MANAJEMEN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA* Oleh : Imran Said L. Tobing** Fak. Biologi, Universitas Nasional Jakarta
Abstrak Manajemen keanekaragaman hayati Indonesia selama ini, umumnya masih menganut sistem manajemen tradisional; pengelolaan masih didasarkan pada hanya pertimbangan para ahli dan pengambil keputusan.; padahal para ahli tidaklah selalu tepat. Pemanfaatan masih berorientasi pada kepentingan kini dan keuntungan pribadi, belum berorientasi pada kesinambungan hasil. Manajemen keanekaragaman hayati sudah seharusnya dilaksanakan berdasarkan data dan analisis dalam setiap aktivitas pengelolaan; agar pengelolaan menjadi efektif dan efisiesn serta keberhasilan/kegagalan setiap proyek pengelolaan dapat dinilai. Penentuan langkah dan tindakan manipulasi harus didasarkan pada konsep ekologis, bahwa semua komponen ekosistem adalah saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi; perubahan satu komponen akan berdampak pada komponen lain. Selanjutnya, konsep sosiologis merupakan dasar utama lainnya; karena tanpa dukungan masyarakat, pengelolaan tidak akan pernah berhasil. Keterlibatan masyarakat dan instansi terkait lainnya adalah penting agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan. Pengabaian prinsip-prinsip manajemen dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, akan merupakan suatu kerugian besar, karena laju kepunahan spesies dan degradasi habitat (ekosistem) akan terus berlanjut; dan tidak lama lagi keanekaragaman hayati Indonesia akan hancur.
I. Pendahuluan Keanekaragaman hayati Indonesia sedang terancam; banyak spesies yang terancam kepunahan, atau beberapa bahkan telah punah.
Demikian juga kawasan hutan maupun
ekosistem lainnya telah mengalami degradasi; beberapa bahkan telah rusak sama sekali. Proses menuju kepunahan pada berbagai spesies serta proses kerusakan (hilangnya) ekosistem (hutan) di berbagai tempat hingga kini terus terjadi. * Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya "Perkembangan ilmu-ilmu hayati di perguruan tinggi di Indonesia, dan penerapannya dalam masyarakat" di Institut Teknologi Bandung, tanggal 24 Pebruari 2004. ** Staf Pengajar Fak. Biologi Universitas Nasional, Jakarta.
Berbagai ahli bahkan telah meramalkan bahwa hutan Sumatra akan habis sebelum tahun 2010, demikian juga dengan hutan Kalimantan akan habis sekitar tahun 2015-2020. Kondisi seperti ini terjadi karena prinsip-prinsip manajemen yang berorientasi pada kesinambungan hasil belum diterapkan dengan baik.
Pemanfaatan (eksploitasi) yang
dilakukan hanya berorientasi untuk "kepentingan kini dan pribadi"; belum berorientasi untuk "kepentingan kini dan masa datang serta ummat manusia". Ancaman kepunahan berbagai spesies keanekaragaman hayati, kerusakan dan penurunan kualitas kawasan (lingkungan) serta reduksi sumber daya alam hayati yang terus terjadi harus segera ditangani secara serius. Bila tidak; akan merupakan kerugian yang sangat besar bagi kita dengan hilangnya keanekaragaman hayati sebagai sumberdaya alam dengan nilai ekologi maupun nilai ekonomi serta nilia-nilai lainnya. Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip biomanajemen secara baik dalam pemanfaatan dan aspek konservasi lainnya sudah menjadi keharusan untuk dilaksanakan di Indonesia. Tanpa penerapan prinsip-prinsip kesinambungan dalam pengelolaan, maka upaya mempertahankan nilai-nilai hidupan dan kawasan agar tetap sinambung tidak akan dapat terwujud. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mengemukakan beberapa hal yang dianggap dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam upaya manajemen keanekaragaman hayati; baik pengelolaan kawasan (ekosistem) maupun pengelolaan spesies (target), agar nilainilainya dapat berkesinambungan. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan, menetapkan
(model) manajemen dan menerapkan
aktivitas pengelolaan keanekaragaman hayati baik pengelolaan spesies (target, prioritas) maupun pengelolaan suatu kawasan tertentu.
