BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pasar modal merupakan alternatif pembiayaan pendanaan perusahaan selain pembiayaan oleh bank. Adapun kondisi di pasar modal memiliki kaitan yang erat dengan kondisi perekonomian. Keadaan perekonomian makro yang stabil
merupakan
salah
satu
pendorong
berkembangnya
pasar
modal.
Pertumbuhan ekonomi yang positif kemungkinan akan diikuti oleh meningkatnya nilai kapitalisasi pasar di pasar modal. Pertumbuhan ekonomi bisa diukur dari peningkatan Gross Domestic Product (GDP), yang menunjukkan besarnya pertumbuhan barang dan jasa dalam suatu negara. Untuk mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi ini, diperlukan investasi untuk dapat menunjang kegiatan produksi dan di sinilah pasar modal memiliki peranan penting dalam menyediakan sumber dana jangka panjang bagi pengembangan dunia usaha. Initial Public Offering (IPO) atau penawaran umum perdana merupakan penawaran saham perusahaan ke publik untuk pertama kalinya. Menurut Undangundang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual efek kepada masyarakat
berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang- undang ini dan
peraturan pelaksanaannya. Penawaran Umum Perdana ini terjadi di pasar primer, yaitu pasar yang terjadi saat emiten pertama kali menjual efek kepada masyarakat
1
2
umum, dan kemudian saham yang sudah beredar tersebut akan diperdagangkan di pasar sekunder. Keputusan manajemen perusahaan untuk melakukan IPO pada umumnya didasari motif untuk memperoleh tambahan modal untuk rencana pengembangan usaha dan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dari para pemilik perusahaan tersebut,
walaupun
demikian,
keputusan
untuk
going
public
harus
dipertimbangkan secara seksama karena akan menimbulkan berbagai dampak dan konsekuensi bagi perusahaan. Roell (1996) dalam penelitiannya mengurutkan berbagai macam alasan perusahaan dalam melakukan going public berdasarkan tingkat kepentingannya sebagai berikut: pembiayaan baru; peningkatan tampilan perusahaan dan publisitas; motivasi bagi manajemen dan karyawan; menjual kepemilikan yang dimiliki oleh pendiri atau pemegang saham yang sudah ada; mengeksploitasi mispricing yang timbul. Menurut Jogiyanto (2009: 35) ada beberapa keuntungan dan juga kerugian yang dapat diperoleh dari IPO yang dilakukan oleh perusahaan. Keuntungan dari melaksanakan IPO adalah timbulnya kemudahan untuk meningkatkan modal di masa mendatang, meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham, dan mengetahui nilai pasar perusahaan tersebut. Beberapa kerugian dari IPO adalah peningkatan biaya laporan, adanya kewajiban pengungkapan informasi tentang perusahaan dan timbulnya ketakutan untuk diambil alih oleh manajemen baru. Amihud dan Mendelson (1988) berpendapat bahwa IPO membuat saham perusahaan menjadi lebih likuid dan juga akan meningkatkan nilai perusahaan. Bolton dan Von Thadden (1998) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan
3
melakukan go public, perusahaan akan dimonitor oleh pihak luar seperti auditor, analis, ataupun investor, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan. Pagano dan Zingales (1996) menemukan bahwa kemungkinan terjadinya IPO terkait secara positif dengan rasio market-to-book yang terdapat di sektor industri yang relevan; IPO diikuti oleh pengurangan profitabilitas yang abnormal; modal baru yang diperoleh dari IPO tidak digunakan untuk membiayai investasi berikutnya tapi untuk mengurangi leverage; menjadi go public mengurangi biaya pinjaman ke bank; IPO sering diasosiasikan dengan penjualan ekuitas oleh pemegang saham pengendali, yang lalu diikuti oleh perputaran kendali yang lebih tinggi. Untuk melakukan IPO, diperlukan persiapan yang intensif dan juga penentuan waktu yang terbaik untuk melakukan penawaran umum perdana tersebut. Kesuksesan IPO pada umumnya tergantung dari adanya minat pasar yang