15
BAB II BENTUK KETERLIBATAN BANK DALAM PEMBIAYAAN TERORISME A. Pembiayaan Terorisme di Indonesia 1. Pengertian terorisme Terorisme berasal dari kata teror. Dalam bahasa Latin berarti ketakutan, kengerian, dan kegelisahan. Teror digunakan oleh penguasa yang tidak mempunyai legitimasi untuk membuat suasana ketakutan, mencari dukungan, menarik perhatian dunia internasional atau sebagai kegiatan anarkis yang bertujuan merusak. 27 Sedangkan untuk kata teror yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang dan golongan. Dengan demikian arti terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan. Mengacu pada makna teror secara bahasa, bahwa terorisme adalah suatu tindakan, ucapan, provokasi atau segala yang dilakukan untuk menimbulkan rasa takut pada diri seseorang atau orang banyak, maka segala bentuk hal atau tindakan, yang bukan dalam bentuk pelaksanaan jihad sesuai syariat, bukan dalam wujud melakukan persiapan fisik dan mental, dan bukan pula dalam wujud melaksanakan qishash atau hukum-hukum Allah adalah tergolong dalam bentuk terorisme. 28 Motivasi terorisme memang cenderung ke arah politik. Hal inilah yang menyebabkan PBB nyaris tidak dapat merumuskan batas atau definisi teroris saat diskusi panjang yang dilakukan selama 10 tahun. Menurut Hermawan Sulistyo prakarsa forum yang sangat penting ini mempunyai 2 (dua) arti penting. Pertama, keperluan untuk merinci anatomi terorisme, dan kedua yaitu sebagai keperluan untuk menelusuri implikasinya terhadap Indonesia. 29 Definisi tentang terorisme belum mencapai kesepakatan yang bulat dari semua pihak, karena disamping banyak elemen terkait juga dikarenakan semua pihak berkepentingan melihat atau menerjemahkan permasalahan (term of terrorism) dari sudut pandang kepentingan masing-masing. Mengacu pada UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan menimbulkan korban 27
Abu Umar Basyir, Teroris Melawan Teroris (Mawizin), hlm. 37. Muzakkir Samidan Prang. Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011), hlm 9. 29 Hermawan Sulistyo, Dampak dan Strategi pada Masa Depan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hlm. 3. 28
2
Universitas Sumatera Utara
16
yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang dalam pengertian diatas dapat bersifat perseorangan, berkelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual atau korporasi. 30 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan maklumat perihal terorisme. Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, ancaman terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme merupakan bentuk kejahatan terorganisir, bersifat transnasional dan termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran. 31 Memerangi aksi terorisme tidak hanya dimaknai dengan bagaimana upaya mengkriminalisasikan perbuatan teror yang dilakukan oleh sekelompok teroris akan tetapi juga mengkriminalisasikan segala bentuk pembiayaan terorisme atau pembiayaan kepada kelompok terorisme. Saat ini Indonesia telah mendeklarasikan terorisme tidak hanya sebagai ancaman terhadap keamanan dan keselamatan warga negara, tetapi juga keamanan nasional. 32 Secara umum, strategi penaggulangan terorisme di Indonesia saat ini dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan, yakni pendekatan hard power (keras) dan soft power (lunak) yang mana nantinya akan dikombinasikan menjadi pendekatan yang komprehensif. Salah satu prinsip pokok strategi penanggulangan terorisme Indonesia menurutnya adalah bahwa Pemerintah Indonesia memperlakukan aksi terorisme sebagai tindakan kriminal, sehingga yang digunakan adalah pendekatan hukum.33 Penyelenggaraan penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme diatur oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai UndangUndang. Terdapat dua elemen memerangi terorisme dalam kerangka penegakan hukum, yaitu pendeteksian dan pencegahan sebelum tindak teroris terjadi dan penindakan atau pemrosesan secara hukum setelah tindak teroris terjadi. Pendeteksian dan 30
Moch. Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme (Bandung: Mandar Maju, 2005),
hlm. 3. 31
Ma’ruf Amin, Melawan Terorisme dengan Iman (Tim Penanggulanagn Terorisme, 2007), hlm. 46. 32 http://.bappenas.go.id/get-file-server/node/6159/ (diakses pada tanggal 2 Februari 2016). 33 http://madina.co.id/index.php/polhukam/9373-indonesia - paparkan - strategi – anti – terorisme – ke – eropa.html (diakses pada tanggal 2 Februari 2016).