II. Konsep dasar A. Tujuan Dalam aktivitas manajemen keanekaragaman hayati; baik sebagai suatu spesies (target) maupun
dalam
suatu
kawasan
(ekosistem);
tujuan
pengelolaan
umumnya
dapat
diklasifikasikan ke dalam, a
Untuk meningkatkan. Aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas kawasan (ekosistem) yang rusak (terdegradasi) baik secara kualitas maupun secara kuantitas, dan/atau untuk meningkatkan populasi suatu spesies, terutama spesies yang telah terancam kepunahan
a
Untuk menurunkan (mengontrol). Aktivitas yang dilakukan untuk menurunkan populasi suatu spesies yang melimpah dan/atau keluar dari kawasan konservasi tertentu, agar tidak mengganggu spesies lainnya (seperti mangsa, kompetitor) serta lingkungan lain (manusia)
a
Untuk menjaga (proteksi). Aktivitas yang dilakukan untuk menjaga suatu kawasan tidak terpengaruh oleh agar proses ekologi dapat berlangsung secara alami. Pengelolaan dengan tujuan proteksi umumnya dilakukan pada kawasan konservasi, seperti di kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional.
a
Untuk memanfaatkan (eksploitasi). Aktivitas yang dilakukan untuk memanfaatkan keanekaragaman hayati dan/atau suatu kawasan (ekosistem) dengan prinsip kesinambungan hasil Tujuan-tujuan tersebut dapat lebih difokuskan terhadap suatu kondisi dalam suatu
lokasi tertentu, sehingga menjadi spesifik dan dijadikan sebagai arah dalam pengelolaan. Manajemen yang baik adalah yang berorientasi pada tujuan; dan tujuan yang telah ditetapkan (untuk memecahkan masalah) harus dapat dicapai. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan pengelolaan, tujuan dan kehendak (keinginan) yang telah ditetapkan dikaji (review) kembali untuk meyakinkan apakah tujuan tersebut merupakan sesuatu yang memungkinkan untuk dicapai (feasibel).
Agar aktivitas pengelolaan dapat terlaksana dengan baik, dan menghasilkan sesuatu yang diharapkan; maka dalam perencanaan seharusnyalah dilakukan berbagai analisis terhadap beberapa hal. Analisis paling tidak dilakukan terhadap lima hal; yaitu : 1 Analisis keinginan. Hasil-hasil (output) apa (saja) yang diinginkan untuk dicapai dalam proyek pengelolaan yang akan dilaksanakan ? Identifikasi dan tentukan prioritas dari setiap hasil yang diharapkan. 1 Analisis metoda. Cara / metode apa saja yang dapat diterapkan untuk memperoleh hasilhasil yang diinginkan tersebut. Pilih (tetapkan) cara terbaik (yang paling memungkinkan) untuk diterapkan. 1 Analisis waktu. Perhitungkan waktu yang dibutuhkan untuk tercapainya target (hasil) yang telah ditetapkan. Tetapkan waktu sebagai suatu target; dan buatlah perencanaan waktu (time table) yang diperlukan untuk setiap langkah dalam aktivitas pengelolaan. 1 Analisis kendala. Identifikasi kendala-kendala apa saja yang kemungkinan akan ditemukan dalam pelaksanaan setiap langkah pengelolaan dan akan menghambat (memperlambat) tercapainya hasil. Identifikasi berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan (meminimalisasi) kendala-kendala tersebut. 1 Analisis untung-rugi. Perhitungkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang akan timbul dengan pelaksanaan proyek. Suatu proyek dapat dilaksanakan bila keuntungan lebih besar dari kerugian. Keuntungan dan kerugian tidak hanya ditinjau dari aspek ekonomi saja tetapi juga dari aspek ekologi. Setiap point dalam analisis tersebut adalah saling tergantung satu sama lain; sehingga penilaian harus dilakukan secara menyeluruh. Bila ada satu point yang tidak memungkinkan maka proyek pengelolaan tidaklah feasibel, sehingga aktivitas pengelolaan sebaiknya tidak usah dilaksanakan. Hasil penilaian dalam analisis, selanjutnya dijadikan sebagai patokan dalam merumuskan kembali tujuan dan aktivitas-aktivitas yang akan dilaksanakan dalam pengelolaan. Rumusan tujuan harus nyata dan merupakan fakta secara ekologis serta dapat tercapai pada selang waktu yang sudah tertentu.
