surplus produksi, dan pembentukan modal serta dapat diproyeksikan untuk melihat pengaruhnya terhadap proses diferensiasi dan stratifikasi serta kelembagaan di pedesaan. Demikian pula penelitian ini diharapkan dapat dipakai oleh para pengambil kebijaksanaan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan program peningkatan produksi dan pendapatan, pemerataan pendapatan dan perkreditan. Disamping itu, dari segi ilmu, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pemahaman sosiologis tentang proses pembentukan modal didataran rendah dan pegunungan pedesaan Jawa.
BAB I1 LANDASAN TEORITIS
Uraian dalam bab dua berikut ini akan memaparkan tentang pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini, serta menguraikan sejumlah pemikiran teoritis dan temuan empiris yang relevan, yang akan dipakai sebagai landasan dalam membangun kerangka pemikiran tentang surplus produksi dan pembentukan modal di pedesaan. Dalarn memberi landasan konsep serta pengertian teoritis, pertama-tama akan dijelaskan arti modal dan pembentukan modal. Penjelasan ini perlu dilakukan mengingat banyaknya definisi tentang modal serta tepat tidaknya definisi tersebut digunakan untuk memahami perilaku ekonomi rumahtangga di pedesaan. Kemudian. dipaparkan teori-teori sistem ekonomi yang rnembahas tentang pembentukan modal, dua teori muncul pada tahun 1950 dan 1960-an, sedangkan teori-teori yang berikut muncul setelah tahun 1970-an. Teori-teori ini pada dasarnya membahas tentang sistern sosial-ekonomi di Jawa yang di dalarnnya mengandung kajian tentang modal baik dari segi struktur sosial, nilai-nilai masyarakat tentang pembentukan modal serta peranan kebijaksanaan pemerintah kolonial maupun republik. Kemudian dilanjutkan dengan temuan-temuan empiris yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi surplus produksi dan pembentukan modal, yaitu dan pembentukan modal; produksi, asset produksi, pengaruhnya terhadap pembentukan modal;
surplus produksi dan
hubungan antara kekuasaan
dan
pembentukan modal. serta hubungan proses produksi dengan pembentukan modal. Dengan bertitik tolak dari uraian-uraian tersebut akan disusun kerangka pemikiran, hipotesa, dan dirumuskan definisi dan pengukuran peubah dalam bab berikutnya. Oleh sebab beragamnya segi telaah kajian surplus produksi dan pembentukan modal
perlu kiranya dijelaskan pendekatan yang digunakan dalam studi ini. Dalam kajian ini pembahasan tentang pembentukan modal di pedesaan Jawa &an didekati dengan
pendekatan sosiologis2, sedangkan cara penjelasannya menganut pendekatan sis~ernentaradari segi substansi atau isi I ("content"), permasalahan modal dan pembentukan modal paling sedikit mempunyai tiga pendekatan. Pertama adalah pendekatan "kewiraswastaan", yaitu suatu pendekatan yang memusatkan pembahasannya pada bakat dan kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan melakukan inovasi bagi pertumbuhan usahanya (Aitken, 1967 dan Anderson, 1987). Kedua adalah pendekatan "perilaku rasional", yaitu suatu pendekatan ekonomi mikro yang memusatkan perhatian pada bentuk dan proses pengambilan keputusan yang diarnbil dalam ha1 investasi. Berbeda dengan pendekatan pertama, pendekatan ini lebih mendasarkan diri pada perhitungan-perhitungan matematis serta perhitungan-perhitungan eksak lain dalam pengambilan keputusan-keputu-
sannya. Ketiga adalah pendekatan "determinan struktural" dalam akumulasi modal, misalnya peran tersedianya kredit (Braverman dan Guash, 1986). serta
2. Firtli (1969: 16) mi.salnya, rnemadmg birhwa huhurigm ekononii m e r u p b bgian dari sistrni liuhungaii sosial S a r a keseluruhan. Sistern ekonon~i(rtau sub sistem) oleh karenanya hanya bisa diphami sqenuhnya daliun kontttlo: m i d , politik. ritual, moral txhahkan aktivitas estetik dan nil& nilai yrurg n~cnipeogaruhinya. h d k i a o juga Snielser ( 1990) yang rue~~genibangkan kajian i h i ~ sosiologi e k o m i yang m n i M a s aspek ekonomi dari kehidupn wsial. m r m ~ huhungan s anlara aspek ekonomi dan non ekononii dari kchidupan sosial, haagaimana saling junbuh (overkzp), dan saling mempengamhi .SIN s a m lain.
3. Kolaiuio Garcia f 1984). yang nienganikan sistrni sehagai sctjumIah ohyek yang ,ding krhubungan. yarig nlempunyai tiga ciriciri. yaitu pertanla keseluruhali (yaitu kwluruhan elemen sisteai Jipandarig srhagi suatu kesctluruhan). yang hukan merupakan penjumlalw stxxra sederhana clmiro-elen~entersebut. Ktdua. keseluruhwi itu nienipunyai struktur yang d i t c a u h oleli sejwnlah liuhungari dimtara elemen-elemen, c h i bukan olch elemen im sendiri. Ketiga. tiuhungan yang menciribn stmkrur rneni&ncl~k hubungan yang dioaniis yang nierupakan suhyek yang k n ~ h a h xpanjarig wakm. Pmdekaun sistem ini mendawkzui diri p d a beherdpa prinsip mctcxlolo$is. yang pemma adalah niulridisiplin. secara terpadu yang menlpu~iyai"orgutizational guidelinew yang jelas. Yaiig kedua adanya tingkatari dalam prijelasan (Lwei cfaplwrrrrion) dan periggambarari (lard of ciiscr@fion) situasi a a u perniasalahan.
tersedianya sarana dan prasarana sosial (Anderson, 1987). Studi yang sifatnya komprehensif ini tidak akan lepas dari ketiga pendekatan
tersebut dalam mendasari pengkajiannya, walaupun pendekatan yang pertama dan ketiga akan lebih ditekankan penggunannya. Pendekatan pertama akan melihat hubungan antara karakteristik petani dari segi pengalaman, kemampuan pengelolaan, bakat, sifat-sifat kewiraswastaannya dengan aspek peningkatan surplus produksi dan pembentukan modal. Pendekatan kedua mengungkapkan proses produksi usahatani dalam menghasilkan surplus produksi, dimana terlibat berbagai keputusan penting dalam menjalankan usahataninya. Sedangkan pendekatan ketiga memungkinkan kita melihat peran pemerintah melalui berbagai program pembangunan seperti paket kredit Bimas, program penyuluhan, kredit investasi dan lain sebagainya. Dengan dem ikian secara sosiologis stud i ini ingin memahami proses pembentukan modal pada t ingkat rumahtangga petani melalui cara produksi barang-barang dan jasa, melihat prosesnya dalam komunitas sosial di pedesaan hulu dan hilir, serta melihat pengaruh kekuasaan terhadap proses pembentukan modal melalui program-program pemerintah.
2.1. Arti dan Landasan Teoritis 2.1.1. Pengertian Tentang Modal dan Pembentukan Modal
Dalam disiplin ilmu ekonomi terdapat beragam definisi tentang modal. Dalam l iteratur klasik, misalnya uraian yang ditemui dalam Encyclopedia Americana
. artian modal atau
"capital"digunakan untuk menunjuk pada pertama stock
atau persediaan uang yang akan digunakan untuk membeli komoditi fisik yang kemudian dijual guna memperoleh keuntungan, kedua stock (modal) komoditi itu sendiri. Mill (1948) dalam bukunya Principles of Political Economy, mengguna-
kan istilah "capital" dalam arti : pertama barang fisik yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lain, dan kedua, suatu dana yang tersedia untuk mengupah buruh. Sementara Bank Dunia mengartikan barang-barang modal sebagai barangbarang yang d iproduksi untuk digunakan dalam proses produksi mendatang (Shukla 1965 :2)
Pemilihan definisi atau artian tentang modal yang cocok untuk dipakai dalam studi ini nampak bukan masalah yang sederhana. Banyak para ahli yang memandang bahwa pengertian modal dalam artian disiplin ekonomi sulit untuk sepenuhnya diterapkan untuk memahami masalah modal pada petani kecil (Firth 1969 :20 ; Tohir 1983 : 481). Ketiadaan pemisahan kekayaan dan hutang antara usahatani dengan rumahtangga petani menjadikan sulit memisahkan bagian mana dari rumahtangga yang merupakan kekayaan usahatani dan mana yang merupakan kekayaan pribadi.
