Jurnal Kajian Akuntansi dan Auditing Vol. 4, No.2, Oktober 2009
CORPORATE GOVERNANCE: FENOMENA DI INDONESIA Yunilma Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta ABSTRACT Artikel ini bertujuan membahas tentang corporate gorvernance di Indonesia. Pembahasan akan dimulai dengan pendahuluan, prinsip-prinsip corporate governance, manfaat penerapan corporate governance, masalah penerapan corporate governance di Indonesia dan di akhiri dengan kesimpulan. Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan dan para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Konsep corporate governance ini timbul karena keterbatasan agency theory dalam mengatasi agency problem. Agency problem muncul karena pemisahan fungsi kepemilikan dan kontrol dalam hubungan keagenan. Keynote: Corporate Governance, Agency Theory, Agency Problem. Pendahuluan Dalam suatu riset internasional yang dilakukan untuk menilai kualitas penerapan prinsip-prinsip dalam mengelola korporasi di beberapa Negara Asia Pasifik, ternyata Indonesia memperoleh skor yang paling rendah. Selain itu, secara aktual diketahui bahwa keterpurukan sektor keuangan dan moneter negara turut disumbang oleh public companies yang konon sebelum diizinkan memasuki pasar telah cukup dicermati oleh otoritas pasar modal. Rangkaian prospek manis yang ditawarkan akhirnya berbuah tragis. Pada sisi lain, kehancuran yang teramat disesalkan itu ternyata juga disebabkan ikut andilnya perusahaan-perusahaan milik Negara. Badan-badan usaha yang dirancang untuk menunjang persiapan sistem perekonomian negara yang diatur dalam UUD 1945 pasal 33 justru sangat berpengaruh terhadap porak porandanya kondisi keuangan negara. Menghadapi kondisi pahit ini, maka fokus pemikiran diorientasikan untuk memperbaiki kinerja korporasi di Indonesia. Para pakar korporasi sepakat untuk menata ulang kembali pengelolaan korporasi di Indonesia. Sektor korporasi harus menyesuaikan diri dengan kondisi birokrasi yang bersih dan professional serta mengikuti kriteria yang bersifat global dalam era pasar bebas agar mampu menghadapi persaingan. Untuk menghadapi masalah tersebut diperkenalkanlah kerangka corporate governance. Dengan melihat keberhasilan negara-negara maju (kelompok Negara Anglo Saxon) dalam menerapkan corporate governance maka corporate governance ini juga menjadi alternatif yang mendesak untuk diterapkan di Indonesia. Secara formal, corporate governance hanya ditujukan bagi perusahaan yang statusnya merupakan perusahaan publik, khususnya yang telah menyerap dana dari masyarakat dan memiliki saham publik yang sifatnya minoritas dan independen. Kedudukan pemegang saham minoritas yang jumlahnya besar dan tersebar tidak dapat
Yunilma dipersatukan dan sering tidak terwakili dalam pengambilan keputusan. Ini menyebabkan kedudukan dan wewenangnya menjadi kurang penting dalam mengangkat dan menentukan siapa yang akan menjadi board of director. Keasey (1993) dalam Sunarto (2003) dan Luciana dkk (2006) menyatakan bahwa corporate governance merupakan sebuah struktur, proses, budaya dan sistem untuk menciptakan kondisi operasional yang sukses bagi suatu organisasi. Sedangkan menurut Cadbury (1992) dalam Darmawati (2006) corporate governance adalah sistem untuk mengarahkan (direct) dan mengendalikan (control) suatu perusahaan/korporasi. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan corporate governance sebagai “seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan dan para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Berdasarkan pengertian tersebut maka tujuan corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, Ariyoto dkk (2000) dalam Darmawati (2006) menyatakan bahwa konsep corporate governance timbul karena adanya keterbatasan agency theory dalam mengatasi agency problem dan dapat dipandang sebagai kelanjutan dari agency theory . Agency problem muncul karena adanya pemisahan antara fungsi kepemilikan dan kontrol dalam hubungan keagenan. Konflik akan muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara principal dalam hal ini pemilik perusahaan (shareholders) dengan agent dalam hal ini manajemen perusahaan. Shareholders memiliki, tetapi tidak mempunyai wewenang. Sebaliknya manajemen bukan pemilik, tetapi mempunyai wewenang yang besar. Kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi upaya pencapaian tujuan korporasi, sehingga dibutuhkan mekanisme di dalam suatu sistem yang