B. Biomanajemen berdasarkan prinsip ekologis dan sosiologis
Manajemen keanekaragaman hayati; baik dalam suatu kawasan (pengelolaan kawasan / habitat) maupun pengelolaan yang lebih dikhususkan terhadap suatu spesies (target), harus berlandaskan pada konsep-konsep ekologis dan sosiologis; bila tidak, pengelolaan dengan segala aktivitas yang dilakukan akan dapat saling berbenturan (kepentingan) sehingga dinamisasi sistem dalam kawasan tidak akan berlangsung dengan baik. Benturan kepentingan akan dapat terjadi antar (spesies) hidupan penghuni kawasan dan/atau antar manusia (masyarakat) di sekitar kawasan maupun antar manusia dengan kawasan yang akan dikelola. Bila ini terjadi, maka keberhasilan tidak akan tercapai; kalaupun tujuan pengelolaan (misalnya pengelolaan suatu spesies) dapat tercapai, tetapi akan dapat berakibat tidak baik terhadap spesies lainnya. Oleh karena itu, pengelolaan harus direncanakan dengan mempertimbangkan segala aspek dan keterkaitan antar komponen ekosistem; sehingga hasil pengelolaan akan baik secara ekologis dan dapat difahami serta bermanfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun secara tak langsung. Dalam konsep ekologi; semua komponen yang ada dalam lingkungan adalah saling tergantung/pengaruh mempengaruhi; tidak ada satu komponenpun yang dapat berdiri sendiri tanpa terpengaruh dan mempengaruhi komponen lain; baik itu komponen biotik (hidupan) maupun komponen abiotik (fisik). Namun demikian, hubungan antar komponen mempunyai keeratan yang bervariasi.
Jadi, bila mengelola suatu spesies hidupanliar; pertimbangan
pemilihan metoda tidak hanya tergantung pada kebaikan spesies itu semata, tetapi juga harus memperhitungkan dampaknya terhadap spesies lain. Karena bila tidak, dampak yang terkena pada spesies lain akan juga mempengaruhi spesies yang sedang dikelola nantinya. Apalagi bila yang dikelola adalah kawasan (multi spesies) maka semua faktor harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan dan tindakan pengelolaan.
Keberhasilan pengelolaan sangat tergantung dengan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar kawasan yang akan dikelola. Masyarakat, dimanapun berada selalu mempunyai nilai-nilai dan adat yang dijunjung tinggi; bahkan seringkali nilai-nilai yang ada sangat berkaitan dengan pandangan terhadap hutan dan keanekaragaman hayati. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat harus dihormati, dan dalam perencanaan dan aktivitas pengelolaan harus tidak dilanggar; tetapi diupayakan agar sejalan dengan pengelolaan. Semua aktivitas dalam pengelolaan serta hasil akhir yang akan dicapai, yang tertuang dalam tujuan dan/atau harapan, sedapat mungkin tidak akan merugikan masyarakat (upayakan agar menguntungkan masyarakat), terutama masyarakat sekitar kawasan pengelolaan. Semua aktivitas pengelolaan harus difahami masyarakat; sehingga tugas pengelola tidak hanya merencanakan, memanipulasi atau proteksi kawasan (dan sumberdaya alam) tetapi juga menginformasikan ke masyarakat. Akan sangat bermanfaat, bahwa dalam perencanaan melibatkan masyarakat; paling tidak mengajak masyarakat berdiskusi untuk memahami pandangan masyarakat tentang kegiatan yang akan dilakukan.
Bila masyarakat tidak
memahami aspek-aspek pengelolaan yang akan dilakukan, maka mereka tidak akan mendukung upaya pengelolaan tersebut. Kawasan hutan adalah "milik masyarakat"; masyarakat telah memanfaatkannya secara turun temurun; oleh karena itu pelarangan-pelarangan (pembuatan aturan) harus dilakukan secara hati-hati. Bila membuat suatu aturan (pelarangan) berikan pemahaman tentang untungruginya, dan berikanlah jalan keluar bagi masyarakat, agar aturan tersebut dapat dihormati. Dengan menganggap bahwa kawasan hutan adalah milik masyarakat, maka masyarakat harus dilibatkan dalam pengelolaan, upayakan dalam posisi yang sejajar, bukan sebagai hubungan antara atasan dan bawahan.
Dukungan dari instansi-instansi terkait, pemerintan (daerah), dan LSM juga sangat diperlukan, sehingga aspek-aspek pengelolaan sedapat mungkin sejalan dengan pembangunan dan peningkatan potensi daerah. Dalam pengelolaanpun seharusnya semua instansi-instansi tersebut dilibatkan; sehingga dalam perencanaan sangat diperlukan mengidentifikasi instansi dan/atau kelompok masyarakat mana saja yang berkepentingan dan akan terkena dampak (baik dampak positif maupun dampak negatif) dalam pengelolaan kawasan maupun pengelolaan keanekaragaman hayati.
