BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791 km (Supriharyono, 2006). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar, diantaranya potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang sedangkan potensi non hayati misalnya mineral, bahan tambang, serta pariwisata. Sumber daya alam di wilayah pesisir sangat banyak jumlahnya, salah satunya adalah hutan mangrove. Namun, dewasa ini pemanfaatan hutan mangrove terjadi secara besar-besaran bahkan sampai mengalihfungsikan kawasan ini menjadi daerah pemukiman, pertanian, tambak, industri, dan sebagainya. Eksploitasi secara besar-besaran ini berdampak besar pada kerusakan dan hilangnya hutan mangrove. Kerusakan ini sangat membahayakan, baik pada kehidupan darat maupun laut. Akibat yang nyata pada kehidupan darat yaitu desa-desa sepanjang pantai terkena abrasi, prasarana jalan terancam rusak, dan penangkapan ikan oleh nelayan semakin menurun. Selain itu, pengusaha tambak disepanjang pantai “collapse” atau bangkrut, karena mengalami gagal panen. Dampaknya terhadap
1
kehidupan laut adalah hilangnya spesies-spesies penghuni mangrove yang spesifik. Di NTT luas hutan mangrove tercatat 40.695 ha dan dari luas tersebut sekitar 9.989 ha (24,55%) mengalami kerusakan akibat penebangan oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan dan kayu bakar. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan, Universitas Cendana (UNDANA), dan Institut Pertanian Bogor (IPB), degradasi sumberdaya pesisir dan laut di NTT tidak saja disebabkan oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam seperti perubahan suhu, salinitas air laut, perubahan iklim, dan ombak keras. Namun, kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah diakibatkan oleh pengaruh antropogenic (aktivitas manusia), antara lain tumpahan minyak dan sampah, tangkapan berlebih (over fishing), penambangan terumbu karang, konversi menjadi tambak, serta pemboman ikan dan penangkapan ikan dengan potasium atau sianida. Padahal jika ekosistem mangrove dimanfaatkan secara baik dapat memberikan keuntungan ganda, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa di sekitar pantai dan ekosistem mangrove tetap terpelihara sehingga dapat meningkatkan daya dukung lingkungan di sekitarnya. Penurunan kawasan mangrove berdampak pula bagi jenis tumbuhan mangrove asosiasi yaitu tumbuhan santigi (Pemphis acidula) yang berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap angin kencang. Ancaman lokal bagi jenis ini adalah koleksi untuk digunakan dalam perdagangan bonsai. Meskipun ada penurunan secara keseluruhan di banyak daerah spesies ini tidak termasuk salah satu kategori terancam tetapi spesies ini terdaftar sebagai kategori Least Concern
2
3
(LC) atau beresiko rendah. Spesies ini terdaftar sebagai spesies yang kurang diperhatikan (Ellison dkk., 2010). Walaupun demikian spesies ini memiliki potensi yang cukup besar dalam penyediaan sektor pangan maupun non pangan, tetapi pemanfaatannya belum secara optimal. Diversifikasi bahan baku untuk sektor non pangan khususnya asosiasi mangrove yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah santigi (Pemphis acidula). Tumbuhan santigi dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi yaitu untuk mengobati sariawan sedangkan dalam bidang kecantikan yaitu untuk pembuatan kosmetik. Kulit batang santigi memiliki kandungan senyawa antioksidan dan antibakteri serta pigmen dengan warna yang menarik. Pigmen warna yang dihasilkan dapat diaplikasikan sebagai pewarna alami pada industri makanan, tekstil, dan kosmetik. Bahan baku dari kulit batang Pemphis acidula merupakan sumberdaya alam yang terbaharui yang dapat diproduksi secara kontinyu dan ramah lingkungan. Selain itu, santigi dapat digunakan untuk pembuatan bonsai karena memiliki daun dan batang