Universitas Sumatera Utara
17
pencegahan tindak teroris dinyatakan oleh Paul Wilkinson sebagai resep rahasia pertarungan melawan terorisme di negara liberal. 34 Sedangkan di Indonesia, tugas dan wewenang untuk mendeteksi dan mencegah tindak terorisme bertumpu pada komunitas intelijen Indonesia, terlebih unit intelijen yang berada dibawah Detasemen Khusus (Densus 88). 2. Pembiayaan terorisme di Indonesia. Perkembangan teroris di Indonesia pada tahun 1970 mulai diketahui bahwa kelompok teroris membutuhkan dana dalam setiap aksi teror yang mereka lakukan. Hal ini diketahui dengan adanya kelompok teror Warman yang melakukan serangan teror untuk mencari dana sebanyak-banyaknya guna membiayai aksinya. Perkembangan pembiayaan terorisme berlanjut hingga tahun 2000an, dilakukan dengan aksi fai’, yakni perampokan. Pengungkapan aksi pembiayaan teroris terbaru ditemukan pada Maret 2015, dimana Densus 88 berhasil menangkap penyandang dana sekaligus perekrut ISIS dari Indonesia. 35 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (selanjutnya disebut UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme) menyatakan kalau pendanaan terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, meberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Pendanaan jaringan teroris di indonesia juga sebagian merupakan pendanaan hasil dari tindak pidana money laundering. Hal inilah yang menyebabkan peraturan pengawasan terhadap tindak pidana pencucian uang dan pembiayaan terorisme tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Proses pencucian uang untuk mendanai sebuah organisasi tersebut seringkali diterapkan oleh organisasi kejahatan termasuk jaringan terorisme. Tujuan dari pencucian uang tersebut antara lain: 36 a. Menghapus keterkaitan antara kejahatan dengan uang. b. Menghapus keterkaitan antarta pemasok dana dengan penerima dana. 34
Paul Wilkinson, Terrorism and Democracy (London and New York: Routledge, 2002). http://download.portalgaruda.org/article.php?article=327666&val=4718&tittle= peran – rekomendasi – financia l- action – task – force – fatf – dalam – penanganan – pendanaan – terorisme – di – indonesia (diakses tanggal 27 Februari 2016). 36 http://m.kompasiana.com/pfkusuma/money - laundering - dan – pendanaan terorisme55c97c052b7a61670fbfefb1 (diakses pada tanggal 3 Februari 2016). 35
Universitas Sumatera Utara
18
c. Melindungi dana dari kemungkinan adanya penyitaan atau pengambilalihan. Adapun tahap-tahapan pencucian uang sebagai sumber dana terorisme adalah sebagai berikut: 37 a. Tahap pertama, dana diperoleh melalui kegiatan kriminal, baik itu pencurian maupun perampokan. Hasil dari kegiatan tersebut disimpan ke bank. Tahap ini sangat rawan karena tidak menutup kemungkinan bank dapat mendeteksi transaksi mencurigakan. b. Tahap kedua, melakukan beberapa transaksi finansial perbankan terhadap uang yang sudah disimpan di bank. Tujuannya adalah untuk menyesatkan deteksi dari penyidik. Dana tersebut terlihat seakan-akan berasal dari sumber yang sah. c. Tahap ketiga dana sudah dinyatakan sah sumbernya dan bebas dari kecurigaan transaksi, maka dana tersebut dikumpulkan melalui kegiatan