dan ASX, FCGI yang merupakan organisasi non pemerintah (NGO)
menjabarkan
12
prinsip-prinsip good corporate governance yang bertujuan untuk mensosialisasikan praktik tersebut, diantaranya (Ichsan, 2007) : 1)
Fairnes, yaitu keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hakhak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan membuat peraturan korporasi yang melindungi kepentingan minoritas; membuat pedoman perilaku perusahaan (corporate conduct) dan atau kebijakankebijakan yang melindungi korporasi terhadap perbuatan buruk orang dalam, self dealing, dan konflik kepentingan; menetapkan peran dan tanggung jawab dewan komisaris, komite audit, dan direksi, termasuk sistem remunerasi; menyajikan informasi secara wajar / pengungkapan penuh material apapun; mengedepankan Equal Job Opportunity.
2)
Disclosure dan Transparency, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas, mengembangkan information technology dan management information system untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh dewan komisaris dan direksi, mengembangkan enterprise risk management yang memastikan bahwa semua resiko signifikan telah diidentifikasi, diukur, dan dapat dikelola pada tingkat toleransi yang jelas, mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka.
3)
Accountability, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan menyiapkan laporan keuangan pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat, mengembangkan komite audit dan risiko untuk mendukung fungsi pengawasan oleh dewan komisaris, mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi internal audit sebagai mitra bisnis strategis berdasarkan best practice (bukan sekedar audit).
4)
Responsibility, yaitu kesesuaian didalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang
13
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekwensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan kekuasaan, menjadi professional dan menjunjung etika, memelihara lingkungan bisnis yang sehat.
4.
Manfaat Corporate Governance Badan Pengelola Pasar Modal dibanyak negara menyatakan penerapan corporate governance di perusahaan-perusahaan publik secara sehat, telah berhasil mencegah praktek pengungkapan laporan keuangan perusahaan kepada pemegang saham, investor dan pihak lain yang berkepentingan secara tidak transparan (Sutojo, 2008: 8). Mereka juga mengutarakan dewan pengurus perusahaanperusahaan
yang
menerapkan
prinsip-prinsip
good
corporate
governance dapat melakukan bimbingan kepada manajeman perusahaan mereka secara lebih efektif (Sutojo, 2008: 8).
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001 dalam Rachmawati, 2007) menyatakan bahwa kegunaan dari corporate governance yang baik adalah: a. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik b. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak sulit (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value c. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia
14
d. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders’s value dan dividen. Dari beberapa manfaat yang sudah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan segala manfaatnya, penerapan corporate governance pada akhirnya dapat meningkatkan nilai korporasi atau perusahaan.Namun untuk mencapai manfaat secara optimal, diperlukan suatu modifikasi penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dari suatu perusahaan ke perusahaan lain (Sutojo, 2008: 9).
5.
Mekanisme Corporate Governance Menurut Berhart dan Rosenstein (1998) dalam Siallagan (2006) beberapa mekanisme (mekanisme corporate governance) seperti mekanisme internal misalnya struktur dan dewan komisaris, serta mekanisme eksternal misalnya pasar untuk kontrol perusahaan diharapkan dapat mengatasi masalah keagenan. Konflik keagenan yang mengakibatkan adanya sifat opportunistic manajemen akan berakibat pada rendahnya kualitas laba. Kualitas laba yang rendah dapat membuat kesalahan pembuatan keputusan oleh para pemakainya seperti para investor dan kreditor. Ada empat mekanisme corporate governance yang sering dipakai dalam berbagai penelitian mengenai corporate governance yang bertujuan untuk mengurangi konflik keagenan, yaitu kepemilikan
15
manajerial, kepemilikan institusional, komposisi dewan komisaris, komite audit.
a. Kepemilikan Manajerial
Struktur kepemilikan merupakan prosentase saham yang dimiliki oleh insidershareholder dan prosentase saham yang dimiliki oleh outsider shareholder. Menurut Ujiyantho (2007), insider shareholders merupakan pemilik saham yang berasal dari dalam perusahaan sedangkan outsider shareholder merupakan pemilik saham yang berasal dari luar perusahaan. Ujiyantho (2007) membagi struktur kepemilikan menjadi dua jenis, yaitu struktur kepemilikan manajerial dan struktur kepemilikan institusional. Kepemilikan manajerial termasuk kedalam insider shareholder karena berasal dari dalam perusahaan, sedangkan kepemilikan institusional termasuk kedalam outsider shareholder karena berasal dari luar perusahaan yang berbentuk institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun, dan investment banking. Menurut Boediono (2005) kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan terhadap jumlah saham yang beredar.Indikator atau proksi yang digunakan untuk mengukur kepemilikan manajerial adalah persentase jumlah saham yang dimiliki manajemen dari seluruh jumlah saham yang dikelola.