berfungsi sebagai kekuatan pengendali (disciplinary forces) agar konflik kepentingan tidak merugikan korporasi ataupun berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan korporasi (stakeholders). Untuk mengatasi masalah ini agency theory berusaha menjelaskan tentang penentuan kontrak yang paling efisien yang bisa membatasi konflik atau masalah keagenan (Jensen dan Meckling, 1976). Sedangkan dalam setiap sistem corporate governance, mekanisme kontrol yang bekerja dapat dibedakan atas, mekanisme eksternal (the market for corporate control), serta mekanisme yang bersifat internal (internal control mechanisms). Mekanisme corporate governance yang baik dan proporsi kepemilikan serta proporsi board of directors yang relatif seimbang akan dapat menciptakan good corporate governance menurut Sunarto ( 2003) dalam Luciana dkk (2006). Di Indonesia, agency conflict terjadi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Hal ini disebabkan karena pemilikan atas suatu korporasi di dominasi oleh kelompok-kelompok tertentu baik pada perusahaan publik tapi juga pada perusahaan – perusahaan milik negara. Kondisi ini menyebabkan penerapan prinsipprinsip corporate governance belum lagi berjalan dengan baik. Makalah ini dimulai dengan pembahasan tentang prinsip-prinsip corporate governance, manfaat penerapan corporate governace dan praktek corporate governance khususnya pada perusahaan publik di Indonesia.
63
Jurnal Kajian Akuntansi dan Auditing
Prinsip-prinsip Corporate Governance. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merupakan organisasi internasional yang beranggotakan 30 negara di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia. Organisasi internasional ini bertujuan membantu negara-negara anggota dan non anggota dalam upaya meningkatkan kehidupan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan perdagangan internasional. OECD menyatakan terdapat lima prinsip corporate governance yaitu: (1) perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham; (2) perlakuan yang adil terhadap pemegang saham; (3) peranan stakeholders dalam corporate governance; (4) keterbukaan dan transparansi; (5) peranan board of directors dalam perusahaan. OECD menciptakan prinsip-prinsip corporate governance dengan harapan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan internasional bagi para penguasa negara, investor, perusahaan dan para stakeholder perusahaan (termasuk pemegang saham), baik negara-negara anggota maupun non anggota. April tahun 2001 Komite Nasional Indonesia tentang Corporate Governance Policies mengeluarkan the Indonesian Code for Good Corporate Governance bagi masyarakat bisnis Indonesia. The Indonesian Code for Good Corporate Governance memuat antara lain tentang: 1. Stockholders dan hak mereka (perlindungan terhadap pemegang saham). Adapun hak pemegang saham adalah: a). Menghadiri RUPS dan mengeluarkan pendapat. c). Memperoleh informasi tentang perusahaan secara reguler dan tepat waktu. c). Menerima deviden 2. Fungsi Dewan Komisaris (Independen), yaitu: a). Memberikan supervisi kepada direksi dalam menjalankan tugas; b). Memberikan saran/pendapat jika diminta oleh dewan direksi. Sedangkan anggotanya minimal 20% dari outside director (mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam pengelolaan kegiatan perusahaan sehari-hari). 3. Fungsi Direksi, yaitu mengelola perusahaan secara keseluruhan. Tiap anggota direksi harus mempunyai watak yang baik dan kompeten. 4. Sistem Audit, dibentuknya komite audit. Komite audit ini muncul karena kegagalan Negara Anglo Amerika Latin, dimana terjadi pelanggaran dalam perusahaan yang dilakukan oleh pejabat senior. Di Indonesia perkembangannya masih relatif baru dan sangat lambat. Keberadaan komite audit dalam perusahaan merupakan salah satu prasyarat implementasi corporate governance di perusahaan publik dan BUMN. 5. Sekretaris, tugasnya; menjaga perusahaan agar selalu mematuhi ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengungkapan informasi perusahaan secara transparan; menyajikan data dan informasi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Dewan Komisaris dan Direksi secara periodik. 6. The Stakeholders; perusahaan wajib menyampaikan informasi penting perusahaan secara proporsional. 7. Prinsip Pengungkapan Informasi Perusahaan secara Transparan; baik finansial maupun non finansial; secara akurat, objektif, mudah dipahami dan tepat waktu.