cukup besar terhadap perusahaan, yang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal lainnya seperti kondisi pasar modal, kondisi ekonomi secara umum dan spesifik pada suatu industri tertentu serta prospek masa depan perusahaan tersebut. Menurut teori yang diusulkan oleh Loughran dan Ritter (1995) perusahaan tidak memasuki pasar modal pada saat perusahaan tersebut memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi dan membutuhkan modal tambahan, tapi pada saat pemegang saham saat itu berpikir bahwa langkah tersebut menguntungkan. Pemegang saham yang ada akan memasuki pasar modal pada saat perusahaan sedang dalam kondisi keuangan yang sangat baik, memiliki laporan kinerja
4
operasional yang maksimum dan sektor di mana perusahaan tersebut beroperasi sedang berada di puncak pertumbuhan. Loughran dan Ritter mengasumsikan bahwa investor akan memiliki kecenderungan positif terhadap nilai yang sebenarnya dari perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Ketika kondisi ekonomi sedang berada dalam keadaan yang baik, maka hal ini akan berpengaruh positif pada aliran kas perusahaan. Banyak perusahaan yang melakukan IPO secara bersamaan saat aliran kas yang dihasilkan perusahaan tinggi dan juga saat harga-harga saham di pasar modal relatif tinggi (Benninga, Helmantel, dan Sarig, 2005). Dalam mempersiapkan proses IPO, pada umumnya perusahaan dibantu oleh banker investasi (investment banker), yang juga memberikan pertimbangan bagi perusahaan dalam menentukan harga saham untuk penawaran perdana tersebut. Secara rata-rata, harga saat perusahaan menjual saham untuk pertama kalinya ke publik adalah rendah, fenomena ini disebut sebagai IPO underpricing. Menurut Beatty dan Ritter (1986) maupun Rock (1986), underpricing ini timbul dari ketidaksimetrisan informasi di antara pihak-pihak yang terkait dalam IPO. Underpricing ini terkait dengan informasi yang diperoleh banker investasi atau penjamin dari investor yang memiliki banyak informasi selama masa registrasi IPO dan hal ini dikompensasi oleh penjamin dengan cara hanya memasukkan sebagian dari informasi tersebut ke dalam harga penawaran perdana, sehingga para investor tersebut bisa memperoleh tingkat pengembalian yang tinggi di pasar sekunder (Benveniste dan Spindt, 1989).
5
Roosenboom (2012) mendokumentasikan dalam penelitiannya bahwa penjamin sering menggunakan penilaian dengan menggunakan multiples, Discounted Cash Flow (DCF) ataupun dividend discount model untuk menentukan nilai wajar, yang nantinya akan digunakan sebagai landasan dalam penentuan harga untuk IPO. Seperti yang sudah dibahas pada beberapa paragraf sebelumnya, ditemukan bahwa penjamin sengaja membuat perkiraan nilai wajar yang lebih rendah dalam menentukan harga penawaran pendahuluan, yang nantinya akan menimbulkan underpricing. Beberapa penelitian yang mendukung penggunaan multiples dalam penilaian antara lain adalah Kim dan Ritter serta Alford. Menurut Kim dan Ritter (1999) banyak literatur ya ng menyarankan bahwa titik awal untuk menetapkan harga dalam IPO itu dengan membandingkan performa operasional dan keuangan perusahaan dengan perusahaan-perusahaan publik lainnya yang berada dalam industri sejenis. Perusahaan dan penjamin menetapkan penentuan harga berdasarkan analisis rasio harga pasar, dengan penyesuaian terhadap perbedaan spesifik dalam perusahaan. Setela h menetapkan kisaran harga, perusahaan dan penjamin akan mengumpulkan data pasar IPO yang lebih detil untuk menentukan harga akhir. Alford (1992) meneliti keakuratan metoda penilaian P/E (Price to Earning) ketika perusahaan pembanding dipilih berdasarkan industri dan menemukan bahwa cara ini relatif efektif. Selain pengelompokkan berdasarkan industri, penyesuaian ukuran perusahaan
dinilai tidak menambah keakuratan,
sedangkan penyesuaian berdasarkan perbedaan dalam tingkat leverage justru akan menurunkan keakuratan.