Demikian pula kita tidak dapat menentukan secara nyata dan
tegas bagian mana dari produksi yang digunakan untuk konsumsi, produksi dan yang d ijual . Jad i. pemisahan antara usaha dan rumahtangga petani merupakan paksaan buatan, yang sukar dilaksanakan secara konsekuen, tegas dan jelas. Disamping itu, pemilahan atas asset dan modal yang dimiliki petani juga kadangkadang kabur. Pada hakekatnya modal memang merupakan bagian dari asset petani yang dicadangkan serta digunakan untuk meningkatkan volume konsumsi di masa mendatang. Disamping itu termasuk dalam asset ini adalah tabungan petani (saving) maupun simpanan lain yang tidak berbunga ( harding) Firth (1969 : 20) yang melihat dari sisi penyusutan, berpendapat bahwa ketidak-mungkinan melakukan perhitungan penyusutan pada usahatani petani kecil mengakibatkan terbatasnya penggunaan artian modal menurut disiplin ekonomi murni.
kan istilah "capital"dalam arti : pertama barang fisik yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lain, dan kedua, suatu dana yang tersedia untuk mengupah buruh. Sementara Bank Dunia mengartikan barang-barang modal sebagai barangbarang yang diproduksi untuk digunakan dalarn proses produksi rnendatang (Shukla 1965 :2 )
Pemilihan definisi atau artian tentang modal yang cocok untuk dipakai dalam studi ini nampak bukan masalah yang sederhana. Banyak para ahli yang memandang bahwa pengertian modal dalam artian disiplin ekonorni sulit untuk sepenuhnya diterapkan untuk rnernahami rnasalah modal pada petani kecil (Firth
1969 :20 ; Tohir 1983 : 481). Ketiadaan pemisahan kekayaan dan hutang antara usahatani dengan rurnahtangga petani rnenjadikan sulit rnemisahkan bagian rnana dari rumahtangga yang merupakan kekayaan usahatani dan rnana yang rnerupakan kekayaan pribadi. Demikian pula kita tidak dapat menentukan secara nyata dan tegas bagian mana dari produksi yang digunakan untuk konsumsi, produksi dan yang d ijual . Jad i, pemisahan antara usaha dan rumahtangga petani merupakan paksaan buatan, yang sukar dilaksanakan secara konsekuen, tegas dan jelas. Disamping itu, pemilahan atas asset dan modal yang dimiliki petani juga kadangkadang kabur. Pada hakekatnya modal memang rnerupakan bagian dari asset petani yang dicadangkan serta digunakan untuk meningkatkan volume konsurnsi di masa mendatang. Disamping itu termasuk dalam asset ini adalah tabungan petani (saving) maupun simpanan lain yang tidak berbunga ( harding) Firth (1969 : 20) yang rnelihat dari sisi penyusutan, berpendapat bahwa ketidak-mungkinan melakukan perhitungan penyusutan pada usahatani petani kecil mengakibatkan terbatasnya penggunaan artian modal menurut disiplin ekonomi murni.
Firth (1969 : 21) mengemukakan bahwa modal tersebut haruslah berupa sejumlah pemilikan yang nyata, yaitu sumberdaya-sumberdaya yang mampu menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa untuk periode mendatang. Sebagian dari sumberdaya ini berupa material, namun ada pula yang non material seperti misalnya pengetahuan, teknik dan keahlian. Atas dasar ini ia mengusulkan artian modal sebagai persediaan (stock) barang-barang dan jasa-jasa yang tidak segera digunakan untuk konsumsi namun digunakan untuk meningkatkan volume konsumsi di masa
mendatang, baik langsung maupun tidak langsung melalui proses produksi. Jadi sebagai kriteria utama disini, modal harus membantu konsumsi di masa mendatang dan berorientasi ke arah masa d e ~ a n . ~ Mengingat bahwa penelitian ini akan menfokuskan perhatiannya kepada petani dalam berbagai lapisan serta penduduk pedesaan yang mempunyai usaha, yang umumnya merupakan usaha yang relatif kecil, serta dikelola di dalam rumahtangga, maka artian modal yang dikemukakan oleh Firth inilah yang paling dekat dan yang akan dipakai dalam penelitian ini, yaitu modal sebagai persediaan barang-barang dan jasa-jasa yang tidak segera digunakan untuk konsumsi namun digunakan untuk meningkatkan volume konsumsi di masa mendatang, baik langsung maupun tidak langsung melalui proses produksi. Aspek-aspek yang digumuli merupakan aspek pendekatan sosiologis-antropologis tentang modal pada umumnya, yang menyangkut pertanyaan-pertanyaan "apakah barang-barang yang disimpan sebagai modal merupakan bagian yang disisihkan dari konsumsi?; Alasan apa yang menentukan masyarakat menyimpan sekarang dan mengkonsumsinya kemudian?; macam barang-barang apa yang akan dikonsumsi pada masa
4. Dalam pengenisn irli trmlaquk tabungan tak berhunga atau tabungan yang disin~pandi runall. bukan di lenrbaga keuangan.
mendatang?; Prinsip-pri nsip apa yang terdapat dalam proses seleksi tersebu t? ; Macam estimasi apa yang diberikan untuk masa depan tersebut?; Jangka panjang atau jangka pendek?; Bila nilai barang-barang berbeda dengan nilai yang diharapkan d imasa mendatang, apa ciri-ciri harapan tersebut dan pertimbangannya apa?" ( Firth 1969 : 19).
Modal dapat diklasifikasikan atas dasar sifat-sifat produktifnya.
Modal
dapat dipandang sebagai tabungan tenaga kerja bila modal tersebut memungkinkan untuk mengganti tenaga kerja. Hal ini terjadi bila seorang buruh dikombinasikan dengan peralatan mekanik, misalnya traktor dalam pertanian pad i untuk mencapai kapasitas yang sama, misalnya dengan 5 buruh yang mengerjakan pembajakan tanah dan penggaruan. Hal yang sama terjadi pada pemupukan dan tanah. Luas tanah dapat dikurangi dengan penggunaan pupuk untuk mencapai produksi per hektar yang sama dengan tanah tanpa pemupukan (Soeharjo 1976 : 24) Pemilahan modal dapat pula dilakukan atas dasar bentuk modal tersebut. Misalnya, modal dapat berupa tanah, bangunan pertanian, peralatan, ternak atau barang-barang lain seperti bibit, pupuk, dan insektisida.
Dewey (1969 : 251)
dalam penel itiannya di Jawa Timur menyebut bentuk modal sebagai tanah, ternak, unggas, dan peralatan pertanian. Dalam kaitan dengan fungsinya dalam proses-proses ekonomi, modal dapat dilihat dari tiga sudut pandang utama yaitu (a) modal sebagai bagian dari produksi; (b) modal sebagai penguat pengendali daya beli; dan (c) dan modal sebagai persediaan dana bagi investasi. Menurut Firth (1969 : 19) ketiga fungsi modal ini terdapat dalam dalam sistem ekonomi yang paling sederhanapun. Pembahasan definisi tentang modal berpautan erat dengan artian tentang pembentukan modal.
Dengan kata lain definisi tentang modal membawa
pengaruh langsung dan merupakan dasar pandangan tentang artian pembentukan
modal. Sebagaimana halnya dengan definisi tentang modal, teori maupun pendeka-
tan terhadap masalah pembentukan modal sangat beragam dan kompleks.
Dalam
kajian ilmu ekonomi, aspek pembentukan modal ini tercakup dalam teori pertumbuhan ekonomi, yaitu teori yang menjelaskan mengenai faktoi-faktor apa yang menentukan kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan (Boediono, 1985 : 2) Secara garis besar dalam disiplin ekonomi terdapat dua pendekatan, pertama yaitu pendekatan histor is (mashab historis), yang dikemukakan oleh Marx, List dan Rostow. Sedangkan yang kedua adalah pendekatan analitis (mashab analitis). yang tercakup di dalamnya teori-teori yang dikemukakan oleh Smith, Ricardo, Lewis (aliran Klasik), dan Keynes, Solow, Swan, Turpinke, dan Tobin (aliran neo-klasik) (Boediono, 1988 : 4-5). Dalam disiplin ekonomi , pembentukan modal secara sederhana diartikan sebagai suatu proses dimana beberapa bagian/proporsi pendapatan yang ada ditabung dan diinvestasikan Iditanamkan untu k memperbesar output/ keluaran dan penghasilan dikemudian hari (Todaro 1983 : 140). Sedangkan Samuelson (1961 :218) mengartikan pembentukan modal sebagai tingkat atau jumlah pertambahan modal atau jumlah pengurangan modal dalam satu satuan waktu tertentu. Dalam artian ini pembentukan modal dapat negatif. Sama halnya dengan pengertian tentang modal, ada perbedaan yang perlu kita lihat dalam memahami permasalahan modal petani kecil. Dalam perusahaanperusahaan besar pertanian maupun industri, pada umumnya tujuan utama mereka adalah memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dengan biaya yang seminimal-minimalnya.
Untuk mencapai tujuan ini dilakukan optimalisasi perpaduan
faktor-faktor produksi.
Asas perpaduan ini bersifat obyektif-ekonomis, artinya
subyektifitas dari para pemilik perusahaan tidak ikut menentukan. Modal dipan-
dang sebagai suatu faktor produksi, yang terdiri atas modal untuk perbaikan, penyusutan dan penggantian modal (alat-alat produksi) yang disisihkan lebih dahulu dari penghasilan perusahaan setelah dikurangi dengan biaya produksi, termasuk upah buruh. Artian pembentukan modal diatas berbeda halnya dengan artian pembentukan modal dalam usahatani rumahtangga, dimana faktor-faktor tenaga kerja rumahtangga dan konsumsi rumahtangga merupakan faktor yang penting.