16
b. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan
institusional
memiliki
kemampuan
untuk
mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif
sehingga
mengurangi
tindakan
manajemen
melakukan
manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005). Dalam
hubungannya
dengan
fungsi
monitor,
investor
institusional diyakini memiliki kemampuan untuk memonitor tindakan manajemen lebih baik dibandingkan investor individual. Menurut Lee (1992) dalam Rachmawati (2007) menyebutkan dua perbedaan pendapat mengenai investor institusional. Pendapat pertama didasarkan pada pandangan bahwa investor institusional adalah pemilik sementara (transfer owner) sehingga hanya terfokus pada laba sekarang (current earnings). Perubahan pada laba sekarang dapat mempengaruhi keputusan investor institusional. Jika perubahan ini tidak dirasakan menguntungkan oleh investor, maka investor dapat melikuidasi sahamnya. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa investor institusional biasanya memiliki saham dengan jumlah besar, sehingga jika mereka melikuidasi sahamnya akan mempengaruhi nilai saham secara keseluruhan.
17
Pendapat kedua memandang investor institusional sebagai investor yang berpengalaman (sophisticated). Menurut pendapat ini, investor lebih terfokus pada laba masa datang (future earnings) yang lebih besar relatif dari laba sekarang (Fidyati, 2004 dalam Rachmawati, 2007). Melalui
mekanisme
kepemilikan
institusional,
efektivitas
pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba.Kepemilikan institusional dapat diukur dengan menggunakan indikator persentase jumlah saham yang dimiliki pihak institusional dari seluruh jumlah saham perusahaan (Bordiono, 2005).
c. Komposisi Dewan Komisaris
Dewan komisaris memegang paranan yang sangat penting dalam perusahaan,
terutama
dalam
pelaksanaan
good
corporate
governance.Bahkan menurut FCGI dewan komisaris merupakan inti dari good
corporate
pelaksanaan
governance
startegi
yang ditugaskan
perusahaan,
mengawasi
untuk
menjamin
manajemen
dalam
mengelola perusahaan serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (Ichsan, 2007). Vafeas (2000) dalam Siallagan (2006) mengatakan bahwa selain kepemilikan manajerial, peranan dewan komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba
18
melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Fungsi monitoring yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris. Fungsi utama dewan komisaris menurut Indonesian Code for Corporate Governance adalah memberikan supervisi kepada direksi dalam menjalankan tugasnya. Dewan komisaris juga berkewajiban mamberikan
pendapat
dan
saran
yang
diminta
direksi.Dalam
menjalankan tugasnya tersebut para anggota dewan komisaris wajib bersikap independen. Disamping itu para anggota dewan komisaris perlu memiliki watak yang baik dan memiliki pengalaman-pengalaman bisnis yang dibutuhkan perusahaan (Sutojo, 2008: 25). Pada tahun 2000 Bapepam telah mengatur keberadaan dewan komisaris independen bagi perusahaan publik. Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di bursa harus memiliki komisaris independen yang secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham. Dalam peraturan ini persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari jumlah anggota dewan komisaris (Ichsan, 2007). Melalui peranan dewan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh pihak manajemen, komposisi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan. Indikator
19
yang digunakan untuk mengukur komposisi dewan komisaris adalah persentase jumlah anggota dewan yang berasal dari luar perusahaan, dari seluruh jumlah anggota dewan komisaris perusahaan (Boediono, 2005).