C. Biomanajemen berdasarkan data dan analisis Perencanaan maupun aktivitas pengelolaan keanekaragaman hayati (di Indonesia) umumnya masih didasarkan pada model manajemen secara tradisional; yakni kebijakan tentang pengelolaan berasal dari ahli dan/atau para pengambil keputusan. Dalam manajemen tradisional; konservasi sangat dominan, tanpa interes untuk mencoba (menguji) ide-ide baru sebelum diterapkan, padahal ide baru tersebut belum tentu cocok di kawasan yang akan dikelola. Selanjutnya, nilai (keberhasilan) dari pengelolaan tidak dapat diprediksi secara baik; bahkan aktifitas pengelolaan akan selalu dinilai berhasil karena tidak adanya indikator tentang keberhasilan atau indikator tentang kegagalan. Para ahli dan pejabat pengambil keputusan tidaklah selalu benar; sehingga perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan seringkali tidak tepat sasaran. Pengalaman di suatu daerah memang sangat berharga untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan di daerah lain; tetapi kondisi antar daerah adalah bervariasi sehingga pengalaman saja tidaklah cukup dalam upaya pengelolaan yang efektif dan efisien. Perencanaan dan aktivitas pengelolaan sudah seharusnya didasarkan pada data dan fakta aktual yang diperoleh dengan riset. Setiap langkah harus berdasarkan pengetahuan
empiris yang dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi lokal. Ide-ide baru yang muncul dimanfaatkan berdasarkan pendekatan penelitian; sebelum diterapkan terlebih dulu diuji sehingga dapat diketahui kendala dan keuntungan apa saja yang akan diperoleh dengan menerapkan ide-ide baru tersebut. Dengan teridentifikasinya kendala, kita dapat menghindari atau meminimalisasinya sekaligus memaksimalkan keuntungan-keuntungan yang mungkin dapat diraih.
Jadi; sebelum pelaksanaan, kita sudah yakin akan pengaruh manipulasi
(berdasarkan fakta/informasi yang ada) yang akan dilakukan; karena kalau keliru memanipulasi atau keliru memprakirakan dampak, maka yang terjadi dapat saja bukan penyelamatan keanekaragaman hayati dan perbaikan kawasan (ekosistem) tetapi akan dapat bertambah terancam dan rusak. Dalam manajemen model tradisional; kriteria keberhasilan seringkali tidak jelas, sehingga berhasil tidaknya pengelolaan tidak dapat dinilai. Oleh karena itu; dalam rencana pengelolaan, perumusan kriteria keberhasilan/kegagalan sudah harus ditetapkan Dengan adanya kriteria tersebut, rencana kerja yang diusulkanpun dapat dinilai sejauhmana pencapaian yang dicanangkan oleh sipemrakarsa kegiatan pengelolaan. Berhasil atau tidaknya pengelolaan dapat dinilai dengan membandingkan outcome (hasil yang diperoleh) dengan tujuan.
Tingkat pencapaian hasil, dinilai dengan kriteria
keberhasilan/kegagalan yang telah ditentukan dalam perencanaan dengan menetapkan targettarget yang akan dicapai secara nyata (kuantitatif). Dengan adanya kriteria keberhasilan, kita dapat menilai apakah pekerjaan yang kita lakukan telah berhasil atau belum; bahkan pihak lainpun dapat menilai berhasil-tidaknya kegiatan yang dilakukan. Sebaliknya; bila tidak ada kriteria (keberhasilan/kegagalan) untuk penilaian, maka pengelolaan yang dilakukan seolah-
olah selalu berhasil; dan bila tidak berhasil (gagal) pun selalu dicari alasan yang menjadi penyebab (umumnya penduduk) tidak tercapainya tujuan.
III. Perlindungan kawasan Pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana, yang merupakan konsep pelestarian modern; menuntut kita untuk menerapkan prinsip-prinsip biomanajemen dalam pengelolaan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya di Indonesia. Penetapan kawasan-kawasan perlindungan (seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, dll.) dimaksudkan tidak hanya untuk melindungi keanekaragaman hayati tetapi juga melindungi ekosistem secara keseluruhan.