Pendapatan
atau hasil usaha rumahtangga pertama-tama akan digunakan untuk memenuhi keperluan rumahtangga dan kemudian untuk mencukupi kebutuhan guna pelaksanaan usahataninya dan pada gilirannya untuk pembentukan modal. Dengan demikian konsumsi rumahtangga dan pembentukan modal terdapat jalinan atau kaitan organik. Kaitan ini sifatnya betlawanan (korelasi negatif) artinya jika konsumsi meningkat maka pembentukan modal akan menurun atau sebaliknya dengan asumsi penghasilan tidak berubah. Secara teknis pembentukan modal dalarn usahatani rumahtangga ditandai dengan adanya penambahan atau pengurangan baik jumlah maupun kualitas modal tetap maupun modal kerja yang digunakan dalarn proses p d u k s i mendatang. Penambahan atau pengurangan tersebut dapat merupakan akibat baik faktor-faktor internal maupun faktor-faktor tuar. Dalam ha1 ini termasuk didalamnya kredit, sepanjang kredit tersebut merupakan penggunaan modal pada masa mendatang yang diharapkan dapat diakumulasikan dari pendapatan di masa mendatang. Peningkatan pembentukan modal melalui faktor internal berupa peningkatan tabungan rumahtangga, walaupun tidak sepenuhnya demikian, oleh karena kadang-kadang penduduk desa menggunakan tabungannya untuk konsumsi lebih lanjut, serta mengurangi konsumsi.
Mengingat berbagai ha1 yang telah dikemukakan diatas, dalam penelitian ini pembentukan modal diartikan sebagai suatu proses dimana beberapa bagianlproporsi pendapatan yang ada disisihkan dan diinvestasikan /ditanamkan untuk memperbesar output1 keluaran dan penghaiilan dikemudian hari, dan berkurangnya modal itu sendiri. Dalam kajian ini secara teknis "proporsi pendapatan yang diinvestasikan" itu berupa pengeluaran-pengeluaran
investasi
seperti pembelian tanah, ternak, alat pemroses hasil-hasil pertanian, pengadaan dan penambahan modal usaha dagang, dan pembuatanl perbaikan sarana fisik usaha seperti pembuatan
dan perbaikan sarana pengairan, pembuatan teras, menaik-
kanlmerendahkan permukaan tanah: bangunan-bangunan usaha I usahatani. Berbagai tindakan penanaman modal itu disebut sebagai pembentukan modal.
2.1.2. Teori Sistem Ekonomi dan Pembentukan Modal di
Pedesaan Jawa
Pembicaraan tentang sistem ekonomi apa yang berlaku di pedesaan Jawa serta bagaimana dinamika dan kaitannya dengan pembentukan modal di pedesaan pada hakekatnya telah lama penjad i perbincangan para ah1i sosial maupun ekonom i Indonesia.
Seperti disebut di muka, terdapat dua teori yang terkenal, yang diter-
bitkan pertama kali pada tahun 1953 Ganda yang
dan 1963, masing-masing teori Ekonomi
dikemukakan oleh Boeke (1953). serta Involusi Pertanian yang
dikemukakan oleh Geertz (1 963).
Kedua teori tersebut membahas secara rinci
sistem ekonomi di Indonesia dan dengan caranya masing-masing mereka menjelaskan tentang tiadanya peluang terjadinya akumuiasi modal di pedesaan Jawa. Kedua teori tersebut diatas menjadi terkenal dan ban yak ditanggapi oleh para ahli ekonomi maupun sosial di Indonesia. Selain mencoba menjelaskan sistem
ekonomi yang berlaku di pedesaan Jawa pada saat sekarang ini, para pengkritik juga menilai apakah kedua teori diatas masih berlaku atau tidak, misalnya Sayogyo (1976) , Collier (1977), Mubyarto (1 978) dan lain sebagainya. Teori-teori tersebut diatas, yaitu teori Ekonomi Ganda dan Involusi Pertanian, serta teori-teori yang muncul belakangan
dipandang menempati posisi
pen ting dalam pembicaraan perekonomian pedesaan di Jawa. Oleh karenanya teoriteori tersebut akan dipakai sebagai titik tolak dalam kajian ini, terutama pandanganpandangan atau teori-teori dari kedua ah1i tersebut yang menyangkut pembentukan modal
2.1.2.1. Sistem Ekonomi Ganda
Teori Ekonomi Ganda Boeke (1953) , melihat masyarakat atas dasar jiwa sosial , bentuk-bentuk organisasi dan teknik-teknik yang mendukungnya
.
Atas
dasar pandangan tersebut dibedakan tiga macam sistem ekonomi, yaitu sistem ekonomi masyarakat prakapitalis, sistem ekonomi masyarakat kapitalisf msialis dan sistem ekonomi yang merupakan hasil hubungan antara dua sistem sosial yang berbeda dalam suatu lingkungan masyarakat, yang disebut sistem ekonomi ganda. Atas dasar tipologi di atas, Boeke melihat bahwa sistem ekonorni yang
berlaku di Jawa pada masa pra penjajahan, adalah sistem ekonomi Pra-kapitalis. la menyebut ciriciri sistem ekonomi masyarakat prakapitaiis sebagai sistern dengan ikatan sosial yang asli; sistem suku tradisionil; kebutuhan yang terbatas dan sederhana; azas produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dilakukan S.Baik Rwkr: maupun Gecrtz tidak secara kllusus menyoroti rentang pemkntukan mdal di pcdesaan Jawa, tuntun dalmt nienihicaraln terttang sister11 rkonomi yang krlaku. nladah pnlhet~tukatl rnodal dibicarakan pula. yang permasalahan~~ya aatara lain dikurip sub-sub bab berikut.
oleh keluarga sendiri-sendiri; tidak menggunakan jual beli sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan; tidak ada keinginan untuk mencari laba, bersaing, berusaha bersama, berdagang, menghimpun modal, dan mengembangkan industri memakai mesin; kegiatannya tidak teratur, dan sikap memandang remeh dorongan ekonomi, dan mencampurkan dorongan ekonomi dengan dorongan agama, etika, sosial dan nilai tradisionil lainnya (Boeke 1982 :1-38). Menurut Boeke dalam masa "sistem ekonomi primitif" ini, di kalangan masyarakat pedesaan tidak atau kurang terjadi pembentukan modal. Selanjutnya Boeke mengemukakan bahwa dengan ciri-ciri sistem ekonomi diatas, mustahillah pembentukan modal terjadi. Ada keengganan penduduk pribumi terhadap modal, artinya secara sadar tidak mau menanam modal dan menanggung resikonya. Pengusaha kecil lebih suka berhutang terus pada penyedia bahan mentah daripada sedikit demi sedikit mengumpulkan modalnya sendiri dari keuntungan yang diperolehnya (Boeke 1982 :28) Berbeda dengan keadaan diatas, pada masa penjajahan, sistem ekonomi di Hindia Belanda digambarkan Boeke sebagai sistem ekonomi dualistis atau ekonomi ganda. Masyarakat di Hindia Belanda mempunyai sifat sosial ganda, yaitu
per-
tarungan antara sistem sosial impor dari luar lawan sistem sosial asli yang bergaya tersendiri. Sistem sosial import tersebut adalah kapitalisme tinggi (advanced capitalism) , namun dapat berupa pula sosialisme atau komunisme, atau paduan dari keduanya. Masyarakat yang bertarung itu masing-masing mempunyai sistem nilai dan ciri-ciri tersendiri, serta sistem ekonomi sendiri. Di Indonesia, masyarakat yang bertarung itu pada satu sisi terdiri atas masyarakat yang menganut teori ekonomi "barat". yang berlandaskan pada kecenderungan-
kecenderungan masyarakat barat yaitu : (a) kebutuhan peran
ekonominya tak terbatas; (b) sistem yang melandasi kehidupan peran ekonominya
adalah ekonomi uang; (c) landasan kegiatan ekonomi perorangan adalah organisasi dalam bentuk perusahaan. Disisi lain adalah masyarakat desa yang prakapitalis dengan ciri-ciri seperti yang telah disebut dimuka. Pertarungan dua tata ekonomi ini bersifat kekal, dan bukan bersifat sementara atau masa peralihan, serta merupakan keadaan tidak seimbang yang abadi sifatnya. Dalam sistem ekomomi dualistik ini "milik" atau penumpukan modal pada sektor tradisional tidak terjadi. Boeke menyebut paling sedikit dua sebab, pertama yang menyangkut ketatnya pertarungan sistem ekonomi di sektor barat dan sektor trad isionil sehingga cenderung terjadi penghisapan sektor tradisionil oleh sektor barat, seperti yang ia kemukakan ... (Boeke 1982 :34-35) :
.....Kenyataan bahwa penduduk pribumi tidak banyak menyesuaikan diri pada landasan ekonomi peradaban Barat jelas akan membawa bahaya bagi mereka bila berhubungan dengan peradaban itu di bidang ekonomi. Hubungan ini selalu dalam bentuk jual-beli. Ini berarti kedudu kan orang pribumi terhadap pihak barat selalu lemah karena dia tidak punya pengalaman dalam ekonomi uang serta tidak tahu apa-apa mengenai tata-cara yang berlaku dalam hubungan semacam itu. Yang kedua,
menyangkut masalah nilai, moral serta kemampuan para
pengusaha pribumi (seperti yang akan dijelaskan dalam sub-bab berikut) dimana menurut Boeke sikap irrasional serta sikap yang kurang positif terhadap modal dapat menghalangi terjadinya pembentukan modal, serta perkembangan kapitalisme di sektor barat yang sudah
sedemikian tinggi mengakibatkan para pedagang serta
pengusaha pribumi tidak mampu memasuki sistem tersebut, sehingga pengusaha pribumi tetap berkubang pada sektor tradisionil yang kurang menguntungkan. Penjelasan sistem ekonomi Jawa menurut Boeke ini sudah sejak awal mengundang banyak sanggahan. Salah satu diantaranya adalah Sadl i (1982 :48-59) yang menyoroti pengakuan Boeke bahwa ekonomi dualistik merupakan teori
ekonomi yang berdiri sendiri. Sadli sendiri melihat penjelasan Boeke sebagai bukan penjelasan teori ekonomi, karena tidak menyentuh pemecahan permasalahan dasar ekonomi. 6 . Sementara itu, Geertz (1976 : 49-50) melihat bahwa penjelasan teoritis Boeke mengenai dualisme itu pada umumnya tidak dapat diterima, bahwa taksirannya yang pesimistis mengenai implikasi-implikasi politik itu bersifat
seram-
pangan, dan pandangannya mengenai "mentalitas" Indonesia (atau "Timur") itu hanya khayalan belaka, dan tidak boleh pula mengaburkan kenyataan bahwa, walaupun terjad i salah in tegrasi antara sektor padat karya dengan sektor padat modal, ha1 itu merupakan suatu gejala yang umum, dan dalam ekonomi Hindia Belanda salah integrasi itu sangat banyak; dan sebetulnya Boeke menyadari kenyataan ini walaupun tidak mengetahui sebab-sebabnya.