d. Komite Audit
Upaya untuk meningkatkan kualitas corporate governance di Indonesia telah dilakukan oleh Bapepam yaitu dengan mengharuskan perusahaan-perusahaan publik untuk membentuk komite audit. Bapepam melalui SE 03 /PM /2000 mensyaratkan pembentukan komite audit di perusahaan publik Indonesia yang tediri sedikitnya tiga orang, diketuai oleh komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen terhadap perusahaan serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Dalam pelaksanaan tugasnya komite audit mempunyai fungsi membantu dewan komisaris untuk (Ichsan, 7: 2007) :
Meningkatkan kualitas laporan keuangan Menciptakan iklim disiplin dan pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan Meningkatkan efektivitas fungsi internal audit maupun eksternal audit Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris
Komite audit yang bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan,
mengawasi
audit
eksternal,
dan
mengamati
sistem
pengendalian internal (termasuk audit internal) dapat mengurangi sifat
20
opportunistic manajemen yang melakukan manajemen laba (earnings management) dengan cara mengawasi laporan keuangan dan melakukan pengawasan pada audit eksternal (Siallagan, 2006). Komite audit dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris. Biasanya komite audit diangkat untuk jangka waktu tiga tahun dan dapat diperpanjang pada akhir masa jabatannya. Regulator pasar modal dibanyak negara juga mewajibkan perusahaan publik mencantumkan dalam bab tentang corporate governance laporan tahunan mereka hal-hal yang bersangkutan dengan komite audit, termasuk : (Sutojo,129: 2008)
Nama dan kualifikasi anggota Komite audit mereka Tanggung jawab dan tugas komite Jumlah pertemuan yang telah diselanggarakan komite tersebut selama tahun yang bersangkutan
Klein (2002) dalam Siallagan (2006) memberikan bukti secara empiris bahwa perusahaan yang membentuk komite audit independen melaporkan laba dengan kandungan akrual diskresioner yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membentuk komite audit independen.
B. 1.
Laba Akuntansi Definisi Laba
Laba merupakan suatu informasi penting dalam suatu laporan keuangan. Angka ini penting untuk ( Harahap, 2007: 296) :
21
1. Perhitungan pajak, berfungsi sebagai dasar pengenaan pajak yang akan diterima negara. 2. Menghitung deviden yang akan dibagikan kepada pemilik dan yang akan ditahan dalam perusahaan. 3. Menjadi pedoman dalam menentukan kebijaksanaan investasi dan pengambilan keputusan. 4. Menjadi dasar dalam peramalan laba maupun kejadian ekonomi perusahaan lainnya dimasa yang akan datang 5. Menjadi dasar dalam perhitungan dan penilaian efisiensi 6. Menilai prestasi atau kinerja perusahaan /segmen perusahaan/divisi 7. Perhitungan zakat sebagai kewajiban manusia sebagai hamba kepada Tuhannya melalui pembayaran zakat kepada masyarakat
Menurut konsep capital maintenance, laba baru disebut ada setelah modal yang dikeluarkan tetap masih ada (capital maintained atau return on capital) atau biaya yang telah tertutupi (cost recovery) atau pengembalian modal return of capital (Harahap, 2007: 298). Menurut akuntansi yang dimaksud dengan laba adalah : “Perbedaan antara revenue yang direalisasi yang timbul dari transaksi pada periode tertentu dihadapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan pada periode tersebut”(Harahap, 2007: 305). Most dalam Harahap (2007: 305) menambahkan ciri-ciri laba akuntansi sebagai berikut : 1. Laba akuntansi menggunakan konsep periodik 2. Laba akuntansi diperluas bukan hanya transaksi dan termasuk seluruh nilai fenomena dan periode yang dapat diukur 3. Laba akuntansi mengizinkan agregasi ke dalam kategori berupa input dan output 4. Oleh karena itu, perbandingan input dengan output akan menghasilkan sisa 5. Dengan demikian, mayoritas mereka yang berkepentingan terhadap angka itu dapat menggunakannya untuk berbagai tujuan.
22
2.
Kualitas Laba Kualitas laba dapat diindikasikan sebagai kemampuan informasi laba memberikan respon kepada pasar. Dengan kata lain, laba yang dilaporkan memiliki kekuatan respon (power of response). Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba yang tercermin dari tingginya earnings response coefficients (ERC), menunjukkan laba yang dilaporkan berkualitas (Boediono, 2005) Salah satu informasi yang terdapat didalam laporan keuangan adalah
informasi
mengenai
laba
perusahaan.
