PERLAKUAN AGUNAN DALAM PEMBIAYAAN MACET PADA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH Upia Rosmalinda STAIN Jurai Siwo Metro Email :
[email protected]
Abstract The banking system is still very vulnerable to problems ranging from financing standstill, to take over the collateral issue this was due to the treatment of collateral, especially in the assessment of the collateral is less effective tends to be applied,in addition to the weakness of the rule of BI. Therefore, the additional rules necessary in this treatment through reschedulling and reconditioning as well as the collateral assessment back against. Keywords: Nonperforming Reconditioning
loans,
Reschedulling,
dan
Abstrak Kondisi perbankan saat ini masih sangat rentan permasalahan mulai dari pembiayaan macet, hingga permasalahan ambil alih agunan hal ini disebabkan karena perlakuan agunan terutama dalam penilaian agunan tersebut cendrung kurang efektif diterapkan, di samping lemahnya aturan dari BI. Oleh karena itu, diperlukan aturan tambahan dalam perlakuan ini melalui reschedulling dan reconditioning serta penilaian kembali
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
31
terhadap agunan tersebut. Kata kunci: kredit bermasalah, penjadwalan kembali, Dan Rekondisi
Pendahuluan Dalam suatu negara, perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang memiliki peranan yang cukup penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Keberadaan bank sebagai lembaga intermediary dalam bidang perekonomian membawa berbagai dampak dalam kelancaran pelaksanaan pembangunan dari masa ke masa, baik secara nasional maupun internasional. Seiring dengan meningkatnya tingkat kebutuhan masyarakat, khususnya di bidang perekonomian mendorong peranan perbankan semakin dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, terutama dalam menyalurkan fasilitas pembiayaan bagi masyarakat. Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh resiko, disamping menjanjikan keuntungan yang besar jika dikelola secara baik dan prudent. Dikatakan sebagai bisnis penuh resiko (full risk business) karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, maupun deposito. Sehingga, dapat menunjang pergerakan sektor riil melalui pembiayaan. Dalam melaksanakan pembiayaan, bank perlu mengelola resiko pembiayaan pada tingkat yang memadai agar dapat meminimalkan potensi kerugian atau macet dari penyediaan dana. Untuk mengelola resiko ini, bank syariah dapat melakukan dua pilihan yaitu sebelum realisasi pembayaran dengan pengikatan agunan, dan setelah realisasi pembiayaan dengan terlibat secara langsung terhadap pembinaan dan mengawasi aktivitas bisnis nasabah.1 Akan tetapi, bank jarang melakukan pembinaan dan pengawasan tersebut karena memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonesia, Yogyakarta, 2004, hal. 201. 1
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
32 Upia Rosmalinda
Apabila meninjau dari pengikatan agunan untuk nasabah macet atau angunan yang diambil alih (AYDA), bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value (nilai bersih setelah dikurangi biaya pelepasan) dari AYDA yang dilakukan saat pengambilalihan agunan dan pada masa-masa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan agunan. Penetapan net realizable value wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) atau lebih. Sementara untuk AYDA dengan nilai dibawah Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) dapat menggunakan penilai intern bank. Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat perbedaan nilai dari penilai independen atau penilai intern bank.2 Penilaian kembali di atas sangat diperlukan, karena resiko yang sangat tinggi dalam melakukan pemberian pembiayaan sebagai usaha utama perbankan. Selain itu, kegagalan di bidang pembiayaan dapat berakibat pada terpengaruhinya kesehatan dan kelangsungan usaha perbankan, karena munculnya pembiayaan macet. Jumlah Rasio pembiayaan macet Bank Umum Syariah di Indonesia masih tercatat cukup tinggi dan mengalami peningkatan. Berdasar statistik Bank Indonesia 2011 BUS memiliki total pembiayaan macet 1.216, 2012 total 1.753, 2013 total 2.554. Walaupun kasus pembiayaan macet bukan barang baru di lembaga keuangan, namun apabila tidak ditangani secara professional terutama pada nasabah wanprestasi (tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan dalam aqad, serta diambil alihnya jaminan nasabah tersebut untuk menutupi kerugian yang ditanggung pihak bank), penilaian kembali agunan tersebut akan membawa dampak yang merugikan bagi nasabah. Oleh karena itu, diperlukan penilaian kembali terhadap AYDA.3 Penilaian kembali dan perlakuan agunan dalam seluruh kegiatan perbankan merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat dan syar’i, yang pada gilirannya akan 2 3
Peraturan BI No.14/15/PBI/2012 diakses tanggal (16-04-2015). www.bi.go.id, di akses tanggal (15-04-2015).
ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
33
berdampak positif terhadap perekonomian secara makro maupun mikro atau mungkin negatif apabila perlakuan agunan tersebut disalahgunakan. Terutama perlakuan agunan yang ada pada kebanyakan perbankan syariah yang sebagian besar belum sepenuhnya syariah dalam penerapannya, jika kita melihat kembali paradigma produk yang ditawarkan oleh bank syariah berupa musyarakah, pada prinsipnya tidak boleh ada agunan antara satu mitra dengan mitra lainnya karena prinsip musyarakah adalah alghunmu bi al ghurmi, yaitu hak untuk mendapatkan keuntungan berhubungan dengan resiko yang diterima.4 Hal tersebut juga senada dengan perkataan Ali bin Abi Thalib ra: “ keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka. Namun demikian, seorang mitra dapat meminta mitra lain untuk menyediakan agunan dan baru dapat dicairkan jika mitra tersebut melakukan kelalaian atau kesalahan yang disengaja.5 Konsep awal dari pembagian keuntungan dan kerugian tersebut jika dikaitkan dengan pengaturan mengenai AYDA yang ditetapkan oleh Bank Indonesia menjadi tidak konsisten. Hal tersebut disebabkan tidak adanya satu peraturan yang menyatakan bahwa hasil dari penjualan atau pencairan agunan yang diambil alih akan dibagi secara proporsional juga antara para mitra. Seluruh peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merujuk bahwa nasabah yang akan menjadi penanggung apabila usahanya mengalami resiko kegagalan, walaupun dalam peraturan selalu disebutkan karena kelalaian atau kesalahan yang disengaja dilakukan oleh nasabah. Namun menurut saya, hal tersebut jelas sekali bertentangan dengan prinsip kemitraan yang telah disebutkan diatas, yaitu membagi keuntungan dan juga resiko. Bahkan dalam PSAK 105 paragraf 11 yang mengatur tentang prinsip pembagian usaha, dinyatakan bahwa istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan, karena yang dibagi adalah keuntungannya saja, sedangkan ruginya hanya ditanggung sendiri oleh pihak pemilik dana. Karena itu kemudian istilah yang dipakai 4 Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, (Jakarta:Salemba Empat, 2005), h. 140 5 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta:UPP AMP YKPN, 2005), h. 257
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
34 Upia Rosmalinda
adalah bagi hasil, seperti yang tercantum dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998.6 Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah rekonstruksi terhadap konsep yang telah ada saat ini pada penilaian agunan, yang mengembalikan kepada konsep kemitraan, dimana pembagian selain terhadap keuntungan juga terhadap kerugian. Adapun pembagian kerugian, termasuk di dalamnya adalah jika terpaksa harus terjadi agunan yang diambil alih. Maka, nilai agunan yang diambil bukan merupakan nilai terendah yang ada antara penilai intern bank dan penilai independen, namun diambil rata-rata dari kedua penilaian tersebut, setelah itu dibagi secara proporsional sesuai dengan modal yang dimitrakan. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kedhaliman yang mungkin terjadi dalam menilai aset yang diagunkan. Inilah yang menarik untuk diteliti, guna mengetahui efektivitas perlakuan jaminan dalam pembiayaan macet untuk menghindari kedhaliman terhadap nasabah.
