Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
BAB VI PEMBIAYAAN ANGGARAN DAN RISIKO FISKAL 6.1 Pendahuluan Kebijakan defisit anggaran dalam Rancangan APBN tahun 2011 selain ditujukan untuk mendukung ekspansi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, di tengah situasi perekonomian global yang tengah dalam proses pemulihan; sekaligus juga dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan fiskal. Pengalaman mengajarkan, bahwa ekspansi fiskal yang besar yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, yang dibiayai dengan utang, telah mengakibatkan beberapa negara Eropa, seperti Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol mengalami krisis utang dan defisit fiskal yang berat. Dunia bahkan mencemaskan krisis utang dan fiskal yang terjadi di sebagian kawasan Eropa tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan baru yang dapat mengganggu proses pemulihan perekonomian global yang tengah berlangsung. Sebagai salah satu instrumen utama kebijakan countercyclical, kebijakan ekspansi fiskal yang diambil oleh berbagai negara di dunia dalam mengatasi dampak krisis keuangan global, antara lain melalui pemberian stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan melakukan konsolidasi fiskal melalui efisiensi jenis belanja tertentu untuk mengurangi tekanan fiskal, dinilai cukup efektif dalam memperpendek lamanya krisis ekonomi. Hal ini antara lain diindikasikan oleh adanya perbaikan sektor keuangan dan pemulihan kegiatan sektor riil. Perbaikan di sektor keuangan, khususnya di Eropa sebagai pusat krisis antara lain terlihat pada meningkatnya peminat lelang obligasi negara yang dilakukan oleh Spanyol, Portugal, Irlandia, dan Yunani. Namun demikian, perbaikan kondisi sektor keuangan negara-negara di kawasan tersebut, masih perlu diwaspadai mengingat belum sepenuhnya kembali ke kondisi sebelum krisis, yang antara lain ditunjukan oleh masih tingginya volatilitas yield obligasi, indikator pasar modal, dan nilai tukar. Sebagaimana dilakukan oleh banyak negara-negara di dunia, kebijakan pemberian stimulus fiskal bagi perekonomian juga dilakukan oleh Indonesia, sebagai respon dalam menyelamatkan perekonomian nasional, dan sekaligus meminimalisasi dampak krisis ekonomi dan keuangan global, terutama terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan anggaran defisit yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagaimana tercermin dalam APBN-P tahun 2008 dan 2010. Dibandingkan dengan dengan persentase defisit pada periode sebelum 2007, besarnya defisit APBN-P pada tahun 2008 dan 2009 tersebut relatif lebih tinggi, yaitu berada pada kisaran 2,1 persen dan 2,4 persen terhadap PDB. Namun demikian, peningkatan defisit yang digunakan untuk memberikan stimulus fiskal tidak sepenuhnya dapat terealisasi sebagaimana yang direncanakan. Hal ini ditunjukan melalui realisasi defisit tahun 2008 dan 2009 yang lebih rendah dari yang ditargetkan, yaitu hanya sebesar 0,1 persen dan 1,6 persen terhadap PDB. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa komponen pendapatan negara yang diperkirakan akan mengalami penurunan akibat krisis global justru menunjukan peningkatan, sehingga melampaui target, sementara di sisi belanja negara, beberapa pos pengeluaran tidak dapat diserap seluruhnya sebagaimana yang dianggarkan. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-1
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Dalam APBN-P tahun 2010, defisit anggaran direncanakan meningkat dari perkiraan APBN 2010 sebesar Rp98,0 triliun (1,6 persen dari PDB) menjadi Rp133,7 triliun (2,1 persen dari PDB). Kenaikan defisit anggaran berkaitan dengan beberapa faktor, diantaranya: (i) naiknya harga minyak dunia, yang menyebabkan meningkatnya beban subsidi energi yang harus ditanggung oleh pemerintah, serta naiknya dana bagi hasil migas yang harus ditransfer ke daerah; (ii) meningkatnya kebutuhan dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara, dan dana bergulir pengadaan tanah untuk jalan tol (BPJT); (iii) dibentuknya dana pengembangan pendidikan nasional; serta (iv) adanya pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan. Kenaikan defisit anggaran tersebut akan dibiayai dari tambahan utang sebesar Rp12,8 triliun, dan pembiayaan non-utang sebesar Rp22,9 triliun. Adanya berbagai pilihan sumber-sumber pembiayaan anggaran tersebut mendorong perlunya disusun kebijakan pengelolaan dan strategi dalam memanfaatkan sumber pembiayaan secara hati-hati dan terukur, dengan mempertimbangkan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang. Dalam melakukan pemilihan dari berbagai alternatif sumber-sumber pembiayaan tersebut, diupayakan dengan terlebih dahulu mengoptimalkan sumber pembiayaan non-utang. Dengan demikian, sumber pembiayaan yang berasal dari utang dipilih sebagai alternatif terakhir pemenuhan defisit anggaran, mengingat adanya biaya dan risiko yang melekat dalam sumber pembiayaan utang. Selanjutnya, sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan yang ramah lingkungan, dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal, dalam tahun 2011, RAPBN direncanakan mengalami defisit sebesar Rp115,7 triliun, atau sekitar 1,7 persen terhadap PDB. Selain untuk memenuhi kebutuhan defisit anggaran, pembiayaan anggaran juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti dana investasi pemerintah, penyertaan modal negara, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban penjaminan. Dengan semakin terbatasnya sumber-sumber pemenuhan pembiayaan non-utang, maka saat ini sumber pembiayaan defisit yang utama berasal dari utang. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pemerintah tetap mengedepankan pertimbangan efisiensi biaya, kemampuan penyediaan dana, dan dampaknya pada masa yang akan datang.
6.2 Realisasi Pembiayaan APBN Sejalan dengan kebijakan ekspansi fiskal yang ditempuh oleh pemerintah, baik dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth), menciptakan lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran (pro-job), dan mengentaskan kemiskinan (pro-poor), maupun memberikan stimulus fiskal dalam memperkecil dampak krisis, dan menyelamatkan perekonomian nasional dari krisis perekonomian global sejak tahun 2008, defisit anggaran dalam kurun waktu 2005-2009 semula dirancang cenderung meningkat, dari 0,9 persen terhadap PDB menjadi 2,4 persen terhadap PDB. Meskipun demikian, realisasi defisit anggaran dalam kurun waktu 2005-2009 masih berada di bawah target yang ditetapkan. Dalam periode tersebut, realisasi defisit berada pada kisaran 0,1 persen sampai dengan 1,6 persen. Sebagai gambaran, target dan realisasi defisit anggaran dalam periode tahun 20052009 dapat dilihat pada Grafik VI.1. Realisasi defisit anggaran paling rendah dibandingkan dengan target defisit anggaran yang ditetapkan dalam APBN-P terjadi pada tahun 2008, yaitu hanya sebesar 0,1 persen terhadap VI-2
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
PDB jika dibandingkan dengan target GRAFIK VI.1 TARGET DAN REALISASI DEFISIT 2005-2009 defisit anggaran dalam APBN-P 2008 sekitar 2,1 persen terhadap PDB. 3,0 APBN-P LKPP Rendahnya realisasi defisit anggaran 2,4 2,5 dalam kurun waktu tersebut, terutama 2,1 2,1 disebabkan oleh realisasi daya serap 2,0 1,5 anggaran belanja negara rata-rata 1,3 1,5 1,6 hanya mencapai sekitar 96,3 persen 0,9 1,3 1,0 dari pagu anggaran belanja negara yang 0,9 ditetapkan dalam APBN-P, sementara 0,5 0,5 realisasi anggaran pendapatan negara 0,1 0,0 dan hibah rata-rata sesuai atau 2005 2006 2007 2008 2009 2010 memenuhi sasaran yang ditetapkan Sumbe r: Ke menterian Ke uangan dalam APBN-P. Khusus untuk tahun 2008, rendahnya realisasi defisit anggaran terutama disebabkan terlampauinya realisasi pendapatan negara dan hibah dari sasaran yang ditetapkan dalam APBN-P, sementara realisasi belanja hanya mencapai 99,6 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P. Lebih rendahnya realisasi anggaran belanja negara dari pagu yang ditetapkan dalam APBN-P terutama disebabkan oleh realisasi anggaran belanja K/L hanya mencapai Rp259,9 triliun atau 89,6 persen dari pagu dalam APBN-P sebesar Rp290,0 triliun. Di lain pihak, realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp981,6 triliun atau 9,7 persen melampaui target yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp895,0 triliun. Untuk tahun 2009, rendahnya realisasi defisit disebabkan oleh rendahnya realisasi belanja negara yaitu sebesar Rp937,4 triliun atau hanya mencapai 93,7 persen dari target APBN-P sebesar Rp1.000,8 triliun. Akibat dari rendahnya defisit yang tidak diimbangi dengan penyesuaian pembiayaan adalah bertambahnya dana dalam rekening SAL Pemerintah. % thd PDB
6.2.1 Tren Pembiayaan Anggaran Kebutuhan pembiayaan APBN dalam kurun waktu tahun 2005-2010 cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya defisit anggaran dan makin besarnya kebutuhan pengeluaran pembiayaan. Kebutuhan pembiayaan anggaran tersebut dipenuhi, baik dari sumber-sumber pembiayaan utang maupun pembiayaan non-utang. Mengingat kapasitas sumber pembiayaan yang berasal dari non-utang semakin berkurang, maka dalam periode tersebut, sumber pembiayaan utang masih mendominasi pemenuhan kebutuhan pembiayaan anggaran. Faktor yang mempengaruhi semakin terbatasnya kontribusi sumber pembiayaan non-utang dalam periode 2005-2010, selain akibat kebijakan penerimaan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan restrukturisasi BUMN bersangkutan, juga karena semakin terbatasnya aset eks restrukturisasi perbankan yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN. Sementara itu, sumber pembiayaan dari utang terutama berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), baik melalui instrumen Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Selain SBN, penarikan pinjaman luar negeri terutama pinjaman yang sifatnya tunai merupakan sumber pembiayaan utang yang juga memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Secara neto, dalam tahun 2005-2010, pembiayaan yang berasal dari utang memberikan kontribusi rata-rata 75,1 persen dari total pembiayaan yang diperlukan. Gambaran mengenai perkembangan defisit dan penggunaan sumber-sumber pembiayaan anggaran disajikan sebagaimana terlihat pada Grafik VI.2. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-3
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Apabila dilihat dari komponen pembiayaan secara bruto, struktur pembiayaan terbagi ke dalam komponen pengeluaran dan penerimaan pembiayaan, baik yang berasal dari utang GRAFIK VI.2 TREND PEMBIAYAAN DEFISIT, 2005-2010
triliun rupiah
% thd PDB
7,0
140 Defisit
120 100 80
6,0
Non-Utang Net SBN- net
5,0
Pinjaman LN-net Defisit thd PDB
4,0
60
3,0
40
2,0
20
1,0 -
-
(1,0)
(20)
(2,0)
(40) 2005
2006
2007
2008
2009
2010*
Catatan : *Angka 2010 me rupakan angka APBN-P 2010 Sumbe r: Ke menterian Ke uangan
maupun non-utang. Komponen pengeluaran pembiayaan utang mencakup pembayaran pokok utang jatuh tempo, dan pembelian kembali SBN sebelum jatuh tempo. Sementara itu, komponen pengeluaran pembiayaan non-utang mencakup PMN, investasi pemerintah, dana bergulir, dana pengembangan pendidikan nasional, dan kewajiban-kewajiban pemerintah lainnya sebagai konsekuensi dari kebijakan pemberian jaminan, terutama bagi proyek-proyek infrastruktur. Dengan adanya keperluan untuk pengeluaran pembiayaan, besaran kebutuhan pembiayaan secara total menjadi lebih besar dari pada kebutuhan defisit. Dalam periode tersebut, bagian terbesar pembiayaan dipenuhi melalui penerbitan SBN.
6.2.2 Perkembangan Defisit dan Pembiayaan Anggaran Pemenuhan pembiayaan defisit anggaran pada dasarnya merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan ekonomi makro secara keseluruhan. Dalam kurun waktu tahun 2005–2010, pembiayaan defisit anggaran disesuaikan dengan strategi kebijakan fiskal, yang ditetapkan pemerintah dalam merespon perkembangan kondisi perekonomian yang mempengaruhi pada saat itu. Dalam perkembangannya, realisasi besaran defisit dan realisasi besaran pembiayaan tidak selalu sama besar nilainya dengan rencana semula, sehingga mendorong timbulnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) dalam hal terjadi kelebihan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit, atau sisa kurang pembiayan anggaran (SiKPA) dalam hal terjadi kekurangan pembiayaan atas kebutuhan untuk menutup defisit. Mengingat sebagian besar sumber pembiayaan anggaran berasal dari utang, maka pengelolaan dan perencanaan APBN yang tepat dan akurat menjadi hal yang penting, agar pengelolaan APBN bisa semakin efisien, dan tidak membebani anggaran pada masa yang akan datang. Gambaran mengenai perkembangan realisasi defisit dan pembiayaan anggaran tahun 2005–2010 sebagaimana Tabel VI.1. Dari tabel tersebut terlihat adanya perbedaan antara besaran realisasi defisit dan besaran realisasi pembiayaan, sehingga menimbulkan SiLPA dan SiKPA. Dalam periode tersebut, realisasi APBN mengalami SiKPA sebesar Rp3,3 triliun pada tahun 2005, dan sebesar VI-4
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
TABEL VI.1 PERKEMBANGAN REALISASI DEFISIT DAN PEMBIAYAAN ANGGARAN, 2005-2010 (triliun rupiah) 2005 APBN-P II
2006 LKPP
APBN-P
2007 LKPP
APBN-P
2008 LKPP
APBN-P
2009 LKPP
APBN-P
2010
LKPP
APBN
APBN-P
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
540,1
495,2
659,1
638,0
694,1
707,8
895,0
981,6
B. BELANJA NEGARA C. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A - B) % defisit thd PDB
565,1 (24,9)
509,6 (14,4)
699,1 (40,0)
667,1 (29,1)
752,4 (58,3)
757,6 (49,8)
989,5 (94,5)
985,7 4,1
(0,9)
(0,5)
(1,3)
(0,9)
(1,5)
(1,3)
(2,1)
0,1
(2,4)
(1,6)
(1,6)
(2,1)
24,9
11,1
40,0
29,4
58,3
42,5
94,5
84,1
129,8
112,6
98,0
133,7
7,7 4,3 (1,7) 5,1 0,0 0,0 0,0 0,0
(1,2) (2,6) (5,2) 6,6 0,0 0,0 0,0 0,0
19,5 17,9 1,0 2,6 (2,0) 0,0 0,0 0,0
20,0 18,9 0,4 2,7 (2,0) 0,0 0,0 0,0
12,3 10,6 2,0 1,7 (2,0) 0,0 0,0 0,0
11,9 11,1 0,3 2,4 (2,0) 0,0 0,0 0,0
(10,2) (11,7) 0,5 3,9 (2,8) 0,0 0,0 0,0
16,6 16,2 0,1 2,8 (2,5) 0,0 0,0 0,0
43,3 56,6 0,0 (0,2) (12,1) 0,0 (1,0) 0,0
28,7 41,1 0,0 (0,3) (12,1) 0,0 0,0 0,0
2,5 7,1 0,0 1,2 (3,9) 0,0 (1,0) 0,0
25,4 45,5 1,2 1,2 (12,9) (1,0) (1,1) (7,5)
17,2 22,1 (4,8) (4,8) 43,0 11,3 31,7 (7,4) (40,4) 0,0 0,0
12,3 22,6 (10,3) (10,3) 29,1 12,3 16,8 (2,2) (37,1) 0,0 0,0
20,5 35,8 (15,3) (15,3) 37,6 12,1 25,5 0,0 (52,8) 0,0 0,0
9,4 36,0 (26,6) (26,6) 29,7 13,6 16,1 (3,6) (52,7) 0,0 0,0
46,0 58,5 (12,5) (12,5) 42,2 19,0 23,2 0,0 (54,8) 0,0 0,0
30,6 57,2 (26,6) (26,6) 34,1 19,6 14,5 (2,7) (57,9) 0,0 0,0
104,7 117,8 (13,1) (13,1) 48,1 26,4 21,8 0,0 (61,3) 0,0 0,0
67,5 85,9 (18,4) (18,4) 50,2 30,1 20,1 (5,2) (63,4) 0,0 0,0
86,5 99,3 (12,7) (12,7) 69,3 30,3 39,0 (13,0) 69,0 0,0 0,0
83,9 99,5 (15,5) (15,5) 58,7 28,9 29,7 (6,2) (68,0) 0,0 0,0
95,5 104,4 (8,9) (9,9) 57,6 24,4 33,2 (8,6) (58,8) 1,0 0,0
108,3 107,5 0,8 (0,2) 70,8 29,4 41,4 (16,8) (54,1) 1,0 0,0
0,0
(3,3)
(0,0)
0,3
0,0
(7,4)
0,0
0,0
24,0
(0,0)
D. PEMBIAYAAN I. NON-UTANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perbankan dalam negeri Privatisasi Hasil pengelolaan aset Dana Investasi Pemerintah dan PMN Dana Pengembangan Pendidikan Nasional Kewajiban Penjaminan Pinjaman Kepada PT PLN (Persero)
II. UTANG 1. Surat Berharga Negara (neto) 2. Pinjaman i. Pinjaman Luar Negeri -. Penarikan Pinjaman LN (bruto) a. Pinjaman Program b. Pinjaman Proyek -. Penerusan Pinjaman -. Pembyr. Cicilan Pokok Utang LN ii. Pinjaman Dalam Negeri 3. Tambahan Pembiayaan Utang
KELEBIHAN/KEKURANGAN PEMBIAYAAN
80,0
871,0 1.000,8 (129,8)
848,8 937,4 (88,6)
949,7
992,4
1.047,7 (98,0)
1.126,1 (133,7)
0,0
Sumber : Kementerian Keuangan
Rp7,4 triliun pada tahun 2007. Sebaliknya, pada tahun 2006 realisasi APBN mengalami SilPA sebesar Rp0,3 triliun, tahun 2008 realisasi APBN mengalami SilPA sebesar Rp80,0 triliun, dan tahun 2009 mengalami SiLPA sebesar Rp24,0 triliun, yang dapat digunakan untuk membiayai defisit anggaran pada tahun-tahun berikutnya. Terjadinya SiKPA pada tahun 2005, disebabkan oleh realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit APBN. Rendahnya realisasi pembiayaan dalam tahun tersebut terutama karena realisasi pembiayaan non-utang mengalami negatif sebesar Rp1,2 triliun, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan target pembiayaan non-utang sebesar Rp7,7 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan utang turun menjadi sebesar Rp12,3 triliun dari target sebesar Rp17,2 triliun. Sementara itu, terjadinya SiLPA pada tahun 2006, terutama karena realisasi pembiayaan lebih rendah dibandingkan dengan target, namun disisi lain realisasi defisit juga masih dibawah target yang ditetapkan. Berbeda dengan tahun sebelumnya, realisasi pembiayaan non-utang mencapai Rp20,0 triliun, lebih besar dibanding dengan target yang ditetapkan sebesar Rp19,5 triliun. Sementara itu, realisasi utang menurun menjadi sebesar Rp9,4 triliun dari target sebesar Rp20,5 triliun. Pada tahun 2007, kembali terjadi SiKPA sebagai akibat adanya kenaikan belanja negara berkaitan dengan naiknya harga komoditas, yang berimbas pada naiknya beban subsidi. Sedangkan terjadinya SiLPA sebesar Rp80,0 triliun pada tahun 2008, terutama disebabkan rendahnya realisasi defisit anggaran, berkaitan dengan realisasi pendapatan negara yang jauh melampai target yang ditetapkan, sementara realisasi anggaran belanja negara mendekati pagu yang direncanakan. Di lain pihak, realisasi pembiayaan anggaran mendekati target yang ditetapkan. Pada tahun 2009, terjadinya SiLPA disebabkan realisasi pembiayaan anggaran lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit. Rendahnya realisasi defisit terutama berkaitan dengan realisasi belanja negara hanya mencapai sebesar Rp937,4 triliun, lebih rendah Rp63,4 triliun bila dibandingkan dengan pagu belanja negara yang direncanakan pada APBN-P 2009 sebesar Rp1.000,8 triliun. Sementara itu, realisasi pembiayaan anggaran, terutama pembiayaan Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-5
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
melalui utang mencapai Rp83,9 triliun, atau sekitar 97,0 persen dari target pembiayaan utang yang ditetapkan dalam APBN-P 2009 sebesar Rp86,5 triliun. Perbedaan antara target dan realisasi pada sebagian besar sumber pembiayaan, baik nonutang maupun utang, dan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya perbedaan antara target dan realisasi pembiayaan, dijabarkan sebagai berikut.
6.2.2.1 Pembiayaan Non-utang Kebutuhan pembiayaan non-utang dalam APBN selalu dipenuhi dari berbagai sumber dengan jenis dan proporsi yang berbeda setiap tahunnya. Pemilihan sumber dan besaran pembiayaan non-utang tersebut, selain ditentukan oleh ketersediaan sumber pemenuhannya, juga ditentukan berdasarkan kemampuan penyediaan dana, manfaat, serta keuntungan yang diperoleh. Perkembangan pembiayaan non-utang dapat dilihat pada Tabel VI.2. TABEL VI.2 PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN NON-UTANG, 2005-2010 (triliun rupiah) Uraian A. Perbankan Dalam Negeri 1. Rekening Pemerintah a.l - Rekening Dana Investasi - Rekening Pembangunan Hutan - Saldo Anggaran Lebih - Rekening Pemerintah Lainnya 2. Eks. Moratorium NAD dan Nias, Sumut B. Non Perbankan Dalam Negeri 1. Privatisasi (neto) 2. Hasil Pengelolaan Aset 3. Dana Investasi Pemerintah dan PMN a.l i. Investasi Pemerintah ii. Penyertaan Modal Negara iii. Dana Bergulir 4. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 5. Kewajiban Penjaminan 6. Pemberian Pinjaman kepada PT PLN Jumlah
Realisasi 2005 (2,6) 1,4 (5,2) 6,6 (1,2)
2006 18,9 11,6 2,0 9,6 7,4 1,1 0,4 2,7 (2,0) (2,0) 20,0
2007
2008
11,1 4,8 4,0 0,3 0,5 6,3 0,7 0,3 2,4 (2,0) (2,0) 11,9
16,2 16,2 0,3 15,9 0,4 0,1 2,8 (2,5) (2,5) 16,6
2009
APBN-P 2010
41,1 41,1 3,7 0,6 51,9 (15,1) -
45,5 6,1 5,5 0,6 39,3 -
(12,4) (0,3) (12,1) (0,5) (10,7) (0,9) -
(20,1) 1,2 1,2 (12,9) (3,6) (6,0) (3,3) (1,0) (1,1) (7,5)
28,7
25,4
Sumber: Kementerian Keuangan
A. Penggunaan saldo rekening Pemerintah Pembiayaan dari saldo rekening Pemerintah adalah penerimaan atau pengeluaran pembiayaan yang terkait dengan penerimaan dan pengembalian dari rekening-rekening Pemerintah lainnya yang dikelola atau dikuasai oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Penggunaan saldo rekening Pemerintah yang berada di perbankan dalam negeri menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan yang digunakan untuk membiayai APBN. Saldo rekening Pemerintah tersebut bersumber dari penerimaan Rekening Dana Investasi (RDI)/Rekening Pembangunan Daerah (RPD), Rekening Pembangunan Hutan (RPH), Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan rekening lainnya. Penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam setiap tahun anggaran dipengaruhi oleh jumlah akumulasi uang tunai/ VI-6
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
saldo yang ada di rekening Pemerintah sebagai hasil operasional penerimaan dikurangi dengan pengeluaran dalam APBN tahun-tahun sebelumnya. Tren penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005–2010 cenderung mengalami peningkatan, kecuali tahun 2007 yang menunjukkan penurunan sebesar Rp6,8 triliun atau 58,5 persen dibandingkan dengan tahun 2006. Tren peningkatan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2006–2010 disebabkan meningkatnya kontribusi RDI/RPD dan SAL. Dalam tahun 2006, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp11,6 triliun atau meningkat sebesar Rp14,1 triliun (553,2 persen) jika dibandingkan dengan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan adanya setoran RDI sebesar Rp2,0 triliun dan rekening lainlain sebesar Rp9,6 triliun. Sedangkan tingginya jumlah saldo rekening lain-lain yang diterima dalam tahun 2006 karena adanya penerimaan dari hasil penutupan rekening Pemerintah di berbagai K/L yang mencapai Rp5,5 triliun. Penutupan rekening ini dilaksanakan dalam rangka penertiban rekening-rekening yang kategorikan ke dalam rekening nonbudjeter. Kemudian dalam tahun 2007, penggunaan saldo rekening Pemerintah sebesar Rp4,8 triliun atau turun Rp6,7 triliun. Penurunan sebesar 58,5 persen ini disebabkan menurunnya penerimaan yang berasal dari penutupan rekening Pemerintah di K/L, meskipun penerimaan RDI meningkat cukup signifikan hingga mencapai 100 persen bila dibandingkan dengan penerimaannya dalam tahun sebelumnya. Sementara itu, penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2008 sebesar Rp16,2 triliun atau meningkat Rp11,4 triliun (236,6 persen) bila dibandingkan dengan tahun 2007. Peningkatan ini disebabkan adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldo Rekening Khusus (Reksus) akibat selisih kurs sebesar Rp15,9 triliun. Dalam tahun 2009 penggunaan saldo rekening Pemerintah untuk menutup kebutuhan pembiayaan APBN melonjak cukup tinggi hingga mencapai Rp41,2 triliun. Peningkatan penggunaan saldo rekening Pemerintah mencapai Rp24,9 triliun atau 154,1 persen bila dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini sebagai akibat meningkatnya penerimaan RDI sebesar Rp3,4 triliun (1.135,0 persen), RPH sebesar Rp621,0 miliar (100,0 persen), dan SAL sebesar Rp51,9 triliun. Penggunaan SAL yang cukup signifikan dalam tahun 2009 berkenaan dengan adanya SiLPA 2008 yang cukup besar. SiLPA tersebut disebabkan karena realisasi pendapatan negara yang melebihi dari target yang ditetapkan dan realisasi belanja negara yang lebih rendah dari pagu yang GRAFIK VI.3 ditetapkan, khususnya belanja subsidi PENGGUNAAN SALDO REKENING PEMERINTAH TAHUN 2005–2010 karena realisasi harga minyak mentah (triliun rupiah) (ICP) lebih rendah dari perkiraan semula. 8,0 Dalam APBN-P 2010, direncanakan penggunaan saldo rekening Pemerintah mencapai Rp45,5 triliun atau meningkat Rp4,4 triliun (10,8 persen) dibandingkan tahun 2009. Peningkatan ini dikarenakan meningkatnya penerimaan RDI sebesar Rp1,8 triliun atau 48,6 persen bila dibandingkan dengan tahun 2009. Selain itu juga dikarenakan dalam tahun 2009 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 2005
2006
2007
2008
2009
2010 *
* APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan
VI-7
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
terdapat pengeluaran dari rekening Pemerintah terkait adanya penyesuaian penambahan dan penurunan saldo Reksus akibat selisih kurs hingga mencapai Rp15,1 triliun. Dari segi penggunaan SAL, dalam tahun 2010 direncanakan Pemerintah akan menggunakan SAL untuk membiayai APBN sebesar Rp39,3 triliun atau turun Rp12,5 triliun (24,1 persen) bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lebih rendahnya penggunaan SAL dalam tahun 2010 dikarenakan lebih rendahnya SiLPA tahun 2009 jika dibandingkan dengan SiLPA tahun 2008. Perkembangan penggunaan saldo rekening Pemerintah dalam tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.3. B. Privatisasi BUMN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN, dilakukan bukan hanya dalam rangka memperolah dana segar, melainkan juga untuk menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, antara lain melalui pembenahan manajemen dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik. Privatisasi saat ini tidak lagi diartikan secara sempit sebagai penjualan saham Pemerintah semata ke pihak nonPemerintah, tetapi dilakukan sebagai upaya untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk di dalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik (privatisasi diupayakan dilakukan melalui metode initial public offering/IPO). Dari program privatisasi tersebut, kemudian sebagian dana yang diperoleh dapat digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN dan sebagian lainnya masuk kas perusahaan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Penerimaan pembiayaan melalui privatisasi cenderung mengalami peningkatan terutama selama periode 2006-2007, dan selanjutnya semakin menurun, sejalan dengan kebijakan Pemerintah yang tidak lagi mengandalkan hasil privatisasi sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan. Dalam periode 2005-2009, upaya privatisasi BUMN telah menghasilkan Rp5,5 triliun yang dilakukan melalui IPO, strategic sales (SS), private placement, secondary offering (SO), dan employee management buy out (EMBO). Sementara itu dalam tahun 2010, penerimaan privatisasi diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun. Pada tahun 2005, tidak ada penerimaan pembiayaan yang berasal dari privatisasi, tahun 2006 sebesar Rp2,4 triliun yang berasal dari privatisasi PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN), tahun 2007 sebesar Rp3,0 triliun yang berasal dari privatisasi Bank BNI. Sementara itu, pada tahun 2008 Pemerintah menyetujui program privatisasi terhadap 44 BUMN, yang antara lain bergerak pada sektor pekerjaan umum, perkebunan, industri dan keuangan. Dari jumlah ini, sebanyak 38 perusahaan dengan kepemilikan negara mayoritas dan 6 perusahaan dengan kepemilikan negara minoritas. Namun, karena kondisi pasar keuangan yang tidak kondusif, program privatisasi pada tahun 2008 tidak dapat dilaksanakan. Realisasi penerimaan privatisasi pada tahun 2008 sebesar Rp82,3 miliar yang berasal dari penutupan saldo privatisasi Bank BNI tahun 2007. VI-8
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Pada tahun 2009, Pemerintah tidak menargetkan pembiayaan dari privatisasi. Hal tersebut terkait dengan kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan BUMN dan faktor-faktor eksternal, antara lain krisis keuangan global yang belum mengalami perbaikan, fluktuasi harga komoditi yang sulit diperkirakan, dan faktor geopolitik yang tidak pasti.