Informasi
laba
sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting (SFAC) Nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif (FASB, 1980). Menurut PSAK Nomor 1 informasi laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya. Bagi pemilik saham dan atau investor, laba berarti peningkatan nilai ekonomis (wealth) yang akan diterima, melalui pembagian dividen. Laba juga digunakan sebagai alat untuk mengukur kinerja manajemen perusahaan selama periode tertentu yang pada umumnya menjadi perhatian pihak-pihak tertentu terutama dalam menaksir kinerja atas pertanggungjawaban manajemen dalam pengelolaan sumber daya yang
23
dipercayakan
pada
mereka,
serta
dapat
dipergunakan
untuk
memperkirakan prospeknya di masa depan. Laba sebagai bagian dari laporan keuangan tidak menyajikan fakta yang sebenarnya tentang kondisi ekonomis perusahaan sehingga laba yang diharapkan dapat memberikan informasi untuk mendukung pengambilan keputusan menjadi diragukan kualitasnya. Laba yang tidak menunjukkan informasi yang sebenarnya tentang kinerja manajemen dapat menyesatkan pihak pengguna laporan. Jika laba seperti ini digunakan oleh investor untuk membentuk nilai pasar perusahaan, maka laba tidak dapat menjelaskan nilai pasar perusahaan yang sebenarnya. Kualitas laba khususnya dan kualitas laporan keuangan pada umumnya adalah penting bagi mereka yang menggunakan laporan keuangan untuk tujuan kontrak dan pengambilan keputusan investasi. Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba yang tercermin dari tingginya Earning Response Coefficients (ERC), menunjukkan laba yang dilaporkan berkualitas. Scott (2000) dalam Boediono (2005) menyatakan bahwa ERC mengukur seberapa besar return saham dalam merespon angka laba yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut. Dengan kata lain ERC adalah reaksi atas laba yang diumumkan (published) oleh perusahaan. Tinggi rendahnya ERC sangat ditentukan oleh kekuatan responsive yang tercermin dari informasi yang terkandung dalam laba. ERC merupakan
24
salah satu ukuran atau proksi yang digunakan untuk mengukur kualitas laba (Collins,1986 dalam Boediono 2005). Laporan laba sebagai produk informasi yang dihasilkan perusahaan,
tidak
terlepas
dari
proses
penyusunannya.
Proses
penyusunan laporan ini melibatkan pihak pengurus dalam pengelolaan perusahaan, di antaranya adalah pihak manajemen, dewan komisaris, dan pemegang saham. Kebijakan dan keputusan yang diambil oleh mereka dalam rangka proses penyusunan laporan keuangan terutama laba akan menentukan kualitas laba. Laba yang memiliki kemampuan untuk memberikan respon (power of response) kepada pasar menunjukkan kualitas laba, yang diukur dengan ERC. Kualitas laba mengacu pada relevansi laba dalam mengukur tingkat kinerja perusahaan. Penentu kualitas laba mencakup lingkungan usaha perusahaan dan prinsip akuntansi yang dipilih dan diaplikasi perusahaan (Mc. Graw Hill, 2005: 133).
3.
