1
KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE *) Oleh : Tarsoen Waryono **)
Pendahuluan Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung berbagai jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang, dan tanin (Soedjarwo, 1979). Masing-masing kawasan pantai dan ekosistem mangrove memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alamiah dan faktor campur tangan manusia. Ekosistem mangrove yang tumbuh di sepanjang garis pantai atau di pinggiran sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai dan air laut. Terdapat tiga syarat utama yang mendukung berkembangnya ekosistem mangrove di wilayah pantai yaitu air payau, tenang dan endapan lumpur yang relatif datar. Sedangkan lebar hutan mangrove sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta jangkauan air pasang di kawasan pantai tersebut. Pada dasarnya kawasan pantai merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan dengan air laut. Oleh karena itu posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat berpindah (walking land atau walking vegetation) sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasi serta pengendapan lumpur (Waryono, 1999). Secara umum dapat dimengerti bahwa bentuk dan tipe kawasan pantai, jenis vegetasi, luas dan penyebaran ekosistem mangrove tergantung kepada karakteristik biogeografi dan hidrodinamika setempat. Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk mempengaruhi (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya. Kawasan pantai dan ekosistem mangrove menjadi sasaran kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat dan keuntungan ekonomis yang diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Sebaliknya makin sedikit manfaat dan keuntungan ekonomis, makin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Dampak-dampak lingkungan tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya degradasi kawasan pantai dan semakin berkurangnya luas ekosistem mangrove. *). Diskusi Panel Program Studi Biologi Konservasi FMIPA-UI, Depok 2000. **). Staf pengajar Jurusan Geografi FMIPA-UI
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
2 Secara fisik kerusakan-kerusakan lingkungan yang diakibatkannya berupa abrasi, intrusi air laut, hilangnya sempadan pantai serta menurunnya keanekaragaman hayati dan musnahnya habitat dari jenis flora dan fauna tertentu. Kerusakan kawasan pantai mempunyai pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup di dalam atau di sekitarnya. Kemunduran ekologis mangrove dapat mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan para nelayan kecil di kawasan pantai tersebut. Eksploitasi dan degradasi kawasan mangrove mengakibatkan perubahan ekosistem kawasan pantai seperti tidak terkendalinya pengelolaan terumbu karang, keanekaragaman ikan, hutan mangrove, abrasi pantai, intrusi air laut dan punahnya berbagai jenis flora dan fauna langka, barulah muncul kesadaran pentingnya peran ekosistem mangrove dalam menjaga keseimbangan ekosistem kawasan pantai. Adanya pertambahan penduduk yang terus meningkat, memacu berbagai jenis kebutuhan yang pada akhirnya bertumpu pada sumberdaya alam yang ada. Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas dari tekanan tersebut. Pada saat ini telah terjadi konversi ekosistem mangrove menjadi lahan pertanian, perikanan (pertambakan), dan pemukiman yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Padahal kekayaan flora dan faunanya belum diketahui secara pasti, begitu pula dengan berbagai hal yang terkait dengan keberadaan ekosistem mangrove tersebut. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah penanganan konservasi ekosistem mangrove.
Ciri dan Karakteristik Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove hanya didapati di daerah tropik dan sub-tropik. Ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-ciri ekologik sebagai berikut: (a). Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir dengan bahan-bahan yang berasal dari lumpur, pasir atau pecahan karang; (b). Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi ekosistem mangrove itu sendiri; (c). Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur hara dan lumpur; (d). Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 5ºC dan suhu rata-rata di bulan terdingin lebih dari 20ºC; (e). Airnya payau dengan salinitas 2-22 ppt atau asin dengan salinitas mencapai 38 ppt; (f). Arus laut tidak terlalu deras; (g). Tempat-tempat yang terlindung dari angin kencang dan gempuran ombak yang kuat; (h). Topografi pantai yang datar/landai.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
3 Habitat dengan ciri-ciri ekologik tersebut umumnya dapat ditemukan di daerah-daerah pantai yang dangkal, muara-muara sungai dan pulau-pulau yang terletak pada teluk.
