7
BAB II LANDASAN TEORITIS A. Dividen Dividen adalah pembagian laba kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya saham yang dimiliki. Pembagian ini akan mengurangi saldo laba dan kas yang tersedia bagi perusahaan, tapi distribusi keuntungan kepada para pemilik memang adalah tujuan utama suatu bisnis (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Pada umumnya dividen dapat dibagikan kepada para pemegang saham apabila perusahaan memiliki Saldo Laba (Retained Earnings) positif. Dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), bahkan disebutkan bahwa “Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif”. Secara umum, perusahaan dapat membagi laba (dividen) jika perusahaan membukukan laba bersih dan memiliki saldo laba positif. Hal ini sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 21 tentang Akuntansi Ekuitas paragraf 22 yang menyatakan bahwa kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen. Dengan demikian, pada saat itulah saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Jelas, menurut PSAK, dividen akan dibebankan (didebet)
8
kepada saldo laba. Jika perusahaan memiliki saldo laba negatif, bagaimana mungkin akan membagi dividen? Karena jika membagi dividen, maka saldo laba akan semakin negatif. Berdasarkan Pasal 70 dan 71 Undang-Undang Perseroan Terbatas, sebelum dibagikan sebagai dividen, laba bersih harus disisihkan (dalam jumlah tertentu) terlebih dahulu untuk membentuk cadangan wajib sekurangkurangnya 20% dari modal yang ditempatkan. Artinya, apabila cadangan bersaldo negatif, berarti laba tidak boleh dibagikan sebagai dividen. Prinsip itulah yang wajar dilakukan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan. Pada hakekatnya, jika suatu perusahaan memiliki Saldo Laba bersaldo positif, berarti perusahaan memiliki akumulasi keuntungan dari periodeperiode sebelumnya sampai dengan tanggal neraca yang belum dibagikan dalam bentuk dividen. Sebaliknya, jika perusahaan memiliki saldo laba negatif berarti perusahaan tersebut membukukan akumulasi kerugian. Dalam hal ini, saldo laba (cadangan) digunakan diantaranya untuk menutup kerugian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. 1. Jenis-Jenis Dividen Dividen dapat dibagi menjadi tiga jenis: a. Dividen tunai, yaitu metode paling umum untuk pembagian keuntungan. Dibayarkan dalam bentuk tunai dan dikenai pajak pada tahun pengeluarannya. b. Dividen saham, cukup umum dilakukan dan dibayarkan dalam bentuk saham tambahan, biasanya dihitung berdasarkan proporsi terhadap jumlah
9
saham yang dimiliki. Contohnya, setiap 100 saham yang dimiliki, dibagikan 5 saham tambahan. Metode ini mirip dengan stock split karena dilakukan dengan cara menambah jumlah saham sambil mengurangi nilai tiap saham sehingga tidak mengubah kapitalisasi pasar. c. Dividen properti, dibayarkan dalam bentuk aset. Pembagian dividen dengan cara ini jarang dilakukan. 2. Dividen Dalam Peraturan Perpajakan Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, dividen merupakan objek pajak yang harus dikenakan Pajak Penghasilan. Pasal 23 mengatur mengenai dividen yang dibayarkan atau terutang oleh subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, sedangkan Pasal 26 mengatur mengenai dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Ditegaskan pula bahwa termasuk dalam pengertian dividen juga adalah: a. pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
10
b. pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; c. pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; d. pembagian laba dalam bentuk saham; e. pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; f. jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; g. pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; h. pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; i.
bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
j.
bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
k. pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; l.
pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Menurut Undang-Undang ini, pengertian dividen sifatnya sangat luas tidak
terbatas pada pembagian dividen yang sifatnya formal saja. Apalagi di bagian penjelasan Undang-Undang ini juga ditambahkan pengertian dividen
11
terselubung yang pada intinya ada pembagian laba namun mengambil bentuk lain supaya tidak terlihat seperti dividen. Besarnya tarif PPh untuk dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap adalah 15% dari jumlah penghasilan bruto. Sedangkan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah penghasilan bruto.