Status kawasan perlindungan yang berbeda,
mempunyai sistem manajemen bervariasi sesuai dengan tujuan utama penetapan kawasan perlindungan. Penetapan suatu kawasan perlindungan sangat ditentukan oleh potensi dasar kawasan; selanjutnya, kesinambungan nilai-nilai dalam kawasan akan dipengaruhi oleh proses awal dalam mendesain kawasan perlindungan. Secara umum; kawasan yang luas akan lebih baik dari yang sempit; banyak lebih baik dari sedikit; berhubungan lebih baik dari yang terisolasi; dan berkelompok lebih baik dari linier. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut; keberadaan koridor antar kawasan (terutama kawasan kecil) perlu dipertimbangkan.
Keberadaan koridor tidak hanya mempunyai
keuntungan potensial tetapi juga dapat merugikan, sehingga pembuatan koridor harus diperhitungkan dengan baik. Keuntungan potensial koridor antara lain adalah : meningkatkan kekayaan spesies, ukuran populasi, dan memperkecil kemungkinan inbreeding, serta memperluas daerah jelajah. Sebaliknya kerugian adanya koridor antara lain adalah sebagai jembatan masuknya spesies yang tidak diinginkan ke dalam kawasan, jembatan kebakaran,
serta memerlukan biaya tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik dengan strategi penggunaan lahan secara konvensional. Penetapan suatu kawasan untuk perlindungan keanekaragaman hayati, umumnya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah sehingga seringkali menimbulkan knflik. Oleh karena itu, keberadaan kawasan perlindungan seringkali menjadi tidak efektif karena tidak didukung oleh masyarakat.
Padahal, keberadaan suatu kawasan perlindungan tidak akan
bermanfaat secara optimal bila tidak mendapat dukungan dari masyarakat, terumata dari masyarakat yang hidup di sekitar kawasan. Konflik dengan masyarakat setempat terutama terjadi karena masyarakat pada umumnya memanfaatkan kawasan untuk keperluan hidupnya; bahkan di berbagai tempat, konflik sangat susah dihindari karena adanya pemukiman
di dalam kawasan (enclave).
Secara hukum, di dalam kawasan konservasi (misalnya cagar alam, dan zona inti taman nasional) tidak boleh ada kegiatan yang dapat merubah fungsi kawasan selain kegiatan penelitian.
Namun dengan adanya enclave (dengan segala kegiatan penduduknya, serta
kemungkinan pemukiman yang selalu punya akses untuk berkembang) fungsi kawasan konservasi akan terganggu.
Keberadaan dan aktivitas penduduk, tidak dapat disalahkan;
karena penduduk sudah lebih dulu mendiami kawasan jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Kondisi sepereti ini terus berlanjut di berbagai
kawasan konservasi di Indonesia; tanpa terlihat adanya penanganan yang serius. Hukum memang ada tetapi penerapannya boleh dibilang tidak ada. Ini terjadi karena penetapan kawasan konservasi hanya dilakukan secara sepihak, bahkan batas-batasnya saja seringkali hanya ditetapkan di atas kertas. Padahal; seharusnya dalam menetapkan kawasan konservasi seharusnya mempertimbangkan keberadaan masyarakat setempat dan sedapat mungkin
melibatkan masyarakat dalam perencanaan, penetapan dan pengelolaan kawasan. Selanjutnya keberadaan kawasan tidak hanya akan merugikan masyarakat (dengan pelarangan-pelarangan memasuki kawasan dan eksploitasi; padahal kawasan tersebut adalah sumber hidupnya), tetapi menguntungkan dengan berbagai manfaat yang dapat dirasakan baik secara langsung maupun tak langsung. Konflik antar instansi juga sering terjadi, karena kawasan perlindungan hanya ditetapkan oleh instansi tertentu (Departemen Kehutanan) saja.
Oleh karena itu, agar
keberadaan kawasan perlindungan mendapat dukungan dari instansi lain, penetapan kawasan harus terintegrasi ke dalam program TGL daerah setempat dan secara regional.
IV. Perlindungan spesies Perlindungan terhadap spesies tertentu, seringkali sangat diperlukan dalam manajemen keanekaragaman hayati; karena perlindungan kawasan (keberadaan kawasan konservasi) tidak selalu mencukupi terutama terhadap spesies yang sudah terancam kepunahan. Spesies-spesies terancam punah tidak hanya hidup di dalam kawasan konservasi, tetapi juga ditemukan di luar kawasan konservasi.
Keberadaan populasi-populasi di luar kawasan sangat perlu
dipertahankan, mengingat populasinya yang relatif kecil di dalam kawasan konservasi. Kenakeragaman genetik spesies terancam punah adalah penting, demi keterjaminan kelangsungan spesies dalam jangka panjang. Perlindungan spesies umumnya dilakukan secara hukum; dengan menetapkan spesies terancam punah sebagai spesies yang dilindungi. Sehingga dimanapun spesies itu berada, tentunya tidak boleh dieksploitasi.
