Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
BAB I PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR APBN DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL TAHUN ANGGARAN 2008 1.1. Pendahuluan Memasuki triwulan IV tahun 2007, perekonomian dunia menghadapi situasi yang tidak pasti akibat perkembangan krisis sektor perumahan (subprime mortgage1) di Amerika Serikat yang mulai terkuak pada pertengahan tahun 2007. Seluruh proyeksi ekonomi tahun 2008 yang diumumkan pada kuartal keempat 2007 oleh lembaga-lembaga multilateral direvisi turun secara cukup signifikan. Di sisi lain harga minyak mentah di pasar dunia terus bergerak naik sejak pertengahan tahun 2007, meskipun pada saat yang sama proyeksi ekonomi global diprediksi akan melemah yang seharusnya akan melemahkan permintaan terhadap bahan bakar minyak. Kenaikan tajam justru terjadi setelah bulan September 2007 dan bahkan sempat mencapai mendekati US$100 per barel. Kenaikan harga minyak dunia yang cenderung terus terjadi dan bertahan pada tingkat yang tinggi, menyebabkan kegiatan diversifikasi energi kepada sumber yang terbarukan menjadi meningkat. Hal ini menyebabkan permintaan terhadap bahan-bahan baku bio-fuel melonjak, sehingga menyebabkan harga komoditi bio-fuel melonjak seperti jagung, Crude Palm Oil (CPO), tebu/gula. Kompetisi antara komoditi untuk penggunaan bahan bakar versus bahan makanan makin tajam. Kondisi ini menyebabkan harga pangan dunia ikut melonjak yang telah mengakibatkan tekanan inflasi pangan di seluruh dunia. Perubahan situasi perekonomian dunia yang memburuk secara sangat cepat dalam semester kedua tahun 2007 telah menjadi salah satu bahan pembahasan Pemerintah, Bank Indonesia, dan DPR pada saat membahas asumsi ekonomi makro tahun 2008 yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan besaran APBN 2008. Dari hasil pembahasan yang mendalam di DPR mulai bulan September 2007 hingga pertengahan bulan Oktober 2008, berdasarkan kondisi perekonomian yang mempengaruhi hingga saat itu, telah ditetapkan asumsi ekonomi makro tahun 2008 sebagai berikut: (i) pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen, (ii) tingkat inflasi 6,0 persen, (iii) suku bunga SBI-3 bulan rata-rata 7,5 persen, (iv) nilai tukar Rp9.100 per dolar AS, (v) harga minyak mentah Indonesia rata-rata US$60 per barel, dan (vi) lifting minyak sebesar 1,034 juta barel per hari. Dalam perjalanannya setelah Undang-Undang APBN 2008 ditetapkan pada akhir bulan Oktober 2007, krisis subprime mortgage ternyata berdampak semakin luas dan serius di Amerika Serikat dan Eropa. Sentimen negatif sangat mudah meluas dan menular ke seluruh bagian dunia, terlihat pada gejolak/kejatuhan harga saham di seluruh dunia dan pergerakan arus modal antar negara. Perubahan situasi perekonomian global yang drastis dan cepat berubah hingga awal tahun 2008 menyebabkan besaran asumsi ekonomi makro 2008 yang telah ditetapkan pada bulan Oktober 2007 menjadi tidak sesuai lagi. Di sisi lain, perubahan 1
Subprime mortgage merupakan surat utang yang ditopang oleh jaminan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan profil debitor yang memiliki kemampuan bayar relatif rendah.
RAPBN-P 2008
I-1
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
asumsi indikator ekonomi makro dalam APBN tidak bisa dilakukan seketika karena terkait dengan mekanisme dan siklus APBN yang bersifat rigid dan tetap. Untuk menyesuaikan asumsi ekonomi makro dengan perkembangan ekonomi dunia terkini maka penyesuaian dapat dilakukan melalui mekanisme perubahan APBN 2008.
1.2. Krisis Ekonomi Global 1.2.1. Subprime Mortgage Selama beberapa tahun terakhir harga minyak dunia telah mengalami tren peningkatan sebagai akibat ketidakseimbangan permintaan dan produksi minyak dunia. Tren tersebut mendorong peningkatan laju inflasi di Amerika Serikat (AS) sehingga the Fed memutuskan untuk menaikan suku bunga secara bertahap dan mencapai puncaknya pada tingkat 5,25 persen di bulan Juni 2006. Kebijakan suku bunga itu juga diambil dalam rangka mengatasi masalah twin deficit yang dialami Amerika Serikat sejak tahun 2002. Suku bunga tersebut bertahan pada tingkat 5,25 persen hingga Agustus 2007 sehingga berdampak pada peningkatan suku bunga kredit di AS. Kenaikan suku bunga kredit ini kemudian memicu terjadinya kredit macet di negara tersebut yang berdampak pada krisis subprime mortgage. Kredit macet ini melibatkan sekitar 2,2 juta orang AS dengan total nilai sekitar US$950 miliar. Krisis subprime mortgage yang pada awalnya berimbas pada sektor perumahan dan pasar modal AS ternyata memberikan dampak lanjutan pada institusi-institusi keuangan terkemuka di AS dan juga di belahan dunia lainnya. Kondisi ini menimbulkan dampak negatif pada kinerja sektor riil dan konsumsi dalam negeri di AS yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan likuiditas di pasar keuangan dan berimplikasi pada memburuknya kondisi pasar modal serta kerugian yang dialami institusi-institusi keuangan terkemuka seperti Morgan Stanley, Citigroup, Merrill Lynch, dan lain-lain. Total kerugian yang dialami institusi-institusi keuangan dunia terkait dampak dengan subprime mortgage sementara ini diperkirakan mencapai US$130 miliar. Morgan Stanley mengalami kerugian US$9,4 miliar, Citigroup merugi US$19,9 miliar, bahkan Merrill Lynch merugi hingga US$22,4 miliar. Imbas krisis mortgage meluas mencapai Eropa dan Asia, dimana Union Bank of Switzerland (UBS) mengalami kerugian mencapai US$14,4 miliar dan HSBC merugi US$7,5 miliar. Pasar modal secara global mengalami tekanan dan terjadi pelemahan harga saham. Harga saham Merrill Lynch, Citigroup, UBS, dan lain-lain berjatuhan sehingga terjadi krisis likuiditas dan memerlukan suntikan dana segar. Suntikan dana tersebut menciptakan fenomena perubahan peta keuangan dunia ke Asia, antara lain tercermin pada pengambilalihan saham Citigroup oleh Abu Dhabi Investment Authority senilai US$7,5 miliar, saham Merril Lynch oleh Temasek senilai US$7,2 miliar, pembelian saham Morgan Stanley oleh China Investment senilai US$5 miliar, dan diberikannya suntikan dana bagi UBS sebesar US$11,94 miliar dari pemerintah Singapura. Selama tiga kuartal terakhir, Badan Investasi Pemerintah (Sovereign Wealth Fund) dari Asia telah menyuntikkan dana mencapai US$66,6 miliar kepada institusi-institusi keuangan terkemuka di dunia.
I-2
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
Tabel I.1 Aliran Dana Badan Investasi Pemerintah dari Asia Injeksi Dana Asia (Sovereign Wealth Fund ) Penyalur dana UAE: Abu Dhabi Investment Authority Singapore: Temasek Holding
Singapore: Government Investment Corp. China: China Investment Corporation Lain-lain TOTAL
Penerima dana Citigroup Standard Chartered Merrill Lynch Barclay UBS Citigroup Morgan Stanley Blackstone
Nilai Milyar USD 7,5 9,2 7,2 2,0 11,94 6,9 5,0 3,0 13,86 66,6
Sumber Bloomberg
Di Inggris, Northern Rock, yang merupakan bank perkreditan perumahan mengalami kerugian akibat hilangnya kepercayaan masyarakat sehingga terjadi rush pada bank tersebut. Besarnya kesulitan likuiditas yang dialami oleh Northern Rock mendorong pemerintah Inggris melakukan bail-out dengan menyuntikkan dana talangan yang sangat besar mencapai £25 miliar. Sementara di Perancis, kejatuhan bursa-bursa saham AS juga telah membawa kerugian sebesar 4,9 miliar euro bagi Societe Generale, yang merupakan bank dengan kapitalisasi pasar terbesar ketiga. Societe Generale menempatkan dana sebesar US$73 miliar di bursabursa saham Eropa yang ternyata menurun tajam selama bulan Januari 2008. Kejadian tersebut diperparah oleh fakta bahwa transaksi penempatan dana tersebut dilakukan secara ilegal yang mengabaikan prosedur dan norma kehati-hatian sehingga menunjukkan lemahnya sistem kontrol di sektor keuangan.
1.2.2. Guncangan Pasar Modal Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) yang langsung berdampak negatif ke pasar modal AS mengakibatkan jatuhnya bursa global. Krisis ini menciptakan “Minsky Moment”, yaitu suatu kondisi dimana investor terpaksa menjual sahamnya dalam rangka menutup kerugian dana pada portfolio investasi lainnya. Kesalahan investasi (bad mortgage) tersebut dampaknya juga dirasakan oleh para pemilik modal di luar AS, termasuk Eropa, Asia, dan Australia, sehingga turut mempengaruhi bursa global secara keseluruhan. Hal ini seiring dengan besarnya kepemilikan hipotik perumahan (housing mortgages) oleh banyak institusi keuangan yang ada di berbagai penjuru dunia. Sejak krisis subprime mortgage menyeruak ke permukaan, indeks bursa saham secara global terus tergerus hingga Januari 2008, baik di Amerika Serikat, maupun di pasar modal Eropa dan Asia, seperti dilihat pada Grafik I.1.
RAPBN-P 2008
I-3
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
Grafik I.1 Pergerakan Saham di Beberapa Pasar Dunia 160
170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70
Dow Jones
Nikkei
Foot sie
Hang Seng
150
Thailand
Kuala Lumpur
140
Phillipina
Indonesia
130 120 110 100 90 80
Jan-08
Dec-07
Nov-07
Oct-07
Sep-07
Aug-07
Jul-07
Jun-07
Apr-07
May-07
Mar-07
Feb-07
Jan-07
70
Sumber: Bloomberg
Sumber: Bloomberg
Untuk tetap menggairahkan prospek ekonomi, the Fed telah mengambil kebijakan untuk melakukan pemangkasan Fed Fund Rate beberapa kali, sejak tingkat 4,75 persen pada September 2007 menjadi 3 persen pada 30 Januari 2008. Di sisi lain, terus melambungnya harga minyak semakin memperburuk perekonomian AS, melalui dampaknya terhadap peningkatan biaya produksi dan transportasi. Inflasi tahun 2007 mencapai 4,1 persen yang merupakan tertinggi dalam 17 tahun terakhir. The Fed menghadapi dilema antara upaya menjaga pertumbuhan perekonomian dan mengendalikan laju inflasi. Perekonomian Amerika Serikat menghadapi risiko stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang melambat dan inflasi yang tinggi. Morgan Stanley memprediksi ekonomi AS kuartal IV hanya tumbuh 0,2 persen, bahkan Nomura telah memprediksi ekonomi AS telah mengalami kontraksi 0,3 persen dalam periode yang sama. 200
Grafik I.2 Pergerakan Indek Saham Perusahaan Int ernasional
180 160 140 120 100 80 60 40 3Jan07
3Feb07
3Mar07
3Apr07
3May07
3Jun07
Komatsu
I-4
3Jul07
Sony
3Aug07
3Sep07
Toyota
3Oct07
3Nov07
3Dec07
3Jan08
GM
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
Perusahaan-perusahaan Jepang dan Korea yang sangat mengandalkan pasar Amerika Serikat mengalami pukulan berat yang akan mengancam penurunan keuntungan. Sampai dengan 22 Januari, saham Toyota jatuh (7,2 persen), saham Sony (perusahaan konsumer elektronik terbesar No.2 di dunia) jatuh 6,9 persen, dan saham Komatsu (perusahaan alat berat terbesar No.2 di dunia) jatuh hingga 8,5 persen. Saham Toyota sebagai produsen otomotif paling profitable di dunia selama bulan Januari 2008 telah jatuh 19 persen dan saham Samsung sebagai perusahaan elektronik terbesar di Korea melorot hampir 5 persen.