Fungsi Dan Kerusakan Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya (Snedaker, 1978) yang memberikan kontribusi terhadap produktivitas ekosistem pesisir (Harger, 1982). Dalam hal ini beberapa fungsi ekosistem mangrove adalah sebagai berikut: (a). Ekosistem mangrove sebagai tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis krustasea, ikan, burung, biawak, ular, serta sebagai tempat tumpangan tumbuhan epifit dan parasit seperti anggrek, paku pakis dan tumbuhan semut, dan berbagai hidupan lainnya; (b). Ekosistem mangrove sebagai penghalang terhadap erosi pantai, tiupan angin kencang dan gempuran ombak yang kuat serta pencegahan intrusi air laut; (c). Ekosistem mangrove dapat membantu kesuburan tanah, sehingga segala macam biota perairan dapat tumbuh dengan subur sebagai makanan alami ikan dan binatang laut lainnya; (d). Ekosistem mangrove dapat membantu perluasan daratan ke laut dan pengolahan limbah organik; (e). Ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan bagi tujuan budidaya ikan, udang dan kepiting mangrove dalam keramba dan budidaya tiram karena adanya aliran sungai atau perairan yang melalui ekosistem mangrove; (f). Ekosistem mangrove sebagai penghasil kayu dan non kayu; (g). Ekosistem mangrove berpotensi untuk fungsi pendidikan dan rekreasi . Ekosistem mangrove sangat peka terhadap gangguan dari luar terutama melalui kegiatan reklamasi dan polusi. Waryono (1973) ; Saenger et al. (1983), dan Kusmana (1993) melaporkan bahwa ada tiga sumber utama penyebab kerusakan ekosistem mangrove, yaitu: (a) pencemaran, (b) penebangan yang berlebihan/tidak terkontrol, dan (c) konversi ekosistem mangrove yang kurang mempertimbangkan factor lingkungan menjadi bentuk lahan yang berfungsi non-ekosistem seperti pemukiman, pertanian, pertambangan, dan pertabakan.
Kondisi Ekosistem Mangrove di P. Jawa Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia diperkirakan 181.077 Km2 dan untuk Indonesia diperkirakan luasnya 45.421 Km2. Luas ekosistem mangrove di Jawa menurut berbagai data yang ada masih menunjukkan angka luas yang berbeda, dan secara rinci disajikan pada tabel berikut: Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
4 Tabel 1. Luas dan penyebaran ekosistem mangrove di Pulau Jawa PROPINSI
BIPRAN (1)
NFI (2)
RePPPRoT (3)
PHPA-AWB (4)
GIESEN (5)
Jawa Barat dan DKI Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Indonesia
1982 (ha) 28.608 13.576 7.750 49.934 4.251.010
1993 (ha) 0 0 0 0 3.737.340
1985-1989 (ha) 8.200 18.700 6.900 33.800 3.790.500
1987 (ha) 5.700 1.000 500 7.200 3.235.700
1993 (ha) <5.000 13.577 500 19.077 2.490.185
Sumber Data: 1. Dit. Bina Program, Dep. Keekosisteman together with FAO/UNDP (1982) using data from 1970’2. 2. National Forest Inventory, INTAG, Dep. Keekosisteman using Landsat data from early and mid 1980’s 3. RePPPRoT (1983-1989) Ministry of Transmigration and British Government - using Landsat data from early to late 1980’s plus aerial photography and radar imagery. 4. PHPA/AWB (Asian Wetland Bureau) 1990-92 Sumatera Wetland Project. 5. W. Giesen, 1993. Indonesia Mangroves: an update on remaining area and main management issues. Presented at International Seminar on “Coastal Zone Management of Small Island Ecosystems”, Ambon 7-10 April 1993.
Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas ekosistem mangrove yang masih ada belum dapat diketahui secara pasti. FAO (1982) memperkirakan luas ekosistem mangrove di Jawa 49.934 hektar, PHPA-AWB (1987) memperkirakan 7.200 hektar, hasil RePPPRoT (1985-1989) memperkirakan 33.800 hektar, dan Giesen (1993) memperkirakan luas ekosistem mangrove di Jawa tinggal 19.077 hektar. Untuk mengurangi ketidakpastian luas ekosistem mangrove yang ada maka Ditjen Intag Dephut (1993) memperkirakan ekosistem mangrove di Jawa sudah habis Secara umum, ekosistem mangrove mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan yang rendah. Di Indonesia tercatat 120 jenis tumbuhan mangrove dan 90 jenis di antaranya ditemukan di Jawa. Keanekaragaman faunanya untuk Pulau Jawa informasinya masih terpisah-pisah. Balen (1988) mencatat 167 jenis burung terestrial di ekosistem mangrove Pulau Jawa; di Cagar Alam Muara Angke ditemukan 43 jenis burung (Atmawidjaja & Romimohtarto, 1999), di ekosistem mangrove Teluk Naga ternyata 23 jenis burung air yang memilih daerah tersebut sebagai tempat mencari pakan (Widodo & Hadi, 1990), di ekosistem mangrove delta sungai Cimanuk, menurut Mustari (1992) tercatat 28 jenis burung air (12 jenis burung wader migran dan 11 jenis di antaranya termasuk jenis burung yang dilindungi), di kawasan pantai timur Surabaya dengan luas 3.200 hektar, menurut Anonymous (1998) ekosistem mangrove yang ada mampu mengakumulasi logam berat pencemar dan sebagai tempat persinggahan 54 jenis burung air dan burung migran; di ekosistem mangrove Tanjung Karawang ditemukan 52 jenis burung (Sajudin et al., 1984), 3 jenis tikus (Munif et al., 1984), 7 jenis moluska, 14 jenis krustasea (Hakim et al., 1984), dan 9 jenis nyamuk (Rusmiarto et al., 1984); di daerah mangrove Pulau Pari tercatat 24 jenis ikan (Hutomo & Djamali, 1979) dan 28 jenis krustasea (Toro, 1979), di pantai barat Pulau Handeleum ditemukan 12 jenis Gastropoda mangrove dan 20 jenis di pantai utara Pulau Penjaliran (Yasman, 1999); di Pulau Dua, Pulau Rambut dan Tanjung Karawang ditemukan 6 jenis ular (Supriatna, 1984). Strategi Konservasi
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
5 Sumberdaya alam yang merupakan perwujudan dari keserasian ekosistem dan keserasian unsur-unsur pembentuknya perlu dijaga dan dilestarikan sebagai upaya menjamin keseimbangan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya yang sejahtera secara berkesinambungan. Kebijaksaan ini dituangkan dalam strategi konservasi, yaitu : (a). Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan ekosistemnya; (b). Pengawetan keanekaragaman sumberdaya plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia; (c). Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistemnya, yaitu dengan mengatur dan mengendalikan cara-cara pemanfaatannya, sehingga mencapai manfaat yang optimal dan berkesimnambungan. Adapun beberapa tujuan dari konservasi mangrove adalah : (a). Melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe ekosistemnya. (b). Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang terancam punah. (c). Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai ekonomi. (d). Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata, pendidikan dan penelitian. (e). Sebagai tempat untuk melakukan pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam. (f). Sebagai tempat pembanding bagi kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap lingkungannya. Menurut Waryono (1973) bahwa ekosistem mangrove di Indonesia berdasarkan status peruntukannya dapat dikelompokkan menjadi: (a) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai cagar alam, (b) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka margasatwa, (c) kawasan konservasi perlindungan alam, (d) kawasan konservasi jalur hijau penyangga, (e) kawasan hutan produksi mangrove, dan (f) kawasan ekosistem wisata mangrove. Ekosistem mangrove sebagai cagar alam dan suaka margasatwa berfungsi terutama sebagai pelindung dan pelestari keanekaragaman hayati. Kriteria kawasan cagar alam adalah kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit penyusunnya mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas, dan/atau mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi. Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya, Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
6 memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi, merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan/atau mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. Ekosistem perlindungan alam, berfungsi terutama sebagai pelindung hidrologi dan pelindung pantai serta habitat biota pantai. Jalur hijau ekosistem mangrove adalah ekosistem mangrove yang ditetapkan sebagai jalur hijau di daerah pantai dan di tepi sungai, dengan lebar tertentu yang diukur dari garis pantai dan tepi sungai, yang berfungsi mempertahankan tanah pantai dan kelangsungan biotanya. Oleh karena itu jalur hijau ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai ekosistem lindung dan atau ekosistem suaka alam.