Bab VI
GRAFIK VI.4 PENERIMAAN PRIVATISASI BUMN, 2005 - 2010 (triliun rupiah) 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0
Sementara itu, pada tahun 2010 0,0 Pemerintah menargetkan penerimaan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 dari privatisasi BUMN sebesar APBN-P Realisasi Rp1,2 triliun. Setoran privatisasi dalam Sumbe r: Kementerian Keuangan APBN-P tersebut direncanakan berasal dari hasil penjualan saham greenshoe Bank BNI sebesar 3,1 persen atau setara dengan 473.895.270 lembar saham. Penjualan saham greenshoe Bank BNI tersebut dimaksudkan untuk menstabilkan harga saham di secondary market pasca pelaksanaan privatisasi 26,9 persen saham Bank BNI yang telah dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2007. Perkembangan penerimaan privatisasi pada periode 2005-2010 dapat dilihat dalam Grafik VI.4. C. Hasil Pengelolaan Aset Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), Hasil Pengelolaan Aset (HPA) adalah setiap penerimaan tunai yang berasal dari restrukturisasi, kerjasama dengan pihak lain, penagihan piutang, penjualan, penyewaan, dividen, kupon/bunga dan/atau penerimaan lain yang berasal dari aset yang dikelola dari transaksi yang sudah selesai. Oleh karena itu, di samping pembiayaan dari penggunaan dana tunai yang ada di rekening Pemerintah, pembiayaan tunai non-utang dalam APBN juga dibiayai dari HPA milik Pemerintah. Dalam periode 2005–2010 aset yang dikelola Pemerintah dan dapat digunakan untuk pembiayaan APBN adalah aset yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dan aset yang dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Aset yang dikelola DJKN meliputi aset eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks kelolaan PT PPA dan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset yang dikelola DJKN tersebut dapat berupa aset kredit, aset properti, dan aset saham, yang dikelola dengan cara: (1) penagihan, melalui Panitia Urusan Piutang Negara (terhadap aset kredit), (2) penjualan (terhadap aset properti dan saham), (3) pemanfaatan (terhadap aset properti), (4) penetapan status penggunaan (terhadap aset properti) kepada K/L, dan (5) pelepasan hak dengan pembayaran kompensasi terhadap aset properti yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Sementara itu, PT PPA melaksanakan pengelolaan aset berdasarkan penugasan yang diterima dari Kementerian Keuangan. Aset yang dikelola oleh PT PPA meliputi aset saham bank, aset saham nonbank, aset kredit/hak tagih, serta aset saham dan kredit. Hasil pengelolaan aset oleh PT PPA setiap tahun akan dievaluasi oleh Kementerian Keuangan, dan selanjutnya Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-9
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
akan dilakukan perjanjian pengelolaan aset setiap tahunnya antara Kementerian Keuangan dan PT PPA untuk 7,0 menentukan jenis dan jumlah aset yang 6,0 akan dikelola oleh PT PPA. Pada tahun 5,0 2005 dan 2006, kontribusi pengelolaan aset dalam penerimaan pembiayaan 4,0 adalah masing-masing sebesar 3,0 Rp6,6 triliun dan Rp2,7 triliun. 2,0 Sementara itu, pada kurun waktu tahun 1,0 2007-2009, pengelolaan aset 0,0 memberikan kontibusi masing-masing 2005 2006 2007 2008 2009 2010 sebesar Rp2,4 triliun, Rp2,8 triliun, dan APBN-P Realisasi sebesar negatif Rp309,7 miliar. HPA pada Sumbe r: Ke menterian Ke uangan tahun 2009 yang bernilai negatif Rp309,7 miliar tersebut terdiri dari hasil penjualan aset sebesar Rp690,3 miliar dikurangi dengan PMN untuk restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,0 triliun. Sedangkan pada APBN-P tahun 2010, hasil pengelolaan aset diharapkan memberikan kontribusi sebesar Rp1,2 triliun. Kontribusi pengelolaan aset yang cenderung menurun tersebut sejalan dengan makin berkurangnya jumlah aset yang dikelola, baik oleh DJKN maupun oleh PT PPA (persero). Perkembangan hasil pengelolaan aset pada periode 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.5. GRAFIK VI.5 HASIL PENGELOLAAN ASET 2005-2010 (triliun Rupiah)
D. Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara
GRAFIK VI.6 REALISASI DANA INVESTASI PEMERINTAH DAN PMN, 2005-2010 (triliun rupiah)
Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan 14,0 Modal Negara (PMN) terdiri atas berbagai 12,0 komponen, yaitu: (1) Investasi Pemerintah, (2) 10,0 8,0 PMN, dan (3) dana bergulir. Pada setiap tahun 6,0 anggaran, tidak semua jenis alokasi ini ada 4,0 2,0 pada dana investasi Pemerintah dan PMN. 0,0 Dana Investasi Pemerintah dan PMN 2005 2006 2007 2008 2009 2010* Investasi Pemerintah PMN Dana Bergulir merupakan pengeluaran pembiayaan yang tidak dilakukan secara reguler, namun merupakan kebijakan yang bersifat ad-hoc tergantung kepada kebutuhan atau kebijakan Pemerintah dalam satu tahun anggaran seperti dukungan Pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur dan pendirian sebuah BUMN untuk menjalankan kebijakan Pemerintah. Perkembangan dana Investasi Pemerintah dan PMN selama periode 20052010 dapat dilihat pada Grafik VI.6. * APBN-P 2010 Sumber: Ke menterian Ke uangan
Investasi Pemerintah Dana Investasi Pemerintah merupakan dana yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam APBN yang peruntukannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan nilai tambah dan memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi Pemerintah tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembelian saham, surat utang maupun investasi langsung. Dalam mencapai tujuan investasi Pemerintah dimaksud, arah kebijakan dana investasi Pemerintah VI-10
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
dititikberatkan pada bidang infrastruktur. Pemerintah pada tahun 2005 belum menganggarkan dana investasi Pemerintah. Alokasi dana investasi Pemerintah pada tahun anggaran 2006 dan 2007 masing-masing sebesar Rp2,0 triliun. Pada tahun anggaran 2008, Pemerintah tidak menganggarkan Dana Investasi Pemerintah. Namun pada tahun anggaran 2009 Pemerintah telah mengalokasikan kembali Dana Investasi Pemerintah sebesar Rp500 miliar. Sementara itu, pada tahun 2010 Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk investasi Pemerintah sebesar Rp3,6 triliun, yang terdiri dari: (1) Dana Investasi Pemerintah (reguler) Rp927,5 miliar, dan (2) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Rp2,7 triliun. Alokasi dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada APBN-P 2010 tersebut berasal dari realokasi dana subsidi kredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) yang direncanakan untuk menjalankan kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Hal tersebut berkenaan dengan perubahan skema subsidi untuk KPRSh menjadi kebijakan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan, yang menyediakan dana murah jangka panjang untuk dipadukan dengan dana bank pelaksana pemberi KPRSh. Penyertaan Modal Negara (PMN) Pengertian PMN menurut PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT) adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham negara atau daerah pada BUMN, BUMD, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara. Dalam upaya mewujudkan salah satu tujuan bernegara, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum, maka Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan perkembangan perekonomian negara, antara lain dengan cara menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Kewajiban tersebut dapat dilakukan sendiri oleh Pemerintah, baik melalui instansi Pemerintah maupun badan usaha yang dibentuk oleh Pemerintah, dan dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan umum melalui badan usaha, maka Pemerintah dapat melakukan PMN untuk mendirikan BUMN. Sementara itu, untuk menyelamatkan perekonomian nasional, Pemerintah dapat pula melakukan PMN ke dalam perusahaan yang di dalamnya belum terdapat saham milik negara. Untuk memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN dan Perseroan Terbatas, Pemerintah dapat pula melakukan penambahan PMN. Besarnya alokasi dana PMN dalam periode 2005-2010 adalah sebagai berikut: (1) Tahun 2005 sebesar Rp5,2 triliun antara lain untuk PT Sarana Multigriya Financial dan Lembaga Penjaminan Simpanan, (2) Tahun 2006 sebesar Rp2,0 triliun antara lain untuk PT Garuda Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Kertas Kraft Aceh, (3) Tahun 2007 sebesar Rp2,7 triliun antara lain untuk PT Sarana Pengembangan Usaha, PT Asuransi Kredit Indonesia, dan PT Pusri, (4) Tahun 2008 sebesar Rp2,5 triliun untuk PT PPA dalam rangka restrukturisasi BUMN sebesar Rp1,5 triliun, dan perusahaan perseroan di bidang pembiayaan infrastruktur (PT Sarana Multi Infrastruktur/SMI) sebesar Rp1,0 triliun, (5) Tahun 2009 sebesar Rp10,7 triliun antara lain untuk PT Perkebunan Nusantara II, PT Penjaminan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-11
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Infrastruktur Indonesia (PT PII), dan PT Pertamina, (6) Tahun 2010 sebesar Rp6,0 triliun antara lain untuk LPEI, PT PII, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, PT SMI, Perusahaan Penerbit SBSN II dan III, PT Askrindo dan PT BPUI yang berasal dari hibah saham Bank Indonesia. Tidak semua PMN yang dialokasikan oleh Pemerintah dalam kurun waktu 2005-2010 berupa fresh money. Beberapa PMN kepada BUMN dialokasikan sebagai bentuk konversi utang pokok (utang RDI dan PNBP), maupun hibah saham dari pihak lain (bersifat in-out). Sebagai contoh adalah PMN kepada PT Pertamina tahun 2009 yang terkait dengan hasil rekonsiliasi utang piutang (PNBP) Pertamina dan Pemerintah sebagai dasar penetapan neraca awal Pertamina tahun 2003. Selain itu, PMN kepada PT Askrindo dan PT BPUI pada tahun 2010 berasal dari hibah saham Bank Indonesia. Sementara itu, sejak tahun 2009 Pemerintah tidak lagi mengalokasikan PMN kepada BUMN tertentu yang bertujuan untuk merestrukturisasi BUMN. Hal tersebut terkait dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset, yang memberikan penugasan kepada PT PPA untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Dengan demikian, PMN diberikan kepada PT PPA, dan selanjutnya BUMN dapat mengajukan permintaan restrukturisasi/revitalisasi kepada PT PPA. PMN yang berupa fresh money saat ini lebih banyak ditujukan untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam bidang tertentu, seperti PMN kepada PT PII dan PT SMI yang ditujukan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, serta PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo yang ditujukan untuk mendukung perluasan program KUR. Dana Bergulir Dana bergulir adalah dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepada masyarakat oleh pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran yang bertujuan meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Jenis dana bergulir yang dialokasikan Pemerintah dalam setiap tahun anggaran tidak sama, tergantung pada kebutuhan penyediaan dana yang akan digulirkan kepada masyarakat. Suatu dana dikategorikan sebagai dana bergulir jika memenuhi karakteristik (1) merupakan bagian dari keuangan negara, (2) dicantumkan dalam APBN dan/atau laporan keuangan negara, (3) dimiliki, dikuasai, dan/atau dikendalikan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), (4) disalurkan/dipinjamkan kepada masyarakat/kelompok masyarakat, ditagih kembali dengan atau tanpa nilai tambah, dan digulirkan kembali kepada masyarakat/kelompok masyarakat (revolving fund), (5) ditujukan untuk perkuatan modal koperasi, usaha mikro, kecil, menengah dan usaha lainnya, dan (6) dapat ditarik kembali pada suatu saat. Sebelum tahun 2009, dana bergulir diklasifikasikan ke dalam belanja negara, baik belanja bantuan sosial (bansos), subsidi, belanja hibah, maupun belanja modal nonfisik lainnya. Dalam perkembangannya Pemerintah memandang dana bergulir tidak tepat diklasifikasikan ke dalam belanja negara karena tidak sesuai dengan karakteristik dan sifat dana bergulir. Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun VI-12
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
2008-2009, Menteri Keuangan menerbitkan PMK Nomor 99 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara/Lembaga tanggal 7 Juli 2008. Baru kemudian dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan dana bergulir ke dalam pembiayaan anggaran. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (1) PMK Nomor 99 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa pengeluaran dana bergulir yang bersumber dari rupiah murni dialokasikan sebagai pengeluaran pembiayaan dalam APBN. Dalam tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir sebesar Rp915,0 miliar yang digunakan untuk membiayai dana bergulir di bidang koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) sebesar Rp290,0 miliar dan bidang kehutanan sebesar Rp625,0 miliar. Realisasinya sampai dengan akhir tahun mencapai Rp911,0 miliar atau 99,6 persen dibandingkan dengan alokasi anggarannya, yang terdiri dari realisasi dana bergulir KUMKM sebesar Rp290,0 miliar (100,0 persen) dan realisasi dana bergulir kehutanan sebesar Rp621,0 miliar (99,4 persen). Dana bergulir di bidang koperasi dikelola oleh Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM (BLU LPDB KUMKM) yang merupakan satker di bawah Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Pengalokasian anggaran dana bergulir KUMKM ditujukan untuk (1) membantu perkuatan modal usaha guna mengembangkan koperasi, usaha mikro, kecil, menengah, dan usaha lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, dan pengembangan ekonomi nasional, (2) mengembangkan dan menyediakan akses pembiayaan bagi usaha KUMKM melalui pola dana bergulir, dan (3) memperkuat pendanaan lembaga keuangan dalam rangka memberdayakan lembaga keuangan dimaksud agar dapat memberikan layanan pembiayaan secara mandiri bagi KUMKM yang belum memenuhi kriteria kelayakan perbankan umum (not bankable). Mekanisme penyaluran dana bergulir KUMKM dapat dilaksanakan melalui perantara atau tanpa perantara. Mekanisme penyaluran dengan perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir memberikan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) melalui lembaga perantara. Lembaga perantara dimaksud dapat berupa lembaga keuangan bank (LKB) atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) seperti koperasi primer, koperasi sekunder, perusahaan modal ventura, dan lain-lain. Sedangkan mekanisme penyaluran dana bergulir tanpa perantara yaitu apabila BLU pengelola dana bergulir menyalurkan dana bergulir kepada pihak pengguna dana (end user) secara langsung tanpa melalui lembaga perantara. Realisasi anggaran dana bergulir KUMKM tahun 2009 mencapai 100,0 persen. Penyalurannya dilaksanakan melalui 6 koperasi sekunder, 33 koperasi primer, 22 perusahaan modal ventura, dan 6 perbankan. Beberapa kendala dalam penyaluran dana bergulir KUMKM tahun 2009 yaitu, (1) terbatasnya jumlah tenaga account officer (AO) yang dimiliki BLU LPDB KUMKM, (2) tarif skim pinjaman/pembiayaan masih dalam proses persetujuan Menteri Keuangan sehingga dana bergulir yang ada belum bisa disalurkan sesuai dengan kelayakan dan kebutuhan KUMKM, (3) informasi tentang keberadaan BLU LPDB KUMKM belum tersebar luas, (4) ketidaksiapan lembaga perantara sebagai penyalur pinjaman kepada koperasi-koperasi, (5) pemberian persetujuan pinjaman/pembiayaan dilakukan secara koligial direksi pada rapat komite pinjaman, dan (6) kelemahan database koperasi yang layak untuk mendapatkan pinjaman.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-13
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Sementara itu, dana bergulir kehutanan merupakan dana yang bersumber dari alokasi APBN dan sumber dana lainnya, yang dipinjamkan kepada pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) dan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) untuk pembangunan hutan tanaman dengan suku bunga tertentu, yang harus digulirkan ke pemegang IUPHHK-HTR dan IUPHHK-HTI lainnya jika jangka waktu pinjamannya berakhir atau diberhentikan. Dana bergulir di bidang kehutanan dikelola oleh Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU P3H) yang merupakan satker di bawah Kementerian Kehutanan. Pengalokasian anggaran dana bergulir kehutanan ditujukan untuk menyediakan dana bagi membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan melalui skema pinjaman dan bergulir kepada badan usaha berbadan hukum, koperasi, dan kelompok tani hutan. Sumber pembiayaan dana bergulir kehutanan bersumber dari RPH, yang merupakan rekening penampungan dana reboisasi untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan menggunakan sistem pinjaman dan dikelola dengan sistem dana bergulir. Sedangkan sumber dana RPH berasal dari (1) dana reboisasi, (2) sisa dana reboisasi setiap tahun dari bagian Pemerintah Pusat setelah dikurangi alokasi ke Kementerian Kehutanan, (3) dana reboisasi dari penerimaan pembayaran kembali pinjaman/kredit beserta bunganya dari para debitur, hasil divestasi, dividen, dan pungutan kayu sitaan, (4) dana reboisasi yang berada di pihak ketiga, (5) bunga dan/atau jasa giro yang berasal dari RPH, dan (6) surplus (return) bagian Pemerintah yang berasal dari BLU P3H. Dalam APBN-P 2010, alokasi dana bergulir meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau 259,5 persen dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2009. Peningkatan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kenaikan alokasi dana bergulir KUMKM dari semula Rp290,0 miliar dalam tahun 2009 menjadi Rp350,0 miliar dan adanya alokasi dana bergulir baru untuk pengadaan tanah sebesar Rp2,3 triliun. Sedangkan dana bergulir kehutanan dalam APBN-P 2010, alokasi anggarannya tetap sama seperti yang dialokasikan dalam tahun 2009 sebesar Rp625,0 miliar. Tujuan pengalokasian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 sama dengan tahun sebelumnya karena pada prinsipnya kebijakan pemberian dana bergulir KUMKM dan kehutanan dalam tahun 2010 merupakan kelanjutan dari tahun 2009. GRAFIK VI.7 DANA BERGULIR 2009 - 2010 (triliun rupiah) 3,5
KUMKM
3,0
Kehutanan
2,5
Pengadaan Tanah
2,0
Total
1,5 1,0 0,5 * APBN-P 2010 Sumber: Ke menterian Ke uangan
VI-14
2009
2010 *
Sedangkan alokasi dana bergulir pengadaan tanah ditujukan untuk dana talangan dalam rangka mempercepat proses penyelesaian pengadaan tanah untuk pembangunan 22 ruas jalan tol. Dana bergulir ini dikelola oleh Badan Layanan Umum Badan Pengatur Jalan Tol (BLU BPJT) yang merupakan satker di bawah Kementerian Pekerjaan Umum.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Sebagian anggaran yang digunakan untuk dana bergulir pengadaan tanah berasal dari realokasi cadangan pembiayaan 2010 yang telah dianggarkan dalam APBN 2010 sebesar Rp914,3 miliar. Sedangkan sisanya sebesar Rp1,4 triliun merupakan tambahan anggaran baru. Pemerintah memroyeksikan pembangunan 22 ruas jalan tol akan dapat diselesaikan paling lambat tahun 2013 dalam upaya memenuhi target pembangunan infrastruktur jalan berdasarkan program prioritas Pemerintah. Perkembangan realisasi dana bergulir tahun 2009 dan 2010 dapat dilihat pada Grafik VI.7. E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanisme dana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam. Pemerintah baru mengalokasikan dana pengembangan pendidikan nasional melalui pembiayaan anggaran sebesar Rp1,0 triliun dalam APBN-P 2010. Sedangkan dalam tahuntahun sebelumnya, Pemerintah belum mengalokasikan anggaran untuk keperluan ini.
F. Kewajiban Penjaminan Untuk PT PLN (Persero) dan PDAM Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah Untuk Percepatan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW. Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (Persero) dalam memperoleh kredit yang diharapkan dapat menurunkan biaya modal proyek. Dengan penjaminan tersebut diharapkan dapat membantu mempercepat penyelesaian Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW dalam rangka mengatasi kekurangan pasokan listrik nasional. Sebagai konsekuensi pemberian jaminan ini, ketika PT PLN (Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, maka Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah kepada kreditor ini akan diperhitungkan sebagai utang PT PLN (Persero) kepada Pemerintah. Terhadap utang ini, PT PLN (Persero) wajib melakukan pelunasan pada kesempatan pertama setelah dilakukan penagihan atau langsung dilakukan pemotongan dari hak PLN atas subsidi harga listrik yang dibayar Pemerintah. Dana kewajiban penjaminan mulai dianggarkan pada APBN tahun 2007, tetapi sampai dengan akhir tahun 2009, realisasi dana kontijensi untuk PT PLN (Persero) masih nihil. Hal ini dikarenakan PT PLN (Persero) masih mampu membayar kewajibannya kepada kreditur dengan baik. Selanjutnya pada APBN-P 2010, dana kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) kembali dialokasikan sebesar Rp1,0 triliun. Sementara itu, Pemerintah juga melakukan penjaminan terhadap kemungkinan gagal bayar dari proyek PDAM sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-15
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Selain itu, kewajiban penjaminan untuk PDAM dialokasikan dalam rangka percepatan penyediaan air minum yang merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk yang perlu diupayakan agar senantiasa tersedia dalam jumlah yang cukup merata dan mutu yang baik dalam rangka pencapaian millenium development goals (MDG’s), sehingga perlu diberikan akses pembiayaan bagi PDAM untuk memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional. Dana kewajiban penjaminan untuk PDAM mulai dianggarkan pada tahun 2010. Pada APBN-P 2010, Pemerintah mengalokasikan dana kewajiban penjaminan untuk PDAM sebesar Rp50,0 miliar. G. Pinjaman kepada PT PLN (Persero) Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di bidang kelistrikan, selain memberikan penjaminan kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp1,0 triliun, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp7,5 triliun dalam APBN-P 2010. Dalam tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah tidak mengalokasikan anggaran untuk pinjaman kepada PT PLN (Persero). Pinjaman ini merupakan pinjaman lunak dengan masa pengembalian antara 10 sampai dengan 15 tahun dengan masa tenggang maksimal 5 tahun, jika dibayarkan secara amortisasi. Selain itu, tingkat suku bunga yang dikenakan atas pinjaman ini juga rendah guna mempertimbangkan pemenuhan covenant utang-utang PT PLN (Persero). Rencana pemberian pinjaman tersebut akan digunakan PT PLN (Persero) untuk menutup financing gap PT PLN (Persero) sebagai akibat dari pengadaan dan penggantian trafo, penguatan instalasi transmisi dan distribusi serta investasi lainnya. Untuk penyalurannya, Pemerintah memberikan penugasan kepada Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU PIP) untuk melaksanakan pemberian pinjaman dengan penerbitan Peraturan Presiden. Pemberian pinjaman kepada PT PLN (Persero) juga mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.
6.2.2.2 Pembiayaan Utang Utang merupakan instrumen pembiayaan yang hampir selalu digunakan oleh berbagai negara di dunia untuk menutup defisit pembiayaannya. Hal ini disebabkan karena sumber ini relatif tersedia baik dalam bentuk pinjaman maupun surat berharga. Pinjaman tersebut dapat diberikan oleh lembaga pemberi pinjaman sebagai perantara (intermediaries) seperti Bank Dunia atau bank pembangunan kawasan misalnya Asian Development Bank untuk kawasan Asia Pasifik, African Development Bank untuk kawasan Afrika, European Development Bank untuk kawasan Eropa, atau Inter American Development Bank untuk kawasan Amerika Selatan, maupun diberikan oleh negara atau lembaga keuangan yang mewakili sebuah negara. Di negara-negara yang telah maju industri keuangan dan pasar modalnya, pembiayaan utang lebih banyak bersumber dari pasar atau investor pasar keuangan melalui penerbitan surat berharga. Pemerintah Indonesia menggunakan dua instrumen utang tersebut dalam memenuhi pembiayaannya baik instrumen pinjaman maupun instrumen surat berharga. Secara bruto pembiayaan utang meningkat dari Rp76,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp249,8 triliun pada tahun 2010 atau meningkat lebih dari 3 kali. Seiring dengan peningkatan pembiayaan utang¸ penarikan pinjaman juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Penarikan
VI-16
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
GRAFIK VI.8 PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN UTANG TAHUN 2005-2010 300,0
triliun rupiah
250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 ‐
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Total Utang
76,5
123,9
150,9
182,9
207,2
249,8
Penerbitan SBN
47,4
94,2
116,9
132,7
148,5
178,0
Penarikan PLN
29,1
29,7
34,1
50,2
58,7
70,8
Penarikan PDN
‐
‐
‐
‐
‐
1,0
Sumbe r: Kementerian Ke uangan
pinjaman pada tahun 2005 sebesar Rp29,1 triliun meningkat menjadi Rp70,8 triliun pada tahun 2010 untuk memanfaatkan pinjaman program dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan utang tunai. Hal ini dilakukan karena penggunaan dana pinjaman program tidak terikat pada kegiatan tertentu atau lebih fleksibel, sehingga pemanfaatannya akan lebih optimal sesuai dengan kebutuhan belanja Pemerintah. Namun demikian, kenaikan penarikan pinjaman ini tidak sebanding dengan meningkatnya penerbitan SBN. Penerbitan SBN pada tahun 2010 meningkat lebih dari 4 kali lipat dibandingkan tahun 2005, yaitu dari Rp47,4 triliun ke Rp178,0 triliun. Peningkatan yang cukup besar tersebut lebih banyak dipenuhi melalui penerbitan SBN domestik, hal ini dilakukan karena untuk meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar dalam negeri serta untuk mengurangi risiko perubahan mata uang. Perkembangan pembiayaan utang tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik.VI.8. A. Penerbitan SBN neto Sepanjang periode 2005–2009, perkembangan realisasi pembiayaan khususnya yang bersumber dari penerbitan SBN cenderung semakin meningkat. Faktor utama yang berkontribusi bagi peningkatan penerbitan SBN ini adalah (i) adanya kebijakan untuk memprioritaskan pendanaan dari sumber pembiayaan domestik dan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri, (ii) adanya kebutuhan pembiayaan kembali dan reprofiling utang. Dalam upaya memenuhi target pembiayaan yang terus meningkat tersebut, penerbitan SBN menghadapi berbagai tantangan yang cukup berat mengingat kondisi pasar SBN masih perlu untuk terus dikembangkan dan masih cukup rentan apabila terjadi krisis. Pada tahun 2005, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P ditetapkan sebesar Rp22,1 Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-17
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
GRAFIK VI.9 REALISASI PEMBIAYAAN MELALUI PENERBITAN SBN (triliun rupiah) 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 -50,0
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
-100,0 * APBN-P 2010 Sumbe r: KementerianKe uangan
SBN (neto)
Penerbitan
Pokok Jatuh Tempo
triliun atau secara gross sebesar Rp43,3 triliun. Pada tahun ini kondisi pasar keuangan kurang mendukung program penerbitan SBN akibat adanya krisis reksa dana. Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2005 adalah sebesar Rp47,4 triliun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp22,6 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp24,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp22,5 triliun dengan tenor rata-rata 9,2 tahun dan ON valas sebesar Rp24,8 triliun dengan tenor ratarata 15,0 tahun Walaupun kondisi pasar keuangan kurang mendukung, minat investor untuk berinvestasi pada SBN masih cukup tinggi yang ditunjukkan oleh bid to cover ratio sebesar 2,16 kali. Pada tahun 2006 dan 2007, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat cukup signifikan menjadi sebesar Rp35,8 triliun dan Rp58,5 triliun atau secara gross Rp90,5 triliun dan Rp99,3 triliun. Peningkatan target penerbitan tersebut dapat dipenuhi dengan biaya yang relatif rendah karena adanya upaya pengembangan instrumen SUN dan perluasan basis investor yang didukung kondisi pasar keuangan yang sudah pulih dari krisis reksadana dan kondisi makro ekonomi yang stabil. Hal ini terlihat dari tingginya likuiditas di pasar keuangan yang tercermin pada indikator bid to cover ratio sebesar 2,32 kali di tahun 2006 dan 2,22 kali di tahun 2007. Realisasi penerbitan gross SBN pada tahun 2006 adalah sebesar Rp94,2 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp42,6 triliun dengan tenor rata-rata 11,6 tahun dan ON valas sebesar Rp20,0 triliun dengan tenor rata-rata 20,3 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp36,0 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp58,3 triliun. Sedangkan pada tahun 2007, realisasi penerbitan gross SBN adalah sebesar Rp116,9 triliun yang terdiri dari ON seri FR sebesar Rp71,7 triliun dengan tenor 14,1 tahun, ON seri SPN sebesar Rp4,2 triliun dengan tenor rata-rata 1,0 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp10,5 triliun dengan tenor rata-rata 2 tahun dan ON valas sebesar Rp13,6 triliun dengan tenor 30 tahun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp57, 2 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp59,7 triliun. Pada paruh kedua tahun 2007, pasar keuangan global diguncang oleh krisis keuangan yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika, namun dampak dari krisis global ini belum secara signifikan mempengaruhi pasar SBN dalam negeri. Pada tahun 2008, target penerbitan SBN neto dalam APBN-P meningkat menjadi sebesar Rp117,8 triliun atau secara gross sebesar Rp157,0 triliun. Pada tahun ini, dampak krisis subprime morgage yang melanda Amerika Serikat mulai dirasakan oleh pasar keuangan VI-18
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
domestik dan mencapai puncaknya pada paruh kedua tahun 2008. Dalam kondisi pasar keuangan yang memburuk tersebut, mengingat pasar obligasi tidak dapat dipisahkan dengan kondisi pasar keuangan pada umumnya, maka Pemerintah mengambil tindakan antara lain dengan (i) menghentikan penerbitan SUN untuk menjaga kepercayaan investor dan mengurangi kekhawatiran atas oversupply SUN dan (ii) melakukan program debt switch dan buyback. Dengan demikian, realisasi penerbitan gross SBN hanya sebesar Rp132,7 triliun yang diarahkan untuk membiayai defisit anggaran sebesar Rp86,0 triliun dan pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp46,8 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp62,4 triliun dengan tenor rata-rata 9,6 tahun, ON seri VR sebesar Rp5,0 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun, ON seri SPN sebesar Rp10,0 triliun dengan tenor rata-rata 0,9 tahun, ON seri ZCB sebesar Rp9,6 triliun dengan tenor rata-rata 3 tahun dan ON valas sebesar Rp39,3 triliun dengan tenor rata-rata 18,1 tahun. Dalam rangka mengatasi dampak krisis yang semakin memburuk pada perekonomian nasional, Pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan stimulus fiskal dalam APBN 2009. Hal ini berimplikasi kepada kenaikan target penerbitan SBN neto dari semula Rp54,7 triliun dalam APBN 2009 menjadi Rp99,3 triliun dalam APBN-P 2009 atau secara gross sebesar Rp99,6 triliun menjadi Rp144,8 triliun. Menyadari bahwa kondisi pasar keuangan dunia masih belum kondusif, pemenuhan target pembiayaan melalui penerbitan SBN tersebut dikhawatirkan tidak dapat dilakukan secara optimal. Beberapa faktor yang dinilai dapat mempengaruhi tidak optimalnya penerbitan SBN pada saat itu antara lain adalah (i) terbatasnya permintaan dari investor akibat perlambatan ekonomi yang berimbas pada penurunan kapasitas investasi dan keterbatasan likuiditas, (ii) semakin banyaknya negaranegara di dunia yang melakukan penambahan utang untuk menutup kebutuhan penyelamatan perekonomian dan fiskal stimulus, dan (iii) potensi terjadinya crowding out effect, yang dapat berakibat pada sulitnya mencari pembiayaan dari pasar dan makin mahalnya biaya yang harus ditanggung. Sebagai respon terhadap tingginya target pembiayaan tahun 2009 di tengah kondisi pasar yang kurang kondusif, Pemerintah melakukan pembicaraan secara intensif dengan pemberi pinjaman konvensional baik multilateral maupun bilateral, mengenai kemungkinan untuk memberikan fasilitas pinjaman siaga (contingency loan) dalam hal penerbitan SBN tidak dapat dilakukan secara optimal. Tindak lanjut dari inisiatif ini, Pemerintah melakukan penandatanganan perjanjian dengan empat development partners yaitu Bank Dunia, ADB, Pemerintah Jepang melalui JBIC, dan Pemerintah Australia. Adapun masa laku dari pinjaman siaga ini adalah selama 2 (dua) tahun, terhitung dari tahun 2009–2010. Pinjaman ini bukan merupakan pinjaman yang bersifat stand-by sebagaimana halnya commited credit line, yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam hal diperlukan dan dapat menjadi substitusi dari alternatif pembiayaan yang telah ada. Bentuk dukungan pinjaman siaga dapat berupa pemberian pinjaman, yang hanya dapat ditarik dalam hal 2 (dua) kondisi yang disepakati antara Pemerintah dengan development partners secara simultan terpenuhi yaitu (i) target pembiayaan Pemerintah dalam satu triwulan tertentu tidak dapat dipenuhi dan (ii) yield obligasi Pemerintah yang diterbitkan melampaui threshold tertentu yang disepakati. Untuk fasilitas dalam bentuk pinjaman ini tercakup dalam kerangka Public Expenditure Support Facility (PESF) yang dalam pelaksanaannya memperoleh dukungan dari Bank Dunia, ADB, dan Pemerintah Australia. Selain itu, pinjaman siaga dapat berupa pemberian jaminan (guarantee) melalui kerangka Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh Pemerintah Jepang. Dalam skema ini Pemerintah dapat melakukan penerbitan surat Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-19
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
berharga di pasar internasional, terutama pasar keuangan Jepang dengan mendapatkan jaminan dari Pemerintah Jepang melalui JBIC. Sampai dengan pertengahan tahun 2009, pinjaman siaga tersebut baru dimanfaatkan sebesar JPY35 miliar melalui penerbitan JBIC guaranteed samurai bonds (shibosai) di pasar keuangan Jepang. Sedangkan pinjaman siaga dalam kerangka PESF sampai saat ini belum dimanfaatkan. Hal ini disebabkan karena kondisi pasar keuangan yang cenderung mengalami perbaikan sejak awal tahun 2009 sampai dengan saat ini, sehingga 2 (dua) syarat dalam rangka penarikan pinjaman ini belum terlampaui. Dalam realisasinya, penerbitan gross SBN pada tahun 2009 adalah sebesar Rp148,5 triliun yang digunakan untuk membiayai defisit sebesar Rp99,5 triliun dan untuk pembiayaan kembali SBN jatuh tempo sebesar Rp 49,1 triliun. SBN yang diterbitkan meliputi ON seri FR sebesar Rp66,1 triliun dengan tenor rata-rata 10,7 tahun, ON seri VR sebesar Rp6,5 triliun dengan tenor rata-rata 4,5 tahun ON seri SPN sebesar Rp25,2 triliun dengan tenor rata-rata 0,5 tahun dan ON valas sebesar Rp46,8 triliun dengan tenor rata-rata 8 tahun. Sebagai salah satu respon terhadap kecenderungan meningkatnya target penerbitan SBN, dan mempertimbangkan tingginya likuiditas pasar keuangan pada awal tahun, Pemerintah dalam melakukan penerbitan SBN menerapkan kebijakan front loading. Melalui kebijakan ini, porsi jumlah penerbitan diatur sedemikian rupa sehingga jumlah penerbitan pada semester I relatif lebih besar dari pada jumlah penerbitan semester II. Pertimbangan dilaksanakannya kebijakan front loading ini antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memanfaatkan kondisi pasar yang relatif bullish pada awal tahun. 2. Memberikan rasa aman bagi para pelaku pasar bahwa target penerbitan SBN Pemerintah relatif akan dapat dicapai. 3. Tambahan biaya yang harus ditanggung Pemerintah untuk setiap peningkatan bid yang diterima pada saat lelang pada semester I umumnya lebih kecil daripada semester II. 4. Praktik front loading merupakan praktik yang umum dilakukan oleh Debt Management Office (DMO) di banyak negara. 5. Penerapan strategi front loading dalam pengelolaan utang yang prudent cenderung memberikan kontribusi positif pada stabilitas fiskal dan pasar keuangan dan diapresiasi oleh rating agencies. Namun, pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara hati-hati dan terukur dengan mempertimbangkan kondisi kas negara, kondisi pasar keuangan, dan rencana kebijakan fiskal yang ditempuh sehingga kebijakan front loading yang dilakukan dapat mendorong pengembangan pasar obligasi domestik. Dalam periode 2005-2009 gambaran hasil pelaksanaan kebijakan ini dapat dilihat dalam Tabel VI.3. Seiring dengan meningkatnya target pembiayaan defisit anggaran melalui penerbitan SBN, diperlukan kondisi pasar SBN yang aktif, dalam, dan likuid. Dalam rangka meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar SBN, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah melalui pengembangan instrumen SBN, baik SBN domestik maupun SBN Valas. Pengembangan instrumen SBN domestik yang telah dilakukan sepanjang tahun 2005-2010 diantaranya adalah pengembangan obligasi ritel, pengembangan SBSN, sukuk ritel, SPN, obligasi tanpa kupon (zero coupon bond–esZCB), dan sukuk dana haji Indonesia (SDHI). Produk obligasi negara ritel yang lebih dikenal ORI diperkenalkan pada tahun 2006, yang ditujukan bagi VI-20
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
TABEL VI.3 REKAPITULASI PENERBITAN SBN PER SEMESTER, 2005-2009 (juta rupiah) Tahun 2005 2006 2007
Semester I 29.072.000,0 61,5% 44.054.000,0 70,4% 57.508.200,0 57,5% 95.668.565,0
2008 2009
Semester II
78,7% 84.925.000,0 66,3%
Total
18.225.000,0
47.297.000,0
38,5% 18.533.650,0
62.587.650,0
29,6% 42.446.495,0
99.954.695,0
42,5% 25.876.875,0
121.545.440,0
21,3% 43.082.156,0
128.007.156,0
33,7%
Catatan: Penerbitan SBN termasuk dengan lelang dan private placement , tetapi belum termasuk SBSN Sumber: Kementerian Keuangan
investor individu. Untuk itu, terms and condition produk obligasi ritel ini disesuaikan dengan kebutuhan investor individu, diantaranya tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat bunga tabungan, maupun deposito dan pembayaran bunga yang dilakukan secara bulanan. Selanjutnya pada tahun 2007, Pemerintah memperkenalkan instrumen ZCB yang diarahkan untuk menyesuaikan pola investasi dari perusahaan asuransi dan dana pensiun. Selanjutnya untuk mengisi kebutuhan pasar akan instrumen jangka pendek, Pemerintah menerbitkan surat perbendaharaan negara (SPN) yang terutama ditujukan bagi kalangan perbankan sebagai instrumen untuk menyelaraskan durasi. Pada awalnya SPN dan ZCB kurang diminati oleh pasar karena adanya perlakuan pajak yang dinilai memberatkan investor. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah mengkaji kembali perlakuan pajak atas kedua instrumen tersebut dan melakukan penyesuaian sehingga instrumen tersebut menjadi lebih menarik. Dampak dari kebijakan ini telah dirasakan secara nyata dengan tingginya minat investor setelah perlakuan pajak yang baru terhadap kedua instrumen tersebut terutama SPN ditetapkan. Memasuki tahun 2008, setelah ditetapkannya UU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Pemerintah melakukan penerbitan SBSN dengan tenor 7 dan 10 tahun di pasar domestik dan internasional. Penerbitan ini mendapat sambutan yang cukup baik dengan terpenuhinya target penerbitan SBSN bahkan penawaran yang masuk lebih tinggi dari target yang ditetapkan. Berkenaan dengan mata uang SBN yang diterbitkan, sejak tahun 2004 Pemerintah mulai menerbitkan SBN dalam denominasi valas dalam mata uang USD, sedangkan dalam mata uang JPY baru dimulai pada tahun 2009. Tujuan penerbitan SBN valas adalah untuk memenuhi pembiayaan dan untuk mengelola portofolio utang Pemerintah. Penerbitan SBN dalam mata uang USD pada awalnya menggunakan program stand alone dengan format reg S/144A, namun sejak tahun 2009 Pemerintah menerbitkan SBN Valas dengan format GMTN (Global Medium Term Note). Penerbitan dengan format Reg S/144A memerlukan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-21
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
waktu yang cukup panjang sehingga terbuka peluang untuk diprediksi oleh pasar yang pada akhirnya cenderung mendorong yield ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan format GMTN Pemerintah dapat melakukan penerbitan sampai dengan jumlah yang didaftarkan pada program GMTN tersebut dan realisasi penerbitan dapat dilaksanakan setiap saat dalam periode yang telah ditentukan, sesuai dengan kebutuhan pembiayaan. Dengan demikian Pemerintah memiliki fleksibilitas dalam memilih waktu yang tepat untuk penerbitan yang pada akhirnya dapat mengurangi noise di pasar keuangan. Pada tahun 2009 Pemerintah mencoba menjajaki pasar Jepang dengan menerbitkan shibosai sebesar JPY 35 miliar yang memanfaatkan fasilitas Market Access Support Facility (MASF) yang diberikan oleh Pemerintah Jepang melalui JBIC. Penerbitan shibosai ini menggunakan mekanisme private placement kepada investor Jepang yang potensial. Pada tahun 2010 direncanakan untuk melakukan penerbitan shibosai pada semester II 2010, penerbitan ini ditujukan untuk menambah likuiditas shibosai dengan menambah jumlah outstanding. SBN valas juga diterbitkan dengan basis syariah (sukuk valas). Penerbitan pertama kali dilakukan pada bulan April 2009 sebesar USD650 juta dengan akad Ijarah sale and lease back. Penerbitan tersebut merupakan penerbitan straight sukuk terbesar di luar negara teluk dan merupakan benchmark pertama kali sukuk valas di Asia sejak tahun 2007. Minat investor terhadap instrumen ini cukup tinggi tercermin dari tingginya jumlah penawaran yang masuk (over subscription) sebanyak 7,3 kali dari jumlah penerbitan. Selain itu, Pemerintah berupaya untuk terus melakukan pengembangan pasar perdana melalui peningkatan kualitas pengelolaan SBN salah satunya dengan meningkatkan aspek certainty dan predictability bagi para investor. Melalui kedua aspek ini maka diharapkan kualitas pengelolaan SBN dapat ditingkatkan. Salah satu initiatif yang telah dilakukan pada tahun 2007, Pemerintah mengimplementasikan primary dealership system yang memungkinkan terjadinya market making dalam pasar SBN. Kemudian tahun 2010, pengembangan pasar antara lain dilakukan dengan menyusun jadwal pelaksanaan lelang per triwulan yang meliputi indikasi waktu, jenis instrumen per tenor, dan rencana penerbitan triwulanan. Meskipun jadwal ini sifatnya masih tentative, namun setidaknya dapat memberikan gambaran bagi investor terhadap penyusunan rencana investasi di SBN sepanjang tahun. Sedangkan dalam pengembangan pasar sekunder, telah ditetapkan crisis management protocol sebagai mekanisme early warning dan prosedur dalama pengelolaan jika terjadi krisis di pasar sekunder. Kemudian diperkenalkan metode securities lending and borrowing bagi primary dealers, dan Pemerintah dapat melakukan stabilisasi pasar dengan transaksi langsung melalui dealing room. Dalam pengelolaan portofolio dan risiko utang, Pemerintah juga telah mengembangkan berbagai operasi untuk memperbaiki struktur portofolio dan mengendalikan risiko yang terkandung dalam utang. Sebagai salah satu contoh dalam pengendalian risiko refinancing, Pemerintah telah melakukan operasi pasar melalui program cash buyback dan program penukaran utang (debt switching). Konsep dasar kedua program tersebut adalah sama, yaitu menukar utang yang jatuh tempo dalam jangka waktu pendek dengan utang yang memiliki jangka waktu yang lebih panjang, atau dapat dilakukan dengan menerbitkan obligasi yang dapat menjadi benchmark dan aktif ditransaksikan (on the run) untuk menggantikan obligasi yang tidak aktif (off the run). B. Penarikan Pinjaman Meskipun secara neto besaran penarikan pinjaman luar negeri ditetapkan negatif dan VI-22