Namun demikian; lemahnya penerapan hukum di
Indonesia telah berdampak negatif terhadap spesies dilindungi; bahkan ada trend di
masyarakat bahwa memelihara spesies dilindungi (yang tentunya sudah langka) merupakan sesuatu yang didambakan. Perlindungan kawasan tidak selalu sama dengan perlindungan spesies, karena akan lebih terfokus pada spesies target yang umumnya merupakan spesies endangered. Perlindungan spesies difokuskan untuk meningkatkan daya dukung dan menurunkan faktorfaktor pembatas bagi perkembangan suatu spesies.
Manipulasi dapat dilakukan dengan
meningkatkan sumber pakan, sarana berkembang biak, menurunkan predator dan kompetitor, dll.; sehingga spesies yang dikelola lebih berkemungkinan berkembang. Antar spesies yang berbeda, model manajemen juga dapat berbeda. Spesies yang secara alami hidup di hutan primer, seperti owa (Hylobates spp.) akan sangat terancam bila terjadi degradasi hutan sebagai habitat, sehingga bila tindakannya adalah pengelolaan habitat, maka arah pengelolaan adalah agar suksesi hutan menjadi klimaks (hutan primer). Lain halnya bila yang dikelola adalah banteng (Bos spp.), suksesi habitat justru harus diarahkan agar tetap dalam tahap awal (padang rumput) sehingga penebangan pohon/semak justru harus dilakukan agar kawasan tidak berubah menjadi primer. Prinsip sepserti inilah yang kurang dlakukan oleh pengelola; di Pangandaran misalnya, kondisi padang pengembalaan telah tidak terpelihara; padang rumput (pengembalaan) telah berubah menjadi semak karena tidak dikelola sehingga populasi banteng menjadi hilang.
V. Pemanfaatan keanekaragaman hayati Keanekaragaman hayati adalah karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Namun demikian; adalah merupakan suatu kesembronoan bila
pemanfaatan hanya berorientasi untuk kekinian; apalagi semata-mata hanya mencari
keutungan pribadi sebesar-besarnya tanpa pedulu dampaknya pada masyarakat sekitar khususnya dan pada lingkungan umumnya. Setiap tindakan dalam eksploitasi keanekaragaman hayati akan berdampak; baik terhadap ekosistem maupun terhadap masyarakat.
Dampak ini seharusnya sudah
teridentifikasi dalam perencanaan; sekaligus mencari upaya memaksimalkan dampak positif serta meminimalkan dampak negatif. Konsesi hutan dan penentuan kuota (perburuan dan penangkapan hidupanliar dari alam) yang merupakan realisasi pemanfaatan keanekaragaman hayati telah lama dilakukan di Indonesia. Model konsesi dengan sistem tebang pilih; pada awalnya diyakini sebagai model pemanfaatan berkesinambungan.
Namun demikian; karena penerapan model ini hanya
berdasarkan studi banding, tanpa riset (di Indonesia) terlebih dahulu; telah memperlihatkan dampaknya kini. Hutan di berbagai lokasi bekas kawasan konsesi memang masih ada, tetapi kayu yang tersisa umumnya hanya kayu (pohon) yang tidak potensial secara ekonomi. Ini terjadi karena sistem tebang pilih telah menghambat pertumbuhan anakan pohon (yang ditebang) terhambat karena kalah bersaing dengan pohon besar lainnya (yang nilai ekonominya rendah) yang tidak ditebang. Demikian juga dengan perdagangan hidupanliar dengan sistem kuota.
Karena
penentuan kuota masih didasarkan pada hanya pendapat para ahli, tanpa pertimbangan berdasarkan data dan analisis. Kuota juga umumnya diberikan berdasarkan permohonan para pengusaha; dimana para pengusaha mengajukan kuota hanya di daerah yang mudah dieksploitasi. Padahal beberapa spesies telah melimpah di suatu tempat, bahkan telah menjadi gangguan; tetapi karena tidak adanya permohonan pengusaha maka kuota di lokasi tersebut tidak pernah diberikan.
