BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Sejak merdeka pada tahun 1945 Indonesia dapat dikatakan sudah termasuk negara yang sering melakukan pemilihan umum sebagai bentuk nyata dari demokrasi, Namun hingga saat ini bangsa ini belum dapat melakukan pemilu yang benar-benar demokratis. Sebagai pembenaran banyak anggapan yang menyatakan hal tersebut terjadi disebabkan karena Indonesia masih tergolong baru sebagai negara yang melakukan sistem demokrasi. namun seharusnya ini bukan menjadi alasan yang selalu disodorkan dalam melakukan pembenaran. Pernyataan ini bukan tanpa dasar, tapi berdasarkan fakta yang terjadi dapat dilihat berapa kalipun Indonesia melakukan proses pemilu tersebut, selalu saja banyak penyimpanganpenyimpangan, adanya pihak-pihak yang tidak dapat menerima hasil dari pilihan rakyat dengan berjiwa besar, dan sampai kepada masalah-masalah kekerasan yang menimbulkan jatuhnya korban. Hal ini juga terus merasuk kepada proses pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia, dan masalahnya ialah pemilihan kepala daerah lebih rawan penyimpangan dan begitu dekat dengan kekerasan. Munculnya sentimen-sentimen didaerah dapat menjadi pemicu banyaknya problem baru dari proses demokrasi tersebut, maka tidak mengherankan hinggga saat ini banyak perselisihan yang bahkan sampai kepada skala yang besar terjadi di berbagai daerah di Indonesia, tentunya ini bukan hal seperti inilah yang diharapkan dari proses demokrasi. Banyaknya penyimpangan yang terjadi kemudian dapat memunculkan tanda tanya di hati rakyat dan selanjutnya memunculkan anggapan yang menyatakan bahwa pemilu yang diselenggarakan hanya merupakan basa-basi yang dilakukan demi kepentingan perorangan atau kelompok yang justru memunculkan ketidaknyamanan ditengah-tengah masyarakat. 1 Seharusnya pemilu menjadi sebuah ajang yang sangat sakral bagi rakyat dimana mereka menentukan pilihan yang tepat dan berdampak kepada beberapa tahun ke depannya. Lamanya Indonesia berada dibawah bayang-bayang rezim orde baru juga dapat dikatakan berpengaruh besar terhadap rasa persaingan yang sesungguhnya, sebab pada zaman orde baru, sebuah persaingan apalagi persaingan politik tidak begitu mencolok pada masa itu. Kehidupan demokrasi yang salah pada saat itu ternyata bukan hanya berimbas pada masa itu saja, namun ternyata imbasnya masih dapat terlihat dalam kehidupan berdemokrasi sesudah 1
Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 2007, Hal 3.
Universitas Sumatera utara
era reformasi yang terus berjalan hingga saat ini, yaitu bagaimana sebuah persaingan politik yang betul-betul sehat masih sulit terlihat didalam kehidupan berdemokrasi. Dalam hal ini dibutuhkan sebuah mental yang benar-benar kuat didalam prakteknya apalagi kepada pihak yang terlibat langsung di dalam prosesnya. Persoalan atau permasalahan politik sesungguhnya dapat dilihat dan dikaji dari berbagai macam pendekatan. Permasalahan politik dapat dipelajari dari kekuasaan, pemikiran politik, pendidikan politik, partisipasi politik, budaya politik, konstitusi, dan marketing politik. Pendekatan marketing politik dipilih berdasarkan kemajuan pesat demokrasi yang ada di Indonesia. Setiap harinya masyarakat atau warga negara hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek dan kegiatan politik baik secara langsung ikut didalam kegiatan politik maupun hanya menjadi penikmat, pendengar, atau menyaksikan secara tidak langsung seluruh kegiatan politik melalui media yang ada di sekitar mereka. Interaksi yang terjadi antara pemerintah dan warga negara tersebut akan memunculkan variasi pandangan, penilaian, dan opini dari warga negara terhadap pemerintah mereka, pandangan-pandangan tersebut akan menjadi ukuran kepuasan warga negara terhadap pemerintahnya. Marketing yang merupakan sebuah kajian dalam dunia bisnis diasumsikan berguna bagi institusi politik. Sebagai mana diketahui ilmu marketing adalah sebuah disiplin yang menghubungkan produsen dengan konsumen, sehingga jelas dalam hal ini dapat dilihat bagaimana di dalam marketing hubungan yang terjadi tidak hanya satu arah, namun merupakan hubungan dua sekaligus dan bersifat simultan. Pada bagian ini pihak produsen bukan hanya memperkenalkan barang atau jasa kepada konsumen, namun produsen juga melakukan berbagai usaha untuk mempengaruhi konsumen sekaligus berusaha mengungguli para pesaing lain yang pada saat bersamaan juga melakukan usaha-usaha agar produk mereka dapat dibeli oleh pihak konsumen. Demikian juga halnya dalam penerapannya dalam ilmu politik yakni bagaimana institusi politik membawa produk politik kepada konstituen dan masyarakat secara luas. 2 Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau sering disebut Pilkada Langsung merupakan suatu kondisi yang memungkinkan proses pembelajaran politik terhadap masyarakat dapat terwujud, sehingga daya kritis masyarakat dalam berpolitik meningkat. Pilkada langsung pada dasarnya adalah mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat diberikan hak dan kebebasan sepenuhnya untuk menentukan calon kepala daerah yang dianggap mampu menyuarakan
2
Ibid, Hal 140-141.
Universitas Sumatera utara
aspirasinya. Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung ini didasarkan pada landasan hukum yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah. 3 Pelaksanaan Pilkada telah membawa beberapa harapan baru masyarakat untuk pengembangan demokrasi di tingkat lokal. Diantaranya adalah : pertama, secara empirik, Pilkada langsung memiliki nilai strategis dalam rangka mengurangi kelemahan yang menjadi ciri perpolitikan lokal saat ini. Misalnya arogansi lembaga legislatif yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya representasi rakyat, legitimasi akuntanbilitas publik tidak lagi ditentukan oleh DPRD, tetapi oleh rakyat yang memilihnya dan legitimasi kepala daerah semakin kuat. Kedua, Pilkada juga dapat dijadikan sebagai ruang pengelolaan kedaulatan rakyat di samping sebagai instrumen untuk mendorong mekanisme demokrasi bekerja di tingkat lokal. Kini tidak mudah lagi bagi pemerintahan pusat untuk terlibat dalam penentuan kepala daerah karena rakyat yang akan menentukan langsung pemimpinnya. Dengan adanya Pilkada, percaturan di arena politik lokal lebih banyak diwarnai permainan dari masing-masing stakeholder yang ada sehingga iramanya lebih kompetitif dan dinamis. Hal ini kemudian menyebabkan aktor-aktor politik yang bermain akan semakin dekat dengan rakyat. Ketiga, Pilkada juga dapat dijadikan alat untuk memperkuat institusi politik lokal. Saat ini baik Kepala Daerah maupun DPRD memiliki basis politik yang kuat, karena mereka memperoleh legitimasi langsung dari rakyat. Dan keempat, Pilkada dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk membentuk wadah integritas bersama dalam membangun daerah. Pilkada dapat dijadikan sebagai sebuah konsensus bersama antara calon kepala daerah dan masyarakat untuk memperbaiki ketimpangan dan masalah-masalah yang menghambat kemajuan daerah. 4 Penerapan marketing politik dalam pemilihan kepala daerah sangat membantu para kandidat untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat. Pada saat inilah para kandidat berkesempatan memperkenalkan produk politik mereka kepada masyarakat. Produk politik mereka dapat berupa atribut kandidat, latar belakang kandidat, partai politik, program kerja, ideologi, dan lain sebagainya. Dan dari kesemua hal-hal yang menjadi produk 3
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan hasil revisi UU No. 22/1992 yang secara final diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2004. 4 Syamsul Hadi Thubany, Pilkada Bima 2005: Era Baru Demokratisasi Lokal Indonesia, Tuban : Bina Swagiri, 2005, Hal. 67.