Jan-08
Des-07
Nop-07
Okt-07
Sep-07
Agust-07
Jul-07
Jun-07
Mei-07
Apr-07
Mar-07
Feb-07
Jan-07
Untuk mempertahankan momentum, Grafik I .3 170 6 pada tanggal 30 Januari 2008, the Fed 160 Perke mbang an Fe d Ra te dan Saham Inte rnasional 5 kembali melakukan pemangkasan 150 140 sebesar 50 bps menjadi 3 persen. Sejak 4 munculnya krisis subprime mortgage 130 3 pada pertengahan tahun 2007, the Fed 120 110 telah melakukan pemangkasan suku 100 2 bunga sebesar 2,25 persen yang 90 1 diharapkan mampu meringankan beban 80 0 likuiditas. Upaya yang dilakukan 70 pemerintah AS dan the Fed diharapkan Dow Jones Nikkei Footsie Hang Seng Fed Fund Rate dapat membelokkan arah Sumber: Bloomberg perekonomian AS kembali ke arah positif. Hal ini penting karena perekonomian AS memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian dunia, sehingga guncangan yang terjadi akan dirasakan oleh negara-negara lain di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk Indonesia.
1.3. Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang berimbas kepada sektor keuangan dan anjloknya pasar modal telah mempengaruhi potensi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dan global. Penurunan pertumbuhan tersebut terutama dipicu oleh potensi penurunan laju pertumbuhan AS yang menopang hampir 30 persen laju pertumbuhan ekonomi dunia. Memasuki tahun 2008, berbagai indikator ekonomi yang ada memperlihatkan tanda-tanda melemahnya perekonomian AS.
RAPBN-P 2008
3,5
G rafik I.4 Proy eksi Pert umbuhan AS di tahun 2008
3 2,5 Persen
Penurunan tingkat penjualan rumah dan konsumsi, tingginya laju inflasi, serta peningkatan angka pengangguran memperkuat potensi melemahnya laju pertumbuhan AS. Dana Moneter Internasional (IMF) telah melakukan revisi terhadap proyeksi laju pertumbuhan ekonomi AS dan juga dampaknya pada melemahnya laju pertumbuhan ekonomi di beberapa negara lainnya.
2 1,5 1 0,5 0
Sumber : WEO
Sept.06
Apr.07
Oct.07
Jan.08
I-5
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Perlambatan ekonomi AS yang semakin nyata sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2008 akan melambat hingga mencapai 4,1 persen dari proyeksi sebelumnya 4,4 persen pada Oktober 2007. Pertumbuhan ekonomi dunia tersebut lebih rendah dari tahun 2007 yang Tabel I.2 diperkirakan mencapai 5,2 persen. Menurunnya laju pertumbuhan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia tersebut juga diperkirakan akan Tahun 2008 dialami oleh negara-negara Uni Eropa. Proyeksi laju pertumbuhan Apr 2007 Okt 2007 Jan 2008 ekonomi Uni Eropa diperkirakan mencapai 1,6 persen, lebih rendah dari AS 2,8 1,9 1,5 proyeksi sebelumnya yang di atas 2,0 EU 2,3 2,1 1,6 persen. Beberapa pengamat Jepang 1,9 1,7 1,5 memperkirakan potensi perlambatan China 9,5 10 10 pertumbuhan terutama akan dialami India 7,8 8,4 8,2 oleh Inggris, yang antara lain Dunia 4,9 4,4 4,1 tercermin pada jatuhnya harga saham dan anjloknya angka penjualan Sumber: World Economic Outlook-IMF, 29 Januari 2008 perumahan di Inggris. Di kawasan Asia, dampak pelemahan pertumbuhan AS diperkirakan relatif rendah terkait dengan masih tingginya potensi pertumbuhan ekonomi China dan India. Melambatnya ekonomi AS tentunya akan membuat ekspor Asia ke AS turun. Namun, pesatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara dalam kawasan tersebut dapat mendorong peningkatan perdagangan intra-Asia. Menurut Lehman Brothers, kecuali Jepang, 43 persen ekspor Asia mengalir ke sesama negara di kawasan tersebut, naik dari 37 persen pada 1995. China dan India memperlihatkan peran yang besar di panggung perdagangan dunia dibandingkan enam tahun lalu. Dengan kata lain perekonomian China bisa menjadi penyeimbang apa pun yang terjadi di AS.
1.4. Kenaikan Harga Minyak Mentah Lonjakan harga komoditi primer yang paling dirasakan adalah minyak mentah (crude oil) sebagai sumber energi utama bagi aktivitas berbagai industri di dunia. Di tahun 2007, harga minyak mentah internasional berada pada level yang cukup tinggi. Tingginya harga minyak mentah ini selain dipengaruhi oleh faktor fundamental akibat tidak imbangnya permintaan dan penawaran seperti gangguan pipa penyalur di Laut Utara dan pelemahan dolar AS, juga disebabkan oleh sentimen negatif sebagai akibat dari ketegangan geopolitik seperti isu program nuklir Iran, kerusuhan di Nigeria dan ketegangan di Turki. Harga rata-rata minyak mentah jenis Dated Brent di pasar internasional pada periode Januari 2007 - Desember 2007 mencapai US$72,71 per barel atau naik US$7,29 per barel (11,15 persen) dibandingkan dengan harga pada periode yang sama tahun 2006 sebesar US$65,42 per barel. Harga ratarata minyak mentah basket OPEC pada periode Januari - Desember 2007 mencapai US$69,02 per barel atau mengalami kenaikan 13,05 persen dibanding periode Januari – Desember 2006. Pertumbuhan permintaan minyak dunia jauh melebihi kemampuan untuk meningkatkan produksi minyak oleh negara-negara penghasil minyak, baik yang tergabung I-6
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
dalam OPEC maupun Non-OPEC. Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan kapasitas produksi minyak antara lain sebagian sumur-sumur yang ada telah berusia tua, konflik di Timur Tengah dan beberapa negara di Afrika yang berkepanjangan, serta bencana alam seperti badai Katrina yang menghancurkan kilang minyak di Texas, Amerika Serikat. Grafik I.5 Perkembangan Harga Minyak Mentah Internasional Dec 2006 - Jan 2008 (US$/barrel)
105,00 OPEC
Brent
ICP
WTI
95,00
85,00
75,00
65,00
55,00
45,00 Jan Feb Mar Apr May Jun 06
Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun 06 07
Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan 08
1.5. Kenaikan Harga Komoditi Primer Perkembangan lainnya yang juga mempengaruhi kondisi ekonomi global dan regional adalah tren peningkatan harga-harga komoditas primer di pasar internasional. Tren kenaikan hargaharga komoditi primer internasional, seperti minyak bumi, baja, tembaga, emas, dan lainlain, sudah mulai dirasakan sejak tahun 2004 dan terus berlanjut hingga awal tahun 2008. Kenaikan harga antara lain dipicu oleh meningkatnya kebutuhan komoditi tersebut seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di negara-negara emerging market dan negara negara berkembang yang tercermin pada laju pertumbuhan ekonomi yang menurut WEOIMF berada di atas 7,0 persen. Selain itu, ketidakstabilan pasar keuangan global telah mendorong beberapa investor untuk melakukan pengalihan dananya dari pasar modal ke aksi spekulatif di pasar komoditi guna memperoleh keuntungan yang lebih tinggi sehingga memperbesar lonjakan harga komoditi pasar internasional lebih tinggi dari harga fundamentalnya.
RAPBN-P 2008
I-7
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
Di sisi lain, tingginya harga minyak dunia ternyata mendorong upaya-upaya untuk mengembangkan sumber energi alternatif lain, khususnya bio-fuel dan bio-diesel. Langkahlangkah tersebut pada akhirnya akan mendorong peningkatan permintaan komoditas primer, seperti gandum, kedelai, serta komoditas hasil olahan seperti CPO. Kenaikan harga-harga komoditas tersebut sejak bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Januari 2008 telah mencapai lebih dari 200 persen. Grafik I.6. Perkembangan Harga Komoditas Dunia 200
210
180
190
160
170 150
140
130
120
110 100
90 80
Cotton
Sugar
Dec
Oct
Nov
Sep
Aug
Jun Jul
Apr
2006
2007
Beras
Rubber
May
Mar
Feb
Dec Jan
Oct
Nov
Sep
Aug
Jun Jul
Apr
May
Mar
Jan
Jan-08
Dec-07
Nov-07
Oct-07
Sep-07
Aug-07
Jul-07
Jun-07
Apr-07
May-07
Mar-07
Feb-07
Jan-07
Palm oil
Feb
70 60
Gandum
Kedelai
Jagung
180 160 140 120 100 80
A lumunium
Copper
Gold
Jan-08
Dec-07
Nov-07
Oct-07
Sep-07
Aug-07
Jul-07
Jun-07
May-07
Apr-07
Mar-07
Feb-07
Jan-07
60
Brent Oil
1.6. Dampak Pada Perekonomian Indonesia Perkembangan ekonomi global selama tahun 2007 berdampak pada perkembangan perekonomian domestik. Dampak krisis subprime mortgage dan perubahan peta keuangan dunia dan regional akan membawa pengaruh terhadap arah pergerakan arus modal di pasar keuangan dan modal dalam negeri. Hal tersebut pada gilirannya akan membawa implikasi pada potensi arus modal dan perkembangan investasi di Indonesia. Sementara itu, gejolak harga komoditas internasional ikut mendorong harga komoditas dalam negeri sehingga terjadi tekanan baru pada tingkat inflasi. Gejala pelemahan laju pertumbuhan ekonomi AS dan global, sedikit banyak akan mempengaruhi pola perdagangan dan perekonomian internasional dan tentu saja perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan perekonomian domestik. Di sisi moneter, perubahan–perubahan tingkat suku bunga dan pergerakan nilai tukar akan membawa implikasi terhadap perkembangan sektor riil dan moneter di Indonesia. Dengan menyadari hal-hal tersebut dan memperhatikan perkembangan global yang terjadi, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap proyeksi indikator-indikator ekonomi Indonesia di tahun 2008. I-8
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
1.6.1. Pertumbuhan Ekonomi Pelemahan ekonomi global diperkirakan akan berdampak pada perkembangan ekonomi nasional 2008 terutama pada penurunan perkiraan pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia dan investasi, sementara konsumsi domestik diperkirakan masih cukup kuat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di 2008 diperkirakan masih cukup tinggi, meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan perkiraan dalam APBN 2008. Pada triwulan III 2007, realisasi laju pertumbuhan ekonomi mencapai 6,52 persen (y-o-y), meningkat bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 5,87 persen. Tingginya angka realisasi tersebut, terutama disebabkan oleh meningkatnya daya beli masyarakat yang mendorong peningkatan permintaan dalam negeri dan membaiknya iklim investasi sehingga mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III tahun 2007 lebih bertumpu pada konsumsi masyarakat, investasi, dan ekspor, sementara pada sisi penawaran (sektoral) lebih ditopang oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi.