Berdasarkan prinsip biomanajemen; eksploitasi (pemanfaatan) seharusnya didasarkan pada data agar kesinambungan hasil dapat tercapai. Namun minimnya data, terutama data tentang populasi telah mengakibatkan eksploitasi berjalan dengan hanya berdasarkan prakiraan saja. Berapa banyak individu yang sebaiknya di panen yang seharusnya merupakan patokan dalam menentukan kuota, tidak pernah dianalisis. Bila kondisi seperti ini terus berlanjut, sampai kapan keanekaragaman hayati Indonesia dapat bertahan ? Ironisnya; ini hanya akan dapat terjawab bila suatu saat nanti keanekaragaman hayati kita sudah tidak ada lagi.
VI. Kesimpulan •
Keanekaragaman hayati merupakan modal dasar dalam pembangunan yang harus dikelola dengan prinsip-prinsip manajemen, sehingga kesinambungan hasil dan nilai dapat mendukung kehidupan dan kesejahteraan manusia, tidak hanya kni tetapi juga di masa datang
•
Landasan utama manajemen keanekaragaman hayati adalah konsep ekologis dan sosiologis; serta segala aktivitas ditentukan berdasarkan data dan analisis
•
Manajemen yang baik adalah yang berorientasi pada tujuan; dan rumusan tujuan harus nyata dan merupakan fakta secara ekologis dan dapat dicapai dalam waktu tertentu
•
Suatu tindakan (proyek) pengelolaan harus dapat dinilai apakah berhasil atau tidak; oleh karena itu dalam perencanaan, penentuan/perumusan kriteria keberhasilan merupakan keharusan.
•
Perlindungan (proteksi) kawasan (ekosistem) dan keanekaragaman hayati merupakan langkah awal yang dilakukan untuk memelihara stok sumberdaya alam agar nilai-nilai kawasan dan hidupan dapat terpelihara
•
Manipulasi habitat (kawasan) dilakukan untuk meningkatkan daya dukung agar keanekaragaman hayati berada dalam keseimbangan yang dinamis
•
Eksploitasi sumberdaya alam harus didasarkan pada dinamika populasi; pemanenan dilakukan dengan prinsip kesinambungan hasil; sehingga ekosistem tidak kehilangan kemampuan memperbaiki diri
•
Dampak eksploitasi harus dikelola dengan memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif; dampak negatif yang bersifat irreversibel harus dihindari
VII. Daftar Pustaka Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. 302pp. ____________ 1992. Pengembangan kawasan cagar alam gunung Halimun Jawa Barat. pp. 12-19 In : B. Ryadisoetrisno, ed. Konservasi dan Masyarakat. Diskusi dan rumusan workshop Keanekaragaman Hayati TNGH, Jabar. BScC, CUSO. ____________ 1993. Pengelolaan Satwaliar. Jilid II. Diperbanyak oleh Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, bekerja sama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor. 446pp. Bailey, J. A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley & Sons.
New York.
Brockelman, W. Y. and D. J. Chivers. 1984. Gibbon conservation : Looking to the future. pp. 3-12. In: H. Preuschoft, D. J. Chivers, W. Y. Brockelman and N. Creel, eds. The Lesser Apes. Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh University Press. Caughley, G. and A. R. E. Sinclair. 1994. Wildlife Ecology and Management. Blackwell Science. Cambridge. 334pp. Chivers, D. J. 1984. Feeding and ranging in Gibbons : A Summary. pp. 267-281. In: H. Preuschoft, D. J. Chivers, W. Y. Brockelman and N. Creel, eds. The Lesser Apes. Evolutionary and Behavioural Biology. Edinburgh University Press. Clark, A. B. 1991. Individual variation in responsiveness to environmental change. pp.92110. In : H. O. Box, ed. Primate Responses to Environmental Change. Chapman and Hall, London. Cunningham, W. P. and B. W. Saigo. 1995. Environmental Science. A Global Concern. Wm.C. Brown Publishers. Bogota. Boston. Dawkins, M. S. 1995. Unravelling Animal Behaviour. Second Edition. Longman Scientific & Technical. Produced by Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd. Printed in Singapore. 183pp. Grumbine, R. E. 1992. Ghost Bears : Exploring the biodiversity cryisis. Washington DC, Island Press. Grumbine, R. E. 1994. What is ecosystem management ? Conservation Biology 8 (1): 27-38.