B. Pajak Menurut Soemitro, seperti dikutip Waluyo dan Ilyas (2002) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Mengacu pada Mardiasmo (2006), pajak mempunyai dua fungsi yang berbeda dalam pelaksanaannya, antara lain: 1) Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara), Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin atau pembangunan dan juga pemerintah berusaha memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. 2) Fungsi Regulerend (Mengatur). Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi selain itu juga untuk
12
mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Contohnya Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi masyarakat terhadap minuman keras dan kebijakan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi atas barang-barang impor melindungi produk dalam negeri. 1. Pajak Penghasilan Salah satu jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Penghasilan merupakan sumber penerimaan negara dari pajak yang terbesar selain Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak Penghasilan dipungut langsung oleh negara melalui aparat Direktur Jenderal Pajak, pengenaannya tidak bisa dibebankan kepada orang lain dan dengan memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak sebagai subjeknya. Pajak Penghasilan dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak pribadi ataupun badan. Ketentuan mengenai Pajak Penghasilan saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Undang-Undang Pajak Penghasilan). 2.
Subyek dan Obyek Pajak Penghasilan Dalam Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan disebutkan siapa saja yang menjadi subyek pajak, selain itu disebutkan pula bahwa subyek pajak terdiri dari subyek pajak dalam negeri dan luar negeri. Subyek pajak adalah siapa yang akan dikenakan pajak.
13
Mengacu pada Rusjdi (2004), yang menjadi subjek pajak adalah: a. orang pribadi, b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak, c. badan, d. Bentuk Usaha Tetap. Obyek pajak adalah apa yang akan dikenakan pajak. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Mengacu pada Djuanda, Ardiansyah Lubis (2003), penghasilanpenghasilan yang menjadi obyek pajak antara lain: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c. Laba usaha. d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
14
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2) Keuntungan karena diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harga kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilaihan usaha. 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
15
j. Peneriman atau perolehan pembayaran berkala. k. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 3. Biaya Fiskal dan Non-Fiskal Menurut
Undang-undang
Pajak
Penghasilan,
biaya-biaya
dapat
digolongkan menjadi dua yaitu biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya fiskal/deductible expense) dan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya non-fiskal/non-deductible expense). Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, biaya-biaya yang menjadi pengurang penghasilan bruto adalah: a. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.
16
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harga yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing. f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. g. Biaya bea siswa, magang dan pelatihan. h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial. 2) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan. 3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus. 4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 9 disebutkan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, antara lain:
17
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota. c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi bea siswa, yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
18
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan, kecuali zakat atau penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. h. Pajak Penghasilan. i.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
j.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. 4. Pajak Penghasilan Pasal 26 Dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur mengenai pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang menjadi subjek PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak Luar Negeri (orang pribadi maupun badan) selain Bentuk Usaha Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.
19
Adapun penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 26 adalah: 1) Dividen, 2) Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, 3) Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, 4) Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan, 5) Hadiah dan penghargaan, 6) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya, 7) Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, 8) Premi asuransi, termasuk premi reasuransi, 9) Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi PPh suatu BUT (Branch Profit Tax), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. Atas penghasilan pada angka 1 sampai dengan 6 dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah penghasilan bruto. Atas penghasilan pada angka 7 dan 8 dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto. Dan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi PPh dari suatu BUT di Indonesia, kecuali ditanamkan kembali di Indonesia, dikenakan tarif pemotongan 20%.
20
Pemotongan PPh Pasal 26 bersifat final, kecuali: a. Pemotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT di Indonesia, b. Pemotongan atas penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud; c. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri atau BUT.