6,52%
6,34%
5,99%
6,11%
5,87%
4,96%
4,98%
5,00%
5,81%
5,87%
6,06%
Pengeluaran konsumsi masyarakat Grafik I.7 7% Pertumbuhan Ekonomi Triwulanan hingga triwulan III tahun 2007 6% tumbuh sebesar 4,89 persen, lebih 5% tinggi dibandingkan pertumbuhan 4% periode yang sama tahun sebelumnya 3% sebesar 2,97 persen, terutama ditopang 2% oleh meningkatnya konsumsi 1% makanan. Meningkatnya daya beli 0% masyarakat karena peningkatan pada Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 pendapatan riil masyarakat tercermin 2005 2006 2007* pada semakin meningkatnya pertumbuhan kredit konsumsi sebesar 21,5 persen per September 2007. Sementara itu indikator konsumsi yang lain yaitu penjualan listrik meningkat 6,6 persen dan penjualan mobil-motor melambat sekitar 2 persen. Konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 4,73 persen, melambat dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 13,26 persen akibat menurunnya belanja barang. Pengeluaran investasi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu sebesar 7,88 persen lebih tinggi dibanding tahun 2006 yang hanya sebesar 1,17 persen terkait dengan persiapan Pemerintah dalam hal infrastruktur untuk mengantisipasi arus mudik hari raya. Tumbuhnya pengeluaran investasi tercermin dari meningkatnya realisasi PMA-PMDN pada triwulan III 2007 yang mencapai 4,5 persen dan 4,4 persen, penjualan semen 6,3 persen, impor barang modal tumbuh pesat 15,6 persen. Kredit investasi dan kredit modal kerja yang tumbuh sekitar 20 persen juga menopang pertumbuhan investasi hingga triwulan III tahun 2007. Pertumbuhan ekspor barang dan jasa dalam triwulan III tahun 2007 masih tetap tinggi, yaitu sebesar 8,82 persen, meskipun lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 10,28 persen. Pertumbuhan ekspor tersebut terutama didukung oleh pesatnya pertumbuhan ekspor jasa meskipun ekspor barang mengalami perlambatan. Pertumbuhan impor hingga triwulan III tahun 2007 mencapai 7,95 persen meningkat dibandingkan tahun 2006 pada periode yang sama sebesar 6,87 persen karena meningkatnya impor barang. RAPBN-P 2008
I-9
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Dari sisi penawaran, kinerja pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III tahun 2007 ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan hampir seluruh sektor ekonomi, kecuali sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi yang mengalami perlambatan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor-sektor nontradable, seperti sektor pengangkutan dan komunikasi (12,16 persen), sektor listrik, gas dan air bersih (10,28 persen), sektor bangunan (8,31 persen), dan sektor keuangan (7,93 persen). Sementara sektor industri pengolahan tumbuh sekitar 5,0 persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi hingga triwulan III 2007 tumbuh sebesar 12,16 persen. Walaupun tumbuh sedikit melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, tingginya mobilitas masyarakat serta perkembangan kemajuan teknologi dan inovasi di bidang komunikasi telah memberikan kontribusi yang positif dalam mendukung tingginya pertumbuhan di sektor ini. Subsektor pengangkutan tumbuh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya karena berkurangnya minat masyarakat untuk bepergian dengan menggunakan berbagai jenis moda transportasi. Sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 5,0 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,2 persen meskipun semakin menurun sejak triwulan I 2007. Perlambatan ini terutama dari industri nonmigas yang di semua subsektornya cenderung melambat kecuali alat angkutan mesin dan peralatannya yang meningkat. Masih kondusifnya permintaan pasar, baik dari dalam maupun luar negeri, tingkat inflasi yang lebih rendah, dan penurunan suku bunga menjadi pendorong tumbuhnya sektor industri pengolahan. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh sebesar 7,36 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan dalam periode yang sama tahun 2006 sebesar 5,82 persen. Meningkatnya daya beli masyarakat ikut mendorong pertumbuhan sektor ini dan pertumbuhan konsumsi masyarakat. Sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu dari 3,31 persen tahun 2006 menjadi 4,29 persen tahun 2007. Peningkatan ini terutama disebabkan meningkatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan karena panen raya pada triwulan II yang berlanjut pada triwulan berikutnya. Sementara subsektor perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan mengalami perlambatan. Perkembangan positif selama triwulan III diperkirakan masih akan mampu menopang laju pertumbuhan di triwulan IV pada tingkat yang cukup tinggi, walaupun mulai muncul beberapa tekanan yang berasal dari perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi di kuartal IV diperkirakan mencapai sekitar 6,2-6,3 persen, yang terutama didorong oleh sektor konsumsi swasta, pemerintah dan laju pertumbuhan investasi. Di sisi konsumsi masyarakat, peningkatan konsumsi swasta terutama disebabkan peningkatan konsumsi selama hari-hari raya keagamaan yang jatuh pada triwulan IV. Sementara, peningkatan konsumsi pemerintah dipengaruhi oleh siklus pelaksanaan anggaran dan program pemerintah yang meningkat selama akhir tahun anggaran. Di sisi investasi, perbaikan iklim investasi yang didukung oleh deregulasi kebijakan terkait mampu mendorong peningkatan investasi penanam modal asing dan domestik. Di sisi lain, perkembangan sektor perdagangan internasional pada triwulan IV diwarnai oleh penurunan neraca perdagangan. Laju pertumbuhan ekspor barang dan jasa diperkirakan I-10
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
masih tetap tinggi, walaupun relatif melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Sementara itu, laju pertumbuhan impor barang dan jasa diperkirakan meningkat dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada triwulan III 2007. Tabel I.3 Laju Pertumbuhan PDB 2006 - 2008 (persen, y-o-y) 2006
Uraian
Produk Domestik Bruto Menurut Penggunaan Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Barang dan Jasa Impor Barang dan Jasa Menurut Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, gas, air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, jasa perush. Jasa-jasa Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
2007
2007 2008 2008 (perkiraan (APBN) (RAPBN-P) (realisasi) (APBN-P) realisasi) 5,5
6,3
6,3
6,8
6,4
3,9 3,2 9,6 2,9 9,2 7,6
5,6 5,1 8,9 12,3 9,9 14,2
5,1 5,0 5,8 7,8 9,0 8,4
5,9 5,9 6,2 15,5 12,7 17,8
5,6 5,5 5,8 12,3 11,9 15,7
3,0 2,2 4,6 5,9 9,0 6,1 13,6 5,7 6,2
2,7 2,9 7,2 6,2 9,4 7,0 13,7 6,0 4,2
3,2 3,0 7,2 6,5 8,6 7,0 12,7 5,9 4,5
3,7 3,2 7,7 8,2 10,0 7,2 14,0 6,2 4,0
3,3 3,0 7,3 6,7 8,8 6,9 13,5 5,9 4,0
Memasuki tahun 2008, berbagai perubahan dalam perekonomian dunia membawa dampak pada perekonomian domestik. Pertumbuhan ekonomi domestik mengalami perubahan seiring dengan perkembangan yang terjadi pada perekonomian global meskipun diperkirakan semakin menguat dibandingkan tahun 2007. Konsumsi masyarakat dalam tahun 2008 diperkirakan akan mengalami penurunan dibandingkan target pada APBN 2008 , yaitu dari 5,9 persen menjadi 5,5 persen. Hal ini disebabkan menurunnya daya beli masyarakat karena kenaikan harga-harga (inflasi). Pada bulan Januari 2008 terjadi peningkatan harga pada beberapa bahan pokok (sembako) antara lain tepung terigu, minyak goreng, dan kedelai. Sementara itu konsumsi pemerintah juga diperkirakan menurun menjadi 5,8 persen dibandingkan APBN 2008 yang sebesar 6,2 persen. Penurunan ini disebabkan adanya penghematan dan penajaman prioritas belanja kementerian negara/lembaga pada tahun 2008. Dengan menurunnya perkiraan pertumbuhan konsumsi masyarakat sebagaimana disebutkan di atas, maka permintaan domestik diperkirakan juga akan mengalami penurunan sehingga penambahan kapasitas produksi di sektor riil cenderung melambat. Hal itu pada gilirannya akan mengurangi dorongan pada pertumbuhan investasi. Dalam tahun 2008, pertumbuhan investasi diperkirakan mencapai 12,3 persen lebih rendah
RAPBN-P 2008
I-11
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
dibandingkan APBN 2008 sebesar 15,5 persen. Implementasi paket kebijakan investasi, termasuk proyek infrastruktur diperkirakan belum menampakkan hasil yang signifikan. Proses pelaksanaan public private partnerships (PPPs) yang pada tahun 2008 difokuskan pada pembangunan infrastruktur jalan tol dan pembangkit listrik masih membutuhkan upaya yang keras untuk pelaksanaannya meskipun telah dilakukan dukungan pemerintah sepenuhnya. Melambatnya pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang dan negara maju diperkirakan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Pertumbuhan ekspor dalam tahun 2008 diperkirakan menjadi 11,9 persen, atau lebih rendah dari perkiraan awal sebesar 12,7 persen. Sejalan dengan lebih rendahnya kinerja ekspor, maka pertumbuhan impor juga diperkirakan akan sebesar 15,7 persen, atau lebih rendah dari perkiraan dalam APBN 2008 yang sebesar 17,8 persen. Secara sektoral, laju pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan akan mengalami koreksi penurunan yang disebabkan oleh revitalisasi sektor pertanian yang belum berjalan secara optimal. Di samping itu, pengaruh kondisi iklim yang buruk di beberapa daerah juga menyebabkan kegiatan produksi pertanian menurun. Hal ini ditambah lagi dengan masih relatif rendahnya laju pertumbuhan kredit perbankan ke sektor pertanian. Sementara itu pertumbuhan sektor industri mengalami penurunan dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global, turunnya investasi, keterbatasan infrastruktur dan pasokan energi, serta belum memadainya peran perbankan dalam mengucurkan kredit.
1.6.2. Inflasi Tingkat inflasi (y-o-y) tahun 2007 mencapai sebesar 6,59 persen, relatif sama dengan laju inflasi tahun 2006 (y-o-y) yang mencapai sebesar 6,60 persen. Berdasarkan komponennya, inflasi di 2007 terutama didorong oleh inflasi inti (dengan sumbangan 3,75 persen), volatile food (2,09 persen) dan administered price (0,75 persen). Inflasi inti di 2007 mencapai 6,29 persen, meningkat dibanding dengan 6,03 persen pada tahun 2006. Inflasi administered price mencapai 3,30 persen meningkat dibanding dengan 1,84 persen pada tahun 2006. Sementara itu, inflasi volatile menurun dari 15,27 persen di 2006 menjadi 11,41 persen pada tahun 2007. Dari sisi inflasi inti, peningkatan inflasi terutama didorong oleh meningkatnya tekanan inflasi impor (imported price). Sementara itu, pengaruh ekspektasi inflasi dan perubahan nilai tukar menurun. Menurunnya ekspektasi inflasi tersebut merupakan hasil dari kebijakan bersama antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang berkoordinasi dalam upaya meredam tekanan inflasi. Menurunnya tekanan dari sisi nilai tukar terutama disebabkan oleh apresiasi nilai tukar yang terjadi selama tahun 2007. Sementara itu, meningkatnya permintaan agregat yang terjadi masih dapat diimbangi oleh penawaran agregat karena belum terpakainya kapasitas produksi yang ada sehingga produsen masih dapat meningkatkan produksinya. Laju inflasi tahun 2007 juga dipengaruhi oleh faktor kenaikan administered price. Kenaikan tersebut antara lain didorong oleh kenaikan tarif jalan tol, serta faktor-faktor nonkebijakan, seperti kelangkaan minyak tanah dan gas elpiji. Namun demikian, tekanan inflasi dari sisi administered price terhadap total inflasi relatif minimal.
I-12
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Gr a fik I.8 Per kem ba n ga n In fl a si 2006 - 2007
Inflasi Y-o-Y
Core Y-o-Y
Ju l-0 7 Se p07 N op -0 7
Ju l-0 6 Se p06 N op -0 6 Ja n07 M ar -0 7 M ei -0 7
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Ja n06 M ar -0 6 M ei -0 6
Sementara itu, inflasi volatile foods mengalami tekanan yang berasal dari meningkatnya harga minyak goreng terkait dengan meningkatnya harga CPO di pasar global. Meski demikian, laju inflasi volatile food masih relatif terjaga sejalan dengan terkendalinya harga beras sebagaimana terlihat dari lebih rendahnya inflasi kelompok barang ini dibandingkan tahun sebelumnya.