ekonomi yang sah seperti misalnya jual-beli barang mewah, investasi dan penanaman saham pada aset seperti perusahaan maupun real estate, maupun investasi di sektor ekonomi lain. Pelaksanaan pengumpulan dana yang dilakukan oleh para teroris sangat terorganisir, baik dalam kelompok kecil maupun besar. Hal tersebut dilakukan teroris dengan melakukan pembagian tugas kepada masing-masing anggotanya serta mempermudah pengumpulan dana. Terdapat dua bentuk pengumpulan dana teroris, yakni legal dan ilegal. Kegiatan legal dilakukan dengan bentuk kegiatan seperti sumbangan anggota jaringan teror dan simpatisan baik yang berada di dalam maupun luar negeri. Kegiatan illegal dilakukan dengan perbuatan tindak pidana seperti perampokan bank dan lembaga keuangan milik pemerintah, toko emas, pengusaha non muslim, kejahatan ITE/cyber serta pencucian uang dengan menyelenggarakan usaha yang nampak legal. Para teroris mulai masuk dalam sektor perbankan dengan menggunakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas asli dan tujuan penggunaan dana dalam rekening. Ada beberapa tipologi dalam pendanaan terorisme yaitu: 38
37
http://m.kompasiana.com/pfkusuma/money -l aundering - dan – pendanaan terorisme_55c97c052b7a61670fbfefb1 (diakses pada tanggal 3 Februari 2016). 38
http://www/djpp.kemenkumham.go.id/files/doc/1108_Sosialisasi%20RUU%20CFT0902111.ppt (diakses pada tanggal 3 Februari 2016).
Universitas Sumatera Utara
19
a. rekening dibuka atas nama pelajar atau tanpa pekerjaan yang jelas yang memiliki pola transaksi diluar profil; b. beberapa rekening atas nama berbeda yang memiliki alamat yang sama; c. rekening dormant 39yang aktif kembali dengan adanya Incoming transfer dengan nilai yang relatif besar yang kemudian ditarik tunai atau transfer dalam beberapa kali transaksi; d. dana yang ditarik segera setelah terdapat setoran (transaksi pass-by), penarikan tunai lewat ATM dengan nilai relatif kecil namun sering, hingga nilai saldo minimal; e. peningkatan aktifitas transaksi setelah terjadinya aksi teror, diduga dana digunakan untuk membantu proses kaburnya pelaku; f. underlying transactions berupa donasi (ke/dari yayasan, organisasi amal, LSM), hasil penjualan buku, investasi usaha, dan biaya hidup anggota keluarga. Cara yang dianggap tepat dalam mengatasi masuknya teroris dalam sistem perbankan ialah dengan melakukan pembekuan terhadap aset dan harta teroris, seperti yang telah tercantum dalam special recommendation FATF.
B. Pengaturan dan Pengawasan Bank di Indonesia 1. Fungsi, dan tujuan perbankan. Bank sangat penting dan berperan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian suatu bangsa karena bank adalah : a. pengumpul dana dari SSU (Surplus Spending Unit) dan penyalur kredit kepada DSU (Defisit Spending Unit); b. tempat menabung yang efektif dan produktif bagi masyarakat; c. pelaksana dan memperlancar lalu lintas pembayaran dengaan aman, praktis, dan ekonomis; d. penjamin penyelesaian perdagangan dengan menerbitkan L/C (Letter of Credit); 39
Rekening dormant adalah jika dalam suatu rekening tidak ada mutasi baik penarikan atau penyetoran selama 6 (enam) bulan berturut-turut.