Penentu Kualitas Laba
Pengukuran dan pengakuan laba membutuhkan estimasi dan interprestasi transaksi dan kejadian usaha. Analisis laba terdahulu menekankan bahwa laba akuntansi bukan suatu jumlah yang unik tetapi tergantung pada asumsi yang digunakan dan prinsip yang diaplikasikan. Kebutuhan akan estimasi dan interprestasi pada akuntansi akrual telah membuat beberapa individu mempertanyakan tingkat keandalan
25
seluruh pengukuran akrual. Ini merupakan reaksi eksterm dan tidak bijaksana karena banyak informasi relevan yang dapat dijelaskan melalui pengukuran akrual (Hill, 2005: 133). Akuntansi akrual mencakup penyesuaian arus kas untuk mencerminkan konsep yang berlaku umum pendapatan dan beban yang telah terjadi. Analisis harus diarahkan pada asumsi dan aplikasi prinsip, serta penyesuaian yang layak untuk tujuan analisis. Informasi pada akrual harus digunakan karena keunggulan kompetitifnya dan untuk membantu memahami kinerja perusahaan pada saat ini dan masa depan. Pengukuran kualitas laba menimbulkan kebutuhan untuk membandingkan laba antar perusahaan dan keinginan untuk mengakui perbedaan kualitas untuk tujuan penilaian. Tidak ada kesepakatan lengkap mengenai kualitas laba. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang biasa diidentifikasi sebagai penentu kualitas laba dan beberapa contoh penilaiannya, yaitu: a) Prinsip akuntansi Salah satu penentu kualitas laba adalah kebebasan manajemen dalam memilih prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku. Kebebasan ini dapat bersifat agresif (optimis) atau konservatif. Kualitas laba yang ditentukan secara konservatif dianggap lebih tinggi karena lebih kecil kemungkinan kinerja kini dan perkiraan kinerja masa depan dinyatakan terlalu tinggi dibandingkan dengan laba yang ditentukan dengan cara yang agresif. Konservatisme mengurangi kemungkinan laba dinyatakan terlalu tinggi dan adanya perubahan retrospektif. b) Aplikasi akuntansi Penentuan kualitas laba lainnya adalah kebebasan manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku. Manajemen
26
memiliki kebebasan terhadap jumlah laba yang dilaporkan melalui aplikasi prinsip akuntansi untuk menentukan pendapatan dan beban. Beban yang ‘bebas’ seperti beban iklan, pemasaran, perbaikan, pemeliharaan, penelitian, dan pengembangan dapat ditentu kan waktunya untuk mengelola tingkat laba (rugi) yang akan dilaporkan. Laba yang mencerminkan elemen waktu yang tidak terkait dengan operasi atau kondisi usaha dapat mengurangi kualitas laba. c) Risiko usaha Penentuan kualitas laba yang ketiga adalah hubungan antara laba dengan risiko usaha. Hal ini mencakup dampak siklus dan kekuatan usaha lain terhadap tingkat, stabilitas, sumber dan variabilitas laba. Misalnya, variabilitas biasanya tidak disukai dan meningkatnya variabilitas akan memperburuk kualitas laba. Kualitas laba yang lebih tinggi dikaitkan dengan perusahaan yang lebih terlindung dari risiko usaha. Meskipun risiko usaha tidak disebabkan oleh kebebasan manajemen dalam bertindak, risiko ini dapat dikurangi dengan strategi manajemen yang ahli.
4.
Manajemen Laba
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Rahmawati, 2006). Manajemen laba merupakan suatu intervensi yang disengaja oleh manajemen dalam proses pelaporan keuangan perusahaan kepada pihak eksternal perusahaan yang memanfaatkan penilaian (judgement) mereka
27
untuk mempengaruhi keputusan para penggunanya serta demi memperoleh keuntungan pribadi. Bryshaw dan Eldin (1989) dalam Ujiyantho (2007) menemukan bukti bahwa alasan manajemen melakukan manajemen laba adalah: (1) skema kompensasi manajemen yang dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang disajikan dalam laba akuntansi yang dilaporkan; serta (2) fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat mengakibatkan intervensi pemilik untuk mengganti manajemen dengan pengambilalihan secara langsung. Pendapat lain diungkapkan oleh Rahmawati (2006) mengenai faktor-faktor pendorong dilakukannya manajemen laba yaitu : 1. Bonus Plan Hypothesis Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan. 2. Debt Covenant Hypothesis Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan lab .Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal. 3. Political Cost Hypothesis Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya : mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
28
5.