Upaya Penanganan Konservasi Ekosistem Mangrove Hilangnya ekosistem mangrove karena dikonversikan untuk penggunaan lain sudah pasti akan berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman hayati di daerah tersebut Untuk menghindari hal tersebut yang perlu dilakukan adalah : (a). Mengupayakan luasan kawasan konservasi mangrove 20 % dengan dasar pertimbangan terhadap rasionalisasi penggunaan terbesar dari pemanfaatan lahan mangrove diperuntukan pertanian, pertambakan, dan permukiman. (b). Keberadaan dan kondisi mangrove yang sebenarnya perlu diketahui, sebagai dasar untuk perencanaan dan penetapan kebijakan selanjutnya. (c). Perlu ditingkatkan pengetahuan tentang peraturan-peraturan; (d). Pengkajian tentang peralihan mangrove menjadi pertambakan atau penggunaan lain harus didasarkan pada : (1). Kesesuaian lahan untuk tambak (masalah tanah sulfat masam, gambut, pasir) atau penggunaan lain. (2). Pasang surut dan sumber air tawar. (3). Pensyaratan jalur hijau. (4). Sistem perlindungan kawasan dan kawasan ekosistem lindung. (5). Dampak terhadap lingkungan. (6). Infra struktur seperti pasar, ketersedian bibit dan lain-lain. (7). Pengenaan pajak untuk areal tambak, agar keinginan membuat tambak berkurang. (8). Penetapan beberapa areal mangrove sebagai kawasan lindung.
Penutup (a). Perlindungan daerah mangrove yang berdekatan dengan muara-muara sungai. Hal ini untuk menjaga keseimbangan daerah estuaria yang merupakan ekosistem produktif, tetapi bersifat mudah terganggu (fragile) sehingga sangat perlu untuk konservasi. (b). Perlindungan daerah mangrove yang berdekatan dengan aktivitas kegiatan nelayan di mana daerah tersebut merupakan daerah kegiatan pengambilan ikan dan udang. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi tempat pembiakan, berpijah, maupun daerah ruaya dari berbagai jenis ikan dan udang. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
7 (c). Perlindungan daerah mangrove yang berdekatan dengan pemukiman yang masyarakatnya sangat menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hasil kayu bakar. (d). Perlindungan daerah-daerah mangrove rawan dalam arti kata jika daerah tersebut dibuka/dikonversi akan menimbulkan dampak negatif yang besar, seperti timbulnya intrusi air asin, abrasi, erosi, banjir dan lain-lain. (e). Perlindungan daerah mangrove yang masih asli, utuh dan mempunyai permudaan yang baik. Hal ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekologis (f). Perlindungan daerah mangrove di pulau-pulau kecil yang khas dan luasnya kurang dari 10.000 hektar. (g). Perlindungan daerah mangrove yang untik sebagai contoh antara lain mangrove yang hidup di atas terumbu karang dan mangrove yang hidup di air tawar. (h). Daerah mangrove yang merupakan habitat satwa seperti mamalia dan burung air.
