BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami suatu kondisi emosi tertentu, yang sering terlihat adalah emosi marah. Perasaan marah yang berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam satu bentuk tertentu dan pada objek tertentu disebut dengan perilaku agresif. Buss (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan perilaku agresif sebagai sebuah respons yang mengantarkan stimuli ‘beracun’ kepada makhluk hidup lain. Agar perilaku seseorang memenuhi kualifikasi agresi, perilaku itu harus dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya, dan sebaliknya menimbulkan harapan bahwa tindakan itu akan menghasilkan sesuatu bagi individu tersebut. Buss dan Perry (1992) mendefinisikan perilaku agresif sebagai suatu kecenderungan perilaku yang dilakukan secara sengaja untuk menyakiti orang lain secara fisik dan verbal, amarah dan permusuhan. Motif utama individu melakukan perilaku agresif adalah keinginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif yang ada pada individu
seperti perkelahian,
1
penghinaan, amarah, dan permusuhan, sehingga individu dapat mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif. Sejalan dengan definisi tersebut, Baron (dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan perilaku agresif adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Definisi yang dikemukakan oleh Baron mencakup empat faktor yaitu tingkah laku, tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku dan individu yang menjadi korban, dan ketidak inginan si korban menerima tingkah laku si pelaku. Myers (2012) mendefinisikan perilaku agresif sebagai perilaku fisik atau verbal yang dimaksudkan untuk menyebabkan kerusakan. Perilaku yang termasuk dalam definisi agresi ini, yaitu menendang dan menampar, mengancam dan menghina, bahkan bergunjing (gosip) atau menyindir. Berkowitz (dalam Sarwono 2009) mendefinisikan perilaku agresif merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang atau institusi terhadap orang atau institusi lain yang sejatinya disengaja. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dapat disimpulkan perilaku agresif adalah suatu kecenderungan perilaku yang dilakukan individu secara sengaja untuk menyakiti orang lain baik secara fisik, verbal, amarah dan permusuhan.
2
2.1.2 Aspek-aspek perilaku agresif Aspek-aspek perilaku agresif yang dikemukakan oleh Buss dan Perry (1992) mencakup : a. Agresi fisik Agresi fisik adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang, melukai, dan melanggar hak orang lain yang dilakuaka secara fisik. b. Agresi verbal Agresi verbal adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang, melukai, dan melanggar hak orang lain berupa perkataan dan ucapan kasar atau kotor. c. Amarah Amarah adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sehjumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik, dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan. d. Permusuhan Permusuhan adalah kecenderungan untuk menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada orang lain kecenderungan melontarkan rasa amarah pada orang lain.
3
2.1.3 Faktor-faktor pengarah dan pencetus agresi Sebagaimana umumnya tingkah laku agresi bukanlah variabel yang muncul secara kebetulan atau otomatis, melainkan variabel yang muncul karena terdapat kondisi-kondisi atau faktor-faktor tertentu yang mengarahkan dan mencetuskan tingkah laku agresi. Koeswara (1988) mengemukakan dua faktor pengarah dan pencetus munculnya agresi, yaitu: 1. Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal), yaitu frustasi, stress, dan deindivisualisasi. 2. Faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu (eksternal), yaitu kekuasaan dan kepatuhan, konformitas teman sebaya, kehadiran senjata, provokasi, obat-obatan dan alkohol, dan suhu udara.