Pembahasan A. Konsep Definisi Agunan merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal pemberian fasilitas pembiayaan. Hal ini sesuai dengan pengertian agunan yang termuat dalam Undang-Undang Perbankan, yaitu agunan adalah jaminan tambahan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dengan kedudukannya sebagai jaminan tambahan maka bentuk agunan dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan pembiayaan yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikanya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan Diatur dalam Pasal 12A Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 6
ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
35
tambahan. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, jaminan merupakan suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam sutu perjanjian. Sedangkan menurut Hartono Hadisaputro menyatakan bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perjanjian. Sehingga, agunan merupakan tanggungan yang diberikan nasabah kepada pihak bank untuk menjaminkan kewajibannya dalam suatu perjanjian pembiayaan.7 Adanya kemudahan dalam hal agunan pembiayaan ini merupakan realisasi dari perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Meskipun adanya kemudahan demikian, agunan tersebut harus tetap ideal karena agunan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, yaitu dengan memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang yang diagunkan tersebut apabila debitur wanprestasi. Pada praktiknya, agunan menjadi lebih dominan atau diutamakan sehingga sebenarnya agunan lebih dipentingkan dari pada hanya sekedar jaminan yang berupa keyakinan atas kemampuan debitur untuk melunasi hutangnya. Hal demikian sangatlah beradasar karena jaminan merupakan hal yang abstrak, di mana penilaiannya sangat subjektif. Hal ini berbeda dengan agunan yang merupakan sesuatu yang jelas sehingga dengan objektif dan secara ekonomi pula apabila terjadi suatu wanprestasi dari debitur atau adanya pembiayaan yang bermasalah maka bank dengan segera dapat mengkonversikannya kepada sejumlah uang yang lebih likuid. Dalam praktik perbankan, jaminan kebendaanlah yang lebih banyak digunakan dibandingkan dengan jaminan perorangan.89 Konteks pembiayaan, istilah jaminan sangatlah sering 7 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 236. 8 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Edisi II, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), h. 5-6
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
36 Upia Rosmalinda
bertukar dengan istilah agunan. Sebagaimana ditegaskan dalam pemberian pembiayaan menurut pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang jaminan pemberian pembiayaan, yang dimaksud jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka yang dimaksudkan dengan agunan yang ideal adalah agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemerintahan yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat di jual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Lalu, Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan Berdasarkan pada pengertian jaminan diatas, kegunaan jaminan kredit adalah untuk: 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam pejanjian; 2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil; 3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. Maka agunan dalam pembiayaan memiliki pengertian ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
37
dan fungsi untuk menjamin pembayaran pembiayaan guna mengamankan dana pihak ketiga yang dikelola oleh bank yang bersangkutan dan untuk memenuhi ketentuan pembiayaan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
B. Syarat dan Manfaat Jaminan Pada prinsipnya tidak semua benda agunan dapat diagunkan pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dapat diagunkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat benda agunan yang baik adalah:910 1. Dapat secara mudah membantu perolehan pembiayaan oleh pihak yang memerlukannya 2. Memberikan kedudukan mendahulukan kepada pemeganngnya 3. Mengikuti objek yang dijaminkan 4. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas 5. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari pembiayaan untuk melakukan atau meneruskan usahanya 6. Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang agunan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) pembiayaan, Agunan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan lembaga jaminan dapat memberikan manfaat bagi kreditur/bank dan debitur. Manfaat bagi perbankan adalah: 1. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup 2. Memberikan kepastian hukum bagi pihak perbankan untuk menerima pengembalian pokok pembiayaan dan bagi hasil dari debitur 3. Sedangkan manfaat benda agunan bagi nasabah adalah: 4. Dapat memperoleh fasilitas pembiayaan dari bank dan 9
Ibid, h. 10-15 Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
38 Upia Rosmalinda
tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya (adanya kepastian dalam berusaha) 5. Memberikan kepastian bagi debitur untuk mengembalikan pokok pembiayaan dan bagi hasil yang ditentukan.
C. Bentuk Agunan Agunan dapat dibedakan atas agunan umum dan agunan khusus. Petunjuk yang dapat dipakai dalam menentukan rumusan agunan adalah pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata mencerminkan suatu jaminan umum, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata disamping sebagai kelanjutan dan penyempurnaan Pasal 1131 yang menegaskan persamaan dan kedudukan para kreditur juga mengatur kemungkinan diadakannya suatu agunan khusus apabila diantara para krdeitur terdapat alas an-alasan yang sah untuk didahulukan, yang dapat terjadi karena ketentuan undang-undang maupun karena sesuai perjanjian.1011 1. Agunan Umum Agunan umum timbul dari Undang-undang tanpa adanya perjanjian yang diadakan oleh para pihak terlebih dahulu yang berlaku umum bagi semua kreditur, disini para kreditur mempunyai kedudukan yang sama, kecuali apabila diantara para kreditur tersebut terdapat alas an-alasan yang sah untuk didahulukan. Kitab undang-undang hokum perdata (KUH Perdata) pada pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Maka seluruh harta milik debitur akan menjadi agunan pelunasan pelunasan atas hutang debitur kepada semua kreditur. Dengan demikian, tanpa kecuali seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi agunan umum atas pelunasan 10 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 8, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1976), Pasal. 1131.
ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
39
perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak diperjanjikan sebelumnya. Dalam pasal 1132 Kitab Undangundang hokum perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi agunan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alas an-alasan yang sah untuk didahulukan. Maka, agunan adalah agunan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur. Hal ini berarti benda agunan tidak diperuntukkan bagi kreditur tertentu dan dari hasil penjualannya dibagi diantara para kreditur seimbang dengan piutangnya masing-masing, namun agunan umum sering dirasakan tidak aman karena agunan secara umum berlaku bagi semua kreditur sehingga apabilakrediturnya banyak mungkin saja harta kekayaannya debitur habis dan tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya. Oleh karena itu, kreditur baru merasa aman jika ada benda-benda tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan piutangnya. Dalam hal ini akan tampak betapa pentingnya kreditur preferentyaitu kreditur yang harus didahulukan dalam pembayarannya diantara kreditur-kreditur lainnya jika debitur melakukan wanprestasi. 2. Agunan Khusus Agunan khusus dapat dibedakan atas agunan perorangan dan agunan kebendaan:1112 a. Agunan perorangan Agunan perorangan adalah agunan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Menurut Subekti, agunan perorangan adalah M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 143 11
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
40 Upia Rosmalinda
suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur. Dengan demikian agunan perorangan merupakan agunan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau pihak ketiga, artinya tidak memerikan hak untuk didahulukan pada benda-benda tertentu karena harta kekayaan pihak ketiga tersebut hanyalah merupakan agunan bagi terselenggaranya suatu perikatan.Ciri-ciri agunan perorangan adalah: a. Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu c. Seluruh harta kekayaan debitur menjadi agunan pelunasan hutang d. Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau keseimbangan e. Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari benda-benda agunan dibagi diantara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing-masing. b. Agunan kebendaan Merupakan agunan yang menberikan hak kepada kreditur untuk memanfaatkan suatu kebendaan milik debitur melakkan wanprestasi. Benda milikdebitur yang dijaminkan dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Ciri-ciri agunan kebendaan antara lain:1213 a. Merupakan hak mutlak atas suatu benda b. Kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda tertentu milik debitur c. Dapat dipertahankan terhadap tutunan oleh siapapun d. Selalu mengikuti bendanya di tangan siapa pun benda ituberada 12
145
Ibid, M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan, h. 144-
ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
41
e. Mengandung asas prioritas f. Dapat diperalihkan g. Bersifat perjanjian tambahan.
D. Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Perbankan Syariah Agunan yang diambil alih atau AYDA adalah kekayaan yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.1314 Kekayaan yang diambil alih ini wajib dicairkan secepatnya atau dalam jangka waktu satu tahun. Pembicaraan mengenai AYDA muncul ke permukaan bersamaan dengan kasus Bank Lippo pada tahun 2002 yang melaporkan nilai AYDA yang berbeda antara laporan yang dipublikasikan dan yang dilaporkan kepada manajemen bursa sehingga mempengaruhi performance keuangan secara signifikan.1415 Perbedaan pandangan dalam melihat posisi kekayaan sebagai kekayaan jaminan, kekayaan sitaan yang dibukukan sebagai kekayaan yang diambil alih, atau kekayaan itu untuk dijual atau dilelang sangat mempengaruhi penilaian terhadap nilai agunan yang diambil alih (AYDA). Sebagai bentuk antisipasi terhadap fenomena tersebut, maka Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi telah menetapkan beberapa ketentuan berkaitan dengan penentuan nilai AYDA dalam laporan keuangan beserta metode penilaian dan pihak yang berwenang menilai. Adapun definisi penilaian adalah pernyataan tertulis dari Penilai Independen atau penilai intern bank mengenai taksiran dan pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berupa aktiva tetap berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta objektif dan relevan menurut metode dan prinsip prinsip yang berlaku umum yang Peraturan BI No.99/PBI/2007 tgl 18 Juni 2008 http://article-penilaian.blogspot.com/2009/02/penilaian-aset-yangdiambil-alih-ayda.html 13 14
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
42 Upia Rosmalinda