yang unik. Seni memanfaatkan santigi untuk dijadikan tanaman bonsai memberikan peluang bagi sebagian masyarakat untuk menjadikan bonsai santigi sebagai komoditi bisnis karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Kisaran harga bonsai santigi antara puluhan sampai ratusan juta rupiah. Bagi masyarakat Kabupaten Belu khususnya yang berada di sekitar kawasan Cagar Alam (CA) Maubesi, eksploitasi terhadap tumbuhan santigi belum tergolong tinggi. Namun bagi masyarakat Sumba Nusa Tenggara Timur telah terjadi eksploitasi secara besar-besaran terhadap tumbuhan santigi untuk dijadikan
4
tanaman bonsai karena memiliki harga jual yang cukup tinggi. Kegiatan ini dapat mengurangi keanekaragaman hayati yang ada di hutan mangove terutama berkurangnya jenis Pemphis acidula yang berfungsi menjaga ekosistem mangrove dari terpaan angin kencang. Maka penulis mengambil judul “Pola Distribusi Spasial Jenis Santigi (Pemphis acidula) dan Ancaman Kelestariannya Di Cagar Alam Maubesi Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur” untuk mengkaji lebih dalam bagaimana sebaran jenis ini tumbuh di alam dan dapat memberikan informasi kepada masyarakat akan pentingnya fungsi tanaman santigi di kawasan hutan mangrove walaupun jenis ini tergolong kategori yang kurang diperhatikan.
1.2. Permasalahan Luas hutan mangrove mengalami tekanan akibat faktor alam dan manusia. Dampak nyata dari degradasi hutan mangrove ini adalah penurunan luas kawasan mangrove dan berdampak pula bagi jenis tumbuhan santigi (Pemphis acidula) yang berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap angin kencang. Pemphis acidula berkontribusi juga dalam menjaga ekosistem mangrove dari faktor alam. Oleh karena itu eksploitasi Pemphis acidula untuk dijadikan seni bonsai harus dicegah agar degradasi hutan mangrove dapat diminimalisir. Selain itu untuk mencegah penurunan keanekaragaman jenis. Pemanfaatan mangrove asosiasi yaitu jenis Pemphis acidula sebagai tanaman hias bonsai memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga mempunyai potensi untuk dieksplotasi oleh masyarakat. Pengambilan santigi berupa bahan
5
galian alam terutama pada tingkat semai, dapat mengurangi kelimpahan jenis santigi di kawasan CA Maubesi. Walaupun tumbuhan ini memiliki kemampuan untuk tumbuh dan menghasilkan akar dan tunas baru yang sangat cepat, namun untuk menjadi sebatang korek api santigi memerlukan waktu yang cukup lama yaitu 2 tahun. Dapat dikatakan santigi merupakan tumbuhan yang tidak produktif. Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk mengkaji lebih dalam sebaran dari jenis mangrove asosiasi ini. Data yang diperoleh dapat dijadikan sumber informasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di CA Maubesi, terutama terhadap jenis santigi dan juga mengkaji apakah faktor manusia (yaitu aktivitas pengambilan santigi di kawasan CA ini) berpengaruh terhadap hilangnya keanekaragaman jenis santigi dilihat dari segi ekologi santigi.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui kelimpahan jenis santigi (Pemphis acidula). 2. Untuk mengetahui pola distribusi spatial jenis santigi. 3. Untuk mengetahui ancaman dari pengambilan santigi terhadap kelestariannya di CA Maubesi.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata baik bagi pengelola, akademisi, maupun pembaca sebagai:
6
1. Sumber data penting dalam hal pengetahuan serta penelitian mengenai santigi (Pemphis acidula). 2. Sumber informasi pola distribusi spasial terhadap keberadaan jenis santigi di CA Maubesi. 3. Masukan dalam pengembangan IPTEK terutama konservasi habitat dan sumber daya genetik untuk mempertahankan keberadaan santigi di Indonesia agar tetap lestari. 4. Masukan dalam membangun CA Maubesi terutama terhadap jenis santigi untuk meningkatkan nilai ekonomi dari jenis tersebut.