Universitas Sumatera utara
politik tersebut adalah bertujuan untuk menarik dukungan dari masyarakat sekaligus marketing politik sangat berguna dalam membantu mereka mendapatkan informasi tentang para kandidat seperti prestasi mereka dan apa saja yang telah mereka lakukan sebelum mencalonkan diri sebagai kandidat Inilah yang menjadi dasar bagi penulis tertarik memilih judul marketing politik dalam proses Pilkada, karena pada dasarnya marketing politik merupakan strategi atau cara yang digunakan untuk mempengaruhi pilihan para pemilih. dimana strategi atau cara yang digunakan tersebut akan membentuk sebuah makna politis di pikiran para pemilih, dan makna politis inilah yang membuat para pemilih untuk menentukan pilihan mereka. Dalam penelitian ini penulis mengambil studi tentang Marketing Politik dalam Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010 dan secara khusus meneliti tentang marketing politik yang dilakukan oleh partai politik yang berperan sebagai tim sukses yang mengusung pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana yang merupakan pemenang pada putaran kedua Pilkada tersebut sekaligus terpilih menjadi Bupati Karo. Sebelumnya penulis terlebih dahulu menyajikan secara singkat mengenai proses dan hasil dari Pilkada di Kabupaten Karo pada putaran pertama. Pada awalnya ada 13 pasang calon yang mendaftar ke KPUD Karo, namun pada akhirnya ada 10 pasangan calon yang dinyatakan lolos verifikasi administrasi antara lain; 5 Pertama, pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana yang memiliki enam kursi. Pasangan ini diusung PKPB, PKPI, Partai Gerindra, PPIB, PNBKI, PKB, PPI, PBB, Partai Buruh dan Partai Merdeka. Kedua, pasangan Abed Nego Sembiring - Sanusi Surbakti yang maju dari perseorangan dengan memiliki 18.919 orang. Ketiga, pasangan Sumbul Sembiring - Paham Ginting, diusung PIS dan PAN yang memiliki enam kursi di DPRD Karo. Keempat, pasangan M Ramli Purba - Rony Barus. Pasangan ini diusung Partai Barnas, Partai Patriot, Partai Pelopor, PPRN, PKS dan PPP yang total suara sah 25.274 orang. Kelima, pasangan Riemenda Ginting - Aksi Bangun, yang diusung Partai Demokrat, PDK dan PPPI yang totalnya memiliki enam kursi. Keenam, pasangan Roberto Sinuhaji - Firman Amin Kaban, maju dari jalur independen dengan memiliki jumlah suara sah 18.669 orang. Ketujuh, pasangan Andy Natanael Ginting - Fakhry Samadin Tarigan. Pasangan ini juga maju dari jalur perseorangan dengan jumlah suara sah 19.794 orang. Kedelapan, pasangan Siti Aminah br Peranginangin - Sumihar Sagala yang diusung PDI
5
http://karopress.wordpress.com/2010/09/02/10-pasang-calon-bupati-karo-siap-ditetapkan-kpud/ diakses pada tanggal 3
Mei 2012, pukul 16.24.
Universitas Sumatera utara
Perjuangan yang memiliki tujuh kursi. Kesembilan, pasangan Petrus Sitepu - Kornalius Tarigan, maju dari jalur independen dengan jumlah suara sah 19.480 orang. Kesepuluh, pasangan Nabari Ginting - Paulus Sitepu yang diusung Partai Golkar, Partai hanura dan Partai Republikan yang memiliki enam kursi di DPRD Karo. Kesepuluh calon tersebut kemudian bersaing pada Pilkada yang berlangsung pada 27 Oktober 2010. Berikut adalah hasil perolehan suara dari Pilkada berdasarkan nomor urut para calon. 6 1. Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala : 30.804 suara (19, 49 %) 2. Riemenda Jamin Ginting - Aksi Bangun : 20.071 suara (12,70 %) 3. Sumbul Sembiring - Paham Ginting : 18.439 suara (11,67 %) 4. Roberto Sinuhaji - Firman Amin Kaban : 7.023 suara (4,44 %) 5. Abed Nego Sembiring - Sanusi Surbakti : 12.024 suara (7,61 %) 6. Nabari Ginting - Paulus Sitepu : 14.889 suara (9,42 %) 7. Petrus Sitepu - Kornalius Tarigan : 15389 suara (9,74) 8. Muhammad Ramli Purba - Roni Barus : 6.965 suara (4,41 %) 9. Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana : 25.310 suara (16,01 %) 10. Andy Natanael Manik - Fakhry Samadin Tarigan : 7.133 suara (4,51 %) Dari hasil diatas maka dapat dilihat pasangan Kena Ukur Surbakti
- Terkelin
Brahmana ada pada urutan kedua dibawah pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin Sumihar Sagala yang merupakan pasangan calon yang memiliki perolehan suara tertinggi pada Pilkada tersebut. Namun dari hasil tersebut tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas absolut atau perolehan suara yang mencapai 30%, sehingga pada tanggal 21 Desember 2010 dilakukan Pilkada putaran kedua yang diikuti oleh dua pasangan calon dengan perolehan suara tertinggi yakni pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala dan pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana. Sebagai hasil dari Pilkada putaran kedua tersebut pasangan Kena Ukur Surbakti Terkelin Brahmana berhasil mengungguli pasangan Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala. Pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana berhasil mengungguli pasangan
6 http://karopress.wordpress.com/2010/11/02/siti-sumihar-unggul-pilkada-karo-hasil-akhir-pilkada-karo/ tanggal 3 Mei 2012, pukul 16.27.
diakses
pada
Universitas Sumatera utara
Siti Aminah Br. Peranginangin - Sumihar Sagala di 14 kecamatan dari 17 kecamatan di Tanah Karo. 7 Dari jumlah perolehan suara secara keseluruhan maka pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana unggul dengan perolehan 85.343 suara (61,9 %), sedangkan pasangan Siti Aminah Br Peranginangin - Sumihar Sagala 53.598 suara (38,1 %). Sementara, Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 251.321 pemilih. Jika dilihat dari hasil akhir atau pada hasil Pilkada putaran kedua, terlihat bagaimana pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana unggul jauh atas pasangan Siti Aminah Br Peranginangin - Sumihar Sagala bahkan di daerahnya sendiri. Inilah yang menarik penulis untuk meneliti bagaimana sebenarnya tim sukses dari gabungan partai politik yang ada dibelakang pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana melakukan upaya marketing politik sehingga dapat menarik dukungan dari masyarakat dan pada akhirnya bisa unggul atas pasangan Br Peranginangin - Sumihar Sagala yang pada putaran pertama unggul diatas semua kandidat yang ikut di dalam Pilkada tersebut.
2. Perumusan Masalah Berangkat dari latar belakang permasalahan diatas, maka yang menjadi permasalah dalam penelitian ini adalah: “Sejauh manakah efektifitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana terhadap masyarakat, sehingga masyarakat mendukung mereka menjadi pemenang pada putaran kedua dalam Pilkada di Kabupaten Karo tahun 2010” 3. Pembatasan Masalah Agar data yang dianalisis dalam penelitian ini sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini terdapat pembatasan masalah yang ditujukan untuk membatasi ruang lingkup penelitian dan akurasi data dari hasil dari penelitian. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Adapun aspek yang akan diteliti adalah bentuk marketing politik yang dilakukan oleh partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana pada putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010.
7 http://karopress.wordpress.com/2010/12/21/karo-jambi-unggul-pilkada-karo-putaran-kedua/ diakses tanggal 3 Mei 2012, pukul 16.32.
Universitas Sumatera utara
2. Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti sejauh mana sebenarnya efektifitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti -Terkelin Brahmana pada putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010, sehingga masyarakat memilih pasangan tersebut.
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4.1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk marketing politik yang dilakukan oleh partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana pada putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010. 2. Meneliti sejauh mana efektifitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik pengusung pasangan Kena Ukur Surbakti - Terkelin Brahmana pada putaran kedua Pilkada Kabupaten Karo tahun 2010, sehingga masyarakat memilih pasangan tersebut.
4.2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat kepada semua pihak yang secara umum dapat bermanfaat bagi: 1. Secara teoritis maupun metodologis studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi marketing politik khususnya di Indonesia. 2. Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berfikir penulis melalui karya ilmiah melalui penelitian ini. 3. Bagi akademisi, dapat menjadi bahan referensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia. 4. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih dikhususkan kepada strategi marketing politik dalam Pilkada. 5. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap partai politik khususnya dalam mengusung calon dalam sebuah pemilihan umum kepala daerah.
Universitas Sumatera utara
5. Kerangka Teori 5.1. Kampanye Politik 5.1.1. Defenisi Kampanye Politik Jika ditelusuri mengenai pengertian atau defenisi dari kampanye politik, maka salah satu caranya adalah dengan merujuk kapada kamus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kampanye dipahami sebagai sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan di parlemen dan sebagainya untuk mendapatkan dukungan massa pemilih di suatu pemungutan suara. Berikut adalah pengertian kampanye yang diutarakan oleh beberapa ahli; a. Menurut John Haba, Peneliti LIPI menyatakan bahwa kampanye (campaign) berasal dari bahasa latin campus atau “lapangan” yang pengertian aslinya berkaitan dengan dunia kemiliteran (battlefield). Sebuah kegiatan yang dilakukan oleh para milisi di dunia operasi militer untuk mencapai tujuan-tujuan operasi tempur. Apabila dikaitkan dengan dunia politik agak berbedan namun ada persamaan yakni usaha dari setiap peserta kampanye untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan meyakinkan konstituennya, bahwa mereka layak untuk menjadi anggota lembaga legislatif, seperti DPR, DPD, dan DPRD. Untuk mencapai tujuan kampanye maka setiap kontestan akan menjanjikan program-program yang mereka yakini terbaik dan atraktif bagi masyarakat. b. Menurut Arnold Steinberg, kampanye politik adalah cara yang digunakan para warga negara dalam demokrasi untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka. Politik adalah “Praktik atau pekerjaan menjalankan urusan politik”, yaitu “melaksanakan atau mencari kekuasaan dalam urusan pemerintahan”. Kampanye politik adalah suatu usaha yang terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. c. Menurut Pfau dan Parrot, kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang dilaksanakan pada rentang waktu tentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. d. Menurut Pippa Norris, kampanye politik adalah suatu proses komunikasi politik, dimana parpol atau kontestan individu berusaha mengomunikasikan ideologi ataupun program kerja yang mereka tawarkan.