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
perannya sebagai sumber pembiayaan sejak tahun 2004 sudah tidak lagi dominan, namun pembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari pinjaman luar negeri masih dipertahankan sampai saat ini. Hal tersebut didasari oleh masih adanya kebutuhan untuk mendukung pembiayaan kegiatan yang terkait langsung dengan belanja negara dan penerusan pinjaman, maupun dalam bentuk pinjaman luar negeri tunai yang berfungsi sebagai budget support. Dalam upaya mengurangi risiko nilai tukar yang melekat pada instrumen pinjaman luar negeri serta mempertimbangkan ketersediaan sumber dalam negeri, Pemerintah mengembangkan instrumen pembiayaan dari pinjaman yang bersumber dari dalam negeri. Seiring dengan telah dipenuhinya kerangka infrastruktur peraturan perundangan maupun peraturan operasional, pinjaman dalam negeri mulai digunakan sebagai instrumen pembiayaan pada tahun 2010. Sesuai dengan peruntukkannya, GRAFIK VI.10 PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI, 2005-2010 pinjaman dalam negeri hanya (triliun rupiah) diarahkan untuk pembiayaan 41,4 kegiatan. Dengan demikian, 45,0 40,0 terhitung mulai tahun 2010 dalam 35,0 29,4 30,1 28,9 29,7 rangka pembiayaan defisit 30,0 anggaran, Pemerintah mempunyai 25,0 20,1 19,6 16,1 16,8 14,5 13,6 dua instrumen pinjaman yaitu 20,0 12,3 15,0 pinjaman luar negeri dan pinjaman 10,0 dalam negeri. 5,0 Pinjaman Luar Negeri
0,0
2005 * APBN-P 2010
2006
2007
2008
2009
2010*
Dalam periode 2005-2010, Sumber: KementerianKeuangan penarikan pinjaman luar negeri dilakukan atas pinjaman proyek dan pinjaman tunai. Pinjaman proyek merupakan pinjaman yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh K/ L sehingga tercakup dalam belanja K/L atau yang diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah atau BUMN. Sedangkan pinjaman tunai yang lebih dikenal dengan sebutan pinjaman program merupakan pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan defisit (budget support) yang syarat pencairannya adalah melalui pemenuhan policy matrix atau terlaksananya sebuah kegiatan tertentu. Pada tahun 2005 – 2009, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah total penarikan pinjaman. Apabila dilihat secara rinci, perkembangan penarikan pinjaman program mulai meningkat sejak tahun 2007 seiring dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan utang tunai. Sedangkan penarikan pinjaman proyek dari tahun 20052007 cenderung menurun, namun kembali meningkat pada tahun 2008 dan 2009. Perkembangan pinjaman luar negeri tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.10. Pinjaman Program
Pinjaman Proyek
Sebagaimana disebutkan di atas, realisasi penarikan pinjaman proyek dalam periode 20052007 cenderung menurun, dan kemudian cenderung meningkat pada tahun 2008-2009. Namun, apabila dibandingkan antara besaran realisasi dengan target yang ditetapkan dalam APBN/APBN-P, realisasi penarikan pinjaman proyek pada periode 2005-2009 masih berada di bawah target yaitu rata-rata hanya mencapai angka 72,9 persen. Relatif rendahnya realisasi penarikan pinjaman proyek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain (1) adanya kendala permasalahan di lapangan, misalnya kesulitan dalam pembebasan tanah dan/atau tidak diperolehnya perijinan penggunaan lahan, (2) belum siapnya pelaksanaan kegiatan di tahun pertama yang ditunjukkan dengan belum disediakannya dana pendamping/uang muka, atau belum lengkapnya organ pelaksana kegiatan, (3) penyelesaian pengadaan yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-23
Bab VI
40,0
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
GRAFIK VI.11 PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROYEK, 2005-2010 (triliun rupiah)
30,0 20,0 10,0
2005 Sumbe r: KementerianKeuangan
2006
2007
2008
Realisasi
APBN-P
Realisasi
APBN-P
Realisasi
APBN-P
Realisasi
APBN-P
Realisasi
APBN-P
0,0
2009
tertunda akibat adanya persyaratan tertentu dari pemberi pinjaman (lender) atau karena barang yang diadakan memiliki karakteristik sangat spesifik, (4) penyusunan besaran rencana penarikan yang terlalu optimis, (5) adanya persyaratan administratif yang belum dipenuhi oleh pelaksana kegiatan sehingga mengakibatkan dana diblokir, dan lain-lain. Perkembangan target dan realisasi penarikan pinjaman proyek tahun 2005-2009 dapat dilihat pada
Grafik VI.11. Dalam kurun waktu tahun 2005-2009, khususnya mulai tahun 2007 terdapat kecenderungan peningkatan kebutuhan pemenuhan pembiayaan dari pinjaman tunai. Besaran realisasi penarikan pinjaman tunai tersebut meningkat dua kali lipat yaitu pada tahun 2005-2006 dibandingkan dengan 2008-2009. Hal ini dapat dipahami, mengingat sumber pembiayaan dari pinjaman tunai luar negeri yang merupakan non market base instrument diharapkan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan pembiayaan pada saat terjadi krisis global. Salah satu pertimbangan dimanfaatkannya pinjaman tunai ini adalah sifat penarikannya yang single disbursement dan tidak earmark dengan belanja tertentu (khususnya bagi pinjaman tunai di luar mekanisme refinancing modality), sehingga relatif fleksibel dalam pemanfaatannya. Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa pinjaman tunai memiliki syarat pencairan yaitu policy matrix (untuk pinjaman program reguler) atau terlaksananya sebuah kegiatan (dalam konteks refinancing modality). Selain itu, mengingat sifatnya yang single disbursement, pinjaman tunai berpotensi mengurangi country limit/ single country ceiling yang diterapkan oleh masing-masing lender. Hal ini akan mengurangi ruang dan kapasitas negara peminjam untuk melakukan pinjaman baru, ataupun jika batasan ini dapat dilampaui maka biaya pinjaman dapat berpotensi naik. Sepanjang tahun 2005-2010, tidak semua pemberi pinjaman bersedia atau memiliki produk yang menyediakan fasilitas pinjaman tunai ini. Selama periode tersebut hanya empat pemberi pinjaman yang secara konsisten menyediakan fasilitasnya yaitu Bank Dunia, ADB, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Agence Française de Développement (AFD, Perancis). Sebenarnya, tidak tertutup kemungkinan adanya lender lain yang menyediakan fasilitas pinjaman tunai, namun terdapat potensi bahwa dana tunai yang disediakan memiliki konsekuensi biaya yang relatif mahal. Adapun dari sisi fokus program yang akan diterjemahkan dalam matriks kebijakan (policy matrix) sebagai syarat penarikan, terdapat beberapa program yang secara generik dapat menggambarkan pinjaman tunai dimaksud, antara lain kebijakan di bidang program pembangunan, infrastruktur, dan climate change. Dalam pemenuhan policy matrix tersebut, diperlukan upaya penyusunan berbagai kebijakan, baik yang berbentuk penetapan aturan perundangan maupun aturan operasional, serta studi-studi yang mengarah pada reformasi VI-24
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
kebijakan. Mengingat reformasi kebijakan tersebut dilakukan di segala bidang, maka dalam pemenuhan syarat penarikan tersebut sangat diperlukan keterlibatan aktif setiap K/L yang terkait langsung dengan masing-masing fokus area tersebut. Kebijakan di bidang program pembangunan tercakup dalam Development Policy Loan (DPL) yang merupakan produk pinjaman tunai dari Bank Dunia dan Development Policy Support Program (DPSP), dengan ADB sebagai lender. JICA melakukan cofinancing dengan Bank Dunia untuk program ini. Terdapat 3 area kebijakan publik yang menjadi perhatian Pemerintah untuk pelaksanaan program ini yaitu perbaikan iklim investasi, penguatan pengelolaan keuangan publik, dan pengentasan kemiskinan. Trigger Policy sesuai karakteristik masing-masing area kebijakan publik tersebut, yaitu (i) perbaikan iklim investasi, fokus kebijakan Pemerintah pada penyelesaian studi dalam pengurangan beban pajak bagi wajib pajak tertentu, operasionalisasi sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) beserta regulasi teknisnya dan pembenahan daftar negatif investasi (DNI), yang diikuti dengan mendirikan sistem lisensi operasional investasi online (SPIPISE) dan pembentukan staf helpdesk untuk Indonesia National Single Window (INSW), (ii) penguatan pengelolaan keuangan publik, diwujudkan dengan melakukan pengembangan kapasitas SDM untuk meningkatkan fungsi procurement dalam Pemerintahan sehingga dapat meningkatkan kecepatan dan efektifitas dalam melakukan procurement, kemudian menyempurnakan mekanisme untuk meningkatkan kualitas K/L dalam melakukan cash and budget forecasting agar efisiensi pengelolaan uang negara meningkat, dan pembentukan komite teknologi dan informasi serta pemberlakuan pemakaian standar kebijakan dalam penggunaan teknologi informasi Pemerintah; dan (iii) pengentasan kemiskinan, antara lain melalui pelaksanaan sensus secara nasional untuk melakukan pemetaan terhadap kemiskinan yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan pengentasan kemiskinan di tahun 2011. Sejak tahun 2005–2009, total penarikan pinjaman program di bidang program pembangunan yang telah dilakukan adalah sebesar USD4.693 juta yang terdiri dari Bank Dunia sebesar USD3.100 juta, ADB sebesar USD1.000 juta dan JICA sebesar equivalen USD593 juta. Program pembangunan infrastruktur melalui Infrastructure Development Policy Loan (IDPL) dengan lender dari Bank Dunia dan Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP) dengan ADB yang melakukan cofinancing dengan JICA sebagai lender. Dalam program ini area utama kebijakan infrastruktur berfokus pada kebijakan untuk mempertahankan alokasi dana APBN 2010 di bidang infrastruktur dan penyediaan listrik yang stabil, efektif, dan berkesinambungan. Fokus kebijakan infrastruktur lainnya adalah Public Private Partnership (PPP), yaitu upaya untuk mengutamakan peningkatan kerjasama antara Pemerintah dan pihak swasta. Pinjaman program untuk program pembangunan infrastruktur baru dimulai pada tahun 2006 dengan penarikan pinjaman dari ADB sebesar USD400 juta. Sepanjang tahun 2006–2009, jumlah penarikan pinjaman program untuk program pembangunan infrastruktur yang telah ditarik dari 3 lender ini adalah USD1,530 juta. Program perubahan iklim melalui Climate Change Program Loan (CCPL) didukung pembiayaannya oleh JICA dan AFD, Perancis. Program loan ini dimulai pada tahun 2008 dengan fokus sektor meliputi sektor kehutanan dengan target outcome mencegah pengurangan luas hutan dan meningkatkan tingkat penyerapan CO2, sektor energi dengan target outcome mengurangi emisi CO2 dan mendorong penggunaan energi terbarukan, sektor sumber daya dan energi dan beberapa sektor lainnya. Untuk sektor kehutanan yang menjadi perhatian utama adalah program Reducing Emissions from Deforestation and Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-25
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Degradation (REDD) untuk meminimalisasi emisi karbon melalui penguatan regulasi di bidang perkayuan termasuk penguatan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi regulasinya. Sektor berikutnya yang menjadi perhatian adalah sektor sumber daya dan energi melalui kebijakan peningkatan penggunaan sumber-sumber energi terbarukan. Dalam sektor transportasi fokus kebijakan meliputi upaya untuk menurunkan emisi karbon di udara, yang diwujudkan dengan kebijakan untuk meningkatkan transportasi umum, perbaikan fasilitas bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda di kota-kota besar di Indonesia, dan pemanfaatan converter kit untuk transportasi umum di kota-kota besar untuk menurunkan emisi gas buang kendaraan. Di bandingkan dua fokus area lainnya, climate change merupakan fokus area yang relatif baru dan dimulai pada tahun 2008 melalui JICA dan AFD sebesar equivalen USD500 juta. Pada tahun 2009, AFD meningkatkan besaran komitmennya dari semula USD200 juta menjadi USD300 juta, sehingga jumlah total penarikan pinjaman program climate change AFD pada tahun 2009 bersama dengan JICA adalah USD600 juta. Pada tahun 2008, Bank Dunia memberikan fasilitas pinjaman tunai berbasis kegiatan. Dalam skema pinjaman ini, syarat pencairan pinjaman tidak menggunakan policy matrix, namun pelaksanaan sebuah kegiatan yang dinilai berkualitas dan dapat disepakati bersama antara Pemerintah dengan pemberi pinjaman (refinancing modality). Pada tahap awal, kegiatan yang diajukan kepada pemberi pinjaman (dalam hal ini Bank Dunia) dan kemudian disepakati untuk dijadikan syarat pencairan adalah pelaksanaan kegiatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk kemudian menjadi program BOS-KITA (Bantuan Operasional Sekolah– Knowledge Improvement for Transparancy and Accountability). Pinjaman dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama dengan komitmen sebesar USD600 juta memiliki rentang waktu dua tahun yaitu tahun 2008 dan 2009 dengan realisasi masing-masing sebesar USD47 juta dan USD553 juta, sedangkan tahap kedua sebesar USD500 juta akan ditarik pada tahun 2010 dan 2011. Pada tahun 2010, selain BOS KITA terdapat pinjaman tunai lainnya yang juga menggunakan skema refinancing modality yaitu PNPM refinancing. Faktor utama yang membedakan skema refinancing modality dengan pinjaman program regular pada umumnya adalah mekanisme pencairan dananya. Pinjaman program melalui mekanisme refinancing modality ini terkait langsung dengan kegiatan yang dibiayai, sehingga mekanisme pencairan dananya juga terkait dengan kemajuan pelaksanaan kegiatan tersebut. Realisasi penarikan pinjaman program tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel VI.4. Pada Semester I tahun 2010, pencairan pinjaman program telah dapat dilakukan bagi empat pinjaman program dari tiga lender yaitu ADB, Jepang melalui JICA, dan Perancis. Pinjaman program dari ADB yang tercakup dalam program countercyclical support facility (CSF) sebesar USD500 juta, dari JICA tercakup dalam program development policy loan sebesar USD100 juta dan climate change program loan sebesar USD300 juta dari JICA, dan dari Perancis yaitu climate change program loan sebesar USD300 juta. Belum ditariknya pinjaman program yang lain disebabkan oleh siklus pendanaan lender, mekanisme pengadaan pinjaman dan pemenuhan syarat pencairannya. Selanjutnya berdasarkan data realisasi tahun 2005-2009, besarnya pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri meningkat drastis sejak tahun 2006 dibandingkan dengan posisi tahun 2005. Peningkatan tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yaitu (i) adanya penguatan nilai tukar beberapa valuta asing (original currency) khususnya JPY dan USD pada kurun
VI-26
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
TABEL VI.4 PERKEMBANGAN PENARIKAN PINJAMAN PROGRAM, 2005-2009 (juta dolar AS) No Lender
Program
2005
1. Development Policy Loan (DPL) 1 s.d 7 1. WB 2. Infrastructure Development Policy Loan (IDPL) 1 s.d. 4 3. BOS-KITA Refinancing Sub Total WB 1. State Audit Reform Sector Development 2. Development Policy Support Program (DPSP) 1 s.d. 6 3. Local Government Finance Reform Sector Development 1 & 2 4. Infrastructure Reform Sector Development 1 & 2 2. ADB 5. Capital Market Development Cluster 1 &2 6. Poverty Reduction and MDG Acceleration 7. Local Government Finance 8. Countercyclical Support Facility (CSF) Sub Total ADB 1. Development Policy Loan (cofinancing dengan WB) 1 s.d.6 2. Infrastructure Reform Sector Development 1 & 2 3. Indonesia Disaster Recovery and Management 3. JICA 4. Climate Change Program Loan 1 s.d 3 5. Economic Stimulus and Budget Support Loan 6. Development Policy Loan (cofinancing dengan WB) 7 Sub Total JBIC/ JICA 4. France Climate Change Program Loan 1 s.d. 3 Sub Total France Total
2006
400
400 200 300
2007
2008
600
600
600
600
200
750 400 47 1.197
200
2009 750 250 553 1.553
200
400
200
280 300 400
300 350
500 93
600 100
93
993
900 100 100 200
100
1.300
400
1.900
830 200
500 100 100
300
300 100
500 200 200
600 300 300
2.727
2.953
Total 3.100 650 600 4.350 1.000 300 680 600 400 350 3.330 593 200 200 600 100 1.693 500 500 9.873
Sum ber: Kem enterian Keuangan
waktu tahun 2007-2009 dan (ii) jatuh tempo pembayaran pinjaman yang dijadwalkan kembali (rescheduling) melalui forum Paris Club. Berdasarkan jenis mata uang, terdapat 3 mata uang utama yang memiliki porsi cukup besar dalam pembayaran cicilan pokok ini yaitu USD, JPY, dan EUR. Dengan demikian, penguatan salah satu atau beberapa mata uang tersebut terhadap mata uang rupiah akan memiliki TABEL VI.5 REALISASI PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (NETO), 2005-2010 (triliun rupiah) Uraian I.
II.
Realisasi 2005
2006
2007
2008
2009
APBN-P 2010
Penarikan Pinjaman Luar Negeri
29,1
29,7
34,1
50,2
58,7
70,8
a. Pinjaman Program
12,3
13,6
19,6
30,1
28,9
29,4
b. Pinjaman Proyek
16,8
16,1
14,5
20,1
29,7
41,4
Penerusan Pinjaman
(2,2)
(3,6)
(2,7)
(5,2)
(6,2)
(16,8)
(37,1)
(52,7)
(57,9)
(63,4)
(68,0)
(54,1)
(10,3)
(26,6)
(26,6)
(18,4)
(15,5)
(0,16)
III. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri Jumlah Sumber : Kementerian Keuangan
pengaruh yang cukup besar dalam pembayaran cicilan pokok. Hal ini tercermin dari pergerakan nilai rupiah yang cenderung melemah sepanjang kurun waktu 2007-2009 baik terhadap USD maupun terhadap JPY. Selain karena adanya pelemahan rupiah, peningkatan pembayaran cicilan pokok juga disebabkan telah jatuh temponya pembayaran cicilan yang dijadwal ulang (rescheduling) melalui forum Paris Club I, II, dan III dengan uraian (i) Paris Club I tahun 1998 periode pembayarannya adalah tahun 2002-2019, (ii) Paris Club Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-27
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
II tahun 2000 periode pembayarannya tahun 2004-2021, (iii) Paris Club III tahun 2002 periode pembayarannya tahun 2008-2023; dan (iv) moratorium tahun 2005 periode pembayarannya tahun 2006-2009. Realisasi pembiayaan luar negeri (neto) tahun 20052009 dapat dilihat pada Tabel VI.5. BOX VI.1 Pinjaman Program Refinancing Modality Pinjaman luar negeri sebagai salah satu instrumen pembiayaan utang APBN terdiri dari (i) Pinjaman Proyek (Project Loan) dan (ii) Pinjaman Program/Tunai (Program Loan). Berbeda dengan pinjaman proyek, dimana penggunaan pinjaman attached dengan kegiatan yang dibiayai sebagai underlying, pinjaman program yang diterima Pemerintah langsung disetor ke Kas Negara menjadi general funds. Dalam perjalanannya pinjaman program telah berevolusi, yang semula pinjaman program selalu dikaitkan dengan pemenuhan policy matrix, sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Bank Dunia telah diperkenalkan pinjaman program dengan refinancing modality. Pinjaman refinancing modality merupakan pinjaman yang dicairkan secara tunai sebagai refinancing (reimbursement) atas suatu kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya pinjaman ini diberikan sebagai refinancing atas kegiatan/program Bantuan Operasional Sekolah–Knowledge Improvement for Transparency and Accountability (BOS-KITA). Dalam implementasi BOS-KITA, pinjaman yang bersumber dari Bank Dunia digunakan untuk me-refinance + 60 persen Bantuan Operasional Sekolah yang dikeluarkan Pemerintah. Jumlah refinance dari Bank Dunia selanjutnya akan masuk ke Kas Negara. Persyaratan pencairan yang disepakati Pemerintah dan Bank Dunia adalah keberhasilan penyaluran dana bantuan yang ditunjukkan oleh hasil audit pelaksanaan BOS dan adanya perbaikan terhadap operations manual pelaksanaan BOS. Dengan mekanisme tersebut di atas, maka pencairan dan pelaksanaan proyek/kegiatan yang dibiayai pinjaman luar negeri tersebut di atas telah sepenuhnya mengikuti sistem, mekanisme dan aturan yang berlaku di Indonesia. Penerapan pinjaman refinancing modality ini sejalan dengan Jakarta Commitment tahun 2009 yang memandatkan dimanfaatkannya bantuan luar negeri mengikuti sistem dan aturan yang berlaku di negara penerima (peminjam). Pinjaman BOS-KITA sebesar USD600 juta yang pencairannya telah dilaksanakan dalam tahun 2008 dan 2009, akan dilanjutkan dengan BOS-KITA II sebesar USD500 juta yang pencairannya dilaksanakan tahun 2010 dan 2011. Adapun terms and conditions perjanjian ini adalah: (1) suku bunga: LIBOR + Variable Spread Loan (VSL), dimana pada bulan Juni 2010, LIBOR sebesar 0,75 persen dan VSL sebesar 0,24 persen, (2) jangka waktu pembayaran selama 24,5 tahun dengan masa tenggang (grace period) 9 tahun, serta (4) front end fee sebesar 0,25 persen dari total pinjaman. Selanjutnya, dalam tahun 2010 refinancing modality telah direplikasi untuk pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), khususnya untuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Berbeda dengan BOS-KITA, dimana program ini sejak awal dibiayai menggunakan rupiah murni, maka pada PNPM Pemerintah akan memberikan dana talangan terlebih dahulu untuk pelaksanaan BLM. Kemudian setelah dana talangan tersebut memperoleh refinancing melalui pinjaman Bank Dunia, selanjutnya dana refinancing akan disetorkan ke Kas Negara. Dengan mekanisme tersebut penyaluran BLM ke masyarakat dapat dilakukan secara lebih cepat, karena penyaluran BLM yang telah tercantum dalam dokumen anggaran sebagai rupiah murni dapat dilakukan sebelum pinjaman efektif. Hal ini dimungkinkan karena telah adanya
VI-28
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
kesepakatan dengan Bank Dunia tentang pemberlakuan retroactive financing terhadap BLM yang telah ditalangi Pemerintah. Adapun jumlah pinjaman PNPM refinancing modality direncanakan sebesar USD629,18 juta untuk PNPM Perdesaaan dan sebesar USD115,76 juta untuk PNPM Perkotaan.
Penerusan Pinjaman Penerusan pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah (Pemda) atau BUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. Penerusan pinjaman merupakan fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Pemda atau BUMN untuk memperoleh pinjaman, khususnya pinjaman dalam bentuk pembiayaan bagi kegiatan tertentu. Melalui penerusan pinjaman, lender tidak memperhitungkan kondisi Pemda atau BUMN yang bersangkutan, namun yang diperhitungkan adalah Pemerintah sebagai ultimate borrower. Untuk itu, dalam mekanisme penerusan pinjaman ini, proses pengadaan pinjamannya tetap harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat (i) penarikannya meskipun sifatnya in-out dalam APBN, namun tetap memberikan potensi peningkatan outstanding pinjaman, (ii) lender tetap memperhitungkan pinjaman tersebut sebagai pinjaman Pemerintah, (iii) terdapat potensi terjadi mismatch antara penerimaan pembayaran kewajiban dari penerima penerusan pinjaman dengan pembayaran kewajiban ke lender, dan (iv) seperti halnya pinjaman proyek, rendahnya penyerapan pinjaman berpotensi menambah biaya pinjaman. Pemberian pinjaman kegiatan atau proyek kepada Pemda atau BUMN dengan menggunakan mekanisme penerusan pinjaman dikarenakan Pemda atau BUMN berbeda entitas akuntansi dengan Pemerintah Pusat. Selain itu, berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, Kementerian Negara/Lembaga/Pemda dilarang melakukan perikatan dalam bentuk apapun secara langsung dengan pihak kreditur asing yang dapat menimbulkan kewajiban tertentu dikemudian hari. Dalam perkembangannya, realisasi penerusan pinjaman dalam kurun waktu tahun 2005— 2010 cenderung mengalami peningkatan, kecuali tahun 2007 yang mengalami penurunan Rp834,6 miliar atau 23,5 persen dibandingkan dengan realisasi GRAFIK VI.12 REALISASI PENERUSAN PINJAMAN, 2005–2010 tahun sebelumnya. Apabila (triliun rupiah) dalam tahun 2005 realisasi 18,0 penerusan pinjaman mencapai 16,0 Rp2,3 triliun maka dalam tahun 14,0 2009 realisasinya mencapai 12,0 Rp6,2 triliun. Hal ini berarti rata- 10,0 8,0 rata peningkatan pertahunnya 6,0 mencapai sekitar 36 persen. 4,0 Peningkatan realisasi penerusan pinjaman dalam periode 2005– 2010 sejalan dengan meningkatnya kebutuhan Nota Keuangan dan RAPBN 2011
2,0 0,0 2005
2006
2007
2008
2009
2010 *
* APBN-P 2010 Sumber: Kementerian Keuangan
VI-29
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
pembiayaan investasi untuk proyek-proyek vital yang dilaksanakan baik oleh Pemda maupun BUMN. Perkembangan realisasi penerusan pinjaman tahun 2005–2010 dapat diikuti pada Grafik VI.12. Apabila dilihat dari komposisi pengguna penerusan pinjaman dalam periode 2005–2010, BUMN adalah lembaga peminjam terbesar, baru kemudian sisanya merupakan pinjaman Pemda. Pinjaman BUMN rata-rata pertahunnya mencapai sekitar 99 persen dan hanya sekitar 1 persen yang menjadi pinjaman Pemda. Diantara BUMN-BUMN yang meminjam dana dengan mekanisme penerusan pinjaman, PT PLN (Persero) merupakan BUMN peminjam terbesar dibandingkan dengan BUMN yang lainnya. Dalam APBN-P 2010, penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero) mencapai Rp12,2 triliun atau 72,5 persen dari total penerusan pinjaman sebesar Rp16,8 triliun. Hal ini menunjukkan peningkatan 62,5 persen dibandingkan rencana alokasi penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero) tahun 2009. Besarnya jumlah penerusan pinjaman kepada PT PLN (Persero) mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut sedang membutuhkan dana jumlah yang besar untuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur listrik seperti pembangunan pembangkit listrik baru, pemeliharaan dan pengadaan travo, pembangunan jaringan transmisi, dan lain sebagainya. Selain PT PLN (Persero), beberapa BUMN lainnya yang juga menerima penerusan pinjaman antara lain PT PGN, PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), dan lain-lain. Sedangkan penerusan pinjaman kepada Pemda, umumnya untuk membiayai proyek-proyek urban water supply and sanitation project (UWSSP), urban sector development reform project (USDRP), dan Jakarta emergency GRAFIK VI.13 REALISASI PENERUSAN PINJAMAN KEPADA BUMN DAN PEMDA, 2005–2010 dredging initiative (JEDI), (triliun rupiah) yang sumber pendanaannya 18,0 berasal dari pinjaman Bank 16,0 Dunia. Beberapa daerah 14,0 yang menerima penerusan 12,0 pinjaman untuk 10,0 8,0 pembiayaan proyek UWSSP 6,0 atau USDRP antara lain 4,0 Pemkab Palopo, Pemkot 2,0 Palangkaraya, Pemkot ParePare, Pemkab Barru, 2005 2006 2007 2008 2009 2010 * Pemkab Bogor, Pemkab * APBN-P 2010 BUMN Pemda Muara Enim, Pemprop DKI Sumbe r: Ke menterian Ke uangan Jakarta, dan lain-lain. Perkembangan realisasi penerusan pinjaman berdasarkan BUMN dan Pemda tahun 2005– 2010 dapat diikuti pada Grafik VI.13. Pinjaman Dalam Negeri Instrumen pinjaman dalam negeri pada dasarnya hanya digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu, antara lain dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri dan pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur. Instrumen ini dikembangkan sebagai
VI-30
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman komersial luar negeri serta dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri. Dalam tahap awal pemanfaatan instrument ini, Pemerintah masih memfokuskan kepada pelaksanaan kegiatan dalam di 2 K/L yaitu Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara. Selain itu, besaran angka yang ditetapkan menjadi target penarikannya pun masih belum signifikan dibandingkan dengan sumber pembiayaan utang lainnya, yaitu Rp1,0 triliun. Berbeda dengan mekanisme dalam pengadaan pinjaman komersial luar negeri, dalam pinjaman dalam negeri terdapat dua proses yang dilakukan secara paralel yaitu proses pengadaan barang yang dilaksanakan di K/L dan proses pengadaan pinjaman dilaksanakan di Kementerian Keuangan. Dua proses tersebut dilakukan secara terpisah dalam rangka mempercepat pelaksanaan kegiatan. Meskipun dilakukan secara terpisah, namun diharapkan tidak mengurangi kualitas dari eksekusi atas kegiatan yang direncanakan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya diperlukan komunikasi yang cair dan koordinasi yang solid antara kementerian negara/lembaga dengan Kementerian Keuangan. Dalam pelaksanaannya, sepanjang Semester I 2010 pinjaman dalam negeri masih dalam tahap penyelesaian administrasi di lingkungan K/L. Pengadaan pinjaman oleh Kementerian Keuangan dapat dilaksanakan apabila sudah ada konfirmasi kesiapan dari K/L. Adapun sampai saat ini lender yang berpotensi menyediakan fasilitas pinjamannya terutama dari kalangan perbankan dalam negeri. Perkembangan Portofolio Utang Pemerintah Perkembangan pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang sepanjang periode 2005– 2010 memberikan gambaran bahwa terdapat kecenderungan peningkatan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang, bahkan pada tahun 2008 peningkatan kebutuhan pembiayaan dari utang neto mencapai lebih dari 100 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2007. Peningkatan realisasi pembiayaan utang pada akhirnya akan memberikan dampak pada semakin meningkatnya outstanding utang Pemerintah secara keseluruhan. Dengan melihat kecenderungan yang ada terutama pada periode 2007–2010, pengendalian utang akan menghadapi tantangan besar jika tidak disertai dengan konsistensi kebijakan. Sebagai salah satu contoh, dalam periode 2005–2009, kebijakan untuk mengurangi pinjaman luar negeri telah dicanangkan. Namun, apabila mempertimbangkan kecenderungan realisasi atas penarikan pinjaman luar negeri neto, terdapat fenomena bahwa besarannya semakin meningkat khususnya pada realisasi tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2009 dan APBN-P 2010. Apabila dilihat secara rinci, maka salah satu sebabnya adalah jumlah penarikan pinjaman tunai dalam bentuk pinjaman program yang semakin besar dari waktu ke waktu terutama pada tahun 2008. Konsekuensi pertambahan utang adalah meningkatnya outstanding utang Pemerintah sebagaimana digambarkan pada Grafik VI.14. Meskipun demikian, pertambahan nominal utang tersebut cenderung lebih lambat jika dibandingkan pertambahan nominal PDB. Pertambahan nominal utang per Juni 2010 jika dibandingkan dengan akhir tahun 2005 mencapai Rp300 triliun sementara pertambahan PDB nominal per Juni 2010 dengan mengikuti asumsi APBN-P jika dibandingkan dengan akhir tahun 2005 mencapai Rp3.480 triliun. Peningkatan kebutuhan utang dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan risiko bagi Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-31
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Pemerintah mengingat portofolio utang Pemerintah khususnya yang berasal dari [ triliun Rupiah] 7.000 120% pinjaman terdiri dari 6.000 100% beragam mata uang. Risiko 77% 5.000 tersebut antara lain risiko 80% 67% 61% tingkat bunga dan risiko 4.000 57% 60% 47% mata uang. Risiko yang 3.000 39% 35% 33% terlihat dampaknya adalah 28,3% 27,8% 40% 2.000 risiko nilai tukar yang terus 20% 1.000 mengalami fluktuasi seiring 0 0% dengan perubahan kondisi 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010* ekonomi suatu negara dan Outstanding PDB Rasio Utang thd PDB (RHS) * APBN-P 2010 kondisi perekonomian Sumbe r: Kementerian Keuangan global. Fluktuasi kurs akan menyebabkan outstanding utang Pemerintah terus berubah-ubah meskipun tidak ada cash flow utang. Upaya untuk mengurangi dampak fluktuasi kurs terhadap outstanding utang Pemerintah ini adalah dengan mengadakan utang dalam mata uang rupiah antara lain melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman dalam negeri. Perkembangan portofolio utang Pemerintah menurut kurs tahun 2005 sampai dengan Juni 2010 yang dapat mempengaruhi besaran outstanding setiap tahun dapat dilihat pada Tabel VI.6 . GRAFIK VI.14 PERKEMBANGAN RASIO UTANG TERHADAP PDB TAHUN 2000-2010
TABEL VI.6 OUTSTANDING UTANG BERDASARKAN CURRENCY (juta dolar AS) Dalam Mata Uang Asli
2005
2006
2007
2008
2009
Jun-10
IDR [triliun]
658,7
693,1
737,1
783,9
836,3
USD [miliar]
26,4
27,5
28,4
32,8
37,1
39,1
Pinjaman
22,9
22,0
21,4
21,6
22,2
22,0
3,5
5,5
7,0
11,2
14,9
16,9
JPY [miliar]
3.184,4
3.066,0
2.941,9
2.820,5
2.713,8
2.668,3
Pinjaman
3.184,4
3.066,0
2.941,9
2.820,5
2.678,8
2.633,3
-
-
-
-
35,0
35,0
8,1
7,8
7,2
6,7
6,0
5,8
SBN
SBN EUR [miliar]
Other currencies Total
879,3
------------------------- Multiple Currencies -------------------------133,6
144,4
147,5
149,5
169,2
178,2
Ekuivalen dalam triliun rupiah IDR
658,7
693,1
737,1
783,9
836,3
879,3
USD
259,9
248,1
267,1
358,6
348,6
355,3
JPY
265,6
232,4
244,4
341,9
276,0
273,7
EUR
94,4
92,1
98,9
104,2
80,7
64,4
Other Currencies
34,7
36,4
41,9
48,2
49,1
45,8
1.313,3
1.302,2
1.389,4
1.636,7
1.590,7
1.618,5
Total Exchange Rate Assumption USD/IDR Sum ber: Kem enterian Keuangan
VI-32
9.830
9.020
9.419
10.950
9.400
9.083
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
6.3 Pembiayaan APBN Tahun 2011 Dalam RAPBN tahun 2011, defisit anggaran direncanakan sebesar Rp115,7 triliun atau 1,7 persen terhadap PDB. Pembiayaan defisit anggaran ini akan dipenuhi melalui sumbersumber pembiayaan utang dan sumber-sumber pembiayaan nonutang. Pembiayaan dari sumber non-utang (secara neto) dalam tahun 2011 direncanakan sebesar negatif Rp7,8 triliun, atau 0,1 persen terhadap PDB, sedangkan pembiayaan anggaran yang bersumber dari utang (secara neto) direncanakan mencapai Rp123,5 triliun atau 1,8 persen terhadap PDB. Dengan demikian, dalam tahun 2011 pembiayaan utang masih menjadi sumber utama pembiayaan APBN. Pembiayaan melalui utang merupakan konsekuensi dari kebijakan anggaran defisit, meskipun dalam kebijakan anggaran berimbang atau surplus, pembiayaan utang tetap dilakukan, antara lain untuk: (a) membiayai pengeluaran pembiayaan, termasuk utang yang jatuh tempo; (b) menciptakan benchmark risk free asset di pasar keuangan dan pengelolaan portofolio utang pemerintah; (c) melaksanakan perikatan perjanjian pinjaman dengan lender, dan kemungkinan masih berlangsung masa penarikannya, terutama untuk multi years project, baik untuk proyek K/L maupun penerusan pinjaman Pemerintah kepada BUMN dan/atau Pemda. Dalam RAPBN tahun 2011 ini, kebutuhan pengeluaran pembiayaan yang harus dipenuhi diperkirakan mencapai Rp160,4 triliun (2,3 persen terhadap PDB), yang meliputi pembayaran pokok SBN yang jatuh tempo sebesar Rp84,0 triliun, penerusan pinjaman Rp12,0 triliun, pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 48,1 triliun, dan kebutuhan pengeluaran pembiayaan nonutang yang diperkirakan mencapai sebesar Rp16,3 triliun. Apabila ditambahkan dengan kebutuhan pembiayaan defisit anggaran sebesar Rp115,7 triliun, maka seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan (bruto) yang diperlukan dalam tahun 2011 akan mencapai Rp276,1 triliun. Walaupun Pemerintah berupaya memaksimalkan sumber penerimaan pembiayaan bruto melalui sumber-sumber non-utang, namun diperkirakan hanya mampu memenuhi sekitar 3,1 persen dari seluruh kebutuhan penerimaan pembiayaan bruto, karena keterbatasan sumber dan jumlahnya. Penerimaan pembiayaan yang berasal dari utang secara bruto dalam tahun 2011 direncanakan mencapai sebesar Rp267,6 triliun (1,8 persen terhadap PDB). Jumlah ini meliputi penerbitan SBN sebesar Rp209,5 triliun, penarikan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,o triliun, dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp57,1 triliun. Pinjaman luar negeri tersebut terdiri atas pinjaman program sebesar Rp17,7 triliun dan penarikan pinjaman proyek sebesar Rp39,4 triliun. Dari jumlah rencana penarikan pinjaman proyek tersebut, sebesar Rp12,0 triliun diantaranya akan diteruspinjamkan kepada BUMN dan/atau pemerintah daerah. Pembiayaan utang yang bersumber dari penarikan pinjaman proyek, baik luar negeri maupun dalam negeri yang sedang berjalan akan mendapat prioritas utama untuk direalisasikan pada tahun 2011. Prioritas selanjutnya, akan diberikan pada pinjaman yang saat ini telah atau hampir selesai dinegosiasikan, yang penarikannya akan dimulai pada tahun 2011. Kebijakan ini dilakukan, mengingat pengeluaran pinjaman proyek akan di-earmark dengan belanja K/L dan BUMN/Pemda melalui penerusan pinjaman. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang yang bersumber dari SBN, akan mengutamakan penerbitan di pasar domestik, dengan tetap memperhitungkan daya serap pasar keuangan domestik agar tidak menimbulkan terjadinya crowding out effect.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-33
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Selanjutnya, apabila masih terdapat kekurangan pembiayaan, maka Pemerintah akan melakukan penerbitan SBN Valas di pasar keuangan internasional, dengan tetap memperhitungkan kondisi portofolio dan risiko utang secara keseluruhan.
6.3.1 Kebijakan Pembiayaan Non-utang Pembiayaan anggaran yang bersumber dari non-utang dalam tahun anggaran 2011 secara umum terdiri atas dua sumber, yaitu: (1) perbankan dalam negeri, yang berasal dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman serta RKUN untuk pembiayaan kredit investasi pemerintah; dan (2) nonperbankan dalam negeri, yang berasal dari penerimaan privatisasi, penerimaan hasil pengelolaan aset, serta dana investasi pemerintah dan penyertaan modal negara (PMN). Sumber pembiayaan non-utang pada tahun 2011 tersebut sedikit berbeda dibandingkan dengan sumber pembiayaan non-utang tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2011, pemerintah tidak menargetkan pembiayaan perbankan dalam negeri yang bersumber dari SAL, dengan pertimbangan besarnya kebutuhan penggunaan SAL untuk kebutuhan kas pada awal tahun, serta penggunaan dana SAL yang cukup besar pada tahun 2010. Pembiayaan anggaran yang bersumber dari non-utang dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar negatif Rp7,8 triliun, yang berarti menurun sebesar Rp33,2 triliun apabila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp25,4 triliun. Jumlah pembiayaan non-utang yang bersifat negatif tersebut, menunjukan bahwa pengeluaran pembiayaan lebih besar dari penerimaan pembiayaan. Hal ini terutama disebabkan tidak dipergunakannya SAL sebagai sumber pembiayaan non-utang 2011. Pembiayaan anggaran non-utang dalam RAPBN tahun 2011, terdiri dari: APBN-P RAPBN (1) perbankan dalam negeri melalui Uraian 2010 2011 penerimaan pengembalian penerusan 1. Perbankan dalam negeri 45,5 7,7 a. Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman (RDI) 5,5 6,8 pinjaman sebesar Rp6,8 triliun; (2) b. Rekening Pembangunan Hutan 0,6 RKUN untuk pembiayaan kredit c. Sisa Anggaran Lebih (SAL) 39,3 investasi pemerintah sebesar d. Rekening KUN untuk Pembiayaan Kredit Investasi 0,9 2. Penerimaan Privatisasi 1,2 0,3 Rp853,9 miliar; (3) penerimaan 3. Hasil Pengelolaan Aset 1,2 0,5 privatisasi sebesar Rp340,0 miliar; (4) 4. Dana Investasi Pemerintah dan PMN (12,9) (12,8) 5. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (1,0) (2,5) penerimaan hasil pengelolaan aset 6. Kewajiban Penjaminan (1,1) (1,0) sebesar Rp533,1 miliar; (5) dana 7. Pinjaman Kepada PT PLN (7,5) Jumlah 25,4 (7,8) investasi pemerintah dan PMN sebesar Sumber: Kementerian Keuangan negatif Rp12,8 triliun; (6) dana pengembangan pendidikan nasional sebesar negatif Rp2,5 trildan (7) kewajiban penjaminan sebesar negatif Rp1,0 triliun. Perbandingan pembiayaan anggaran melalui non-utang dalam APBN-P tahun 2010 dengan RAPBN tahun 2011 dapat dilihat dalam Tabel VI.7. TABEL VI.7 PEMBIAYAAN NON UTANG 2010 dan 2011 (triliun rupiah)
6.3.1.1 Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman Kontribusi penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman terhadap APBN pada tahun-tahun sebelumnya diklasifikasikan ke dalam penerimaan pembiayaan dari RDI. Perubahan klasifikasi penerimaan jenis ini dalam RAPBN tahun 2011, dimaksudkan untuk perbaikan sistem dan penertiban rekening yang dikelola oleh pemerintah, khususnya yang VI-34
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
dikelola oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Karena itu, mulai tahun 2011 pengembalian dari debitur tidak lagi melalui rekening RDI, akan tetapi langsung disetorkan kepada Rekening Kas Umum Negara (RKUN). Setoran dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman untuk pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp6,8 triliun. Bila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp5,5 triliun, maka setoran dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalam RAPBN tahun 2011 tersebut berarti menunjukkan peningkatan sebesar Rp1.299,2 miliar, atau 23,6 persen. Peningkatan setoran yang berasal dari penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dalam RAPBN tahun 2011 tersebut disebabkan memperhitungkan adanya konversi piutang penerusan pinjaman pada PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) sebesar Rp1,3 triliun, yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran 2011.
6.3.1.2 Penerimaan Privatisasi Penerimaan privatisasi yang akan digunakan untuk pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp340,0 miliar, atau menurun 71,6 pesen apabila dibandingkan dengan targetnya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp1,2 triliun. Penurunan penerimaan privatisasi dalam tahun 2011 tersebut sejalan dengan kebijakan Pemerintah saat ini yang tidak lagi menjadikan privatisasi sebagai sumber pembiayaan APBN, namun privatisasi lebih ditujukan untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus bagi BUMN yang diprivatisasi, antara lain untuk peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, serta perkembangan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global. Penerimaan privatisasi dalam RAPBN 2011 direncanakan berasal dari PT Inti (Persero) sebesar Rp200,0 miliar, PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) Rp135,0 miliar, dan PT Rekayasa Industri sebesar Rp5,0 miliar. Pada PT Inti (Persero) dan PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) yang sebelum privatisasi saham negara masih mencapai 100 persen, penjualan saham negara akan dilaksanakan maksimal masing-masing sebesar 49 persen dan 40 persen. Sementara itu, PT Rekayasa Industri berencana akan melakukan IPO, dengan mengeluarkan saham baru sebesar 20 persen sampai 30 persen. Dengan demikian, saham negara akan terdilusi dengan adanya pengeluaran saham baru tersebut, sehingga saham negara yang tersisa di PT Rekayasa Industri sebesar 4,97 persen akan didivestasi bersama dengan IPO.