Meskipun teori ekonomi dualistik ini mengandung berbagai kelemahan , namun studi ini dapat menunjukkan beberapa ha1 penting dalam menunjang penelitian ini. Pertama konsep dualistik masyarakat, yaitu teori Boeke tentang
per-
tarungan dua "sistem ekonomi" antara yang tradisionil dengan yang modern, pada saat sekarang pada batas-batas tertentu, masih nampak kelihatan di pedesaan Jawa. Bagaimana bentuk serta mekanismenya yang baru itu perlu kita teropong lebih lanjut. Menurut Sayogya (1978: 3-14) garis pemisah Boeke yang membagi ekonomi barat dengan tradisionil terletak pada kota/"perkebunan besar" dengan desaf pertanian, maka garis tersebut telah beralih ke petani lapisan atas berhadapan dengan petani gurem. Kedua. adalah variabei nilai budaya dan moral yang diperhatikan Boeke, 6 .Mcmlrut Satll i, pet~jelasanatail teori ekononii ttan~slal~ ~lienguraikan riga ni,lsalah pokok yang diungkapkan olrh Samuc.lsoil. yaitu (I) Bararig apa yang diprtxlubi dari berapa hanyaknya; (2) Dagai~~iaru cara nieoiproduksi barang itu: (3) Uiltuk siapa harang itu diproduksi.
antara lain tentang pentingnya peranan nilai kerja serta sikap dalam pembentukan modal. Nilai nilai yang dianut masyarakat pra-kapitalis yang disebutkan oleh Boeke juga merupakan variabel yang penting untuk dilihat kembali, oleh karena beberapa ciri diantaranya merupakan ciri yang universal serta relatif sulit berubah.
2.1.2.2. Pasca Tradisionil : Involusi Pertanian.
Geertz (1983) dalam bukunya "Involusi Pertanian" membahas tentang keadaan sosial-ekonomi pedesaan Jawa pada tahun lima puluhan yang dia sebut tahapan pasca tradisionil.
Ada dua variabel utama yang digunakan untuk melihat
keadaan ekonomi pada waktu itu, yaitu involusi pertanian dan "kemiskinan beibagin (shared poverty). Dia melihat adanya gerak yang negatif atau adanya "involusin dalam bidang pertanian, yang dicirikan oleh suatu keadaan dimana produksi per Mtar meningkat namun produksi per kapita tinggal tetap, dimana terjadi peruwe-
tan pola-pola lama atau involusi, dengan cara itu sawah-sawah di Jawa berhasil menyerap perkembangan penduduknya. Seperti halnya dengan Boeke, ia melihat ekonomi Indonesia terdiri atas dua sektor, yaitu sektor barat, dengan ciri padat modal, teknologi tinggi, yang menghasilkan produksi pertanian untuk ekspor; dan sektor pribumi dengan ciri padat karya, yang menghasilkan produksi kebutuhan makanan pokok.
Kedua sistem
ekonomi ini berada baik sendiri-sendiri maupun berdampingan, beragam dari satu tempat ke tempat lain. Namun berbeda dengan Boeke, dalam melihat hubungan kedua sistem ini, Geertz tidak melihat lemahnya kaum pribumi dari segi nilaibudaya, yang dapat merintangi perkembangan sektor pribumi, namun Iebih melihat benturan kepentingan dari dua struktur ekonomi tersebut.
Kebangkitan dan
perkembangan lanjut dari sektor ekspor atau sektor padat modal rnerintangi ke-
bangkitan dan modernisasi sektor padat karya. Karena gagal memperoleh kebangkitan pengembangan, dibawah tekanan penduduk yang semakin meningkat dinamika intern sistem pengolahan sawah berkembang sendiri tanpa rintangan dan menghasilkan involusi pertanian. Secara rinci dia mengemukakan :
.........Dibawah tekanan jumlah penduduk yang meningkat dan sumberdaya yang terbatas itu, masyarakat pedesaan Jawa tidaklah terbelah dua seperti yang banyak terjadi di negara-negara yang sedang berkembang lainnya, yaitu terbelah menjadi golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang ditindas. Malahan ia tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan ekonomi yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagikan rejeki yang ada terus menerus hingga menjadi keping-keping kecil , suatu proses yang dalam tulisan lain saya namakan "kemiskinan yang dibagi rata" (shared poverty). Bukannya menjadi golongan "have " dan "havenot tetapi dengan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan petani "kekuranganN(1983 : 102). menjadi golongan "cukupan" dan
".
Selanjutnya Geertz (1 983 : 14) mengemukakan
......Berbeda dengan kecepatan pemusatan kemakmuran dan pembentukan proletar desa yang melarat dan terasing seperti dapat ditemukan di banyak daerah-daerah "terbelakang" lainnya, kami mendapatkan di Jawa Tengah dan Jawa Tirnur suatu proses berkeping-kepingnya pemilikan tanah dan tingkat kekayaan yang hampir merata. Jadi para petani pada umumnya dapat melaksanakan kehidupan agama, pol itik, sosial dan ekonominya setaraf dengan rekanrekannya, tetapi tingkat kehidupan di segala bidang itu sebenarnya telah sangat merosot. Pola umum sebagai jawaban atas situasi ekonomi yang memburuk melalui pembagian rejeki dalam serpihanserpihan yang mengecil dan lebih mengecil lagi, mungkin dapat dinamakan "kemiskinan yang dibagi-rata" (shared poverty). Melalui penjelasan diatas, Geertz melihat bahwa tidak tumbuhnya lapisan pemilik modal di Jawa, diakibatkan oleh adanya tiga sebab yang saling berkaitan
.
Pertama bahwa perkembangan produksi pertanian perkebunan kolonial dalam pertengahan abad ke 19 menekan struktur sosial masyarakat pra-kapitalis di Jawa. sehingga menghambat perkembangan pemilikan tanah pribadi serta kewiraswastaan lokal. Kombinasi antara penguasaan tanah komunal serta terhambatnya kewiras-
wastaan penduduk di pedesaan itu menjadi penyebab tiadanya peluang untuk membentuk modal di pedesaan. Sedangkan yang kedua, yang tidak kalah pentingnya dengan sebab-sebab yang pertama, bahwa perkembangan kapitalisme industri di Indonesia juga dihambat oleh mengalirnya surplus ekonomi ke Belanda yang dihasilkan dari sektor perkebunan. Surplus dari bidang pertanian yang di kebanyakan negara merupakan batu loncatan untuk masuk ke era industri, justru dialirkan ke negeri lain. Sedangkan yang ketiga dalam menjelaskan konsep shared poverty, yaitu berlakunya hokum the law of diminishing return pada usahatani padi yang ditandai dengan meningkatnya penggunaan tenaga kerja yang tidak sebanding dengan meningkatnya produksi per kapita, Geertz menunjuk pada kemiskinan petani Jawa, sebagai salah satu sebab peluang terjadinya penumpukan modal tidak muncul. Penjelasan Geertz ini bukan tanpa kelemahan. Banyak ahli yang mengkritiknya seperti yang akan dibahas dalam sub bab berikut. Namun pada sebagian besar Geeru mampu menyajikan suatu analisis perubahan ekologi budaya dengan cemerlang. Peranan pemerintah kolonial melalui kebijaksanaan cultuursteLse1 serta pembukaan Jawa untuk modal asing di bidang perkebunan meldui penumpangan pada struktur sosial serta ekologi yang ada mengakibatkan dampak sosial bagi masyarakat Jawa yang begitu hebat. Ekologi sawah yang secara tradisionil digunakan untuk menopang hidup sebagian besar penduduk di pedesaan selama berabadabad "ditumpangiwkewajiban menanam tanaman ekspor (tebu, tembakau, nila, dll) oleh pekebun padat modal. Kebijaksanaan ini disamping merugikan petani oleh sebab mereka disamping harus kerja rodi mengurangi frekuensi penanaman padi.