Bab I
Adm Prices Y-o-Y
Vol Foods Y-o-Y
Sumber: BPS (diolah)
Perkembangan ekonomi global yang mendorong peningkatan harga beberapa komoditi internasional seperti CPO, gandum, dan kedelai meningkat secara signifikan (Aginflation) sejak akhir tahun 2007 berimbas kepada kenaikan harga beberapa komoditi domestik. Terkait dengan komoditas minyak goreng, pemerintah telah menerapkan kebijakan pengenaan tarif pungutan ekspor untuk CPO dan operasi pasar. Di tahun 2008, masih tingginya permintaan domestik dan belum optimalnya program konversi minyak tanah ke gas elpiji akan berdampak pada peningkatan tekanan inflasi. Di sisi lain, ketergantungan hasil panen terhadap faktor cuaca yang sulit diprediksi merupakan salah satu variabel ketidakpastian yang dapat memberikan tekanan tambahan pada laju inflasi. Terkait dengan faktor eksternal, terganggunya fundamental ekonomi seperti nilai tukar rupiah sebagai dampak dari goncangan ekonomi global akan memberi efek terhadap kenaikan inflasi inti sehingga laju inflasi juga akan meningkat. Dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut di atas dan realisasi inflasi Januari 2008 sebesar 1,77 persen, maka asumsi laju inflasi untuk APBN-P 2008 disesuaikan dari 6,0 persen dalam APBN 2008 menjadi 6,5 persen.
1.6.3. Nilai Tukar Rupiah Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di Semester II 2007 menunjukkan kecenderungan melemah dan lebih fluktuatif dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di akhir periode tahun 2007 Rupiah mencapai posisi Rp9.410 per dolar atau melemah sebesar 4,6 persen dibandingkan posisi akhir tahun 2006. Meskipun demikian, secara rata-rata tahunan, nilai tukar rupiah menguat tipis sebesar 0,30 persen dari Rp9.167 per dolar di 2006 menjadi Rp9.139,50 per dolar pada tahun 2007. Sementara itu, volatilitas Rupiah di 2007 meningkat menjadi 1,43 persen dibandingkan dengan 1,33 persen di tahun 2006. Peningkatan volatilitas rupiah ini searah dengan pergerakan rupiah yang cenderung fluktuatif khususnya di semester II 2007. Kondisi tersebut merupakan dampak negatif dari krisis subprime yang berpengaruh pada kondisi pasar keuangan dalam negeri. Selain itu fluktuasi yang terjadi juga diakibatkan oleh peningkatan harga beberapa komoditi di pasar internasional, khususnya minyak. RAPBN-P 2008
I-13
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
9/28/2007
11/27/2007
6/4/07
8/1/2007
4/5/2007
2/6/2007
12/8/2006
8/14/2006
10/11/2006
6/15/2006
4/18/2006
2/17/2006
12/21/2005
8/25/2005
10/24/2005
6/28/2005
3/2/2005
4/29/2005
1/3/2005
Gr a fi k I.9 Perkembangan rupiah ini Kurs, Rp/USD Volatilitas berbeda dibandingkan 11.000 Per kem ba n ga n Ni l a i T u ka r Ru pi a h da n V ol a t il a sn y a 10,0 Kurs Harian 9,0 perkembangan nilai tukar di 10.500 Volatilitas 8,0 beberapa negara Asia lainnya Rata-rata Volatilitas Tahunan 7,0 yang cenderung menguat. 10.000 6,0 9.500 5,0 Penguatan nilai tukar 4,0 di berbagai negara Asia tersebut 3,0% 9.000 3,0 sejalan dengan meningkatnya 1,43% 2,0 1,33% 8.500 surplus neraca perdagangannya. 1,0 Sementara untuk Indonesia, sur8.000 plus neraca berjalan yang terjadi tidak diikuti dengan penguatan nilai tukar Rupiah yang signifikan. Fenomena ini terkait nilai tukar yang cenderung berfluktuasi yang mendorong eksportir menyimpan dananya di luar negeri. Dengan demikian, fluktuasi nilai tukar rupiah tahun 2007, lebih banyak disebabkan oleh pergerakan arus modal asing ke dalam negeri yang tercermin pada net beli asing di pasar keuangan domestik.
Grafik I.10 Nilai Tukar dan Prosentase Apr(+)/Depr(-) Beberapa Mata Uang Regional 2007 PHP, THB
IDR
60
10000 9800
55
-10.95 -8.76
IRP
-5.59 -5.15
SGD
9600
PHP 50
9400
KRW
45
9200
JPY
0.69
-2.67 -6.03
1.27
9000 40
IDR
35
8800
PHP
-15.87
8600
THB
-16.60 -14.74
8400 30
THB
8200
25
8000 No
O kt Se
Ag
J ul
J un
M ei Ap
Ma Fe
J an De
No
O kt Se
Ag
J ul
J un
M ei Ap
Ma Fe
J an
2006
-10.11
IDR -20.00
-15.00
-10.00
-5.00
Apr(+)/Dep(-) rata2 tahunan
2007
4.50
-0.30 0.00
5.00
10.00
Apr(+)/Dep(-) poin to poin
Sumber: Bloomberg Juta USD
Grafik I.11 Nilai Tukar Rupiah dan Net Beli Asing
Rp/USD
8800
5000 4000 3000
Ke pe m ilika n a s ing di Ins trum e n Do m e s tik R a ta -ra ta Nila i Tuka r
8900 9000
2000
9100
1000 0
9200 9300
-1000 -2000 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt
9400
2006
I-14
2007
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
Depresiasi nilai tukar yang cenderung tinggi, mendorong perlunya perubahan asumsi nilai tukar rupiah. Kondisi ini didasarkan pada cenderung melemahnya nilai tukar rupiah diakhir tahun 2007 dan pergerakan rupiah di awal tahun 2008 yang masih cenderung terdepresiasi. Selain itu, masih tingginya harga beberapa komoditi dunia dan belum meredanya kasus subprime menyebabkan penyesuaian asumsi rata-rata nilai tukar rupiah pada 2008 dari Rp9.100 per dolar menjadi Rp9.150 per dolar.
1.6.4. SBI 3 Bulan Sebagai dampak dari krisis subprime yang terjadi, kebijakan moneter yang cenderung ekspansif sejak awal tahun 2007, cenderung berkurang sejak semester II 2007. Pada paruh pertama tahun 2007, kebijakan moneter cenderung bersifat ekspansif yang tercermin pada penurunan BI rate sebesar 150 bps dari 9,75 persen di akhir tahun 2006 menjadi 8,25 persen di bulan Juli 2007. Langkah ini diambil sejalan dengan menurunnya arah perkiraan inflasi ke depan sebagai dampak dari menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat. Penentuan arah kebijakan moneter tersebut juga diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi makro dan kestabilan sistem keuangan. Namun demikian, kecepatan penurunan BI rate ini melambat sejak bulan Agustus 2007. Hal ini sejalan dengan kekhawatiran meningkatnya perkiraan inflasi ke depan yang didorong oleh peningkatan fluktuasi nilai tukar akibat krisis subprime. Selain itu, kecenderungan meningkatnya harga beberapa komoditi internasional juga mendasari melambatnya penurunan BI rate. Sejak bulan Juli hingga bulan Desember 2007, BI rate hanya turun sebesar 25 bps di akhir tahun. Cenderung melambatnya penurunan BI rate di tengah tajamnya penurunan Fed Fund Rate di akhir periode menyebabkan selisih diantara keduanya meningkat menjadi 5,0 persen di bulan Januari 2008. Secara operasional kebijakan moneter khususnya dilakukan melalui operasi pasar terbuka (OPT) yang didukung oleh sterilisasi valas. OPT ini dilakukan untuk menjaga kecukupan likuiditas perbankan agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam implementasinya, OPT dilakukan melalui lelang SBI 1 bulan yang dilakukan secara mingguan dan lelang SBI 3 bulan secara triwulanan. Selain itu, guna menjaga kecukupan likuiditas perbankan secara harian digunakan instrumen jangka pendek lainnya seperti Fasilitas Bank Indonesia (FASBI) dan Fine Tuning Operation (FTO). Selama tahun 2007, total ekses likuiditas perbankan yang diserap melalui OPT mencapai Rp39,2 triliun, hingga posisi OPT di akhir tahun 2007 mencapai Rp281 triliun. Total penyerapan likuiditas di tahun 2007 tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2006 yang mencapai Rp120,7 triliun. Selain itu, upaya pengendalian likuiditas melalui OPT tersebut juga diimbangi oleh pelaksanaan sterilisasi valas yang memadai dan terukur. Sterilisasi valas ini selain bertujuan untuk mengendalikan likuiditas yang ada, juga bertujuan untuk mengurangi tingkat fluktuasi nilai tukar yang terjadi di pasar valas di dalam negeri. Kecenderungan penurunan BI rate diikuti oleh penurunan suku bunga instrumen moneter lainnya. Secara otomatis, penurunan BI rate diikuti oleh penurunan suku bunga instrumen moneter lain yang pergerakannya dikaitkan dengan perubahan BI rate. Suku bunga FASBI O/N yang merupakan batas bawah (floor) pergerakan suku bunga PUAB O/N tercatat sebesar 3,0 persen dan suku bunga SBI Repo yang lazimnya merupakan batas atas (ceiling) suku bunga PUAB O/N sebesar 11,0 persen. Selain itu, penurunan BI rate juga mendorong penurunan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 167 bps hingga tercatat pada posisi 7,83 persen
RAPBN-P 2008
I-15
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
di akhir tahun. Secara rata-rata, suku SBI 3 bulan selama tahun 2007 mencapai 8,03 persen atau jauh menurun dibandingkan tahun 2006 sebesar 11,74 persen Grafik I.12 Perkembangan BI Rate, SBI 3 bulan,dan Fed Fund Rat e 14 12 10 8
5,0%
6 4 2 0 1 2 3
4 5 6
7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2006
Selisih BI Rate-Fed SBI 3 bl
5 6 7
8 9 10 11 12 1
2007
2008
BI Rate Fed Fund Rate
Penurunan BI rate juga ditransmisikan ke suku bunga di pasar uang dan perbankan. Di pasar uang, penurunan BI rate tersebut diikuti oleh penurunan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) yang rata-rata tertimbang deposito dan kredit yang lebih tajam dibandingkan penurunan BI rate. Selama tahun 2007, suku bunga deposito 1 bulan turun sebesar 177 bps dari 8,96 persen di akhir tahun 2006 menjadi 7,19 persen di akhir tahun 2007. Penurunan suku deposito yang diimbangi oleh masih tingginya likuiditas yang dimiliki perbankan juga mendorong penurunan suku bunga kredit yang lebih cepat. Suku bunga kredit modal kerja dan investasi masing-masing mengalami penurunan sebesar 207 bps dan 209 bps, sehingga masing-masing tercatat pada posisi 13,0 persen dan 13,01 persen di akhir tahun 2007. Sementara itu suku bunga kredit konsumsi juga mengalami penurunan 145 bps dan mencapai posisi 16,13 persen. Membaiknya arah pergerakan suku bunga berimplikasi terhadap terus meningkatnya kinerja perbankan di tahun 2007 yang tercermin dari perbaikan pelaksanaan fungsi intermediasi dan terjaganya stabilitas sistem keuangan. Hal ini khususnya tercermin pada tingginya peningkatan kredit perbankan, sementara itu pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) masih relatif tinggi. Total kredit yang disalurkan perbankan hingga bulan Desember 2007 telah mencapai Rp1.045,7 triliun atau tumbuh sebesar 25,5 persen dibandingkan akhir tahun 2006. Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh 14,1 persen maupun target pertumbuhan kredit yang ditetapkan di awal tahun sebesar 18,0 persen. Pertumbuhan kredit selama tahun 2007 khususnya disumbang oleh kredit modal kerja yang disusul oleh kredit konsumsi dan kredit investasi. Berdasarkan sektornya, pertumbuhan kredit perbankan tahun 2007 terutama disumbang oleh kredit kepada sektor perdagangan (7,1 persen), diikuti oleh jasa dunia usaha (4,4 persen), pertambangan (2,4 persen) dan industri pengolahan (2,2 persen). Di periode yang sama, DPK juga tumbuh tinggi sebesar 17,4 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 yang tumbuh 14,1 persen. Tingginya peningkatan kredit berdampak terhadap meningkatnya angka loan to deposit ratio (LDR) 64,7 persen di tahun 2006 menjadi 69,2 I-16
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
persen di akhir tahun 2007. Peningkatan LDR ini diikuti dengan pengelolaan risiko kredit yang baik. Hal ini tercermin dari tajamnya penurunan total NPL dari 6,98 persen di akhir tahun 2006 menjadi 4,64 persen di tahun 2007. Sementara itu, meskipun terjadi peningkatan kredit yang cukup tinggi, posisi CAR yang mencerminkan tingkat kesehatan permodalan bank masih tinggi sekitar 19,3 persen atau tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya sebesar 20,47 persen Masih cenderung tingginya perkiraan inflasi diperkirakan akan memberikan ruang gerak yang terbatas terhadap penurunan suku bunga kebijakan di tahun 2008. Dalam kondisi tersebut, Bank Indonesia diperkirakan akan berusaha mencapai level BI rate yang aman untuk mencapai sasaran inflasi, namun tetap kondusif bagi aktifitas perekonomian domestik. Dengan kondisi tersebut, maka BI rate diperkirakan masih akan menurun namun tidak secepat di tahun 2007. Selain itu, untuk mencapai Grafik I.13 optimalisasi pelaksanaan operasional BI Rate dan Suku Bunga Perbankan kebijakan moneter, BI akan % melaksanakan inisiatif-inisiatif yang 18 diantaranya adalah inisiatif 16 pengembangan pasar uang domestik 14 dan inisiatif penguatan efektifitas 12 kebijakan moneter. Dalam upaya 10 pengembangan pasar uang domestik, 8 diupayakan melalui pembelian dan 6 J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D pengaktifan kembali instrumen 2006 2007 dalam mengimplementasikan kebijakan moneter. Diantaranya BI Rate Dep 1 KMK KI KK adalah dengan mengaktifkan transaksi repo dengan underlying SBN dan melengkapi jangka waktu penerbitan SBI yaitu SBI 6, 9, dan 12 bulan, serta transaksi dengan menggunakan valas. Dalam upaya untuk penguatan efektifitas kebijakan moneter, operasional kebijakan moneter akan diarahkan untuk menjaga stabilisasi suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB), khususnya over night. Kestabilan di PUAB ini diharapkan dapat menjadi alat transmisi kebijakan moneter yang sekaligus sebagai mekanisme pembentuk struktur kurva imbal hasil jangka pendek yang wajar. Seiring dengan relatif stabilnya perkiraan inflasi ke depan, maka rata-rata suku bunga SBI 3 bulan yang lebih banyak ditentukan oleh persepsi pasar diperkirakan sama dengan asumsi awal yang digunakan dalam APBN 2008 yaitu 7,5 persen.