C. Pengelakan Pajak Bagi wajib pajak, baik itu pribadi maupun wajib pajak badan, pajak dianggap sebagai biaya, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha atau strategistrategi tertentu untuk menguranginya. Dalam usaha untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayar, terdapat beberapa tindakan baik yang dapat merugikan negara maupun yang tidak. 1. Penghindaran Pajak Suatu perencanaan pajak atau disebut juga penghindaran pajak, harus dengan jelas dibedakan dengan penyelundupan/penggelapan pajak. Antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai perbedaan yang fundamental, namun kemudian perbedaan tersebut menjadi kabur baik secara
21
teori maupun aplikasinya. Walaupun pada dasarnya antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama yaitu mengurangi beban pajak, namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful). Perencanaan pajak sesungguhnya merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan dibayarkan kepada negara dengan cara penghindaran pajak dan bukan penyelundupan pajak. Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang legal, dimana tidak ada suatu pelanggaran hukum dan akan diperoleh penghematan pajak dengan cara mengendalikan tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki. Sedangkan penyelundupan pajak merupakan tindakan ilegal yang melanggar perundang-undangan perpajakan dimana bila hal tersebut dilakukan, Wajib Pajak akan dikenai sanksi perpajakan. Ada beberapa pendapat para ahli yang membedakan definisi antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak, antara lain: a. James dan Prest yang diterjemahkan oleh Zain (2003) mendefinisikan, “Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara ilegal atas penghasilannya untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang, sedangkan
penghindaran
pajak
diartikan
sebagai
manipulasi
penghasilannya secara legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan
22
perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.”. b. Anderson yang diterjemahkan oleh Zain (2003)
mendefinisikan,
“Penyelundupan pajak adalah pengelakan pajak yang melanggar undangundang pajak, sedangkan penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.”. Cara lain yang dapat dilakukan wajib pajak untuk mengefisienkan beban pajak adalah dengan penghematan pajak (Tax Saving), yaitu pengelakan pajak dengan cara tidak membeli produk-produk yang ada Pajak Pertambahan Nilai atau sengaja mengurangi jam kerja sehingga penghasilannya menjadi kecil. Secara teoritis, terdapat perbedaan antara penghematan pajak dengan penghindaran pajak. Penghematan pajak adalah usaha memperkecil pajak yang tidak termasuk dalam lingkup pemajakan, sedang penghindaran pajak adalah usaha
memperkecil pajak dengan memanfaatkan celah-celah
(loopholes) dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Penyelundupan Pajak Penyelundupan pajak adalah pengelakan pajak untuk meminimalisasi pajak secara ilegal yang melanggar peraturan perpajakan. Dalam manajemen pajak, penyelundupan pajak tidak sejalan dengan prinsip manajemen. Tujuan manajemen pajak sangat jauh dari penyelundupan pajak, sehingga cara pengelakan seperti ini tidak dianjurkan. Mengacu pada Oldman yang diterjemahkan Zain (2003) penyelundupan pajak tidak hanya dikarenakan pada
23
kecurangan dan penggelapannya saja, namun termasuk kelalaian dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Kelalaian tersebut, antara lain disebabkan oleh: a. Ketidaktahuan (ignorance), dimana wajib pajak tidak tahu atau tidak paham atas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Kesalahan (error), dimana wajib pajak paham dan mengerti tentang ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi terjadi kesalahan dalam penghitungan data. c. Kesalahpahaman (misunderstanding), dimana wajib pajak salah dalam menafsirkan maksud ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. d. Kealpaan (negliance), dimana wajib pajak lalai dalam melakukan penyimpanan atas buku dan bukti-bukti transaksi secara lengkap. Ada beberapa cara yang biasa dilakukan oleh Wajib Pajak dalam upaya penyelundupan atau penggelapan pajak, diantaranya adalah: a. Merendahkan (memperkecil) penghasilan yang diperoleh dengan cara antara lain, hanya melaporkan sebagian penghasilan yang diperoleh atau tidak melaporkan seluruh penghasilan, atau merendahkan harga jual maupun kuantitas harga barang yang dijual. b. Meninggikan (memperbesar) harga pokok barang yang dijual dengan cara antara lain meninggikan harga pembelian, membuat pembelian fiktif, membebankan Pajak Masukan yang telah dikreditkan ke dalam harga pokok penjualan.
24
c. Meninggikan (memperbesar) biaya usaha dengan cara antara lain membuat utang fiktif guna memperbesar biaya bunga dan biaya fiktif yang tidak didukung dokumen ekstern. d. Meninggikan harga impor barang atau jasa dari perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri. e. Merendahkan besarnya penghasilan pegawai atau pembayaran lainnya dalam rangka penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21, sementara dalam perhitungan Pajak Penghasilan perusahaan ditinggikan. f. Pembayaran dividen kepada pemegang saham secara terselubung dengan cara menciptakan seolah-olah pembayaran bunga utang sebagai upaya untuk menghindarkan pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pajak Penghasilan Pasal 26. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak yang melakukan penyelundupan pajak akan dikenai sanksi perpajakan.