2.1.4 Strategi untuk mengurangi agresi Beberapa stretegi yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat agresi yang dikemukakan oleh Krahe (2005) adalah: 1. Katarsis Ide tentang katarsis yang dimunculkan oleh Freud (1920) dan Lorenz (1974) menyatakan bahwa ventilasi perasaan bermusuhan dapat melepaskan impuls-impuls agresif yang secara temporer mengurangi kemungkinan perilaku agresif. Kemungkinan melepaskan energi destruktif melalui perilaku ekspresif yang nonagresif misalnya seperti: membuat lelucon dapat mengurangi tingkat perilaku agresi. Selain itu, kemungkinan melepaskan energi agresif dengan cara yang terkontrol dan secara sosial dapat diterima,
4
misalnya melalui pertandingan olahraga merupakan katarsisi yang dapat mengendalikan perilaku agresif. Ketika fisik lelah, diperkirakan perilaku agresif akan turun. 2. Hukuman Hukuman dimaksudkan untuk mendapatkan akibat yang diinginkan, maka hukuman itu harus dimasukkan ke dalam pendekatan yang lebih umum ke arah belajar instrumental yang tujuan utamanya adalah memberi hadiah/penghargaan
pada
perilaku
yang
diinginkan
dan
bukan
menghukum perilaku yang tidak diinginkan. 3. Mengelola kemarahan Kemarahan dan rangsangan afektif negatif memainkan peran kunci dalam banyak pengekspresian perilaku agresif. Dengan demikian, pemberian kemungkinan untuk mengontrol kemarahan efektif dalam mengurangi agresi bermusuhan seseorang. Fokus pendekatan manajemen kemarahan adalah menunjukkan kepada individu agresif tentang model kemarahan yang bisa dimengerti dan hubungannya dengan kejadian, pikiran, serta perilaku kekerasan yang dipicu olehnya. 4. Belajar melalui observasi Menyaksikan tokoh panutan non-agresif dimaksudkan untuk mendapatkan repertoar perilaku baru di mana pola-pola respons agresif dapat digantikan untuk jangka waktu yang lebih lama. Mengamati orang yang berperilaku non-agresif bisa mengurangi performa tindakan agresif pengamatnya.
5
2.2. Konformitas Teman Sebaya 2.2.1 Pengertian Konformitas Teman Sebaya Remaja hidup dalam lingkungan sosial yang cenderung mencoba menyesuaikan diri agar dapat diterima oleh teman sebaya di sekelilingnya. Usaha yang dilakukan individu yang termudah adalah dengan melakukan tindakan yang sesuai dengan individu lain sehingga dapat diterima secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial sering disebut sebagai konformitas teman sebaya. Sears,dkk (1999) mengemukakan bahwa apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh orang lain juga menampilkan perilaku tersebut, maka hal ini disebut dengan konformitas. Individu cenderung menampilkan
konformitas karena individu menggunakan informasi yang
diperoleh dari orang lain, karena mempercayai orang lain, dan karena individu takut menjadi orang yang menyimpang dari masyarakat sosial lainnya. Konformitas seringkali bersifat adaptif karena individu perlu menyesuaikan diri terhadap orang lain dan juga karena tindakan orang lain bisa memberikan informasi mengenai cara yang paling baik untuk bertindak dalam keadaan tertentu. Baron dkk (dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) menyebutkan konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial. Sejalan dengan pendapat itu, Myers (2012) mengemukakan bahwa konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan seseorang sebagai akibat dari tekanan kelompok.
6
Konformitas tidak hanya bertindak sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh orang lain, tetapi juga berarti dipengaruhi oleh bagaimana orang lain bertindak. Konformitas (conformity) muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka (Santrock, 2003). Konformitas teman sebaya dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan remaja dalam hal penampilan, bahasa, nilai-nilai, aktivitas, dan lain-lain. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dinyatakan bahwa konformitas adalah bertindak atau berfikir secara berbeda dari tindakan dan pikiran yang biasa individu lakukan jika sedang sendiri, sehingga perubahan perilaku atau kepercayaan yang terjadi dapat selaras dengan orang lain.
2.2.2 Jenis Konformitas Menurut (Nail dkk, dalam Myers 2012) terdapat tiga jenis konformitas, diantaranya adalah : a. Pemenuhan (compliance) Pemenuhan adalah konformitas yang termasuk pada
beraksi dalam
persetujuan dengan permintaan tersirat maupun tersurat sementara pribadi tidak setuju. b. Kepatuhan Kepatuhan adalah bertindak sesuai dengan perintah langsung. c. Penerimaan (acceptance) Penerimaan adalah konformitas yang melibatkan baik bertindak dan menyakiti agar sesuai dengan tekanan sosial.
7
2.2.3 Aspek-aspek Konformitas Sears,dkk (1999) mengemukakan bahwa konformitas remaja ditandai dengan adanya 3 aspek, yaitu : a. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggotanya yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. b. Kesepakatan Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. c. Ketaatan Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya juga akan tinggi.