Universitas Sumatera Utara
20
e. penjamin penyelesaian proyek dengan menerbitkan bank garansi. Mohammad Hatta mengemukakan bahwa bank adalah sendi kemajuan masyarakat dan sekiranya tidak ada bank maka tidak akan ada kemajuan seperti saat ini. Negara yang tidak mempunyai banyak bank yang baik dan benar adalah negara yang terbelakang. Perusahaan saat ini diharuskaan memanfaatkan jasa-jasa perbankan dalam kegiatan usahanya jika ingin maju. 40 Asas perbankan Indonesia dalam melaksanakan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Sedangkan untuk fungsi utama dari perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Tujuan perbankan Indonesia adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan rakyat banyak. Sesuai dengan isi UU Perbankan, pelaksanaan prinsip kehati-hatian perbankan didasarkan pada fungsi utama perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Sebagai lembaga perantara, falsafah yang mendasari kegiatan usaha bank adalah kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, bank juga disebut sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang ciri-ciri utamanya sebagai berikut: 41 a. Dalam menerima simpanan dari Surplus Spending Unit (SSU), bank hanya memberikan pernyataan tertulis yang menjelaskan bahwa bank telah menerima simpanan dalam jumlah dan untuk jangka waktu tertentu. b. Dalam menyalurkan dana kepada Defisit Spending Unit (DSU), bank tidak selalu meminta agunan berupa barang sebagai jaminan atas pemberian kredit yang diberikan kepada DSU yang memiliki reputasi baik. c. Dalam melakukan kegiatannya, bank lebih banyak menggunakan dana masyarakat yang terkumpul dalam banknya dibandingkan dengan modal dari pemilik atau pemegang saham bank. Bank sebagai lembaga kepercayaan dituntut untuk selalu memperhatikan kepentingan masyarakat disamping kepentingan bank itu sendiri dalam mengembangkan usahanya. Bank juga harus bermanfaat bagi pembangunan ekonomi nasional sesuai dengan fungsinya sebagai agent of development dalam rangka mewujudkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas. 2. Pengaturan sistem perbankan menurut Undang-Undang Bank Indonesia. Sejak berlakunya UU OJK pengaturan dan pengawasan mengenai 40
Malayu S.P Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: Bumi Aksara 2006)hlm. 3. http://waromuhammad.blogspot.co.id/2012/02/hukum-perbankan.html?m=1 (diakses pada tanggal 12 Maret 2016). 41
Universitas Sumatera Utara
21
kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential menjadi tugas dan wewenang OJK. 42 Sedangkan lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential 43, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam Pasal 7 UU OJK, merupakan tugas dan wewenang BI. Pada bagian konsideran huruf d UU BI, Bank Sentral diperlukan untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah berupa uang, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi sistem perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lembaga pemberi pinjaman terakhir (the Lender of the Last Resort/LoLR). 44 Dengan demikian bank sentral merupakan suatu bank yang berfungsi sebagai pengatur dan pengawas bagi bank-bank yang ada dalam suatu negara tertentu. 45 Berdasarkan Pasal 24 UU BI diketahui bahwa BI bertugas menetapkan peraturan pemberian dan pencabutan izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Termasuk dalam hal menetapkan peraturan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian dalam Pasal 25 UU BI. Dengan pencantuman ketentuan kewenangan BI untuk mengatur prinsip kehati-hatian dalam pasal ini agar melalui prinsip ini BI dapat melakukan fungsi pengawasannya. 46 Pasal 26 UU BI, BI juga dapat menentukan perizinan yakni memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, dan memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. Dalam hal menghindari risiko-risiko perbankan, ketentuan pemberian izin bank merupakan salah satu cara pengawasan yang harus dilakukan oleh BI agar BI melakukan pertimbangan yang rasional. Pasal 27 UU BI menyebutkan pengawasan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dapat dilakukan oleh BI dalam bentuk pemeriksaan disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan, sedangkan untuk pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk dini dapat dilakukan oleh BI melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank. 42
Penjelasan Pasal 7 UU OJK. Pada penjelasan Pasal 7 Undang-Undang OJK disebutkan bahwa “Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential adalah menjadi tugas dan wewenang OJK. 44 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) hal. 118. 45 Ismail, Manajemen Perbankan Dari Teori Menuju Aplikasi(Jakarta: Kencana 2010),hlm. 13. 46 Muhammad Djumhana, Op. Cit., hlm. 327. 43
Universitas Sumatera Utara
22