Universitas Sumatera utara
e. Menurut Hafied Cangara, kampanye politik adalah aktifitas komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap, dan perilaku sesuai dengan kehendak penyebar atau pemberi informasi. f. Menurut Lilleker dan Negrine, kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan baik kepada individu, parpol, maupun kepada perseorangan, untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka sewaktu pencoblosan. g. Menurut Ronald E. Rise dan William J. Paisley, kampanye politik sebagai strategi control sosial dalam rangka mengarahkan psikologi dan perilaku pemilih untuk menyesuaikan dan pada saatnya menuruti apa yang diprogramkan oleh partai politik. 5.1.2. Tujuan Kampanye Apapun ragam dan tujuannya, menurut Pfau dan Parrot, upaya perubahan yang dilakukan kampanye selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavioral). Sementara, Ostegaard menyebut ketiga aspek tersebut dengan sebutan ‘3A’ sebagai sebuah singkatan dari awareness, attitude, dan action. Ketiga aspek ini bersifat saling terkait dan merupakan sasaran pengaruh (target of influences) yang mesti dicapai secara bertahap agar satu kondisi perubahan dapat tercipta. 1. Kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tatanan pengetahuan dan kognitif. Pada tahap ini pengaruh yang diharapkan adalah munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan
atau meningkatnya pengetahuan
khalayak terhadap isu tertentu. 2. Pada tahap berikutnya diarahkan pada perubahan sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian, atau keberpihakan khalayak pada isuisu yang menjadi tema kampanye. 3. Sementara pada tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah prilaku khalayak secara konkrit dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Tindakan ini dapat terjadi sekali itu saja atau juga terjadi secara berkelanjutan. Sementara itu, tujuan kampanye politik, menurut Lock dan Harris, kampanye politik adalah bertujuan untuk pembentukan image politik. Untuk itu parpol harus menjalin
Universitas Sumatera utara
hubungan internal dan eksternal. Yang dimaksud hubungan internal adalah proses antara anggota-anggota partai dan pendukung untuk memperkuat ikatan ideologis dan identitas partai. Sedangkan hubungan eksternal dilakukan untuk mengkomunikasikan image yang akan dibangun kepada pihak luar partai termasuk kepada media massa dan masyarakat.
5.1.3. Jenis-jenis kampanye Membicarakan jenis-jenis kampanye pada prinsipnya adalah membicarakan motivasi yang melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program kampanye. Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan kea rah mana kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Jadi secara inhere nada keterkaitan antara motivasi dan tujuan kampanye. Bertolak dati keterkaitan tersebut, Charles U. Larson kemudian membagi kempanye ke dalam tiga kategori yakni; 1. Product-Oriented campaigns (commercial campaigns/corporate campaign) atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Motivasi yang mendasarinya adalah memperoleh keuntungan finansial. Cara yang ditempuh adalah dengan memperkenalkan produk dan melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan. 2. Candidate-Oriented campaign atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaign (kampanye politik). Tujuannya antara lain untuk mendapatkan dukungan masyarakat terhadap kandidatkandidat yang diajukan parpol agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilu. Misal, kampanye pemilu, kampanye penggalangan dana bagi parpol, kampanye kuota perempuan di DPR. 3. Ideologically or Cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial. Kampanye jenis ketiga di atas dalam istilah Kotler disebut sebagai social change campaigns, yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik terkait. Menurut Dan Nimmo, ada tiga jenis kampanye, yaitu;
Universitas Sumatera utara
1. Kampanye Massa. Meliputi kampanye tatap muka, misalkan melalui media cetak dan elektronik termasuk orasi dan mengerahkan massa. 2. Kampanye Antar Pribadi. Menggunakan tokoh-tokoh yang dekat dengan kandidat dan menjalin kerjasama dengan tokoh-tokoh lokal dengan setting informal. 3. Kampanye Organisasi. Dilakukan oleh organisasi yang mengusung kandidat. 5.1.4. Model-model Kampanye Dalam bahasan ini dijelaskan adanya tiga model kampanye yang dijelaskan dri beberapa ahli berikut; 1. Model The Five Stages Development. Larson menjelaskan bahwa model ini dikembangkan oleh tim peneliti dan praktisi kampanye di Yale University, Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Model ini dianggap yang paling populer dan banyak diterapkan diberbagai belahan dunia. Kepopuleran ini tidak terlepas dari fleksibilitas model untuk diterapkan, baik pada Candidate oriented campaigns, Product-Oriented campaigns, dan Cause or Idea Oriented Campaigns. Fokus model ini adalah pada tahapan kegiatan kampanye bukan pada proses pertukaran pesan antara campaigner dengan campaignee. Model tersebut dijelaskan sebagai berikut; a. Tahap Indentifikasi merupakan tahap penciptaan identitas kampanye yang dengan mudah dapat dikenali oleh khalayak. Hal-hal yang umum digunakan sebagai identitas kampanye diantaranya simbol, warna, lagu/jingle, seragam dan slogan. b. Tahap Legitimasi. Dalam kampanye politik, legitimasi diperoleh ketika seseorang telah masuk daftar kandidat anggota legislatif, atau seorang kandidat presiden memperoleh dukungan yang kuat dalam polling yang dilakukan lembaga independen. c. Tahap Partisipasi. Tahap ini dalam praktiknya relatif sulit dibedakan dengan tahap legitimasi karena ketika seorang kandidat, produk, atau gagasan mendapat legitimasi, pada saat yang sama dukungan yang bersifat partisipatif mengalir dari khalayak. Partisipasi ini bisa bersifat nyata ataupun hanya sekedar simbolik. Nyata apabila ikut dalam demonstrasi bersama LSM atau dengan menyumbang uang kepada partai, Simbolik apabila menempelkan stiker partai di kendaraan dan memakai kaos partai yang dibagikan secara gratis.
Universitas Sumatera utara
d. Tahap Penetrasi. Pada tahap ini seorang kandidat, sebuah produk, atau sebuah gagasan telah hadir dan mendapat tempat dihati masyarakat. Seorang juru kampanye misalnya telah berhasil meyakinkan khalayak bahwa calon yang diusungnya adalah yang terbaik dari semua calon atau kandidat yang ada atau juga kampanye tersebut sudah mulai disorot oleh media massa yang besar dan menarik perhatian banyak orang. e. Tahap Distribusi. Tahap ini adalah merupakan puncak dari semua tahapan-tahapan tersebut, sebab pada tahapan inilah nantinya terlihat pembuktian. Pada tahap ini, tujuan kampanye sudah tercapai tinggal bagaimana pembuktian-pembuktian dari kampanye tersebut dijalankan. 2. The Communicative Function Model Model ini dijelaskan oleh Trent dan Robert Frienderberg dalam bukunya yang bertajuk “ Political Campaign Communication”. Mereka adalah praktisi dan sekaligus sebagai pengamat kampanye yang dikonstruksi dari lingkungan politik. model ini memusatkan analisis pada tahapan kegiatan kampanye. Langkah-langkah dimulai dari surfacing (pemunculan), primary (terpenting), nomination (pemilihan), dan election (pencalonan). a. Surfacing (Pemunculan). Lebih banyak berkaitan dengan membangun landasan tahap berikutnya seperti; memetakan daerah-daerah yang akan dijadikan tempat kampanye, membangun kontak dengan tokoh-tokoh setempat atau orang-orang ‘kita’ yang umumnya dimulai begitu seorang secara resmi mencalonkan diri untuk jabatan politik tertentu. Pada tahap ini pula khalayak akan melakukan evaluasi awal terhadap citra kandidat secara umum. Dengan kata lain khalayak akan melakukan uji citra publik terhadap kandidat tersebut. b. Primary. Pada tahap ini berupaya untuk memfokuskan perhatian khalayak para kandidat, gagasan, atau produk yang telah dimunculkan di arena persaingan. Pada tahap ini mulai melibatkan khalayak untuk mendukung kampanye yang dilaksanakan. c. Nomination. Tahapan sangat bergantung kepada tahapan primary. Artinya apabila pada tahapan tadi kandidat mendapat pengakuan dari masyarakat, mendapat liputan dari media massa yang besar, atau gagasannya menjadi topik pembicaraan di tengahtengah masyarakat, maka tahapan nomination dapat segera dilakukan ataupun dimulai.
Universitas Sumatera utara
d. Election. Pada tahap ini biasanya kampanye telah berakhir. Namun secara terselubung seringkali kandidat “membeli’ ruang tertentu dari media massa agar kehadiran merekka tetap dirasakan. Beberapa kandidat bahkan biasanya membuat berita-berita tertentu tertentu yang tujuannya jelas untuk mendapatkan simpati dari khalayak. 3. Model Kampanye Nowak dan Warned. Model ini dijelaskan oleh McQuail dan Windahl, model ini merupakan salah satu model tradisional kampanye. Pada model ini proses kampanye dimulai dari tujuan yang hendak dicapai diakhiri dengan efek yang diinginkan. Model ini merupakan deskripsi dari bermacam-macam proses kerja dalam kampanye. Didalamnya juga terdapat sifat normatif, yang meningkatkan efektifitas kampanye. Yang perlu diperhatikan dalam model ini adalah masing-masing
elemennya
harus
terhubung.