1.6.5. Harga Minyak Mentah Indonesia Harga minyak mentah internasional selama tahun 2007 terus mengalami peningkatan dan menembus rekor harga tertinggi hingga mencapai kisaran harga US$98 per barel. Sepanjang tahun 2007 (Januari – Desember), rata-rata harga minyak West Texas Intermediete (WTI) mengalami peningkatan sebesar 9,5 persen dari US$66,02 per barel tahun 2006 menjadi US$72,30 per barel. Peningkatan harga minyak dunia tersebut didorong oleh beberapa faktor pemicu baik yang bersifat fundamental maupun non fundamental. Faktor fundamental RAPBN-P 2008
I-17
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
antara lain terkait dengan ketatnya suplai minyak dunia yang disebabkan terganggunya produksi minyak dari beberapa negara utama produsen minyak mentah dunia seperti Nigeria dan Meksiko. Suplai minyak dunia tahun 2007 hanya meningkat 0,36 persen dari 84,5 juta barel per hari di tahun 2006 menjadi 84,8 juta barel per hari dengan kontribusi kenaikan suplai minyak mentah dari OPEC meningkat sekitar 0,57 persen dari 35,3 juta barel per hari di tahun 2006 menjadi 35,7 juta berel per hari tahun 2007. Selain itu dari sisi permintaan kenaikan harga minyak internasional tersebut juga didorong oleh cukup besarnya permintaan minyak dunia yang meningkat 1,3 persen dari 84,8 juta barel per hari tahun 2006 menjadi 85,9 juta barel per hari tahun 2007 terutama karena meningkatnya permintaan dari dua negara konsumen minyak utama dunia yakni AS dan Cina. Konsumsi minyak Cina dalam tahun 2007 meningkat 5,5 persen, dari 7,3 juta barel per hari di tahun 2006 menjadi 7,7 juta barel per hari. Dari sisi nonfundamental, faktor pemicu kenaikan harga minyak internasional antara lain isu geopolitik, gangguan alam, dan tindakan spekulasi para spekulan di pasar minyak dunia. Sejalan dengan naiknya harga minyak mentah internasional, harga rata rata minyak mentah Indonesia (ICP) juga mengalami peningkatan sebesar US$8,04 per barel atau 12,52 persen dari US$64,26 per barel menjadi US$72,3 per barel. Memasuki tahun 2008 harga minyak internasional masih bertahan pada level yang cukup tinggi. Dalam bulan Januari 2008 harga rata-rata minyak WTI mencapai sekitar US$92,98 per barel, lebih tinggi US$1,62 per barel dibandingkan harga bulan Desember 2007 atau lebih tinggi US$38,74 per barel (71,4 persen) dibanding harga Januari 2007. Dalam bulan Januari harga minyak ringan (light sweet) NYMEX pernah mencapai US$100,05 per barel yakni pada tanggal 3 Januari 2008. Sementara itu, rata-rata harga ICP dalam bulan tersebut mencapai US$92,53 per barel atau lebih tinggi US$39,72 per barel (75,2 persen) dibanding harga pada bulan yang sama tahun 2007. Secara keseluruhan, dalam tahun 2008 harga minyak mentah di pasar internasional diperkirakan masih lebih tinggi dibanding harga tahun 2007 lalu. Hal ini disebabkan karena permintaan minyak dunia di luar negara-negara anggota OPEC masih lebih besar dibanding suplainya sehingga menimbulkan tekanan pada harga minyak internasional. Permintaan minyak dunia diperkirakan meningkat 1,6 juta barel per hari dalam tahun 2008 sementara suplai dari negara-negara penghasil minyak non OPEC hanya meningkat sebesar 0,9 juta barel per hari. Energy Information Administration (IEA) AS memperkirakan tahun 2008 harga minyak WTI berada pada level sekitar US$87 per barel. Harga minyak ICP berada dibawah harga minyak WTI sekitar US$5 per barel. Dengan memperhatikan perkembangan harga minyak internasional dan proyeksi harga minyak dunia tahun 2008, maka realisasi harga minyak mentah ICP tahun 2008 diperkirakan mencapai US$83 per barel.
1.6.6. Lifting Minyak Realisasi volume lifting minyak untuk tahun 2007 mencapai 0,899 juta barel per hari, lebih rendah dari perkiraan realisasi dalam APBN-P 2007 sebesar 0,950 juta barel per hari. Tren produksi minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir ini terus mengalami penurunan. Kecenderungan penurunan tersebut terlihat dalam tiga tahun terakhir ini rata-rata penurunan produksi minyak mentah (termasuk kondensat) mencapai 7,3 persen. Hal ini terjadi disamping karena penurunan produksi secara alamiah dari sumur-sumur minyak yang sudah tua juga adanya gangguan produksi akibat bencana alam seperti banjir, serta kegiatan investasi bidang perminyakan yang belum mampu meningkatkan produksi minyak I-18
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
(Juta Barel/hari)
secara signifikan. Sampai Gr a fi k I.14 A su m si da n Rea l i sa si Li ft i n g Mi n y a k In don esi a , 2005-2008 dengan tahun 2007, kegiatan 1,05 eksplorasi yang dilakukan Asumsi Realisasi dalam rangka menemukan 1,00 sumber-sumber minyak baru 0,95 belum menghasilkan minyak 0,90 1,075 secara optimal. Salah satu 1,034 0,85 0,999 1,000 contohnya adalah PT Chevron 0,959 0,950 0,910 Pasific Indonesia (CPI) 0,80 0,899 produsen terbesar minyak 0,75 nasional yang memproduksi 0,70 minyak mentah lebih dari 400 2005 2006 2007 2008 ribu barel per hari, terus mengalami penurunan Catatan: Realisasi 2008 adalah asumsi dalam RAPBN-P 2008 produksi yang mencapai sekitar 6–8 persen setiap tahunnya. Terkait dengan pengembangan sumur-sumur minyak baru, Exxon Mobil yang menguasai minyak di Blok Cepu diharapkan akan dapat menyumbang secara berarti peningkatan produksi minyak nasional, dan diperkirakan baru akan menghasilkan minyak sekitar 165-185 ribu barel per hari pada tahun 2010. Sementara pada akhir tahun 2008 diperkirakan baru dapat memproduksi minyak sekitar 10 ribu barel per hari. Percepatan produksi sumur minyak di wilayah tersebut belum dapat dilakukan secara optimal antara lain karena terkendala dengan masalah pembebasan lahan. Mencermati realisasi lifting minyak yang terjadi dalam tahun sebelumnya dan faktor-faktor yang menghambat peningkatan produksi minyak, maka realisasi lifting minyak mentah tahun 2008 diperkirakan mencapai 0,910 juta barel per hari, lebih rendah dibandingkan perkiraan awal dalam APBN 2008 sebesar 1,034 juta barel per hari. Untuk mengantisipasi penurunan lifting minyak lebih jauh di tahun 2008 pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksi dengan memberikan insentif fiskal antara lain berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 177/PMK.011/2007 dan 178/PMK.011/2007 yang terkait dengan pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai peralatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas alam.
1.7. Asumsi Makro 2008 Memasuki tahun 2008, perekonomian global ditandai dengan meluasnya dampak dari krisis subprime mortgage dan masih tingginya harga minyak mentah dunia. Kedua hal tersebut memicu peningkatan harga komoditas primer di dunia. Hal ini tentunya akan mempengaruhi potensi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dan global. Perlambatan ekonomi AS yang semakin nyata, tentunya akan sangat berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi global, mengingat hampir sepertiga laju pertumbuhan ekonomi dunia ditopang oleh pertumbuhan ekonomi AS. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan telah memperkirakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2008 akan melambat hingga mencapai 4,1 persen. Menurunnya laju pertumbuhan ekonomi tersebut juga dialami oleh negara-negara Uni Eropa, Jepang dan negara-negara lainnya. Proyeksi laju pertumbuhan ekonomi Uni Eropa diperkirakan mencapai 1,6 persen, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di atas 2 persen, dan pertumbuhan ekonomi Jepang diperkirakan mencapai 1,5 persen, lebih rendah bila dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 1,7 persen. RAPBN-P 2008
I-19
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Pelemahan ekonomi global diperkirakan juga akan berdampak pada perkembangan ekonomi nasional tahun 2008, terutama pada penurunan perkiraan pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia dan investasi, sementara konsumsi domestik diperkirakan masih cukup kuat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di tahun 2008 diperkirakan masih cukup tinggi, meskipun lebih rendah dibandingkan perkiraan dalam APBN 2008 Tingginya permintaan domestik dan belum optimalnya program konversi minyak tanah ke gas elpiji, menyebabkan kelangkaan minyak tanah di beberapa daerah. Kondisi ini disertai pula dengan meningkatnya harga bahan pangan seperti minyak goreng, terigu, susu, dan kedelai diperkirakan akan berdampak pada peningkatan tekanan inflasi. Selain itu, ketergantungan hasil panen terhadap faktor cuaca yang sulit diprediksi merupakan salah satu variabel ketidakpastian yang dapat memberikan tekanan tambahan pada laju inflasi. Terkait dengan faktor eksternal, terganggunya fundamental ekonomi seperti nilai tukar rupiah sebagai dampak dari goncangan ekonomi global akan memberi efek terhadap kenaikan inflasi inti sehingga laju inflasi diperkirakan akan meningkat. Dengan memperhatikan menurunnya suku bunga global, akan mendorong suku bunga Bank Indonesia (BI rate) menurun. Dalam tahun 2008, suku bunga BI rate diperkirakan mencapai kisaran 7,5 persen. Hal ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia untuk tetap menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Sementara itu, harga minyak mentah yang di akhir tahun 2007 cukup tinggi, diperkirakan akan cenderung menurun pada tahun 2008, walaupun masih pada level yang tinggi. Peningkatan harga minyak ini tidak disertai kenaikan produksi minyak ICP. Hal ini dikarenakan sumur-sumur minyak baru yang diperkirakan sudah dapat berproduksi secara optimal ternyata produksinya belum seperti yang diharapkan. Sementara sumur-sumur yang tua sudah mengalami natural declining. Hal ini mendorong pemerintah untuk menyesuaikan besaran asumsi lifting minyak. Dengan memperhatikan perkembangan perekonomian terkini, baik global maupun domestik, asumsi makro dalam tahun APBN 2008 disesuaikan menjadi sebagai berikut: tingkat pertumbuhan ekonomi yang semula diasumsikan sebesar 6,8 persen disesuaikan menjadi sebesar 6,4 persen; laju inflasi yang sebelumnya diasumsikan sebesar 6,0 persen disesuaikan menjadi sebesar 6,5 persen; rata-rata nilai tukar rupiah disesuaikan menjadi sebesar Rp9.150,00 per US$ dari sebelumnya sebesar Rp9.100 per US$; rata-rata suku bunga SBI 3 bulan disesuaikan menjadi sebesar 7,5 persen sama dengan asumsi sebelumnya sebesar 7,5 persen; rata-rata harga minyak mentah ICP menjadi sebesar US$83 per barel dari sebelumnya US$60 per barel; dan volume lifting disesuaikan dari 1,034 juta barel per hari menjadi 0,910 juta barel per hari. Perkembangan indikator-indikator ekonomi makro tersebut dapat dilihat dalam Tabel I.4.