64
Yunilma 8. Kerahasiaan; anggota Dewan Komisaris dan Direksi harus menjaga kerahasiaan perusahaan walaupun mereka tidak lagi menjabat. 9. Etika Bisnis dan Korupsi; tidak memberikan/menawarkan (langsung maupun tidak langsung) hadiah kepada pelanggan/pejabat pemerintah dengan tujuan mempengaruhi mereka bertindak menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. 10. Perlindungan terhadap Lingkungan; direksi wajib menjaga perusahaan agar selalu mematuhi peraturan/hukum yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, kesehatan (baik karyawan maupun masyarakat) Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan corporate governance sebagai “seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan dan para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka.” Tujuan corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi pihak-pihak pemegang kepentingan. Menurut konsep corporate governance, perusahaan akan memperoleh nilai perusahaan (value of firm) yang maksimal jika fungsi dan tugas masing-masing pelaku bisnis yang modern dapat dipisahkan. Pelaku bisnis yang terlibat dalam perusahaan meliputi pemilik perusahaan dan manajer yang professional (board of director dan board of commissioners). Masingmasing pelaku ini perlu memahami prinsip-prinsip dasar corporate governance, yaitu: 1. Transparancy (transparansi); keterbukaan mengenai informasi kinerja perusahaan, baik ketepatan waktu maupun akurasinya. Hal ini berkaitan dengan kualitas informasi akuntansi yang dihasilkan yang bisa diwujudkan antara lain dengan: a) mengembangkan sistem akuntansi yang berbasiskan standar akuntansi dan best practice yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas; b) mengembangkan information technology dan management information system untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh Dewan Komisaris dan Direksi; c) mengembangkan enterprise risk management yang memastikan bahwa semua risiko yang signifikan telah diidentifikasi, diukur dan dapat dikelola pada tingkat toleransi yang jelas; dan d) mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka. 2. Accountability (akuntabilitas); penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian wewenang, peranan, hak dan tanggung jawab dari pemegang saham, direksi, manajer, dan auditor. Hal ini dapat diwujudkan antara lain dengan : a) menyiapkan financial statement tepat waktu dan dengan cara yang tepat; b) mengembangkan komite audit dan risiko untuk mendukung fungsi pengawasan Dewan Komisaris; c) mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi Internal Audit. 3. Responsibility; pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholders dan lingkungan dimana perusahaan tersebut berada. Hal ini diwujudkan dengan adanya kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang; menyadari akan tanggung jawab sosial; menghindari
65
Jurnal Kajian Akuntansi dan Auditing
penyalahgunaan kekuasaan; menjunjung tinggi etika serta memelihara lingkungan bisnis yang sehat. 4. Independency; menuntut pemilik perusahaan (stockholders), board of director dan board of commissioners dalam menjalankan kegiatan usaha melepaskan diri dari berbagai pengaruh dan tekanan yang berasal dari pihak tertentu yang dapat mengganggu, merugikan atau mengurangi objektifitas pengambilan keputusan. 