Perubahan
pada
satu
elemen
akan
mempengaruhi elemen lainnya, sehingga model ini juga memiliki tujuan yang tidak bersifat rigid tapi dapat berubah mekipun kampanye sedang berlangsung. Pada model Nowak dan Warned terdapat delapan elemen kampanye yang harus diperhatikan yakni: a. Efek yang diharapkan (Intended Efek). Efek yang hendak dicapai harus dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian, penentuan elemen-elemen lainnya akan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu “mengagungagungkan” potensi efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai menjadi tidak jelas dan tegas. b. Persaingan komunikasi (Competiting Communication). Agar suatu kampanye menjadi efektif, maka perlu perhitungan potensi gangguan dari kampanye yang bertolak belakang (counter campaign). c. Objek komunikasi (Communication Object). Objek kampanye biasanya dipusatkan pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda diperlukan metode komunikasi yang berbeda pula. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan/ditekankan pada objek tersebut. d. Populasi target dan kelompok penerima (Target population and Receiving Group). Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan lebih mudah ditujukan kepada opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target. Kelompok penerima dan populasi target dapat diklasifikasikan menurut sulit atau
Universitas Sumatera utara
mudahnya mereka dijangkau oleh pesan kampanye. Mereka yang tidak membutuhkan atau tidak tertempa pesan kampanye adalah bagian dari kelompok yang sulit dijangkau. e. Saluran (The Channel). Saluran dapat digunakan bermacam-macam tergantung karakteristik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye. Media dapat menjangkau hampir semua kelompok, namun bila tujuannya adalah mempengaruhi perilaku maka akan lebih efektif bila melakukan melalui saluran antar pribadi. f. Pesan (The Message). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok yang menerimanya. Pesan dapat dibagi dalam tiga fungsi, yakni; -
Menumbuhkan kesadaran
-
Mempengaruhi; serta
-
Memperteguh dan meyakini penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka adalah benar.
g. Komunikator/Pengirim pesan (The Communicator/Sender). Komunikator dapat dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seseorang yang memiliki kedua sifat tersebut. Pendeknya, komunikator harus memiliki kredibilitas di mata penerima pesannya. h. Efek yang dicapai (The Obtained Effect). Efek kampanye meliputi efek kognitif (perhatian, peningkatan pengetahuan dan kesadaran), afektif (berhubungan dengan perasaan, mood dan sikap), dan konatif (keputusan bertindak dan penerapan). 8
5.2. Pendekatan Marketing Konsep inti dari pemasaran adalah bagaiamana transaksi diciptakan, difasilitasi, dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak. Transaksi juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintah yang lebih baik. Teori pemasaran yang digunakan adalah teori-tori mengenai perilaku konsumen. Teori ini digunakan karena pada saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap partai tertentu sama seperti perilaku konsumen yang menukarkan uangnya dengan 8
Efriza, Political Explore-Sebuah kajian ilmu politik. Bandung: Alfabeta, 2012, Hal. 468-476.
Universitas Sumatera utara
barang/jasa tertentu. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah Theory of Reasoned Action. Menurut teori ini, individu diperkirakan berperilaku berdasarkan keinginannya untuk terikat dengan perilaku tersebut. Penerapan Theory of reasoned Action dapat dilakukan dalam bidang politik. Teori ini mampu mengukur faktor apa saja yang mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol. Model yang dibuat berdasarkan teori dari Ajzen dan Fishben (1980) ini mampu memprediksi keinginan untuk memilih parpol, dimana kekuatan prediksinya bertambah dengan penggunaan model ini pada satu parpol secara spesifik. Penerapan teori ini dalam bidang politik memungkinkan parpol tahu apa yang secara signifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih parpol dan memasarkan parpol secara tepat untuk mendapatkan suara. Menurut penerapan Theory of reasoned action pada bidang politik, keinginan untuk memilih parpol secara signifikan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap parpol dan norma subjektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap parpol signifikan karena orang mengidentifikasikan dirinya dengan partai, bukan pemimpinnya. Pengaruh sikap terhadap parpol secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh tidak langsungnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut partai seperti visi-misi/program/isu. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang, dan bangga terhadap suatu parpol dalam memilih. Pengaruh norma subjektif interpersonal signifikan karena pada masyarakat Asia yang menekankan harmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat, sosialisasi politik sudah berlangsung sejak individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi saat individu bersama orang-orang disekelilingnya. Pengaruh tidak langsung norma subjektif media massa lebih tinggi daripada pengaruh langsungnya karena adanya multiple selves dalam diri setiap individu dalam masyarakat. Dalam rangka menarik suara sebanyak-banyaknya dan memenangkan pemilu, parpol perlu membangun citra yang baik di mata seluruh segmen dalam masyarakat, namun cara pengkomunikasiannya berbeda tergantung segmen yang dituju. Newman dan Sheth (1985), mengembangkan model perilaku pemilih berdasarkan beberapa domain yang terkait dengan marketing. Dalam mengembangkan model tersebut menggunakan sejumlah kepercayaan kognitif yang berasal dari berbagai sumber seperti pemilih, komunikasi, dari mulut ke mulut, dan media massa. Model ini dikembangkan untuk menerangkan dan memprediksi perilaku pemilih.
Universitas Sumatera utara
Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda dan terpisah, sebagai berikut: 1. Isu dan kebijakan dan politik (Issue and policies). Komponen ini mempresentasikan kebijakan/program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu. Inilah platform dasar yang ditawarkan oleh kontestan pemilu kepada para pemilih. yang termasuk dalam komponen ini adalah kebijakan ekonomi, kebijakan luar negeri, kebijakan dalam negeri, kebijakan sosial, kebijakan politik dan keamanan, kebijakan hukum, dan karakteristik kepemimpinan. 2. Citra sosial (Social Imagery). Menunjukkan stereotip kandidat atau partai untuk menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara kandidat atau partai dengan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Citra sosial adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai ‘berada’ di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa sebuah partai atau kandidat politik. Citra sosial dapat terjadi berdasarkan banyak faktor, antara lain: a. Demografi: -
Usia (contoh: partai orang muda)
-
Gender (contoh: calon pemimpin bangsa dari kaum Hawa)
-
Agama (contoh: partai orang islam, partai orang katolik)
b. Sosio ekonomi -
Pekerjaan (contoh: partai kaum buruh)
-
Pendapat (contoh: partai wong cilik)
c. Kultural dan etnik -
Kultural (contoh: kandidat presiden yang seniman)
-
Etnik (contoh: partai orang jawa)
d. Politis dan ideologis (contoh: partai nasionalis, partai agamis, partai konservatif, partai moderat.)
Universitas Sumatera utara
3. Perasaan emosional (Emotional Feelings). Merupakan dimensi emosional yang terpancar dari sebuah kontestan atau kandidat yang ditunjukkan oleh policy politik yang ditawarkan. Misalnya seorang kandidat menawarkan kebijakan untuk mengirimkan pasukan elite ke daerah rawan untuk meruntuhkan gerakan separatis, maka akan memunculkan sebuah perasaan emosional yang bersifat patriotik dan terkesan sangat bersungguh-sungguh. 4. Citra kandidat (Candidate Personality). Mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting yang dianggap sebagai karakter sang kandidat. Pada tahun 1980, misalnya Reagan dianggap memiliki citra sebagai “pemimpin yang kuat” sementara John Glen, pada tahun 1984 mencoba mengembangkan citra “seorang pahlawan”. 5. Peristiwa Mutakhir (Current Events). Mengacu pada peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye. Secara umum, peristiwa mutakhit dapat dibagi menjadi masalah domestic dan luar negeri. 6. Peristiwa Personal (Personal Events). Mengacu kepada kehidupan pribadi dan peristiwa yang pernah dialami oleh seorang kandidat, misalnya berbagai skandal, korban dari rezim tertentu, menjadi tokoh dalam suatu perjuangan, ikut mempertahankan tanah air, dsb. 7. Faktor-faktor Epistemik (Epistemic Issues). Ini adalah isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru. Hal ini dapat dilihat bagaimana setiap kandidat yang ikut dalam sebuah pemilihan berusaha manunjukkan bahwa diri mereka adalah “wajah baru” yang akan membawa perubahan dalam dunia politik dan pemerintahan. 9
5.3. Marketing Politik 5.3.1. Defenisi Marketing Politik Untuk memahami konsep marketing politik hendaknya terlebih dahulu mendiskusikan batasan dari pengertian suatu konsep. Untuk itu rujukannya antara lain adalah kamus, pengertian emik dan pengertian ahli.
9
Ibid, Hal. 529-531.