1.8. Neraca Pembayaran Kinerja neraca pembayaran Indonesia dalam tahun 2008, selain ditopang oleh kekuatan ekonomi dalam negeri juga sangat dipengaruhi oleh berbagai dinamika dan perubahan yang terjadi pada perekonomian global. Pergerakan harga minyak di pasar internasional yang masih berfluktuasi pada level yang relatif tinggi dalam tahun 2008 yang diikuti dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia, diperkirakan akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Lebih lanjut, dampaknya akan tercermin pada perubahan posisi cadangan devisa. I-20
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
Tabel I.4 Perkembangan Asumsi Dasar Ekonomi Makro, 2007 – 2008 Indikator 1 2 3 4 5 6
Pertumbuhan ekonomi (%) Tingkat inflasi (%) Rata-rata Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) Suku bunga SBI-3 bulan (%) Harga Minyak ICP (US$/Barel) Lifting Minyak (Juta Barel/Hari)
2007 Realisasi
6,3* 6,59 9.140 8,04 72,31 0,899
2008 APBN
6,8 6,0 9.100 7,5 60,0 1,034
RAPBN-P
6,4 6,5 9.150 7,5 83,0 0,910
*) Angka sementara Sumber: Departemen Keuangan
Dalam RAPBN-2008, cadangan devisa diperkirakan meningkat sebesar US$13.325 juta menjadi US$70.245 juta dibandingkan dengan perkiraan realisasi tahun 2007 sebesar US$56.920 juta, atau bertambah sebesar US$3.355 juta dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam APBN 2008 sebesar US$66.890 juta. Peningkatan cadangan devisa tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya ekspor seiring dengan meningkatnya harga-harga komoditas di pasar internasional dan meningkatnya arus masuk modal asing. Realisasi nilai ekspor dalam RAPBN-P 2008 diperkirakan mencapai US$130.762 juta, atau sekitar 9,7 persen lebih tinggi dari perkiraan dalam APBN 2008 yang mencapai US$119.210 juta. Sementara itu, realisasi nilai impor diperkirakan mencapai US$99.310 juta, atau meningkat sekitar 7,8 persen dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN 2008, terutama didorong oleh impor nonmigas seiring dengan akselerasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan impor migas akibat masih tingginya harga minyak di pasar internasional. Dengan perkiraan nilai ekspor tumbuh lebih tinggi dari pada nilai impor, surplus neraca perdagangan diperkirakan bertambah dari US$27.091 juta dalam APBN 2008 menjadi US$31.452 juta dalam RAPBN-P 2008. Di lain pihak, realisasi neraca jasa-jasa juga diperkirakan mengalami defisit yang lebih tinggi, yaitu sebesar US$22.745 juta, dibandingkan dengan perkiraan defisit dalam APBN 2008 sebesar US$21.034 juta. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya jasa-jasa transportasi (freight), transfer pendapatan investasi asing ke luar negeri, dan jasa bunga pinjaman luar negeri pemerintah. Berdasarkan perkiraan realisasi neraca perdagangan dan neraca jasa-jasa tersebut, realisasi neraca transaksi berjalan (current accounts) dalam RAPBN-P 2008 diperkirakan mengalami surplus sebesar US$8.707 juta (1,8 persen dari PDB), yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan neraca transaksi berjalan di dalam APBN 2008 dengan surplus sebesar US$6.057 juta (1,4 persen dari PDB). Realisasi neraca modal dan finansial dalam RAPBN-P 2008, diperkirakan mencatat surplus sebesar US$4.618 juta, lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN 2008 dengan surplus sebesar US$4.678 juta. Penurunan tersebut terutama bersumber dari perkiraan realisasi neraca modal sektor swasta yang mengalami penurunan surplus sebesar US$1.218 juta, lebih besar dari pada tambahan surplus neraca modal sektor publik sebesar RAPBN-P 2008
I-21
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
BOKS I.1 DAMPAK KRISIS SUBPRIME MORTGAGE TERHADAP INDONESIA Beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan dampak dari krisis subprime mortgage terhadap Indonesia, yaitu : i)
Dampak terhadap Pasar Saham dan Pasar Obligasi Krisis tersebut berpotensi memukul pasar perdana dan sekunder sehingga dapat menurunkan kemampuan pemerintah dan swasta dalam meminjam dana dari masyarakat, baik dalam bentuk obligasi maupun saham. Pengalaman penjualan perdana saham BNI 46 adalah salah satu contoh dampak subprime mortgage dengan tidak optimalnya penerimaan pemerintah.
ii) Dampak terhadap pasar Valas Dapat menimbulkan gejolak volatilitas di pasar valas sehingga akan berakibat menurunnya capital inflow dan tertekannya ekspor, disisi lain kebutuhan valas untuk impor minyak meningkat. iii) Dampak terhadap perbankan Perbankan perlu meningkatkan kehati-hatian dalam rangka pengucuran dana, disamping itu krisis ini berpotensi meningkatkan risiko NPL. iv) Dampak terhadap sektor riil Dampak krisis subprime mortgage telah mendorong kenaikan harga komoditi internasional termasuk minyak bumi, sehingga dunia usaha/industri harus membayar lebih mahal biaya transportasi. Selain itu, biaya peminjaman akan meningkat, sementara penjualan menurun sehingga dapat mengurangi laba usaha. v)
Dampak terhadap APBN Secara tidak langsung krisis tersebut berpotensi menambah defisit APBN. Hal ini dikarenakan pembiayaan defisit melalui penerbitan obligasi akan semakin mahal. Dengan demikian perlu dicarikan tambahan pembiayaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dampak lanjutan dari subprime mortgage perlu diwaspadai, khususnya efek tidak langsungnya yang dapat menggangu pasar uang dan pasar modal Indonesia. Oleh karenanya kerjasama regulator keuangan dan perbankan yang lebih luas, regional dan internasional, perlu ditingkatkan. Dalam hal ini koordinasi kebijakan antarnegara dapat meminimalkan dampak negatif yang timbul, antara lain melalui kerjasama stabilisasi keuangan internasional dan pemantauan dini (surveillance)
I-22
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
US$1.158 juta. Realisasi neraca modal sektor publik diperkirakan mencapai US$3.232 juta, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan surplus dalam APBN 2008 sebesar US$2.074 juta. Tambahan ini terutama bersumber dari penerbitan obligasi pemerintah dalam valuta asing (global bond) dan tingginya pembelian surat utang negara (SUN) oleh investor luar negeri (net-buying). Sementara itu, realisasi neraca modal sektor swasta dalam RAPBN-P 2008 diperkirakan mengalami surplus sebesar US$1.386 juta, lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN 2008 sebesar US$2.604 juta. Penurunan surplus neraca modal sektor swasta ini terutama berasal dari meningkatnya arus keluar investasi lainnya. Meskipun demikian, kinerja aliran masuk penanaman modal asing (PMA) dalam RAPBN-P 2008 diperkirakan meningkat sekitar 9,1 persen menjadi US$4.007 juta, dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN 2008 yang mencapai US$3.674 juta. Peningkatan aliran masuk PMA ini terkait dengan iklim investasi di Indonesia yang semakin membaik. Demikian pula investasi jangka pendek (portfolio investment), dalam RAPBN-P 2008 diperkirakan masih surplus sebesar US$3.522 juta, atau meningkat sekitar 223,1 persen dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN 2008 yang mencapai US$1.090 juta, terutama didorong oleh stabilitas ekonomi makro yang tetap terpelihara dan masih kompetitifnya imbal hasil yang ditawarkan oleh produk-produk investasi tersebut di Indonesia dibandingkan negara-negara pesaingnya. Ringkasan neraca pembayaran Indonesia tahun 2007, APBN dan RAPBN-P tahun 2008 dapat dicermati pada Tabel I.5.
1.9. Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2008 Melambatnya kinerja perekonomian global sebagai dampak krisis subprime mortgage dan melambungnya harga minyak mentah di pasar internasional akan berpengaruh terhadap performa perekonomian nasional. Kinerja ekspor impor nasional diperkirakan akan mengalami penurunan dan arus modal masuk (capital inflow) akan semakin rendah. Sebaliknya tekanan inflasi pada beberapa harga komoditi seperti minyak goreng, tepung terigu dan kedelai justru semakin tinggi mengikuti tren harga komoditi internasional. Dengan melihat berbagai perkembangan ini, pemerintah akan melakukan review terhadap sejumlah asumsi dasar APBN 2008 yang lebih realistis. Selain itu, review ini juga dilakukan untuk menghitung kembali dampak yang mungkin terjadi pada APBN 2008, baik dari sisi penerimaan, belanja negara, maupun pembiayaan sebagai akibat dari ketidakstabilan ekonomi global khususnya karena kenaikan harga minyak internasional. Adapun tema yang diusung dalam RAPBN-P 2008 adalah ‘Mengurangi Beban Masyarakat dengan Tetap Menjaga Momentum Pertumbuhan’.