6.3.1.3 Hasil Pengelolaan Aset Target penerimaan hasil pengelolaan aset yang akan digunakan untuk pembiayaan anggaran dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp533,1 miliar, atau 0,46 persen dari total pembiayaan anggaran yang direncanakan dalam APBN tahun 2011. Target tersebut direncanakan berasal dari hasil pengelolaan aset oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan sebesar Rp372,0 miliar (69,8 persen), dan PT PPA sebesar Rp161,1 miliar (30,2 persen). Apabila dibandingkan dengan target hasil pengelolaan aset yang ditetapkan dalam APBN-P 2010 sebesar Rp1,2 triliun, maka target hasil pengelolaan asset dalam tahun 2011 tersebut, berarti menurun sebesar Rp666,9 miliar atau sebesar 120,0 persen. Penurunan target hasil pengelolaan aset dalam tahun 2011 tersebut, terutama disebabkan oleh semakin terbatasnya jumlah aset yang dikelola.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-35
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Hasil pengelolaan aset oleh DJKN pada tahun 2011 diperkirakan berasal dari aset eks bank dalam likuidasi (BDL) sebesar Rp75,0 miliar, aset eks PT PPA sebesar Rp80,0 miliar, aset eks BPPN sebesar Rp90,0 miliar, dan HPA yang berasal dari penyelesaian hak tagih terhadap PT DI (sebagai akibat dari konversi utang menjadi PMN) sebesar Rp127,0 miliar. Sementara itu, hasil pengelolaan aset yang dilakukan PT PPA sebesar Rp161,1 miliar, diperkirakan berasal dari percepatan pelunasan Multi Years Bond (MYB) PT Tuban Petrochemical Industries (PT TPI).
6.3.1.4 Dana Investasi Pemerintah dan Penyertaan Modal Negara Pembiayaan dalam bentuk dana investasi Pemerintah dan PMN bersifat cash outflow, yang berarti pengeluaran pembiayaan. Pengeluaran dana untuk investasi pemerintah dan PMN dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp12,8 triliun, atau menurun 7,8 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp12,2 triliun. Alokasi dana investasi Pemerintah dan PMN dalam RAPBN tahun 2011 tersebut akan digunakan untuk: (a) investasi Pemerintah sebesar Rp1,9 triliun; (b) PMN kepada BUMN sebesar Rp6,4 triliun; (c) PMN kepada organisasi/lembaga keuangan internasional sebesar Rp721,5 miliar; dan (d) dana bergulir sebesar Rp3,8 triliun. A. Investasi Pemerintah Dalam RAPBN tahun anggaran 2011, Pemerintah merencanakan alokasi anggaran untuk investasi Pemerintah sebesar Rp1,9 triliun, atau menurun 47,2 persen bila dibandingkan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,6 triliun. Penurunan dana investasi Pemerintah tersebut terutama disebabkan oleh adanya realokasi dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) ke dana bergulir. Alokasi dana investasi Pemerintah terdiri dari: (1) dana investasi Pemerintah (reguler) sebesar Rp1,0 triliun; dan (2) pembiayaan kredit investasi Pemerintah sebesar Rp853,9 miliar. Investasi Pemerintah (Reguler) Sesuai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara juncto PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, kepada Pemerintah diamanatkan untuk dapat melakukan investasi jangka panjang, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Alokasi anggaran untuk investasi Pemerintah (reguler) saat ini dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah, yang merupakan instansi Pemerintah pada Kementerian Keuangan yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya, kebijakan dana investasi Pemerintah diarahkan untuk menggerakkan sektor riil dalam rangka pengembangan investasi di Indonesia. Penempatan dana investasi Pemerintah dilaksanakan melalui investasi langsung (direct investment) dengan cara penyertaan modal dan pemberian pinjaman untuk infrastruktur, transportasi pelabuhan, energi, perumahan, dan bidang lainnya. Melalui pelaksanaan kebijakan investasi dimaksud, diharapkan dapat dicapai tujuan pelaksanaan investasi Pemerintah, yaitu untuk mendapatkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Proyeksi kebutuhan dana investasi Pemerintah untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp1,0 triliun, dengan total dana investasi selama tahun 2006 s.d. 2011 diperkirakan sebesar Rp7,4 triliun, dengan rincian: (a) saldo awal dana investasi Pemerintah sebesar Rp6,1 triliun; (b) perkiraan VI-36
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
keuntungan terdahulu (2010) sebesar Rp300,0 miliar; dan (c) alokasi RAPBN 2011 sebesar Rp1,0 triliun. Dana investasi Pemerintah tersebut direncanakan pada kegiatan-kegiatan yang mengacu pada program Pemerintah terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur dan bidang-bidang lainnya, seperti energi, transportasi, jalan tol, pelabuhan, dan pertambangan. Pada dasarnya alokasi dana investasi Pemerintah (reguler) tersebut pada tahun 2011 masih akan menitikberatkan pada bidang infrastruktur (60 persen dari total portofolio) disamping untuk pendirian SPV (anak perusahaan) dan bidang investasi low carbon dalam rangka penanggulangan Climate Change. Pembiayaan Kredit Investasi Pemerintah Kegiatan pembiayaan kredit investasi Pemerintah dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp853,9 miliar, yang akan digunakan untuk membiayai: (1) kredit pengendalian polusi untuk usaha kecil dan menengah Rp16,0 miliar; (2) kredit perkebunan swasta nasional Rp117,9 miliar; serta (3) kredit usaha mikro kecil dan menengah Surat Utang Pemerintah (SUP) 005 Rp720,0 miliar. Sumber pendanaan pembiayaan kredit investasi Pemerintah ini berasal dari RKUN yang secara khusus diperuntukkan bagi pembiayaan kredit investasi pemerintah. B. Penyertaan Modal Negara Kepada BUMN Dalam RAPBN tahun 2011, Pemerintah merencanakan alokasi dana untuk PMN kepada BUMN sebesar Rp6,4 triliun, atau lebih tinggi Rp370,1 miliar atau 6,1 persen dari alokasi dana PMN dalam APBN-P 2010 yang direncanakan sebesar Rp6,0 triliun. PMN tersebut akan dialokasikan untuk PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) sebesar Rp1,5 triliun, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo (KUR) sebesar Rp2,0 triliun, PT Dirgantara Indonesia (Persero) sebesar Rp127,0 miliar, PT Pupuk Iskandar Muda (Persero) sebesar Rp1,3 triliun, Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV sebesar Rp0,1 miliar, Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia V sebesar Rp0,1 miliar, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) sebesar Rp1,0 triliun, dan PT Geo Dipa Energi sebesar Rp443,5 miliar. PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Pendirian PT PII oleh pemerintah dimaksudkan untuk: (1) memberikan penjaminan pada proyek kerjasama pemerintah dan badan usaha/swasta (KPS) di bidang infrastruktur; (2) meningkatkan creditworthiness atas proyek-proyek KPS infrastruktur melalui pemberian penjaminan atas risiko politik yang kredibel; dan (3) meningkatkan governance atas pemberian penjaminan atas risiko politik. Sesuai dengan Anggaran Dasar PT PII, modal dasar perseroan ditetapkan sebesar Rp4,0 triliun, dan penambahan PMN sebesar Rp1,0 triliun pada tahun 2011 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan modal dasar perseroan secara bertahap, setelah pada tahun 2010 PT PII mendapatkan PMN sebesar Rp1,0 triliun. Disamping untuk meningkatkan kecukupan modal sesuai anggaran dasar perseroan, penambahan PMN kepada PT PII diharapkan akan dapat meningkatkan kredibilitas penjaminan dan leverage kemampuan keuangan perseroan untuk memperoleh dukungan dan melakukan kerjasama keuangan/pendanaan dengan multilateral agencies (World Bank, ADB, dll) dan institusi finansial lainnya. Selain itu, tambahan PMN kepada PT PII diharapkan juga akan memberikan persepsi positif bagi investor, mengingat kesiapan penjaminan akan Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-37
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
menjadi lebih pasti, dengan pengalokasian risiko yang lebih transparan, sehingga investasi proyek-proyek infrastruktur dapat memadai dan terlaksana sesuai dengan jadwal. PT Askrindo dan Perum Jamkrindo (KUR) PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo sebesar Rp2,0 triliun dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas usaha, dan memperkuat struktur permodalan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo, dalam rangka pelaksanaan penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) bagi kelangsungan dan perkembangan kegiatan sektor riil oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebagaimana diamanatkan dalam Inpres 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM, guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, pelaksanaan program KUR ditujukan untuk mempercepat pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Penambahan PMN kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk melanjutkan revitalisasi program KUR, yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 2010. Revitalisasi program KUR ini penting, mengingat besarnya kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional. Sementara itu, di sisi lain kendala utama pengembangan UMKM adalah akses permodalan dan pemasaran. Dengan revitalisasi program KUR melalui ekspansi penyaluran KUR, diharapkan dapat meningkatkan akses permodalan UMKM sehingga dapat meningkatkan secara signifikan jumlah penerima fasilitas KUR. Dengan perkiraan gearing ratio sebesar 10 kali, maka tambahan PMN tersebut akan meningkatkan kemampuan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo untuk melakukan penjaminan KUR sebesar Rp20,0 triliun. Peningkatan kemampuan penjaminan tersebut diharapkan dapat mendukung program pemerintah untuk melakukan ekspansi KUR sebesar Rp20,0 triliun per tahun mulai tahun 2010 sampai dengan 2014. Ekspansi program KUR tersebut diharapkan dapat menjangkau hingga 13,22 juta pengusaha UMKM, dan mampu menyerap tenaga kerja sampai dengan 30,82 juta orang, dan akan mampu memberi kehidupan kepada 176 juta penduduk Indonesia (diasumsikan 13,2 juta pengusaha dan 30,8 juta tenaga kerja memiliki 1 istri/suami dan 2 anak). PT Dirgantara Indonesia (PT DI) PMN kepada PT DI sebesar Rp127,0 miliar merupakan konversi dari dana talangan (utang) yang diterima PT DI dari eks BPPN. Pada tahun 2000, BPPN telah melaksanakan restrukturisasi utang PT DI menjadi penyertaan modal sementara (PMS), sesuai dengan persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Nomor Kep.03/K.KKSK/11/2000 tanggal 10 November 2000. Penetapan perubahan status PMS menjadi PMN kepada PT DI tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah, sehingga Pemerintah berhak atas dividen dari penambahan PMN tersebut. Dengan demikian, PMN untuk PT DI yang berasal dari pelunasan pinjaman kepada eks BPPN bersifat in-out (Hasil Pengelolaan Aset dan PMN) dalam pembiayaan. PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) PMN kepada PT PIM sebesar Rp1,3 triliun berasal konversi utang pokok SLA sebesar USD151,6 juta, sebagai bagian dari restrukturisasi utang yang telah mendapat rekomendasi Komite Kebijakan, sebagaimana termuat dalam Berita Acara Pembahasan (BAP) Nomor VI-38
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
BA-02/KOMITE/2009 tanggal 6 Maret 2009, dan sesuai surat persetujuan Menteri Keuangan Nomor S-716/MK.05/2009. Sama dengan PMN kepada PT DI, PMN untuk PT PIM yang berasal dari pelunasan utang pokok SLA bersifat in-out (penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman dan PMN) dalam pembiayaan. Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV dan V Sementara itu, pada tahun 2011 Pemerintah juga merencanakan untuk mengalokasikan PMN kepada Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV, dan Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia V untuk mendukung penerbitan SBSN dalam valuta asing di pasar perdana internasional dalam tahun 2011, dan untuk mengantisipasi penerbitan SBSN valas di awal tahun 2012. Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN. Untuk memenuhi persyaratan pendirian sebagai badan hukum, Perusahaan Penerbit harus memiliki modal. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, modal pendirian tersebut berasal dari APBN dan merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Adapun besar modal Perusahaan Penerbit SBSN yang didirikan Pemerintah adalah sebesar Rp100 juta untuk setiap Perusahaan Penerbit. PT Sarana Multigriya Finansial (PT SMF) PT SMF adalah perusahaan yang ditugaskan pemerintah untuk mengupayakan terbentuknya mekanisme pasar pembiayaan sekunder perumahan yang efisien, yang secara bertahap diharapkan mampu mendorong turunnya tingkat bunga KPR. Pembentukan mekanisme pasar dimaksud, dilakukan dengan mengalirkan dana dari pasar modal ke sektor perumahan melalui penyediaan fasilitas pinjaman dan sekuritisasi. Penambahan PMN kepada PT SMF sebesar Rp1,0 triliun diperlukan untuk memperkuat struktur modal perseroan, sehingga secara bertahap perseroan dapat mulai berperan sebagai guarantor terhadap efek berbasis KPR. Penambahan PMN kepada PT SMF diharapkan akan memberikan beberapa manfaat, yaitu: (1) menggerakkan perekonomian melalui sektor perumahan; (2) membangun sistem pembiayaan perumahan yang efisien serta berorientasi pasar; (3) mengembangkan pasar modal; dan (4) memperluas pilihan investasi investor. PT Geo Dipa Energi PT Geo Dipa Energi merupakan anak usaha PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) yang berdiri sejak tahun 2002, dan bergerak dalam bidang usaha pembangkit listrik tenaga panas bumi, yang saat ini mengelola proyek PLTP di Dieng dan Patuha. Saat ini, PT Pertamina (Persero) memiliki 67 persen saham PT Geo Dipa Energi, dan sisanya dimiliki PT PLN (Persero). Seiring dengan perkembangannya, maka dalam rangka untuk lebih menfokuskan diri pada pengembangan panas bumi di Indonesia, PT Geo Dipa Energi direncanakan akan diubah menjadi sebuah BUMN. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam RAPBN tahun 2011 pemerintah merencanakan akan mengalokasikan PMN kepada PT Geo Dipa Energi sebesar Rp443,5 miliar. Pengalokasian PMN tersebut dilakukan dalam rangka rencana pengalihan PT Geo Dipa Energi menjadi BUMN dengan pengalihan saham PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) pada PT Geo Dipa Energi senilai Rp443,5 miliar. PMN tersebut tidak bersifat tunai, karena berasal dari hibah saham PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) kepada Pemerintah.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-39
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
C. Penyertaan Modal Negara Untuk Organisasi/Lembaga Keuangan Internasional (LKI) Selain kepada beberapa BUMN, Pemerintah juga berencana mengalokasikan PMN kepada beberapa organisasi/lembaga keuangan internasional (LKI) sebesar Rp721,5 miliar, yaitu untuk (1) Islamic Development Bank (IDB) sebesar Rp117,5 miliar; (2) The Islamic Corporation for the Development of Private Sector sebesar Rp28,5 miliar; (3) Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp371,9 miliar; (4) International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) sebesar Rp40,0 miliar; (5) International Finance Corporation (IFC) sebesar Rp8,6 miliar; (6) International Fund for Agricultural Development (IFAD) sebesar Rp15,0 miliar; serta (7) Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) sebesar Rp140,0 miliar. Adapun alokasi PMN kepada organisasi/LKI ke dalam pembiayaan baru dilakukan dalam RAPBN tahun 2011, setelah sebelumnya dialokasikan melalui belanja lainlain. Realokasi dari belanja lain-lain ke pembiayaan tersebut, sesuai dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Islamic Development Bank (IDB) IDB didirikan tahun 1975 dalam agreement yang ditandatangani oleh 22 negara, dan saat ini jumlah anggota sudah mencapai 57 negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor Pusat IDB di Jeddah, Saudi Arabia dan Regional di Maroko, Malaysia dan Kazakhstan, serta memiliki Field Representative di setiap negara anggota, termasuk di Indonesia. Berkenaan dengan keanggotaan Indonesia pada IDB, Indonesia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, diantaranya adalah penyetoran modal IDB. Sampai dengan akhir tahun 2008, total penyertaan Indonesia (paid-in) di IDB adalah sebesar Special Drawing Right (SDR) 107,6 juta atau equivalen dengan Rp1,6 triliun. Pada sidang tahunan Dewan Gubernur IDB ke-31 di Kuwait pada tanggal 31 Mei 2006, Dewan Gubernur (Board of Governor/BOG) menyepakati untuk melaksanakan pencairan 70 persen callable capital (jumlah modal yang belum dibayar) dari 2nd General Increase (penambahan modal) IDB melalui resolusi BOG Nomor BG/6-427, yang meminta kepada masing-masing negara anggota IDB untuk melunasi komitmen atas 2nd General Increase IDB dengan pembayaran setiap 6 bulan sekali selama 5 tahun (10 kali pembayaran). The 2nd general increase IDB telah disetujui BOG pada 4 Juli 1992 melalui pengesahan resolusi Nomor BG/(SM)3-423. Subskripsi Indonesia adalah sebesar Islamic Dinar (ID) 61.161 yang mana sebesar 30 persennya telah lunas dibayar dalam 10 kali cicilan sejak tahun 1992 sampai tahun 2002. Sesuai dengan resolusi Nomor BG/6-427 diatas, Indonesia harus melunasi 70 persen dari subskripsi (bagian dari saham yang diambil) 2nd General Increase IDB atau sebesar ID42,8 juta (Islamic Dinar) harus dilunasi dalam 10 kali pembayaran dalam lima tahun atau setiap enam bulan membayar masing-masing sebesar ID4,3 juta. Pada tahun 2011 Indonesia akan membayar cicilan yang ke-10, yaitu ID4,3 juta yang akan jatuh tempo pada tanggal 31 Mei 2011. Selain itu, karena kekeliruan administrasi, pada tahun 2009, Indonesia hanya merealisasikan pembayaran sebesar Rp80,7 miliar, atau setara dengan ID5,3 juta, sehingga terjadi kekurangan pembayaran ID3,2 juta. Dengan demikian, total pembayaran tahun 2011 adalah sebesar ID7,5 juta, atau setara dengan Rp117,5 miliar (kurs SDR1=USD0,637881, per 31 Desember 2009).
VI-40
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
The Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD) ICD adalah salah satu institusi di bawah IDB Group yang mempunyai peran meningkatkan pembangunan ekonomi sektor swasta di negara anggota. Pada General Assembly (Sidang Umum) yang ke-9 di Ashgabat, Turkmenistan pada tahun 2009, telah disetujui kenaikan modal ICD, yaitu kenaikan authorized capital dari USD1,0 miliar menjadi USD2,0 miliar, dan subscribed capital dari USD500,0 juta menjadi USD1,0 miliar. Sesuai dengan article agreement ICD, Indonesia berkesempatan untuk melakukan subscribed sebanyak 475 share, atau senilai USD4,75 juta, yang dapat dicicil selama 5 kali cicilan, atau masing-masing sebesar USD950 ribu mulai tahun 2009. Menteri Keuangan melalui Surat Nomor S-739/ MK.011/2009 tanggal 2 Desember 2009 telah menyetujui untuk ikut serta dalam kenaikan modal IDB dimaksud. Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membayar cicilan pertama pada tahun 2009. Namun, karena Pemerintah Indonesia belum mengalokasikan pembayaran subscribed tersebut pada APBN tahun 2009 dan 2010, maka pembayaran tahun 2009-2011 akan dilakukan sekaligus pada tahun 2011 sebesar Rp28,5 miliar. Asian Development Bank (ADB) ADB merupakan lembaga keuangan terbesar setelah Bank Dunia. Total aset ADB adalah sebesar USD70,5 miliar, dan total pinjaman ADB, yaitu sebesar USD30,3 miliar. Pemegang saham terbesar ADB adalah Jepang dan AS masing-masing sebesar 15,57 persen. Kemudian diikuti China, India, Australia, dan Indonesia masing-masing sebesar 6,4 persen, 6,3 persen, 5,7 persen, dan 5,4 persen. Sisanya sebesar 54,9 persen dibagi ke 61 negara anggota lainnya. Sebagai pemegang saham besar, Indonesia juga menerima manfaat dari keberadaan ADB. Sementara itu, berkenaan dengan terjadinya krisis global, berdasarkan keputusan Dewan Gubernur pada sidang tahunan ADB ke-42 di Bali, BOG menyetujui kenaikan capital increase (general capital increase/GCI) sebesar 200 persen, di mana atas kenaikan tersebut, sebesar 4 persen dibayar tunai (paid-in). Indonesia berkewajiban untuk menambah setoran modal sebesar USD185,97 juta, atau equivalen dengan Rp1,9 triliun, yang akan dicicil selama 5 tahun mulai 1 April 2010, sehingga setiap tahunnya Pemerintah perlu menyediakan dana sebesar Rp371,9 miliar. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2011, Pemerintah mengalokasikan PMN sebagai kewajiban untuk melakukan pembayaran cicilan ke-2 GCI ke-5 ADB yaitu sebesar Rp371,9 miliar. International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) IBRD, atau Bank Dunia untuk pembangunan dan pemulihan adalah badan internasional yang bergerak di bidang perbankan untuk pembangunan dan kemajuan negara-negara berkembang. IBRD berdiri pada tanggal 27 Desember 1945, yang berkedudukan di Washington DC, Amerika Serikat. Badan ini bertujuan memberikan bantuan, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek kepada negara-negara yang sedang berkembang. Pengoperasian Bank Dunia yang berasal dari kontribusi negara anggota melalui penyetoran modal diatur piagam pendirian IBRD. Penyetoran modal pada IBRD dilakukan dalam dua bentuk, yaitu tunai (cash) dan penerbitan promissory note. Pada akhir tahun 2008, total penyertaan Indonesia (paid-in) di IBRD adalah sebesar USD110,2 juta atau equivalen dengan Rp1,2 triliun. Pada tahun 2010, terdapat penerbitan promissory note baru sebesar Rp75,9 miliar untuk keperluan maintenance of value share Indonesia per 30 Juni 2009. Atas promissory note Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-41
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
tersebut, sudah disepakati oleh alternate executive director (direktur eksekutif pengganti) untuk Indonesia di Washington DC agar dibayar dalam 2 kali cicilan, yaitu sebesar Rp40,0 miliar pada tahun 2011, dan sisanya akan dilunasi pada tahun 2012. Sehubungan dengan itu, pada tahun 2011, Pemerintah merencanakan mengalokasikan PMN kepada IBRD sebesar Rp40,0 miliar International Finance Corporation (IFC) IFC adalah sebuah lembaga di bawah Group Bank Dunia yang didirikan pada tahun 1956, dengan tujuan untuk memajukan pembangunan ekonomi dengan mendorong perkembangan perusahaan swasta yang produktif dalam negara-negara anggota, terutama di daerah tertinggal. IFC adalah lembaga multilateral terbesar yang menyediakan dana pinjaman dan pembiayaan untuk sektor swasta di negara-negara berkembang. IFC mendorong pengembangan berkelanjutan sektor swasta melalui: 1. Pembiayaan proyek dan perusahaan di negara-negara berkembang. 2. Membantu perusahaan swasta di negara-negara berkembang dan memobilisasi pembiayaan dari pasar uang internasional. 3. Memberikan masukan dan bantuan teknik untuk kalangan bisnis dan Pemerintah. Di Indonesia, IFC mempunyai 3 obyek utama, yaitu: mengurangi dampak perubahan iklim, meningkatkan pendapatan perdesaan, dan mendorong urbanisasi yang berkelanjutan. Markas IFC berpusat di Washington DC, USA. Dengan modal awal USD100 juta, IFC saat ini beranggotakan 182 negara (masing-masing negara menunjuk 1 Governor dan 1 Alternate Governor), dan mempunyai share capital sebesar USD2,4 milyar. Di Indonesia, IFC mulai aktif sejak tahun 1968. Berdasarkan pertemuan Development Committee pada tanggal 18-19 Februari 2010, diperoleh aklamasi kesetaraan saham IFC dengan IBRD (47 persen di phase ke 2) di kemudian hari, dengan kenaikan saham DTCs bertahap dari 33 persen menjadi 42,5 persen melalui increase basic vote (penambahan hak suara dasar) menjadi 5,5 persen, dan sisanya sekitar 8 persen melalui selective capital increase (SCI) USD300,0 juta dengan penawaran ke DTCs (Developing and Transition countries) yang berminat (preferensi diberikan ke DTCs under represented atau negara berkembang dan transisi yang keterwakilannya kurang). Saham Indonesia di IFC adalah sebesar 1,2 persen, atau sebesar USD28,5 juta atau sekitar Rp259,2 miliar (kurs USD1 = Rp9.083). Dengan kesepakatan di atas, saham Indonesia berpotensi menurun menjadi 1,04 persen. Untuk menghindari terdilusinya saham Indonesia di IFC, Indonesia perlu berkontribusi sebesar USD4,29 juta, yang dapat dicicil selama 5 tahun. Dengan demikian, pembayaran penyertaan modal negara untuk IFC pada tahun 2011 adalah USD858 ribu atau equivalen Rp8,6 miliar. International Fund for Agricultural Development (IFAD) IFAD adalah lembaga khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan sebagai sebuah lembaga keuangan pada tahun 1977. IFAD adalah salah satu hasil dari Konferensi Pangan Internasional tahun 1974, dimana konferensi tersebut merupakan tanggapan atas krisis pangan yang terutama melanda negara di Afrika di awal tahun 1970-an. Konferensi tersebut sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga keuangan internasional yang berfungsi sebagai badan untuk mendanai pembangunan pertanian. VI-42
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Sebagai negara anggota, Indonesia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, yang diantaranya adalah penyertaan modal pada IFAD. Total penyertaan modal negara Indonesia di IFAD sejak awal hingga replenishment VII adalah sebesar USD46,96 juta. Pada sidang tahunan Dewan Gubernur ke-31 di Roma, Italia pada tanggal 18-19 Februari 2009, para Gubernur menyetujui usulan manajemen IFAD untuk melakukan replenishment (penambahan modal) ke-8 IFAD dalam rangka meningkatkan peranan IFAD dalam upaya penanganan kemiskinan, perubahan iklim, dan kenaikan harga pangan. Pemerintah RI telah berkomitmen untuk berpartisipasi pada replenishment ke-8, di mana Pemerintah memberikan kontribusi sebesar USD5,0 juta, yang akan dicicil selama tiga kali, yaitu sebesar USD1,5 juta pada tahun 2010 dan 2011, dan sebesar USD2,0 juta pada tahun 2013. Dengan demikian, pada tahun 2011 Pemerintah mengalokasikan PMN kepada IFAD sebesar Rp15,0 miliar. Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) Pada pertemuan para Menteri Keuangan ASEAN+3 (Negara ASEAN dan Jepang, Korea, China) yang ke-12 di Bali, tanggal 3 Mei 2009, para Menteri sepakat untuk membentuk Credit Guarantee and Investment Mechanism (CGIM), yang kemudian berubah nama menjadi Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF). CGIF adalah sebuah trust fund yang ditujukan untuk: (i) mendorong penerbitan obligasi swasta bermata uang lokal; (ii) meningkatkan akses pasar bagi issuer dengan rating minimal investment grade; dan (iii) memberikan jaminan dengan biaya rendah. Modal awal yang disepakati adalah sebesar USD500,0 juta, yang diperoleh dari kontribusi negara-negara ASEAN+3, dan ADB selaku pengelola trust fund tersebut. Dari modal awal yang disepakati, Jepang dan Cina masing-masing telah berkomitmen untuk berkontribusi sebesar USD200,0 juta, sedangkan Korea berkontribusi sebesar USD100,0 juta. Mengingat modal awal yang semula disepakati telah tercukupi oleh negara-negara pluss three, ADB dan negara-negara ASEAN berkomitmen untuk juga berkontribusi pada CGIF. Dalam hal ini, ADB akan berkontribusi sebesar USD130,0 juta, sedangkan negara-negara ASEAN sepakat untuk berkontribusi secara kolektif dengan jumlah minimal 10 persen dari total modal awal yang diperkirakan menjadi USD700,0 juta. Dengan demikian, kontribusi ASEAN secara kolektif sebesar USD70,0 juta. Dari jumlah tersebut, mengingat potensi pengguna di negara ASEAN adalah negara-negara ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, dan Singapura), maka akan diupayakan untuk ditanggung secara bersama oleh ASEAN5 secara equal TABEL VI.8 PMN KEPADA ORGANISASI/LKI TAHUN 2011 sharing. Dengan demikian, (miliar rupiah) masing-masing negara akan No Nama Organisasi/LKI Jumlah berkontribusi sebesar USD14,0 juta. Karena itu, 1 Islamic Development Bank (IDB) 117,5 tahun 2011, 2 The Islamic Corporation for the Development of Private Sector (ICD) 28,5 pada 3 Asian Development Bank (ADB) 371,9 Pemerintah mengalokasikan 4 International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) 40,0 PMN untuk CGIF sebesar 5 International Finance Corporation (IFC) 8,6 Rp140,0 miliar. Adapun 6 International Fund for Agricultural Development (IFAD) 15,0 Rincian PMN kepada 7 Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) 140,0 organisasi/LKI pada tahun Jumlah 721,5 2011 dapat dilihat pada Sumber: Kementerian Keuangan Tabel VI.8.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-43
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
D. Dana Bergulir Pemerintah merencanakan mengalokasikan anggaran untuk dana bergulir dalam RAPBN 2011 sebesar Rp3,8 triliun. Jumlah ini menunjukkan kenaikan sebesar Rp546,6 miliar atau 16,7 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P tahun 2010 sebesar Rp3,3 triliun. Kenaikan anggaran dana bergulir dalam RAPBN 2011 tersebut terutama disebabkan oleh adanya realokasi dana FLPP dari dana investasi Pemerintah ke dalam dana bergulir. Dana bergulir KUMKM Alokasi dana bergulir untuk KUMKM dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp250,0 miliar, atau lebih rendah Rp100,0 miliar (28,6 persen) bila dibandingkan dengan pagunya dalam APBN-P 2010. Dana bergulir KUMKM tersebut akan digunakan untuk memberikan stimulus bagi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, berupa penguatan modal. Dalam pelaksanannya, BLU LPDB KUMKM merencanakan akan menyalurkan dana bergulir kepada 15.217 unit KUMKM serta 21 LKB dan LKBB. Dana bergulir FLPP Alokasi dana bergulir untuk FLPP dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp3,6 triliun atau meningkat Rp888,6 miliar (31,0 persen) dibandingkan dengan pagunya dalam APBN-P 2010. Dalam APBN-P 2010, dana FLPP semula diklasifikasikan sebagai dana investasi pemerintah, mengingat saat itu Kementerian Perumahan Rakyat belum mempunyai satker Badan Layanan Umum yang akan mengelola dana FLPP. Dengan demikian, dana FLPP semula direncanakan akan disalurkan kepada masyarakat melalui Pusat Investasi Pemerintah Kementerian Keuangan. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 290/KMK.01/2010 tentang Penetapan Pusat Pembiayaan Perumahan (PPP) pada Kementerian Perumahan Rakyat, sebagai instansi Pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU. Selain itu, saat ini telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Peyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana FLPP. Satker BLU Kementerian Perumahan Rakyat tersebut telah ditetapkan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dana FLPP. Demikian juga, dana FLPP yang telah dikembalikan masyarakat kepada PPP akan digulirkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan. Dana bergulir untuk FLPP tahun 2011 merupakan perubahan dari skema subsidi untuk kredit kepemilikan rumah sederhana sehat (KPRSh) untuk mendukung pembangunan rumah sederhana sehat bagi masyarakat yang berpendapatan rendah (MBR). Perubahan skema yang telah mulai dilaksanakan pada APBN-P 2010 tersebut, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, yang mengatur bahwa untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat, dan mewujudkan kota tanpa permukinan kumuh, antara lain dilakukan dengan: (a) menyempurnakan pola subsidi sektor perumahan yang tepat sasaran, transparan, akuntabel, dan pasti, khususnya subsidi bagi MBR; dan (b) melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro perumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat yang berswadaya dalam pembangunan rumah.
VI-44
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Perubahan skema KPRSh dari subsidi menjadi pembiayaan, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar, baik bagi masyarakat maupun bagi keberlangsungan program KPRSh dalam jangka panjang. Dengan skema baru tersebut, masyarakat dapat menikmati bunga cicilan KPRSh yang rendah sepanjang masa peminjaman, diharapkan tidak melebihi satu digit. Sementara itu, dalam jangka panjang, melalui fasilitas pembiayaan, diharapkan dana yang sudah dikembalikan masyarakat dapat dipergunakan lagi oleh masyarakat yang lain, sehingga dapat mengurangi beban APBN di masa-masa yang akan datang. E. Dana Pengembangan Pendidikan Nasional Dana pengembangan pendidikan nasional adalah anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk pembentukan endowment fund yang bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi (intergenerational equity) yang pengelolaannya menggunakan mekanisme dana bergulir dan dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) di bidang pendidikan untuk mengantisipasi keperluan rehabilitasi fasilitias pendidikan yang rusak akibat bencana alam. Dalam RAPBN 2011, alokasi anggaran untuk dana pengembangan pendidikan nasional direncanakan sebesar Rp2,5 triliun. Jumlah alokasi ini berarti meningkat Rp1,5 triliun atau 150,0 persen bila dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P 2010 sebesar Rp1,0 triliun. Peningkatan alokasi dana pengembangan pendidikan nasional dalam RAPBN 2011 sejalan dengan meningkatnya alokasi anggaran pendidikan secara keseluruhan. F. Kewajiban Penjaminan Dalam RAPBN tahun 2011, Pemerintah mengalokasikan kewajiban penjaminan sebesar Rp1,0 triliun, yang akan dialokasikan untuk PT PLN (Persero) sebesar Rp889,0 miliar, dan PDAM sebesar Rp147,0 miliar. Kewajiban penjaminan untuk PT PLN (Persero) tersebut dialokasikan dalam rangka memberikan dukungan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara. Bentuk dukungan dalam dana kewajiban penjaminan adalah Pemerintah memberikan jaminan penuh (full guarantee) terhadap PT PLN (Persero) atas pembayaran kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik (10.000 MW), apabila terjadi gagal bayar pada saat jatuh tempo. Kebijakan tersebut didukung dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007. Sementara itu, dana kewajiban penjaminan untuk PDAM dalam RAPBN tahun 2011 direncanakan sebesar Rp147,0 miliar, yang diperuntukkan dalam rangka percepatan penyediaan air minum bagi masyarakat. Dana penjaminan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perbankan nasional dalam memberikan kredit investasi kepada PDAM. Sementara itu, PDAM juga diberikan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat atas kewajiban pembayaran kredit investasi PDAM kepada bank. Kebijakan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum serta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Dana Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-45
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
penjaminan kepada PDAM akan diberikan dalam hal PDAM gagal membayar atas sebagian atau seluruh kewajiban yang telah jatuh tempo. Pemerintah pusat akan menanggung sebesar 70 persen, dan sisanya sebesar 30 persen menjadi risiko bank yang memberikan kredit investasi. Dari dana penjaminan sebesar 70 persen tersebut, realisasi pembayaran penjaminan oleh Pemerintah akan diperhitungkan sebagai pinjaman kepada PDAM sebesar 40 persen, dan sisanya sebesar 30 persen sebagai beban pemerintah daerah.
6.3.2 Kebijakan Pembiayaan Utang Kebutuhan Pembiayaan pada tahun 2011 sebagian besar akan dipenuhi dari pembiayaan utang yang dapat dikelompokkan menjadi utang yang bersumber dari SBN dan pinjaman baik dalam negeri maupun luar negeri. Pembiayaan utang ditargetkan sebesar Rp123,5 triliun yang terdiri dari SBN neto sebesar Rp125,5 triliun, pinjaman luar negeri neto sebesar negatif Rp3,0 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,0 triliun. Dengan adanya kebutuhan pembiayaan melalui utang, tambahan utang pada akhir tahun 2011 akan mempengaruhi jumlah utang secara keseluruhan.
