BAB I PENDAHULUAN
A.
Alasan Pemilihan Judul Wacana lingkungan hidup dan pelestarian alam dewasa ini merupakan salah
satu isu penting di dunia Internasional, tapi pembahasan mengenai lingkungan cenderung berpusat pada masalah pencemaran dan bencana-bencana lingkungan saja. Padahal persoalan lingkungan tidak hanya masalah pencemaran dan bencanabencana lingkungan semata, masih banyak aspek lain pada lingkungan yang terkait dengan keperluan vital manusia. Salah satu masalah lingkungan yang patut mendapat sorotan dewasa ini adalah laju penurunan populasi dan kepunahan beberapa spesies. Perdagangan spesies langka beserta bagian-bagian tubuh dan produk olahannya tampaknya telah menjadi bisnis yang menguntungkan sekaligus penting di dunia internasional. Sejumlah besar spesies spesies langka secara rutin telah ditangkap dari alam dan dikirim ke seluruh penjuru dunia. Para ahli konservasi mengemukakan bahwa beberapa spesies spesies langka yang diperdagangkan telah mengalami kelangkaan. Perdagangan hidupan liar eksotik di dunia mencapai angka minimum 5 miliar dolar AS per tahun atau sekitar 10 triliun rupiah. Di dalamnya termasuk perdagangan 40.000 ekor jenis-jenis primata, gading dari setidaknya 90.000 gajah Afrika, sedikitnya 1 juta anggrek, 4 juta burung hidup, 10 juta kulit hewan melata (reptilia), 15 juta mantel yang berasal dari burung liar, 350 juta ikan tropis, dan berbagai bentuk kerajinan yang terbuat dari kulit kangguru, hingga hiasan dari cangkang penyu.1 Kontribusi perdagangan spesies langka di beberapa negara tidak dapat dikatakan 1
sedikit, misalnya dalam
menyediakan kesempatan kerja dan
Fachruddin M. Mangunjaya, Hidup Harmonis dengan Alam: Esai-Esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal 44.
meningkatkan pendapatan lokal. Namun di lain pihak telah terdapat indikasi terhadap penurunan populasi berbagai spesies langka akibat perdagangan internasional, sehingga mendorong masyarakat internasional untuk mengatur perdagangan dan pemanenan spesies langka. 2 Untuk melindungi kepunahan berbagai spesies satwa dan fauna liar di alam perlu dilakukan upaya perlindungan yang diperkuat dengan regulasi yuridis yang mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan pemberlakuannya bagi pelanggar ketentuan dalam regulasi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, mengingat begitu pentingnya untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna di tataran Internasional maupun di Indonesia, maka penulis memilih judul: ” PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SPESIES LANGKA FLORA DAN FAUNA LIAR DALAM RANAH HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL.”
B.
Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati dengan berbagai jenis populasi flora dan fauna liar. Meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan permukaan bumi, keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya luar biasa tinggi, meliputi 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung. 3 Ancaman kepunahan dan penurunan populasi flora dan fauna liar di Indonesia terus berlangsung. Penyebab utama terus terjadinya ancaman kepunahan flora dan fauna liar adalah kehilangan, kerusakan, serta terfragmentasinya habitat tempat hidup, pemanfaatan secara berlebihan dan perburuan serta perdagangan ilegal. Untuk menyelamatkan aneka spesies satwa dan fauna liar diperlukan upaya perlindungan hukum baik secara internasional maupun dalam 2
skala nasional.
Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia , Jakarta: Japan International Cooperation Agency, 2003, hal. 9. 3 FWI/GFW, Keadaan Hutan Indonesia, Bogor: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch, 2001, hal 1.