D. Hubungan Istimewa Ketentuan mengenai hubungan istemewa diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Berdasarkan ketentuan tersebut, hubungan istimewa dianggap ada apabila: 1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25 % atau lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan 25 % atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih,
25
demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. 2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan Wajib Pajak yang sama baik langsung maupun tidak langsung. 3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat. Hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu dan anak. Hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah kakak dan adik. Hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri. Hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar. Apabila antara suami isteri mempunyai perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan antara suami isteri tersebut termasuk dalam pengertian istimewa. Berdasarkan ketentuan tersebut, ada dua jenis hubungan istimewa yang dikenal dalam perpajakan, yaitu: 1. hubungan istimewa untuk perseorangan, 2. hubungan istimewa untuk badan. Yang dimaksud dengan hubungan istimewa untuk perseorangan ialah hubungan keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat atau keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus ke samping satu derajat.
26
Hubungan istimewa untuk badan adalah hubungan antara dua atau lebih Wajib Pajak yang berada di bawah pemilikan atau penguasan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung. Adapun yang dimaksud dalam hubungan istimewa dalam arti penguasaan adalah apabila Wajib Pajak dapat mempengaruhi
jalannya
Wajib
Pajak
tersebut,
atau
sebaliknya
(Lumbantoruan, 1996). Selain dari pengertian di atas, masih ada arti hubungan istimewa untuk Wajib Pajak badan, yaitu hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% atau lebih pada pihak yang lain, atau hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang tersebut terakhir. Pengertian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini. PT A
Saham 25%
Saham 30%
Saham 40%
PT B
PT C
PT D
Gambar 2.1 Skema Hubungan Istimewa Untuk Wajib Pajak Badan
27
Pemahaman bahwa di antara PT ABC dengan DEF terdapat hubungan istimewa merupaka suatu hal yang sangat penting dalam perpajakan. Dari sisi akuntansi, adanya hubungan istimewa memang tidak terlalu penting, namun tidak demikian halnya untuk perpajakan. Hubungan istimewa antara dua perusahaan dapat dimanfaatkan untuk menghindari pajak, yakni dengan melakukan
berbagai
cara
yang
tujuannya
memperkecil/menghindari
pengenaan pajak, sehingga secara keseluruhan akan menguntungkan perusahaan, namun di sisi lain akan merugikan negara. Contohnya adalah dengan melakukan transaksi penjualan di bawah harga wajar atau melakukan pembayaran dividen terselubung untuk menghindari Pajak Penghasilan Pasal 23/26.
E. Piutang Piutang dalam arti luas diartikan sebagai semua hak atau klaim terhadap pihak lain atas uang, barang atau jasa. Namun untuk tujuan akuntansi, piutang memiliki arti yang lebih sempit yaitu klaim yang diharapkan akan diselesaikan melalui penerimaan uang (www.bpkp.go.id). Sementara itu menurut Sophar Lumbantoruan (1996), piutang ialah hak perusahaan kepada pihak lain yang akan diterima dalam bentuk kas. Untuk keperluan fiskal (pajak) sebaiknya pencatatan akuntansi memisahkan antara piutang kepada pihak yang ada dalam hubungan istimewa dengan pihak lainnya. Pemisahan ini dimaksudkan untuk mempermudah fiskus (Pemeriksa
28
Pajak) mengetahui apakah Wajib Pajak melakukan penghindaran pembayaran pajak. Piutang pada umumnya berasal dari penjualan barang dagang atau jasa secara kredit. Piutang semacam ini normalnya diperkirakan akan tertagih dalam periode waktu yang pendek dan diklasifikasikan sebagai aktiva lancar. Sementara itu, piutang lain-lain biasanya disajikan secara terpisah dalam neraca. Jika piutang ini diharapkan akan tertagih dalam satu tahun, maka piutang tersebut diklasifikasikan sebagai aktiva lancar. Jika penagihannya lebih dari satu tahun, maka piutang ini diklasifikasikan sebagai aktiva tidak lancar. Piutang lain-lain ini meliputi piutang bunga, piutang pajak, piutang dari pejabat atau karyawan perusahaan, dan piutang lainnya. 1. Piutang dalam Hubungan Istimewa Piutang dalam hubungan istimewa pada umumnya berasal dari transaksi yang dilakukan dengan pihak dimana perusahaan mempunyai hubungan istimewa. Penyajian piutang dalam hubungan istimewa tidak diharuskan dalam akuntansi dan tidak lazim, namun untuk kepentingan perpajakan, penyajian piutang dalam hubungan istimewa merupakan suatu hal yang penting. Piutang dalam hubungan istimewa dapat timbul karena terjadi transaksitransaksi seperti di bawah ini: a. Pengeluaran atau pembebanan yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk pihak lain dalam hubungan istimewa untuk biaya suatu usaha, seperti sewa kantor, asuransi, listrik dan lain-lain.