ditetapkan oleh Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI); Bank Indonesia menetapkan bahwa yang bisa menjadi penilai dari AYDA adalah penilai Independen dari perusahaan penilai dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Tidak ada keterkaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan dan keuangan baik dengan Bank maupun nasabah yang menerima fasilitas; 2. Melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; 3. Menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; 4. Memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai 5. Tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. Dengan menetapkan syarat tersebut, fenomena yang terjadi pada tahun 2002 yang melibatkan Bank Lippo sebagai salah satu pihaknya dapat dihindarkan, bukan hanya terbatas untuk melindungi kepentingan nasabah, namun untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Bank wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value (estimasi harga jual dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya untuk penjualan) dari AYDA yang dilakukan saat pengambilalihan agunan dan pada masa-masa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan agunan. Penetapan net realizable value wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) atau lebih. Sementara untuk AYDA dengan nilai dibawah Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) dapat menggunakan penilai intern bank. Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat perbedaan nilai dari penilai independen atau penilai intern bank. Akan tetapi, penilaian kembali tersebut hanya menguntungkan bagi pihak perbankan saja, jika kita melihat kembali paradigma produk yang ditawarkan oleh bank syariah berupa musyarakah, pada prinsipnya tidak boleh ada penjaminan ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
43
modal antara satu mitra dengan mitra lainnya karena prinsip musyarakah adalah al-ghunmu bi al ghurmi, yaitu hak untuk mendapatkan keuntungan berhubungan dengan resiko yang diterima. Serta, kerugian seharusnya dibagi bersama sesuai porsi keuntungan diawal.1516
E. Kritik terhadap Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet Dalam hal ini, ada tiga hal yang bisa dikritisi dari perlakuan agunan dalam pembiayaan macet. Biasanya, saat nasabah mengalami pembiayaan macet penyelesaiannya tidak hanya cukup pada bank melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value (estimasi harga jual dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya untuk penjualan) dari AYDA yang dilakukan saat pengambilalihan agunan dan pada masa-masa berikutnya setelah dilakukan pengambilalihan agunan. Penetapan net realizable value wajib dilakukan oleh Penilai Independen, untuk AYDA dengan nilai Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) atau lebih. Kemudian untuk AYDA dengan nilai dibawah Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) bank dapat menggunakan penilai intern bank. Bank wajib menggunakan nilai yang terendah apabila terdapat perbedaan nilai dari penilai independen atau penilai intern bank. Di mana praktiknya hanya berkutat pada saat nasabah macet, maka solusinya agunan dieksekusi atau diambil alih oleh pihak perbankan, lalu dinilai kembali oleh pihak penilai Independen dan penilai intern bank. Maka, ada beberapa hal yang cukup mendasar dalam perlakuan agunan dalam pembiayaan macet. Pertama, saat nasabah mengalami pembiayaan macet seharusnya tidak langsung pada tahap eksekusi/pengambilalihan jaminan, melainkan harus menerapkan reschedulling (upaya penyelamatan pembiayaan dengan melakukan perubahan syaratsyarat perjanjian pembiayaan yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali pembiayaan atau jangka waktu, seperti Ibid, http://article-penilaian.blogspot.com/2009/02/penilaian-asetyang-diambil-alih-ayda.html 15
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
44 Upia Rosmalinda
perpanjangan jangka waktu pelunasan pembiayaan, perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan pembiayaan sesuai dengan cash flow-nya), reconditioning (upaya penyelamatan pembiayaan dengan cara melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat perjanjian pembiayaan, ini dilakukan dengan melakukan perubahan tata cara perhitungan bagi hasil, pemberian keringanan denda, dan sebagainya, yang dimaksudkan untuk membantu debitur di dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah), dan pembiayaan ulang dalam skema Qardhul Hasan, dengan tetap membiarkan jaminan dalam kondisi semula.1617 Kedua, perlakuan agunan dalam pembiayaan macet belum sempurna apabila diterapkan diperbankan syariah, karena dalam prakteknya tidak berbarengan dengan prinsip-prinsip berusaha (yang beretika Islam) terutama prinsip keseimbangan/keadilan antara kedua belah pihak sesuai dengan porsinya masing-masing dalam pembagian nisbah bagi hasil maupun saat mengalami kerugian dan Prinsip memenuhi akad transaksi, melalui akad ini secara tidak langsung akan terpenuhi hak dan kewajiban antara kedua belah pihak baik bank maupun nasabah berdasarkan aqad di awal.1718 Ketiga, perlakuan agunan dalam pembiayaan macet masih terkesan setengah syariah dalam membantu nasabah saat mengalami kerugian/macet. Sebab, apa yang dimaksud dengan perlakuan agunan dalam pembiayaan macet, hanya sebatas menilai kembali agunan tersebut saat akan dijual dalam pelelangan maupun diluar pelelangan melalui penilai independen dan penilai intern bank.