8
2.2.4 Faktor yang mempengaruhi Konformitas Sears,dkk (1999) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas yaitu: a. Kurangnya informasi Individu melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang lain karena orang lain mempunyai informasi yang tidak mereka miliki. Oleh karena itu tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi ditentukan oleh mutu informasi yang dimiliki orang lain dan kepercayaan diri terhadap penilaian diri sendiri. b. Kepercayaan terhadap kelompok Individu berusaha untuk mempercayai atau bahkan tidak mempercayai informasi yang dimiliki oleh kelompoknya. Dalam situasi ini, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari apakah kelompoknya menganut pandangan yang bertetangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh karena itu semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompoknya. Bila individu tersebut berpendapt bahwa kelompok benar, dia akan mengikuti
apa
pun
yang
dilakukankelompok
tanpa
mempedulikan
pendapatnya sendiri. Demikian pula bila kelompok mempunyai informasi penting yang belum dimiliki individu, konformitas konformitas akan semakin meningkat.
9
c. Kepercayaan yang lemah terhadap diri sendiri Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Jika kepercayaan terhadap penilainnya sendiri tinggi, maka tingkat konformitas menurun. Faktor yang mempengaruhi keyakinan individu terhadap kecakapannya adalah tingkat kesulitan yang dibuat. Semakin sulit penilaian tersebut, semakin rendah rasa percaya yang dimiliki individu, semakin besar kemungkinan bahwa dia akan mengikuti penilaian orang lain. d. Rasa takut terhadap celaan sosial Alasan utama individu melakukan konformitas adalah demi memperoleh persetujuan, atau menghindari celaan kelompok agar individu dapat berperilaku sesuai dengan norma yang ada. e. Rasa takut terhadap penyimpangan Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Individu tidak mau dilihat sebagai orang yang lain dari pada yang lain, individu tidak ingin tampak seperti orang lain. Individu menginginkan agar kelompok tempat individu tersebut berada menyukai, memperlakukannya dengan baik, dan bersedia menerimanya. Individu khawatir bahwa bila berselisih paham dengan mereka, mereka tidak akan menyukai individu tersebut dan dianggap sebagai orang yang tidak berarti. Individu cenderung untuk menyesuaikan diri untuk menghindari akibat-akibat seperti itu.
10
2.3. Hubungan antara Konformitas Teman Sebaya dengan Perilaku Agresif Hubungan dengan teman sebaya merupakan sumber pengaruh sosial yang sangat relevan dengan agresi. Perilaku agresif merupakan suatu kecenderungan perilaku yang dilakukan oleh individu secara sengaja untuk menyakiti orang lain baik secara fisik, verbal, amarah dan permusuhan (Buss dan Perry 1992). Perilaku agresif pada remaja dapat terjadi karena hasil interaksi atau saling berhubungan antara berbagai macam faktor. Perilaku agresif muncul karena dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi deindividualisasi.
munculnya
perilaku
agresif
Sedangkan faktor-faktor
adalah
frustasi,
eksternal yang
stress
dan
mempengaruhi
munculnya perilaku agresif adalah kekuasaan dan kepatuhan, konformitas teman sebaya, kehadiran senjata, provokasi, obat-obatan dan alkohol, dan suhu udara (Koeswara, 1988). Sehingga, salah satu penyebab terjadinya perilaku agresif dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu konformitas teman sebaya. Konformitas Teman Sebaya merupakan perubahan perilaku sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok acuan baik ada maupun tidak ada tekanan secara langsung yang berupa suatu tuntutan tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok tersebut. Konformitas teman sebaya dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan remaja dalam hal penampilan, bahasa, nilai-nilai, aktivitas, dan lain-lain.
11
2.4. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Priantoro (2002) mengenai Hubungan Antara Konformitas Kelompok dengan Perilaku Agresif pada Siswa-siswi Kelas 1 Reguler SMU Islam PB Sudirman Jakarta menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara konformitas kelompok dengan perilaku agresif pada remaja. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Priantoro (2002), maka penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2009) mengenai Hubungan Antara Konformitas Kelompok dengan Kecenderungan Agresi pada Anggota Kelompok Balap Motor Liar menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi pada anggota kelompok balap motor liar. Dari hasil analisis penelitian diperoleh nilai p antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi sebesar 0,007 Koefisien korelasi antara konformitas kelompok dengan kecenderungan agresi sebesar 0,483 dan menunjukkan korelasi yang positif.
2.5. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif signifikan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku agresif pada siswa kelas XI SMK Saraswati Salatiga tahun ajaran 2012/2013.
12