5. Fairness; adanya kepastian perlindungan atas hak stakeholders dari penipuan (fraud) dan penyimpangan lainnya serta adanya pemahaman yang jelas mengenai hubungan berdasarkan kontrak diantara penyedia sumber daya perusahaan dan customer. Prinsip-prinsip corporate governance diatas, sangat terkait dengan masalahmasalah yang dihadapi dunia bisnis umumnya. Antara lain masalah yang berkaitan dengan korupsi dan ketidakjujuran (corruption and bribery), tanggung jawab sosial dan etika korporasi (corporate social responsibility and ethics), tata kelola sektor publik (public sector governance) dan reformasi hukum (regulatory reform). Prinsip-prinsip ini diharapkan bisa menjadi bahan rujukan/acuan bagi para regulator (pemerintah) dalam membangun framework bagi penerapan corporate governance. Sedangkan bagi pelaku bisnis dan pasar modal bisa menjadi pedoman dalam mengelaborasi best practices bagi peningkatan nilai (valuation) dan sustainability perusahaan. Dengan diterapkannya prinsip-prinsip corporate governance ini dalam suatu perusahaan diharapkan terjadi peningkatan kinerja perusahaan dan mampu mengurangi berbagai konflik kepentingan (agency conflict) di dalam perusahaan yang akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuannya (OECD, 1998). Penerapan corporate governance yang “benar dan sehat” akan mempengaruhi kredibilitas ekonomi (pasar) suatu negara dalam rangka menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (OECD, 1998). Namun demikian, harapan tersebut lebih bersifat abstrak (intangible benefits). Sedangkan di Di Indonesia, penerapan prinsip-prinsip corporate governance masih di tingkat menteri (KepMen BUMN) dan tidak ada sanksi bagi yang tidak melaksanakan. Perusahaan yang diharuskan menjalankan corporate governance adalah perusahaan yang listing di bursa efek dan perusahaan BUMN. Manfaat Penerapan Corporate Governance Menurut Harmanto dalam majalah SWA (2004) beberapa manfaat menerapkan good corporate governance, misalnya: dipercaya investor, mitra bisnis ataupun kreditor; menjadi lebih linear karena pembagian tugas serta kewenangan yang jelas; perimbangan kekuatan diantara struktur internal perusahaan, yakni direksi, komisaris, komite audit dan sebagainya; pengambilan keputusan menjadi lebih akuntabel dan lebih berhati-hati demi sustainability perusahaan. Jika suatu korporasi sudah menerapkan corporate governance, maka paling tidak ada 4 manfaat praktis yang akan diperolehnya, yaitu: a. Meminimalkan agency cost, yaitu biaya yang timbul sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada manajemen, termasuk biaya penggunaan sumber daya korporasi
66
Yunilma oleh manajemen untuk kepentingan pribadinya maupun dalam rangka pengawasan terhadap prilaku manajemen itu sendiri. Penerapan corporate governance akan bervariasi antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, hal ini disebabkan karena bervariasinya kontrol yang dilakukan dan biaya yang timbul bagi manajer dan pemegang saham (Gillan dkk, 2003). Bervariasinya biaya dan manfaat implementasi corporate governance sangat ditentukan oleh situasi lingkungan perusahaan, industri maupun regulasi. b. Meminimalkan cost of capital, yaitu biaya modal yang harus ditanggung jika perusahaan melakukan pinjaman pada pihak eksternal (keditur). Hal ini merupakan dampak dari pengelolaan perusahaan secara baik dan sehat sehingga akan menjadi referensi positif bagi kreditur. c. Meningkatkan nilai saham perusahaan. Jika perusahaan dikelola dengan baik maka minat dan kepercayaan investor akan meningkat. Tingkat harga saham yang tinggi menjadi tolok ukur keberhasilan korporasi (termasuk juga keberhasilan manajemen). d. Mengangkat citra perusahaan. Berdasarkan manfaat ini maka besar kemungkinan saham-saham perusahaan yang masuk CGPI akan direaksi oleh pasar, baik yang masuk sepuluh besar maupun Non sepuluh besar CGPI. Masalah Praktek Corporate Governance di Indonesia. Sistem corporate governance secara umum dapat dibedakan menjadi model Anglo-Saxon dan model Continental European. Model Anglo-Saxon diterapkan oleh Amerika, Inggris dan negara-negara persemakmuran