F. Langkah yang Bisa Dilakukan Sebegitu pentingnya penanganan nasabah yang mengalami pembiayaan macet terutama dalam perlakuan agunannya dalam praktik perbankan syari’ah, maka harus ada berbagai upaya strategis guna menghindari kezhaliman dalam operasionalnya 16 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, 2005, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2008), h.. 315 17 Ali Hasan, Manajemen Bisnis Syari’ah,( Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), h. 32
ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
45
perlakuan jaminan pada pembiayaan macet. Ada beberapa hal yang menyebabkan permasalahan dalam perlakuan jaminan, diantaranya pertama langsung diambilnya/eksekusi jaminan saat nasabah mengalami pembiayaan macet, kedua perlakuan agunan dalam pembiayaan macet belum sempurna apabila diterapkan diperbankan syariah, karena dalam prakteknya tidak berbarengan dengan prinsip-prinsip berusaha (yang beretika Islam) terutama prinsip keseimbangan/keadilan antara kedua belah pihak sesuai dengan porsinya masing-masing dalam pembagian nisbah bagi hasil maupun saat mengalami kerugian, ketiga perlakuan agunan dalam pembiayaan macet masih terkesan setengah syariah dalam membantu nasabah saat mengalami kerugian/macet. Sebab, apa yang dimaksud dengan perlakuan agunan dalam pembiayaan macet, hanya sebatas menilai kembali agunan tersebut. Untuk itu, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan: Pertama, saat nasabah mengalami pembiayaan macet seharusnya tidak langsung pada tahap eksekusi/pengambilalihan jaminan, melainkan harus menerapkan reschedulling (upaya penyelamatan pembiayaan dengan melakukan perubahan syaratsyarat perjanjian pembiayaan yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali pembiayaan atau jangka waktu, seperti perpanjangan jangka waktu pelunasan pembiayaan, perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan pembiayaan sesuai dengan cash flow-nya), reconditioning (upaya penyelamatan pembiayaan dengan cara melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat perjanjian pembiayaan, ini dilakukan dengan melakukan perubahan tata cara perhitungan bagi hasil, pemberian keringanan denda, dan sebagainya, yang dimaksudkan untuk membantu debitur di dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah), dan pembiayaan ulang dalam skema Qardhul Hasan, dengan tetap membiarkan jaminan dalam kondisi semula. Kedua, perlakuan agunan dalam pembiayaan macet belum sempurna apabila diterapkan diperbankan syariah, karena dalam prakteknya tidak berbarengan dengan prinsipprinsip berusaha (yang beretika Islam) terutama prinsip keseimbangan/keadilan antara kedua belah pihak sesuai dengan porsinya masing-masing dalam pembagian nisbah Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
46 Upia Rosmalinda
bagi hasil maupun saat mengalami kerugian. Namun, seluruh peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia merujuk bahwa mitra aktiflah yang akan menjadi penanggung apabila usahanya mengalami resiko kegagalan – walaupun dalam peraturan selalu disebutkan karena kelalaian atau kesalahan yang disengaja dilakukan oleh mitra aktif. Namun, menurut penulis, hal tersebut jelas sekali bertentangan dengan prinsip kemitraan yaitu membagi keuntungan dan juga resiko. Bahkan dalam PSAK 105 paragraf 11 yang mengatur tentang prinsip pembagian usaha atau bagi hasil, dinyatakan bahwa istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan, karena yang dibagi adalah keuntungannya saja, sedangkan ruginya hanya ditanggung sendiri oleh pihak pemilik dana. Karena itu kemudian istilah yang dipakai adalah bagi hasil, seperti yang tercantum dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998. Berdasarkan penulusuran berbagai peraturan yang mendukung tersebut, perlu dilakukan sebuah rekonstruksi terhadap konsep yang telah ada saat ini, yang mengembalikan kepada konsep kemitraan/keseimbangan atau keadilan, dimana pembagian selain terhadap keuntungan