6.3.2.1 Gambaran Umum Pemenuhan kebutuhan pembiayaan melalui utang dilakukan dengan memanfaatkan instrumen utang yang telah ada melalui berbagai kombinasi komposisi mata uang, tenor, jenis bunga, basis investor, dan lain lain yang bertujuan mengendalikan biaya dan risiko utang. Hal ini searah dengan kebijakan pengelolaan utang yang tercantum dalam strategi pengelolaan utang jangka menengah yang mengedepankan efisiensi terhadap biaya utang dan efektifitas pemanfaatan utang dengan tetap memperhatikan risiko yang terkandung dalam utang. Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijakan pembiayaan utang yang ditempuh perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan pengadaan/ penerbitan utang, antara lain (i) biaya dan risiko yang melekat dalam portofolio utang, (ii) perkembangan kondisi pasar keuangan yang dapat mempengaruhi biaya utang, (iii) kapasitas daya serap pasar keuangan domestik dan country ceiling/single country limit untuk pengadaan pinjaman, dan (iv) sisa komitmen pinjaman yang telah ditandatangani. Selain itu juga mempertimbangkan pengembangan pasar SBN, pengelolaan kas yang mencakup proyeksi kebutuhan kas baik rupiah maupun valas, posisi cadangan devisa, dan pengelolaan assets liabilities Pemerintah dan BI. Biaya dan risiko utang yang harus ditanggung merupakan konsekuensi dari pemilihan alternatif pembiayaan melalui utang. Biaya utang meliputi bunga atas outstanding utang dan biaya lain seperti biaya penerbitan SBN yang tercermin dari diskon pada SBN regular, biaya penerbitan yang diberikan kepada agen penjual SBN ritel dan valas, biaya komitmen, serta management fee atas pinjaman. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi biaya bunga, antara lain karakteristik pemberi pinjaman/investor, jenis instrumen utang yang diterbitkan/diadakan, dan kondisi pasar keuangan termasuk nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta pergerakan tingkat bunga. Pada umumnya dalam portofolio utang Pemerintah, pinjaman luar negeri memiliki tingkat bunga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan utang dalam bentuk surat berharga, khususnya pinjaman yang bersifat lunak (concessional). Seiring berkurangnya pinjaman lunak tersebut dan semakin bertambahnya porsi SBN, akan berpotensi meningkatkan biaya utang. Selain itu untuk penerbitan SPN dan obligasi tanpa bunga akan memberikan dampak biaya yang relatif VI-46
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
lebih besar pada tahun penerbitan yang disebabkan seluruh biaya kedua instrumen tersebut dibebankan langsung pada saat penerbitan. Seiring dengan perkembangan pasar keuangan global yang baru pulih dari kondisi krisis, pengelolaan utang menghadapi tantangan terkait dengan pengelolaan risiko pasar, berupa risiko perubahan tingkat bunga dan risiko nilai tukar. Selain itu, utang-utang jatuh tempo dalam jangka pendek juga menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pengelolaan risiko pembiayaan kembali. Sampai dengan bulan Juni 2010, risiko potensial yang mungkin terjadi adalah risiko nilai tukar dan risiko pembiayaan kembali (refinancing risk). Risiko nilai tukar dapat diketahui dengan melihat proporsi utang dengan mata uang asing terhadap outstanding. Semakin tinggi proporsinya semakin besar risiko yang dihadapi. Proporsi utang dalam mata uang asing saat ini masih di atas 40 persen dari total outstanding, sehingga apabila terjadi pelemahan mata uang rupiah maka akan terjadi peningkatan outstanding utang yang diikuti pula oleh meningkatnya kewajiban utang baik pembayaran pokok jatuh tempo maupun bunga dan biaya utang lainnya. Sedangkan refinancing risk diukur berdasarkan durasi utang dan profil jatuh tempo utang. Dalam tiga tahun kedepan refinancing risk portofolio utang Pemerintah cukup tinggi terutama disebabkan oleh tingginya utang yang jatuh tempo pada periode tersebut. Dengan memperhitungkan penerbitan SBN yang dilakukan pada tahun 201o dan penarikan pinjaman tahun 2010, maka pokok jatuh tempo pada periode tersebut akan semakin besar sehingga refinancing risk berpotensi semakin tinggi. Pada tahun 2011, pokok utang yang jatuh tempo diperkirakan sebesar Rp132,1 triliun miliar yang terdiri dari SBN sebesar Rp84,0 triliun dan pinjaman sebesar Rp48,1 triliun. Perkiraan jatuh tempo SBN telah memperhitungkan rencana operasi pasar dalam program debt switch dan penerbitan SPN pada Semester II 2010. Selain faktor tersebut di atas, perlu dipertimbangkan pula daya serap pasar SBN untuk menentukan jumlah target penerbitan SBN oleh Pemerintah yang wajar agar biaya dan risiko utang dapat optimal. Daya serap pasar SBN, antara lain ditentukan oleh kondisi makro ekonomi, likuiditas pasar keuangan, aliran dana asing, perkembangan suku bunga, perkembangan nilai tukar, pertumbuhan aset kelolaan investor institusi, dan ketersediaan instrumen yang sesuai dengan keinginan investor. Terkait dengan hal tersebut, alternatif jenis instrumen yang diterbitkan dan jenis/tipe investor yang menjadi sasaran serta tenor yang dipilih menjadi sangat penting. Untuk instrumen pinjaman yang perlu diperhatikan adalah fasilitas yang masih dapat disediakan oleh lender dimana negara debitur dapat melakukan pengadaan/penarikan pinjaman atau biasa dikenal sebagai single country limit. Besaran fasilitas yang tersedia tersebut merupakan batas maksimum pengadaan pinjaman /komitmen yang tidak dapat dilampaui. Apabila single country limit terlampaui maka konsekuensinya lender akan mengenakan kenaikan biaya sebagai wujud dari kenaikan risiko negara tersebut. Selanjutnya sisa komitmen pinjaman perlu dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan pengadaan utang karena mempengaruhi prioritas penarikan pinjaman yang sedang berjalan. Sisa komitmen merupakan bagian dari fasilitas pinjaman yang sudah disepakati, namun belum ditarik untuk pembiayaan kegiatan. Sisa komitmen yang belum dimanfaatkan akibat rendahnya kemampuan penyerapan berpotensi menambah biaya utang dan meningkatkan opportunity cost. Untuk itu diperlukan pemanfaatan sisa komitmen pinjaman secara tepat waktu melalui peningkatan kualitas usulan dan perencanaan kegiatan misalnya peningkatan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-47
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
kualitas penyusunan feasibility study, dan kesiapan serta peningkatan kualitas pelaksanaan kegiatan. BOX VI. 2 Penerbitan Sukuk Negara Dengan Underlying Proyek Menurut Undang-Undang SBSN, Sukuk Negara dapat diterbitkan dengan berbagai akad, antara lain Ijarah, Mudharabah, Musyarakah, Istishna’, dan akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, atau kombinasi dua atau lebih akad-akad tersebut. Sampai dengan saat ini, penerbitan SBSN sebagian besar menggunakan akad Ijarah, terutama Ijarah Sale and Lease Back yang menggunakan underlying Barang Milik Negara selain Ijarah Al Khadamat menggunakan jasa-jasa (services) pelayanan haji atau Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) dan dari sisi pemanfaatan hasil penerbitan tersebut seluruhnya digunakan untuk keperluan pembiayaan umum APBN (general financing). Mekanisme penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying penerbitan Sukuk Negara (Ijarah Sale and Lease Back), antara lain adalah : (i) BMN yang digunakan sebagai underlying merupakan BMN yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis yang dapat diukur, berupa tanah, dan/atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan. BMN yang akan digunakan harus telah mendapat persetujuan dari DPR, (ii) Jenis, nilai, dan spesifikasi BMN ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku pengelola kekayaan negara, (iii) Penggunaannya dengan cara disewakan, dijual, atau cara lain yang sesuai dengan prinsip syariah; (iv) Pada saat jatuh tempo SBSN, underlying asset akan dibeli kembali oleh Pemerintah sebesar nilai nominal SBSN; (v) Menteri sebagai Pengelola BMN akan meminta persetujuan DPR, pada saat penyusunan RAPBN, (vi) diterbitkannya notification letter terhadap BMN yang sedang digunakan oleh instansi pengguna, dan (vii) Penjualan BMN, hanya berupa hak manfaatnya (beneficial title) tanpa disertai pemindahtanganan fisik dan perubahan status kepemilikan (legal title). Mekanisme penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dimaksudkan bahwa instansi pengguna BMN, masih menggunakan BMN tersebut dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansinya. Penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN ini, akan mendorong tertibnya administrasi dalam pengelolaan aset Negara. Selain itu, pada BMN yang telah menjadi underlying penerbitan SBSN tidak akan terjadi peralihan kepemilikan aset negara kepada pihak lain. Di lain pihak, konsekuensi dari usulan penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tidak menyebabkan BMN dijaminkan/digadaikan oleh pihak tertentu karena tetap dalam penguasaan negara. Sebagai upaya diversifikasi jenis dan struktur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara, saat ini Pemerintah sedang mengkaji kemungkinan untuk penerbitan SBSN dengan underlying asset berupa proyek. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN, proyek yang dapat dibiayai melalui penerbitan SBSN adalah proyek yang telah mendapat alokasi dalam APBN. Pembiayaan proyek melalui penerbitan SBSN tersebut selaras dengan tujuan RPJM, yaitu antara lain dalam rangka (i) percepatan pembangunan infrastruktur, (ii) peningkatan pelayanan umum, (iii) pemberdayaan industri dalam negeri, dan/atau (iv) kegiatan investasi Pemerintah. Sukuk berbasis proyek (project based sukuk) telah diterbitkan oleh beberapa negara (sovereign) dan korporasi, terutama negara-negara di Timur Tengah. Untuk merealisasikan penerbitan SBSN proyek, Pemerintah saat ini sedang menyiapkan penyusunan infrastruktur hukum (Peraturan Pemerintah dan beberapa peraturan pelaksananya), dan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, termasuk desain instrumen yang akan digunakan.
VI-48
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
BOX VI. 3 Perbaikan Struktur Portofolio Utang Upaya perbaikan struktur utang atau yang seringkali dikenal pula dengan upaya restrukturisasi dilakukan dengan tujuan, antara lain untuk mengurangi risiko yang dihadapi pengelola utang seperti risiko refinancing, risiko nilai tukar, dan risiko tingkat bunga. Upaya tersebut dapat dilakukan terhadap utang, baik yang berasal dari instrumen SBN maupun pinjaman. Restrukturisasi yang dilakukan terhadap SBN relatif lebih mudah dilakukan karena SBN merupakan instrumen pasar keuangan yang sifatnya fleksibel. Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini dalam melakukan restrukturisasi instrumen SBN antara lain melalui pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback) maupun penukaran instrumen utang (debt switch). Pembelian kembali atau buyback merupakan transaksi yang dilakukan untuk melunasi SBN sebelum waktu jatuh tempo. Transaksi ini dapat digunakan untuk (i) mengurangi risiko refinancing, yang dilakukan dengan membeli kembali surat utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek, (ii) mengurangi risiko tingkat bunga, terutama apabila buyback diarahkan untuk membeli kembali surat utang yang memiliki tingkat bunga yang relatif tinggi, (iii) pengembangan pasar, yang dilakukan dengan membeli kembali surat utang yang tidak ditransaksikan (off the run), dan (iv) untuk tujuan stabilitas pasar bila terjadi market instability misalnya harga SBN yang volatile atau cenderung turun tajam dalam waktu yang singkat karena berbagai sebab. Dalam pelaksanaannya, sampai saat ini Pemerintah lebih mengedepankan buyback yang digunakan untuk tujuan mengurangi risiko refinancing dan untuk tujuan stabilitas pasar. Debt switch merupakan transaksi simultan antara pembelian kembali (buyback) dan penerbitan SUN baru kepada investor yang sama, sehingga sifatnya lebih kepada voluntary basis. Sebagaimana mekanisme buyback, debt switch dapat digunakan untuk (i) mengurangi risiko refinancing, dengan menarik surat utang yang akan jatuh tempo dalam jangka pendek dan menggantikannya dengan surat utang yang memiliki jatuh tempo lebih panjang, (ii) mengurangi risiko tingkat bunga dengan menukar surat utang dengan tingkat bunga mengambang dengan surat utang dengan tingkat bunga tetap, (iii) pengembangan pasar, misalnya dengan menukar off the run bond dengan on the run bond. Upaya Pemerintah untuk melaksanakan debt switch selama 2008-2009 dalam rangka mengurangi risiko refinancing telah memperpanjang rata-rata jatuh tempo utang pemerintah dari 3,79 tahun dan 2,77 tahun menjadi 13,69 dan 20,35 tahun. Upaya untuk memperbaiki struktur pinjaman luar negeri juga dapat dilakukan akan tetapi cenderung lebih sulit karena sering adanya restriksi dalam perjanjian pinjaman terutama pinjaman lunak dan dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Selama ini, upaya perbaikan struktur portofolio utang khususnya bagi instrumen pinjaman masih dilakukan dalam koridor transaksi bilateral (lender by lender). Upaya tersebut dilakukan salah satunya dengan perubahan terms and conditions perjanjian pinjaman yang difokuskan untuk mengubah tingkat bunga referensi dan mata uang, dalam hal terbuka kesempatan. Bagi perubahan struktur pembayaran bunga, restrukturisasi dilakukan dengan melakukan amendment atas perjanjian pinjaman dari tingkat bunga mengambang menjadi tingkat bunga tetap ketika kondisi suku bunga secara umum dinilai berada pada titik terendah. Perubahan terms and conditions ini dilakukan dengan pertimbangan untuk mengurangi ketidakpastian pembayaran bunga di masa yang akan datang sebagai konsekuensi dari naik turunnya tingkat bunga mengikuti situasi pasar keuangan. Selain itu, Pemerintah berpotensi melakukan penghematan pembayaran bunga utang seandainya tingkat bunga di masa yang akan datang naik menjadi lebih tinggi dibandingkan saat ini. Perubahan struktur biaya juga dapat dilakukan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-49
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
dengan mengubah metode pembayaran dari multi-currency menjadi single currency. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya cash mismatch karena pengeluaran dalam mata uang asing tertentu yang tidak seimbang dengan pemasukannya pada satu periode. Pengurangan outstanding sebagai bagian dari perbaikan struktur portofolio pinjaman luar negeri dapat dilakukan antara lain dengan melakukan debt swap. Debt swap ini dinilai menguntungkan karena Pemerintah yang sebelumnya telah mengalokasikan dana sejumlah tertentu untuk pembayaran cicilan pokok utang, dapat merealokasi anggaran tersebut menjadi program-program pembangunan sesuai kesepakatan dengan lender misalnya melakukan rehabilitasi hutan atau kegiatan pendidikan. Selain itu, debt swap yang dilakukan dengan underlying mata uang Rupiah tidak akan mengganggu stabilitas nilai tukar. Selama ini Pemerintah telah melakukan upaya-upaya restrukturisasi melalui debt swap meskipun harus diakui nilainya masih relatif kecil. Di luar kelebihan fasilitas debt swap yang telah diuraikan tersebut, debt swap juga memunculkan tantangan yang harus diperhatikan dengan cermat dalam setiap rencana pelaksanaannya. Tantangan-tantangan tersebut antara lain (i) adanya potensi tambahan dana sebagai akibat pengeluaran yang lebih besar dibandingkan jumlah utang yang dikonversi, (ii) perlunya penyamaan persepsi antar pihak-pihak yang berkepentingan terkait alokasi dana hasil swap dan penetapan kegiatan, dan (iii) pendekatan kepada negara-negara yang berpotensi memberikan fasilitas debt swap terutama negaranegara kreditor besar. Restrukturisasi utang dapat juga berdasarkan permintaan debitor antara lain melalui mekanisme reschedulling melalui forum Paris Club dan debt forgiveness (penghapusan utang). Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Paris Club, umumnya negara yang mengajukan proposal dipersyaratkan berada dalam program asistensi dengan IMF. Sedangkan untuk dapat memanfaatkan penghapusan utang, sebuah negara tidak boleh memiliki PDB per kapita melebihi USD650 per tahun. Terkait dengan persyaratan ini, Indonesia sudah tidak eligible lagi mengingat Pemerintah justru berupaya menghindari program asistensi IMF. Untuk itu pemanfaatan fasilitas dengan menggunakan mekanisme rescheduling maupun debt forgiveness tersebut sulit untuk dapat dilakukan oleh Pemerintah, mengingat posisi Indonesia saat ini yang berada pada kelompok negara berpendapatan menengah dan tidak berada pada program asistensi IMF. Jika opsi ini hendak dilaksanakan, Pemerintah menghadapi konsekuensi penurunan sovereign credit rating dan peningkatan country risk classification. Dari sisi biaya, penurunan rating kurang menguntungkan mengingat terjadinya penurunan satu notch akan menyebabkan yield SBN valas Pemerintah naik sekitar 75-115bps. Peningkatan satu tingkat country risk classification berdampak pada naiknya biaya pinjaman terutama yang berasal dari negara-negara anggota OECD sebesar 130-150bps.
6.3.2.2 Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Utang 2011 Dalam memenuhi target pembiayaan defisit tahun 2011, Pemerintah berupaya mengoptimalkan sumber pembiayaan dari utang baik SBN maupun pinjaman. Untuk penerbitan SBN dilakukan dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian global yang belum stabil sebagai dampak dari kebijakan negara maju untuk melakukan bailout yang dibiayai dari utang. Selain itu, Pemerintah tetap mempertimbangkan kapasitas daya serap pasar SBN domestik sehingga diharapkan penerbitan SBN tidak menimbulkan crowding out effect. Selanjutnya, pengadaan pinjaman dilakukan dalam rangka budget support dan/atau hanya untuk pembiayaan kegiatan prioritas. Pinjaman yang dilakukan dalam rangka budget support dapat berbentuk pinjaman program/refinancing modality yang syarat penarikannya sesuai
VI-50
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
dengan program Pemerintah. Sedangkan pinjaman kegiatan diutamakan bagi pinjaman yang telah ditandatangani perjanjiannya dengan mendorong upaya penarikan secara tepat waktu. Meskipun sumber pembiayaan dari pinjaman ini masih tetap menggunakan lender baik multilateral, bilateral maupun lembaga keuangan komersial, prioritas pengadaan utang tetap diarahkan bagi (i) lender yang memberikan terms and condition yang favorable (wajar), (ii) tidak adanya agenda politik tertentu, dan (iii) ketersediaan sumber pinjaman yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatannya.
6.3.2.3 Kebijakan pengelolaan SBN Target penerbitan SBN neto dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp125,5 triliun dengan prioritas penerbitan SBN rupiah di pasar domestik yang meliputi obligasi negara reguler, obligasi negara ritel, SPN, sukuk reguler, sukuk ritel, dan lain-lain. Pemilihan instrumen dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain preferensi investor, kondisi pasar keuangan domestik, kebutuhan untuk melakukan benchmarking, dan pengelolaan portofolio serta risiko utang. Terkait dengan penerbitan SBSN, untuk menghindari ketergantungan terhadap Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan SBSN, dilakukan penerbitan SDHI dan pengembangan instrumen SBSN dengan underlying proyek. Untuk menjaga stabilitas pasar keuangan domestik dan menghindari crowding out akibat tingginya target penerbitan SBN, pemenuhan pembiayaan melalui SBN juga dilakukan di pasar global melalui penerbitan SBN valas. Penerbitan ini juga ditujukan untuk membuat benchmark di pasar keuangan global dan dapat pula digunakan untuk menambah cadangan devisa. Namun, penerbitan tersebut dilakukan dengan jumlah yang terukur agar porsi utang valas tetap terjaga pada kisaran di bawah 50 persen dari total utang. Penerbitan SBN valas direncanakan terdiri dari obligasi negara valas dalam mata uang USD dan mata uang Yen, serta sukuk valas dalam mata uang USD dengan tenor menengah panjang yang mempertimbangkan pembentukan yield curve dalam rangka benchmarking. Namun dalam realisasinya, jumlah, jenis mata uang, dan tenor SBN valas yang diterbitkan akan disesuaikan dengan kondisi pasar keuangan dan kebutuhan valas untuk mendukung kondisi makro ekonomi pada saat pelaksanaan. Sedangkan untuk mendukung penerbitan SBN rupiah di pasar domestik, perlu dilakukan kebijakan diversifikasi instrumen dan metode penerbitan SBN melalui penerbitan benchmark series, penerbitan instrumen baru, dan memperluas penggunaan metode penerbitan sehingga dapat memberikan pilihan instrumen yang lebih bervariasi dan sesuai dengan preferensi investor. Upaya ini antara lain dilakukan melalui peningkatan frekuensi dan kualitas lelang penerbitan, segmentasi investor, serta perluasan target investor. Sedangkan pengembangan instrumen yang masih dilakukan untuk mendukung diversifikasi tersebut antara lain adalah penerbitan sukuk proyek dan penerbitan Islamic T-Bills. Kebijakan lain yang dilakukan untuk mendukung penerbitan SBN rupiah di pasar domestik adalah melalui kebijakan pengembangan infrastruktur pasar dan sosialisasi SBN untuk meningkatkan awareness masyarakat/investor. Upaya yang dilakukan antara lain adalah meningkatkan fungsi market making oleh primary dealer, pengembangan pasar repo SBN dengan memperluas jenis underlying dan akses repo window, dan memperluas wilayah serta target sosialisasi SBN. Selanjutnya dengan memanfaatkan kondisi pasar keuangan yang membaik, penerbitan SBN diupayakan memiliki tenor menengah sampai panjang. Namun, apabila kondisi pasar Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-51
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
keuangan cenderung memburuk, pilihan penerbitan SBN jangka pendek dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dalam jumlah yang terukur agar risiko refinancing utang masih dalam tingkat yang terkendali.
6.3.2.4 Kebijakan Pengelolaan Pinjaman Dalam RAPBN 2011, jumlah pinjaman yang akan ditarik terdiri dari penarikan pinjaman luar negeri bruto sebesar Rp57,1 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,0 triliun. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, penarikan pinjaman luar negeri ini mencakup rencana penarikan pinjaman proyek sebesar Rp39,4 triliun dan penarikan pinjaman tunai dalam bentuk pinjaman program reguler sebesar Rp10,2 triliun dan refinancing modality sebesar Rp7,5 triliun. Apabila dibandingkan dengan jumlah penarikan pinjaman pada tahun 2009 dan 2010, rencana penarikan pinjaman pada tahun 2011 relatif jauh lebih rendah yang terutama dikontribusi oleh penurunan rencana penarikan pinjaman program dengan cukup signifikan. Penurunan rencana penarikan pinjaman program ini merupakan akibat dari semakin berkurangnya komitmen yang disediakan lender dan sebagai konsekuensi dari pengendalian besarnya penarikan pinjaman luar negeri yang ditetapkan dalam strategi pengelolaan utang. Berdasarkan sumbernya, pinjaman program pada tahun 2011 direncanakan berasal dari Bank Dunia, ADB, dan Jepang melalui JICA. Dalam pelaksanaannya, pinjaman program yang berasal dari JICA pada umumnya merupakan co-financing dengan Bank Dunia dan/ atau ADB, sehingga memiliki fokus kebijakan yang sama dengan syarat pencairan berupa policy matrix yang sama. Adapun secara tentatif, sasaran uraian pinjaman program tahun 2011 antara lain adalah Development Policy Loan (DPL), Infrastructure Development Policy Loan (IDPL), dan Local Government Finance and Government Reform (LGFGR). Dalam rangka penarikannya, diperlukan penyusunan berbagai kebijakan terkait reformasi di bidang Pemerintahan sesuai dengan masing-masing fokus area sebagaimana yang disepakati antara lender dengan Pemerintah. Mengingat fokus area tersebut meliputi berbagai bidang, dalam penyusunan policy matrix membutuhkan peran aktif dari K/L sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing K/L. Apabila policy matrix tersebut mencakup beberapa bidang maka pelaksanaannya dapat dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan/atau Bappenas. Sebagai kelanjutan dari tahun sebelumnya, pada tahun 2011 pinjaman tunai dengan skema refinancing modality dari Bank Dunia yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perdesaan dan Perkotaan akan tetap dilanjutkan. Kebutuhan penyediaan dana untuk refinancing modality pada tahun 2011 ditargetkan sebesar Rp7,5 triliun. Mengingat skema refinancing modality ini menggunakan underlying pelaksanaan kegiatan, maka besarnya dana pinjaman tunai yang dapat ditarik ditentukan oleh realisasi kemajuan pelaksanaan kegiatan. Untuk itu, progress pelaksanaan kegiatan oleh K/L selaku Executing Agency dan kecepatan penyusunan kelengkapan administrasi yang akan diajukan kepada lender menjadi faktor yang cukup penting. Berkenaan dengan pinjaman kegiatan, rencana penarikan pinjaman untuk tahun 2011 dapat dirinci menjadi besaran pinjaman luar negeri yang akan ditarik oleh Pemerintah Pusat melalui K/L sebesar Rp27,4 triliun dan penerusan pinjaman sebesar Rp12,0 triliun. Berikut ini beberapa kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri dan akan ditarik pada tahun 2011 yaitu (i) Indonesian Vocational Education Strengthening Project (INVEST) VI-52
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
sebesar SDR50,6 juta. Pinjaman ini bersifat pinjaman lunak yang ditandatangani dengan ADB pada tanggal 26 Mei 2008 dengan masa laku sampai dengan 30 November 2013. Sebagai pelaksana kegiatan adalah Kementerian Pendidikan Nasional. Kegiatan yang tercakup dalam INVEST secara umum diarahkan kepada upaya untuk memperluas akses lulusan sekolah menengah kejuruan ke pasar tenaga kerja melalui peningkatan keahlian yang pada akhirnya dapat menunjang pembangunan ekonomi dan industri. Dalam kegiatan ini ditekankan adanya model pengembangan yang diambil dengan menggunakan jejaring nasional dari sekolah menengah kejuruan unggulan yang nantinya berperan sebagai sekolah model, dan (ii) Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR) bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pembayar pajak dan memperbaiki tata kelola administrasi perpajakan. Komponen proyek antara lain meliputi peningkatan efisiensi pengumpulan dan pengelolaan data, pengelolaan dan pengembangan SDM, penguatan operasional pengelolaan kepatuhan melalui reformasi audit perpajakan dan penarikan tunggakan pajak. Proyek ini mulai berlaku efektif sejak 7 Agustus 2009 bersumber dari pendanaan semi-concessional Bank Dunia dengan total komitmen sebesar USD110 juta yang dilaksanakan oleh Ditjen Pajak dengan batas akhir penarikan sampai dengan 31 Desember 2015. Hingga akhir Desember 2009 total penarikan pinjaman terkait program ini berjumlah USD275 ribu atau 0,25 persen dari total komitmen. Salah satu topik yang sering muncul dan didiskusikan dalam penarikan pinjaman ini adalah kemampuan daya serap kegiatan yang masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Upaya peningkatan daya serap kegiatan yang dibiayai dari pinjaman telah dilakukan sejak tahap perencanaan dengan pemberlakukan readiness criteria sampai tahap pelaksanaan melalui kegiatan monitoring. Namun demikian, masih diperlukan berbagai upaya tambahan untuk dapat mengurai dan memetakan berbagai faktor potensial yang menjadi penghambat. Tidak terlaksananya kegiatan secara tepat waktu akan berpotensi menambah biaya utang dan hasil dari kegiatan tersebut tidak segera dapat memberikan efek positif bagi perekonomian. Terkait dengan biaya pinjaman, seiring dengan semakin terbatasnya ketersediaan pinjaman murah, kiranya perlu dilakukan reformulasi dan penajaman kebijakan yang ada saat ini. Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti antara lain, adalah (i) pemanfaatan pinjaman agar lebih diarahkan bagi kegiatan yang memberikan dampak yang besar bagi perekonomian dan bagi kegiatan dengan tingkat urgensi tinggi, (ii) dilakukan perbaikan berkesinambungan dalam perencanaan dan persiapan kegiatan sehingga keterlambatan pelaksanaan kegiatan dari jadwal yang disusun dapat dihindarkan, (iii) penerapan disbursement plan yang lebih ketat sebagai referensi dalam pelaksanaan kegiatan yang dapat digunakan sebagai sarana pemberian reward and punishment dan evaluasi terhadap pengusul dan/atau pengelola kegiatan sehingga project ownership dan responsibility dapat ditingkatkan, dan (iv) penyusunan kebijakan perencanaan pinjaman secara lebih komprehensif dan prudent sehingga dapat menghindari pinjaman yang sifatnya lender driven dan tied loan. Penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 direncanakan sebesar Rp12,0 triliun atau turun 28,6 persen jika dibandingkan dengan alokasinya dalam APBN-P 2010 sebesar Rp16,8 triliun. Penurunan penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 terutama disebabkan alokasi penerusan pinjaman dalam RAPBN 2011 murni menampung usulan baru yang akan dilaksanakan dalam tahun anggaran 2011. Sedangkan alokasi penerusan pinjaman dalam APBN-P 2010 menampung juga luncuran penerusan pinjaman tahun anggaran 2009 sebesar Rp4,3 triliun. Sekitar 95 persen dari total alokasi penerusan pinjaman akan digunakan untuk membiayai berbagai proyek yang dilaksanakan oleh BUMN. Sedangkan sisanya, sekitar 5 persen Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-53
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
diperuntukkan bagi proyek-proyek yang dilaksanakan oleh Pemda. Seperti halnya dalam tahun 2010, BUMN pengguna dana penerusan pinjaman terbesar dalam tahun 2011 adalah PT PLN (Persero). Alokasi untuk PT PLN (Persero) mencapai Rp9,6 triliun atau 80,2 persen dibandingkan dengan total keseluruhan penerusan pinjaman. Alokasi penerusan pinjaman untuk PT PLN (Persero) rencananya akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek vital dibidang infrastruktur listrik seperti pembangunan PLTGU Muara Karang 720 MW dan 225 MW, Java Bali power sector restructuring and strengthening project, renewable energy development sector project, power transmission improvement sector project, dan lain-lain. Proyek-proyek tersebut umumnya merupakan proyek-proyek multiyears sehingga pelaksanaan proyek dalam tahun 2011 merupakan kelanjutan dari tahuntahun sebelumnya. Selain PT PLN (Persero), beberapa BUMN yang direncanakan akan mendapatkan alokasi penerusan pinjaman yaitu PT PGN, PT KAI, PT SMI, PT Pelindo II, dan LPEI. Sedangkan Pemda yang akan menerima penerusan pinjaman dalam tahun 2011 yaitu Pemkot Bogor, Pemkab Muara Enim, dan Pemkab Kuala Kapuas, yang akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek UWSSP. Proyek UWSSP adalah proyek yang bertujuan untuk membangun instalasi penyediaan air bersih yang dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat. Selain ketiga kota tersebut, Pemkot Sawah Lunto, Pemkab Konawe Selatan, Pemkab Solok Selatan, Pemkot Palembang, Pemkab Morowali, dan Pemkot Banda Aceh direncanakan mendapatkan alokasi penerusan pinjaman dalam tahun 2011 untuk membiayai proyek-proyek USDRP. Proyek USDRP ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan yang layak huni, berkeadilan sosial, berbudaya, produktif, dan berkelanjutan serta saling memperkuat dalam mendukung keseimbangan pengembangan wilayah. Selain proyek-proyek UWSSP dan USDRP, Pemerintah juga berencana mengalokasikan penerusan pinjaman untuk Pemprop DKI Jakarta dalam tahun 2011 untuk membiayai proyek JEDI. Proyek JEDI ini merupakan kelanjutan dari yang telah dilaksanakan tahun 2010 karena bersifat multiyears. Proyek JEDI merupakan proyek penanggulangan banjir di wilayah DKI Jakarta yang akan dilaksanakan dengan merehabilitasi dan mengeruk saluran air atau sungai yang sudah ada. Untuk pinjaman dalam negeri, arah pemanfaatan pinjaman masih difokuskan kepada pembiayaan kegiatan dalam rangka mendorong peningkatan produksi dalam negeri. Saat ini pinjaman dalam negeri diprioritaskan untuk dua K/L yaitu Kementerian Pertahanan dan Polri dengan alokasi sebesar Rp1,0 triliun yang direncanakan bersumber dari perbankan dalam negeri. Mekanisme pengadaan pinjaman dalam negeri menyelaraskan antara perencanaan kegiatan dan perencanaan pinjaman dengan perencanaan anggaran. Untuk itu, dalam rangka menghindari kelambatan penarikan pinjaman, setiap usulan kegiatan yang diajukan merupakan kegiatan yang sudah pasti (firm) dan menjadi prioritas K/L. BOX VI. 4 Monitoring Pinjaman Luar Negeri Pasal 24 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, mengamanatkan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri VI-54
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
pada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi pinjaman luar negeri secara triwulanan. Selanjutnya dalam pasal 24 ayat (3), ditegaskan bahwa Menteri Keuangan mengeluarkan Laporan Realisasi Penyerapan pinjaman dan/atau hibah luar negeri secara triwulanan atas pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri. Sebagai penjabaran dari ketentuan tersebut di atas, dan untuk memperkuat fungsi monitoring pinjaman luar negeri telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 33/ PMK.08/2010 tanggal 12 Februari 2010 tentang Monitoring, Evaluasi, Pelaporan, Publikasi, dan Dokumentasi Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri. Monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan dan pengendalian utang. Monitoring terutama ditujukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan berjalan sesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Apabila diketahui adanya kendala atau permasalahan dalam pelaksanaannya dapat segera diantisipasi penyelesaiannya secara lebih dini. GRAFIK VI.15 PEMANFAATAN PINJAMAN LUAR NEGERI 1998 – 31 MEI 2010 120%
250
100%
200
[ miliar USD]
80% 150 60% 100
34,6%
29,8%
40%
25,2%
50
21,4%
17,1%
13,9%
20%
6,2%
6,0%
5,4%
5,3%
5,8%
5,3%
5,6%
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
0
0%
1998
1999
Sumber: Kementerian Keuangan
2000
2001
2002
2003
Net Commitment
Disbursement
Undisbursed
% Undisbursed (RHS)
Saat ini, kegiatan monitoring pinjaman luar negeri masih difokuskan pada realisasi penyerapan pinjaman luar negeri, yaitu untuk mengatur rasio atau tingkat penyerapan (disbursement) terhadap waktu yang tersedia untuk penarikan pinjaman tersebut. Penarikan pinjaman luar negeri yang lambat, mengindikasikan adanya masalah yang pada umumnya diakibatkan oleh kelambatan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Implikasi yang timbul atas keterlambatan penarikan pinjaman luar negeri adalah meningkatnya beban biaya pinjaman terutama biaya commitment fee yang pengenaannya dihitung berdasarkan persentase terhadap jumlah pinjaman yang belum ditarik (undisbursed loan amount). Commitment fee akan relatif kecil dan tidak membebani dalam hal kecepatan absorbsi pinjaman yang besar. Fee ini dalam beberapa hal sulit dihindarkan mengingat pemberi pinjaman sudah harus menyediakan/ mencadangkan jumlah dana tertentu yang akan digunakan oleh peminjam selama waktu penarikan (avalability period) sesuai syarat yang disepakati. Berdasarkan data historis pemanfaatan pinjaman luar negeri dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa, jumlah penyerapan pinjaman luar negeri mengalami trend yang cenderung meningkat. Untuk meningkatkan kapasitas dan peranan dalam pelaksanaan kegiatan monitoring pinjaman luar negeri, saat ini sedang dikembangkan mekanisme penerapan result base monitoring system, dimana kinerja kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri harus dapat diukur dari hasil yang dicapai dengan cara mengukur dan membandingkan antara input dengan output, outcome, dan dampaknya serta tingkat efektivitas dan efisiensinya. Sehingga diharapkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan pinjaman luar negeri oleh pengguna dapat meningkat. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-55
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
BOX VI.5 Sovereign Credit Rating dan Country Risk Classification Sovereign Credit Rating (SCR) dan Country Risk Classification (CRC) merupakan indikator tingkat risiko suatu negara, dengan implikasi terhadap biaya pengadaan utang. Indikator tingkat risiko dimaksud memberikan gambaran kemampuan suatu negara dalam memenuhi kewajiban utang yang jatuh tempo secara penuh dan tepat waktu. Sedangkan implikasi terhadap biaya pengadaan utang, SCR akan secara langsung mempengaruhi biaya penerbitan obligasi maupun pergerakan yield obligasi dan CRC mempengaruhi premi risiko pinjaman komersial . Penetapan level SCR dan CRC dilakukan oleh para pemeringkat melalui analisis terhadap beberapa variabel ekonomi dan non-ekonomi. Variabel ekonomi meliputi penilaian terhadap risiko keuangan (penilaian kemampuan Pemerintah untuk memenuhi kewajibannya), dan risiko ekonomi (penilaian terhadap pertumbuhan ekonomi, PDB per kapita, tingkat inflasi, angka pengangguran). Variabel non ekonomi menitikberatkan antara lain kepada risiko politik, infrastruktur, konflik dalam negeri, dan lain-lain. Level peringkat dari masing-masing lembaga pemeringkat berbeda antara satu dengan yang lain. S & P dan Fitch menetapkan klasifikasi level rating mulai dari SD (selective default) sampai AAA+, dimana level investment grade akan dimulai sejak level BBB-). Moody menetapkan klasifikasi level rating mulai dari C sampai Aaa1, dimana level investment grade dimulai sejak level Baa3. OECD menetapkan klasifikasi level CRC mulai dari 0 sampai 7, dimana semakin rendah pengklasifikasian, mengindikasikan semakin rendahnya risiko gagal bayar T ABEL VI.9 PERKEMBANGAN SCR DAN CRC INDONESI A Tahun 1 999
S&P
Rating Fitch Moody 's
CRC
CCC+
B-
B3
6
2000
B-
B-
B3
6
2001
CCC
B-
B3
6
2002
CCC+
B
B3
6
2003
B-
B+
B3
6
2004
B+
B+
B2
6
2005
B+
BB-
B2
5
2006
B+
BB-
B2
5
2007
BB-
BB-
B1
5
2008
BB-
BB
Ba3
5
2009
BB-
BB
Ba3
5
201 0
BB
BB+
Ba2
4
Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n
suatu negara yang akan berimbas pada makin turunnya premi risiko pinjaman. Perkembangan level SCR Pemerintah Indonesia tertinggi (kategori investment grade) dicapai pada periode sebelum krisis ekonomi tahun 1998 (level BBB oleh S & P, BBB- oleh Fitch dan Baa3 oleh Moody). Pada tahun 1998, rating Indonesia turun 8 notches dan masuk dalam kategori non investment grade. Bahkan pada saat restrukturisasi pinjaman luar negeri melalui VI-56
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Forum Paris Club pada tahun 1999, 2000, dan 2002, S&P menurunkan credit rating Indonesia menjadi SD yang merupakan level dengan risiko tertinggi. Kemudian mulai tahun 2004, secara bertahap terjadi peningkatan level SCR Indonesia, hingga akhirnya pada tahun 2010 berada pada level BB+ dengan outlook stabil (Fitch), BB dengan outlook positif (S & P), dan Ba2 (Moody). Sebaliknya untuk perkembangan level CRC Indonesia relatif lamban, dimulai tahun 1999 yang berada pada level 6, kemudian berubah menjadi level 5 pada tahun 2005, dan terakhir berubah menjadi level 4 pada tahun 2010. Faktor penentu perbaikan SCR dan CRC pada periode tersebut disebabkan antara lain ketahanan perekonomian Indonesia dalam menghadapi krisis global 2007-2008, kestabilan politik dan perbaikan law enforcement, serta pengelolaan utang pemerintah yang prudent (penurunan rasio utang terhadap PDB, ketepatan waktu pembayaran kewajiban utang, dan meningkatnya kepercayaan investor/kreditor).
6.3.2.6 Isu-isu Terkait Dengan Pengelolaan Utang 6.3.2.3.1 Dampak Krisis Eropa Terhadap Pengelolaan SBN Krisis utang di Eropa ini bermula dari permasalahan Pemerintah Yunani yang gagal dalam mengelola anggarannya sejak beberapa tahun yang lalu. Yunani yang awalnya memiliki PDB sebesar USD350 miliar atau 2 persen dari total PDB Eropa terus meningkatkan defisit anggarannya sehingga melebihi batas maksimal yang ditetapkan Uni Eropa (UE) yaitu 3 persen dari PDB. Kondisi tersebut mencapai titik tertinggi yang mencapai angka 13,6 persen dari PDB dan pada saat bersamaan, defisit tersebut dibiayai melalui penerbitan surat utang. Akibat penyusunan kebijakan pembiayaan defisit melalui penerbitan utang yang tidak dilandasi dengan prinsip kehati-hatian tersebut, Yunani dinyatakan default (gagal bayar). Kondisi tersebut memicu kekhawatiran negara-negara yang tergabung dalam UE terhadap potensi contagion effect yang dapat mengakibatkan runtuhnya perekonomian Eropa. Untuk menghindari effect ini, maka Dana Moneter internasional (IMF) dan UE sepakat untuk membantu Yunani dengan mengeluarkan bantuan dana awal sebesar USD145,0 miliar. Namun krisis tersebut pada akhirnya menjalar pula ke negara-negara Eropa lainnya, seperti Spanyol, Portugal, Irlandia, dan Italia dengan permasalahan krisis fiskal yang cukup berat. Untuk itu, IMF dan UE kembali sepakat untuk memberikan dana bailout sebesar USD1,0 triliun. Langkah ini juga diikuti dengan pengelolaan fiskal yang efisien seperti pembatasan pengeluaran Pemerintah atau pemangkasan gaji para pegawai. Merebaknya krisis yang melanda beberapa negara Eropa tersebut membawa kekhawatiran yang mendalam terutama di kalangan investor global. Para investor cenderung menghindari untuk membeli instrumen berisiko tinggi seperti surat utang di emerging market. Hal ini terjadi karena masih tingginya ketidakpastian terhadap penanganan atas krisis Eropa. Investor global cenderung memilih safety asset seperti emas, mata uang dolar AS, maupun surat utang Pemerintah AS. Sebagai suatu sistem keuangan yang terhubung satu sama lain, dampak dari krisis yang terjadi di Eropa juga sedikit banyak berpengaruh pada Indonesia. Walaupun waktu transmisi cukup panjang dan magnitude yang relatif kecil dibanding krisis global, namun terjadi aksi risk aversion di pasar keuangan domestik dengan pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 1,04 persen pada tanggal 6 Mei 2010, karena investor mulai melepas kepemilikan surat berharga di pasar domestik Indonesia. Nilai imbal hasil (yield) SBN untuk seri benchmark mengalami kenaikan rata-rata hampir 50 bps pada penutupan perdagangan tanggal 6 Mei 2010. Indeks SUN juga menunjukkan penurunan sebesar 1,64 poin pada tanggal yang sama. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-57
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Selain berdampak pada pasar obligasi, dampak krisis juga berpengaruh pada pasar modal dengan adanya pihak asing melakukan aksi jual saham besar-besaran sehingga menurunkan indeks harga saham hingga lebih dari 15 persen. Namun, pelemahan pasar keuangan domestik terlihat sementara dan tidak berlangsung lama karena hanya dalam beberapa hari kondisi pasar SBN terlihat memiliki tren yang menguat. Para investor asing yang sebelumnya mengurangi porsi kepemilikan terlihat kembali membeli SBN di pasar domestik. Hal-hal yang menjadi faktor pendorong pemulihan kondisi pasar keuangan domestik antara lain: 1.