Universitas Sumatera utara
Jika merujuk kamus Inggris-Indonesia, maka ‘marketing’ diterjemahkan menjadi ‘pemasaran’. Kemudian dilanjutkan kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka didapat pengertiannya sebagai proses, cara, perbuatan memasarkan suatu barang dagangan. Selanjutnya melalui pendekatan emik, maka pemasaran dipahami sebagai suatu proses menjual sesuatu agar orang lain/pembeli potensial tertarik untuk membelinya. Jika dikaitkan dengan dunia politik, maka pemahaman emik dari pemasaran politik dapat dijelaskan sebagai suatu proses menjual ide, gagasan, program, termasuk citra diri agar orang lain mau “membeli”nya. Membeli di sini dimengerti sebagai memilih atau memberikan suara kepada penjual. Kemudian rujukan ketiga adalah pandangan para ahli, antara lain sebagai berikut; 1. Adman Nursal Marketing politik adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih. serangkaian makna politis yang terbentuk tersebut yang menjadi output penting marketing politik yang menentukan pihak mana yang akan dipilih. 2. A. O’Cass Marketing politik adalah analisis, perencanaan, implementasi dan control terhadap politik dan program-program pemilihan yang dirancang untuk menciptakan, membangun dan memelihara pertukaran hubungan yang menguntungkan antara partai dan pemilih demi tujuan untuk mencapai political marketers objectives. 3. P. J. Mareek Marketing politik sebagai suatu proses yang kompleks dari hasil suatu usaha yang lebih global dari implikasi semua faktor dari komunikasi politik dari politisi. 4. Firmanzah Marketing politik sebagai sebuah metode yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman mengenai masyarakat, sekaligus berguna dalam membuat produk politik yang akan ditawarkan kepada masyarakat. 5. Hafied Cangara Marketing politik sebagai konsep yang diintroduksi dari penyebaran ide-ide sosial di bidang pembangunan dengan meniru cara-cara pemasaran komersial tetapi orientasinya lebih banyak pada tataran penyadaran, sikap, dan dan perubahan perilaku
Universitas Sumatera utara
untuk menerima hal-hal baru. Oleh karena itu, lanjutnya marketing politik dimaksudkan sebagai penyebarluasan informasi tentang kandidat, partai dan program yang dilakukan oleh aktor-aktor politik (komunikator) melalui saluran-saluran komunikasi tertentu yang ditujukan kepada segmen (sasaran) tertentu dengan tujuan mengubah wawasan, pengetahuan, sikap, dan perilaku para calon pemilih sesuai dengan keinginan pemberi informasi. 6. Lees-Marshment Marketing politik berkonsentasi pada hubungan antara produk politik sebuah organisasi dengan permintaan pasar. Pasar menjadi faktor penting dalam sukses implementasi marketing politik. 7. M.N. Clemente Marketing politik sebagai pemasaran ide-ide dan opini-opini yang berhubungan dengan isu-isu politik atau isu-isu mengenai kandidat. Secara umum, marketing politik dirancang untuk mempengaruhi suara pemilih dalam pemilu. 8. Philip Kotler dan Neil Kotler Bahwa untuk sukses, seorang kandidat perlu memahami market/pasar, yakni para pemilih, beserta kebutuhan dasar mereka serta aspirasi dan konstituensi yang ingin kandidat representasikan. 5.3.2. Empat Elemen Marketing Politik Dalam marketing politik, paling sedikit terdapat empat elemen yang perlu diperhatikan, yaitu; 1. Product (Produk). Yang dimaksud di sini adalah produk yang ditawarkan oleh institusi politik, seperti yang dikutip Firmanzah dari Niffenegger, merupakan suatu yang kompleks, dimana pemilih akan menikmatinya setelah suatu partai atau seorang kandidat terpilih. Oleh karena itu, arti atau makna penting dari suatu produk politik tidak hanya terletak pada karakteristik yang dimiliki olehnya, tetapi juga pada konstruksi pemaknaan atau intepretasi yang dimiliki oleh pemilih. Produk politik itu sendiri menurut Niffenegger tediri dari party platform (platform partai), past record (rekaman masa lalu), dan personal characteristic (karakteristik individual). Platform partai yang terdiri dari visi, ideologi, misi, tujuan, dan program partai merupakan salah satu produk yang dijual kepada pemilih, terutama pemilih rasional. Pemilih
Universitas Sumatera utara
tradisional terdiri dari orang-orang yang terdidik dan memiliki idealisme. Bagaimana negara ini dibangun, sangat sensitive terhadap platform dari suatu partai. Rekaman lampau apa yang sudah dilakukan sebelumnya bagi kepentingan publik adalah suatu produk yang layak dan pantas dijual kepada pemilih. Karakteristik individual berupa keteladanan dan ketokohan seseorang dalam masyarakat dapat dilihat sebagai suatu produk yang dijual pada masyarakat. 2. Place diterjemahkan secara harafiah berarti tempat. Tempat biasanya dihubungkan dengan dua hal. Satu, aksesbilitas produk terhadap konsumen. Apakah produk politik dapat diperoleh dengan mudah (dari aspek waktu dan tingkat kesulitan) atau tidak? Dua, letak posisi dari suatu produk politik. apakah suatu produk politik bisa diperoleh di tempat yang sesuai dengan strata sosial dari para pemilih. suatu produk politik memiliki segmen pasarnya. Produk politik yang disampaikan pada televise dikemas berbeda dengan yang disajikan di ruang dunia maya (cyberspace) tersebut. 3. Price. Dalam hal ini price (harga) dalam marketing politik meliputi banyak hal, menurut Niffenegger, yaitu harga ekonomi, harga psikologis, dan harga citra. Harga ekonomi merupakan kalkulasi segala biaya yang bisa dihitung nominalnya seperti biaya
iklan,
publikasi,
pengerahan
massa,
“traktir
politik”,
administrasi
pengorganisasian, dan sebagainya. Sedangkan harga psikologis merujuk kepada harga persepsi psikologis dari kandidat anggota legislatif atau top eksekutif (pasangan presiden dan wakilnya serta kepala daerah dan wakilnya) yang ditawarkan kepada pemilih. sementara harga citra berkaitan dengan kebanggaan yang diperoleh pemilih jika ia memilih kandidat. Kebanggan tersebut bertingkat-tingkat mulai dari kebanggan bersifat bertingkat-tingkat mulai dari kebanggan bersifat personal, keluarga, daerah sampai nasional. 4. Promotion (promosi). Promosi merupakan suatu usaha untuk memikat pembeli melalui teknik komunikasi dengan berbagai media seperti cetak, elektronik, maupun interpersonal. Promosi yang baik harus memperhatikan ‘3P’ (produk, place, dan, price) yang dibahas diatas. Suatu produk tertentu yang terletak pada tempat tertentu dengan harga tertentu, harus dipromosikan dengan harga tertentu pula. Misalnya seorang kandidat yang ingin menunjukkan rekam jejaknya yang baik, maka dia harus melihat bagaimana agar rekam jejak itu menjadi kelihatan oleh pemilih, maka dia
Universitas Sumatera utara
akan melakukan promosi melalui media massa yang dapat dijangkau oleh pemilih, atau dengan menunjuk tokoh masyarakat sebagai tim suksesnya.
10
5.4. Partai Politik Sebuah negara dengan sistem demokrasi, membutuhkan sebuah organisasi politik yang menjadi instrument demokrasi. Organisasi tersebut biasa disebut Partai Politik. Secara definitive, Carl J. Friedrich mendefinisikan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisir untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, dengan maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan, keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil. Sementara itu, R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik sebagai kelompok warga negara terorganisasi dan bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, dengan tujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat. 11 Sebuah partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil - untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. 12 Jenis-jenis partai politik dikategorikan bermacam-macam oleh para ahli politik., Max Weber mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni partai elit dan partai massa. Secara tidak langsung, Max Weber mengkategorikannya berdasar dari model pembiayaan partai, yang secara otomatis menunjukkan pemilihnya. Partai Elit didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan elit dalam sistem masyarakat, semisal pengacara, doctor, pengusaha, dan lain-lain. Partai massa didefinisikan sebagai partai yang didukung oleh kalangan masyarakat bawah. Franz Neumann mengkategorikan partai politik menjadi 2 jenis, yakni Democratic Integrative
Party
and
The
Totalitarian
Integrative
Party.
Franz
Neumann
mengkategorikannya berdasar pada usaha partai dalam mengintegrasikan nilai-nilai politiknya. Democratic Integrative party didefinisikan sebagai partai yang melakukan usaha10
Ibid, Hal. 476-479. Ahmad Heryawan, Selasa, 02 Juni 2009, Latar Belakang Berdirinya Partai Politik, http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/4206-latar-belakang-berdirinya-partai-politik.html Diakses tanggal 7 September 2012. Pukul 10.16. 12 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, 1989, Hal.159. 11
Universitas Sumatera utara
usaha pencapaian tujuan politik secara demokratis. Totalitarian Integrative Party didefinisikan sebagai partai yang melakukan usaha-usaha pencapaian tujuan politik tanpa melalui cara demokratis. 13
5.4.1 . Fungsi Partai Politik Partai politik melaksanakan suatu tugas penting di dalam pemerintahan. Partai politik bersama masyarakat berusaha mencapai kontrol pemerintahan, menciptakan kebijakan yang baik sesuai kepentingan mereka atau kelompok yang mendukung mereka, serta mengorganisir dan membujuk pemilih untuk memilih calon mereka agar menempati jabatan tertentu. Walaupun sangat banyak yang dilibatkan di dalam menjalankan pemerintahan pada semua tingkat, partai politik bukanlah pemerintah. Tujuan dasar partai politik adalah mencalonkan orangnya untuk jabatan publik, dan untuk mendapatkan sebanyak mungkin suara pemilih. Ketika terpilih, pejabat-pejabat tersebut akan berusaha mencapai tujuan Partai mereka melalui proses legislasi dan inisiatif program. Terdapat beberapa fungsi partai politik antara lain; 14
a. Sarana komunikasi politik Partai politik memiliki fungsi merumuskan berbagai usulan kebijakan yang bertumpu pada aspirasi rakyat baik yang berada dalam kelompok yang sama ataupun berbeda. Rumusan tersebut kemudian diartikulasikan dan diagregasikan kepada pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Partai politik memiliki peran yang cukup strategis dalam menjembatani komunikasi antara pemerintah dengan rakyat. kepentingan rakyat ini menjadi salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan agar eksistensi partai politik tetap terjaga dalam kancah perpolitikan dan tidak ditinggalkan oleh rakyat yang diwakilinya.
b. Sarana sosialisasi dan pendidikan politik Partai politik mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan seluruh wacana politiknya kepada rakyat. Wacana politik ini dituangkan dan dapat dilihat melalui visi, misi, platform dan berbagai program yang diemban oleh partai politik. Rakyat dalam hal ini harus diperlakukan tidak hanya sebagai subyek tetapi sekaligus juga sebagai obyek. Dengan 13
Jásaon Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millennium, http://www.slideshare.net/alafito/the-change-of-function-of-political-parties-at-the-turn-ofmillennium2003. Diakses tanggal 7 September 2012. Pukul 10.32. 14 A. Rahman H. I, Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu 2007, Hal. 103-104.