Earning Response Coefficients Menurur Scott (2000) dalam Boediono (2005) menyatakan bahwa ERC mengukur seberapa besar return saham dalam merespon angka laba yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut. Dengan kata lain ERC adalah reaksi atas laba yang diumumkan (published) oleh perusahaan. Reaksi ini mencerminkan kualitas dari laba yang dilaporkan perusahaan. Dan tinggi rendahnya ERC sangat ditentukan kekuatan responsif yang tercermin dari informasi (good / bad news) yang terkandung dalam laba.ERC merupakan salah satu ukuran atau proksi yang digunakan untuk mengukur kualitas laba. Earnings Response Coefficient (ERC) didefinisikan “Sebagai ukuran tingkat abnormal return sekuritas dalam merespon komponen unexpected earnings yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan sekuritas tersebut” (Scott, 1997) dalam Suaryana (2005). ERC merupakan koefisien yang diperoleh dari regresi antara proksi harga saham dan laba akuntansi. Proksi harga saham yang digunakan adalah Cummulative Abnormal Return (CAR), sedangkan proksi laba akuntansi adalah unexpected earnings (UE). Laba yang dipublikasikan dapat memberikan respon yang bervariasi, yang menunjukkan adanya reaksi pasar terhadap informasi laba. Reaksi yang diberikan tergantung dari kualitas laba yang dihasilkan oleh perusahaan. Dengan kata lain, laba yang dilaporkan
29
memiliki kekuatan respon (power of response). Kuatnya reaksi pasar terhadap
informasi
laba
yang tercermin
dari tingginya
ERC,
menunjukkan laba yang dilaporkan berkualitas. Demikian sebaliknya, lemahnya reaksi pasar terhadap informasi laba yang tercermin dari rendahnya ERC, menunjukkan laba yang dilaporkan kurang atau tidak berkualitas (Boediono, 2005).
C.
Teori Keagenan ( Agency Theory) Teori keagenan mengemukakan hubungan antara principal (pemilik) dan agent (manajer) dalam hal pengelolaan perusahaan, dimana principal merupakan suatu entitas yang mendelegasikan wewenang
untuk
mengelola
perusahaan
kepada
pihak
agent
(manajemen). Menurut Jensen & Meckling (1976) dalam Rachmawati (2007) teori agensi adalah “menjelaskan tentang hubungan kontraktual antara
pihak
yang
mendelegasikan
keputusan
tertentu
(principal/pemilik/pemegang saham) dengan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (agen/manajemen)”. Dalam teori agensi diasumsikan terdapat kemungkinan konflik dalam hubungan antara principal dan agen yang disebut dengan konflik keagenan (agency conflict). Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda
30
didalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali,2002 dalam Ujiyantho 2007). Jensen
&
Meckling
(1976)
dalam
Rachmawati
(2007)
berpendapat bahwa agency conflict timbul pada berbagai hal sebagai berikut : 1) Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan. Misalnya investasi yang bisa meningkatkan nilai individu manajer walaupun biaya penugasannya tinggi sehingga para manajer akan berada pada posisi untuk mengekstrak tingkat renumerasi yang lebih tinggi dari perusahaan (moral-hazard). 2) Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi internal yang positif (internal positive investment opportunities) atau disebut earning retention. 3) Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini, mereka akanmengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam jangkauan kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi yang dianggap menambah resiko bagi perusahaannya walaupun mungkin hal itu bukan pilihan terbaik bagi perusahaan (risk aversion). 4) Manajemen cenderung hanya memperhatikan cash flow perusahaan sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi (shortterm high accounting return project) dan kurang atau tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian NPV positif yang jauh lebih besar (time-horizon). 5) Asumsi dasar lainnya yang membangun agency theory adalah agency problem yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara kepentingan pemegang saham sebagai pemilik dan manajemen sebagai pengelola. Pemilik memiliki kepentingan agar
31
dana yang diinvestasikannya mendapatkan return maksimal, sedangkan manajer berkepentingan terhadap perolehan insentif atas pengelolaan dana pemilik (agency problem). Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Menurut Jensen dan Murphy (1990) dalam Machfoedz (2003) konflik keagenan juga tidak terlepas dari kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri (moral hazard) dengan mengorbankan kepentingan pihak lain, karena walaupun manajer memperoleh kompensasi dari pekerjaannya, namun pada kenyataannya perubahan kemakmuran
manajer
sangat
kecil
dibandingkan
perubahan
kemakmuran pemilik/pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Midiastuty (2003) ada dua macam bentuk hubungan keagenan, yaitu antara manajer dan pemegang saham (shareholders) dan antara manajer dan pemberi pinjaman (bondholders). Sedangkan positif accounting theory (Watts dan Zimmerman, 1990) dalam Midiastuty (2003) secara implisit mengakui tiga bentuk hubungan keagenan, yaitu antara pemilik dengan