Selanjutnya menurut Pasal 28 UU BI, BI berwenang menetapkan kewajiban bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh BI, baik terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafilisi dari bank jika diperlukan. Tujuannya adalah untuk melaksanakan pengawasan BI terhadap bank yang dimaksud. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap bank, BI juga berwenang melakukan pemeriksaan terhadap bank baik itu secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 29 UU BI. Pengawasan yang dilakukan guna memperoleh kebenaran atas informasi kegiatan usaha bank yang disampaikan kepada BI dan untuk mengetahui kepatuhan bank terhadap ketentuan yang berlaku yang meliputi pemeriksaan terhadap buku-buku, berkasberkas, catatan, dokumen, dan data-data elektronik, termasuk salinan-salinannya, dan lain-lain. Pasal 30 UU BI menentukan bahwa BI dapat memberikan kuasa atau menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan pemeriksaan. Pihak yang dimaksud tentunya adalah pihak yang dianggap BI memiliki kemampuan untuk melaksanakan pemeriksaan, misalnya akuntan publik yang dapat dilakukan secara sendiri atau bersama-sama dengan pemeriksaan dari BI. Bahkan BI juga berwenang untuk memerintahkan bank memberhentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu jika menurut penilaian BI terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan berdasarkan Pasal 31 UU BI. Mengenai hal mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank, BI juga berwenang mengatur hal tersebut yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan, atau dapat dilakukan sendiri oleh BI dan atau oleh pihak lain dengan persetujuan BI. Ketentuan Pasal 32 UU BI merupakan satu-satunya pasal yang secara tegas menentukan kewenangan BI untuk mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaaan pengawasan. BI juga berwenang memberikan penilaian terhadap bank sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 33 UU BI. Terutama bagi bank yang dianggap membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional 3. Pelaksanaan pengaturan dan pengawasan bank. Pelaksanakan tugas mengatur dan juga mengawasi bank, menurut ketentuan Pasal 24 UU BI, bahwa BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari suatu bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai
Universitas Sumatera Utara
23
dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam hal demikian, tentu pengaturan dan pengawasan bank juga mengacu pada UU Perbankan. Fungsi pembinaan dan pengawasan bank oleh BI dapat kita lihat dalam UU Perbankan. Penjelasan Pasal 29 memberikan pengertian fungsi pembinaan dan pengawasan bank tersebut sebagai berikut: 47 a. Pembinaan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek-aspek: a) kelembagaan bank; b) kepemilikan bank; c) kepengurusan bank d) kegiatan usaha bank; e) pelaporan bank; serta f) lainnya yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank. b. Pengawasan meliputi pengawasan tidak langsung, yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank. Pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pengawasan tidak langsung dimaksudkan untuk melakukan penilaian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dan perkembangan bank, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, serta penerapan early warning system (deteksi dini) untuk mengetahui tingkat kesulitan yang dihadapi bank secara lebih awal. 48 Pelaksanakan tugas pengaturan bank dalam hal ini BI berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehari-hatian (prudential banking) yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disebut PBI). 49 Prinsip kehati-hatian yag dimuat dalam ketentuanketentuan perbankan bertujuan untuk memberikan ketegasan bagi penyelenggara usaha perbankan agar terwujudnya suatu sistem perbankan yang sehat dan juga efisien. Oleh karena itu, peraturan-peraturan di bidang perbankan tersebut harus 47
Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm. 127. Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan (Bandung: Books Terrace & Library, 2005), hlm. 224. 49 Hermansyah, Op. Cit., hlm. 174. 48
Universitas Sumatera Utara
24
didukung pula dengan sanksi-sanksi yang adil serta harus disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara internasional. 50 Pengawasan bank pada prinsipnya terbagi dua, yaitu pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macroeconomic supervision), dan pengawasan yang mendorong agar bank secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision). 51 Bank Indonesia dalam rangka melakukan pengawasan dapat menjalankan pemeriksaan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan secara insidentil setiap waktu apabila diperlukan untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan. 52 Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (1) UU BI. Hal-hal yang terdapat dalam pemeriksaan adalah pemeriksaan buku-buku, berkas-berkas, warkat, catatan, dokumen dan data elektronik, termasuk salinan-salinannya. Pemeriksaan ini pula apabila diperlukan untuk memperoleh hasil yang menyeluruh, maka dapat dilakukan terhadap perusahaan induknya, anak perusahaannya, pihak terkait, juga terhadap pihak terafiliasi dari bank yang bersangkutan. 53 Melalui pengaturan dan pengawasan bank diharapkan dunia perbankan Indonesia selalu menaati kewajiban-kewajibannya yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan, seperti yang tercantum dalam UU Perbankan, yaitu: 54 a. Memelihara kesehatannya sesuai dengan ketentuan tentang aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas dan aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha bank, serta setiap kegiatannya didasarkan kepada prinsip kehati-hatian (Pasal 29 ayat (2)). b. Menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank, dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah serta kegiatan usaha lainnya (Pasal 29 ayat (3)).