1.9.1. Pencapaian APBN Tahun 2007 Pesatnya peningkatan harga minyak dunia dan beberapa komoditas pangan di pasar dunia serta krisis sektor keuangan Amerika Serikat yang dimulai pada pada semester II-2007 tentunya akan berpengaruh pada pencapaian sasaran pendapatan dan hibah, belanja negara, maupun pembiayaan anggaran. Realisasi pendapatan negara dan hibah yang terdiri dari penerimaan dalam negeri dan hibah mencapai Rp708,5 triliun, atau lebih tinggi 2,1 persen dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN-P 2007. Demikian pula dengan belanja negara yang mencapai Rp757,2 triliun juga lebih tinggi 0,6 persen, sedangkan untuk pembiayaan, realisasinya lebih rendah 16,4 persen dari perkiraan dalam APBN-P 2007. RAPBN-P 2008
I-23
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Tabel I.5 NERACA PEMBAYARAN INDONESIA, 2007- 2008 (US$ juta) ITEM A. TRANSAKSI BERJALAN
2007 Real.
2008 RAPBN-P APBN
11.362
6.057
8.707
33.135 117.990 -84.855 -21.773
27.091 119.210 -92.119 -21.034
31.452 130.762 -99.310 -22.745
B. NERACA MODAL DAN FINANSIAL Sektor Publik, neto - Penerimaan pinjaman dan bantuan a. Bantuan program dan lainnya b. Bantuan proyek dan lainnya - Pelunasan pinjaman
3.790 2.774 9.141 2.265 6.876 -6.367
4.678 2.074 8.193 1.692 6.501 -6.119
4.618 3.232 9.963 2.792 7.171 -6.731
Sektor Swasta, neto - Penanaman modal langsung, neto - Investasi portfolio - Lainnya, neto
1.016 1.873 5.577 -6.434
2.604 3.674 1.090 -2.160
1.386 4.007 3.522 -6.143
C. TOTAL (A + B)
15.152
10.735
13.325
D. SELISIH YANG BELUM DIPERHITUNGKAN
-2.572
0
0
E. KESEIMBANGAN UMUM
12.580
10.735
13.325
-12.580
-10.735
-13.325
-12.580 56.920 2,6
-10.735 66.890 1,4
-13.325 70.245 1,8
Neraca Perdagangan a. Ekspor, fob b. Impor, fob Neraca Jasa-jasa, neto
F. PEMBIAYAAN Perubahan cadangan devisa*) Cadangan devisa Transaksi berjalan/PDB (%)
*) Tanda negatif berarti penambahan devisa dan tanda positif berarti pengurangan devisa Sumber : Bank Indonesia, Depkeu (diolah)
Peningkatan penerimaan dalam negeri ini terutama disebabkan oleh meningkatnya pajak penghasilan migas, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA) baik migas maupun non migas, sebagai dampak dari tingginya harga minyak mentah. Sedangkan peningkatan belanja negara lebih disebabkan oleh meningkatnya belanja subsidi, baik subsidi energi (BBM dan Listrik) maupun subsidi nonenergi. Peningkatan subsidi energi terjadi sebagai akibat dari meningkatnya harga minyak mentah yang mencapai US$72,31 per barel, melebihi asumsi harga minyak dalam APBN-P 2007 sebesar US$60 per barel. Sementara meningkatnya subsidi nonenergi berasal dari tambahan subsidi pajak. Dengan realisasi pendapatan negara dan hibah pada APBN 2007 sebesar Rp708,5 triliun dan realisasi belanja negara sebesar Rp757,2 triliun, realisasi defisit anggaran pada tahun I-24
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
2007 mencapai Rp48,8 triliun atau setara dengan 1,3 persen terhadap PDB. Realisasi defisit anggaran pada APBN 2007 ini lebih rendah jika dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN-P 2007 yang sebesar Rp58,3 triliun atau sekitar 1,5 persen terhadap PDB. Untuk menutup realisasi defisit anggaran pada APBN 2007 sebesar Rp48,8 triliun tersebut, sumber dananya diupayakan dari pembiayaan dalam dan luar negeri. Realisasi pembiayaan dalam negeri mencapai Rp72,7 triliun, lebih tinggi 2,6 persen dibandingkan dengan yang direncanakan dalam APBN-P. Sedangkan pembiayaan luar negeri neto mencapai minus Rp23,9 triliun, lebih tinggi dibandingkan rencananya dalam APBN-P 2007 sebesar Rp12,5 triliun. Lebih tingginya pembiayaan luar negeri neto ini dikarenakan rendahnya realisasi penarikan pinjaman proyek di satu sisi, di sisi lain pembayaran cicilan pokok utang meningkat sejalan dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah pada akhir tahun 2007.
1.9.2. Sasaran RAPBN Perubahan Tahun 2008 dan Kebijakan Fiskal 2008 Berdasarkan perkembangan perekonomian global dan domestik terkini, Pemerintah melakukan beberapa perubahan terhadap variabel variabel ekonomi makro tahun 2008 yang digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan APBN 2008. Perubahan terhadap beberapa asumsi dasar ini dilakukan dengan pertimbangan: (i) faktor-faktor eksternal, seperti kinerja perekonomian dunia, harga minyak mentah, dan harga komoditas pangan dunia yang mempengaruhi perkembangan berbagai indikator ekonomi makro sehingga pada gilirannya berpengaruh terhadap besaran pendapatan nasional, belanja negara, dan pembiayaan anggaran; (ii) berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi; (iii) penilaian (assessment) terkini atas kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam negeri pada tahun berjalan, serta perkiraan prospek pada tahun mendatang; serta (iv) perkiraan realisasi pelaksanaan APBN tahun berjalan. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor di atas, perkiraan pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2008 diubah dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Sementara itu, suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan 7,5 persen, laju inflasi 6,5 persen, dan nilai tukar Rp9.150 per US$. Sedangkan, harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan mencapai US$83 per barel, seiring dengan belum stabilnya kondisi demand dan supply di pasaran internasional. Perkiraan produksi minyak mentah Indonesia (lifting) juga disesuaikan dari 1,034 menjadi 0,910 juta barel per hari. Perubahan besaran–besaran asumsi makro dalam tahun 2008, tentunya akan mempengaruhi besaran APBN 2008. Dalam RAPBN-P 2008, pendapatan negara dan hibah diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 7,4 persen yaitu dari Rp781,4 triliun (18,1 persen terhadap PDB) pada APBN 2008 menjadi Rp839,4 triliun (19,6 persen terhadap PDB) pada RAPBN-P 2008. Pendapatan negara dan hibah yang sebesar Rp839,4 triliun tersebut antara lain berasal dari (i) penerimaan dalam negeri sebesar Rp836,7 triliun atau meningkat sebesar Rp57,5 triliun (7,4 persen), dari pagunya dalam APBN 2008 yang sebesar Rp779,2 triliun dan (ii) penerimaan hibah pada RAPBN-P 2008 ini diperkirakan mengalami peningkatan yang berarti, yaitu sebesar 26,5 persen, menjadi Rp2,7 triliun. Untuk penerimaan dalam negeri, terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp601,5 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp235,2 triliun. Penerimaan perpajakan dalam RAPBN-P 2008
I-25
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
RAPBN-Perubahan 2008 diperkirakan meningkat sebesar 1,6 persen, yakni dari Rp592,0 triliun pada APBN 2008 menjadi Rp601,5 triliun pada RAPBN-P 2008. Sedangkan penerimaan bukan pajak diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 25,6 persen, yaitu dari Rp187,2 triliun pada APBN 2008 menjadi Rp235,2 triliun pada RAPBN-P 2008. Di tengah kondisi perekonomian pada tahun 2008 yang diperkirakan lebih lambat dibandingkan asumsi yang digunakan pada APBN 2008, penerimaan dalam negeri diupayakan untuk tetap mengalami peningkatan. Namun demikian, upaya peningkatan penerimaan dalam negeri tersebut tetap memperhatikan kebutuhan untuk memberikan ruang bagi dunia usaha untuk dapat tetap tumbuh. Berbagai langkah yang diambil untuk menjaga kinerja penerimaan dalam negeri pada tahun 2008, antara lain dilakukan melalui (i) optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak dan (ii) optimalisasi penerimaan negara dari sektor nonpajak (PNBP). Optimalisasi penerimaan sektor perpajakan antara lain diperoleh dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, yaitu dengan mempertahankan tarif PPh Badan tetap pada tingkat yang berlaku saat ini, sehingga tarif PPh Badan tetap sebesar 30 persen dan tarif PPh Orang/Pribadi sebesar 35 persen. Dengan mempertahankan tarif PPh pada tingkat tersebut, maka langkah ini berpotensi memberikan dampak pada kenaikan penerimaan negara. Kedua, extra effort perpajakan dengan langkah intensifikasi dan ekstensifikasi pada sektor-sektor yang diperkirakan memperoleh keuntungan dari meningkatnya harga minyak (booming) dan komoditi seperti sektor perkebunan dan pertambangan. Langkah ini diperkirakan mampu memberikan kontribusi pada kenaikan penerimaan negara. Ketiga, intensifikasi penerimaan dari cukai yang diperkirakan mampu memberikan insentif kepada pemerintah daerah sehingga cukai ilegal dapat diperangi dan pada akhirnya akan menaikkan penerimaan negara. Diperkirakan, langkah intensifikasi penerimaan cukai ini akan dapat memberikan tambahan penerimaan. Keempat, memberlakukan tambahan Bea Keluar untuk CPO dan produk derivatifnya. Sementara itu, langkah optimalisasi penerimaan sektor nonperpajakan (PNBP) terutama diperoleh dari penerimaan dividen BUMN. Kenaikan harga minyak mentah, komoditi pertambangan, dan perkebunan, memiliki dampak yang positif bagi peningkatan kinerja BUMN yang bergerak di sektor-sektor tersebut. Peningkatan kinerja BUMN tersebut akan meningkatkan laba bersihnya yang pada akhirnya meningkatkan bagian pemerintah dari laba bersih BUMN terkait. Optimalisasi penerimaan dari PNBP dari dividen BUMN tersebut juga akan dilakukan melalui penerapan dividen interim pada sejumlah BUMN. Diperkirakan, dividen interim tersebut dapat diperoleh dari Pertamina dan BUMN lainnya. Tentunya, langkah penerapan dividen interim tersebut tetap memperhatikan tingkat cash flow BUMN terkait sehingga tidak mengganggu kelangsungan operasionalnya. Dalam rangka mengamankan pasokan komoditas strategis di dalam negeri, Pemerintah pada tahun 2008 ini akan melakukan sejumlah langkah pengurangan beban pajak atas komoditas pangan strategis, seperti beras, minyak goreng, terigu, dan kedelai. Untuk beras, Pemerintah akan menurunkan bea masuk impor, yaitu dari Rp550 per kg menjadi sebesar Rp450 per kg. Sedangkan untuk minyak goreng, Pemerintah akan melanjutkan penerapan kebijakan PPN yang ditanggung Pemerintah. Langkah kedua adalah dengan penerapan bea keluar atas ekspor CPO biofuel, dan produk turunan CPO lainnya. Untuk komoditas terigu, Pemerintah akan melakukan langkah-langkah seperti (i) menurunkan bea masuk terigu dan (ii) penerapan PPN gandum dan terigu yang ditanggung Pemerintah. Sedangkan, I-26
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