sedangkan model Continental European diterapkan di negara-negara kontinental Eropa termasuk bekas jajahannya seperti Indonesia. Pola yang berhubungan dengan sistem corporate governance Indonesia seperti perangkat hukum dan struktur perusahaan masih mengacu pada pola Belanda. Walaupun Indonesia dianggap mengikuti model Continental European tapi penerapan corporate governancenya berbeda dengan negara kontinental lainnya. Lukviarman (2005) menyatakan kriteria corporate governance di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Dianutnya sistem dan perangkat hukum yang bersumber pada tradisi the French-Civil Law. 2. Menggunakan two-tier board system. Dewan komisaris dan dewan direksi (management board) dipilih dan bertanggung jawab pada RUPS 3. Terkonsentrasinya struktur kepemilikan. 4. Sumber pembiayaan korporasi dominan dari external financing (hutang). Berdasarkan hasil survey CSLA tahun 2001, membuktikan bahwa Indonesia berada di peringkat terakhir 9 negara di Asia dalam hal penerapan corporate governance. Hal ini disebabkan karena kurang kondusifnya iklim usaha (pelaksanaan dan kepastian hukum). Sehingga bisa disimpulkan bahwa masalah corporate governance yang ada di Indonesia berkaitan dengan : a) penegakan hukum (tidak adanya aturan yang tegas dan sanksi bagi perusahaan yang tidak menerapkannya).; b) tidak adanya undang-undang yang mendukung pelaksanaan corporate governance; c) peran akuntan sebagai
67
Jurnal Kajian Akuntansi dan Auditing
reputational agent dalam sub sistem corporate governance. Sedangkan kalau dilihat dari sisi korporasi, yang menjadi masalah adalah struktur kepemilikan yang didominasi oleh kelompok tertentu, kedudukan dewan komisaris/dewan direksi dan sumber pembiayaan yang didominasi dari external financing. Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan agency dan pendekatan asymetry information (Ituriaga dan Sanz, 2000). Pembahasan dalam konteks ini hanya melihat dari pendekatan agency. Menurut pendekatan agency, struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Dengan adanya konflik kepentingan maka biaya yang timbul untuk mengatasi konflik kepentingan tersebut juga bervariasi. Wicaksono (2000) dalam Shiddarta Utama dkk (2005) menjelaskan bahwa keberhasilan penerapan corporate governance tidak terlepas dari struktur kepemilikan perusahaan. Hal ini didukung oleh Barucci dan Falini (2004) yang menemukan bahwa kepemilikan saham oleh pemegang saham pengendali berhubungan negative dengan kualitas corporate governance. Ada perbedaan dalam struktur kepemilikan antara perusahaan di negara industri maju dengan negara yang sedang berkembang. Hal ini menyebabkan fokus corporate governance di negara maju berbeda dengan negara yang sedang berkembang. Amerika dan Inggris (contoh Negara maju) corporate governance lebih ditujukan pada perlindungan hak dan kepentingan pemegang saham terutama investor/pemegang saham institusional. Sedangkan pada kebanyakan negara berkembang, difokuskan pada perlindungan hak dan kepentingan pemegang saham dan stakeholder non pemegang saham. Di Indonesia, menurut hasil survei Asian Development Bank (ADB) perusahaan-perusahaan besar swasta kepemilikannya lebih banyak didominasi oleh kelompok keluarga yang dikenal dengan perusahaan konglomerat. Hal ini juga didukung berdasarkan hasil penelitian Lukviarman (2004) yang menyimpulkan bahwa kepemilikan mayoritas perusahaan publik di Indonesia bersifat terkonsentrasi serta umumnya dimiliki oleh keluarga (concentrated-family ownership). Sehingga konflik kepentingan yang terjadi di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Negara Anglo Saxon pada umumnya. Di Indonesia konflik kepentingan terjadi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Sementara