32
manajemen (bonus planhypothesis), kreditur dengan manajemen (debt/equity hypothesis), dan pemerintah dengan manajemen (political cost hypothesis). Masalah keagenan (agency problem) sebenarnya muncul ketika principal kesulitan untuk memastikan bahwa agen bertindak untuk memaksimumkan kesejahteraan principal. Menurut teori keagenan salah satu mekanisme yang secara luas digunakan dan diharapkan dapat menyelaraskan tujuan principal dan agen adalah melalui mekanisme pelaporan keuangan. Namun karena dalam akuntansi dikenal adanya dasar akrual (accrual basis), yang mewajibkan perusahaan untuk mengakui pendapatan (biaya) yang sudah menjadi hak (kewajiban) dalam periode sekarang. Sehingga angka-angka dalam laporan keuangan mengandung komponen akrual, baik yang berada dibawah kebijakan manajamen (discretionary) maupun yang tidak (non discretionary) Sugiri (1998) dalam Midiastuty (2003). Karena adanya kecenderungan manajer untuk mencari keuntungan sendiri (moral hazard) dan tingkat asimetri informasi
yang tinggi, ditambah motif-motif tertentu,
memperbesar kemungkinan manajemen memanfaatkan pos-pos akrual guna menyajikan laba yang sesuai dengan kepentingannya yang mungkin tidak sesuai dengan kepentingan principal, seperti pemilik, pemegang saham, atau pemberi pinjaman. Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri sehingga
33
menimbulkan konflik kepentingan antara
principal dan agent.
Pemegang saham sebagai pihak principal mengadakan kontrak untuk memaksimumkan kesejahteraan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Manajer sebagai agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Masalah keagenan muncul karena adanya perilaku oportunistik dari agent, yaitu perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk tujuan mendapatkan bonus dari principal (Halim, 2005).
D.
Asimetri Informasi (Asymmetric Information)
Asimetri informasi adalah “suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan.Agency theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agent) dengan pemilik. (principal)” (Halim, 2005).
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban
34
memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik.Sinyal tersebut dapat diberikan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting terutama bagi para pengguna eksternal karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali, 2002 dalam Ujiyantho 2007). Ketidakseimbangan penguasaan informasi ini akan memicu munculnya asimetri informasi. Terdapat dua jenis asymmetric information, yaitu (Rahmawati, 2006): a. Adverse Selection Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak atau lebih yang melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insider) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan dibandingkan para investor. b. Moral Hazard Moral hazard adalah jenis asimetri informasi ketika satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak lainnya tidak. Jenis asimetri ini dapat terjadi karena adanya pemisahan kepemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar. Dengan kata lain, hal ini terjadi karena pihakpihak di luar perusahaan (investor) mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada manajer tetapi investor tidak dapat sepenuhnya memantau manajer dalam melaksananakan tugas yang didelegasikan tersebut. Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi
35
tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer. Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Adanya asimetri informasi juga menyebabkan stakeholders sebagai pihak eksternal tidak dapat mengamati dan mengawasi seluruh kinerja dan prospek perusahaan seutuhnya. Oleh karena itu, keberadaan dari asimetri informasi ini dipercaya sebagai penyebab dari timbulnya praktek manajemen laba sehingga berkaitan erat dengan kualitas laba perusahaan. E.
Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Kualitas Laba
Menurut
teori
keagenan
untuk
mengatasi
masalah
ketidakselarasan kepentingan salah satunya adalah melalui pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Corporate governance merupakan suatu mekanisme yang digunakan untuk memastikan bahwa supplier keuangan, misalnya pemegang saham (shareholders) dan pemberi pinjaman (bondholders), dari perusahaan memperoleh pengembalian (return) dari kegiatan yang dijalankan oleh manajer, atau dengan kata lain bagaimana supplier keuangan perusahaan melakukan kontrol terhadap manajer, yang meliputi mekanisme internal, seperti komposisi dewan komisaris, kepemilikan manajerial, dan
36
mekanisme
eksternal,
seperti
pasar
untuk
kontrol
perusahaan,
kepemilikan institusional, dan komite audit.