Daftar Pustaka Anonymous, 1998. Pesona Alami Mangrove Pantai Timur Surabaya. Kelompok Pemerhati Lingkungan ECOTON Mahasiswa Biologi FMIPA UNAIR, Surabaya. Atmawidjaja, R. dan K. Romimohtarto, 1999. Keberadaan mangrove dan permasalahanpermasalahannya kasus Cagar Alam Muara Angke. Prosidings Seminar VI Ekosistem Mangrove : 99-108. Balen, S. v., 1988. The terrestrial mangrove birds of Java. Symposium on Mangrove Management : its ecological and economic considerations, Bogor. Ditjen Intag Departemen Keekosisteman, 1993. Laporan pekerjaan analisa data hasil penafsiran citra Landsat MSS. Proyek Inventarisasi, Pengukuran dan Perpetaan Ekosistem Pusat. Jakarta. Hakim, I.A., A.L. Devi dan Siswanto, 1984. Studi pendahuluan susunan jenis moluska dan krustasea di Tanjung Karawang (Jawa-Barat). Prosiding Seminar II Ekosistem Ekosistem Mangrove : 224227. Harger, J.R.E., 1982. Major problems in the functional anlysis of mangroves in South East Asia. Paper presented at The Symposium On Mangrove Forest Ecosystem Productivity, April 20-22, 1982, Bogor. Hutomo, M. dan A. Djamali, 1979. Penelaahan pendahuluan tentang komunitas ikan di daerah mangrove Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Prosiding Seminar Ekosistem Ekosistem Mangrove : 93-105. Kusmana, C. 1993. A study on mangrove forest management based on ecological data in easter Sumatra, Indonesia. Ph.D. Disertation. Faculty of Agriculture, Kyoto University, Japan. Unpublish.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
8 Munif, A., T.M. Setia dan J. Supriatna, 1984. Jenis-jenis tikus di hutan mangrove Tanjung Karawang dan daerah sekitarnya. Prosiding Seminar II Ekosistem Ekosistem Mangrove : 235-237. Mustari, A.H., 1992. Jenis-jenis burung air di hutan mangrove delta sungai Cimanuk Indramayu-Jawa Barat. Media Konservasi IV (1) : 39-46. NOOR, Y.R. 1995. Mangrove Indonesia, pelabuhan bagi keanekaragaman hayati : evaluasi keberadaan saat ini. Prosidings Seminar Ekosistem Mangrove V : 299-309. Rusminarto, S., A. Munif dan B. Riyadi, 1984. Survei pendahuluan fauna nyamuk di sekitar hutan mangrove Tanjung Karawang, Jawa Barat. Prosiding Seminar II Ekosistem Ekosistem Mangrove : 232-234. Saenger, P., E.J. Hegerl, and J.D.S. Davie, 1983. Global status of mangrove ecosystems. IUCN. Commision on Ecology No. 3. Sajudin, H.R., H. Rusmendro dan D. Afradi, 1984. Inventarisasi avifauna di kawasan hutan mangrove Tanjung Karawang, Bekasi, Jawa Barat. Prosiding Seminar II Ekosistem Ekosistem Mangrove : 228-231. Snedaker, S.C., 1978. Mangroves: their value and perpetution. Nature and Resources 14: 6-13. Soedjarwo, 1979. Mengoptimalkan fungsi-fungsi hutan mangrove untuk menjaga kelestariannya demi kesejahteraan manusia. Prosiding Seminar Ekosistem Ekosistem Mangrove : 8-9. Spalding, M.D., F. Blasco and C.D. Field (Eds.), 1997. World Mangrove Atlas. The International Society of Mangrove Ecosystems, Okinawa, Japan. 178 pp. Supriatna, J. 1984. Jenis-jenis ular di hutan mangrove dan makanan ular tambak (Cerberus rynchops Schn). Prosiding Seminar II Ekosistem Ekosistem Mangrove : 172-174. Toro, V. 1979. Beberapa catatan tentang komposisi fauna Crustacea di kawasan mangrove gugus Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu, Jakarta. Prosiding Seminar Ekosistem Ekosistem Mangrove : 114-119. Wahyono, A. 1999. Status kawasan pantai dan hutan mangrove. Duta Rimba Februari /224/XXIV : 814. Waryono., Tarsoen, 1973. Studi Permudaan Alam Bruguiera ginorrizha Lamk. Di Segara Anakan Cilacap. Publikasi Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Bandung. Widodo, W. dan D.S. Hadi, 1990. Sebuah tinjauan : feeding ground burung-burung air di kawasan hutan bakau TelukNaga, Tangerang, Jawa Barat. Media Konservasi III(1) : 47-52. Yasman, 1999. Struktur komunitas Gastropoda (moluska) hutan mangrove di pantai barat Pulau Handeuleum, Taman Nasional Ujung Kulon dan di pantai utara Pulau Penjaliran Barat, Teluk Jakarta : Studi perbandingan. Prosidings Seminar VI Ekosistem Mangrove : 243-255.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008