juga terhadap kerugian. Ketiga, perlakuan agunan dalam pembiayaan macet jika terpaksa diambilalih agunannya, maka nilai yang diambil bukan merupakan nilai terendah yang ada antara penilai intern bank dan penilai independen, namun diambil rata-rata dari kedua penilaian tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kedhaliman yang mungkin terjadi dalam menilai aset yang diagunkan. Perlunya dilakukan loss sharing dalam proses pembebanan terhadap agunan yang telah diambil alih. Jika konsep semula adalah semuanya dibebankan kepada mitra aktif atau pemilik dana, maka perlu dilakukan perubahan menjadi dibagi secara proporsional sesuai dengan modal yang dimitrakan. Hal ini juga berlaku terhadap pembagian biaya pelepasan yang akan mengurangi net realized value dari agunan itu sendiri. Biaya pelepasan bisa dibebankan kepada kedua pihak sama rata, dengan alasan biaya pelepasan merupakan biaya administratif, bukan merupakan nilai wajar jaminan, sehingga ADZKIYA MARET 2015
Perlakuan Agunan dalam Pembiayaan Macet pada Bank
47
kedua belah pihak harus menerima resikonya sama besar. Atau bisa juga diterapkan proporsional terhadap modal yang dimitrakan. Penulis belum menemukan sebuah literatur yang mengilustrasikan rekonstruksi konsep ini. Namun setidaknya, rekonstruksi konsep ini didasarkan pada konsep pembagian keuntungan yang telah banyak sekali dibahas dalam literature mengenai manajemen bank syariah.
Penutup Kondisi perbankan saat ini masih sangat rentan permasalahan mulai dari pembiayaan macet, hingga permasalahan ambil alih agunan hal ini disebabkan karena perlakuan agunan terutama dalam penilaian agunan tersebut cendrung kurang efektif diterapkan, di samping lemahnya aturan dari BI. Oleh karena itu, diperlukan aturan tambahan dalam perlakuan ini melalui reschedulling (upaya penyelamatan pembiayaan dengan melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian pembiayaan yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali pembiayaan atau jangka waktu, seperti perpanjangan jangka waktu pelunasan pembiayaan, perpanjangan jangka waktu pelunasan tunggakan pembiayaan sesuai dengan cash flow-nya), reconditioning (upaya penyelamatan pembiayaan dengan cara melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat perjanjian pembiayaan, ini dilakukan dengan melakukan perubahan tata cara perhitungan bagi hasil, pemberian keringanan denda, dan sebagainya, yang dimaksudkan untuk membantu debitur di dalam menyelesaikan pembiayaan bermasalah), kemudian prinsip-prinsip berusaha (yang beretika Islam) terutama prinsip keseimbangan/ keadilan antara kedua belah pihak sesuai dengan porsinya masing-masing dalam pembagian nisbah bagi hasil maupun saat mengalami kerugian, serta adanya biaya pelepasan yang seharusnya dibebankan kepada kedua pihak sama rata, dengan alasan biaya pelepasan merupakan biaya administratif, bukan merupakan nilai wajar jaminan, sehingga kedua belah pihak harus menerima resikonya sama besar. Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol. 03 Nomor 1
48 Upia Rosmalinda
Daftar Pustaka Hasan, Ali, Manajemen Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 8, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1976), Pasal. 1131. Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonesia, Yogyakarta, 2004. Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta:UPP AMP YKPN, 2005 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Peraturan BI No.99/PBI/2007 tgl 18 Juni 2008 Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2003 Wasilah, Sri Nurhayati, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, Jakarta:Salemba Empat, 2005 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Edisi II, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan http://article-penilaian.blogspot.com/2009/02/penilaian-asetyang-diambil-alih-ayda.html www.bi.go.id, di akses tanggal (15-04-2015) Peraturan BI No.14/15/PBI/2012 diakses tanggal (16-04-2015).
ADZKIYA MARET 2015