50
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perbankan di Indonesia: Bank Umum (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 135. 51 Zulkarnaen Sitompul, Op.Cit., hlm. 220. 52 Muhammad Djumhana, Op. Cit., hlm. 104. 53 Ibid, hlm. 105. 54 Muhammad Djumhana, Op. Cit., hlm. 279.
Universitas Sumatera Utara
25
c. Menyediakan informasi untuk kepentingan nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank (Pasal 29 ayat (4)). d. Menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan (Pasal 37 B ayat (1)). e. Merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Pasal 40 ayat (1)). f. Memberikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya apabila diperintahkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan kebutuhan tertentu (Pasal 42 A). g. Memberikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut apabila diminta atau atas persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan (Pasal 44 A). Kewajiban lainnya yang masih diatur dalam UU Perbankan, yaitu: 55 a. Menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 30 ayat (1)). b. Memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkasberkas yang ada padanya, serta memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan (Pasal 30 ayat (2) jo. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia). c. Menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya, juga laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 34 ayat (1)). d. Mengaudit neraca dan perhitungan laba rugi oleh Akuntan Publik (Pasal 34 ayat (2)). e. Mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 35). 55
Ibid, hlm. 280.
Universitas Sumatera Utara
26
Pelaksanaan tugas pengaturan, dalam hal ini BI mengeluarkan pokok-pokok ketentuan, antara lain yang berkaitan dengan masalah: 56 a. perizinan bank; b. kelembagaan bank, termasuk kepengurusan dan kepemilikan; c. kegiatan usaha bank pada umumnya; d. kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah; e. merger, konsolidasi, dan akuisisi; f. sistem informasi antar bank; g. tata cara pengawasan bank; h. sistem pelaporan bank kepada Bank Indonesia; i. penyehatan perbankan; j. pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank; k. lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan. Di bidang perizinan, cakupan wewenang BI meliputi: 57 a. memberikan dan mencabut izin usaha bank; b. memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank; c. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; d. memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. C. Bentuk Keterlibatan Bank dalam Pembiayaan Terorisme Aktivitas yang bernuansa terorisme mengalami peningkatan di berbagai tingkatan. Modus operandinya dan senjata yang dipakai semakin canggih dan memiliki daya perusak misalnya dengan korban manusia secara massal. Selain kerugian material, aksi terorisme itu berdampak luas dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Lembaga keuangan khususnya perbankan, sangat 56
Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit., hlm. 136. Suwidi Tono, dkk, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral (Jakarta: PT Mardi Mulyo 2000) hlm. 125. 57
Universitas Sumatera Utara
27
rentan terhadap kemungkinan digunakan sebagai media pembiayaan terorisme dan bahkan pencucian uang. Kedua tindak pidana ini sangat relevan dan tidak dapat dipisahkan pengawasannya. Hal tersebut karena keduanya merupakan suatu tidank pidana yang memanfaatkan jasa keuangan. Perbankan yang rentan digunakan sebagai media untuk melakukan tindak kejahatan pembiayaan terorisme dikarenakan dalam perbankan tersedia banyak pilihan transaksi bagi pelaku yang hendak melancarkan kegiatan tindak kejahatannya seperti halnya pembiayaan terorisme. Perbankan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau merupakan pembiayaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pelaku