Universitas Sumatera utara
demikian rakyat akan tumbuh menjadi semakin dewasa dan terdidik dalam berpolitik dan berdemokrasi.
c. Sarana rekruitmen politik Partai politik mempunyai kewajiban untuk melakukan rangkaian kegiatan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mempersiapkan pengisian berbagai posisi dan jabatan politik sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Diantaranya adalah jabatan presiden dan wakil presiden, menteri, gubernur, anggota dewan dan sebagainya. Rekruitmen politik menjadi sangat penting akan memberikan warna dan peluang bagi terjadinya dinamika politik yang dapat menekan terjadinya otoriterisme, diktatorisme, kemandegan dan kebuntuan politik dalam sistem tersebut.
d. Sarana peredam dan pengatur konflik Partai politik dituntut untuk memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi terhadap berbagai potensi konflik yang dari waktu kewaktu intensitasnya semakin meningkat. Partai politik memiliki kewajiban untuk meredam dan mengatur potensi konflik agar tidak meledak dan menimbulkan masalah baru. Konflik memang secara alamiah ada, tetapi yang penting adalah bagaimana mengelola potensi konflik yang ada agar menjadi energi, spirit dan support dalam merumuskan sebuah kebijakan politik untuk semua yang menguntungkan semua pihak. Dalam literature lain, ada 3 fungsi partai politik yaitu; 15 a. Representing groups of interests
Dalam partai politik dikenal istilah konstituen, yakni orang-orang yang mendukung atau mempercayakan hak pilihannya kepada Partai atau kandidat partai. Partai politik menyajikan kelompok seperti halnya individu. Kelompok kelompok kepentingan ini mempunyai perhatian khusus. Semisal, partai politik yang merepresentasikan petani, partai politik yang merepresentasikan buruh, dan lain sebagainya. Di Indonesia, beberapa partai berhasil memposisikan dirinya. Salah satunya adalah PDIP, yang memposisikan dirinya sebagai partai politik yang merepresentasikan wong cilik.
15 The Functions of Political Parties, http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/TheFunctions-of-Political-Parties.topicArticleId-65383,articleId-65501.html. Diakses tanggal 7 September 2012 pukul 11.12.
Universitas Sumatera utara
b. Simplying Choice Di beberapa Negara, partai politik mampu menempatkan dirinya pada posisi ideologi, filosofi, ataupun nilai-nilai politik tertentu. Pemilih dapat melihat partai politik tertentu berdiri pada sisi tertentu, walaupun dengan penilaian secara sederhana. Sehingga pemilih tidak melihat partai politik sebagai sesuatu yang semu tanpa perhatian khusus yang mencirikannya. Semisal di Amerika Serikat, Partai Republik ditempatkan sebagai partai pendukung kalangan bisnis, dan Partai Demokrat ditempatkan sebagai partai pendukung masyarakat bawah.
c. Making Policy Partai politik, secara organisasi, bukanlah pembuat kebijakan. Namun, partai secara pasti mengambil posisi pada kebijakan-kebijakan penting, terutama untuk menyediakan alternatif - alternatif kepada siapapun Partai yang berkuasa. Ketika sebuah partai berkuasa, partai tersebut mencoba untuk meletakkan filosofinya ke dalam praktek perundang-undangan. Jika seorang calon memenangkan jabatan dengan mayoritas besar, hal itu berarti bahwa pemberi suara sudah memberikan suatu mandat untuk menyelesaikan program yang dikampanyekan. Jason Simon, seorang peneliti politik dari Institut Ilmu Politik HungarianAcademy of Sciences, mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millennium. 16
a. The Functions of Political Socialization Sosialisasi politik adalah proses selama seseorang menjadi sadar dan memperoleh norma-norma, nilai-nilai dan aturan tentang perilaku politik. Selama proses ini, keluarga, sekolah,komunitas pertemanan, saluran informasi( semisal ceramah kuliah, media, hubungan telepon, dll.), dan peristiwa yang secara langsung dialami oleh individu, merupakan aspek yang penting dalam sosialisasi politik. Proses sosialisasi juga dipengaruhi oleh kebiasaan dari individu, terutama kemampuannya untuk menerima nilai-nilai baru, dan berapa banyak nilai-nilai ini menjadi inclusif atau eksklusif terhadap nilai-nilai lain. Faktor-faktor ini mendefinisikan ketertarikan 16
Jáson Simon, The Change of Function of Political Parties at the Turn of Millennium, http://www.slideshare.net/alafito/the-change-of-function-of-political-parties-at-the-turn-ofmillennium2003. Diakses tanggal 7 September 2012. Pukul 11.30.
Universitas Sumatera utara
dan respon individu terhadap politik, toleransi politiknya, serta identitas partai atau kelompok.
b. The Functions of Mobilization Melalui mobilisasi politik ( menghimbau untuk bertindak,mengerahkan) partai politik melibatkan warganegara ke dalam kehidupan publik. Tujuan mobilisasi politik meliputi tiga bidang: untuk mengurangi ketegangan sosial yang dimunculkan oleh kelompok yang dikerahkan, untuk mengelaborasi program dalam rangka memperoleh suara bagi partai, dan untuk membangun suatu struktur kelompok yang dapat dijadikan referensi bagi partai politik. Tujuan dari semua mobilisasi politik adalah untuk mencapai suatu efek baik dari aspek-aspek diatas, sehingga dapat memastikan posisi yang lebih baik untuk mobilisasi partai politik.
c. The Functions of Participation Fungsi partisipasi politik yang dilakukan oleh partai politik dapat dibedakan dari fungsi mobilisasi. Dengan memobilisasi warganegara, partai sedang mengarah pada pembentukan dan pemengaruhan peristiwa-peristiwa politik dengan bantuan dari lingkaran yang terlembagakan dan organisasi-organisasi dalam sistem politik. Sedangkan Partisipasi memastikan perasaan dan kemampuan demokrasi, serta kompetisi didalam partai politik. Partai politik dapat memastikan partisipasi politik dalam berbagai cara. Menurut Milbrath, sebagai fungsi partai politik, partisipasi politik melibatkan dua dimensi, yakni partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif meliputi instrumen kerja partai (aktifitas konkret partai, pemilihan pemimpin) dan ketertampilan kerja partai (demonstrasi,debat politik). Partisipasi pasif meliputi kepatuhan partai terhadap hukum.
d. The Function of Legitimacy Fungsi legitimasi mengacu pada bentuk opini publik. Hal tersebut didasarkan pada kepercayaan dan dukungan Partai kepada pemerintah dan sistem, melalui eksistensi partai tersebut. Fungsi legitimasi merupakan efek kolektif dari sosialisasi politik, mobilisasi politik, dan partisipasi politik. Pengenalan dan dukungan suatu sistem pemerintahan tergantung pada berapa banyak warganegara yang taat, menghormati norma-norma, menerima perbedaan dan pemikiran alternatif-alternatif yang muncul dalam rangka menerima sistem institusi dan mekanisme demokrasi. Partisipasi dan Mobilisasi memberikan kepercayaan dan pengalaman bagi pemilih bahwa opini mereka, kepentingan mereka, dan sistem nilai mereka, berperan dalam sistem demokrasi. Menurut beberapa ahli, hal tersebut merupakan aspek yang
Universitas Sumatera utara
membedakan antara demokrasi dan non-party/ singleparty dictatorship. Oleh karena itu, fungsi legitimasi adalah fungsi utama dari partai politik.
e. The Function of Representation Fungsi representasi merupakan hasil dari keikutsertaan partai pada pemilihan umum. Sistem pemilihan umum pada negara demokrasi harus memenuhi dua kriteria: representasi dan pemerintahan. Prinsip representasi menjamin ekspresi keinginan pemilih, sebagai hasil akhir dari suara yang telah diberikan kepada partai maupun kandidat.