29
b. Peminjaman dana. c. Transaksi penyerahan barang atau jasa. Dalam praktek bisnis harga yang dibebankan kepada pihak pembeli bisa dengan harga yang tidak wajar, misalnya menjual aktiva dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga aktiva sejenis. Sesuai dengan ketentuan perpajakan, transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus diperhitungkan dengan harga wajar. Definisi harga wajar disini adalah harga yang berlaku umum atau sama apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Selisih antara harga transaksi dengan harga wajar harus dianggap sebagai pembayaran dividen terselubung. 2. Piutang Tak Tertagih Meskipun piutang merupakan hak perusahaan, namun ada kemungkinan bahwa sebagian atau bahkan seluruh piutang yang dimiliki oleh perusahaan tidak dapat ditagih. Piutang yang tidak dapat ditagih merupakan kerugian bagi perusahaan, yakni penurunan laba dan aset perusahaan, dan pada akhirnya akan mengurangi ekuitas pemilik. Pada umumnya perusahaan mengestimasi piutang yang tidak dapat ditagih setiap periodenya, dan kemudian mencatatatnya sebagai beban piutang tak tertagih. Terdapat dua metode akuntansi untuk mencatat piutang yang diperkirakan tidak akan tertagih, yaitu metode penyisihan dan metode penghapusan. Metode penyisihan membuat akun beban piutang tak tertagih di muka sebelum
30
piutang tersebut dihapus, sedangkan metode penghapusan langsung mengakui beban hanya pada saat piutang dianggap benar-benar tidak dapat ditagih lagi. a. Metode Penyisihan (Allowance Method) Metode penyisihan menekankan pada pelaporan beban piutang tak tertagih dalam periode dimana penjualan terkait terjadi. Metode ini dilakukan dengan membuat akun beban piutang tak tertagih dimuka dengan cara mengestimasi atau memperkirakan besarnya piutang yang tak tertagih. Pada saat piutang tersebut dapat dipastikan tak tertagih sama sekali, barulah piutang tersebut dihapuskan dari akun penyisihan. Estimasi piutang tak tertagih pada akhir periode didasarkan pada pengalaman perusahaan di masa lalu dan prediksi kegiatan perusahaan di masa depan. Estimasi piutang tak tertagih biasanya didasarkan pada jumlah penjualan atau jumlah piutang. b. Metode Penghapusan Langsung (Direct Write-off Method) Ada situasi dimana tidak mungkin untuk mengestimasi secara akurat piutang tak tertagih pada akhir periode. Disamping itu, kadang kala piutang hanya merupakan bagian kecil dari total aktiva lancar. Dalam hal ini metode yang digunakan untuk mencatat beban piutang tak tertagih adalah metode penghapusan langsung. Berdasarkan metode ini, beban piutang tak tertagih tidak dicatat sampai piutang tersebut diputuskan tidak akan tertagih lagi. Dalam Pasal 6 Undang-Undang PPh disebutkan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibiayakan oleh perusahaan dan
31
dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, dengan syarat: a.
telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b.
telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
c.
telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
d.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian jelas bahwa peraturan perpajakan di Indonesia tidak
mengakui metode penyisihan. Piutang yang tidak dapat ditagih hanya dapat dibebankan pada periode terjadinya (metode langsung), dengan syarat dan ketentuan seperti yang telah dijelaskan di atas.