kejahatan. Untuk pelaku pembiayaan terorisme, harta kekayaan yang disimpan tersebut dapat digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme. Namun terkadang, hasil dari kegiatan pencucian uang juga dapat dijadikan sumber dana untuk menjalankan tindak kejahatan terorisme .Dana untuk aksi terorisme yang bersumber dari hasil pelaku pencucian uang, dimana harta kekayaan yang telah disimpan di bank tersebut dapat ditarik kembali sebagai harta kekayaan yang seolah-olah sah dan tidak lagi dapat dilacak asal usulnya. Memerangi aksi terorisme tidak hanya harus dimaknai bahwa bagaimana upaya mengkriminalisasikan perbuatan teror yang dilakukan oleh kelompok teroris akan tetapi juga mengkriminalisasikan segala bentuk pembiayaan terorisme atau pembiayaan kepada kelompok terorisme. Berdasarkan pertemuan FATF pada tanggal 19-20 September 2001 yang berlangsung di Wellington Selandia Baru ada dua metode yang dilakukan dalam pembiayaan bagi kegiatan teroris yaitu: 58 a. Metode pertama adalah melibatkan perolehan dukungan keuangan dari negara dan selanjutnya menyalurkan dana tersebut kepada organisasi teroris, b. Metode kedua adalah memperoleh secara langsung dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang. Dua metode diatas merupakan metode yang sering dilakukan dalam mendukung aksi terorisme dari segi pembiayaan. Jaringan terorisme di seluruh dunia bergantung pada sistem kerahasiaan bank dan korporasi internasional untuk menyembunyikan dan mengalihkan uang mereka. Struktur ini lebih dimungkinkan karena adanya kesepakatan diantara bank-bank di dunia dan karena kekuatankekuatan uang dunia. Banyak orang yang memperoleh uang dari hal tersebut, termasuk diantaranya adalah para pemilik dan para manajer bank-bank yang 58
http://muhammadarfanchan.blogspot.co.id/2011/01/pencucian pembiayaan - terorisme.html?m=1 (diakses pada tanggal 22 Februari 2016).
uang
-
dan
–
Universitas Sumatera Utara
28
menyembunyikan simpanan nasabah mereka dari otoritas perpajakan. Tetapi konsekuensi tidak diinginkan yang timbul adalah bahwa hal tersebut memungkinkan untuk membantu jaringan terorisme dunia. Suatu sistem keuangan dunia mengenal adanya sistem yang disebut dengan clearinghouse atau lebih dikenal dengan istilah clearstream. Sistem ini melakukan kegiatannya mentransfer dana untuk bank-bank internasional dan perusahaanperusahaan besar. Para nasabahnya terdiri atas banker, para manajer investasi perusahaan-perusahaan lepas pantai, para pengelak pajak, para pejabat yang kegiatannya memberikan jasa-jasa rahasia (secret service) para CEO dari perusahaan-perusahaan multinasional atau para teroris. Dengan demikian, clearstream digunakan pula untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pembiayaan kepada teroris. Selain itu juga sistem ini memungkinkan bagi nasabahnya untuk membuka rekening non-published account (rekening-rekening yang tidak dipublikasikan) yang tidak muncul di setiap dokumen (printed document). Apabila para penegak hukum meminta untuk melihat catatan-catatan tersebut, rekening-rekening tersebut tidak akan dijumpai pada saat transaksi keuangan. Selain itu juga tidak seperti halnya sebuah bank, clearstream tidak memiliki pengawas eksternal yang efektif. Perusahaan-perusahaan multinasional dan bank-bank internasional ternama jika memanfaatkan sistem pembukaan rekening rahasia dan tidak terpublikasikan sebagaimana yang terdapat pada sistem clearstream, maka lebih-lebih bukan saja para pencuci uang yang tidak ada hubungannya dengan terorisme, tetapi juga organisasi yang terlibat dengan terorisme akan menggunakan sistem ini untuk membiayai aktivitasnya, maka dari itulah harus ada upaya internasional dalam menekan tidak adanya lagi sistem yang dapat membuka rekening yang tidak dipublikasikan. Ini merupakan wujud dari upaya pencegahan terorisme dari segi pembiayaannya
Universitas Sumatera Utara