2.1.2.3. Perspektif Masa Kini
Seiring dengan berjalannya waktu, keadaan di pedesaan Jawa banyak terjadi perkembangan-perkembangan serta perubahan-perubahan. Para ahli kemudian banyak yang mempertentangkan relevansi teori-teori baik Boeke maupun Geertz di masa sekarang. CoIl ier (1 977) m isal nya berpendapat bahwa teori yang dikemukakan Geertz tentang involusi pertanian dibentuk atas dasar data tahun 1952-1954.
'
Ini merupakan tahun-tahun ketika ekonomi masih menderita akibat perang dunia dan revolusi. Aktivitas komersial ditekan, dengan akibat desa menjadi relatif statis dan berswadaya.
Selanjutnya Collier mengemukakan bahwa keadaan pedesaan
Jawa sudah berubah demikian radikal, terutama pada tahun 1970-an, sehingga teori yang dibangun atas dasar pengamatan tahun 1950-an hampir tidak dapat diterapkan. Komersialisasi dan program modernisasi pemerintah yang meningkat telah memberikan kesempatan kepada para petani lapisan atas untuk mencari keuntungan dengan menggunakan teknologi baru dan mengabaikan kewajiban-kewajiban tradisionil tentang pemerataan kerja dan pendapatan;
karena teknologi baru lebih
banyak mengandalkan pembelian peralatan dan masukan yang modern dari pada tenaga kerja, penggunaannya telah mengakibatkan kenaikan hasil per unit masukan tenaga kerja; sebaliknya kesempatan kerja untuk orang desa yang miskin di pedesaan telah berkurang. Terhadap ha1 itu semua, Collier menyebut bahwa yang terjadi sekarang adalah evolusi, bukan involusi. Prof. Sayogya melihat dari sisi pelapisan sosial, yaitu :
7. Prnelitian Geem n~cnlaligdilaksanakan asitara tailuri 1052-1953. namurl dalmi melandasi strnlua argun~entasinyaGmnz tnenggunahn data dari tallun 1900 sanlpai dengan tal~un19.M.
".....kesimpulan
Geertz (secara implisit) bahwa involusi pertanian
itu tidak menghasilkan kelas petani komersial yang berarti di Jawa,
tak dapat dibenarkan. Dari 7.8 juta petani di Jawa menurut Sensus Pertanian 1963 (per definisi : menguasai lebih dari 0.1 ha) ratarata 0,7 ha per petani, jika batas 0,5 ha dipakai, gambaran pelapisan menunjukkan bahwa 3,8 juta petani "diatas 0,5 ha" rata-ram hanya menguasai 1,25 ha. Lapisan terbawah terdiri dari 4,O juta keluarga bukan petani kurang dari 0.1 ha atau tak bertanah. Dapat dipastikan bahwa lapisan teratas itulah (32%) kelas petani komersil, yang mau mengeluarkan uang untuk input tenaga buruh upahan dan sejak masa "revolusi pupuk" mulai tahun 1960-an, juga untuk input modern. ......Petani gurem dibawah 0,s ha (terutama jika bukan sawah) merupakan lapisan petani marginal yang jauh tertinggal, antara lain karena kurang modal dan tak bebas dari ikatan mereka pada sebagain petani lapisan atas. Lapisan bawah pada tahun 1975 tentu sudah bertambah banyak lagi dibanding jumlah 4,O juta keluarga tahun 1963: inilah lapisan proletar dan setengah proletar di pedesaan yang terutama tergantung dari berburuh upahan atau beragam usaha lain bermodal kecil (Sayogya 1976 : xxiv).
'
Dari penjelasan berbagai ahli diatas, nampak bahwa dengan terjadinya berbagai perubahan di pedesaan melalui program pembangunan, keberadaan lapisan atas di pedesaan nampak lebih nyata. Pada lapisan atas inilah pembentukan modal diduga telah terjadi.
Involusi pertanian di beberapa tempat telah terpatahkan.
sementara komersialisasi usahatani yang dibawa melalui program Bimas, Inmas dan lnsus makin meluas. Dari penjelasan Boeke, Geertz serta kritik para ahli belakangan ini muncul beberapa variabel yang penting yang harus diperhatikan dalam kajian modal dan pembentukan modal dipedesaan. Variabel tersebut adalah variabel nilai budaya seputar tabungan dan modal, kebijaksanaan pemerintah (baik pada masa kolonial maupun pada masa kemerdekaan), ekologi, teknologi, serta struktur komunitas atau masyarakat yang lebih luas.
Pertama, perhatian terhadap variabel nilai sosial
budaya dalam kajian pembentukan modal masih dirasa penting dalam studi ini, mengingat masih beragamnya tingkat komersial isasi usahatani diberbagai wilayah serta stratum penguasaan tanah. Sejauh mana ciri-ciri masyarakat pra-kapitalis yang
disebut Boeke masih melekat pada masyarakat pedesaan. Nilai-nilai mana yang masih lestari dan nilai-nilai mana yang berubah atau hilang. Kedua, pokok kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah serta kaitannya dengan pembentukan modal nampak menjadi variabel yang penting baik dalam teori Boeke maupun Geertz. Ketidak mampuan penduduk pedesaan Jawa dalam memben tuk modal berpangkal dari beragam kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik dalam masa culturstelsel maupun dalam masa Ekonomi Liberal di Jawa. Demikian pula kebijaksanaan pemerintah Orde Baru melalui program Bimas dan Inmas memberi peluang bagi segolongan penduduk di pedesaan untuk melakukan penumpukan tabungan dan modal. Ketiga, variabel ekologi, terutama ekologi sawah yang menurut pendapat Geertz mernpunyai elastisitas yang tinggi dalam menyerap kelebihan tenaga kerja parut pula diperhatikan, terutama dilihat dalam perbandingamya dengan ekologi lahan kering di Jawa. Keempat, adalah variabel asset pemilikan tanah dan alat produksi ( yang rnerupakan kritik Prof. Sayogyo terhadap Geertz) Kedw variabel i ni mempunyai kaitan yang langsung terhadap pembentukan modal dalam proses produksi. Kajian berbagai variabel diatas akan diletakkan &lam suatu sistem yang terdiri dari tiga subsistem yang saling berhubungan yaitu subsistem nilai sosial budaya, subsistem kekuasaan dan organisasi sosial, dan subsistem produksi pertanian dan non pertanian, dahulu
.
Namun sebelum sampai pada kajian itu perlu dikaji
hubungan antara variabel-variabel diatas dengan pokok surplus produksi
dan pembentukan modal. Langkah ini akan ditunaikan dalan sub-bab berikut.
2.2. Faktor-faktor Pengaruh 2.2.1. Nilai Sosial Budaya dan Pernbentukan Modal
Upaya untuk menjelaskan perilaku ekonomi dari sudut nilai budaya pelaku yang memeragakannya atau komunitasnya banyak dilakukan oleh para ahli. Dari sudut pandang nilai sosial-budaya komunitas pedesaan Jawa, Boeke misalnya melihat bahwa perekonomian di Jawa merupakan perekonomian yang statis. Demikian pula dari segi moral Scott menilai petani di kebanyakan negara di Asia Tenggara sangat memegang nilai subsisten. Sebelum membahas lebih lanjut tentang kaitan antara nilai budaya dengan pembentukan modal, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian tentang nilai budaya. Menurut Theodorson (1969:455) arti nilai budaya adalah prinsip perilaku yang berlaku umum, dimana para anggota suatu kelompok/komunitas merasa mempunyai ikatan kepentingan secara emosional serta memberikan standar untuk menilai aktivitas dan tujuan-tujuan komunitas. Nilai-nilai tersebut diterima para anggotanya bukan hanya secara terbuka dihadapan anggota lainnya, mmun sebagai komitmen individual tiap-tiap anggota, yang telah melembaga melalui proses sosialisasi.
Nilai-nilai memberi ukuran-ukaran standar perilaku yang lebih spesifik
dalam bentuk norma-norma sosial. Kuntjaraningrat (1981:25) menjelaskan bahwa nilai-budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-ha1 yang mereka anggap amat bernilai dalam hidupnya. Karena itu suatu sistem nilai-budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia lain yang
tingkatannya lebih konk-
rit, seperti aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman
pada sistem nilai-budaya. Salah satu cabang kajian yang mempelajari kaitan nilai-nilai sosial budaya dengan perilaku ekonomi dilakukan oleh aliran ekonomi moral. Para ahli ekonomi moral mempunyai pandangan dasar bahwa hubungan sosiai pada komunitas masyarakat sederhadprakapitalis disesuaikan untuk menjamin kebutuhan pokok minimum bagi seluruh anggota komunitas.