5.4.2 . Peran Partai Politik dalam Pilkada Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis dan sedang berubah. Partai politik memainkan peran yang sangat sentral dalam Pilkada langsung di Indonesia. Di dalam UU No. 34/2004 tentang pemerintahan daerah dikatakan bahwa “ pasangan calon kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Sehingga dapat dijelaskan bahwa :
Pertama, partai politik merupakan salah satu pintu
masuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Pintu ini dapat dilakukan dengan mekanisme tunggal dan plural. Tunggal oleh hanya satu partai politik. Plural, apabila diusulkan oleh lebih dari satu partai. Kedua, untuk menjadikan partai politik sebagai pintu masuk partai yang bersangkutan harus memenuhi 15% suara dalam pemilu legislatif di daerah yang bersangkutan atau 15% perolehan kursi di DPRD dalam pemilu legislatif. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka partai politik yang bersangkutan harus melakukan koalisi dengan partai lain. Ketiga, partai politik menyediakan ruang bagi calon perseorangan. Keempat, partai politik mempertimbangkan masukkan –masukkan masyarakat. Kelima, dukungan atau pencalonan oleh partai politik harus dinyatakan secara legal dengan surat dan rekomendasi yang dinyatakan secara sah untuk menghindari peluang terjadinya penarikan dukungan oleh partai bersangkutan. Fungsi mobilisasi (menghimbau untuk bertindak,mengerahkan) dari partai politik yang melibatkan masyarakat adalah sebuah fungsi yang sangat tepat dalam sebuah proses pemilihan umum. Mobilisasi secara sederhana selalu dilawankan dengan Partisipasi. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya
Universitas Sumatera utara
berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Mobilisasi Politik bukan sekedar sebagai proses dimana warga negara diarahkan pada keterlibatan politik. Definisi tersebut dianggap masih umum dan mungkin dilihat sebagai kelebihan ataupun kekurangan sebuah “pendapat umum” dari konsep-konsep di masa lalu mengenai terminologi mobilisasi politik. Mobilisasi memiliki banyak makna, mobilisasi dapat diartikan sedikitnya dalam tiga gejala sosial yang berbeda, Pertama, dalam aspek sosial ekonomi, sebagaimana didefinisikan dalam teori mobilisasi sosial tradisional, mobilisasi mengacu pada suatu proses “pertimbangan sosial dan pembangunan ekonomi”, Kedua, Mobilisasi dapat berarti usaha pembersihan oleh rejim totaliter, Ketiga, “Mobilisasi” dapat juga mengacu pada proses selektif untuk melibatkan warganegara di dalam politik. 17 Manifestasi dari politik mobilisasi adalah orientasi partai-partai politik yang fokus kepada pemilihan pejabat-pejabat dan perebutan kekuasaan atas jabatan-jabatan tertentu, hal inilah yang kemudian mendasar munculnya koalisi antarpartai. Orientasi ini yang kadang membuat partai-partai politik mulai menyimpang dari ideologi dasar partainya, koalisi-koalisi antarpartai dilakukan bukan karena partai-partai yang berkoalisi memiliki kesamaan ideologi untuk membangun negara tetapi lebih kepada peningkatan jumlah anggota partai untuk bisa menduduki jabatan-jabatan tertentu. Politikus-politikus yang terlibat juga semakin profesional dan berubah seolah-olah menjadi politikus adalah jabatan karier dan mata pencaharian, dan bukan merupakan pejuang-pejuang prinsip atau ideologi tertentu. Akibatnya, politikus bisa dengan mudah berpindah dari satu partai ke partai lain. Hal ini secara tidak langsung sebenarnya mulai menumbuhkan sikap apatis dari masyarakat sebagai pemilih terhadap sebuah proses pemilihan umum, hal ini jelas terlihat dari tingginya angkaangka golput yang terjadi dalam beberapa proses pemilihan umum. Namun terlepas dari penyimpangan-penyimpangan itu, mobilisasi politik tetap menjadi cara yang paling sesuai digunakan dalam arena pemilihan umum. Salah satu bentuk nyata dari mobilisasi politik yang dilakukan partai politik adalah Marketing Politik. Ada empat hal utama yang melandasi pentingnya penggunaan marketing politik bagi partai-partai politik. 18 Pertama, terjadinya pergeseran paradigma pemilih dari ideologi ke program kerja. Masyarakat cenderung melihat apa yang bisa dan apa yang ditawarkan oleh partai politik maupun kontestan dibandingkan dengan alasan- alasan
17
Chapter 3 Mobilization and Party Recruitment, http://www.olemiss.edu/courses/pol324/guo02ch3.pdf. Diakses tanggal 1 Oktober 2012. Pukul 22.43. 18 Firmanzah, Op. Cit, Hal. 57-58.
Universitas Sumatera utara
ideologis yang ada dibalik satu partai politik atau kontestan. Hal ini terlihat nyata sekali dengan semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan, yaitu para pemilih yang menunggu partai politik mana yang kiranya menwarakan solusi paling baik ketimbang yang lainnya. Partai politik jenis inilah yang akan mereka pilih dalam Pemilu. Kedua, meningkatnya pemilih non-partisan. Terdapat trend yang memperlihatkan semakin meningkatnya proporsi non-partisan dalam Pemilu. Nonpartisan adalah sekelompok masyarakat yang tidak menjadi anggota atau mengikatkan diri secara ideologis dengan partai politik tertentu. Kaum non-partisan melihat pentingnya kemampuan dan kapasitas orang atau program kerja partai politik mana yang dapat memberikan solusi atas permasalahan bangsa dan negara ketika program-program itu dikomunikasikan selama periode menjelang Pemilu. Ketiga, meningkatnya massa mengambang (floating mass). Dengan meningkatnya jumlah pemilih non partisan maka jumlah massa mengambang semakin besar. Massa mengambang ini seringkali sangat menentukan menang tidaknya suatu partai politik dalam Pemilu. Massa mengambang adalah kelompok masyarakat yang diperebutkan oleh partai-partai dan kandidat yang bersaing dalam Pemilu. Massa mengambang ini semakin besar seiring semakin kritisnya masyarakat. Keempat, adanya persaingan politik. Sistem multipartai yang kini banyak dianut oleh negara yang sedang meniti ke arah demokrasi ataupun baru saja melaksanakan transisi dari otoriter menuju demokrasi, ditambah dengan semakin kritisnya masyarakat dalam memilih partai politik telah menempatkan partai politik pada iklim kompetisi yang ketat untuk memperebutkan pemilih. Marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan perangkat bagaimana menjaga hubungan dengan pemilih untuk membangun kepercayaan, mobilisasi, dan selanjutnya memperoleh dukungan suara. 19 Dalam praktek sebenarnya dilapangan, khususnya dalam sebuah proses pilkada, partai politik selalu mempergunakan segenap sumber daya yang dimilikinya demi mendapatkan dukungan dari masyarakat terhadap kandidat yang diusungnya. Sumber daya yang dimaksud tentunya dengan melakukan strategi marketing politik. Pada saat melakukan strategi marketing politik partai-partai politik sama dengan “pedagang” yang menjual calon kepala daerah sebagai “barang dagangannya” kepada masyarakat yang berperan sebagai konsumen, dan strategi merekalah yang menentukan laku atau tidaknya kandidat tersebut.
19
Dermody & R. Scullion, dikutib dari Oman Heryaman, S.IP, M.Si, Political Marketing Dan Kualitas Demokrasi, http://www.scribd.com/doc/5988402/Political-Marketing-dan-KualitasDemokrasi. Diakses tanggal 1 Oktober 2012. Pukul 23.48.
Universitas Sumatera utara
Untuk melakukan sebuah strategi marketing politik, partai politik biasanya selalu mengedepankan figur dari kandidat. Hal ini tentunya dengan melihat kualitas figur yang coba ditampilkan, sehingga pemilih mampu menerimanya sebagai nilai politik yang akan dipilih.