di negara-negara maju pola kepemilikan korporasi umumnya tersebar sehingga masalah keagenan terjadi antara principal (pemilik) dan manajemen (agent) Drobetz et.al (2004) menyatakan ada dua dampak utama jika kepemilikan saham didominasi oleh pihak tertentu. Pertama, dengan meningkatnya hak atas aliran kas dari pemegang saham mayoritas (terbesar) ini akan berdampak positif. Adanya pemeringkatan corporate governance yang baik pasar akan mengapresiasi sehingga nilai perusahaan akan meningkat yang selanjutnya akan berdampak positif pada saham yang mereka miliki (pemegang saham terbesar). Kedua, dengan terkonsentrasinya kepemilikan perusahaan, maka pemegang saham mayoritas akan semakin menguasai perusahaan dan semakin dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Para pemegang
68
Yunilma saham tersebut berpendapat bahwa mereka tidak berkepentingan terhadap perlindungan pemegang saham minoritas, perlunya transparansi dan beberapa mekanisme corporate governance lainnya. Selanjutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam struktur kepemilikan, antara lain: a. Kepemilikan sebagian kecil saham perusahaan oleh manajemen mempengaruhi kecenderungan untuk memaksimalkan nilai pemegang saham dibanding sekedar mencapai tujuan perusahaan semata. b. Kepemilikan yang terkonsentrasi memberi insentif kepada pemegang saham mayoritas untuk berpartisipasi secara aktif dalam perusahaan. c. Identitas pemilik menentukan prioritas tujuan sosial perusahaan dan maksimalisasi nilai pemegang saham misalnya perusahaan milik pemerintah cenderung untuk mengikuti tujuan politik dibanding tujuan perusahaan. Kedudukan dan Peran Dewan Komisaris/Direksi Dalam prakteknya di Indonesia, anggota dewan komisaris dan direksi diangkat dan diberhentikan berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham. Tetapi karena struktur kepemilikannya didominasi oleh kelompok tertentu (pemegang saham mayoritas) maka anggota dewan komisaris dan direksi sebenarnya diangkat dan diberhentikan oleh pemegang saham mayoritas. Sehingga kekuatan dewan komisaris untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara utuh sulit untuk dilaksanakan. Bagaimana dewan komisaris akan mengawasi direksi jika mereka diangkat oleh pihak yang sama? Selain itu, pengangkatan dewan komisaris dan dewan direksi yang terjadi di Indonesia juga masih dipengaruhi oleh faktor budaya (atas dasar kehormatan atau kekeluargaan). Seorang anggota komisaris khususnya pada BUMN terdiri dari pejabat atau mantan pejabat yang kadangkala mengabaikan kredibilitas dan kompetensi pada bidang korporasi dimana mereka diangkat menjadi dewan komisaris. Hal ini akan berpengaruh terhadap kurang baiknya penerapan prinsip-prinsip Corporate Governance. Agar penyelenggaraan corporate governance dapat berjalan dengan baik, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan antara lain Bapepam dengan Surat Edaran No.SE-03/PM/2000 yang mensyaratkan bahwa setiap perusahaan publik di Indonesia wajib membentuk Komite Audit dengan anggota minimal 3 orang yang diketuai oleh satu orang komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen terhadap perusahaan serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Sementara bagi perusahaan BUMN/BUMD, sesuai dengan keputusan Mentri Badan Usaha Milik Negara Nomor: 117/M-MBU/2002 menyatakan bahwa: “Komisaris/Dewan Pengawas harus membentuk komite yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris/Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya, yaitu membantu Komisaris/Dewan Pengawas dalam memastikan efektifitas sistem pengendalian intern, efektifitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan auditor internal”.