Kehilangan atau berkurangnya salah satu komponen flora atau fauna akan menyebabkan sistem dalam suatu lingkungan akan terganggu atau mengalami ketidakseimbangan. Perlindungan hukum terhadap jenis flora maupun fauna merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan hidup. Upaya perlindungan hukum terhadap satwa dan fauna liar
secara
internasional diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam punah, merupakan suatu pakta perjanjian yang disusun pada suatu konferensi diplomatik di Washington DC pada tanggal 3 Maret 1975 dan dihadiri oleh 88 negara sehingga konvensi ini disebut juga Washington Convention. Konvensi ini merupakan tanggapan terhadap Rekomendasi No. 99.3 yang dikeluarkan pada saat Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972. CITES ditandatangani oleh 21 negara dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975. Naskah kesepakatan CITES (Teks Konvensi) terdiri dari Pembukaan (5 paragraf), Batang tubuh (25 pasal) dan appendiks (CITES Listed species). CITES merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Misi dan tujuan konvensi ini adalah melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Indonesia telah meratifikasi CITES melalui Keppres No.43 tahun 1978. Walaupun sudah diratifikasi dalam waktu cukup lama, tetapi peraturan CITES belum dapat diimplementasi secara optimal. Perdagangan satwa liar dan bagian-bagiannya merupakan bisnis yang sangat menguntungkan di masa sekarang ini. Banyak pebisnis satwa liar rela melakukan
apapun untuk melancarkan bisnisnya tersebut dan tidak segan-segan bersikap anarkis kepada pihak yang menggangu bisnisnya tersebut. Walaupun sejak tahun 1975 di dunia Internasional telah ada kesepakatan yang disebut dengan konvensi CITES (Convention on International Trade in Endengered Spesies of Wild Fauna and Flora/Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Fauna dan Flora liar yang Terancam Punah). Konvensi ini menjadi alat untuk mengontrol perdagangan satwa liar sehingga diharapkan dapat menekan angka kepunahan satwa. Negara anggota CITES sekarang berjumlah kurang lebih 160 negara dan Indonesia termasuk di dalamnya sejak tahun 1978. Namun dalam pelaksanaannya hanya efektif di atas kertas karena faktanya banyak pedagang yang masih melakukan aktifitasnya secara tidak sah karena lemahnya pengawasan internasional terhadap perdagangan. Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam satwa dari kepunahan.
4
Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat
internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional. Jika diuraikan, maka didapati ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu:5 1. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; 2. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; 3. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi; 4.
Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol
5. Perdagangan internasional.
4
CITES, Artikel III, Washington DC, 3 Maret 1973 CITES, KONVENSI INTERNASIONAL PERDAGANGAN TSL, diakses dari world wide web: http://www.ksda-bali.go.id/?p=314 pada tanggal 9 September 2011 5
Negara-negara yang menandatangani Konvensi disebut sebagai
Parties
dengan meratifikasi, menerima dan menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi Parties dengan acceding Ketentuan Umum peredaran specimen CITES untuk kegiatan komersial & non komersial diatur melalui sistem permit/sertificate (antara lain : export permit, reexport sertificate, import permit dan sertificate of origin). Perdagangan masih diperbolehkan asal mengikuti ketentuan dalam CITES. Kemudian dalam CITES ada pengecualian dan perlakuan khusus dapat diberikan bila: 1. spesies dalam keadaan transit atau transhipment yang melalui atau di dalam teritori suatu pihak selama spesimen tersebut masih dalam kontrol pabean, 2. Otorita pengelola dari negara pengekspor yakin bahwa suatu spesimen diperoleh sebelum ketentuan konvensi berlaku bagi spesimen tersebut, 3. Spesimen milik pribadi atau barang rumah tangga (kekecualian ini tidak berlaku bila spesimen appendix I diperoleh dari luar negara tempat biasanya dia tinggal dan diimpor ke negara tersebut, dan spesimen appendix II yang diperoleh dari luar negara dimana pemilik biasanya bermukim dan disuatu negara dimana terjadi pengambilan dari alam, diimpor kedalam negara tempat dia tinggal dan peraturan dinegara asal spesimen yang menyatakan bahwa sebelum spesimen tersebut diekspor maka harus ada ijin ekspor terlebih dahulu) 4. Spesimen appendix I hasil penangkaran atau propagasi diperlakukan seperti spesimen Appendix II 5. Spesimen hasil penangkaran atau propagasi buatan dan turunannya dapat menggunakan sertifikat dari Otorita pengelola. 6. Spesimen untuk peminjaman non komersial, sumbangan atau tukar menukar antar ilmuwan atau lembaga ilmiah yang diregister Otorita Pengelola di negaranya
7. Spesimen yang merupakan bagian dari kebun binatang keliling, sirkus, menagerie, pameran tanaman atau pameran keliling dengan syarat pemilik sudah diregister oleh otorita pengelola, spesimen termasuk dalam kategori pada poin b dan e serta untuk spesimen hidup pengangkutannya memenuhi standar kesejahteraan spesimen . Dalam
ranah
hukum nasional, flora dan fauna liar dilindungi dalam
seperangkat peraturan yang antara lain UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, PP No 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, serta PP No 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dalam rangka melaksanakan kewajibannya, Indonesia telah menunjuk Managemen Authority dan Scientific Authority. Sesuai dengan PP no.8 Tahun 1999, Ps 66 : Departemen yang bertanggung jawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai otoritas Pengelola (Management Authority) dan LIPI ditetapkan sebagai otoritas keilmuan (scientific authority). Selanjutnya dalam KepMenhut No.104/Kpts-II/2003, Direktur Jenderal