Petani memenuhi nafkahnya pada
tingkat yang hampir mendekati kebutuhan hidupnya (Hayami dan Kikuchi 1987:20). Gambaran diatas mirip dengan pengamatan Boeke (1953) terhadap petani di Hindia Belanda pada masa kolonial, bahwa petani Jawa tidak memisahkan antara produksi dan konsumsi. Mereka bertujuan untuk memelihara suatu pola produksi dan konsumsi yang bersatu. Tindakan-tindakan dan reaksi-reaksi rata-rata orang desa tidak didorong oleh alasan logis, tetapi oleh tradisi dan kebiasaan, sehingga mereka menjadi statis. Walaupun keadaan penduduk di pedesaan sekarang tidak lagi mirip dengan apa yang telah digambarkan diatas,
diduga sebagian petani
masih banyak yang menyatukan konsumsi dan produksi, walaupun sebagian yang lain telah lebih peka terhadap pewrubahan-perubahan yang dilancarkan melalui pembangunan, terutama lapisan atas, seperti yang d ikemukakan oleh Soewardi (1977) yang mengemukakan bahwa sepertiga dari penduduk terdiri dari orangorang modern, dengan motivasi dan emphati yang tinggi dan fatalisme kurang, punya jaringan hubungan lebih luas termasuk unsur-unsur atas desa. Selanjutnya dikatakan, dengan usahatani yang luas, dan banyak menerima unsur teknologi baru, dengan memperhatikan segi pemasaran dan hidup hemat, investasi mereka dalam usaha mencari nafkah juga lebih besar. Dalam masyarakat-masyarakat tradisionil terdapat prinsip dasar yang "menuntut bahwa semua orang seyogyanya memiliki tempat, penghidupan dan bukan supaya semuanya sama (Scott 1976 :40; Wolf 1969; Hayami dan Kikuchi
1987 : 2 1).
Nilai-nilai yang demikian diatur melalui lembaga-lembaga desa yang
menjamin bahwa para anggota yang berkecukupan membagi-bagikan kekayaannya dengan menetapkan kewajiban-kewajiban khusus demi memenuhi kebutuhan minimum para anggota yang miskin. Di pedesaan Jawa nilai-nilai yang demikian antara lain dapat dilihat melalui kelembagaan derep serta hubungan patron-klien dalam berbagai hubungan kerja di bidang pertanian seperti penyakapan, ngepak-ngedok, dan lain sebagainya. Melalui kegiatan derep, para buruh tani dan petani gurem mendapat kesempatan untuk memperoleh "bagian kekayaan" dari petani yang lebih mampu. Demikian pula di dalam hubungan patron-klien8, petani lapisan bawah mendapat kesempatan untuk berlindung pada petani lapisan atas. Sebaliknya bentuk pemanenan memakai sistem tebasan (penjualan padi sebelum tanaman dipanen), dipandang sebagai usaha untuk merasionalkan penggunaan tenaga kerja usahatani. (Utami, 1973; Collier 1973) Sistem tebasan menghindarkan kewajiban petani untuk membagi bawon murah kepada tetangga-tetangganya. Dalam kaitan dengan pembentukan modal, nilai konformitas serta nilai-nilai yang lebih mementingkan faktor-faktor sosial dalam komunitas dari pada pertimbangan-pertimbangan ekonomis, seperti nyata pada derep dan bentuk hubungan kerja patron-klien pada batas-batas tertentu akan menjadi kendala bagi pembentukan modal. Seperti telah disebut diatas, keterikatan petani yang erat pada nilainilai yang hidup dalam komunitasnya dipandang oleh Boeke sebagai pengutamaan faktor sosial. Boeke (1953 ) memandang bahwa dalam kehidupan petani Jawa, faktor-faktor sosial lebih penting dari pada motif-motif ekonomi. Tindakan-tinda8.L.ibat Ka1ia~r.R(19843. yang nienguraikii bailwa knruk hubunga~~ patron-Hien &pat bersifat ganda, penanla bersifat melindungi yaitu patron melind,unyi klien-nya dan yang k d w krsifat eksploita~if,patron ~nengeksploitasiklien-nya.
.
kan dan reaksi-reaksi rata-rata orang desa tidak dikuasai oleh alasan logis, tetapi oleh tradisi dan kebiasaan. Boeke membedakan antara alasan-alasan ekonomis dan non ekonomis. Petani Indonesia dikatakannya bertujuan untuk memelihara suatu pola produksi dan konsumsi yang bersatu. Tidak ada hasrat untuk bergerak lebih maju dari pada rata-rata. Oleh karenanya tidak ada pembentukan modal, tidak ada motif keuntungan, tidak pula ada alokasi sumber-sumber (termasuk pekerja) menurut garis-garis optimal. Singkatnya ada hambatan dari dalam yang tak terpisahkannya
.
Nilai-nilai yang mengatur kewajiban anggota yang kaya terhadap anggota yang miskin dalam suatu komunitas yang terpola dalam hubungan patron-klien banyak mendapat
sorotan para ah1i. Scott (1976 :4 1-42) misalnya melihat bahwa
kedermawanan yang diharapkan dari orang-orang kaya itu bukannya tanpa kompensasi. Hal ini berakibat baik pada prestise mereka yang sedang meningkat, yang menyebabkan mereka dikelilingi oleh para anak buah yang penuh rasa terima kasih, dan keadaan yang demikian membantu mengukuhkan kedudukan mereka dalam komunitas.
Tambahan pula ha1 ini merupakan suatu perangkat hutang-piutang
sosial yang dapat diubah menjadi barang dan jasa apabila perlu. Pandangan penganut ekonomi moral tersebut kemudian telah disangkal oleh Popkin (1 979). la menyangkal pendapat bahwa komunitas petani prakapitalis berorientasi pada moral dan komunitas desa untuk melindungi yang miskin. berpendapat, bahwa kelembagaan tradisionil desa dan
la
hubungan patron klien
bukan merupakan sumber motivasi apapun maupun daya guna untuk rnenjamin kebutuhan pokok para anggota komunitas. Bahkan Olson (1965) mengemukakan bahwa kaum elite lebih banyak mengeksploitasi kelembagaan desa, seperti harta benda komunitas, untuk kepentingan mereka sendiri dari pada untuk melindungi yang miskin, dan akibatnya ialah, bahwa tata w a desa malah memperbesar perbe-
daan pendapatan dan kekayaan dari pada meratakannya; sistem pasar dapat lebih bermanfaat bagi mayoritas petani jika sistem ini dapat melepaskan mereka dari pengawasan kaum elite dan memungkinkan mereka untuk ikut dalam transaksi yang didasarkan atas perhitungan ekonomi mereka sendiri. Kalau kita kembal i kepada pengertian dirnuka, bahwa perilaku ekonomi dapat dipengaruhi oleh berbagai nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, maka diduga berbagai motif ekonomi ini tidak bekerja secara tunggal saja akan tetapi bersifat jamak, dimana berbagai motif mendasari satu perilaku. Di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Tengah khususnya nilai-nilai keagaamaan cukup tebal. Bentuk-bentuk perilaku yang mengarah pada prestise serta menunjang kehidupan orang banyak cenderung lebih disukai dan diduga lebih banyak terjadi di pedesaan, oleh karena penjelasan Scott diduga cenderung masih banyak berlaku.
2.2.2.Kekuasaan dan Pembentukan Modal
Seorang sosiolog,Chinoy ( 1961 : 246) mengungkapkan bahwa dalam setiap hu bu ngan antar manusia maupun antar kelompok sosial , selalu tersimpul penger-
tian-pengertian kekuasaan dan wewenang. Demikian pula dalam proses pembentukan modal, aspek kekuasaan rnerupakan ha1 yang
penting, oleh karena salah satu
sumber kekuasaan adalah pemilikan harta atau modal. Secara sederhana kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelornpok orang untuk mempengaruhi fihak lain atau sekelompok orang lain menurut kehendak orang atau pihak yang memegang kekuasaan tersebut. Sekelompok orang tersebut dapat berbentuk lembaga, baik lembaga non formal maupun formal, pada tingkat desa maupun tingkat nasional, dimana mereka mempengaruhi melalui peraturan serta kebijaksanaannya dan dapat memaksa serta mengikat seke-
lompok orang lain untuk mematuhi kehendak yang memiliki kekuasaan. Bentuk kekuasaan yang konkrit dalam artian ini misalnya adalah peraturan serta organisasi sosial negara yang menggerakkan kultuurstelsel pada masa kolonial di Jawa, kebijaksanaan Pemerintah Republik dalam mengusahakan swasembada pangan, melalui program Bimas, Inmas, Insus, dan lain sebagainya. Pembicaraan tentang kaitan antara kekuasaan politik dengan ekonomi pada hakekatnya hampir setua pembicaraan tentang ekonomi itu sendiri. Antara permasalahan ekonomi dengan kekuasaan merupakan dinamika gerak timbal baiik diantara keduanya.
Dalam ekonomi klasik, kaum merkantilis menganggap bahwa
tujuan ekonomi dengan tujuan politik itu hampir tidak dapat dibedakan; bertambahnya kekayaan berarti bertambahnya kekuasaan, dan kekuasaan haruslah digunakan langsung untuk meningkatkan kekayaan (Smelser, N. 1990 : 24). Hubungan antara kekuasaan dengan surplus produksi serta modal juga dibahas oleh Lenski (1966). Berkaitan dengan kekuasaan ini Lenski (1966 : 44) mengemukakan dua dalil dasar. Pertama bahwa manusia akan membagi produk h a i l tenaga kerjanya pada kebutuhan yang lebih luas dan pertama-tama untuk
mengamankan survivalnya. Kelebihan produk lebih lanjut akan didistribusikan kepada pihak lain sepanjang orang tersebut dapat menguntungkan dirinya.