Harmon, D. 1994. Coordinating Research and Management to Enhance Protected Areas. Published by IUCN - The World Conservation Union in Collaboration with The George Wright Society Science and Management of Protected Areas Association Commission of the European Union. Heywood, V. H. and S. N. Stuart. 1992. Species extinction in tropical forests. pp. 91 - 117. In: T. C. Whitmore and J. A. Sayer, eds. Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman and Hall, London. Johns, A. D. 1992. Species conservation in managed tropical forests, pp. 16-53. In: T. C. Whitmore and J. A. Sayer, eds. Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman and Hall. London. Johns, A. D. and J. P. Skorupa. 1987. Responses of rain-forest primates to habitat disturbance: A Review. International Journal of Primatology, 8 (2) : 157-187. Lee, P. C. 1991. Adaptations to environmental change : an evolutionary perspective. pp. 39 56. In : H. O. Box, ed. Primate Responses to Environmental Change. Chapman and Hall, London. MacKinnon, J. R., K. MacKinnon, G. Child and J. Thorsell. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. 328pp Norton, B. 1992. A new paradigm for environmental management. pp. 23 - 41. In : Costanza, R. et al (Eds.). Ecosystem Health. Washington DC, Island Press Noss, R. F. and A. Cooperrider. 1994. Saving Natures Legacy : Protecting and restoring biodiversity. Washington DC. Defanders of Wildlife and Island Press. Pianka, E. R. 1983. Evolutionary Ecology. Third Edition. Harper & Row, Publishers New York. 415pp. Primack, R.B.; J. Supriatna; M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 345pp. Ramono, W. S. and H. Suprahmah. 1987. Elephant conservation and management in South Sumatra. pp. 211-215. In : The Conservation and Management of Endangered Plants and Animals. Seameo-Biotroph. Soemarwoto, O. 1992. Analisis Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Sutherland, W. J. 2000. The Conservation Handbook. Research, management and policy. Balckwell Science. 278pp.
Tobing, I.S.L. 2000. Manajemen Kawasan. Makalah dipresentasikan dalam Workshop Pembuatan Buku Panduan Kegiatan Konservasi. Unit Manajemen Leuser-LDP. Medan. Whitmore, T. C. and J. A. Sayer. 1992. Deforestation and species extinction in tropical moist forest. pp. 1-14. In: T. C. Whitmore and J. A. Sayer, eds. Tropical Deforestation and Species Extinction. Chapman and Hall. London. WRI, IUCN, UNEP. 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Panduan bagi tindakan untuk menyelamatkan, mempelajari, dan memanfaatkan kekayaan biotik bumi secara berkelanjutan dan seimbang.
MANAJEMEN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA*
Oleh : IMRAN SL TOBING Fak. Biologi-Univ. Nasional, Jakarta
Abstrak Manajemen keanekaragaman hayati Indonesia selama ini, umumnya masih menganut sistem manajemen tradisional; pengelolaan masih didasarkan pada hanya pertimbangan para ahli dan pengambil keputusan.; padahal para ahli tidaklah selalu tepat. Dilain pihak; kenaekaragaman hayati Indonesia terus terancam; baik ancaman kepunahan spesies maupun kerusakan kawasan yang terus terjadi; bahkan diindikasikan dengan laju degradasi yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena pemanfaatan masih berorientasi pada kepentingan kini dan keuntungan pribadi, belum berorientasi pada kesinambungan hasil. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memaparkan beberapa prinsip dasar dalam manajemen keanekaragaman hayati; baik pengelolaan kawasan maupun pengelolaan suatu spesies target yang telah terancam kepunahan. Bimanajemen harus didasarkan pada konsep ekologis; karena semua komponen ekosistem adalah saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi. Pengelolaan suatu spesies (target) tetap tidak boleh mengabaikan spesies lainnya; agar pengelolaan tidak berdampak negatif terhadap ekosistem. Selanjutnya, konsep sosiologis merupakan dasar utama lainnya; karena tanpa dukungan masyarakat, pengelolaan tidak akan pernah berhasil. Keterlibatan masyarakat dan instansi terkait lainnya adalah penting agar tidak terjadi tumpang-tindih kepentingan dalam pengelolaan. Manajemen keanekaragaman hayati sudah seharusnya dilaksanakan berdasarkan data dan analisis dalam setiap aktivitas pengelolaan; agar keberhasilan/kegagalan setiap proyek pengelolaan dapat dinilai. Bila tidak; akan merupakan suatu kerugian besar, karena laju kepunahan spesies dan degradasi habitat (ekosistem) akan terus berlanjut; dan tidak lama lagi keanekaragaman hayati Indonesia akan hancur.
* Makalah dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya "Perkembangan ilmu-ilmu hayati di perguruan tinggi di Indonesia, dan penerapannya dalam masyarakat" di Institut Teknologi Bandung, tanggal 24 Pebruari 2004. ** Staf Pengajar Fak. Biologi Universitas Nasional, Jakarta.