PHKA ditetapkan
sebagai
pelaksana otoritas
pengelola
(Management Authority) CITES di Indonesia dan dalam Keputusan Ketua LIPI no. 1973 tahun 2002, Pusat Penelitian Biologi ditetapkan sebagai Pelaksana Harian Dalam pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia, ada beberapa kendala yang masih sangat sering dihadapi, yaitu wilayah Indonesia relatif
luas dengan
aksesibilitas yang rendah sehingga peredaran TSL lintas batas negara sulit dikontrol. Dalam pelaksaan ketentuan CITES, semua Otorita CITES malakukan kerja sama dengan berwagai institusi yang berkaitan antara lain bea dan cukai, kepolisian, karantina, kejaksaan, pengadilan dan LSM serta pihak-pihak lain yang terkait.6 6
Septi. 2009. CITES, KONVENSI INTERNASIONAL PERDAGANGAN TSL. http://www.ksdabali.go.id/?p=314
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam melalui analisa ilmu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional dan hukum Internasional.
C.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum internasional ? 3. Apakah Hukum sudah memberikan perlindungan yang memadai atas spesies langka Flora dan Fauna Liar di Indonesia? D.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah: 1. Mengetahui perlindungan hukum terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum nasional. 2. Mengetahui perlindungan terhadap spesies langka Flora dan Fauna Liar dalam ranah hukum internasional. 3. Mengetahui apakah Hukum sudah memberikan perlindungan yang memadai atas spesies langka Flora dan Fauna Liar di Indonesia. E.
Manfaat Penelitian Penulisan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Secara Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menambah
masukan
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perlindungan
hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. 2. Secara Praktis Untuk menambah pengetahuan dan wawasan akademisi di bidang ilmu hukum khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. F.
Metode Penelitian 1.
Jenis Pendekatan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.7 Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif digunakan untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. Maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan dua pendekatan:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. Selain itu dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundangundangan.
8
Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam
penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. 7
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media, 2011, hal. 57. 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 96.
b. Pendekatan konsep (conseptual approach) Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada.9 Dalam penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang.10 Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun argumen-argumen hukum dalam memecahkan isu mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional 2.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan interprestasi.11 Dalam penelitian ini yang diinterprestasikan yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional
3.
Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini yaitu bahan primer yang meliputi peraturan perundang-undangan yang relevan dengan isu hukum penelitian ini. Di samping bahan hukum primer, sumber penelitian lainnya adalah bahan hukum sekunder, misalnya: publikasi ilmiah dari pakar-pakar di bidang Hukum terkait isu penelitian yang dapat ditemukan dalam buku-buku teks, opini koran, jurnal, juga terbitan berkala. Berikut rincian bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan: 9
Ibid, hal 137. Ibid, hal 138. 11 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 149-150. 10
a. Bahan Hukum Primer: 1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 4. Undang - undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 6. Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. 7. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 8. PP No 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru. 9. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah publikasi ilmiah dari pakar-pakar di bidang hukum yang terkait dengan isu penelitian. 4.
Metode Pengumpulan Data Metode yang pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa bahan-bahan tertulis seperti perundang-undangan mengenai, karya ilmiah dari pakar-pakar dan buku-buku literatur yang berkaitan dengan isu penelitian.
5.
Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif yaitu setelah mendapatkan berbagai data dan informasi dari sumber data yang ada maka data tersebut akan disajikan dalam bentuk uraian
keterangan mengenai perlindungan hukum terhadap spesies langka flora dan fauna liar dalam ranah hukum nasional dan hukum internasional 6.
Analisis Data Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu suatu metode analisis yang dilakukan dengan cara mengumpulkan semua bahan yang diperoleh, ditelaah dan dianalisa berdasarkan peraturan perundang-undangan dan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan. Dengan demikian seorang peneliti terutama bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang ditelitinya.12 Selanjutnya penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran berkaitan dengan isu penelitian yang dikaji oleh penulis.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal.32.