Kondisi fundamental ekonomi yang cukup solid seperti inflasi yang cukup terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang berjalan dengan baik yang diprediksi di kisaran 5,8 persen sampai dengan akhir tahun 2010, termasuk utang yang relatif terkendali yang ditunjukkan oleh Debt to GDP ratio yang memiliki tren menurun sehingga mencapai kisaran 28 persen, jauh lebih kecil dibanding debt to GDP ratio negara-negara maju. 2. Yield SBN domestik yang cukup menarik dibanding dengan peer countries seiring dengan relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya tekanan inflasi. Selain berdampak pada pasar domestik, krisis Eropa juga berdampak pada instrumen obligasi global Indonesia. Ketidakpastian penanganan krisis Eropa mendorong pelemahan terhadap obligasi global Indonesia. Pada tanggal 6 Mei 2010 yield obligasi global Indonesia bertenor 10 tahun meningkat 18 bps ke level 5,64. Sedangkan untuk obligasi global yang bertenor 30 tahun mengalami kenaikan sebesar GRAFIK VI.16 14 bps. Persepsi risiko investor atas PENGARUH KRISIS EROPA TERHADAP YIELD SBN DOMESTIK credit default swap Indonesia juga naik sebesar 43,87 bps dibanding hari sebelumnya. Hal ini mencerminkan kekhawatiran investor terutama terhadap aset berisiko seperti aset emerging market. 10.5
9500
Tanggal 6 Mei: ▲yield FR0027 = naik 42 bps ▲yield FR0031 = naik 50 bps ▲kurs rupiah = melemah Rp 95 (1,04%)
10
9400
9.5
9300
9
9200
8.5
9100
8
7.5
9000
Kurs Rupiah FR0027 (5 tahun) FR0031 (10 tahun)
8900
6/ 9/ 20 10
4/ 1/ 20 10 4/ 12 /2 01 0 4/ 21 /2 01 0 4/ 30 /2 01 0 5/ 11 /2 01 0 5/ 20 /2 01 0 5/ 31 /2 01 0
3/ 2/ 20 10 3/ 11 /2 01 0 3/ 23 /2 01 0
2/ 1/ 20 10 2/ 10 /2 01 0 2/ 19 /2 01 0
8800
1/ 1/ 20 10 1/ 12 /2 01 0 1/ 21 /2 01 0
7
Sumber: Kementerian Keuangan
GRAFIK VI.17 PENGARUH KRISIS EROPA TERHADAP YIELD SBN GLOBAL 8
290 Tanggal 6 Mei 2010: ▲yield INDON10Y = naik 18 bps ▲yield INDON30Y = naik 14 bps ▲CDS 10Y = naik 43,87 bps
270
7
250 6 230 5 210 4 190
170
CDS 10Y INDON10Y INDON30Y
3
Sumbe r: Ke menterian Ke uangan
VI-58
6/ 1/ 20 10 6/ 10 /2 01 0
5/ 3/ 20 10 5/ 12 /2 01 0 5/ 21 /2 01 0
4/ 2/ 20 10 4/ 13 /2 01 0 4/ 22 /2 01 0
3/ 3/ 20 10 3/ 15 /2 01 0 3/ 24 /2 01 0
2 2/ 2/ 20 10 2/ 11 /2 01 0 2/ 22 /2 01 0
1/ 13 /2 01 0 1/ 22 /2 01 0
150
Seperti halnya pasar domestik, risk appetite investor global juga cepat pulih yang terlihat dari turunnya yield obligasi global Indonesia baik tenor 10 maupun 30 tahun dalam beberapa hari. Investor global menilai pengaruh krisis Eropa terhadap Indonesia tidak signifikan karena negara-negara UE bukan merupakan tujuan utama ekspor Indonesia di samping kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang cukup baik. Pengaruh krisis Eropa terhadap yield SBN Domestik dan SBN Global Indonesia dapat dillhat pada Grafik VI.16 dan Grafik VI.17.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
BOX VI. 6 SBN Ritel: Prospek dan Manfaatnya Penerbitan SBN Ritel ini tidak terlepas dari tujuan Pemerintah untuk memperluas basis investor SBN melalui penerbitan instrumen dengan karakteristik yang sesuai dengan karakteristik investor individu. Dengan menerbitkan SBN Ritel, selain memperoleh sumber pembiayaan APBN, Pemerintah juga menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengembangkan pasar ritel yang telah dibangun sejak tahun 2006. Tumbuhnya retail instrument telah mendorong investor untuk tidak lagi hanya berperan dominan sebagai saving society, namun dapat berperan lebih jauh sebagai investment society. Bagi investor, selain memberikan imbal hasil yang relatif lebih tinggi dari deposito, juga memperoleh instrumen investasi yang aman, sekaligus berkontribusi dalam pembangunan negara. Instrumen SBN Ritel yang saat ini diterbitkan oleh pemerintah terdiri dari Obligasi Negara Ritel (ORI) yang telah mencapai 7 seri dan Sukuk Negara Ritel (Sukri) yang hingga tahun 2010 mencapai 2 seri. TABEL VI.10 RASIO DANA PIHAK KETIGA (DPK) Keterangan Dana Pihak Ketiga di Perbankan/DPK (miliar rupiah) Outstanding SBN Ritel (miliar rupiah) Rasio DPK terhadap Outstanding SBN Ritel
2006
2007
2008
2009
1.287,0
1.510,7
1.753,3
1.973,0
3,3
18,9
34,6
45,7
1,25%
1,98%
2,32%
0,25%
Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n
Saat ini SBN Ritel telah menjadi alternatif yang cukup menarik bagi investor individu di samping instrumen lain seperti deposito, saham, obligasi korporasi, reksadana, unit link, dan berbagai macam produk perbankan lainnya, sehingga memberikan kesempatan kepada warga negara Indonesia untuk ikut serta berkontribusi secara langsung dalam pembiayaan pembangunan dengan berinvestasi melalui SBN Ritel. Perkembangan penerbitan SBN Ritel mulai tahun 2006 hingga saat ini, selalu terdapat penambahan jumlah investor yang berinvestasi dalam SBN Ritel. Hal ini menunjukkan bahwa program sosialisasi yang dilakukan pemerintah berhasil mengubah pola pikir masyarakat dari saving oriented menjadi investment oriented. Investor SBN Ritel sampai tahun awal 2010 telah mencapai 112.484 investor, yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Sedangkan kepemilikan SBN Ritel sebagian besar masih didominasi oleh perseorangan, hal ini menandakan bahwa investor SBN Ritel cenderung berinvestasi dengan pola hold to maturity. Dalam perjalanan waktu, SBN Ritel mampu menyerap 2,32 persen dari Dana Pihak Ketiga yang terdapat di perbankan. Melihat hal tersebut, masih besar kemungkinan terjadinya pengalihan dana dari tabungan ke SBN Ritel, atau munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan investasi di surat berharga selain produk tabungan yang ada. Manfaat dari penerbitan SBN Ritel, antara lain memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara, memperkaya instrumen pembiayaan fiskal, memperluas dan mendiversifikasi basis investor SBN, mendorong pertumbuhan dan pengembangan alternatif instrumen investasi di pasar keuangan, termasuk menciptakan benchmark di pasar keuangan baik konvensional maupun syariah.
6.3.2.3.3 Profil Kepemilikan SBN Domestik Sebagai instrumen keuangan yang bebas risiko yang ditransaksikan secara over the counter di dalam sistem devisa bebas, maka SBN Domestik diminati tidak hanya oleh investor domestik namun juga investor asing. Secara garis besar investor domestik terbagi dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-59
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
tiga kelompok besar, yaitu Bank, Institusi Pemerintah, dan Non-Bank. Kelompok Bank terdiri dari bank BUMN Rekap, Bank Swasta Rekap, Bank Non Rekap, BPD Rekap, dan Bank Syariah. Kelompok Institusi Pemerintah terdiri dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, termasuk Lembaga Penjamin Simpanan. Sedangkan kelompok Non-Bank meliputi dari Reksadana, Asuransi, Dana Pensiun, Sekuritas, dan Lain-Lain yang terdiri dari Korporasi, Lembaga Keuangan, Perorangan, Yayasan dan Investor lain yang tidak termasuk dalam kelompok yang telah disebutkan. Pada awal lahirnya obligasi negara pada akhir dekade 90-an, seluruh obligasi hanya dimiliki oleh Bank Rekap. Sejak mulai diperdagangkan pada akhir tahun 2000 dan setelah adanya Undang-Undang tentang Surat Utang Negara di akhir tahun 2002, kepemilikan obligasi Pemerintah makin tersebar. Dari ilustrasi dalam Tabel VI.11, dalam 5 tahun terakhir nominal SBN tradable berdenominasi rupiah untuk periode tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu sebesar Rp209,84 triliun (52 persen), sejalan dengan semakin pentingnya peran SBN sebagai instrumen fiskal dan keuangan. Dari ketiga kelompok kepemilikan SBN, kepemilikan bank mengalami penurunan sebesar Rp53,60 triliun atau 18,37 persen dari akhir tahun 2005 sampai bulan Mei 2010. Sebaliknya, kepemilikan Institusi Pemerintah dan Non Bank mengalami kenaikan masing-masing sebesar Rp10,55 triliun atau 100,26 persen dan Rp252,49 triliun atau 253,32 persen dari akhir tahun 2005 sampai bulan Mei 2010. Untuk kepemilikan lain-lain tercatat kenaikan jumlah kepemilikan SBN TABEL VI.11 * KEPEMILIKAN SBN BERDASARKAN INVESTOR SBN DOMESTIK (akhir Desember 2005 dan akhir Mei 2010) (triliun rupiah) Kelompok Industri I.
Bank a. Bank BUMN Rekap b. Bank Swasta rekap c. Bank Non Rekap d. BPD Rekap e. Bank Syariah II. Institusi Pemerintah a. Bank Indonesia b. Kementerian Keuangan III. Non-Bank a. Reksadana b. Asuransi c. Asing d. Dana Pensiun e. Sekuritas f. Lain-lain Total
Nominal Des-05 Mei-05 289,7 236,4 154,5 137,8 85,4 55,2 45,8 38,7 4,0 2,3 2,6 10,5 21,1 10,5 21,1 99,7 352,2 9,1 47,3 32,3 77,2 31,1 144,1 22,0 37,5 0,5 0,3 4,7 45,8 399,8
609,7
Persentase Growth (%) Des-05 Mei-10 72,4 38,8 (18,4) 38,6 22,6 (10,9) 21,4 9,0 (35,4) 11,5 6,3 (15,5) 1,0 0,4 (41,7) 0,4 2,6 3,5 100,3 2,6 3,5 100,3 24,9 57,8 253,3 2,3 7,8 418,6 8,1 12,7 139,1 7,8 23,6 363,5 5,5 6,2 70,4 0,1 0,0 (45,7) 1,2 7,5 878,0 100
100,0
52,5
* SBN tradable berdenominasi Rupiah Sumber: Kementerian Keuangan
VI-60
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
yaitu dari Rp4,68 triliun pada akhir tahun 2005 menjadi Rp45,77 triliun pada bulan Mei 2010 atau naik sebesar 878,78 persen yang didorong terutama oleh meningkatnya kepemilikan SBN oleh investor individu melalui obligasi negara ritel. Perkembangan kepemilikan SBN tradable berdenominasi rupiah dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Perbankan Pada awalnya, SBN yang diterbitkan hanya untuk perbankan yang masuk dalam program rekapitalisasi perbankan dalam rangka pemulihan sektor perbankan pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Namun, seiring dengan perbaikan kondisi makro ekonomi, kepemilikan SBN oleh perbankan khususnya bank rekap mengalami penurunan yang signifikan karena sebagian dari aset bank yang sebelumnya dalam bentuk SBN telah diperjualbelikan sejak akhir tahun 2000 agar bank rekap dapat memainkan fungsi intermediaries dalam menyalurkan kredit. Hampir semua kelompok industri perbankan mencatat penurunan jumlah kepemilikan SBN, kecuali Bank Syariah yang naik Rp2,55 triliun atau 0,42 persen setelah diperkenalkannya surat utang berbasis syariah. 2. Institusi Pemerintah Dalam kelompok institusi Pemerintah, Bank Indonesia merupakan salah satu investor. Kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia digunakan sebagai instrumen pengendali moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan yang berkesinambungan. 3. Non-Bank Minat investor terhadap SBN semakin meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian Indonesia. Institusi seperti asuransi dan dana pensiun terutama life insurance, memerlukan penempatan dana kelolaannya pada instrumen yang stabil, bebas risiko, dan mampu memenuhi asset against liabilities matching. Dalam kondisi perekonomian yang membaik, pertumbuhan aset institusi seperti dana pensiun dan asuransi akan menunjukkan kecenderungan yang searah perkembangan kondisi perekonomian. Di masa lalu dalam ketiadaan instrumen, asuransi dan dana pensiun akan cenderung menempatkan dana kelolaannya pada instrumen tabungan terutama dalam bentuk deposito. Seiring dengan makin kayanya instrumen, pemahaman pada investasi yang makin baik, dan transaksi pasar sekunder yang makin likuid yang diimbangi dengan infrastruktur peraturan yang mendukung, telah mendorong asuransi dan dana pensiun untuk menempatkan dana kelolaannya pada SBN. Dari data yang ada, hingga akhir 2009, sekitar 26 persen dana kelolaan dari industri dana pensiun ditempatkan pada SBN. Sementara untuk asuransi pada waktu yang sama sekitar 28 persen dialokasikan penempatannya pada SBN. Asuransi dan dana pensiun telah menjadikan SBN sebagai tempat penempatan sesuai profil liabilitiesnya dengan jumlah kepemilikan SBN bertenor panjang (lebih dari 10 tahun). Data akhir Mei 2010 menunjukkan, asuransi dan dana pensiun menempatkan masing-masing sebesar Rp51,78 triliun (67 persen) dan Rp18,05 triliun (48 persen) pada instrumen jangka panjang. Kelompok industri reksadana, asuransi dan dana pensiun menunjukkan minat yang besar terhadap SBN. Berdasarkan data per Desember 2009, total dana yang diinvestasikan kelompok industri reksadana, asuransi, dan dana pensiun dalam bentuk SBN masing-masing sebesar Rp35,2 triliun (35 persen), Rp78,3 triliun (28 persen), dan Rp28,5 triliun (26 persen) dari total aset yang dimiliki. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-61
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Industri reksadana dan investor perseorangan yang termasuk ke dalam kelompok industri lain-lain menunjukkan persentase pertumbuhan yang paling tinggi yaitu 574,42 persen. Kenaikan yang signifikan ini berasal dari penerbitan ORI yang dilakukan Pemerintah sejak tahun 2006. Jumlah investor perseorangan dan unit penyertaan yang berbasis obligasi negara dalam industri reksadana juga akan terus bertambah seiring dengan penerbitan ORI yang akan terus dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan basis investor di dalam negeri. Berbeda dengan kelompok industri asuransi dan dana pensiun, kelompok industri lain-lain lebih banyak berinvestasi pada SBN yang bertenor pendek. Rating Indonesia yang secara bertahap meningkat dalam enam tahun terakhir telah mendorong investor asing masuk ke Indonesia. Bahkan kelompok industri asing menjadi yang paling dominan meskipun pada awal penerbitan SBN tahun 2002, jumlah kepemilikan Asing atas SBN hanya sebesar Rp1,91 triliun atau 0,48 persen saja, yang secara bertahap terus menunjukkan peningkatan hingga lebih dari 20 persen dari total outstanding yang diperdagangkan pada pertengahan tahun 2008. Pada saat terjadi krisis global bulan Oktober 2008, investor asing menarik dananya di SBN secara bertahap hingga mencapai titik terendahnya pada kuartal pertama 2009. Efek dari krisis global tersebut tidak berlangsung lama karena kuatnya fundamental perekonomian domestik dan masih cukup menariknya yield yang diberikan. Memasuki kuartal kedua 2009, investor asing kembali masuk ke pasar modal dan membeli SBN. Berdasarkan data kepemilikan SBN Domestik bulan Mei 2010, jumlah kepemilikan investor asing atas SBN mencapai Rp144,09 triliun atau 23,63 persen dari total jumlah SBN tradable. Meningkatnya jumlah SBN yang dipegang investor asing perlu dicermati dengan seksama, karena sebagian besar investor domestik masih bertindak mengikuti langkah-langkah yang dilakukan investor asing, misalnya jika investor asing melepas SBN, investor domestik pun akan ikut melepas SBN. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh kepada kestabilan harga SBN domestik di pasar sekunder. Berkaitan dengan semakin meningkatnya porsi kepemilikan SBN domestik oleh investor asing, maka Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan basis investor di dalam negeri dan salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerbitkan SBN Ritel sejak tahun 2006. BOX VI.7 Deklarasi Paris tentang Aid Effectiveness 2005, Accra Agenda for Action (AAA) 2008 dan Jakarta Commitment 2009 Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Harmonisasi pada High Level Forum (HLF) I di Roma pada tahun 2003, lebih dari 120 negara dan 30 organisasi internasional telah mendeklarasikan 5 (lima) prinsip peningkatan Aid Effectiveness, pada HLF II di Paris 2005. Kelima prinsip tersebut dikenal menjadi Deklarasi Paris 2005, terdiri dari: (1) ownership; (2) harmonization, (3) alignment, (4) mutual accountability, dan (5) development result. Evaluasi atas pelaksanaan lima prinsip dimaksud, menunjukkan bahwa Deklarasi Paris, telah memberikan pengaruh nyata dalam: a) mendorong negara berkembang melakukan perubahan dalam pengelolaan keuangan negara, dan b) mendorong negara maju untuk meningkatkan koordinasinya. Namun perubahan tersebut terjadi relatif lambat dan tanpa aksi konkrit, sehingga komitmen untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan aid effectiveness akan sulit terpenuhi. Dalam rangka menjawab tantangan ke depan guna meningkatan akselerasi pelaksanaan 5 (lima) prinsip Aid Effectiveness, ketika kegiatan HLF III di Accra 2008, telah disepakati untuk memfokuskan upaya pada: VI-62
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
1.
Bab VI
Peningkatan country ownership sebagai kunci utama, antara lain melalui: a. Komitmen negara berkembang dengan dukungan aktor pembangunan (Parlemen; Pemerintah Daerah; Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk (i) meningkatkan kapasitasnya guna memimpin penetapan kebijakan dan tujuan pembangunan nasional, (ii) memonitor pelaksanaan pembangunan nasional yang mencakup peningkatan kesejahteraan dengan pengentasan kemiskinan, HAM, isu gender, lingkungan, serta ikut serta menciptakan perdamaian, guna mempercepat pencapaian MDG’s. b. Komitmen negara donor untuk meningkatkan kapasitasnya guna merespon kebutuhan negara berkembang, mengadopsi pendekatan demand driven guna meningkatkan ownership untuk mendukung (i) penetapan prioritas dan pencapaian tujuan pembangunan, (ii) peningkatan kapasitas aktor pembangunan, (iii) penguatan kelembagaan melalui partisipasi di dalam proses penetapan kebijakan pembangunan, (iv) peningkatan penggunaan sistem lokal (alignment), dan lain-lain.
2.
Pembangunan hubungan kemitraan yang sejajar melalui : a. Komitmen negara donor dan negara berkembang untuk mengurangi aid fragmentation dengan memperbaiki duplikasi dan efektifitas divison of labour among donor (harmonization) tanpa berpengaruh pada pengurangan alokasi bantuan. b. Komitmen negara donor dan negara berkembang untuk meningkatkan value for money atas aid melalui pengurangan tied aid dengan cara antara lain penggunaan sistem pelelangan lokal sepanjang transparan dan memberi kesempatan bagi perusahaan lokal dan regional untuk ikut bersaing. c . Negara donor dan negara berkembang sepakat untuk bekerjasama dengan aktor pembangunan serta meningkatkan peran global fund dalam mendukung kebijakan dan penguatan kelembagaan di sektor pembangunan yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan.
3. Mewujudkan prinsip akuntabilitas untuk pembangunan yang berorientasi pada hasil sebagai road map peningkatan aid effectiveness melalui : a. Komitmen negara berkembang dan donor bahwa kegiatan pembangunan akan membawa dampak positif terhadap standar hidup sesuai yang diharapkan masyarakat; b. Negara berkembang dan donor akan saling transparan dan akuntabel, memonitor dan evaluasi atas pencapaian komitmen yang ditetapkan dalam (5) lima prinsip Aid Effectiveness dalam Deklarasi Paris 2005. Sejalan dengan semangat Deklarasi Paris 2005, dan sebagai amanat Accra Agenda for Action (AAA) 2008, pada tanggal 12 Januari 2008 Pemerintah RI dengan 25 mitra pembangunan, telah menandatangani the Jakarta Commitment: Road Map of Aid Development Effectiveness. Sekalipun merupakan suatu Memorandum of Understanding yang sifatnya morally binding, the Jakarta Commitment telah memberikan dampak positip terhadap perubahan sikap negara donor dalam pengadaan pinjaman dan bantuan luar negeri. Tantangan terbesar dari pelaksanaan dan pencapaian target yang tertuang di dalam the Jakarta Commitment datang dari perubahan paradigma manajemen pembangunan. Dalam konteks terkini, foreign aid seringkali hanya dipahami secara sempit dalam perannya sebagai pengisi kekurangan sumber daya keuangan. Sementara itu, dalam perspektif yang lebih luas, foreign aid adalah transfer sumber daya beserta intangible aspects lainnya yang dapat berperan untuk merubah existing resources di negara penerima menjadi sumber daya baru yang memang berkesesuaian dengan tujuan pembangunan. Di samping itu, foreign aid dapat dipandang sebagai pelengkap penguatan institusi yang menjadi tumpuan pencapaian tujuan-
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-63
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
tujuan pembangunan yang pada gilirannya memungkinkan pembaharuan strategi pembangunan serta menumbuhkan inovasi yang relevan dan dapat diterapkan dalam konteks lokal.
6.3.2.3.4 Pembiayaan Alat Utama Sistem Persenjataan Melalui Pinjaman Pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI dan Alut POLRI selain dibiayai dengan rupiah murni APBN, juga dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Oleh karena pinjaman lunak pada umumnya terbatas untuk kegiatan di luar sektor pertahanan dan keamanan (infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain-lain), maka sumber pembiayaan pengadaan Alutsista dan Alut POLRI didapatkan melalui Fasilitas Kredit Ekspor (FKE) dan pinjaman komersial. Sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006, pembiayaan alutsista dan alut POLRI diutamakan dengan memanfaatkan FKE resmi yang disediakan oleh lembaga penjamin kredit ekspor dari negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development’s (OECD’s) Arrangement. Pinjaman dimaksud mengandung subsidi dari negara yang bersangkutan guna mendukung kegiatan ekspornya. Dalam skema FKE resmi, negara-negara pengekspor memberikan kompensasi kepada bank pemberi kredit atas perbedaan interest rate yang diberikan kepada negara importirnya/peminjam dan interest rate yang berlaku di pasar. Dengan demikian, pinjaman kepada negara importirnya memiliki biaya (cost of borrowing) yang relatif lebih murah dibandingkan pinjaman komersial di pasar keuangan. Namun, dalam hal tidak diperolehnya sumber pembiayaan dari FKE resmi, maka pengadaan Alutsista dapat dibiayai dengan pinjaman komersial. Pinjaman komersial berasal dari bank komersial terkemuka dan bertaraf internasional. Faktor yang menyebabkan tidak diperolehnya pembiayaan melalui FKE resmi adalah bahwa tidak semua negara terdaftar dalam keanggotaan OECD’s Arrangement dan konsensus OECD’s Arrangement, FKE resmi tidak boleh diberikan untuk pembelian peralatan militer yang bersifat lethal/combatant (seperti rudal, peluru, dan sejenisnya). Dari sisi biaya, FKE resmi dan pinjaman komersial mempunyai cost of borrowing yang relatif lebih mahal dibandingkan sumber pembiayaan multilateral dan bilateral. Oleh karena itu, Pemerintah hanya memanfaatkan pinjaman tersebut untuk membiayai pengadaan Alutsista dan Alut POLRI yang menjadi prioritas utama. Sebagai alternatif pembiayaan selain dari FKE resmi dan pinjaman komersial, telah diupayakan sumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri, yaitu pinjaman dalam negeri dari bank-bank BUMN sesuai kebijaksanaan Pemerintah yang diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2008. Sumber pembiayaan ini disamping diharapkan dapat meningkatkan mutu serta kapasitas produk Alutsista dan Alut POLRI di dalam negeri, juga diharapkan dapat meningkatkan fleksibilitas dalam pengelolaan utang serta mengurangi risiko mata uang utang Pemerintah.
6.3.2.3.5 Akselerasi Pembayaran Pinjaman IDA Salah satu instrumen pinjaman dari World Bank yang dimanfaatkan oleh Pemerintah adalah International Development Association (IDA) Credit. IDA Credit (pinjaman IDA) merupakan pinjaman dengan concessional terms yang ditujukan khususnya bagi negara dengan Gross National Product (GNP) per capita rendah (Low Income Country). Dalam portofolio utang Pemerintah per akhir Juni 2010, terdapat pinjaman IDA sebesar USD2,19 miliar atau sekitar 1,1persen dari total outstanding utang Pemerintah. VI-64
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Sejak tahun 2008 Indonesia sudah tidak lagi mendapat pinjaman IDA karena telah digolongkan ke dalam Middle Income Country dan hanya berhak memperoleh pinjaman International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dengan semi-concessional terms. Dalam loan agreement pinjaman IDA yang ditandatangani sesudah tahun 1987 terdapat klausul bahwa World Bank mempunyai hak untuk meminta dilakukannya akselerasi pelunasan pinjaman IDA kepada debitur apabila GNP per capita-nya telah melebihi threshold USD1.135 selama tiga tahun berturut-turut (threshold tahun 2010) serta memenuhi kriteria sebagai debitur IBRD. Indonesia dalam hal ini telah memenuhi kondisi dimaksud sejak tahun 2009. Terkait dengan ketentuan dalam loan agreement tersebut, terdapat dua pilihan akselerasi pinjaman IDA yang dapat dilakukan debitur, yakni (1) Principal option yang mengubah tenor pinjaman menjadi lebih pendek dengan meningkatkan pembayaran pokok dua kali lipat pembayaran dengan skedul normal; atau (2) Interest option yang mengubah ketentuan suku bunga pinjaman, dimana debitur melakukan tambahan pembayaran beban bunga agar Net Present Value (NPV) dari cashflow pembayaran pokok dan bunga pada skedul opsi ini sama dengan NPV skedul Principle option. Dari jumlah pinjaman IDA yang dimiliki Pemerintah, sekitar USD1,51 milar (69 persen) memiliki ketentuan dilakukannya akselerasi dimaksud. Dengan adanya akselerasi dimaksud, diharapkan akan meningkatkan ketersediaan dana pinjaman IDA yang dapat dipinjamkan World Bank kepada negara miskin dan negara berkembang yang membutuhkan.
6.4 Risiko Fiskal 6.4.1 Analisis Sensitivitas 6.4.1.1 Sensitivitas Defisit APBN terhadap Perubahan Asumsi Ekonomi Makro Dalam penyusunan APBN, indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP), dan lifting minyak. Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan penghitungan besaran-besaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda dengan asumsinya, maka besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan berubah. Oleh karena itu, variasi-variasi ketidakpastian dari indikator ekonomi makro merupakan faktor risiko yang akan memengaruhi APBN. Tabel VI.12 menunjukkan selisih antara perkiraan awal besaran asumsi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN dan realisasinya untuk tahun 2005-2009. Selisih tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan antara target defisit dengan realisasinya. Apabila realisasi defisit melebihi target defisit yang ditetapkan dalam APBN maka hal tersebut merupakan risiko fiskal yang harus dicarikan sumber pembiayaannya. Risiko fiskal akibat variasi asumsi ekonomi makro dapat digambarkan dalam bentuk analisis sensitivitas parsial terhadap angka baseline defisit dalam APBN. Analisis sensitivitas parsial
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-65
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
TABEL VI.12 SELISIH ANTARA ASUMSI EKONOMI MAKRO DAN REALISASINYA* Uraian Pertumbuhan ekonomi (%) Inflasi (%) Tingkat suku bunga SBI 3 bulan (%) Nilai tukar (Rp/USD) ICP (USD/barel) Produksi miny ak (juta barel per hari)
2005
2006
2007
2008
2009
2010**
0,2
-0,32
0
-0,2
0,2
0
1 1 ,6
-1 ,4
0,6
4,9
-1 ,7
-0,3
2,6
-0,3
0
1 ,8
0,1
0,1
1 2,85
-237
90
591 ,1
-92
-7
27 ,8
-0,2
9,7
1 ,8
0,6
-2
-0,1
-0,04
-0,05
0
-0,08
-0,006
* A n g k a posit if m en u n ju k k a n r ea lisa si lebih t in g g i da r ipa da a su m si a n g g a r a n . Un t u k n ila i t u k a r , a n g ka posit if m en u n ju k ka n depr esia si. ** Mer u pa k a n selisih a n t a r a A PBN-P 2 0 1 0 da n r ea lisa si s.d. A k h ir Ju n i 2 0 1 0 Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n .
digunakan untuk melihat dampak perubahan atas satu variabel asumsi ekonomi makro, dengan mengasumsikan variabel asumsi ekonomi makro yang lain tidak berubah (ceteris paribus). Pertumbuhan ekonomi memengaruhi besaran APBN, baik pada sisi pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, pertumbuhan ekonomi antara lain memengaruhi penerimaan pajak, terutama PPh dan PPN. Pada sisi belanja negara, pertumbuhan ekonomi antara lain memengaruhi besaran nilai dana perimbangan dalam anggaran transfer ke daerah sebagai akibat perubahan pada penerimaan pajak. Pada tahun anggaran 2011, apabila pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih rendah 1 persen dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp4,4 triliun sampai dengan Rp4,9 triliun. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat memiliki dampak pada semua sisi APBN, baik pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Pada sisi pendapatan negara, depresiasi nilai tukar rupiah antara lain akan memengaruhi penerimaan minyak dan gas bumi (migas) dalam denominasi dolar Amerika Serikat serta PPh migas dan PPN. Pada sisi belanja negara, yang akan terpengaruh antara lain (1) belanja dalam mata uang asing; (2) pembayaran bunga utang luar negeri; (3) subsidi BBM dan listrik; dan (4) transfer ke daerah dalam bentuk dana bagi hasil migas. Sedangkan pada sisi pembiayaan, yang akan terkena dampaknya adalah (1) pinjaman luar negeri baik pinjaman program maupun pinjaman proyek; (2) pembayaran cicilan pokok utang luar negeri; dan (3) privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan yang dilakukan dalam mata uang asing. Pada tahun anggaran 2011, apabila nilai tukar rupiah rata-rata per tahun terdepresiasi sebesar Rp100,0 dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,38 triliun sampai dengan Rp0,42 triliun. Tingkat suku bunga yang digunakan sebagai asumsi penyusunan APBN adalah tingkat suku bunga SBI 3 bulan. Perubahan tingkat suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan hanya akan berdampak pada sisi belanja. Dalam hal ini, peningkatan tingkat suku bunga SBI 3 bulan akan berakibat pada peningkatan pembayaran bunga utang domestik. Pada tahun anggaran 2011, apabila tingkat suku bunga SBI 3 bulan lebih tinggi 0,25 persen dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,3 triliun sampai dengan Rp0,5 triliun. VI-66
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) memengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi pendapatan negara, kenaikan ICP antara lain akan mengakibatkan kenaikan pendapatan dari kontrak production sharing (KPS) minyak dan gas dalam bentuk PNBP. Peningkatan harga minyak dunia juga akan meningkatkan pendapatan dari penerimaan PPh migas dan penerimaan migas lainnya. Pada sisi belanja negara, peningkatan ICP antara lain akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke daerah. Pada tahun anggaran 2011, apabila rata-rata ICP lebih tinggi USD1 per barel dari angka yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp0,0 triliun sampai dengan negatif Rp0,3 triliun (surplus). Penurunan lifting minyak domestik juga akan memengaruhi APBN pada sisi pendapatan dan belanja negara. Pada sisi pendapatan, penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan PPh migas dan PNBP migas. Sementara pada sisi belanja negara penurunan lifting minyak domestik akan menurunkan dana bagi hasil ke daerah. Pada tahun anggaran 2011, apabila realisasi lifting minyak domestik lebih rendah 10.000 barel per hari dari yang diasumsikan, maka tambahan defisit pada RAPBN 2011 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp3,0 triliun sampai dengan Rp3,34 triliun. Variabel lain yang berpengaruh terhadap besaran defisit adalah volume konsumsi BBM domestik. Peningkatan konsumsi BBM domestik sebesar 0,5 juta kiloliter berpotensi menambah defisit RAPBN 2011 pada kisaran Rp1,14 triliun sampai dengan Rp1,25 triliun. Dari analisis sensitivitas di atas maka besaran risiko fiskal berupa tambahan defisit yang berpotensi muncul dari variasi asumsi-asumsi variabel ekonomi makro yang digunakan untuk menyusun RAPBN 2011 dapat digambarkan dalam Tabel VI.13. TABEL VI.13 SENSITIVITAS DEFISIT APBN 2011 TERHADAP PERUBAHAN ASUMSI EKONOMI MAKRO
No.
Uraian
2011
Satuan Perubahan Asumsi
Asumsi
*
Potensi Tambahan Defisit (triliun rupiah)
1
Pertumbuhan ekonomi (%)
-1
6,3
4,4 s.d. 4,9
2
Tingkat inflasi (%)
0,1
5,3
Tidak langsung
3
Rata-rata nilai Tukar Rupiah (Rp/USD)
100
9.300
0,38 s.d. 0,42
4
Suku bunga SBI-3 bulan (%)
0,25
6,5
0,3 s.d o,5
5
ICP (USD/barel)
1
80
0,0 s.d. 0,3
6
Lifting minyak (ribu barel/hari)
-10
970
3,00 s.d. 3,34
7
Konsumsi BBM domestik (juta kiloliter)
0,5
36,8
1,14 s.d. 1,25
*) Defisit RAPBN Tahun 2011 adalah Rp115,7 triliun. Sumber: Kementerian Keuangan.
6.4.1.2
Sensitivitas Risiko Fiskal Badan Usaha Milik Negara Akibat Perubahan Variabel Ekonomi Makro
Risiko fiskal yang bersumber dari BUMN terdiri dari: (i) kontribusi bersih BUMN; (ii) nilai utang bersih BUMN; dan (iii) kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Risiko-risiko tersebut dapat dibedakan sebagai risiko yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Risiko yang Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-67
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
bersifat langsung berupa kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, dimana setiap perubahan kinerja BUMN dapat mempengaruhi postur besaran APBN. Sedangkan yang bersifat tidak langsung berupa kemampuan BUMN untuk memenuhi seluruh kewajibannya yang diukur dari nilai utang bersih BUMN dan kapasitas untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan guna mendanai investasi dalam rangka pengembangan usahanya yang diukur dari kebutuhan pembiayaan bruto. GRAFIK VI.18 PERKEMBANGAN KONTRIBUSI BERSIH BUMN, 2005 – 2010 (triliun rupiah) 150 100 50 0 -50
2005
2006
2007
2008
2009
APBN-P 2010
-100 -150 -200 -250 Pajak
deviden
Privatisasi
PSO
PMN
Pinjaman
Kontribusi Bersih BUMN
Sumbe r: Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara BUMN (data d iolah)
GRAFIK VI.19 PERKEMBANGAN NILAI UTANG BERSIH BUMN, 2005-2009 (triliun rupiah)
Kontribusi bersih BUMN, merupakan selisih antara penerimaan negara dari BUMN (seperti pendapatan pajak, pendapatan bukan pajak, dan privatisasi) dibandingkan dengan pengeluaran negara kepada BUMN (seperti penyertaan modal negara, kompensasi PSO/ subsidi, dan pinjaman kepada BUMN). Perkembangan kontribusi bersih BUMN selama periode tahun 2005 sampai dengan 2010 menunjukkan selisih negatif dan berfluktuasi dapat dilihat pada Grafik VI.18. Nilai utang bersih BUMN, merupakan total kewajiban BUMN dikurangi dengan ketersediaan kas dan aset lancar. Nilai utang bersih ini tidak berpengaruh langsung ke APBN, tetapi dapat menjadi kewajiban kontinjensi Pemerintah apabila terdapat BUMN yang gagal bayar dalam memenuhi kewajibannya. Perkembangan total utang bersih BUMN tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.19.
Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN, merupakan kebutuhan pendanaan untuk mendanai aset akibat sumber-sumber pendanaan yang telah tersedia tidak dapat GRAFIK VI.20 PERKEMBANGAN KEBUTUHAN PEMBIAYAAN BRUTO BUMN memenuhi. Untuk itu BUMN perlu (CAPITAL EXPENDITURE), 2005 – 2010 menerbitkan surat utang atau pun saham baru. Hal ini juga tidak berpengaruh langsung kepada Pemerintah, kecuali perusahaan memiliki investasi yang wajib dilakukan namun tidak memiliki akses sumber pembiayaan yang memadai seperti program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik batubara 10.000 MW oleh PT Sumbe r: Ke menterian Ne gara BUMN (data d iolah) PLN (Persero). Proyek percepatan tersebut membutuhkan dukungan Pemerintah untuk mendapatkan pinjaman dari pihak ketiga. Perkembangan kebutuhan pembiayaan bruto BUMN tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Grafik VI.20. Sumber: Kementerian Ne gara BUMN (data diolah)
Perubahan besaran risiko fiskal dari BUMN dipengaruhi oleh pergerakan variabel asumsi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan harga minyak. Pergerakan VI-68
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
variabel-variabel ekonomi makro tersebut akan menimbulkan dampak pada kinerja keuangan BUMN yang pada akhirnya dapat memengaruhi besaran indikator risiko fiskal dari BUMN. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan tersebut Pemerintah telah melakukan pengujian sensitivitas atau macro stress test dengan menggunakan beberapa indikator risiko fiskal yang meliputi: (i) kontribusi bersih BUMN; (ii) nilai utang bersih BUMN; dan (iii) kebutuhan pembiayaan bruto BUMN. Pengujian sensitivitas ini akan memberikan gambaran tentang (i) magnitude risiko dari BUMN yang memengaruhi APBN, (ii) informasi dini risiko fiskal, dan (iii) gambaran risiko sektoral, sehingga dapat diambil tindakan dini dan antisipasi terhadap gejala risiko fiskal. Sejak tahun 2009 simulasi macro stress test dilakukan dengan menggunakan sampel 22 BUMN dari berbagai sektor dengan kriteria (i) BUMN penghasil laba terbesar, (ii) BUMN penyebab rugi terbesar, (iii) BUMN penerima PSO/subsidi terbesar, dan (iv) BUMN yang mewakili sektor dalam perekonomian Indonesia. Perubahan atas 22 BUMN ini diharapkan dapat mencerminkan perubahan total BUMN yang berjumlah 141 BUMN. Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat lebih mewakili eksposur risiko fiskal yang berasal dari BUMN. Model macrostress test risiko fiskal BUMN menyajikan dua hasil utama yaitu analisis skenario dan stress test. Analisis skenario menggambarkan tingkat ketidakpastian indikator risiko fiskal masing-masing BUMN maupun agregasinya pada tiga skenario yakni (i) baseline, (ii) optimistis, dan (iii) pesimistis. Sedangkan stress test menyajikan perubahan relatif atas indikator risiko fiskal BUMN jika terjadi goncangan atau tekanan faktor risiko. Skenario baseline, menggambarkan kondisi ekonomi makro sesuai dengan asumsi APBN, seperti pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,3 persen, harga ICP USD80 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp9.300. Pada skenario ini, kontribusi bersih BUMN terhadap RAPBN 2011 menunjukkan nilai negatif sebesar Rp65,9 triliun. Skenario optimistis, variabel-variabel ekonomi makro diasumsikan berada pada posisi optimal yang paling mungkin terjadi, seperti pertumbuhan ekonomi tahun 2011 sebesar 6,5 persen, harga ICP relatif rendah pada USD60 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar diasumsikan pada kisaran Rp9.400. Pada kondisi makro yang kondusif ini, tekanan risiko fiskal dari BUMN akan berkurang yang ditandai dengan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN sebesar Rp15,5 triliun. Skenario pesimistis, menunjukkan kondisi ekonomi makro berada pada posisi buruk yang paling mungkin terjadi, seperti untuk tahun 2011, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,0 persen, tingginya harga ICP sebesar USD95 per barel dan depresiasi rupiah terhadap dolar yang sangat tinggi hingga mencapai Rp10.000. Pada skenario ini, tekanan risiko fiskal dari BUMN akan meningkat yang ditandai dengan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN sebesar negatif Rp115,9 triliun. Kondisi ini akan memberikan tekanan terhadap belanja APBN khususnya kenaikan besaran PSO/subsidi yang dibayarkan Pemerintah melalui BUMN. Selain itu, biaya produksi operasional BUMN akan mengalami kenaikan sehingga akan mengurangi kontribusi BUMN terhadap APBN melalui penerimaan pajak dan setoran dividen. Risiko fiskal juga muncul sebagai akibat peningkatan nilai utang bersih BUMN karena sebagian besar biaya operasional dan komposisi utang BUMN dalam bentuk mata uang asing. Hasil analisis skenario risiko fiskal BUMN agregasi seperti pada Grafik VI.21 dan Tabel VI.14. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-69
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
GRAFIK VI.21 ANALISIS SKENARIO FISKAL BUMN AGREGASI Nilai Utang Bersih BUMN
Kontribusi Bersih terhadap APBN 50,00
1.400,00 1.200,00
2011
2012
2013
Trilun rupiah
Triliun rupiah
2010 (50,00) (100,00)
1.000,00 800,00 600,00 400,00 200,00
(150,00)
2010
(200,00) Baseline
Optimistis
2011
Baseline
Pesimistis
2012
Optimistis
2013
Pesimistis
Kebutuhan Pembiayaan Bruto 160,00
Triliun rupiah
140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 2010 Baseline
2011 Optimistis
2012
2013
Pesimistis
Sumber: Ke menterian Ke uangan (data diolah) TABEL VI.14 KONTRIBUSI BERSIH TERHADAP APBN (miliar rupiah) No
Skenario baseline
Uraian 2010
1
2012
2013
7 1 .503
1 7 1 .581
94.820
a. PPH Badan
35.41 8
1 29.1 45
46.7 88
1 1 5.064
b. PPN
82.1 09
87 .7 1 4
1 01 .1 07
1 05.585
c. Roy alti / iuran
43.954
44.1 02
51 .047
47 .630
1 .324
1 .61 1
1 .7 48
1 .899
204.1 51
201 .349
241 .955
27 0.866
d. Pajak lainny a 2
2011
Pajak dibay ar Tunai
Subsidi dibay ar Tunai
1 7 0.823
3
Div iden kepada Pemerintah (tunai)
27 .969
31 .254
37 .832
41 .804
4
Transfer dari Pemerintah non-Subsidi
433
456
483
509
5
Bunga atas Hutang dari Pemerintah
47 7
429
37 9
329
6
Posisi Pinjaman Pemerintah
1 9.480
(67 .363)
25.625
(42.7 38)
(85.1 55)
(65.904)
(83.7 82)
(1 01 .1 56)
Posisi akhir Sumbe r: Ke menterian Ke uangan (data diolah)
VI-70
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Stress test beberapa variabel utama ekonomi makro terhadap risiko fiskal BUMN agregat dilakukan secara parsial, yaitu melihat dampak atas perubahan satu variabel ekonomi makro terhadap indikator risiko fiskal BUMN, dengan mengasumsikan variabel ekonomi makro lainnya tidak berubah (ceteris paribus). Dengan cara ini juga akan dapat diketahui variabel ekonomi makro yang mempunyai dampak paling besar dan signifikan terhadap risiko fiskal BUMN. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 20 persen mempunyai dampak sangat signifikan terhadap besaran subisidi/PSO, kinerja operasional dan neraca keuangan BUMN agregat. Kerentanan yang sangat besar ini disebabkan formula perhitungan subsidi/PSO memakai mata uang asing dan komposisi biaya operasional serta utang dalam mata uang asing yang sangat besar. Ini terlihat dengan bertambahnya nilai utang bersih BUMN sebesar Rp17,38 triliun pada tahun 2011 dan terus meningkat pada tahun berikutnya. Dengan meningkatnya nilai utang bersih tersebut, berarti kemampuan aktiva lancar BUMN dalam menanggung total kewajiban semakin menurun. Kondisi ini berpotensi terjadinya kemungkinan BUMN default dan tidak mampu membayar kewajiban utangnya. Selain itu depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga akan meningkatkan kebutuhan pembiayaan bruto BUMN, yang ditunjukkan pada tahun 2011 kebutuhan pembiayaan bruto BUMN bertambah sebesar Rp7,61 triliun agar BUMN tetap tumbuh. Terkait dengan hal ini terdapat BUMN yang mengalami kesulitan dalam mencari sumbersumber pembiayaan jika tanpa disertai dengan dukungan Pemerintah. Dampak yang dirasakan oleh BUMN ini pada akhirnya akan mengurangi kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi BUMN sebesar Rp69,48 triliun pada tahun 2011. Kenaikan harga minyak dunia sebesar USD25 per barel akan mendorong secara signifikan kenaikan biaya produksi, terutama pada BUMN di bidang energi, transportasi dan pupuk, serta bertambahnya besaran subsidi dari Pemerintah sehingga kontribusi bersih terhadap APBN semakin negatif. Dampak stress test ini mengakibatkan kontribusi bersih BUMN terhadap APBN pada tahun 2011 semakin negatif sebesar Rp80,99 triliun, sehingga tekanan terhadap fiskal semakin berat. Kenaikan subsidi/PSO ini terutama disebabkan oleh bertambahnya subsidi minyak dan listrik yang diberikan melalui PT Pertamina dan PT PLN. Kenaikan suku bunga sebesar 3 persen juga berdampak kepada fiskal walaupun tidak sebesar dampak dari depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan kenaikan harga minyak. Kenaikan suku bunga berdampak pada bertambahnya biaya yang ditanggung oleh BUMN sehingga akan mengurangi kontribusi bersih BUMN. Kenaikan suku bunga pada tahun 2011 akan menambah negatif kontribusi bersih BUMN sebesar Rp3,49 triliun begitu pula pada tahun berikutnya jika kenaikan masih terjadi. Penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen juga berdampak penurunan jumlah penjualan yang dapat diraih oleh BUMN, yang selanjutnya akan mengurangi kontribusi bersih BUMN sebesar Rp1,68 triliun. Adapun gambaran stress test perubahan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, harga minyak, dan tingkat bunga terhadap risiko BUMN dapat dilihat pada Tabel VI.15.
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-71
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
TABEL VI.15 STRESS TEST PERUBAHAN PERTUMBUHAN EKONOMI, NILAI TUKAR, HARGA MINYAK, DAN TINGKAT BUNGA TERHADAP RISIKO FISKAL Stress test depresiasi Rupiah terhadap dolar sebesar 20 persen (m iliar Rupiah)
No 1
V ariabel Shock Kontribusi bersih terhadap APBN
Dampak 201 1 201 2
201 0
201 3
(64.21 5)
(69.47 6)
(7 4.640)
(7 7 .025)
2
Nilai Utang bersih BUMN
24.422
1 7 .37 9
1 8.251
9.41 5
3
Kebutuhan pembiay aan bruto
25.242
(7 .61 2)
(7 1 )
(9.347 )
4
Subsidi
7 2.7 81
7 8.060
84.098
86.281
Stress test kenaikan harga minyak sebesar USD25 per barel (m iliar Rupiah)
No
V ariabel Shock
Dampak 201 1 201 2
201 0
201 3
1
Kontribusi bersih terhadap APBN
(82.91 0)
(80.995)
(92.1 88)
(90.630)
2
Nilai Utang bersih BUMN
4.7 24
2.386
1 .1 89
1 .469
3
Kebutuhan pembiay aan bruto
7 .87 9
(1 .7 64)
(1 .81 7 )
(1 .847 )
4
Subsidi
95.060
93.527
1 04.563
1 02.498
Stress test kenaikan suku bunga sebesar 3 persen (m iliar Rupiah)
No 1
V ariabel Shock Kontribusi bersih terhadap APBN
2
Nilai Utang bersih BUMN
3
Kebutuhan pembiay aan bruto
4
Subsidi
201 0
Dampak 201 1 201 2
201 3
(2.1 7 4)
(3.498)
(5.303)
(6.264)
521
7 44
945
1 .030
33
(1 35)
(53)
(40)
2.1 49
3.57 1
5.403
6.421
Stress test pertumbuhan ekonomi turun sebesar 1 persen (m iliar Rupiah)
No
V ariabel Shock
Dampak 201 0 201 1
201 2
(221 )
(1 .67 5)
(4.27 3)
(6.603)
2009
1
Kontribusi bersih terhadap APBN
2
Nilai Utang bersih BUMN
969
2.825
5.1 04
5.7 82
3
Kebutuhan pembiay aan bruto
(1 7 3)
254
340
43
4
Subsidi
(543)
(32)
1 .1 53
1 .627
Sum ber: Kem enterian Negara BUMN (data diolah)
VI-72
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
BOKS VI. 8 PT PERTAMINA (Persero) Kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) tahun 2009 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang terus meningkat. Rasio utang dan modal juga mengalami kenaikan, yang berarti bahwa peningkatan aktiva lebih banyak bersumber dari utang daripada modal sendiri. Walaupun demikian, PT Pertamina (Persero) merupakan salah satu BUMN penyumbang pajak dan dividen terbesar. Keterangan
(triliun rupiah) 2008 2009
2007
Total Aktiva
254,2
294,4
315,9
Total Kewajiban
133,7
144,2
175,8
1,7
1,1
0,7
Total Ekuitas
118,8
149,1
139,4
Laba Bersih
19,51
30,2
15,79
7,68
10,26
5,00
112,54
96,71
126,11
Hak Minoritas
Return on investment (%) Debt to Equity Ratio (%)
Su m ber : Kem en ter ia n Neg a r a BUMN,(da t a diola h )
Risiko terbesar pada PT Pertamina (Persero) adalah sangat sensitif terhadap perubahan harga minyak dan nilai tukar terutama terkait dengan pengadaan BBM disamping volume permintaan BBM dalam negeri yang terus meningkat. PT Pertamina (Persero) mengemban penugasan dari Pemerintah untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM bersubsidi kepada masyarakat. Sehubungan dengan PSO tersebut, PT Pertamina (Persero) menerima subsidi dari Pemerintah sebagai pengganti selisih antara harga jual BBM PSO dengan harga keekonomiannya. (triliun rupiah) Keterangan
Tahun
Subsidi
2006
64,2
LKPP
2007
83,8
LKPP
2008
139,1
LKPP
2009
45,0
LKPP
2010
88,9
APBN-P
Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n , (da t a diola h )
Uji Macrostress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi BBM pada PT Pertamina menunjukkan dampak sebagai berikut: (miliar rupiah) Variabel Shock
2010
2011
2012
2013
Depresiasi Rupiah terhadap dolar (20 %)
47.198
49.367
54.359
56.351
Harga minyak naik USD25 per barel
62.634
64.720
68.917
71.346
Kenaikan suku bunga 3 %
-
-
-
-
Pertumbuhan ekonomi turun 1 %
-
(1.064)
(1.301)
(1.352)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-73
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
BOKS VI. 9 PT PLN (Persero) Tahun 2009, kinerja keuangan PT PLN Persero (PLN) telah membukukan laba setelah pada tahun-tahun sebelumnya mengalami kerugian. Membaiknya kondisi tersebut antara lain terkait dengan penetapan besaran margin sebesar 5 persen dalam komponen perhitungan subsidi. Keterangan Total Aktiva Total Kewajiban Hak Minoritas Total Ekuitas Laba Bersih Return on investment (%) Debt to Equity Ratio (%)
(triliun rupiah) 2008 2009 290,7 333,7 163,7 192,5 127 141,2 -12,3 10,4 (4,23) 3,10 128,93 136,35
2007 273,5 137,1 136,4 -5,7 (2,07) 100,48
Sum ber: Kem enterian Negara BUMN (data diolah)
Jumlah utang PLN hingga tahun 2009 terus meningkat yang terlihat dari kenaikan debt to equity ratio, yang sebagian besar digunakan untuk pendanaan proyek investasi PLN yang besar seperti proyek percepatan pembangunan PLTU 10.000 MW. Beberapa risiko yang dihadapi oleh PLN antara lain fluktuasi nilai tukar, suku bunga, harga energi primer dan risiko proyek. Kebijakan Pemerintah dalam menguatkan kondisi keuangan PLN untuk mendukung pelaksanaan Proyek 10.000 MW pada tahun 2010 antara lain berupa penambahan besaran margin dalam komponen perhitungan subsidi, pemberian pinjaman dengan persyaratan lunak dan penyesuaian tarif dasar listrik (TDL). Dalam kerangka PSO, PLN mengemban penugasan Pemerintah untuk menyediakan tenaga listrik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat umum. Sehubungan dengan PSO tersebut, PLN menerima subsidi dari Pemerintah sebagai pengganti selisih antara harga jual listrik PSO dengan BPP listrik. Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Subsidi 30,4 33,1 83,9 53,7 55,1
(triliun rupiah) Keterangan LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P
Sum ber : Kem enterian Keuangan (data diolah)
Uji Macrostress test beberapa variabel ekonomi makro terhadap subsidi BBM pada PT PLN (Persero) menunjukkan dampak sebagai berikut: Variabel Shock Depresiasi Rupiah terhadap dolar (20 %) Harga minyak naik USD25 per barel Kenaikan suku bunga 3 % Pertumbuhan ekonomi turun 1 %
VI-74
2010
2011
(miliar rupiah) 2012 2013
24.446
29.004
28.582
30.307
27 .005
29.1 30
29.927
31.489
2.1 46
3.569
5.401
6.419
(67 5)
891
2.301
2.815
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
BOKS VI. 10 PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dalam Program Penjaminan Kredit Usaha Rakyat Program penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan tindak lanjut Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK). KUR disalurkan oleh bank-bank pelaksana yang dijamin oleh PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Realisasi penjaminan KUR per 31 Desember 2009 adalah sebagai berikut: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 menginstruksikan penerbitan Peraturan Pemerintah Uraian
PT Askrindo
Pokok kredit (miliar Rp)
Perum Jamkrindo
Total
12.752,16
3.905,51
16.657,67
13,01
4,59
17,6
Jumlah UMKMK (unit)
1.846.283
335.551
2.181.834
Jumlah tenaga kerja
4.610.257
476.256
5.086.513
265,6
30,92
296,53
2,08
0,79
2,78
Gearing ratio (x)
Jumlah klaim (miliar rupiah) Non Performing Guarantee (%)
tentang Penyertaan Modal Negara kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Pada tahun 2010 telah dilakukan penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo sebesar sebesar Rp1.800,0 miliar. Penambahan PMN tersebut dilakukan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan penjamin, sehingga akan menaikkan tingkat penyaluran KUR kepada debitur usaha mikro. Dengan gearing ratio sebesar 10 kali, maka tambahan PMN tersebut akan meningkatkan kemampuan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo untuk melakukan penjaminan KUR dari Rp19.500,0 miliar pada tahun 2009 menjadi Rp37.500,0 miliar pada tahun 2010. Peningkatan kemampuan penjaminan tersebut diharapkan dapat mendukung program Pemerintah untuk melakukan ekspansi KUR mulai tahun 2010 sampai dengan 2014. Selain itu, pada tahun 2010 Pemerintah juga melakukan penyesuaian besaran Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Risiko terbesar program KUR adalah kemungkinan peningkatan Non Performing Guarantee (NPG) sebagai dampak krisis keuangan global, yang akan berpengaruh pada kinerja PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dan penurunan nilai PMN pada kedua BUMN tersebut. Secara umum kinerja keuangan PT Askrindo adalah sebagai berikut: (miliar rupiah) Keterangan Total Aktiva Total Kewajiban Total Ekuitas Laba Bersih Return on Equity (%) Debt to Equity Ratio (%)
2006
2007
2008
2009
907,2
1793,3
1962,3
2195,7
55,2
65,5
207,1
278,1
852,0
1727,9
1755,3
1916,7
87,3
48,7
36,7
(110,7)
10,25
2,82
2,09
(5,78)
6,48
3,79
11,80
14,51
Sum ber: PT Askrindo (data diolah)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-75
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Sedangkan kinerja keuangan Perum Jamkrindo adalah sebagai berikut (miliar rupiah) Keterangan
2007
2008
2009
442,0
1126,0
1267,2
1661,5
147
180,4
209
227,5
295,0
945,6
1058,2
1434,0
33,6
58,6
133,8
113,2
Return on equity (%)
11,39
6,20
12,64
7,89
Debt to equity ratio (%)
49,83
19,08
19,75
15,86
Total Aktiva Total Kewajiban Total Ekuitas Laba Bersih
2006
Sum ber: Perum Jam krindo (data diolah)
Terkait dengan uraian tersebut di atas, berikut ini disajikan profil kinerja Keuangan beberapa BUMN yang mempunyai potensi risiko fiskal sangat besar yang terkait dengan penugasan khusus Pemerintah (PSO) di bidang energi pada Boks VI.8 dan Boks VI.9. Untuk risiko fiskal BUMN terkait dengan PMN disajikan BUMN yang terlibat dalam Program Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Boks VI.10.
6.4.2 Risiko Utang Pemerintah Pusat Risiko utang Pemerintah merupakan salah satu bentuk risiko fiskal yang sangat penting dan memerlukan pengelolaan yang baik, sebab sangat mempengaruhi kesinambungan fiskal Pemerintah pada tahun berjalan dan masa yang akan datang. Dalam hal ini, pengelolaan risiko utang Pemerintah akan berpengaruh terhadap besarnya beban yang akan ditanggung Pemerintah. Secara umum, risiko utang Pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis yaitu risiko tingkat bunga (interest rate risk), risiko pembiayaan kembali (refinancing risk), dan risiko nilai tukar (exchange rate risk). Parameter-parameter tersebut digunakan untuk menentukan optimal atau tidaknya pengelolaan portofolio utang Pemerintah dari sisi keuangan. Selain itu, terdapat pula risiko yang ditimbulkan dari lingkungan internal organisasi yakni risiko operasional yang terjadi dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang. Kondisi risiko keuangan portofolio utang Pemerintah selama 2010 semakin membaik dibandingkan pada tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan semakin kondusifnya pasar keuangan khususnya di pasar domestik, sehingga para investor semakin tertarik untuk menginvestasikan modalnya di pasar domestik. Dengan kondisi ini telah memengaruhi juga pasar obligasi, antara lain turunnya yield SBN dan meningkatnya biding yang masuk dalam lelang SBN. Selama semester I 2010 telah berjalan sesuai dengan target yang ditetapkan dan didukung dengan pasar yang semakin kondusif. Realisasi penerbitan SBN telah mencapai 61,81 persen dari total target, dimana penerbitan tersebut didominasi oleh SBN domestik dengan ratarata tenor diatas 10 tahun dan memiliki tingkat bunga tetap. Sehingga realisasi dari komposisi penerbitan SBN tersebut mempengaruhi kondisi risiko portofolio utang Pemerinta secara signifikan. Secara spesifik perubahan yang terjadi pada indikator risiko portofolio utang dapat dilihat pada Tabel VI.16. VI-76
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
TABEL VI.16 INDIKATOR RISIKO PORTOFOLIO UTANG TAHUN 2006-2011 Uraian
2006
2007
2008
2009
2010*
2011**
1 .07 7 ,1
1 .1 97 ,1
Outstanding (triliun rupiah) SBN PLN
7 44,2
803,1
906,5
97 9,5
559,4
586,4
7 30,3
61 0,3
61 1 ,2
61 0,4
1.303,6
1.389,4
1.636,8
1.5 89,8
1.688,3
1.807 ,5
Rasio V ariabel Rate (%)
28,7
26,7
22,9
22,1
1 9,7
1 7 ,5
Refix ing Rate (%)
32,4
30,2
28,2
28,2
27 ,7
24,0
8,4
8,4
8,3
8,2
8,2
7 ,8
T otal Interest Rate Risk
A v erage Time to Refix (tahun) Ex change Rate Risk Rasio Utang FX-PDB (%)
1 8,2
1 6,5
1 7 ,2
1 3,4
1 2,3
1 1 ,6
Rasio Utang FX-Total Utang (%)
46,8
47 ,0
52,1
47 ,4
45,5
46,2 100,0
Kom posisi Currency Utang (%)
100,0
100,0
100,0
100,0
100,1
IDR
53,2
53,1
47 ,9
52,6
54,6
53,8
USD
1 6,7
1 9,0
21 ,9
21 ,9
21 ,9
22,7
JPY
1 7 ,8
1 7 ,6
20,9
1 7 ,4
1 6,8
1 7 ,2
EURO
7 ,0
7 ,1
6,4
5,0
3,9
2,5
Others
5,2
3,3
2,9
3,1
2,9
3,8
Refinancing Risk (%) Porsi Utang Jatuh Tempo <1 th
5,7
6,8
6,4
7 ,6
7 ,7
7 ,9
Porsi Utang Jatuh Tempo <3 th
1 8,3
1 9,4
1 8,6
20,3
21 ,4
21 ,8
Porsi Utang Jatuh Tempo <5 th
29,9
30,6
31 ,1
33,2
34,9
35,4
SBN
1 2,8
1 2,4
1 2,0
1 1 ,0
1 0,2
9,6
PLN
7 ,6
7 ,6
7 ,4
8,0
8,8
9,1
10,6
10,4
10,0
9,8
9,7
9,4
Av erage T im e Maturuty (AT M) (tahun)
T otal Ca ta ta n :
*) a n g ka 2 0 1 0 pr oy eksi u n tu k a k h ir t a h u n 2 0 1 0 ber da sa r k a n r ea lisa si sem est er I 2 0 1 0 **) a n g ka 2 0 1 1 a da la h pr oy eksi ber da sa r ka n t r en y a n g t er ja di sela m a 2 0 0 6 s. d 2 0 1 0 Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n
Interest Rate Risk Risiko tingkat bunga (interest rate risk) adalah potensi tambahan beban anggaran akibat perubahan tingkat bunga di pasar yang meningkatkan biaya pemenuhan kewajiban utang Pemerintah. Indikator risiko tingkat bunga terdiri dari rasio variable rate (VR) dan refixing rate terhadap total utang, serta Average Time to Refix (ATR). Pada Tabel VI.16 terlihat bahwa rasio variable rate (VR) dan refixing rate terhadap total utang lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rasio-rasio tersebut secara trend terus mengalami penurunan akibat adanya kebijakan dalam menetapkan strategi pembiayaan yang mengutamakan penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman luar negeri yang memiliki bunga tetap. Penyebab lain turunnya rasio VR terhadap total utang adalah adanya restrukturisasi pinjaman World Bank yang memiliki tingkat bunga mengambang dikonversi menjadi tingkat bunga tetap (tahun 2009), dan adanya pembatalan atas penerbitan SBN dengan suku bunga mengambang (floating) di tahun 2010. Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-77
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Konversi tingkat bunga World Bank tahun 2009 merupakan konversi kedua, yang mengubah pinjaman World Bank sebesar USD4,17 miliar. Konversi yang dilakukan saat kondisi tingkat bunga berada pada historically low-level ini, berdampak mengurangi risiko tingkat bunga utang Pemerintah sebesar 2,12 persen. Selain mengurangi risiko, konversi saat kondisi tingkat bunga rendah juga berpotensi menurunkan beban bunga karena konvesi dilakukan saat suku bunga sedang rendah. Sementara itu, ATR utang Pemerintah menunjukkan kondisi penurunan, yang menggambarkan semakin meningkatnya risiko pembayaran kembali, karena rata-rata waktu yang dibutuhkan portofolio dalam mengeset kembali suku bunganya semakin pendek. Exchange Rate Risk Risiko nilai tukar (exchange rate risk) adalah potensi peningkatan beban kewajiban Pemerintah dalam memenuhi kewajiban utang akibat peningkatan kurs nilai tukar valuta asing terhadap mata uang rupiah. Dalam dekade terakhir ini risiko nilai tukar utang Pemerintah cenderung semakin membaik sejalan dengan kecenderungan menguatnya nilai tukar Rupiah. Membaiknya risiko nilai tukar utang ditunjukkan oleh penurunan rasio utang dalam denominasi valas (utang FX) terhadap besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan semakin rendahnya rasio ini menunjukkan semakin berkurangnya risiko nilai tukar secara relatif terhadap perekonomian. Penurunan rasio tersebut disebabkan kurs nilai tukar rupiah pada semester I tahun 2010 stabil dan cenderung mengalami penguatan, serta adanya pengurangan target penerbitan SBN valas sekitar Rp13,05 triliun. Rasio utang FX terhadap total utang diperkirakan akan terkoreksi hingga 45,50 persen pada akhir tahun 2010. Hal ini mengalami penurunan yang sangat jauh dibandingkan dengan tahun 2008 yang pada saat itu mengalami krisis finansial global. Refinancing Risk Risiko refinancing adalah potensi naiknya tingkat biaya utang pada saat melakukan pembiayaan kembali (refinancing), atau bahkan tidak dapat dilakukan refinancing sama sekali yang akan meningkatkan beban Pemerintah dan/atau mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan pembiayaan Pemerintah. Average Time to Maturity (ATM) merupakan salah satu indikator refinancing risk, yang pada 2010 kondisinya sekitar 9,69 tahun. Kondisi tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, yana mana menunjukkan bahwa tenor utang Pemerintah semakin pendek. Indikator lain dari refinancing risk adalah porsi utang yang jatuh tempo pada 1, 3, dan 5 tahun yang akan datang. Sejalan dengan makinpendeknya ATM, ketiga porsi utang yang jatuh tempo tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini kedepannya dapat diantisipasi dengan melakukan pembelian kembali (buyback) dan penukaran (switching) terhadap utang yang jatuh tempo kurang dari 3 tahun. Pada tahun 2011, diproyeksikan jumlah outstanding utang akan mencapai Rp1.807,45 triliun yang terdiri dari SBN sebesar Rp1.197,09 triliun dan Pinjaman sebesar Rp610,38 triliun. Proyeksi tersebut diperkirakan akan berdampak pada kondisi risiko portofolio utang yang semakin baik, yaitu risiko tingkat bunga yang akan terus membaik dengan menurunnya proyeksi rasio utang variabel rate dan refixing rate. Perbaikan tingkat risiko utang juga akan terjadi pada risiko nilai tukar dengan menurunnya rasio utang valas terhadap PDB. VI-78
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Walaupun rasio utang valas terhadap total utang sedikit meningkat, rasionya masih terjaga dalam interval kurang dari 49 persen (berdasarkan strategi pembiayaan jangka menengah). Sementara itu untuk risiko refinancing diperkirakan akan sedikit memburuk karena adanya peningkatan porsi utang yang jatuh tempo dalam jangka pendek, serta memendeknya tenor utang Pemerintah secara keseluruhan. Upaya perbaikan tingkat risiko portofolio utang di atas dapat dicapai dengan penerapan strategi sebagai berikut: a. Mengutamakan penerbitan/penarikan utang yang memiliki suku bunga tetap (Fixed Rate) dan melakukan konversi utang yang memiliki bunga mengambang atau variabel menjadi bunga tetap untuk mengurangi risiko tingkat bunga. b. Mengutamakan penerbitan surat utang di pasar domestik dengan mata uang rupiah untuk mengurangi risiko nilai tukar. c. Memilih jenis mata uang valas yang memiliki volatilitas rendah terhadap mata uang Rupiah dalam penerbitan/penarikan utang. d. Mengupayakan penarikan utang baru dengan terms and conditions yang lebih favorable, antara lain dengan mengurangi/ menghilangkan pengenaan commitment fee untuk komitmen utang yang belum dicairkan. e. Melakukan operasi pembelian kembali (buyback) dan penukaran (switching) yang berkesinambungan dalam rangka pengelolaan portofolio dan risiko Surat Berharga Negara dengan tujuan mengurangi risiko refinancing. f.
Melakukan monitoring penarikan utang yang efektif, sehingga komitmen utang yang tidak efisien untuk diteruskan dapat segera ditutup.
g. Menyusun peraturan pelaksanaan terkait penggunaan instrumen financial derivative dalam rangka hedging. Dari sisi operasional pengelolaan utang, juga dilakukan pengendalian risiko yang mungkin terjadi selama kegiatan pengelolaan utang dilaksanakan. Upaya yang dilakukan Pemerintah antara lain dengan: (a) mengembangkan dan melaksanakan standar prosedur pengelolaan utang, baik untuk internal unit pengelola utang maupun terkait dengan hubungan antara unit pengelola utang dengan stakeholders; (b) menegakkan kode etik pegawai unit pengelola utang; (c) meningkatkan kompetensi pegawai unit pengelola utang; (d) mengembangkan sistem teknologi informasi yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengelolaan utang secara efektif, efisien, aman, transparan, dan akuntabel; (e) menyusun dan menyempurnakan peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan utang, sebagai landasan hukum untuk melaksanakan pengelolaan utang secara trasparan, aman, akuntabel, dan bertanggung jawab; (f) serta melaksanakan penerapan manajemen risiko, yang terdiri dari : identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, rencana penanganan (mitigasi) risiko, melakukan monitoring atas risiko dalam pengelolaan utang.
6.4.3 Kewajiban Kontinjensi Pemerintah Pusat 6.4.3.1 Proyek Pembangunan Infrastruktur Risiko fiskal yang terkait dengan proyek pembangunan infrastruktur, seperti yang berasal dari dukungan dan/atau jaminan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap beberapa proyek, Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-79
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
yaitu proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap I dan II, proyek pembangunan jalan tol, percepatan penyediaan air minum (PDAM) dan proyek model Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS) Independent Power Producer (IPP) PLTU Jawa Tengah. Pemberian jaminan ini membawa konsekuensi fiskal bagi Pemerintah dalam bentuk peningkatan kewajiban kontinjen Pemerintah. Ketika risiko-risiko yang dijamin Pemerintah tersebut terjadi dan Pemerintah harus menyelesaikan kewajiban kontinjen dimaksud, maka kondisi ini kemudian dapat menjadi tambahan beban bagi APBN. Untuk meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia perlu meningkatkan pembangunan infrastruktur. Dengan fakta bahwa kemampuan keuangan negara dalam penyediaan infrastruktur relatif terbatas, maka peran swasta dalam penyediaan infrastruktur di masa depan menjadi semakin penting. Sehubungan dengan hal ini, Pemerintah dapat memberikan penjaminan atas partisipasi pendanaan pihak swasta yang digunakan untuk membangun infrastruktur. Yang dijamin dalam hal ini adalah kemungkinan kerugian/return yang menurun karena terjadinya risiko-risiko yang bersumber dari Pemerintah (sovereign risks). Penjaminan yang telah diberikan selama ini tertuang untuk proyek yang merupakan penugasan dari Pemerintah untuk penyelenggaraan infrastruktur dan proyek infrastruktur yang dilaksanakan dengan skema KPS. Di sektor kelistrikan, Pemerintah telah memberikan jaminan kredit penuh untuk Proyek 10.000 MW Tahap I terkait penugasan kepada PT PLN (Persero) dalam penyediaan listrik. Sementara itu, untuk penyediaan air minum Pemerintah menyediakan jaminan kredit sebagian bagi PDAM yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Terkait dengan proyek KPS, Pemerintah memberikan jaminan atas perjanjian kerjasama antara penanggung jawab proyek kerjasama dan badan usaha sehubungan dengan risiko-risiko yang bersumber dari Pemerintah. Di samping kebijakan penjaminan bagi proyek infrastruktur, Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan untuk membantu pengadaan tanah yang sering menjadi kendala dalam pembangunan infrastruktur. Selanjutnya dari sisi penjaminan proyek, Pemerintah telah mendirikan sebuah badan usaha untuk menjamin proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan skema KPS. Sementara itu, dari sisi pendanaan Pemerintah juga telah menyiapkan badan usaha yang fokus pada penggalangan dana domestik untuk penyediaan infrastruktur. Dalam rangka pengembangan green energy, Pemerintah telah menetapkan dukungan kepada badan usaha terkait untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik panas bumi (geothermal). Dengan pengembangan pembangkit ini maka diharapkan di masa depan kesinambungan keuangan negara dari akibat negatif gejolak harga minyak dan batubara dapat lebih terjaga.
a. Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW Tahap I Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2007, Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT PLN (Persero) kepada kreditur perbankan yang menyediakan pendanaan/ kredit untuk proyek-proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik (10.000 MW). Penjaminan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kelayakan PT PLN (persero) dalam memperoleh kredit (creditworthiness) dan sekaligus menurunkan biaya modal proyek. VI-80
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
T A BEL VI.17 PEROLEHAN PEMBIAY AA N PROY EK PEMBANGKIT T ENA GA LI ST RIK 10.000 MW T A HAP I (per 31 Desem ber 2009)
No.
PLT U
Kapasitas (MW)
Nilai Pinjam an Porsi Ru piah (m iliar)
Porsi USD (juta)
1
Suralay a
1 x 625
7 35,4
284,29
2
Paiton
1 x 660
600,6
330,83
3
Rembang
2 x 31 5
1 .91 1 ,50
261 ,8 288,56
4
Labuan
2 x 31 5
1 .1 88,60
5
Indramay u
3 x 330
1 .27 2,90
592,22
6
Pac itan
2 x 31 5
1 .045,90
293,23
7
Teluk Naga
3 x 31 5
1 .606,60
454,97
8
Pelabuhan Ratu
3 x 350
1 .87 4,30
481 ,94
9
Lampung
2 x 1 00
45 9,9
1 1 9,21
Sumatera Utara
2 x 200
7 80,8
209,26 23,7 9
10 11
NTB
2 x 25
27 3,8
12
Goro ntalo
2 x 25
264,8
25,84
13
Sulawesi Utara
2 x 25
304,5
27 ,31
14
Kepulauan Riau
2x7
7 1 ,2
7 ,01
15
NTT
2x7
7 3,2
7 ,89
16
Sulawesi Tenggara
2 x 10
97 ,1
1 0,28
17
Kalimantan Tengah
2 x 60
41 3,9
62,06
18
Tanjung A war-A war
2 x 350
19
Sulawesi Selatan
2 x 50
20
3 Bangka Belitung
21
2 Papua
22
Kalimantan Selatan
1 .1 55,40
37 1 ,5
37 9,9
52,35
2 x 30
31 6,9
22,95
2 x 10
1 40,8
1 3,66
2 x 65
31 3,4
83,94 1 24,26
23
A ceh
2 x 110
61 4,3
24
2 NTT
2 x 1 6,5
1 34,5
23,42
25
1 NTB
2 x 10
1 20,5
23,7 9
26
Sumatera Barat
2 x 112
521 ,4
1 38,34
27
2 Kalimantan Barat
2 x 27 ,5
17 2
30,7 7
28
4 Bangka Belitung
2 x 1 6,5
1 42,2
23,9
29
Maluku Utara
2x7
1 00,4
9,87
30
A dipala
50
57 5,26
31
1 Riau
2 x 10
1 32,4
8,43
32
2 Riau
2x7
1 1 1 ,3
9,27
33
1 Kalimantan Barat
392,1
62,47
34
3 Paket Transmisi
1 x 660
T otal
2 x 50 9.27 9
4.87 0,27
-
22.642,7 7
5 .054,67
Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n .
Dengan demikian diharapkan akan mempercepat penyelesaian proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap sehingga masalah kekurangan pasokan listrik dapat teratasi. Proyek ini dibiayai dari anggaran PT PLN dan pembiayaan dari perbankan. Porsi pembiayaan perbankan sekitar 85 persen dari total kebutuhan dana proyek pembangkit dan transmisi. Hingga 31 Desember 2009, sumber pembiayaan yang telah diperoleh (ditandatangani dan ditetapkan pemenang lelang) dapat dilihat pada Tabel VI.17. Risiko fiskal dengan adanya jaminan Pemerintah (full guarantee) ialah ketika PLN tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu, dan oleh karenanya Pemerintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Pemenuhan kewajiban Pemerintah tersebut dilaksanakan melalui mekanisme APBN. Beberapa faktor risiko yang dapat mengurangi kemampuan PT PLN (Persero) dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu antara lain pertumbuhan penjualan energi listrik yang tinggi, kebijakan tarif, fluktuasi nilai tukar, kenaikan harga BBM, serta kekurangan pasokan batubara.