Dalil
yang kedua, bahwa kekuasaan itu akan menentukan distribusi hampir semua surplus yang ada dalam masyarakat. Dalam menjelaskan dua dalil ini Lenski berasumsi bahwa surplus produksi dalam masyarakat akan didistribsikan atas dua prinsip , yaitu atas dasar kebutuhan dasar (basic need) dan atas dasar kekuasaan, tergantung pada tingkat perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Pendapat diatas, menunjukkan bahwa penguasaan surplus produksi dalam masyarakat dapat menumbuhkan kekuasaan. Oleh karena surplus produksi dalam masyarakat yang lebih maju akan didistribusikan atas dasar kekuasaan. Sementara
itu menumpuknya kekuasaan akan menyebabkan berlakunya hakekat dari pada kekuasaan itu sendiri, yaitu kekuasan pada satu bidang misalnya pada bidang ekonomi akan dapat berkembang ke arah bidang-bidang lain, sesuai dengan sifat kekuasaan tersebut. Misalnya ia berkembang ke bidang politik, agama dan sebaliknya, sehingga lengkaplah pertautan antara kekuasaan dan penguasaan surplus produksi. Seperti disebut dimuka, kekuasaan dalam bahasan ini dapat berupa kekuasaan yang ada pada individu-individu pelaku ekonomi itu dan pada lembaga-lembaga pemerintah yang merencanakan serta mengatur pelaksanaan pembangunan. Kekuasaan tumbuh secara langkah demi langkah atas dasar penumpukan modal pada diri seseorang atau sekelompok orang. Turton (1987 : 48) mengungkapkan bahwa produksi merupakan dasar mata pencaharian, dan kontrol terhadap produksi dan sumberdaya merupakan suatu bentuk kekuasaan yang nyata. Hubungan produksi merupakan suatu kebulatan yang berkaitan dengan kontrol terhadap sumber daya sosial yang lain, serta kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Gambaran empiri tentang kekuasaan yang timbul oleh sebab adanya penguasaan modal antara lain dikemukakan oleh Husken dalam penelitiannya di Pati, Jawa Tengah yang mengungkapkan bahwa melalui penumpukan kekayaan, para petani kaya di Pati rnakin kuat terlibat dalarn proses
pengambilan keputusan pada ting-
kat desa, serta menjadi perantara dalam hubungan atas desa dengan desa yang bersangkutan (Hiisken 1989: 309). Kekuasaan yang melembaga seperti tersebut diatas pada hakekatnya merupakan kekuasaaan yang dapat rnemaksa rakyat ban yak untuk meng ikuti kehendak dari pemegang kekuasaan tersebut dan ha1 ini dapat disimak baik pada masa-masa penjajahan maupun selama empat masa Pelita di Indonesia. Dalam masa penjajahan, kekuasaan kolonial melalui berbagai kebijakannya seperti landrente, tanam
paksa, dan swastanisasi perkebunan-perkebunan mengakibatkan mengal irnya surplus produksi dari Jawa ke Negeri Belanda. Hal ini merupakan salah satu alasan yang disebut Geertz (1983) mengapa diantara penduduk di pedesaan Jawa tidak terbentuk akumulasi modal. Kekuasaan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang nampak selama empat Pelita "memgutamakan" pembangunan ekonomi serta stabilitas politik melalui pengupayaan swasembada pangan, membuat program pembangunan lebih
dipusatkan pada wilayah pedesaan lahan sawah di hilir. Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, di pedesaan hulu belum nampak upaya pembangunan yang seintensif di hilir. Dikemukakan oleh Levine dkk (1986 : 8-9), Kirom dkk (1987 : 4-5) dan Kalo (1986 : 4-6) bahwa lemahnya sentuhan pernbangunan di pedesaan di hulu, berupa pengembangan prasarana dan sarana sosial-ekonorni yang kurang, menyebabkan masyarakat pedesaan hulu menjadi relatif terisolir baik secara fisik maupun sosial yang pada gilirannya mengakibatkan keadaannya menjadi relatif terkebelakang. Keadaan yang relatif terbelakang ini nampaknya telah membawa kesulitan ekonomi bagi masyarakat petani disana. Beberapa peneliti, misalnya Collier (1978 : i), juga Tim KEPAS (1985 : 15) mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan
petani di pedesaan hulu relatif lebih rendah dibanding petani di pedesaan hilir. Masalah ketimpangan pemerataan pelaksanaan program-program pembangunan antara wilayah hulu dan hilir menarik untuk dilihat dari segi permasalahan modal pada tingkat pe tani , terutama dalam kaitan peluang-peluang untuk meningkatkan pemilikan modal penduduk di pedesaan. Gejala ketimpangan tersebut jika dibiarkan dapat menjadi permasalahan yang serius di masa mendatang. Disamping ketimpangan regional yang disebabkan pembangunan pertanian terlalu terkonsentrasinya di lahan sawah seperti yang disebutkan diatas, terdapat masalah lain yang tak kalah pentingnya, yaitu ketimpangan antar pelapisan ma-
syarakat, yang juga merupakan akibat dari perhatian pemerintah yang berlebihan kepada penduduk lapisan atas. Hart (1989) melihat adanya upaya pemerintah di beberapa negara di Asia Tenggara untuk menempatkan elite lokal sebagai patron pemerintah dalam rangka penyediaan pangan murah serta terciptanya stabilitas politik. Hart (1989: 31) menyebut gejala yang demikian sebagai state patronage , dimana di dalam mengupayakan meningkatnya perkembangan ekonomi dan stabilitas pol itik, para petani kaya menjadi partner pemerintah, melalui program-program bimbingan teknis dan kredit murah. Selanjutnya Hart mengernukakan bahwa state
patronage merupakan sesuatu yang sentral dalam pemahaman proses agraria. State patronage tidak hanya berpengaruh pada bentuk ekstraksi dan akumulasi, namun juga menumbuhkan ketegangan dan pertentangan yang dapat menjadi sumber yang penting bagi perubahan dan diferensiasi. Dalam ha1 ini Hiiskens (1989 : 327) juga mengamati ha1 yang sama dimana kebijaksanaan pertanian di Indonesia difokuskan pada elite lokal sebagai agen yang utama, baik dalam ha1 stabilitas ekonomi maupun pertumbuhan ekonomi dengan menawarkan kepada mereka teknologi baru, kredit murah, serta sistem pemasaran yang efisien. Dua pokok yang berkaitan dengan program pemerintah dalam mengejar swasembada pangan, pertama yaitu program peningkatan produksi yang terkonsentrasi pada lahan sawah dengan perbaikan dan pembangunan pengairan pemberian kredit murah serta bimbingan teknis melalui program Bimas, Inmas dan Insus. Kedua, digunakannya petani lapisan atas sebagai partner dalam pengupayaan pembangunan ekonomi dan stabil itas nasional, menjadikan pembangunan tidak seimbang antara lapisan atas dan lapisan bawah. Ketidakseimbangan antara wilayah hulu dan hilir menjadikan petani lahan kering di hulu ketinggalan dalam berbagai
aspek. dan pada gilirannya perbedaan sarana dan prasarana di kedua wilayah tersebut akan mempengaruhi pula peluang dalam meningkatkan surplus produksi serta
pembentukan modal. 2.2.3. Produksi, Surplus Produksi dan Pengaruhnya terhadap Pembentukan Modal
Erat kaitannya dengan masalah pembentukan modal adalah masalah proses dan cara produksi. Melalui proses produksi ini dapat dinilai pembentukan modal terjadi atau tidak terjadi. Pengertian produksi di kalangan para ahli pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam, pertama proses produksi, yang mencakup tahapan serta berbagai proses menghasilkan suatu barang dan jasa, dengan satuan analisa usahatani atau rumahtangga. Termasuk dalam pengertian ini proses produksi dalam usahatani padi misalnya, yaitu bagaimana rumahtangga petani mengkombinasikan berbagai faktor produksi untuk mengasilkan suatu produk, artian ini termasuk artian yang pertama. Kedua adalah cara produksi (mode of pduction) , menurut Alavi (1987: 206) pengertian cara produksi menunjuk pada hubunganhubungan sosial dalam produksi dan menentukan identitas klas-klas mendasar yang terkait padanya, yaitu dalam cara produksi dimana suatu klas terhisap oleh klas bukan produsen yang menghisap. Di dalam hubungan tersebut berkembang suatu cara produksi. Pada hakekatnya istilah ini menunjuk pada struktur-stuktur yang bertalian dengan tatanan masyarakat, yaitu bagaimana bentuk hubungan berbagai kelompok dalam masyarakat dalam proses produksi. Kedua pengertian d iatas, dimana masing-masing menekankan proses dan
cara, keduanya saling melengkapi akan dipakai secara bersama-sama dalam pembahasan modal dan pemkntukan modal. Melalui artian yang pertama diharapkan dapat diungkapkan dinamika ekstraksi surplus produksi dalam suatu bidang usaha, sedangkan melalui artian yang kedua, diharapkan dapat diungkapkan dinamika serta hubungan produksi antar petani atau pengusaha / satuan usaha dalam
berbagai pola penguasaan tanah serta asset produksi lainnya. Dalam upaya memahami proses produksi dalam rumahtangga petani, perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, perilaku rumahtangga petani berbeda dengan perilaku ekonomi dalam perusahaan besar, sehingga harus dijelaskan dengan kerangka pemahaman yang khusus yang berbeda dengan teori ekonomi perusahaan. Hal ini disebabkan karena perusahaan hanya berfungsi sebagai unit produksi saja, sedangkan rumahtangga di pedesaan selain merupakan unit produksi juga merupakan unit konsumsi dan reproduksi ( White 1976 : 255, P. Sayogyo 1983 : 49). . Sejalan dengan pemikiran diatas, penel itian mengartikan proses produksi sebagai aktivitas manusia yang menghasil kan atau meningkatkan sumberdaya (Netting. 1984 ). Dalam artian ini termasuk aktivitas manusia dalam bidang usaha tani maupun aktivitas di luar usahatani yang langsung menyumbang pendapatan rumahtangga petani. Seperti diketahui kebanyakan penduduk di wilayah pedesaan menerapkan strategi nafkah berganda, artinya rumahtangga petani tidak hanya bergantung pada satu sumber nafkah saja, akan tetapi mempunyai beberapa sumber nafkah sekaligus yang dipakai untuk menopang ekonomi rumahtangga. Dalam ha1 ini butir-butir yang mana yang merupakan aspek produksi dalam rumahtangga
petani perlu ditentukan, untuk itu akan dipakai konsep White (1976: 209,235) yaitu segala kegiatan yang langsung menghasilkan meliputi pekerjaan upahan (tunai atau natura) dan pekerjaan tanpa upah (dalam usaha sendiri) yang menyumbang terhadap pendapatan rumahtangga. Y ang kedua, sebagaimana umumnya dalam proses produksi digunakan modal produktif (productive capital), yakni uang atau barang yang digunakan secara langsung dalam kegiatan produksi. Banyaknya modal produktif yang digunakan oleh penduduk di pedesaan antara lain tergantung pada asset yang dimiliki. Umumnya besarnya modal produktif berbanding lurus dengan asset yang dimiliki
seseorang. Makin banyak kekayaan serta barang-barang modal lain yang dimiliki C,
(asset) makin besar pula modal produktifnya. Modal produktif juga dipengaruhi oieh tersedia tidaknya atau digunakan tidaknya kredit produksi.