69
Jurnal Kajian Akuntansi dan Auditing
Kesimpulan Masalah mendasar dalam penerapan corporate governance di Indonesia bisa dibagi atas dua. Pertama, masalah internal perusahaan (korporasi). Hal ini bisa dilihat dari struktur kepemilikan yang didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu (pemegang saham mayoritas). Pemegang saham mayoritas ini memilih, mengangkat dan memberhentikan dewan komisaris dan dewan direksi. Ini berakibat independensi keduanya menjadi kurang baik. Karena bagaimana mungkin anggota direksi akan memperlakukan dewan komisaris sebagai atasannya jika mereka diangkat oleh pihak yang sama? Selain itu, pemilihan dan pengangkatan dewan komisaris juga dipengaruhi oleh faktor budaya, yaitu atas dasar kekeluargaan dan kehormatan sehingga mengabaikan kriteria kredibilitas dan kompetensi. Untuk itu Bapepam mensyaratkan bahwa setiap perusahaan publik di Indonesia wajib membentuk Komite Audit dengan anggota minimal 3 orang yang diketuai oleh satu orang komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen terhadap perusahaan serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Kedua, masalah yang berkaitan dengan penegakan hukum (tidak adanya aturan yang tegas dan sanksi bagi perusahaan yang tidak menerapkannya) dan tidak adanya undang-undang yang mendukung pelaksanaan corporate governance serta perlunya peran akuntan sebagai reputational agent dalam sub sistem corporate governance.
Daftar Pustaka Akhmad Syakhroza., 2004, Model Komisaris untuk Efektifitas GCG di Indonesia, Usahawan No. 05 Th XXXIII Mei 2004. Barucci, E dan J. Falini. 2004, Determinants of Corporate Governance in Italy, Working Paper. Darmawati, Deni. 2006. Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Faktor Regulasi terhadap Kualitas Implementasi Corporate Governance. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Drobetz, W.; K. Gugler; dan S. Hirschvogl. 2004. the Determinants of German Corporate Governancerating. Working Paper. Gillan, S.L.; J.C. Hartzell; dan L.T. Starks. 2003. Industries, Investment Opportunities, and Corporate Governance Structures. Working Paper. Ituriaga, F J.L dan Sanz, J.A.R, 1998. Ownership Structure, Corporate Value and Firm Investment: A Spanish Firms Simultaneous Equation Analysis, Working Paper Universidad de Valladolid. Jensen, Michael, and William Meckling, 1976. Theory of the Firm: Manageriaal Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure, Journal of Financial Economics. Luciana Spica Almilia dan Lailul L. Sifa, 2006, Reaksi Pasar Publikasi Corporate Governance Perception Index pada Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
70
Yunilma Lukviarman, N., 2004, Ownership Structure and Firm Performance: The Case of Indonesia, DBA Thesis, Curtin University of Technology. Lukviarman, N., 2005, “Perangkap Ketaatan”, Profesi Akuntan dan Fenomena Corporate Governance: Suatu Tinjauan Kritis, Makalah disampaikan dalam Konfrensi Nasional Akuntansi 2005, Universitas Trisakti, Jakarta. Organization for Economic Co-operation and Development/OECD., 1998, Corporate Governance: Improving Competitiveness and Access to Capital in Global Markets, the Business Sector Advisory Group on Corporate Governance, the OECD, Paris. Siddharta Utama dan Cynthia Afriani. 2005. Praktek Corporate Governance dan Penciptaan Nilai Perusahaan: Studi Empiris di BEJ. Tulisan Utama- Majalah Usahawan N0. 08 Th XXXIV Agustus 2005. Sunarto. 2003. “Corporate Governance dan Kinerja Saham”. Fokus Ekonomi. Vol. 2, No. 3. Hal. 240-257. Zaenal Arifin. 2003. “Pengaruh Corporate Governance terhadap Reaksi Harga dan Volume Perdagangan Pada Saat Pengumuman Earnings”. Simposium Nasional Akuntansi VI. 16-17 Oktober 2003, Surabaya. Hal. 614-621.
71
Jurnal Kajian Akuntansi dan Auditing
72