Mekanisme Corporate Governance
Kepemilikan Manajerial (X1)
Kepemilikan Institusional (X2)
Kualitas Laba (Y)
Dewan Komisaris (X3)
Komite Audit (X4)
1.
Kepemilikan Manajerial dan Kualitas Laba
Teori keagenan mengemukakan jika antar pihak principal (pemilik) dan agen (manajer) memiliki kepentingan yang berbeda,
37
muncul
konflik
yang
dinamakan
konflik
keagenan
(agency
conflict).Pemisahan fungsi antara pemilik dan manajemen ini memiliki dampak negatif yaitu keleluasaan manajemen (pengelola) perusahaan untuk memaksimalkan laba. Hal ini akan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan manajemen sendiri dengan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik perusahaan. Kondisi ini terjadi karena asymmetry information antara manajemen dan pihak lain yang tidak memiliki sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk memonitor tindakan manajemen. Konflik keagenan dapat mengakibatkan adanya sifat manajemen melaporkan laba secara oportunis untuk memaksimumkan kepentingan pribadinya. Jika hal ini terjadi akan mengakibatkan rendahnya kualitas laba. Kualitas
laba
yang
dilaporkan
dapat
dipengaruhi
oleh
kepemilikan saham manajerial. Tekanan dari pasar modal menyebabkan perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah akan memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan, yang sebenarnya tidak mencerminkan keadaan ekonomi dari perusahaan yang bersangkutan (Boediono, 2005). Shleifer dan Vishny (1986) dalam Siallagan (2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya
38
perilaku oportunistik manajer akan meningkat. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Sehingga permasalahan keagenen diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik. Warfield
menguji hubungan kepemilikan manajerial dengan
kandungan informasi dari laba (information content of earnings) dan discretionary accrual dengan menggunakan data pasar modal Amerika. Mereka menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhubungan negatif dengan manajemen laba dan berhubungan positif dengan kandungan informasi
dari
laba
yang
diproksi
dengan
ERC.
Hasil
ini
diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa relevansi dan reliabilitas laba merupakan fungsi positif dari kepemilikan manajerial.Kepemilikan manajerial dapat mengurangi dorongan untuk melakukan tindakan manipulasi, sehingga laba yang dilaporkan merefleksikan keadaan ekonomi dari perusahaan bersangkutan yang sebenarnya.
2.
Kepemilikan Institusional dan Kualitas Laba
Pandangan teori keagenan dimana terdapat pemisahan antara pihak agen dan prinsipal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Adanya konflik keagenan tersebut juga memicu timbulnya asimetri informasi antara pihak agen dan prinsipal. Pihak manajemen yang mempunyai
39
kepentingan tertentu akan cenderung menyusun laporan laba yang sesuai dengan tujuannya dan bukan demi untuk kepentingan prinsipal. Menurut
Bushee
dalam
Boediono
(2005)
kepemilikan
institusional memiliki kemampuan untuk mengurangi insentif para manajer yang mementingkan diri sendiri melalui tingkat pengawasan yang intens. Kepemilikan institusional dapat menekan kencederungan manajemen untuk memanfaatkan discretionary dalam laporan keuangan sehingga memberikan kualitas laba yang dilaporkan.
3. Komposisi Dewan Komisaris dan Kualitas Laba Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal
perusahaan,
memiliki
peranan
terhadap
aktivitas
pengawasan.Vafeas dalam Siallagan (2006) mengatakan bahwa selain kepemilikan manajerial, peranan dewan komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Fungsi monitoring
40
yang dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris. Melalui
peran
dewan
komisaris
ini,
diharapkan
dapat
mengurangi konflik keagenan dalam perusahaan. Sehingga asimetri informasi antara agen dan prinsipal dapat dihindari 4. Keberadaan Komite Audit dan Kualitas Laba
Sesuai dengan Kep.29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian (Nasution, 2007). Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan dan mencegah timbulnya asimetri informasi. Tugas komite audit meliputi menelaah kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan eksternal dan kepatuhan terhadap peraturan. Di dalam pelaksanaan tugasnya komite auditmenyediakan komunikasi formal antara dewan, manajemen, auditor eksternal dan auditor internal (Bradbury et al. 2004 dalam Suryana, 2005).