5.5. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kebijakan desentralisasi dengan memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu agenda reformasi yang telah diformulasikan dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi. Pertama adalah tujuan kesejahteraan, yaitu menjadikan pemerintah daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal melalui pemberian pelayanan publik dan menciptakan daya saing daerah yang pada gilirannya akan menyumbang kepada kesejahteraan nasional. Kedua adalah tujuan politik, yaitu pemerintah daerah akan menjadi instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang kalau berhasil akan menyumbang kepada pendidikan politik nasional, untuk mendukung proses demokratisasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Sejak reformasi, Indonesia telah dua kali membentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dibentuk pada awal reformasi dilandasi oleh semangat merubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dari yang selama masa pemerintahan Orde Baru sangat didominasi oleh pendekatan sentralistik menuju kepada pemerintahan daerah yang desentralistik sebagai salah satu agenda utama dari reformasi. Perubahan paradigma pemerintahan daerah yang sangat radikal tersebut pada satu sisi berhasil mengurangi peran Pemerintah Pusat yang sangat dominan selama berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Salah satu perubahan yang fenomenal adalah dilakukannya pengalihan urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat menjadi kewenangan daerah. Konsekuensi logis yang terjadi dari pengalihan kewenangan tersebut adalah berubahnya kelembagaan dengan dibubarkannya kanwil dan kandep digabung kedalam dinas daerah,
Universitas Sumatera utara
beralihnya personil, pembiayaan serta sarana dan prasarana pemerintahan dan juga dokumen yang dikenal dengan istilah pengalihan P3D. 20 Salah satu wujud nyata dari Undang-Undang tersebut adalah Pemilihan Kepala Daerah Langsung dan Wakil Kepala Daerah Langsung. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung atau sering disebut Pilkada Langsung merupakan mekanisme demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin di daerah, dimana rakyat diberikan hak dan kebebasan sepenuhnya untuk menentukan calon kepala daerah yang dianggap mampu menyuarakan aspirasinya. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005 dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). PP No. 6 Tahun 2005, Pasal 1 ayat 1 berbunyi : “Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.” Pilkada berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas dan memiliki aspekbilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat dihindari. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan Pemerintahan Daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, dan tidak gampang digoyang oleh legislatif. Selain itu, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menghindarkan politik praktis daerah dari aroma money politics. Tidak mungkin bagi calon kepala daerah, baik itu calon Gubernur atau Bupati/Walikota, untuk menyuap seluruh rakyat daerah tersebut yang berjumlah jutaan orang. Sedangkan jika tetap memakai sistem perwakilan, money politics adalah sangat mungkin karena jumlah wakil rakyat daerah relatif sedikit. Bertambah luasnya ruang bagi partisipasi aktif rakyat daerah berarti semakin mendekatkan praksis politik di daerah dengan demokrasi ideal. Dengan pemilihan langsung, kepala daerah memiliki legitimasi demokrasi yang kuat. Di sisi lain, rakyat akan merasa lebih bertanggung jawab
20
www.depdagri.go.id
Universitas Sumatera utara
terhadap pilihannya. Rakyat tentunya tidak akan gegabah menentukan pemimpinnya karena pilihan tersebut akan menentukan masa depan daerahnya dan akan berimbas pada masa depan dirinya sendiri sebagai individu. Akuntabilitas kepala daerah benar-benar tertuju kepada rakyat, begitu pula sebaliknya. Relasi langsung ini akan lebih mendekatkan pemerintah dengan yang diperintah. Dengan kedekatan rasional ini, diharapkan penyaluran aspirasi rakyat akan semakin lancar dan setiap kebijakan pemerintah akan semakin mudah di kontrol. Pada akhirnya, konsep kedaulatan yang ada di tangan rakyat diharapkan bisa sepenuhnya teraktualisasi dalam politik praktis daerah. 5.5.1. Asas-Asas Pilkada Langsung Salah satu ciri sistem Pilkada yang demokratis dapat dilihat dari asas-asas yang dianut. Asas adalah suatu pangkal tolak pikiran untuk sesuatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan sesuatu tata hubungan atau kondisi yang kita kehendaki. 21 Asas Pilkada adalah pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan Pilkada. Dengan kata lain, asas Pilkada
merupakan
prinsip-prinsip
atau
pedoman
yang
harus
mewarnai
proses
penyelenggaraan. Asas Pilkada juga berarti jalan atau sarana agar Pilkada terlaksanakan secara demokrasi. Dengan demikan, asas-asas Pilkada harus tercermin dalam tahapantahapan kegiatan atau diterjemahkan secara teknis dalam elemen-elemen kegiatan Pilkada. Asas yang dipakai dalam Pilkada langsung sama persis dengan asas yang dipakai dalam pemilihan umum yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan mengenai asas-asas Pilkada langsung tertuang dalam Pasal 56 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 dan ditegaskan kembali pada Pasal 4 Ayat 3 PP No. 6 Tahun 2005. Selengkapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1) berbunyi : ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.” Dengan asas-asas tersebut, dapat dikatakan bahwa Pilkada langsung di Indonesia telah menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam rekrutmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka. Adapun pengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut : 1. Langsung Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
21
Supardi dan Syaiful Anwar, Dasar-dasar Perilaku Organisasi, Yogyakarta : UII Press, 2002, Hal. 5.
Universitas Sumatera utara
2. Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan, berhak mengikuti Pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa dikriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial. 3. Bebas Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menetukan pilihan tanpa tekanan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihanya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. 5. Jujur Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap penyelenggara Pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta Pilkada, pengawas Pilkada, pemantau Pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6. Adil Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta Pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun. 22
5.5.2. Tahapan Kegiatan Pilkada Langsung Sesuai ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, tahapan Pilkada secara langsung dibagi menjadi dua tahap, yaitu terdiri dari : (i) tahapan persiapan dan (ii) tahapan pelaksanaan. Tahap pertama, yakni Tahap Persiapan, yang meliputi : (i) dalam tahap persiapan DPRD memberitahukan kepada kepala daerah maupun KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah; (ii) dengan adanya pemberitahuan dimaksud, kepala daerah berkewajiban untuk memyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah dan laporan pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD; (iii) KPUD dengan 22
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 207-208.
Universitas Sumatera utara
pemberitahuan dimaksud menetapkan rencana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang meliputi penetapan tatacara dan jadwal pelaksanaan Pilkada, membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) serta pemberitahuan dan pendaftaran pemantauan; dan (iv) DPRD membentuk Panitia Pengawas Pemilihan yang unsurnya terdiri Kepolisian, Kejaksaan, Perguruan Tinggi, Pers dan Tokoh masyarakat. Tahap kedua, Tahap Pelaksanaan, yang meliputi : penetapan daftar pemilih pengumuman pendaftaran dan penetapan pasangan calon, kampanye, masa tenang, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih, pengusulan pasangan calon terpilih dan pengesahan serta pelantikan calon terpilih. 23
6. Metode Penelitian 6.1. Jenis Penelitian Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 24 Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi dalam situasi sewajarnya, untuk dirumuskan menjadi satu generalisasi yang dapat diterima oleh akal sehat manusia. Masalah yang akan diungkapkan dapat disiapkan sebelum mengumpulkan data atau informasi, akan tetapi mungkin saja berkembang dan berubah selama kegiatan penelitian dilakukan. Dengan demikian data/informasi yang dikumpulkan data terarah pada kalimat yang diucapkan, kalimat yang tertulis dan tingkah laku kegiatan. Informasi dapat dipelajari dan ditafsirkan sebagai usaha untuk memahami maknanya sesuai dengan sudut pandang sumber datanya. Maka informasi yang bersifat khusus itu, dalam bentuk teoritis melalui proses penelitian kualitatif tidak mustahil akan menghasilkan teori-teori baru, tidak sekedar untuk kepentingan praktis saja.
23 24
Leo Agustino, Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009, Hal. 81. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994, Hal. 3.
Universitas Sumatera utara
Secara khusus penelitian deskriptif yang penulis gunakan dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta atau data yang ada dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa. Pada penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta- fakta sebagaimana keadaan yang sebenarnya ditemukan. Karena itu dalam penelitian ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. 25
6.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Kabanjahe. Alasan lain yang melatarbelakangi peneliti melakukan penelitian di kecamatan ini adalah, dimana kecamatan Kabanjahe adalah daerah yang memiliki Daftar Pemilih Tetap (DPT) terbanyak yaitu 46.260 jiwa. 6.3. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Dalam hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang telah memiliki hak suara didalam pemilihan kepala daerah di Kecamatan Kabanjahe yaitu berjumlah 46.260. 26 2. Sampel Sampel adalah merupakan sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Untuk menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini, digunakan rumus Taro Yamane: 𝑁𝑁
n= 𝑁𝑁.(𝑑𝑑)2 +1 keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d = Presisi, ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%
25 26
Ibid., Hal. 6. KPUD Kabupaten Karo
Universitas Sumatera utara
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah: 46.260
n= 46.260.(10%)2 +1 n=
46.260 463,6
n= 99,784 atau dibulatkan menjadi 100 orang. 6.4. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Untuk memperoleh data atau informasi, keteranganketerangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Data Primer: yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan tanya jawab langsung dengan informan yang mengetahui benar masalah yang diteliti, atau yang terlibat langsung dengan masalah yang diteliti di dalam dalam penelitian ini. Yang menjadi key informan di sini adalah ketua Tim sukses dari pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana yaitu Mansur Ginting, ST yang juga merupakan sekretaris DPD Partai Karya Peduli Bangsa Kabupaten Karo, kemudian beberapa tokoh masyarakat yang antara lain, Fernando Sembiring, yang merupakan Ketua Karang Taruna Desa Rumah Kabanjahe dan Drs. Gunana Kaban selaku ketua dari organisasi Persadaan Kaban Mergana ras Anak Beruna selanjutnya beberapa masyarakat Karo khususnya yang berdomisili di Kecamatan Kabanjahe yang memilih pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana dan dianggap mewakili pendapat masyarakat Karo yang memilih pasangan kandidat tersebut. 2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) yaitu dengan mempelajari buku-buku, jurnal, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahanbahan lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
6.5. Teknik Analisa Data
Universitas Sumatera utara
Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis analisa data kulitatif. Dalam analisis data kualitatif datanya tidak dapat dihitung dan berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka. 27 Data-data yang terkumpul melalui wawancara terhadap informan yang berasal dari tim sukses dan membandingkannya dengan hasil wawancara dengan masyarakat karo yang menjadi informan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.
7. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas, pembatasan masalah yang akan diteliti, tujuan mengapa diadakan penelitian ini, manfaat penelitian dan metode penelitian serta kerangka teori yang akan menjadi landasan pembahasan masalah.
BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian di Kabupaten Karo antara lain sejarah singkat kabupaten, sosial-budaya, pemerintahan,dan lain sebagainya.
BAB III : EFEKTIFITAS MARKETING POLITIK PADA PILKADA KARO TAHUN 2010 Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan.
BAB IV : KESIMPULAN 27
Ibid., Hal. 108.
Universitas Sumatera utara
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, Pada bagian ini akan terjawab pertanyaan tentang hal-hal yang diteliti yang pada akhirnya menjadi sebuah kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera utara