Petani yang
memperoleh kredit melalui program Bimas serta program-program lain (sepanjang kredit tersebut digunakan dalam proses produksi) mempunyai peluang yang lebih besar dalam memperoleh surplus produksi dan produksi lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak memperoleh. Dalam kaitan ini pendapatan bersih satuan usaha merupakan selisih antara pendapatan kotor dikurangi biaya operasional ittau biaya yang dikeluarkan dalam danlatau untuk kegiatan produksi. Surplus produksi merupakan sisa pendapatan berbagai kegiatan diatas setelah dikurangi konsumsi.
rumahtangga petani dari Dengan demikian suatu
surplus usahatani atau satuan usaha dapat . negatif, atau tidak menghasilkan surplus sama sekali. Surplus tidaknya suatu usahatanil satuan usaha banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain luas usaha atau besarnya modal produktif, ada tidaknya gangguan terhadap proses produksi, misalnya hama, banjir, atau turunnya harga yang sangat drastis.
Surplus produksi dapat berwujud sebagai tabungan
dalam berbagai bentuk, dan dapat pula diinvestasikan. sehingga terjadi pembentukan modal. namun surplus produksi ini dapat pula dikonsumsi kembali. Surplus produksi dapat dianggap sebagai masukan kedalam proses pembentukan modal bila penundaan pengkonsumsian langsung itu mengandung harapan terjadinya peningkatan konsumsi di masa mendatang. Harapan terhadap "penundaan konsumsi terhadap peningkatan konsumsi di masa mendatang" merupakan tolok ukur dalarn penelitian ini untuk menentukan apakah surplus produksi tersebut merupakan bagian dari
investasi atau bukan (lihat Firth 1969: 20). Melalui proses produksi ini dapat dilihat bagaimana pembentukan modal tergantung pada besarnya modal produktif, pendapatan bersih, pengeluaran produk-
tif, pengeluaran konsumtif serta besarnya tabungan yang tidak digunakan. Selain itu pembentukan modal juga dipengaruhi oleh "skill" dalam manajemen usahatani.
Makin tinggi pengetahuan serta pengalaman petani terhadap bidang usahanya, serta makin tinggi motivasi untuk memperoleh keuntungan/produksi tinggi, makin besar produksi yang dihasilkan. Ketiga, dalam proses produksi kita mengenal sifat pengusahaan suatu usahatani, yaitu sifat yang subsisten dan pengusahaan yang bersifat komersial, akumulasi, atau tani dagang. Ciri yang menonjol dari sifat pengusahaan usahatani subsisten adaiah digunakannya tenaga kerja ketuarga sebagai sumber tenaga utama, luas garapannya umumnya sempit, kurang atau sedikit menggunakan pupuk dan obatobatan pembasmi hama, serta sebagian besar hasilnya digunakanldikonsumsi sendiri. Usahatani yang bersifat komersial umumnya terdapat pada usahatani luas, menggunakan tenaga kerja upahan sebagai sumber tenaga utama, dan sebagian besar hasilnya dijual . Perbedaan sifat antara sifat pengusahaan yang subsistensi dan komersial terlihat juga dalam penggunaan kelembagaan kerja yang ada. Umumnya pengusahaan yang bersifat komersial cenderung menggunakan kelembagaan kerja yang terbebas dari kewajiban menanggung beban komunai seperti tebasun, dun ngepak-ngedok, serta upah harian. Selanjutnya, pem bentukan modal dapat pula disoroti pada aras komunitas petani, pertama kemampuan komunitas melalui organisasi-organisasi sosialnya dalam membentuk modal yang terlihat pada kemampuan komunitas untuk membangun fasil itas-fasilitas sosial bagi kepentingan bersama, termasuk didalamnya melihat suatu komunitas dukuh atau desa sebagai suatu kesatuan dalam hubungan antara kumuni~astersebut dengan komunitas lain pada aras yang sama (dukuh lain) atau aras yang berbeda (desa lain atau kota) dalam membentuk modal. Dari segi pembentukan modal keberadaan suatu desa atau dukuh terhadap desa / dukuh
lainnya dapat berperan sebagai sumber pembentuk dam namun dapat pula sebagai dukuh Idesa yang harus dibantu. Secara teknis sumbangan rnasyarakat terhadap pembangunan desa rnelalui pos "swadaya masyarakat" dapat mencerminkan pembentukan modal jenis ini, selain melalui perhitungan inferensi secua kumulatif dari rumahtangga-rumahtangga di pedesaan. Kedua melihat hubungan rumahtangga petani 1 satuan usaha di berbagai lapisan sosial serta tipe wilayah dalam pembentukan modal. Pembahasan yang kedua ini pada hakekatnya merupakan pembahasan cara produksi, yaitu antara lain ingin rnelihat bagaimana rnekanisme ekstraksi surplus produksi itu berlangsung dalam berbagai jenis atau corak penguasaan tanah yang ada, hubungan kerja agraris yang ada serta kelernbagaan desa yang ada. Dalam hubungan sosial yang bagaimananakah (kerjasama atau saling bersaing) pembentukan modal itu berlangsung di pedesaan. Sejauh mana nilai-nilai yang ada (konformitas, komersial) mempengaruhi hubungan diantara satuan produksi.
Deere dan De Janvry seperti dikutip oleh Husken (1989 : 318) mencatat bahwa terdapat beberapa mekanisme bagaimana surplus dapat diekstraksi dari petani, yaitu melalui pemilikan tanah pribadi (penyewaan baik dalam bentuk kontan maupun natura), melalui pasar (tenaga kerja, produksi dan uang), atau melalui negara (pajak). Berkaitan dengan ekstraksi surplus produksi, Frans Hiisken (1989: 318-322) dalam penelitiannya di Pati
rnengungkapkan bahwa bentuk persewaan tanah
dengan pembayaran tunai merupakan bentuk penggarapan tanah yang paling umum yang terdapat disitu, bukan merupakan ekstraksi surplus produksi bagi pemiliknya, ha1 ini disebabkan rendahnya sewa tanah tersebut.
Kebanyakan penyewa tanah
adalah petani marginal. sedangkan pemilik tanah umumnya pamong desa yang merugi dalarn spekulasi usaha dagang atau yang mengalami kekalahan dalam penca-
lonan kepala desa. Demikian pula pajak tanah bukan pula merupakan ekstraksi surplus produksi karena besarnya pajak relatif rendah, yaitu sekitar Rp. 4000.00
Rp 6000,00 - per kktar m k tanah sawah dan Rp 2000.00
-
- Rp.4UW,00 unt&
Selanjutnya Hiisken mengungkapkm bahwa mekanisme utama surplus produksi actatatr penyakapan, upah btrmh dan kmga tgnpa dibayar (corvee M&. Dalarn sistem penyakapan terdapat bentuk buruh yang tidak dibayar yaitu para penyakap yang bekerja ekstra untuk pemilik tanah di pekarangan dan mmahtangga pemilik tanah e a g a i bag&
dari kewajiban
Demibian pula rendahnya k e m W n per kitegram hasif yang dim& olefi para penyalc9p lebih rendah dari path Btuuh lepas, yaitll sekitar 25 persen nmtjadi alasan metrgapa disebut ekmksi u#pEus produksi taai