untuk komoditas kedelai, Pemerintah akan menerapkan langkah-langkah seperti (i) penurunan bea masuk impor, yaitu dari 5 persen menjadi 0 persen dan (ii) penurunan PPh impor kedelai dari 2,5 persen menjadi tinggal 0,5 persen. Sejalan dengan kebijakan untuk mengamankan pasokan komoditi strategis, belanja negara dalam RAPBN Perubahan 2008 mengalami peningkatan 8,4 persen dibandingkan dengan pagunya dalam APBN 2008, yakni dari Rp854,7 triliun (19,8 persen terhadap PDB) menjadi Rp926,2 triliun (21,6 persen terhadap PDB). Peningkatan belanja negara ditengah suasana perekonomian yang melambat, di satu sisi menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan atas berbagai perkembangan situasi ekonomi internal dan eksternal, dan di sisi lain juga menunjukkan adanya peran aktif pemerintah untuk menggerakkan perekonomian nasional dan meredam pengaruh negatif dari gejolak harga komoditi strategis. Berdasarkan komposisinya, perkiraan belanja negara pada RAPBN-P 2008 sebesar Rp926,2 triliun terdiri dari pos belanja pemerintah pusat sebesar Rp641,4 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp284,8 triliun. Untuk belanja pemerintah pusat, perkiraan peningkatan belanja terjadi pada belanja subsidi, yang terdiri dari belanja subsidi energi dan non-energi. Perkiraan belanja subsidi energi mengalami kenaikan 113,2 persen dari Rp75,6 triliun pada APBN 2008 menjadi Rp161,2 triliun pada RAPBN-P 2008. Sedangkan, belanja subsidi non-energi diperkirakan meningkat 112,8 persen dari Rp22,3 triliun menjadi Rp47,4 triliun. Belanja subsidi energi yang mengalami kenaikan terbesar adalah belanja subsidi BBM yang disalurkan melalui Pertamina yang diperkirakan meningkat 131,8 persen, yakni dari Rp45,8 triliun pada APBN 2008 (1,1 persen terhadap PDB) menjadi Rp106,2 triliun pada RAPBN P 2008 (2,5 persen terhadap PDB). Sementara itu, subsidi listrik, diperkirakan meningkat 84,7 persen, yaitu dari Rp29,8 triliun pada APBN 2008 (0,7 persen terhadap PDB) menjadi Rp55,0 triliun pada RAPBN-P 2008 (1,3 persen terhadap PDB). Dalam rangka menekan subsidi energi, akan dilakukan beberapa langkah kebijakan antara lain melalui: (i) perbaikan parameter konsumsi BBM dan listrik; (ii) program konversi minyak tanah ke LPG; dan (iii) gerakan penghematan BBM dan listrik melalui berbagai kebijakan, misalnya penggunaan lampu hemat energi, penggunaan BBM nonsubsidi, energi alternatif, biofuel, dan lain sebagainya. Perbaikan parameter produksi, dilakukan dengan melakukan optimalisasi produksi/lifting minyak. Beberapa hal yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan insentif pajak dan bea masuk yang akan diberikan pada perusahaan minyak yang sudah melakukan eksplorasi. Dengan beberapa upaya ini diharapkan lifting minyak di tahun 2008 akan lebih tinggi dari realisasi lifting 2007. Dari segi konsumsi BBM dan listrik, beberapa program yang diharapkan akan berjalan di tahun 2008 adalah pengurangan penggunaan volume BBM dengan meningkatkan keberhasilan program konversi minyak tanah ke LPG, dengan cara menghilangkan hambatan operasi, penyediaan infrastruktur, dan perijinan daerah. Selain itu, untuk menekan tingkat kebocoran subsidi energi akibat inefisiensi, maka Pemerintah akan melakukan sejumlah langkah efisiensi di tubuh PT Pertamina dan PT PLN. Langkah efisiensi dalam rangka menekan tingkat subsidi BBM antara lain dilakukan melalui: (i) penurunan tingkat alpha sebesar 1 persen, yaitu dari sebesar 13,5 persen menjadi sebesar 12,5 persen; (ii) pembatasan konsumsi premium dan solar bersubsidi melalui smart card;
RAPBN-P 2008
I-27
Bab I
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
dan (iii) pembatasan konsumsi minyak tanah melalui kartu kendali. Sementara itu, langkah efisiensi dalam rangka menekan tingkat subsidi listrik antara lain dilakukan melalui: (i) menjaga susut jaringan PLN sekitar 11,4 persen; (ii) penghematan subsidi listrik dengan mengenakan tarif progresif; dan (iii) memastikan rasio penggunaan BBM untuk pembangkit maksimum 27 persen. Di samping melakukan sejumlah langkah untuk menekan subsidi energi, Pemerintah juga akan melakukan sejumlah penghematan dan penajaman prioritas belanja negara yang diperkirakan akan dapat menghemat anggaran belanja negara di kementerian negara/ lembaga dan transfer ke daerah. Langkah-langkah penghematan dan penajaman prioritas belanja negara yang berasal dari: (i) penghematan anggaran kementerian negara/lembaga; dan (ii) penghematan dana infrastruktur sarana dan prasarana ke Daerah. Namun demikian, penghematan dan penajaman prioritas tersebut dilakukan tanpa mengganggu alokasi belanja untuk program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) dan pembangunan infrastruktur, sehingga diharapkan tidak menggangu perekonomian nasional. Pada RAPBN-P 2008, Pemerintah menganggarkan penambahan subsidi pangan. Penambahan anggaran subsidi pangan (termasuk beras untuk rakyat miskin/Raskin) antara lain dilakukan dengan: (i) menambah volume raskin sebesar 5 kg/Rumah Tangga Miskin, dan (ii) penyusunan program subsidi pangan tambahan kepada Rumah Tangga Miskin dalam bentuk subsidi minyak goreng dan subsidi kedelai. Sementara itu, untuk pos transfer ke daerah akan mengalami peningkatan sebesar 1,3 persen dari Rp281,2 triliun (6,5 persen terhadap PDB) dalam APBN 2008 menjadi Rp284,8 triliun (6,6 persen terhadap PDB) pada RAPBN-P 2008.
1.9.3. Pengendalian Defisit dalam RAPBN-P 2008 Besaran defisit anggaran dalam RAPBN-P 2008 ditetapkan sebesar Rp86,8 triliun atau sekitar 2,0 persen terhadap PDB. Perkiraan defisit anggaran dalam RAPBN-P 2008 ini mengalami peningkatan 18,4 persen jika dibandingkan dalam APBN 2008 yang sebesar Rp73,3 triliun (1,7 persen terhadap PDB). Dalam rangka menutup defisit anggaran dalam RAPBN-P 2008 tersebut Pemerintah berencana melakukan pembiayaan, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Pembiayaan dari dalam negeri diperkirakan sebesar Rp104,2 triliun, sedangkan pembiayaan luar negeri neto sebesar negatif Rp17,4 triliun. Selain itu, Pemerintah juga akan menempuh kebijakan dalam rangka menutup defisit anggaran pada RAPBN-P 2008, yakni: optimalisasi pembiayaan dan optimalisasi pinjaman program. Sebagai dampak meningkatnya harga minyak ICP, daerah penghasil SDA migas memperoleh windfall dengan mendapat DBH migas yang lebih besar. Untuk mengamankan APBN 2008, Pemerintah berencana akan menerapkan kebijakan penempatan surplus kas daerah penghasil migas kepada instrumen bebas risiko (risk-free), seperti surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk mengurangi biaya intermediasi, SBN bisa dibeli langsung oleh Pemerintah Daerah sehingga Pemerintah Daerah dapat langsung menikmati benefit-nya.
I-28
RAPBN-P 2008
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
BOKS I.2 9 Langkah Pengamanan APBN 2008 A. Optimalisasi Pendapatan: 1. Optimalisasi Perpajakan, PNBP dan Dividen BUMN B. Penghematan Belanja: 2. Penggunaan Dana Cadangan APBN 3. Penghematan dan Penajaman Prioritas Belanja K/L 4. Perbaikan Parameter Produksi dan Subsidi BBM dan Listrik 5. Efisiensi di Pertamina dan PLN C. Pelonggaran Defisit dan Optimalisasi Pembiayaan: 6. Pemanfaatan Dana Kelebihan (windfall) di Daerah 7. Penerbitan Obligasi/SBN dan Optimalisasi Pinjaman Program D. Program Stabilisasi Harga: 8. Pengurangan beban-beban pajak atas komoditas pangan strategis 9. Penambahan Subsidi Pangan
1.9.4. Paket Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Pokok Dalam upaya meringankan beban masyarakat atas dampak dari kenaikan harga harga komoditas dunia yang berimbas pada kenaikan harga komoditas dalam negeri, pemerintah akan melakukan berbagai upaya penanganan lebih lanjut. Langkah kongkrit yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan pengurangan beban pajak terhadap komoditas pangan. Hal ini tercermin dari penurunan bea masuk impor beras dari Rp550 per kg menjadi Rp450 per kg, melanjutkan program PPN ditanggung Pemerintah untuk minyak goreng, penerapan bea keluar CPO di atas US$1.100, biofuel, dan produk turunan CPO lainnya, Penurunan BM terigu, PPN gandum dan terigu ditanggung Pemerintah, penurunan BM impor kedelai dari 5 persen menjadi 0 persen, dan penurunan PPh impor kedelai dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen. Disamping itu, pemerintah juga akan mengalokasikan anggaran untuk penambahan subsidi Pangan, yakni dengan program penambahan anggaran subsidi pangan melalui penambahan volume raskin 5 kg per Rumah Tangga Miskin dengan alokasi anggaran, subsidi minyak goreng, dan penyusunan program bantuan langsung kepada perajin tempe dan tahu. Dengan berbagai program stabilisasi harga ini, diharapkan harga komoditi akan dapat ditekan pada tingkat yang wajar. Selanjutnya, dalam Tabel I.6 dapat dilihat postur RAPBN-P 2008.
RAPBN-P 2008
I-29
Perkembangan Asumsi Dasar APBN dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2008
Bab I
Tabel I.6
RINGKASAN RAPBN-P 2008 *) (dalam miliar rupiah) APBN
% thd PDB
RAPBN-P
% thd PDB
Perubahan
A. Pendapatan Negara dan Hibah
781.354,1
18,1
839.401,5
19,6
58.047,3
I. Penerimaan Dalam Negeri
779.214,5
18,1
836.695,5
19,5
57.481,1
1.
Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak penghasilan 1. PPh Migas 2. PPh Non-Migas ii. Pajak pertambahan nilai iii. Pajak bumi dan bangunan iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea masuk ii. Bea Keluar
591.978,4 569.971,7 305.961,4 41.649,8 264.311,6 187.626,7 24.159,7 4.852,7 44.426,5 2.944,6 22.006,7 17.940,8 4.065,9
13,7 13,2 7,1 1,0 6,1 4,4 0,6 0,1 1,0 0,1 0,5 0,4 0,1
601.476,4 572.784,8 297.096,6 46.736,6 250.360,0 195.412,9 25.803,9 5.412,2 45.717,5 3.341,7 28.691,6 17.880,3 10.811,3
14,0 13,4 6,9 1,1 5,8 4,6 0,6 0,1 1,1 0,1 0,7 0,4 0,3
9.498,0 2.813,1 -8.864,8 5.086,8 -13.951,6 7.786,2 1.644,2 559,5 1.291,0 397,1 6.684,9 -60,5 6.745,4
2.
Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA
187.236,1 126.203,2
4,3 2,9
235.219,2 161.387,1
5,5 3,8
47.983,1 35.183,9
i. Migas ii. Non Migas b. Bagian Laba BUMN
117.922,0 8.281,2 23.404,3 37.628,6
2,7 0,2 0,5 0,9
152.240,9 9.146,1 31.404,3 42.427,8
3,6 0,2 0,7 1,0
34.318,9 865,0 8.000,0 4.799,2
2.139,7
0,0
2.705,9
0,1
566,2
854.660,2
19,8
926.228,6
21,6
71.568,4
573.430,7
13,3
641.393,5
15,0
67.962,8
c. PNBP Lainnya II. Hibah
B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat 1.
Belanja K/L
311.947,0
7,2
272.063,7
6,3
-39.883,3
2.
Belanja Non K/L
261.483,7
6,1
369.329,8
8,6
107.846,1
281.229,5
6,5
284.835,0
6,6
3.605,6
266.780,1 66.070,8 179.507,1 21.202,1
6,2 1,5 4,2 0,5
274.776,2 74.066,9 179.507,1 21.202,1
6,4 1,7 4,2 0,5
7.996,1 7.996,1 0,0 0,0
II. Transfer Ke Daerah 1.
Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus
2.
Dana Otonomi Khusus dan Peny.
C. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) D. Pembiayaan (I + II) I. Pembiayaan Dalam Negeri 1. Perbankan dalam negeri 2. Non-perbankan dalam negeri a. Privatisasi (neto) b. Penj aset PT. PPA c. Surat Berharga Negara (neto) d. Dana Investasi Pemerintah II. Pembiayaan Luar negeri (neto) 1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek 2. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN
14.449,3
0,3
10.058,8
0,2
-4.390,5
-73.306,0
-1,7
-86.827,1
-2,0
-13.521,1
73.306,0
1,7
86.827,1
2,0
13.521,1
89.975,3 300,0 89.675,3 1.500,0 600,0 91.575,3 -4.000,0
2,1 0,0 2,1 0,0 0,0 2,1 -0,1
104.215,9 -11.700,0 115.915,9 1.500,0 600,0 116.639,0 -2.823,1
2,4 -0,3 2,7 0,0 0,0 2,7 -0,1
14.240,6 -12.000,0 26.240,6 0,0 0,0 25.063,7 1.176,9
-16.669,3 42.989,3 19.110,0 23.879,3 (59.658,6)
-0,4 1,0 0,4 0,6 (1,4)
-17.388,8 44.202,7 23.790,0 20.412,7 (61.591,5)
-0,4 1,0 0,6 0,5 (1,4)
-719,5 1.213,4 4.680,0 (3.466,6) (1.932,9)
*) Perbedaan angka di belakang koma terhadap angka penjumlahan adalah karena pembulatan Sumber: Departemen Keuangan
I-30
RAPBN-P 2008