6
Menurut Kaplan dan Ruback (1995) penilaian dengan menggunakan DCF yang berbasis CAPM juga memiliki keakuratan yang sama seperti penilaian dengan menggunakan multiples. Kaplan dan Ruback meneliti pendekatan DCF dalam transaksi yang memiliki tingkat leverage yang tinggi seperti MBO ataupun rekapitalisasi dan perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah perusahaan dengan ukuran yang besar dan sudah mencapai tahap mapan. Kaplan dan Ruback menemukan bahwa harga transaksi tersebut mendekati nilai kini dari aliran kas yang diproyeksikan. Berbagai macam pendekatan yang digunakan dalam penilaian saham perusahaan tersebut bertujuan untuk menentukan nilai pasar wajar saham yang juga merupakan nilai intrinsik suatu perusahaan. Menurut Damodaran (2006: 10), nilai intrinsik adalah nilai suatu aset yang disimpulkan oleh seorang analis yang memiliki akses terhadap semua informasi dan mempunyai model penilaian yang sempurna. Nilai intrinsik ini akan dibandingkan dengan Nilai Pasar Wajar Saham tersebut, untuk mengetahui apakah saham tesebut dalam keadaan overvalued (nilai pasar lebih tinggi daripada nilai intrinsik ) ataupun undervalued (nilai pasar lebih rendah daripada nilai intrinsik). Dalam penelitian ini, pendekatan penilaian yang digunakan bertujuan untuk menentukan apakah harga saham yang ditetapkan oleh perusahaan pada saat IPO itu lebih tinggi atau lebih rendah daripada nilai intrinsik perusahaan tersebut. Perusahaan yang menarik minat penulis untuk diteliti berkaitan dengan IPO adalah PT Toba Bara Sejahtra Tbk. (selanjutnya akan disebut “PT TOBA”). Perusahaan ini bergerak di sektor pertambangan batubara dan menjalankan
7
usahanya melalui entitas anak perusahaan. Hal yang menarik adalah sejak akhir tahun 2011, Harga Batubara Acuan (HBA) mulai pengalami penurunan, yang antara lain disebabkan oleh krisis ekonomi di Eropa, melambatnya perekonomian di China dan India, dan juga kelebihan produksi dalam negeri. Menurut Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, selama Januari-Maret 2012 produksi batubara dalam negeri mencapai 102 juta ton, di mana jumlah ini melebihi produksi pada kurun waktu yang sama pada tahun 2011 sebanyak 90 juta ton. Penurunan harga batubara dunia dan juga HBA ini telah membuat harga saham-saham yang bergerak di sektor pertambangan batubara terdorong turun, tapi justru pada Juli 2012, PT TOBA memutuskan untuk melakukan penawaran saham perdana (IPO). Hal ini membuat penulis tertarik untuk melakukan analisis dalam rangka memperkirakan nilai pasar wajar saham PT TOBA, untuk mengambil kesimpulan apakah harga yang ditetapkan untuk penawaran dalam IPO itu sudah optimal untuk memaksimalk an potensi penambahan modal, dengan cara mengetahui apakah nilai intrinsik atau nilai pasar wajar saham tersebut lebih tinggi (undervalued) atau lebih rendah (overvalued) daripada harga penawaran saat IPO. Beberapa paragraf uraian di atas telah menjelaskan mengapa penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Analisis Nilai Pasar Wajar Saham PT Toba Bara Sejahtra dalam Rangka Initial Public Offering (IPO) dengan Menggunakan Pendekatan DCF dan Relative Valuation”.
8
1.1.1
Rumusan masalah Berdasarkan uraian pada poin sebelumnya, maka salah satu bagian yang
terpenting dalam IPO adalah menentukan estimasi nilai pasar wajar suatu saham. Penelitian ini akan menguraikan analisis dan metoda yang dilakukan untuk memperoleh estimasi nilai pasar wajar saham PT Toba Bara Sejahtra.
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pendekatan DCF dan relative valuation untuk memperkirakan nilai pasar wajar PT Toba Bara Sejahtra dalam rangka IPO belum pernah dilakukan sebelumnya, namun penelitian yang berkaitan dengan penilaian perusahaan yang melaksanakan IPO dengan menggunakan metoda DCF ataupun relative valuation telah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian tersebut antara lain. 1. Roosenboom
(2012)
mendokumentasikan
dalam
penelitiannya
bahwa
penjamin sering menggunakan penilaian dengan menggunakan multiples, DCF ataupun dividend discount model untuk menentukan nilai wajar, yang nantinya akan digunakan sebagai landasan dalam penentuan harga untuk IPO. 2. Menurut Ritter (1998), pada prinsipnya, menilai nilai pasar wajar saham perusahaan dalam rangka IPO, tidak berbeda dengan penilaian saham lainnya. Pendekatan yang umumnya bisa digunakan adalah pendekatan DCF maupun relative valuation. Pada praktiknya, jika yang melakukan IPO adalah perusahaan baru yang dalam keadaan bertumbuh, maka informasi akuntansi historis memiliki kegunaan yang terbatas dalam memproyeksikan laba masa
9