Kewajiban PLN kepada kreditur pada tahun 2011 sudah memasuki periode kewajiban pembayaran bunga dan pokok atas pinjaman. Mengingat 90 persen kebutuhan pembiayaan telah diperoleh pada tahun 2009 maka Pemerintah pada RAPBN 2011 perlu mengalokasikan anggaran guna mengantisipasi risiko fiskal atas kewajiban PLN dalam pembayaran pokok dan bunga kredit tersebut sebesar Rp889,0 miliar.
b. Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW Tahap II Komitmen Pemerintah Indonesia atas hasil pertemuan G20 dalam hal pengurangan emisi karbon serta dalam rangka mengurangi dampak gejolak harga minyak bumi terhadap besaran subsidi listrik di masa yang akan datang Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2010 tentang Penugasan Kepada PT PLN (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 sebagai landasan dan dasar hukum dalam memberikan dukungan dalam bentuk penjaminan kelayakan usaha PT PLN (Persero) dalam rangka pelaksanaan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan, batu bara dan gas. Adapun nama-nama proyek yang akan mendapat penjaminan tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-81
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
2010 tentang Daftar Proyek-proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas serta Transmisi Terkait.
c.
Proyek Pembangunan Jalan Tol
Risiko Fiskal pada proyek pembangunan jalan tol berasal dari dukungan Pemerintah dalam menanggung sebagian dari kelebihan biaya pengadaan tanah (land capping) sebagai akibat adanya kenaikan harga pada saat pembebasan lahan. Dukungan Pemerintah dimaksud diberikan untuk 28 proyek jalan tol. Pemberian dukungan Pemerintah atas kenaikan biaya pengadaan lahan pada 28 ruas jalan tol dimaksudkan untuk mendorong percepatan pembangunan jalan tol yang tersendat. Hal tersebut disebabkan oleh permasalahan kenaikan harga dalam pembebasan tanah yang akan digunakan dalam pembangunan jalan tol. Di samping itu, dukungan juga dimaksudkan untuk menjaga tingkat kelayakan financial dari proyek jalan tol sehingga diharapkan investor segera menyelesaikan pembangunannya. Dana dukungan Pemerintah atas kenaikan biaya pengadaan lahan (land capping) tersedia sebesar Rp4,89 triliun sejak tahun 2008. Dari jumlah tersebut, Rp890,2 miliar akan dialokasikan pada APBN Tahun 2011. Pelaksanaan penggunaan dana pada akhir tahun 2010 dan pada awal tahun 2011 akan digunakan sebagai bahan evaluasi kebijakan dukungan Pemerintah dalam menetapkan kelanjutan kebijakan land capping di tahun 2012 dan selanjutnya.
d. Percepatan Penyediaan Air Minum Dalam rangka percepatan penyediaan air minum bagi penduduk dan untuk mencapai MDG’s, Pemerintah memandang perlu untuk mendorong peningkatan investasi PDAM. Hal tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan akses PDAM untuk memperoleh kredit investasi dari perbankan nasional, melalui kebijakan pemberian jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan dimaksud dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum serta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Jaminan Pemerintah Pusat adalah sebesar 70 persen dari jumlah kewajiban pembayaran kembali kredit investasi PDAM yang telah jatuh tempo, sedangkan sisanya sebesar 30 persen menjadi risiko bank yang memberikan kredit investasi. Sedangkan tingkat bunga kredit investasi yang disalurkan bank kepada PDAM ditetapkan sebesar BI rate ditambah paling tinggi 5 persen, dengan ketentuan tingkat bunga sebesar BI rate ditanggung PDAM, dan selisih bunga di atas BI rate paling tinggi sebesar 5 persen menjadi subsidi yang ditanggung Pemerintah Pusat. Jaminan atas kewajiban PDAM serta subsidi bunga tersebut akan dibayarkan Pemerintah melalui skema APBN. Jaminan tersebut selanjutnya akan menjadi kewajiban PDAM dan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Risiko fiskal yang mungkin terjadi dari penjaminan ini adalah ketidakmampuan PDAM untuk membayar kewajibannya yang jatuh tempo kepada perbankan. Untuk itu Pemerintah akan memenuhi 70 persen dari kewajiban PDAM tersebut. Faktor-faktor yang dapat memicu VI-82
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
terjadinya hal itu di antaranya adalah tingkat kehilangan air (non water revenue/NWR) yang tinggi, manajemen internal PDAM yang kurang handal, serta penetapan tarif air minum (oleh Pemda/Kepala Daerah) yang berada di bawah harga keekonomian. Kewajiban PDAM kepada bank dalam tahun 2011 meliputi kewajiban pembayaran bunga dan pembayaran pokok atas pinjaman. Untuk itu dalam RAPBN 2011, Pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp147,0 miliar guna mengantisipasi risiko fiskal atas kewajiban PDAM dalam pembayaran kredit perbankan.
e.
Operasionalisasi PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) dalam Penjaminan Infrastruktur
Sebagai bentuk komitmen Pemerintah untuk mendorong keterlibatan sektor swasta dan upaya memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam penyediaan infrastruktur, Pemerintah telah mendirikan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)/PT PII pada tanggal 30 Desember 2010. PT PII merupakan implementasi dari Indonesia Infrastructure Guarantee Fund dan bertindak sebagai instrumen fiskal dalam pemberian jaminan untuk meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) proyek infrastruktur. PT PII ditugaskan menjamin risikorisiko yang dialokasikan pada Pemerintah dalam proyek infrastruktur sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2005 yang telah diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden nomor 67 tauhn 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Pemerintah menerapkan kebijakan satu pintu/single window policy dimana usulan penjaminan disampaikan kepada PT PII, kemudian PT PII akan melakukan tinjauan dan penilaian atas usulan tersebut. Keputusan penjaminan PT PII didasarkan pada kemampuan modalnya dan untuk memenuhi kebutuhan penjaminan, PT PII dimungkinkan melakukan kerjasama dengan pihak lain dan/atau melakukan penjaminan bersama Pemerintah. Berdasarkan hal di atas, keberadaan PT PII akan mendorong pengelolaan yang lebih transparan dan akuntabel atas kewajiban kontinjen guna menjaga kesinambungan APBN dari kewajiban-kewajiban mendadak yang timbul akibat pemberian jaminan. PT PII merupakan sebuah BUMN yang dimiliki 100 persen oleh Pemerintah. Pemerintah berkomitmen untuk mencukupi kebutuhan modal PT PII sesuai kebutuhan penjaminan. Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur Indonesia, Pemerintah telah menanamkan modal awal sebesar Rp1,0 trilliun dan telah melakukan penambahan modal melalui APBN-P 2010 sebesar Rp1,0 trilliun. Seiring kebutuhan pembangunan proyek infrastruktur dan sebagai upaya meningkatkan kepercayaan pihak swasta, Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp1,5 trilliun kepada PT PII sebagai tambahan Penyertaan Modal Negara dalam RAPBN 2011.
f.
Dukungan Pemerintah untuk Proyek Model KPS Independent Power Producer (IPP) PLTU Jawa Tengah
Dalam Semester I tahun 2009, Pemerintah telah menerima proposal permintaan dukungan Pemerintah yang diajukan oleh PT PLN (Persero) untuk model IPP PLTU Jawa Tengah. Proyek ini merupakan satu dari sepuluh proyek yang dinyatakan Pemerintah dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE) 2006 sebagai model proyek yang akan dijalankan dengan skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)/Public Private Partnership
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-83
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Box VI. 11 Pengelolaan Kewajiban Kontinjensi Kewajiban Kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa (event), yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Pemerintah. Dengan demikian, terdapat risiko fiskal bagi Pemerintah untuk memenuhi kewajiban kontinjensi yang timbul, meskipun risiko tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk memberikan kepastian agar beban kewajiban kontinjensi Pemerintah yang timbul tidak mengganggu keberlangsungan fiskal dalam tahun anggaran berkenaan, maka diperlukan adanya pengelolaan kewajiban kontinjensi oleh Pemerintah sehingga dapat meminimalkan biaya dan risiko fiskal dalam APBN. Pengelolaan kewajiban kontinjensi dapat berupa analisis risiko terhadap usulan kegiatan baru yang berpotensi menimbulkan kewajiban kontinjensi, sehingga kebijakan yang diambil atas usulan kegiatan baru dimaksud telah memperhitungkan portofolio dan risiko beban kewajiban kontinjensi bagi Pemerintah. Di samping itu, terhadap kewajiban kontinjensi yang telah ada (existing) perlu dilakukan pemantauan, sekaligus rekomendasi mitigasi risiko atas potensi timbulnya suatu kewajiban kontinjensi. Berdasarkan jenisnya, terdapat 2 jenis kewajiban kontinjensi yaitu (i) kewajiban kontinjensi yang bersifat Eksplisit, yaitu kewajiban yang timbul dan harus dibayar berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan/atau perjanjian, dan (ii) kewajiban kontinjensi yang bersifat Implisit, yaitu kewajiban yang sebelumnya tidak secara resmi/sah diakui oleh Pemerintah, tetapi terdapat kebijakan Pemerintah untuk mengambil-alih tanggung jawab kewajibannya. Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan peraturan perundang-undangan, meliputi : (i) Penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjaga modal minimum (Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan), (ii) Penambahan modal kepada Bank Indonesia untuk menjaga modal minimum (Undang-Undang No.23 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia), (iii) Penyediaan dana Fasilitas Pembiayaan Darurat kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas (Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan), (iv) Pembayaran iuran program jaminan sosial nasional oleh Pemerintah kepada peserta fakir miskin dan tidak mampu (Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional), (v) Penyediaan dana untuk program jaminan sosial nasional, kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes (UndangUndang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional), (vi) Penyediaan dana PSO kepada BUMN (Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN). Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan perjanjian, baik perjanjian bilateral maupun multilateral dimana Pemerintah membuat suatu perjanjian dengan Negara lain, kreditur, investor, dan lembaga internasional yang berpotensi menimbulkan dampak keuangan yang harus dibayarkan oleh Pemerintah, misalnya : (i) Perjanjian mengenai pendirian The Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) sebagaimana disahkan dalam Keppres No. 31 tahun 1986 tanggal 18 Juli 1986 tentang Pengesahan Convention Establising The Multilateral Investment Guarantee Agency, (ii) Keanggotaan Indonesia dalam lembaga keuangan multilateral yaitu IMF, dimana terdapat kewajiban penambahan modal bagi setiap anggota, (iii) Perjanjian mengenai Persetujuan Dukungan Penanaman Modal antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat, dimana Pemerintah Indonesia mengakui kewajiban kepada Overseas Private Investment Corporation (suatu badan Amerika) apabila sendiri dan/atau dengan Koasuradur melakukan pembayaran kepada seseorang atau entitas, atau menggunakan hak-haknya sebagai kreditur atau pemegang hak subrogasi terkait dengan setiap dukungan penanaman modal di Indonesia.
VI-84
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan jaminan, dimana Pemerintah memberikan jaminan atas kewajiban pembayaran kredit pihak lain kepada krediturnya, atau jaminan kelayakan usaha untuk menjamin kemampuan pembayaran pihak lain sesuai perjanjian usaha, misalnya : (i) Jaminan Pemerintah atas kewajiban pembayaran kredit PT PLN (Persero) dalam proyek 10.000 MW Tahap I, sesuai Perpres nomor 86 tahun 2006 jo. Perpres 91 tahun 2007 tentang Pemberian Jaminan Untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Yang Menggunakan Batubara. Per Juli 2010, Pemerintah telah mengeluarkan sebanyak 33 Surat Jaminan dengan nilai kredit yang dijamin sebesar Rp70,6 triliun (asumsi kurs USD 1 = Rp9.200) baik untuk pembangkit maupun transmisi. Dalam APBN 2010, Pemerintah mengalokasikan dana jaminan dimaksud sebesar Rp1 triliun, (ii) Jaminan Pemerintah atas kewajiban pembayaran kredit PDAM dalam rangka percepatan penyediaan air minum, sesuai Perpres nomor 29 tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga Oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum. Pemerintah belum mengeluarkan Surat Jaminan mengingat saat ini PDAM dan calon kreditur masih dalam proses negosiasi pinjaman, sehingga PDAM belum mengajukan permintaan untuk memperoleh jaminan dan subsidi secara resmi kepada Pemerintah dengan melampirkan dokumen yang dipersyaratkan. Namun demikian, dalam TA 2010 Pemerintah telah mengalokasikan dana jaminan Pemerintah dalam APBN sebesar Rp50 miliar, (iii) Jaminan Pemerintah atas kelayakan usaha PT PLN (Persero) dalam proyek 10.000 MW Tahap II, sesuai Perpres nomor 4 tahun 2010 tentang Penugasan kepada PT PLN (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas, dimana saat ini Pemerintah belum mengeluarkan surat jaminan kelayakan usaha. Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan litigasi, dimana Pemerintah berkewajiban melakukan pembayaran atas tuntutan hukum masyarakat yang dikabulkan oleh lembaga peradilan. Sedangkan kewajiban kontinjensi yang bersifat implisit antara lain yaitu dana penanganan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, mengakibatkan Pemerintah perlu memperhitungkan secara cermat potensi risikonya dan mengalokasikan dananya jika bencana alam tersebut benar-benar terjadi di kemudian hari. Kewajiban kontinjensi yang bersifat eksplisit berdasarkan litigasi, dimana Pemerintah berkewajiban melakukan pembayaran atas tuntutan hukum masyarakat yang dikabulkan oleh lembaga peradilan. Sedangkan kewajiban kontinjensi yang bersifat implisit antara lain dana penanganan bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, mengakibatkan Pemerintah perlu memperhitungkan secara cermat potensi risikonya dan mengalokasikan dananya jika bencana alam tersebut benar-benar terjadi di kemudian hari.
(PPP) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 dan peraturan perubahannya, yakni Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010. Untuk tahun 2010 diperkirakan belum ada risiko fiskal terkait proyek dimaksud, mengingat konstruksi baru akan dimulai pada akhir tahun 2011 dan pengoperasian pada Semester I tahun 2015.
6.4.3.2 Program Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT) Pegawai Negeri Sipil (PNS) Risiko fiskal yang berasal dari Program Pensiun PNS terutama berasal dari peningkatan jumlah pembayaran manfaat pensiun dari tahun ke tahun karena sejak tahun anggaran 2009 pendanaan pensiun PNS seluruhnya (100 persen) menjadi beban APBN. Beberapa faktor yang mempengaruhi besaran kenaikan pembayaran manfaat pensiun diantaranya,
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-85
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
jumlah PNS yang mencapai batas usia pensiun, meningkatnya gaji pokok PNS, meningkatnya pensiun pokok PNS serta adanya pembayaran Dana Kehormatan sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 2008 tentang Dana Kehormatan Veteran Republik Indonesia. Berdasarkan asumsi kenaikan pensiun pokok sebesar 5 persen setiap tahun, jumlah dana APBN yang diperlukan untuk membayar manfaat pensiun diperkirakan akan terus mengalami peningkatan yakni sebesar Rp44,6 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp51,2 triliun pada tahun 2011. Sementara itu, risiko fiskal yang berasal dari Progam Tunjangan Hari Tua PNS terutama berasal dari unfunded liability. PT Taspen mencatat adanya akumulasi unfunded liability yang timbul akibat kebijakan Pemerintah menaikan gaji pokok PNS sejak tahun 2007 sampai dengan 2010. Untuk menyelesaikan masalah ini, Kementerian Keuangan telah membentuk Tim Penyusun Desain Ke Depan Program Pensiun PNS untuk mengkaji secara mendalam dan menyeluruh Program Pensiun dan THT PNS baik dari sisi peraturan dan kebijakan maupun dari sisi fiskal.
6.4.3.3 Sektor Keuangan Kewajiban kontinjensi Pemerintah pada sektor keuangan terutama berasal dari kewajiban Pemerintah untuk menambah modal lembaga keuangan (Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia) jika modal lembaga keuangan tersebut di bawah modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. a.
Bank Indonesia
Sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-undang tentang BI, untuk melaksanakan tugas tersebut modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp2 triliun. Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang mengakibatkan modal tersebut menjadi kurang dari Rp2,0 triliun (pasal 62), maka Pemerintah wajib menutup kekurangan dimaksud yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPR. Selain dari ketentuan perundang-undangan di atas, mengenai permodalan Bank Indonesia juga diatur dalam pasal 3 ayat 2 butir (f) Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah dan Bank Indonesia Mengenai Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta Hubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 2003, menyatakan bahwa dalam hal rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia kurang dari 3 persen disepakati GRAFIK VI.22 bahwa Pemerintah membayar charge kepada RASIO MODAL TERHADAP KEWAJIBAN MONETER BANK IDONESIA Bank Indonesia sebesar kekurangan yang 14,0% diperlukan. Namun sebaliknya apabila rasio 12,4% 12,0% modal terhadap kewajiban moneter Bank 10,4% 10,3% 10,0% Indonesia mencapai di atas 10 persen, maka 8,8% 8,0% 8,0% BI akan memberikan bagian kepada 5,5% 6,0% Pemerintah atas surplus BI sebagaimana 3,8% 4,0% diatur dalam ketentuan perundangan tentang 2,0% BI. 0,0% 2005
2006
2007
2008
2009
2010(Est.)
Sum ber: Bank Indonesia Keterangan:
VI-86
2011 (Est.)
Pada tahun 2009 rasio modal BI mengalami penurunan menjadi sebesar 8,79 persen
Batas m inim um rasio m odal terhadap kewa jiban m oneter (3 %)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Bab VI
c.
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank)
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Indonesia Eximbank) didirikan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang bertujuan untuk menunjang kebijakan Pemerintah dalam rangka mendorong program ekspor Nasional. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sebelumnya bernama PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), adalah lembaga keuangan nonbank yang berfungsi mendukung program ekspor nasional melalui penyediaan pembiayaan, penjaminan, asuransi dan jasa konsultasi bagi para eksportir. LPEI mempunyai ruang gerak pembiayaan yang relatif lebih fleksibel dibandingkan dengan Bank pada umumnya, sehingga dapat menutupi gap yang selama ini dihadapi oleh eksportir, yang pada gilirannya mampu mengakselerasi ekspor nasional. GRAFIK VI.24 KEGIATAN PEMBIAYAAN EKSPOR DAN POSISI PERMODALAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA, 2008-2011 (miliar rupiah) 25.000,00 20.000,00 15.000,00 10.000,00 5.000,00 2008 (Audited) Total Aktiva
2009 (Audited)
Pembiayaan Ekspor
2010 (Proj)
Garansi dan Penjaminan
2011 (Proj) Asuransi
Ekuitas
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, modal awal LPEI ditetapkan paling sedikit Rp4,0 triliun. Dalam hal modal LPEI menjadi berkurang dari Rp4,0 triliun, Pemerintah menutup kekurangan tersebut dari dana APBN berdasarkan mekanisme yang berlaku. Perkembangan posisi permodalan LPEI untuk tahun 2008 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Grafik VI.24.
Pada tahun 2011, ekuitas LPEI diperkirakan akan mencapai Rp6,98 triliun dengan asumsi rencana Penambahan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2 triliun pada tahun 2010 terealisir. Modal tersebut diperkirakan cukup untuk mendukung pemberian pembiayaan ekspor sebesar Rp19,83 triliun, garansi dan penjaminan sebesar Rp2,97 triliun serta asuransi ekspor sebesar Rp569,4 miliar. Berdasarkan proyeksi kondisi keuangan LPEI di atas, Pemerintah tidak perlu menganggarkan dana tambahan modal untuk LPEI pada RAPBN 2011. Sumber: Kementerian Keuangan
6.4.3.4 Tuntutan Hukum kepada Pemerintah Potensi risiko fiskal timbul dari beberapa gugatan perdata yang ditujukan kepada beberapa kementerian negara/lembaga. Berdasarkan data yang terkumpul di Kementerian Keuangan, gugatan tersebut terjadi antara tahun 2001-2009, yang ditujukan kepada 12 Kementerian dan 1 Lembaga Pemerintah, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Risiko fiskal yang timbul berupa potensi pengeluaran negara dari APBN maupun potensi hilangnya kepemilikan aset tanah dan bangunan karena kepemilikannya dipersengketakan. Gugatan yang ditujukan kepada Kementerian dan Lembaga tersebut menimbulkan risiko fiskal berupa pengeluaran negara kurang lebih sebesar Rp22.254,7 miliar dan USD2,1 miliar. Namun dari nilai tersebut tidak seluruhnya akan menjadi beban Pemerintah karena beberapa gugatan ditujukan secara tanggung renteng dengan tergugat lainnya. Gugatan tanggung renteng tersebut ditujukan pada BPKP, Kementerian Perindustrian, Kementerian Negara BUMN, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Keuangan.
VI-88
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
6.4.3.5
Bab VI
Keanggotaan pada Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional
Keanggotaan Indonesia pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dapat menimbulkan risiko fiskal terkait dengan: 1.
Adanya komitmen Pemerintah untuk memberikan kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut.
2. Adanya keterlambatan penerbitan peraturan perundang-undangan dalam hal pembayaran kontribusi dan penyertaan modal kepada organisasi atau lembaga keuangan internasional tersebut. Untuk tahun 2011, diperkirakan jumlah dana yang harus dipersiapkan oleh Pemerintah untuk membayar kontribusi dan penyertaan modal pada organisasi dan lembaga keuangan internasional sebesar Rp1.036,76 milyar. Kontribusi kepada organisasi internasional disalurkan melalui DIPA Departemen Luar Negeri sebagaimana diatur dalam Keppres No. 64 Tahun 1999 dengan jumlah kurang lebih Rp300,0 miliar. Sementara kontribusi, penyertaan modal dan trust fund pada organisasi dan lembaga keuangan internasional dialokasikan pada DIPA Departemen Keuangan sebesar Rp736,76 miliar. Dari total Rp736,76 miliar, pada RAPBN 2011 akan dialokasikan penyertaan modal kepada organisasi dan lembaga keuangan internasional sebesar Rp721,52 miliar. Kontribusi dan penyertaan modal Pemerintah pada ornganisasi dan lembaga keuangan internasional tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel VI.18. TABEL VI.18 KONTRIBUSI DAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH PADA ORGANISASI DAN LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL TAHUN 2011
Jumlah No
Organisasi dan Lembaga Keuangan Internasional Mata Uang Asing
300,0
Kementerian Luar Negeri
300,0
Kontribusi
736,8
Kementerian Keuangan 1
a. Penyertaan Modal Negara Islamic Development Bank (IDB)
2
The Islamic Corporation for the Development of Private Sector
3
Asian Delopment Bank (ADB)
4
International Bank for Reconstruction and Development (IBRD)
5
International Finance Corporation
6
International Fund for Agricultural Development (IFAD)
7
Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF)
8
b. Trust Fund ASEAN Science Fund
9
USAID Trust Fund
10
c. Kontribusi ASEAN+3 Finance Cooperation Fund (AFCF)
11
ASEAN Finance Minister Investor Seminar (AFMIS)
12 13
Macroeconomic Finance and Surveillance Office (MFSO) OECD Development Centre Total
Equivalen (miliar Rp)
721,5 ID*
7.494.994,09
USD
2.850.000,00
117,5 28,5 371,9 40,0
858.000,00
8,6
USD
1.500.000,00
15,0
USD
14.000.000,00
140,0
USD
12,8 USD
283.275,80
2,8 10,0 2,4
USD
2.000,00
USD EUR
181.571,26 31.500,00
0,0 0,2 1,8 0,4 1.036,8
Catatan: *) ID adalah Islamic Dinar yang besarnya sama dengan Special Drawing Right (SDR) IMF Sumber: Kementerian Keuangan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-89
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
6.4.3.6 Bencana Alam Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada salah satu titik rawan bencana paling aktif di muka bumi, dengan sering terjadinya gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. Data Bencana Indonesia yang ada di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa antara tahun 2004 sampai dengan 2009 terjadi 4.408 bencana alam di Indonesia, antara lain banjir (43,5 persen), kekeringan (24,6 persen), badai (13,2 persen) dan tanah longsor (10,6 persen). Jumlah peristiwa bencana di Indonesia selama periode 2004 sampai dengan 2005 dapat dilihat pada Tabel VI.19. TABEL VI.19 JUMLAH PERISTIWA BENCANA DI INDONESIA, 2004-2009 No
Bencana Alam
2004
2005
2006
2007
2008
2009
11
9
20
13
10
8
-
-
Total Per Bencana
1
Gempa Bumi
2
Gempa Bumi dan Tsunami
1
3
Letusan Gunung Berapi
5
2
5
4
8
4
Tanah Longsor
54
50
73
104
112
76
469
5
Banjir dan Tanah Longsor
9
13
31
52
39
14
158
6
Banjir
285
248
328
339
495
221
1.916
7
Kekeringan
327
222
184
152
198
-
1.083
8
Angin Topan
65
47
84
122
166
96
580
9
Gelombang Pasang
8
6
14
30
34
13
105
765
597
740
816
1.062
428
4.408
Total
-
1
71
-
2
-
24
Su m ber : BNPB (2 0 1 0 )
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah meletakkan tanggung jawab pada pundak Pemerintah untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana diantaranya perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pemulihan kondisi dari dampak bencana dan pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN. Anggaran tersebut diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan tahap pra bencana, saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana. Biaya rehabilitasi atau pemulihan infrastruktur publik dan rumah tangga, yang sebagian besar tidak memiliki perlindungan keuangan, memberikan beban besar pada pengeluaran publik. Sebagai contoh, bencana Tsunami Aceh/Nias tahun 2004 menimbulkan kerusakan dan kerugian lebih dari Rp40,0 triliun, sedangkan kerugian untuk gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 lebih dari Rp29,0 triliun. Pemerintah menghabiskan anggaran rekonstruksi senilai lebih dari Rp37,0 triliun untuk Aceh dan Nias serta sekitar Rp1,6 triliun untuk Yogyakarta. Pada RAPBN Tahun 2011, Pemerintah merencanakan kembali untuk mengalokasikan dana kontinjensi bencana alam sebesar Rp4,0 triliun. Besaran alokasi ini didasarkan pada VI-90
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
pengalaman historis kebutuhan bantuan GRAFIK VI.25 DANA CADANGAN BENCANA ALAM 2007 - 2011 Pemerintah untuk daerah-daerah yang mengalami bencana alam yang sering 4,0 3,5 terjadi namun dengan skala yang relatif 3,0 kecil (seperti banjir, gempa bumi 2,5 berkekuatan relatif kecil atau tanah 2,0 1,5 longsor). Pengalaman dari bencana besar 1,0 yang terjadi selama beberapa tahun 0,5 0,0 terakhir ini juga menunjukan pembiayaan 2007 2008 2009 2010* 2011** rehabilitasi dan rekonstruksi atas bencana- Keterangan: *APBN‐P Tahun 2010 Pagu Realisasi bencana besar makin meningkat sehingga ** Pagu RAPBN Tahun 2011 Sumber: Kementerian Keuangan tidak dapat dipenuhi hanya dari anggaran dana cadangan bencana alam. Perkembangan dana cadangan bencana alam tahun 20072010 dapat dilihat pada Grafik VI.25. Pada tahun 2001, belanja negara yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana tersebut meliputi 0,25 persen dari belanja Pemerintah pusat. Pada tahun 2007, dimana Indonesia harus membiayai rekonstruksi dari bencana relatif besar pada saat bersamaan yaitu Tsunami Aceh, serta gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, rasio belanja untuk penanggulangan bencana terhadap total belanja Pemerintah pusat naik menjadi 2,24 persen. Walaupun di tahun 2009, belanja ini dianggarkan hanya 0,5 persen dari total belanja Pemerintah pusat, namun rekonstruksi di Jawa Barat dan Sumatera Barat diperkirakan akan meningkatkan persentase ini di tahun-tahun ke depan. Dengan pola pembiayaan yang ada sekarang ini, dimana APBN menjadi tumpuan utama, bencana alam berpotensi memberikan tekanan pada kesinambungan APBN pada saat setiap terjadi bencana. Sehingga ke depan perlu dilakukan diversifikasi pembiayaan risiko bencana baik dari segi sumber, maupun pola pengalokasiannya. Dengan mempertimbangkan naiknya probabilitas kejadian bencana serta meningkatnya nilai kerusakan dan kerugian akibat vulnerabilitas dan perubahan iklim serta laju urbanisasi yang cepat, perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan keragaman dalam pilihan-pilihan pembiayaan risiko bencana. Pembiayaan risiko bencana yang merupakan kombinasi yang optimal antara risiko yang diretensi (ditanggung langsung) dan yang ditransfer agar kesinambungan fiskal terjaga. Yang menggabungkan antara pengalokasian dana kontinjensi bencana alam, seperti yang dilakukan saat ini, dengan pinjaman siaga dan asuransi untuk menutup risiko bencana yang berbeda tingkat dampak dan frekwensi kejadiannya. Gabungan pembiayaan tersebut diharapkan dapat memberikan ketahanan yang lebih tinggi bagi kesinambungan APBN. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah merumuskan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 yang salah satu programnya adalah peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan risiko bencana. Kegiatan yang menjadi salah satu fokus dari program tersebut adalah pembentukan mekanisme pendanaan risiko bencana (asuransi bencana).
6.4.4 Desentralisasi Fiskal Dalam rangka mengoptimalkan efektivitas pelaksanaan pembangunan daerah, penyelenggaraan pembangunan daerah diharapkan harus benar-benar sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas daerah. Oleh karena itu Pemerintah mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan otonomi daerah dan desentralisasi Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-91
Bab VI
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
fiskal, Pemerintah daerah, sebagai tingkatan Pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, diharapkan dapat menjadi motor penggerak pembangunan. Namun demikian, dalam implementasinya terdapat beberapa kebijakan yang berpotensi menjadi sumber risiko fiskal. a. Kebijakan Pemekaran Daerah Pemekaran daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat dalam mempercepat tercapainya tujuan yang diinginkan dalam penerapan kebijakan desentralisasi. Rentang kendali yang lebih ramping diharapkan dapat membuat pelayanan publik jauh lebih efektif dan efisien. Pemikiran luhur tersebut dalam penerapannya mengalami banyak kendala dan jika tidak dikelola dengan baik berpotensi menambah beban fiskal. Sejak mulai diberlakukannya kebijakan desentralisasi tahun 1999 sampai dengan tahun 2010 jumlah daerah otonom sudah mencapai 524 daerah yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Tren ini telah GRAFIK VI.26 disikapi Pemerintah dengan PERKEMBANGAN JUMLAH DAERAH OTONOM BARU, 1999 - 2009 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah dimana syarat untuk pembentukan daerah baru diperketat. PP tersebut diharapkan dapat menjadi penyaring utama guna mewujudkan pemekaran yang efektif. Perkembangan jumlah daerah otonom baru dapat dilihat pada Grafik VI.26. Sumber: Kementerian Keuangan Risiko fiskal yang berasal dari kebijakan pemekaran daerah ditransmisikan melalui beberapa hal, yaitu pengurangan alokasi DAU, peningkatan penyediaan DAK bidang prasarana Pemerintahan, dan peningkatan alokasi dana untuk pembangunan instansi vertikal. Dampak pemekaran terhadap DAU dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu, (1) dampak terhadap DAU daerah induk yang berkurang secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, dan belanja PNSD (netralitas fiskal), dan (2) dampak terhadap seluruh daerah karena porsi pembagian daerah pemekaran secara relatif mengurangi porsi daerah lainnya. Pada tahun 2008, dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 451 daerah, rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp358,22 miliar atau mengalami kenaikan sebesar 16,49 persen dibandingkan tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2009 dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 477 daerah, rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp351,71 miliar atau mengalami penurunan sebesar 6,50 persen dibandingkan tahun 2008. Dengan kenaikan pagu DAU Nasional tahun 2009 yang hanya sebesar 3,85 persen dibandingkan tahun 2008, dan dengan bertambahnya jumlah daerah otonom sebanyak 17 daerah yang perhitungan DAU-nya dilakukan secara mandiri, maka pada tahun 2009 terdapat beberapa daerah yang mengalami penurunan DAU. Kenaikan pagu DAU Nasional pada tahun 2010 sebesar 9,16 persen dibandingkan tahun 2009 - dengan tidak ada pemekaran daerah baru maka pada tahun 2010 rata-rata penerimaan DAU adalah sebesar Rp383,93 miliar atau naik mengalami kenaikan sebesar 32,21 persen dibandingkan tahun 2009 sebagaimana terlihat pada Tabel VI.20.
VI-92
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
TABEL VI.20 TABEL PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP DAU KABUPATEN/KOTA, 2001-2010 Tahun
DAU Nasional
DAU Kab/Kota (90% DAU Nasional)
Kenaikan DAU (%)
Jumlah Kab/Kota Penerima DAU
Kenaikan Jumlah Daerah (%)
Rata-Rata Penerimaan DAU
Kenaikan (Penurunan) Rata-Rata
(miliar rupiah)
(miliar rupiah)
2001
60.345,8
54.311,2
-
336
-
161,6
-
2002
69.159,4
62.243,5
14,6
348
3,6
178,9
17,2
2003
76.977,9
69.280,1
11,3
370
6,3
187,2
8,4 (7,0)
2004
82.130,9
73.917,8
6,7
410
10,8
180,3
2005
88.765,4
79.888,9
8,1
434
5,9
184,1
3,8
2006
145.651,9
131.086,7
64,1
434
-
302,0
118,0
2007
164.787,4
148.308,7
13,1
434
-
341,7
39,7
2008
179.507,2
161.556,4
8,9
451
3,9
358,2
16,5
2009
186.414,1
167.772,7
3,8
477
5,8
351,7
(6,5)
183.136,7
9,2
477
-
383,9
32,3
2010 203.485,2 Sumber: Kementerian Keuangan
GRAFIK VI.27 PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP ALOKASI DAK KE DAERAH 2003 - 2010
Sumbe r: Ke menterian Ke uangan
GRAFIK VI.28 PENGARUH PEMEKARAN TERHADAP ALOKASI DANA VERTIKAL KE DAERAH, 2005 - 2010 (miliar rupiah)
Untuk membantu penyediaan sarana dan prasarana Pemerintahan di daerah otonom baru, mulai tahun 2003 telah dialokasikan DAK bidang prasarana Pemerintahan, yang digunakan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan daerah pemekaran dan daerah yang terkena dampak pemekaran. Alokasi DAK bidang prasarana Pemerintahan mengalami peningkatan yang relatif cukup signifikan, dari sebesar Rp88,0 miliar untuk 22 daerah pada tahun 2003 menjadi Rp386,0 miliar untuk 123 daerah pada tahun 2010, sebagaimana terlihat pada Grafik VI.27.
Konsekuensi lain dari pemekaran daerah terhadap keuangan negara adalah penambahan kantor-kantor vertikal yang melaksanakan kewenangan Pemerintah yang tidak didesentralisasikan melalui penyediaan sarana dan prasarana kantor. Jumlah dana APBN yang dialokasikan kepada daerah otonom baru naik sebesar 63,78 persen, dari Rp8.714,0 miliar pada tahun 2005 menjadi sebesar Rp10.693,0 miliar pada tahun 2010, dapat dilihat pada Grafik VI.28. Sumber: Kementerian Keuangan
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-93
Bab VI
b.
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Pinjaman Daerah
Dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi daerah dan penyediaan layanan publik, Pemda membutuhkan dana yang relatif besar. Pemerintah telah mengambil kebijakan dengan membuka kesempatan bagi Pemda untuk melakukan pinjaman sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan. Salah satu sumber pinjaman daerah berasal dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri (Subsidiary Loan Agreement/SLA) dan RPD. Risiko fiskal yang berasal dari penerusan pinjaman dan RPD terutama berasal dari tunggakan Pemerintah daerah atas pembayaran kembali pinjaman. jumlah pinjaman yang telah dilakukan dan kinerja pembayaran kembali pinjaman dapat dilihat pada Grafik VI.29. Jika dibandingkan dengan GRAFIK VI.29 TUNGGAKAN PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH PER AKHIR, 2007 – 2011 (miliar rupiah) 667,1
700
600,3
600 500
518,2
513,7
488,4
400 300 200 100
117,6
136,1
107,8
115,8
96,2
107,3 121,6
153,8
201,4 128,2
0 2007 Catatan : * Pe rkiraan tahun 2010 ** Perkiraan tahun 2011 Sumbe r: Ke menterian Ke uangan
2008
2009
2010*
Provinsi
Kota
2011** Kabupaten
data pada tahun 2007, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi dan kabupaten mengalami penurunan di tahun 2008. Namun keadaan sebaliknya terjadi pada tunggakan pinjaman Pemerintah kota yang mengalami kenaikan sekitar 5,0 persen. Begitu juga pada tahun berikutnya, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi dan kabupaten mengalami penurunan di tahun 2009. Namun keadaan sebaliknya terjadi pada tunggakan pinjaman Pemerintah kota yang mengalami kenaikan sekitar 1 persen. Untuk estimasi tahun 2010 dan 2011, tunggakan yang dilakukan oleh Pemerintah propinsi, kabupaten dan Pemerintah kota mengalami tren kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2010, rata-rata kenaikan ketiganya sebesar 29 persen (kenaikan tertinggi terjadi pada tunggakan Pemerintah kabupaten sekitar 43 persen). Dan untuk tahun 2011, ratarata kenaikan ketiganya sebesar 16 persen (kenaikan tertinggi terjadi pada tunggakan Pemerintah kabupaten sekitar 31 persen). c.
Pengalihan Pajak Pusat Menjadi Pajak Daerah
Untuk meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah juga perlu adanya penambahan jenis pajak dan retribusi baru bagi daerah. Penambahan jenis pajak dan retribusi VI-94
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
Pembiayaan Anggaran dan Risiko Fiskal
Bab VI
baru dilakukan dengan memperhatikan kriteria pajak daerah dan retribusi daerah yang baik dan secara teori dan praktik telah teruji. Pajak baru tersebut, antara lain, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah. Dua jenis pajak ini sebelumnya merupakan jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat. Dampak risiko fiskal yang terjadi adalah penurunan penerimaan pajak pusat dengan adanya pengalihan BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah. Pemungutan PBB-P2 dilakukan paling lambat 31 Desember 2013, sementara itu, BPHTB sepenuhnya diserahkan kepada daerah pada 1 Januari 2011. Penerimaan BPHTB tahun 2006-2010 menunjukkan tren kenaikan rata-rata 20,0 persen, 8.000,0 dimana kenaikan tertinggi 7.000,0 7.155,5 5.953,4 terjadi pada tahun 2007 sebesar 6.000,0 6.464,50 5.573,1 5.000,0 87,0 persen dibandingkan tahun 4.000,0 sebelumnya. Perkembangan 3.184,5 3.000,0 penerimaan BPHTB dapat 2.000,0 dilihat pada Grafik VI.30. 1.000,0 Dalam periode tersebut, 2006 2007 2008 2009 2010 disamping dipengaruhi oleh (APBN-P) Sumber: Kementerian Keuangan perkembangan kondisi perekonomian yang sangat berpengaruh positif terhadap perkembangan sektor konstruksi dan transaksi jual beli tanah dan bangunan, juga berkaitan dengan berbagai langkah kebijakan peningkatan efektifitas dan efisiensi dalam pemungutan BPHTB. GRAFIK VI.30 PENERIMAAN BPHTB, 2006 - 2011 (miliar rupiah)
Nota Keuangan dan RAPBN 2011
VI-95