depan ataupun aliran kas, sehingga penilaian pendahuluan mungkin akan sangat mengacu pada bagaimana pasar menilai perusahaan-perusahaan lain yang sebanding, yang kadang mudah untuk ditemukan tetapi terkadang juga sulit untuk mencari perusahaan lain yang sebanding. 3. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Deloof, dkk (2002), estimasi nilai praIPO yang dilakukan oleh penjamin investasi di Bank of Belgian dibandingkan dengan harga penawaran dan harga saham pada periode satu bulan pertama pencatatan saham di pasar modal. Untuk 33 IPO yang tercatat pada tahun 1993 – 2000, ditemukan bahwa dalam semua kasus, penjamin menggunakan lebih dari satu metoda untuk mengestimasi nilai saham dan metoda DCF adalah metoda yang paling populer. Nilai penawaran IPO terutama akan sangat dipengaruhi oleh dividend discount model jika metoda ini diaplikasikan, akan tetapi metoda ini juga tidak lebih baik dalam memprediksi harga wajar dibandingkan dengan metoda penilaian lainnya. Lebih jauh lagi, salah satu hasil penelitian ini mengimplikasikan bahwa dividend discount model cenderung untuk memberikan estimasi nilai yang terlalu rendah sedangkan model Discounted Cash Flow menghasilkan perhitungan yang tidak bias. Terakhir, penelitian ini juga mengindikasikan nilai penawaran
lebih
mendekati nilai saham setelah terdaftar di pasar saham daripada estimasi yang dihasilkan oleh penilaian individu, walaupun perbedaannya tidak terlalu signifikan secara statistik. 4. Nofizantara
(2011) melakukan penelitian untuk mengestimasi nilai pasar
wajar PT Garuda Indonesia dalam rangka penawaran saham perdana, denga n
10
menggunakan pendekatan DCF dan relative valuation. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah laporan keuangan perusahaan pada tahun 2005 sampai dengan 2010. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa harga saham PT Garuda Indonesia saat IPO tersebut lebih rendah daripada perkiraan nilai pasar wajar perusahaan, sehingga terjadi keadaan undervalued. 5. Roosenboom (2012) menginvestigasi bagaimana penjamin menentukan nilai wajar dalam IPO dan bagaimana para penjamin ini menggunakan nilai wajar ini sebagai landasan untuk penetapan harga dalam IPO. Roosenboom mengumpulkan sekelompok data yang terdiri dari 228 buah laporan penjamin tentang IPO perusahaan-perusahaan yang terdapat pada NYSE Euronext Paris. Hasilnya menunjukkan bahwa pada umumnya penjamin mengestimasi nilai wajar dalam rangka IPO perusahaan dengan menggunakan multiple atau relative valuation, dividend discount model dan DCF. Tidak ada satupun teknik penilaian yang lebih tidak bias secara positif maupun lebih akurat dibanding teknik penilaian lainnya. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1
Tujuan penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah. 1. Mengestimasi nilai pasar wajar per lembar saham PT Toba Bara Sejahtra (“PT TOBA”) untuk dibandingkan dengan nilai yang telah ditetapkan oleh manajemen PT TOBA sebagai harga saham pada saat initial public offering (IPO).
11
2. Menentukan apakah harga penawaran saham yang telah ditetapkan oleh PT TOBA pada saat IPO berada dalam keadaan overvalued atau undervalued.
1.3.2
Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan manfaat yang berarti bagi. 1. Investor. Dengan mengetahui nilai intrinsik PT TOBA, maka penelitian ini bisa menjadi salah satu referensi bagi investor/masyarakat, dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi dengan membeli saham penawaran perdana PT TOBA. Melalui penelitian ini, juga dapat diketahui apakah saham PT TOBA layak dijadikan perwakilan untuk berinvestasi pada saham di industri pertambangan batubara 2. Perusahaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk melakukan evaluasi terhadap estimasi nilai pasar wajar saham PT Toba Bara Sejahtra pada saat melakukan IPO. 3. Akademisi. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan penilaian suatu usaha. 1.4 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini terdiri dari empat bab yaitu Pengantar, Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, Analisis Data dan Pembahasan serta Kesimpulan dan Saran. Gambaran secara umum dari masing- masing bab dapat diuraikan secara rinci
12
sebagai berikut: Bab I merupakan pengantar, yang menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian serta sistematika penulisan; Bab II adalah tinjauan pustaka dan alat analisis, yang memberikan penjelasan mendetil terhadap tinjauan pustaka, landasan teori, serta alat analisis; Bab III merupakan analisis data dan pembahasan yang mengulas tentang gambaran umum PT TOBA, sejarah singkat PT TOBA, analisis perekonomian makro, prospek usaha PT TOBA, proses penilaian saham dengan menggunakan beberapa pendekatan dan metoda, serta estimasi tentang nilai pasar wajar saham PT TOBA dalam rangka IPO; Bab terakhir atau Bab IV adalah
kesimpula n dan saran, yang membahas kesimpulan, saran, dan
keterbatasan penelitian.